II. KERANGKA TEORI 2.1 Ekobiologi Trichoptera Trichoptera atau yang lebih dikenal sebagai lalat caddis (caddisfly) merupakan insekta yang dalam daur hidupnya melibatkan dua ekosistem yang berbeda yaitu ekosistem akuatik (perkembangan dari telur hingga pupa) dan ekosistem terestrial (dewasa). Serangga dari Ordo Trichoptera merupakan salah satu serangga yang bertipe holometabolous (metamorfosis sempurna). Hewan tersebut memiliki lima tahap perkembangan larva hingga menjadi pupa. Siklus hidup dari hewan tersebut secara ringkas dapat dilihat dalam Gambar 1. Ditinjau dari waktu generasi dalam setahunnya, maka serangga Trichoptera memiliki waktu generasi dari multivoltine (beberapa generasi dalam setahun) hingga satu kali dalam setahun (univoltine). Contoh dari lamanya siklus hidup yang ekstrim dari larva Trichoptera adalah Brachycentrus yang berukuran relatif besar dan mempunyai waktu siklus hidup hingga tiga tahun (Hershey & Lamberti 1998). Larva Trichoptera tinggal di dalam air kurang lebih selama dua bulan dan kemudian bermetamorfosis menjadi lalat seperti ngengat. Trichoptera dewasa umurnya kurang lebih selama dua minggu hingga dua bulan dan aktif di malam hari. Trichoptera dewasa terbang untuk melakukan kawin dan meletakkan telur di dasar sungai atau di permukaan tanaman air submerged. Lama periode antara telur dan tahap larva memakan waktu sekitar 10-12 hari. Tahap pupa umumnya berlangsung dua hingga tiga minggu dan dalam tahap ini, pupa biasanya berenang menuju permukaan. Tahap dewasa umumnya muncul dari bulan April sampai November, namun dapat bervariasi berdasarkan spesiesnya (Hall 2012). Hewan Trichoptera merupakan salah satu penyusun tujuh ordo Insekta terbesar di seluruh dunia. Di seluruh dunia diperkirakan jumlah spesies dari Trichoptera mencapai 50.000 dengan 45 famili dan 600 genus yang telah diketahui (Holzenthal 2009). Trichoptera dewasa yang hidup terestrial sepintas terlihat seperti ngengat, sehingga secara taksonomi hewan tersebut berkerabat 8 dekat dengan Ordo Lepidoptera (kupu-kupu) yang keduanya termasuk dalam super ordo Amphiesmenoptera atau “sayap melipat ke samping” (Gambar 2). Gambar 1. Siklus hidup dari larva Trichoptera (Hall 2012) Pada Trichoptera dewasa, kedua pasang sayap dan tubuh yang ditutupi dengan rambut atau tambahan sisik. Warna lalat caddis dewasa biasanya coklat atau abu-abu yang kurang menarik perhatian, sebagai bentuk adaptasi untuk bersembunyi di siang hari pada vegetasi riparian. Sejumlah spesies memiliki warna cerah antara lain kuning, oranye, hijau, perak, biru, atau berwarna-warni. Hewan dewasa dapat mempunyai panjang tubuh bervariasi dari beberapa milimeter (Famili Hydroptilidae dan beberapa spesies Glossosomatidae) hingga 4,5 cm di Famili Phryganeidae (terbesar). Gambar 2. Bentuk dewasa dari Trichoptera. Dari kiri atas ke samping kanan: Hydrobiosidae (Atopsyche), Calamoceratidae (Phylloicus), Xiphocentronidae (Xipocentron), dan Leptoceridae (Nectopsyche) di pojok kanan bawah (Holzenthal 2009) 9 Trichoptera dewasa mudah diketahui dengan adanya sejumlah fitur morfologi tambahan. Bagian mulut mereduksi, mandible tidak ada atau sangat kecil dan bersifat nonfunctional, tetapi maxillary dan labial palps tampak jelas (Gambar 3). Fitur utama dari mulut Trichoptera adalah haustellum yang merupakan struktur unik terdiri dari penyatuan labium (prelabium) dan hipofaring membentuk proboscis pendek yang digunakan untuk menyerap air atau cairan gula (Holzenthal 2009). Gambar 3. Morfologi kepala Tricoptera dewasa (Holzenthal 2009). Larva Trichoptera hidup dalam air dan membangun sarang yang bersifat portabel, kecuali beberapa famili yang hidup bebas. Kapsul kepala berkembang dengan baik dan tersklerotisasi sempurna. Antena sangat pendek dan terdiri dari segmen tunggal, meskipun pada Famili Leptoceridae dan beberapa Hydroptilidae memiliki antena yang panjang dan mencolok. Seperti kebanyakan dari larva holometabolous, hewan tersebut memiliki mulut tipe pengunyah yang terdiri dari labrum kecil, sepasang mandible yang berkembang dengan baik dan pendek, maxillae kompak, dan sebuah labium. Mandible pada shredders dan herbivora lebih lebar, dengan gigi pemotong pada ujungnya, sedangkan pada kelompok scraper lebih memanjang pada keseluruhan tepi. Pada larva predator seperti di genus Oecetis, gigi apikal lebih meruncing. Segmen toraks terlihat jelas perbedaannya dan masing-masing ada sepasang kaki. Pada beberapa Famili Hydrospychidae dan Hydroptilidae bagian mesonotum dan metanotum tersklerotisasi dengan baik, tetapi dalam Famili lainnya di bagian toraks (mesonotum dan metanotum) sepenuhnya membran atau tersklerotisasi sebagian. Panjang kaki dapat sama panjangnya atau kaki depan 10 terpendek dan kaki belakang terpanjang. Larva dari beberapa Famili Brachycentridae memiliki rambut di kaki tengah dan belakang yang digunakan untuk menyaring partikel makanan dari arus air. Bagian abdomen terdiri dari 10 segmen dan sepenuhnya membran yang biasanya terlihat telanjang kecuali beberapa setae yang tersebar. Abdomen pada larva Hydropsychidae tertutup padat oleh rambut pendek atau sisik berambut dan sepasang proleg anal yang pendek dan cakar yang kuat (Holzenthal 2009). Tipe pupa Trichoptera termasuk dalam jenis exarate, dengan antena, kaki, dan perkembangan sayap bebas dari tubuh. Antena terletak di belakang atas dari dada dan perut. Pada spesies dengan antena yang panjang, dan melingkar sekitar ujung dari abdomen. Toraks tidak mengalami modifikasi, tetapi kaki toraks sering memiliki rambut renang. Pada bagian abdomen akhir terdapat sepasang pemanjangan /processes anal (Gambar 4). Gambar 4. Bentuk morfologi pupa dari Trichoptera (Holzenthal 2009). Taksonomi dan identifikasi dari hewan Trichoptera secara rinci telah dijelaskan dalam Clifford (1991) dan Wiggins (1996). Salah satu contoh taksonomi dari serangga Trichoptera dari spesies Hydropsyche pellucidula sebagai berikut: Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Arthropoda : Insecta : Trichoptera : Hydropsychidae : Hydropsyche : H. pellucidula 11 Larva Trichoptera umumnya dapat hidup pada habitat lotik maupun lentik dan banyak spesies dari hewan tersebut memakan alga (Keiper 2002). Hampir keseluruhann famili dari larva Trichoptera hidup pada ekosistem air mengalir (running water), namun banyak spesies yang terbatas distribusinya di sepanjang gradien continuum sungai. Adanya suksesi longitudinal yang berkaitan dengan spesies seringkali terjadi pada sempitnya/overlap dari zone sungai yang dapat diamati dari beberapa famili antara lain: Hydropsychidae, Polycentropodidae, Glossosomatidae, Limnephelidae, dan Rhyacophilidae. Pada habitat sungai yang bersifat temporer, larva Trichoptera biasanya hidup dengan cara menggali lubang pada substrat yang basah guna menghindari kondisi kekeringan. Pada sungai dengan cukupnya tutupan vegetasi riparian dapat berfungsi menyediakan partikulat organik kasar (coarse particulate organic matter/ CPOM) dari jatuhan daun maupun ranting ke perairan, yang dapat mempengaruhi distribusi larva Trichoptera. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada komposisi dari larva Trichoptera yang bertipe feeding Shredder untuk mendominasi perairan. Larva Trichoptera lainnya (filtering collector dan scraper) di bagian hilir membutuhkan suhu yang lebih hangat untuk pertumbuhan dengan cara memakan alga berfilamen dan partikulat organik halus (fine particulate organic matter/ FPOM) (Mackay & Wiggins 1979; Cummins & Klug 1979). Larva Trichoptera umumnya dijumpai pada permukaan batuan dari dasar sungai atau danau (Mackay & Wiggins 1979). Sebagian besar larva Trichoptera lebih menyukai hidup pada tipe perairan dangkal (5-10 cm) dengan air yang mengalir di atas permukaan batuan dan sedikit spesies yang ditemukan pada substrat halus di bagian air yang dalam (Urbanic et al. 2005). Hewan tersebut untuk memperoleh makanan biasa menggunakan jaring perangkap mirip sutera. Beberapa spesies larva Trichoptera sering hidup dalam seludang pelindung guna mempertahankan diri dari predator maupun sebagai adaptasi perilaku terhadap arus air (Mackay & Wiggins 1979). 2.2 Produktivitas sekunder larva Trichoptera. Produktivitas sekunder secara umum didefinisikan sebagai pembentukan biomassa heterotrofik sejalan dengan bertambahnya waktu. Produktivitas 12 sekunder tahunan merupakan jumlah dari biomassa total yang diproduksi oleh sebuah populasi selama satu tahun. Kondisi ini termasuk produktivitas yang tersisa pada akhir tahun dan yang hilang selama periode tersebut. Hilangnya produktivitas ini termasuk kematian (misalnya oleh penyakit, parasitisme, kanibalisme, predasi), hilangnya jaringan yang tersisa (misalnya oleh molting, kelaparan), dan emigrasi. Satuan dari produktivitas sekunder dapat berupa: Kcal.m-2/tahun or KJ/m2/tahun (satuan energi), berat kering/ berat kering bebas abu, atau unit karbon mirip pada studi produktivitas primer. Standar konversi dari masing-masing satuan yaitu: 1gr berat kering ≈ 6 gr berat basah ≈ 0,9 gr berat kering bebas abu ≈ 0,5 gr C ≈ 5 Kcal ≈21 KJ (Benke & Huryn 2007). Produktivitas sekunder dapat menyediakan informasi gabungan pada pertumbuhan individu dan keberlangsungan hidup populasi dan dianggap mewakili jumlah energi yang tersedia untuk tingkatan trofik yang lebih tinggi (Jin & Ward 2007). Oleh sebab itu produktivitas sekunder seringkali dikaitkan dengan teori bioenergetik. Pada teori bioenergetik biasanya membahas transformasi energi di dalam dan di antara organisme, yang difokuskan pada aliran energi diantara spesies melalui konsumsi sepanjang rantai makanan (Benke 2010). Secara umum pendugaan produktivitas sekunder dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: teknik kohort dan non kohort. Teknik kohort digunakan ketika populasi memungkinkan mengikuti sebuah kohort (misalnya: individu yang menetas dari telur dengan selang waktu yang relatif singkat dan laju pertumbuhannya relatif sama) sepanjang waktu. Ketika sejarah hidup lebih komplek, maka tehnik non kohort sering digunakan. Sebagai sebuah kohort yang berkembang sepanjang waktu, adanya penurunan kelimpahan secara umum disebabkan oleh kematian & peningkatan berat individu dikarenakan pertumbuhan. Interval produksi (misalnya waktu diantara dua data sampling) dapat mudah dihitung secara langsung dari data lapangan melalui metode penambahan sesaat (increment-summation method) sebagai produk dari rerata kelimpahan antara dua data sampling ( ) dan peningkatan berat individu (ΔW) yaitu x ΔW. Asumsi dari teknik kohort ini adalah satu generasi pertahun (Benke & Huryn 2007). Produktivitas tahunan dihitung sebagai jumlah keseluruhan 13 estimasi interval ditambah dengan biomassa awal. Secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut: Teknik non kohort digunakan ketika sejarah kehidupan sebuah populasi bersifat lebih kompleks atau tidak mengikuti sebagai kohort dari data lapangan. Metode tersebut membutuhkan independensi dari waktu perkembangan atau laju pertumbuhan biomassa. Salah satu metode umum yang digunakan pada teknik non kohort adalah metode frekwensi-ukuran (size frequency method) yang sebelumnya dikenal sebagai metode Hynes & Coleman (1968). Metode tersebut mengasumsikan sebuah rerata distribusi frekuensi-ukuran yang ditentukan dari sampel yang dikumpulkan sepanjang tahun mengikuti suatu kurva mortalitas untuk sebuah rata-rata kohort. Benke (1979) telah melakukan koreksi dari metode Hynes & Coleman (1968) dengan cara mengalikan nilai produktivitas yang telah dihasilkan dengan sebuah faktor koreksi yaitu 365/CPI (cohort production interval) ketika hewan tersebut memiliki waktu generasi yang lebih dari sekali bereproduksi dalam jangka waktu satu tahun (multivoltine). CPI umumnya ditetapkan dari rerata waktu (dalam hari) yang dibutuhkan dari mulai menetas hingga mencapai ukuran akhir. Kadangkala faktor koreksi tersebut menggunakan bulan dibandingkan dengan menggunakan hari yang rumusnya adalah sebagai berikut: 12/CPI (Benke & Huryn 2007). 2.3 Faktor Lingkungan Penting Dalam Mengatur Komunitas dan Produktivitas sekunder larva Trichoptera. Kualitas air dapat mempengaruhi nilai produktivitas sekunder dari larva Hydropsychidae terutama yang hidup di daerah yang belum mengalami gangguan dari aktivitas antropogenik. Hal ini berkaitan dengan cukupnya nutrien yang terkandung dalam air dalam mendorong pertumbuhan alga atau perifiton yang berfungsi sebagai makanan larva Trichoptera. Ross & Wallace (1983) melakukan penelitian pada Famili Hydropsychidae di Sungai Appalachian Selatan (elevasi 600 m) menunjukkan produktivitas dari larva tersebut berkisar 23-983 mg berat kering bebas abu (AFDM) m-2 tahun-1. Rendahnya nilai tersebut disebabkan oleh 14 rendahnya nilai nutrisi di bagian hulu sungai yang mengurangi kualitas makanan detritus, pertumbuhan alga, dan produktivitas dari invertebrata kecil lainnya yang dimakan oleh larva hydropsychid sebesar 72%. Konsentrasi sebagian besar ion di sungai tersebut relatif rendah yaitu < 1 mg/l, nitrat 0,03 mg N/l, fosfat 0,0010,002 mg P/l, dan pH 6,6-6,8. Dalam hubungannya dengan faktor kimia di perairan, larva Trichoptera dapat dijumpai dari perairan yang belum tercemar hingga tercemar berat. Sebagai contoh genus Hydropsyche dan Cheumatopsyche relatif sensitif terhadap air yang tercemar (Chakona et al. 2009) dan keberadaan hewan tersebut akan meningkat kembali di bagian hilir ketika kualitas airnya meningkat (Mackay & Wiggins 1979). Stuijfzand et al. (1999) menggunakan larva Hydropsyche sp. untuk evaluasi kualitas air Sungai Rhine dan Sungai Meuse. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa distribusi dan kelangsungan hidup larva Hydropsyche sp. cukup tinggi di Sungai Rhine dan hampir tidak ada yang hidup di Sungai Meuse. Hal ini erat kaitannya dengan rendahnya kualitas air Sungai Meuse yang ditunjukkan dengan rendahnya konsentrasi oksigen terlarut (1,7 mg/l) dan tingginya konsentrasi amonium (4,1 mg/l), di-isopropylether (60 µg/l), flourida (1,3 mg/l), dan diuron (0,8 µg/l) sebagai faktor pembatas utama, di samping faktor fisik lainnya seperti kecepatan arus. Redell et al. (2009) menunjukkan larva Oligostomis ocelligera (Famili Phryganeidae) mampu bertahan dalam kondisi lingkungan akuatik yang ekstrim (air masam tambang) akibat aktivitas antropogenik penambangan. Larva tersebut mampu hidup pada pH yang rendah (2,58 – 3,13), konsentrasi sulfat (542 mg/l), logam berat Fe (12 mg/l), Mn (14 mg/l), dan Al (16 mg/l) yang tinggi. Mackay & Wiggins (1979) menyebutkan larva Helicopsyche borealis dapat hidup pada sumber mata air panas dengan kandungan hidrogen sulfida yang tinggi dan sungai yang menerima buangan limbah domestik. Hewan tersebut telah dilaporkan mampu mentolerir adanya kebocoran dari tangki bensin yang masuk ke dalam sungai yang mengakibatkan sebagian besar makrozoobentos yang ada mengalami drifting (penghanyutan) atau kematian. Larva Hydropsyche betteni dan Brachycentrus americanus mampu bertahan hidup pada nilai pH yang rendah (Mackay & Wiggins 1979). 15 Penelitian yang dilakukan Clements (1994) di bagian hulu Sungai Arkansas, Colorado menunjukkan hasil yang berlawanan dengan Stuijfzand et al. (1999). Sungai yang mendapat masukan dari air asam tambang dalam kategori tercemar sedang hingga berat didominasi oleh larva Chironomid Othocladiinae dan Trichoptera. Beasley & Kneale (2004) menyebutkan larva Trichoptera Famili Hydropsychidae relatif toleran terhadap kontaminasi logam berat Cu, Cd, dan Pb di perairan. Peningkatan dominansi makrozoobentos pada beberapa spesies Famili Chironomidae dan Hydropsychidae merupakan sinyal awal dari meningkatnya kontaminasi logam (Winner et al. 1980; Luoma & Carter 1991; Canfield et al. 1994). Hydropsychid merupakan salah satu penyusun larva Trichoptera yang umum dijumpai dan memiliki peran penting di sungai terutama dalam aliran energi, nutrisi, dan jaring-jaring makanan. Sejarah kehidupan hewan tersebut bervariasi dari univoltine hingga multivoltine yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang turut berkontribusi dalam mengatur produktivitas sekundernya (Alexander & Smock 2005). Gurtz & Wallace (1986) menyebutkan faktor lingkungan seperti ukuran partikel, kecepatan arus, kelimpahan dan kualitas makanan, serta lokasi mikro pada habitat memiliki peran besar dalam mengatur produktivitas larva hydropsychid. Alexander & Smock (2005) telah mengkaji produktivitas sekunder tahunan dari larva hydropsychid Cheumatopsyche analis di Sungai Upham Brook Virginia dapat mencapai 18,2 g/m2/thn. Tingkat toleransi hewan tersebut cukup luas dari kualitas air yang belum terpolusi hingga tercemar sedang. Tingginya pencemaran di ekosistem air tawar telah diketahui dapat meningkatkan insiden abnormalitas morfologi dari hewan air tawar. Abnormalitas morfologi dari serangga akuatik telah lama digunakan dalam studi yang berkaitan dengan pengaruh polutan toksik di ekosistem akuatik (Wiederholm 1984; Warwick 1985; Dickman et al. 1992; Bisthoven et al. 1998). Respon subletal berupa kecacatan insang dan anal papilae dari larva Trichoptera telah dipelajari secara mendalam guna pengembangan indikator biologi perairan khususnya dalam bidang biomarker. Biomarker secara umum didefinisikan sebagai substansi yang digunakan sebagai indikator dari suatu proses biologi. Abnormalitas pada insang 16 trachea, organ regulasi ion, dan anal papilae dapat menunjukkan adanya gangguan pada respirasi dan fungsi pengaturan ion pada individu (Vuori & Kukkonen 1996). Adanya perubahan morfologi dari insang larva Hydropsychidae berupa penghitaman warna, reduksi dari anal papilae dan insang abdominal ketika larva tersebut dipaparkan dengan menggunakan logam berat: kadmium, tembaga, aluminium (Vuori & Kukkonen 1996), dan chromium (Leslie et al. 1999). Munculnya penghitaman warna dan kelainan pada insang ini umumnya dijumpai pada larva instar terakhir atau yang lebih tua (Vuori & Kukkonen 2002). Camargo (1991) mengamati adanya gangguan berupa penonjolan dan penghitaman warna pada anal papilae dan insang abdominal pada larva Hydropsyche pellucidula yang dipaparkan dengan air yang terklorinasi. Jumlah cabang-cabang pada insang abdominal mengalami reduksi hingga menjadi potongan tunggal yang pendek. Adanya penghitaman warna insang di larva Trichoptera dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Larva Hydropsychidae yang hidup dalam kondisi normal, warna insang trachea tampak pucat (kiri) dan penghitaman warna pada bagian insang (kanan). (Disadur dari Vuori & Kukkonen 2002). Pengaruh fisik berupa gangguan pada habitat terhadap komunitas Trichoptera telah dipelajari secara mendalam oleh Camargo (1991) dan Takao et al. (2006). Takao et al. (2006) menyebutkan bahwa kecepatan aliran dan fluktuasi dari debit sungai merupakan pengendali utama dari organisasi biologi yang ada dalam sistem lotik. Tingginya arus sungai dapat menyebabkan perubahan pada populasi larva Trichoptera dengan cara menghanyutkan semua individu atau memindahkan material sedimen yang dapat menyebabkan kematian. Camargo 17 (1991) menunjukkan dampak negatif dari pembangunan dam bendungan air di Rio Duraton (Spanyol) pada komunitas Hydropsychidae berupa menurunnya kekayaan taksa, keanekaragaman spesies, dan dominansinya. Biomassa total dan kelimpahan larva Hydropsychidae juga mengalami penurunan di bawah dam secara langsung. Semakin jauh dari bangunan dam, kelimpahan total dan biomassa menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan di bagian hulu sungai. Hal ini mungkin erat kaitannya dengan peningkatan ketersediaan suplai makanan dan habitat di daerah tersebut. Kelimpahan Cheumatopsyche lepida, Hydropsyche sp. dan H. pellucidula secara signifikan menurun di bagian hilir, namun H. siltalai, H. exocellata dan H. bulbifera mengalami peningkatan secara drastis. Chakona et al. (2009) menggunakan komunitas larva Trichoptera guna mendeteksi gangguan ekosistem sungai akibat deforestasi dan aktivitas pertanian di dua daerah tangkapan (DAS) yaitu Nyaodza-Gachegache dan Chimanimani (Zimbabwe). Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya perubahan dalam komposisi genus akibat perubahan pada tata guna lahan dan geomorfologi. Genus Anisocentropus, Dyschimus, Lepidostoma, Leptocerina, Athripsodes, Parasetodes, Aethaloptera, Hydropsyche, dan Polymorphanisus keberadaannya terbatas pada daerah hutan yang belum mengalami gangguan dengan karakteristik rendahnya suhu, kekeruhan, konsentrasi silt (lanau), dan tingginya elevasi, oksigen terlarut, dan transparansi. Sedangkan kelimpahan larva Hydroptila cenderung menyukai habitat yang sudah mengalami gangguan khususnya di daerah pertanian. Hilangnya beberapa genus larva Trichoptera (Hydropsyche, Lepidostoma, Macrostemum) yang tergolong sensitif di daerah yang mengalami deforestasi kemungkinan besar disebabkan oleh berkurangnya material tanaman yang masuk pada sungai sebagai bahan makanan bagi larva tersebut maupun disebabkan rusaknya habitat akibat sedimentasi. Suhu dan pergerakan air memainkan peran penting dalam proses fisiologi pernafasan dengan mengendalikan ketersediaan oksigen terlarut. Larva Trichoptera mampu menempati habitat hampir seluruh kisaran temperatur lotik, termasuk mata air dingin dan panas. Sebagai contoh Eobrachycentrus gelidae mampu hidup di mata air pegunungan yang bersuhu 2° C. Apatania muliebris yang hanya ditemukan pada mata air yang bersuhu dingin. Pada suhu yang 18 ekstrem lainnya, Oligoplectrum echo dan Helicopsyche borealis dapat hidup pada sungai termal yang mencapai suhu 34° C atau lebih (Mackay & Wiggins 1979). Larva Trichoptera memiliki preferensi atau kekhususan tertentu terhadap kisaran kecepatan arus air. Spesies yang telah beradaptasi dengan ekosistem air mengalir dapat mengalami stress dalam respirasinya ketika ditempatkan pada air menggenang. Hewan tersebut dapat mentoleransi konsentrasi oksigen terlarut yang rendah dan suhu air yang meningkat ketika hidup dalam arus air yang mengalir secara cepat. Stimulus untuk memilin/membuat jala sangat ditentukan oleh kecepatan minimum arus air. Jala yang dibentuk untuk menangkap makanan pada arus air yang deras cenderung memiliki mata jala yang kasar dan jalinan yang kuat guna menahan kuatnya arus, berlindung terhadap predator, dan sebagai tempat untuk mengkaitkan anchor larva agar tidak hanyut. Sedangkan larva yang hidup pada arus air lambat, mata jalanya terlihat lebih halus dan berukuran besar (Mackay & Wiggins 1979). Substrat dasar sungai dapat memberikan pengaruh pada distribusi dan kelimpahan hewan avertebrata lotik dan hewan tersebut mampu merespon terhadap gangguan. Faktor yang mempengaruhi spesifikasi substrat terhadap kelimpahan atau produktivitas sekunder dari organisme makrozoobentos antara lain: ukuran partikel, kecepatan arus, kestabilan fisik, dan ketersediaan makanan. Oleh sebab itu produktivitas sekunder dari serangga akuatik dapat berubah secara signifikan pada substrat yang berbeda (Gurtz & Wallace 1986). Substrat merupakan materi yang ada di dasar sungai yang didistribusikan oleh arus air akibat erosi di daerah substrat mineral kasar dan daerah endapan sedimen halus yang banyak mengandung bahan organik. Ke dua daerah tersebut mampu mendukung tumbuhan atau alga berfilamen yang menempel pada batu yang dapat dianggap sebagai substrat pada habitat lotik. Larva Trichoptera cenderung memilih substrat kasar sebagai respon terhadap derasnya arus air daripada ukuran substrat (Mackay & Wiggins 1979). Pemilihan substrat juga didasarkan pada mekanisme feeding larva Trichoptera. Perilaku larva yang hidup di permukaan batu mungkin strategi untuk: a). mendapatkan makanan berupa diatom, lumut, Cladophora dan Podostemum, b). predator, dan c). menyaring makanan di dalam arus. Banyak spesies dari larva 19 Trichoptera menjadi pupa di bagian bawah batu. Hal ini mungkin strategi dari hewan tersebut pada saat musim panas yang rentan terhadap penurunan level air, dan perlindungan dari predator seperti ikan. Spesies lain yang hidup pada substrat yang lebih halus dapat beradaptasi dengan cara menggali lubang pada daerah yang berarus lambat dan endapan sedimen. Larva sericostomatid genus Agarodes dan Fattigia membuat liang yang portable dari bahan butiran pasir guna memberikan perlindungan dan tidak menghambat untuk melakukan penggalian. Beberapa spesies dari larva Sericostoma. tidak menggali liang dan tampak aktif di permukaan kerikil hanya pada saat malam hari (Mackay & Wiggins 1979). Tipe substrat dapat mempengaruhi kelimpahan larva Trichoptera, sehingga secara langsung akan berpengaruh pada produktivitas sekundernya. Sebagai contoh studi yang dilakukan oleh Jin & Ward (2007) pada larva Glossosoma nigrior yang hidup di sungai kecil Collier USA menunjukkan pada habitat kerikil mendukung kelimpahan dan biomassa G. nigrior secara substansial lebih besar dibandingkan dengan habitat bed rock. Pada habitat kerikil dapat mencapai ratarata kelimpahan 147 m-2 (kisaran: 0-607 m-2) dibandingkan pada bed rock dengan kelimpahan 15 m-2 (kisaran: 0-306 m-2). Rata-rata biomassa di habitat kerikil mencapai rata-rata 13 mg (kisaran: 0-39 mg AFDM m-2) dibandingkan pada bagian bed rock dengan rata-rata 3 mg, (kisaran: 0-22 mg AFDM m-2). Produktivitas sekunder larva tersebut mencapai 115 mg AFDM m–2 dengan P/B = 17,9). Fenomena berbeda ditunjukkan pada dua larva hydropsychid yaitu Parapsyche cardis dan Diplectrona modesta yang memiliki preferensi berbeda terhadap substrat. Larva hydropsychid memiliki preferensi yang kuat terhadap spesifikasi substrat antara lain ukuran partikel, kecepatan arus air, kelimpahan lumut, dan lokasi mikro substrat. Larva Trichoptera yang bertipe penyaring (filtering collector) relatif sensitif terhadap perubahan kualitas dan kuantitas makanan di sepanjang hulu sungai sebagai akibat adanya gangguan di daerah tangkapannya. Oleh sebab itu larva hydropsychid merupakan spesies yang cocok untuk pengujian terhadap perbedaan diantara sungai, produksi, dan kelimpahan dalam kaitannya dengan substrat yang spesifik. Produktivitas dan kelimpahan dari P. cardis secara signifikan lebih tinggi pada rock face > cobble riffle > kerikil > 20 pasir. Sedangkan distribusi D. modesta relatif sama diantara tipe substrat dan kadangkala sifatnya tidak stabil (kelimpahan dan produktivitas kadang kala lebih tinggi di cobble atau rock face) diantara sungai. Rendahnya kelimpahan dari D. modesta pada bagian cobble mungkin disebabkan oleh rendahnya kelimpahan lumut yang dapat berfungsi menyediakan cukupnya mikrohabitat bagi hewan tersebut dibandingkan pada bagian rock face yang relatif tebal (Gurtz & Wallace 1986). Ukuran partikel dari makanan diduga juga turut berpengaruh pada kelimpahan dan pergeseran dari spesies larva hydropsychid, walaupun pengaruh dari ukuran partikel itu sendiri hingga saat ini masih belum dapat dipahami secara pasti. Sebagai contoh produktivitas dan kelimpahan larva Hydropsyche menunjukkan lebih tinggi (2,5 g/m2/tahun dan 156 ind/m2) pada bagian hilir (1 km setelah dam) dibandingkan dengan larva Cheumatopsyche yang jauh berlimpah setelah di bawah Dam Upham Brook-Virginia (18,2 g/m2/tahun dan 2490 ind/m2). Diduga meningkatnya pertumbuhan, kelimpahan, dan produktivitas dari larva hydropsychid umumnya disebabkan oleh peningkatan makanan pada kolom air berupa fitoplankton dan zooplankton. Hal ini berkaitan dengan kemampuan dari pori-pori lubang jaring hydropsychid dalam menyaring ukuran partikel yang terhanyut pada kolom air yang semakin ke arah hilir semakin lebih kecil. Ukuran pori-pori jaring larva Hydropsyche menunjukkan lebih besar dibandingkan dengan larva Cheumatopsyche. Faktor lain yang turut mempengaruhi dalam distribusi larva hydropsychid tersebut antara lain suhu, kecepatan arus, substrat, dan interaksi biotik (Alexander & Smock 2005). 2.4. Kompleksitas Respon Tingkatan Pemaparan Logam Berat. Organisasi Biologi Terhadap Logam merkuri termasuk dalam jenis logam yang sangat beracun dan memiliki kemampuan untuk akumulasi pada makhluk hidup dan biomagnifikasi pada rantai makanan. Unsur merkuri mudah menguap dan tidak mudah larut dalam air, sehingga logam ini cenderung untuk menguap. Merkuri terdapat di seluruh alam namun demikian distribusinya tidak merata. Kandungan merkuri dalam air tanah berkisar 0,01 – 0,07 ppb, sungai dan danau 0,08 – 0,12 ppb, tanah 21 30 – 500 ppb, dan dalam batuan vulkanik antara 10-100 ppb (Keckes & Mienttinen, 1972). Toksisitas umumnya didefinisikan sebagai munculnya efek biologi yang merugikan. Biasanya satu tingkat organisasi biologi saja yang dipilih dalam mempelajari sebuah efek/pengaruh toksikan ke makhluk hidup. Toksisitas logam di alam dapat berpengaruh pada seluruh tingkat organisasi biologi (seluler hingga populasi). Toksisitas dapat melibatkan suatu reaksi penggantian dan kegagalan interaksi dari suatu mekanisme yang lebih komplek. Gambar 6 memperlihatkan urutan pengaruh toksisitas logam terhadap seluruh tingkatan organisasi biologi dari paling rendah (seluler) hingga paling tinggi (populasi). Proses detoksifikasi dan kompensasi terjadi pada masing-masing tingkat organisasi biologi. Efek merugikan dari logam terjadi ketika mekanisme kompensasi dan detoksifikasi berlebih pada pengaruh sekunder. Semakin besar pemaparan logam, maka semakin panjang reaksi ke bagan bagian bawah yang akan diproses. Biasanya reaksi kontaminasi logam spesifik paling mudah diidentifikasi pada tingkatan organisasi biologinya yang paling rendah. Kompleksitas semakin tinggi mulai dari bagan di bagian atas hingga bagan bagian bawah (Luoma 1995). Konsentrasi merkuri anorganik yang menyebabkan toksisitas akut terhadap biota avertebrata umumnya berkisar antara 5 hingga 5600 µg Hg/L, sedangkan terhadap ikan berkisar antara 150 hingga 900 µg Hg/L. Pada alga nilai LC 50 pada 24 jam antara 9 hingga 27 µg Hg/L (CCME 2002). Toksisitas kronis merkuri di avertebrata memiliki sensitivitas hampir sama dengan di ikan. Konsentrasi merkuri anorganik yang dapat menimbulkan efek (Effect concentration, EC 50 ) pada avertebrata berkisar antara 1,28 sampai 12,0 µg Hg/L. Pada ikan, nilai kronik untuk merkuri anorganik berkisar antara 0,26 sampai > 64 µg Hg/L (Niimi & Kissoon 1994). 22 Tingkat organisasi biologi Molekuler/biokimia (individu) Pengaruh sekunder Pengaruh primer Detoksifikasi - Lisosom - Metallothionin Bioakumulasi Detoksifikasi berlebih Mengubah atau mengganggu proses biokimia Fisiologi Detoksifikasi - Aklimatisasi - Adaptasi siklus reproduksi Kompensasi berlebih Stress fisiologi - Lemahnya individu - Menghambat reproduksi - Mudah stress Organisme (spesies) Detoksifikasi - Kelulushidupan pada dewasa Kompensasi berlebih Individu tidak dapat lolos hidup atau reproduksi Populasi Detoksifikasi - Rendahnya toleransi - Imigrasi - Struktur umur Kompensasi berlebih Hilangnya spesies Komunitas - Dominansi dan kelimpahan meningkat - Kekayaan taksa menurun - Ekologi feeding berubah Integritas ekologi menurun Gambar 6. Proses gangguan oleh toksisitas logam pada seluruh tingkatan organisasi biologi (Luoma 1995). 23 2.5 Kerangka Pemikiran Masuknya beban polutan dari aktivitas antropogenik di Sungai Ciliwung seperti bahan organik, logam merkuri, dan substansi lainnya dapat mempengaruhi kualitas air dan kelayakan habitat bagi kehidupan biota akuatik. Penguraian bahan organik berupa nutrien yang ada di perairan diperlukan guna pertumbuhan perifiton dan seston (plankton) guna membentuk biomassa yang berfungsi sebagai sumber makanan bagi larva Trichoptera. Kehidupan larva Trichoptera sangat dipengaruhi oleh kualitas air, ketersediaan pakan (seston), perifiton, maupun ketersediaan habitat (misalnya materi organik kasar/CPOM) yang berfungsi sebagai sarang maupun sumber energi. Adanya interaksi dari empat komponen di atas akan menentukan pola adaptasi dari larva Trichoptera yang dicirikan dari struktur komunitas dan ekologi feedingnya. Bentuk proses adaptasi dari struktur komunitas dan ekologi feeding dapat dilihat dari jumlah kekayaan taksa (genus) dan komposisinya, sifat toleran atau sensitivitasnya terhadap bahan polutan, atribut populasi, tipe kebiasaan feeding dalam mendapatkan makanan, maupun suksesnya dalam bereproduksi atau melanjutkan keturunan (produktivitas sekunder). Adanya pengelompokan stasiun pengamatan dan karakterisasi spesies indikator sepanjang gradien lingkungan dapat dibuat suatu biokriteria lokal yang didasarkan pada konsep multimetrik guna mengkategorikan status gangguan ekologi di Sungai Ciliwung. Biokriteria yang baru dihasilkan diharapkan mampu digunakan untuk evaluasi suksesnya program pengelolaan Sungai Ciliwung yang telah dilakukan. Diagram alir pendekatan dalam proses pemecahan masalah pada penelitian ini secara rinci disajikan dalam Gambar 7. 24 Gambar 7. Diagram alir pendekatan pemecahan masalah