ii. tinjauan pustaka

advertisement
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Campylobacter jejuni
Campylobacter jejuni termasuk kedalam genus Campylobacter, family
Campylobacteraceae. Pada awalnya, genus Campylobacter disebut vibrio karena bentuknya
bergelombang. Namun di awal 1970, mikroba ini diklasifikasikan dalam genus Campylobacter
(Cappucino dan Sterman 1993). Hal ini didasarkan atas temuan fakta bahwa Campylobacter
tidak dapat memfermentasikan karbohidrat selayaknya bakteri vibrio lainnya dan Campylobacter
juga mengandung basa guanin dan sitosin pada DNA-nya (Veron dan Chatelain dalam Doyle
1989). Bentuk sel Campylobacter jejuni dapat dilihat di Gambar 1.
Gambar 1. Sel Campylobacter jejuni
Enam belas spesies dan enam subspesies yang telah dikenal dalam genus
Campylobacter, dua belas diantaranya merupakan penyebab penyakit pada manusia. Bakteri
patogen ini dibagi ke dalam dua kelompok yaitu penyebab penyakit diare dan penyebab infeksi
intestinal. Penyebab penyakit diare diantaranya C. jejuni, C. coni, C. upsaliensis, C. lari dan C.
fetus, sedangkan penyebab infeksi ekstraintestinal, termasuk C. fetus dan lain-lain (Hu dan
Kopecko 2003).
Semua Campylobacter dapat tumbuh pada suhu 37 0C sedangkan spesies campylobacter
termofilik seperti C. jejuni, C. lari, dan C. coli dapat tumbuh dengan baik pada 42 oC (Hu dan
Kopecko 2003). Walaupun begitu, ada beberapa perbedaan karakter antara C. jejuni dan C. coli
yaitu C. jejuni tidak dapat tumbuh pada suhu 30.5 0C, dapat menghidrolisis hippurate, sensitif
terhadap 2,3,5 triphenyltetrazolium chloride (TTC), sedangkan C. coli memiliki karakter yang
berkebalikan. Pada media pertumbuhan, semua Campylobacter tumbuh dengan baik pada pH
5.5-8.0 dan keberadaan NaCl 1.75%. Nilai pH optimum untuk pertumbuhan C. jejuni yaitu pada
kisaran 6.5-7.5 dan tidak tumbuh pada pH dibawah 4.9 (Stern et al. 1992).
Campylobacter lebih sensitif daripada bakteri patogen lain terhadap kondisi kering,
panas, asam, disinfektan dan radiasi. Campylobacter dapat bertahan pada suhu diatas 15 0C
selama beberapa hari. Menurut McClure dan Blackburn (2003) umumnya Campylobacter tidak
dapat bertahan sebaik bakteri patogen lain seperti Salmonella. Bakteri ini dapat bertahan lama
dalam makanan yang disimpan pada suhu 4-7 0C, tetapi tidak tumbuh pada suhu pembekuan.
Campylobacter termasuk ke dalam bakteri gram negatif, memiliki karakteristik
mikroaerofilik, batang melengkung, dan sangat motil. Campylobacter sering ditemukan di air
dan dari pangan hewani seperti unggas. Campylobacter awalnya dikenal sebagai bakteri yang
menyebabkan infeksi pada sistem dan aborsi pada domba, sapi dan hewan ternak, dan kini telah
diketahui bahwa bakteri ini adalah bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi pada sistem
pencernaan manusia. Dari berbagai macam spesies Campylobacter, satu spesies yang paling
sering dihubungkan dengan penyakit pada manusia adalah Campylobacter jejuni (Banwart
1989).
Campylobacter jejuni merupakan bakteri komensal dalam saluran usus unggas.
Campylobacter pada usus ayam sekitar 107 koloni/gram sehingga organisme ini sering
ditemukan pada karkas ayam (Stern dan line 2000). Campylobacter jejuni bersifat obligat
mikroaerofilik (optimum pada 5% O2, 10% CO2, dan 85% N2). Bakteri ini bersifat oksidase
positif, katalase positif dan nilai pH optimum pertumbuhan bakteri adalah 6.5-7.5. Adanya
oksigen akan meningkatkan kematian spesies ini. Bakteri ini juga memiliki antigen O yang stabil
panas, peka terhadap udara, pengeringan dan panas (Stern dan Line 2000).
Campylobacter jejuni mudah mengalami perubahan morfologi dari bentuk batang
bergelombang menjadi bentuk kokus karena sifatnya yang sensitif. Perubahan bentuk morfologi
ini mudah terjadi jika kondisi lingkungan tinggi kadar oksigennya dan saat Campylobacter jejuni
telah memasuki fase stasioner pertumbuhannya. Pada saat Campylobacter jejuni memasuki fase
stasioner, maka bakteri ini sulit diisolasi karena sifatnya berubah menjadi non-culturable dan
bentuknya menjadi kokus (Doyle 1989).
B. CAMPYLOBACTERIOSIS
Campylobacteriosis merupakan infeksi yang disebabkan bakteri Campylobacter.
Menurut Hu dan Kopecko (2003) Campylobacter dapat menyebabkan infeksi di dalam usus
(Gastrointestinal) maupun diluar usus (ekstraintestinal). Gejala infeksi gastrointestinal adalah
demam, keram perut, dan diare yang diikuti mual-mual selama 2-5 hari setelah mengonsumsi
makanan yang terkontaminasi bakteri ini. Waktu menderita infeksi bisa antara 1 sampai 3 hari,
tetapi kemungkinan berakhir selama 3 minggu (Banwart 1989).
Infeksi ekstraintestinal yaitu bakterimia (bakteri berada dalam darah). Kasus bakterimia
akibat Campylobacter jejuni terjadi sekitar 1.5 dari 100 kasus infeksi gastrointestinal (Hu dan
Kopecko 2003). Menurut McClure dan Blackburn (2003), kasus campylobacteriosis kronik ini
mencapai 2 sampai 10% yang meliputi arthritis, meningitis, cholecystitis, erythremea nosodum,
endocarditis, keguguran, dan neonatal sepsis. Selain itu, Campylobacter jejuni diketahui sebagai
faktor penyebab GBS (Guillan-Barne Syndrome). GBS adalah penyakit akibat tidak
berfungsinya system syaraf pusat sehingga menimbulkan kelumpuhan badan dari kaki ke atas.
GBS terjadi sekitar 30 kasus dari 1000 kasus infeksi Campylobacter jejuni. Menurut Altekruse et
al. (1999), diperkirakan 20% penderita GBS hidup dengan kelumpuhan dan diperkirakan 5% nya
meninggal.
Spesies Campylobacter mempunyai kemampuan menginfeksi yang tinggi, sekitar 50010.000 sel Campylobacter dapat menyebabkan infeksi (Stern et al. 1992). Namun hal ini tidak
mutlak, karena tergantung juga dengan jenis Campylobacter, kerusakan sel akibat tekanan
kondisi lingkungan, dan ketahahan inangnya (BAM 2001). Lima spesies Campylobacter yang
bersifat patogen pada manusia diantaranya adalah Campylobacter jejuni, Campylobacter coli,
Campylobacter laridis, Campylobacter fetus, dan Campylobacter pylori. Spesies yang dikaitkan
4
dengan infeksi pada manusia adalah Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli yang
disebarkan melalui makanan, air, dan susu yang terkontaminasi (Cliver 1990).
Campylobacter jejuni diduga sebagai penyebab utama infeksi yaitu sekitar 80-90%
kasus campylobacteriosis. Bakteri ini merupakan bakteri sporadic penyebab foodborne disease.
Campylobacter coli bertanggung jawab sekitar 7% kasus campylobacteriosis pada manusia,
tetapi di beberapa daerah (seperti Afrika Tengah dan Zagreb) kasus tersebut berkisar 35-40%.
Sementara Campylobacter upsaliensis dan Campylobacter lari bertanggung jawab sekitar 1%
kasus campylobacteriosis pada manusia (Mcclure dan Blackburn 2003).
Pada kebanyakan pasien yang menderita campylobacteriosis, kebanyakan sifatnya
adalah sporadis dan jarang sekali akibat tertular dari manusia yang terinfeksi (Altekruse et al.
1998). Umumnya, manusia yang terinfeksi Campylobacter mendapatkan gejala seperti muntah,
sakit perut, diare, demam, sakit kepala, dan sakit punggung, dan jika sudah akut dapat
menyebabkan kematian. Menurut Skirrow dalam Doyle (1989), diketahui bahwa setengah dari
pasien yang terinfeksi Campylobacter berumur 15-44 tahun, dan dari yang setengah itu
didominasi oleh anak-anak muda.
Bakteri Campylobacter paling banyak diisolasi dari daging unggas khususnya ayam.
Hal ini didasarkan pada data yang menyebutkan bahwa hampir 98% bakteri Campylobacter
jejuni ditemukan pada karkas ayam dengan jumlah bakteri melebihi 103 CFU per jaringan
(Altekrus et al. 1999). Penanganan unggas mentah dan konsumsi daging unggas yang belum
matang sempurna menjadi faktor risiko utama penyebab campylobacteriosis (Kapperud et al.
1992). Selain itu, pengkonsumsian susu mentah, susu yang mengalami pasteurisasi tidak
sempurna, pengkonsumsian air yang tidak terklorinasi, serta kontaminasi silang pada persiapan
bahan pangan juga dapat menjadi penyebab lain infeksi bakteri ini.
Ayam merupakan salah satu sumber infeksi Campylobacter jejuni pada manusia karena
ayam merupakan reservoir Campylobacter jejuni (Rosenthal 1999 dalam Andriani et al. 2006).
Kejadian Campylobacteriosis pada ayam broiler berhubungan dengan penularan atau penyebaran
Campylobacter jejuni dalam karkas sebagai sumber infeksi pada manusia. Campylobacter jejuni
yang terdapat pada ayam hidup dapat menyebabkan kontaminasi pada karkasnya serta produk
bahan pangan ayam yang terjadi selama proses pengolahan. Keberadaan Campylobacter jejuni
yang terdapat pada ayam hidup dapat menyebabkan koontaminasi pada karkasnya serta semua
produk bahan pangan ayam yang terjadi selama proses pengolahan.
Keberadaan Campylobacter jejuni pada karkas ayam yang sangat tinggi merupakan
indikasi tentang kondisi lingkungan disekitar karkas. Menurut Bailey (1993), pada peternakan
ayam yang terinfeksi oleh Campylobacter jejuni, 50% dari ayam tersebut akan membawa
Campylobacter jejuni sampai ayam dipotong.
Campylobacter jejuni sering diisolasi dari penderita diare, dan lebih banyak tingkat
isolasinya daripada Salmonella. Prevalensi infeksi Campylobacter jejuni pada beberapa kampus
di Amerika Serikat adalah 10-46 kali lebih tinggi jumlahnya daripada infeksi Salmonella dan
Shigella. Beberapa kasus infeksi Campylobacter jejuni juga telah dilaporkan di beberapa negara,
misalnya di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 2,5 juta penderita campylobacteriosis dan 124
penderita meninggal setiap tahunnya (Hu dan Kopecko 2003). Di Irlandia, 2.085 laboratorium
mengkonfirmasi kasus campylobacteriosis pada tahun 1999 dan pada tahun 2000 tercatat 1.613
laboratorium menemukan kasus penyakit akibat terinfeksi Campylobacter (Whyte dan Igeo 2000
dalam Whyte et al. 2004). Swedish Institute for Infection Disease Control melaporkan sekitar
7.106 kasus campylobacteriosis terjadi di Swedia, dengan 77.45 kasus setiap 100.000 populasi.
Di Jepang dilaporkan terjadi 2.648 orang terinfeksi ketika terjadi wabah keracunan pangan yang
5
disebabkan oleh Campylobacter dengan sumber infeksi dari konsumsi hewan ternak (Ono K dan
Yamamoto K 1998) sedangkan di Indonesia, dari 2.812 penderita diare sekitar 3.6% nya
disebabkan oleh C. jejuni (Tjaniadi et al. 2003).
Tabel 1. Bakteri patogen yang diisolasi dari penderita diare yang dirawat di rumah sakit di
beberapa kota Indonesia (Tjaniadi et al. 2003).
Bakteri teridentifikasi
Persentase kasus
Vibrio cholerae O1
37.1%
Shigella spp
27.3%
Salmonella spp
17.7%
V. parahaemolyticus
7.3%
Salmonella typhi
3.9%
Campylobacter jejuni
3.6%
V. cholera non-O1
2.4%
Salmonella paratyphi A
0.7%
Di negara berkembang seperti Bangladesh, Indonesia, Gambia dan Meksiko penderita
infeksi Campylobacter jejuni terbesar terjadi pada anak-anak dibawah umur lima tahun (Hu dan
Kopecko 2003).
C. MIKROBIOLOGI DAGING AYAM
Daging dan produk-produk daging sangat mudah rusak. Kerusakan daging terutama
disebabkan oleh aktivitas mikroba. Hal ini menandakan mikroba merupakan sumber kontaminan
bagi daging. Pada dasarnya, jaringan hewan sehat umumnya bebas dari bakteri pada saat
dipotong, tetapi ketika diperiksa, daging segar pada tingkat penjual retail selalu ditemukan
berbagai jenis dan jumlah mikroorganisme (Jay 1997). Sumber kontaminasi mikroba pada
daging segar berasal dari pisau pemotong, bagian yang tersembunyi dari daging, saluran
pencernaan, tangan manusia, wadah penanganan, dan penyimpanan.
Sumber utama pencemaran karkas dalam industri daging adalah hewan itu sendiri
(Gracey 1986 dalam Noor 2003). Mikroflora yang terdapat pada karkas ayam tidak terlepas dari
mikroflora yang terdapat pada ayam tersebut ketika masih hidup dan terjadi berbagai perubahan
pada berbagai tahapan proses pemotongan.
Mikroba yang mencemari daging dapat berupa mikroorganisme pembusuk dan dapat
pula mikroba patogen. Mikroba pembusuk akan menurunkan mutu dan kelayakan daging serta
berpengaruh terhadap nilai ekonomis seperti Staphylococcus epidermitis, Pseudomonas
nigrificans, dan sebagainya. Sedangkan mikroba patogen yang dapat menyebabkan foodborne
disease seperti Salmonella, Escherecia coli 017:H7, Campylobacter jejuni, Listeria
Monocytogenes, Clostridium perfringens, dan Staphylcoccus aureus (Dreesen 1998). Prevalensi
dari enam bakteri patogen tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
6
Tabel 2. Prevalensi (%) dari 6 bakteri patogen terhadap manusia dari karkas ayam
Bakteri patogen
Prevalensi
Campylobacter sp.
0-100
Clostridium perfringens
63
Eschericia coli 0157:H7
1,5
Ssalmonella sp
0-100
Staphylococcus aureus
88
Listeria monocytogenenes
5
Sumber : ICGFI (1999)
Menurut Poeloengan dan Noor (2003), Campylobacter jejuni mengkontaminasi karkas
ayam bagian punggung hingga tunggir lebih tinggi jika dibandingkan dengan bagian dada, paha,
dan hati-ampela ayam. Hal ini terjadi dimungkinkan karena pada waktu memproses ayam mulai
dari pengulitan bulu sampai eviserasi sangat mudah sekali terjadi kontaminasi dari saluran
pencernaan. Batas maksimum cemaran mikroba pada produk daging telah ditetapkan di SNI No
01-6366-2000, dimana batas maksimum untuk Campylobacter jejuni adalah 0 koloni/gram (BSN
2000). Batas maksimum cemaran mikroba pada daging dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Batas maksimum cemaran mikroba pada produk daging
Batas maksimum cemaran mikroba
(Koloni /gram)
Jenis Cemaran
Daging segar/beku
Daging tanpa tulang
Jumlah total mikroba
1 x 10
4
1 x 104
Koliform
1 x 102
1 x 102
Escherecia coli (*)
5 x 101
5 x 101
Enterococci
1 x 102
1 x 102
Staphylococcus aureus
1 x 102
1 x 102
0
0
Salmonella sp (**)
Negatif
Negatif
Campylobacter sp
0
0
Listeria sp
0
0
Clostridium sp
Sumber : BSN (2000)
Keterangan : (*) dalam satuan MPN/gram; (**) dalam satuan kualitatif
C. jejuni merupakan bakteri komensal dalam saluran usus unggas. Kejadian
campilobacteriosis pada ayam broiler yang berhubungan dengan penularan atau penyebaran C.
jejuni yang terdapat pada ayam hidup dapat menyebabkan kontaminasi pada karkasnya serta
produk bahan pangan ayam yang terjadi selama proses pengolahan.
7
D. KAJIAN RISIKO DAN KAJIAN PAPARAN
Risiko adalah fungsi dari kemungkinan terjadinya efek buruk terhadap kesehatan dan
tingkat keparahan dari efek tersebut (Forshyte 2002). Analisis risiko merupakan perkembangan
terbaru dalam sistem keamanan pangan. Analisis resiko terdiri dari tiga komponen, yaitu:
1) Kajian risiko untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhinya, 2) manajemen risiko
utuk mengetahui bagaimana risiko dikendalikan atau dicegah; dan 3) komunikasi risiko.
Hubungan ketiga komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Kajian risiko adalah suatu proses penentuan risiko berlandaskan pada data-data ilmiah.
Kajian risiko dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kajian risiko secara kualitatif dan kajian risiko
secara kuantitatif. Kajian risiko secara kualitatif adalah kajian deskripif atau merupakan
penetapan kategori risiko berdasarkan informasi-informasi yang tersedia. Keluaran yang
diperoleh biasanya dinyatakan dalam kategori risiko tinggi, sedang, rendah, atau risiko yang
dapat diabaikan. Penetapan risiko kualitatif merupakan penetapan besarnya risiko atau sumber
bahaya pada suatu jenis pangan berdasarkan kategori-kategori risiko.
Kajian risiko
(Scientific)
Manajemen
risiko
(Kebijakan)
Komunikasi Risiko
Pertukaran Informasi dan
opini
Gambar 2. Komponen Analisis risiko (Forshyte 2002)
Kajian risiko kuantitatif adalah kajian yang didasarkan pada analisis data numerik.
Kajian risiko harus memisahkan antara ketidakpastian (karena adanya kekurangan data,
informasi atau pengetahuan) dari keragaman (karena faktor seperti variasi biologis), dan harus
dideskripsikan dengan transparan (Kusumangingrum 2004). Kajian analisis secara kuantitatif
meupakan analisis matematis terhadap data-data numerik. Analisis matematis ini terdiri atas
metode-metode statistika yang dibangun atas adanya ketidakpastian dan adanya keragaman dari
analisis yang dilakukan.
Keluaran yang dihasilkan dari suatu kajian risiko kuantitatif berupa perkiraan risiko
yang meliputi peluang dan keparahan sakit yang disebabkan oleh mengkonsumsi pangan yang
mengandung bahaya, yang dinyatakan misalnya dalam jumlah kejadian luar biasa per tahun,
jumlah yang sakit per tahun atau per populasi tertentu, atau jumlah yang sakit per jumlah porsi
tertentu. Kajian risiko kuantitatif dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang lebih
detil daripada kajian risiko kualitatif.
8
Ching (2009) menjelaskan bahwa secara umum ada dua pendekatan yang dapat
digunakan dalam kajian risiko secara kuantitatif, yaitu pendekatan secara deterministic dan
pendekatan secara probabilistic (stochastic). Pendekatan secara deterministic merupakan
pendekatan untuk mengkuantifikasi risiko dalam suatu nilai tertentu, sedangkan pendekatan
secara probabilistic merupakan pendekatan untuk mengkuantifikasi risiko dalam suatu interval
tertentu.
Kajian risiko dimulai dengan penetapan tujuan dilanjutkan dengan identifikasi bahaya,
kajian paparan, karakterisasi bahaya, karakterisasi risiko, dan diakhiri dengan penulisan laporan
resmi. Suatu kajian risiko yang baik pada umumnya juga mendeskripsikan analisis skenario dan
analisis sensitivitas. Kerangka langkah-langkah risiko dapat dilihat pada Gambar 3.
Kajian paparan adalah evaluasi secara kualitatif dan/atau kuantitatif terhadap
kemungkinan asupan agen-agen biologi, kimia, dan fisik melalui pangan atau sumber lain yang
relevan. Kajian paparan menentukan kemungkinan pengonsumsian dan kemungkinan dosis
patogen yang mungkin terpapar pada konsumen melalui pangan. Kajian paparan terhadap agen
mikrobial didasarkan pada potensi terkontaminasinya pangan oleh agen tersebut atau toksinnya,
dan didasarkan juga pada informasi yang berhubungan dengan pangan. Jika memungkinkan, data
prevalensi dan konsentrasi bahaya dapat digunakan (Summer 2002).
Forshyte (2002) menjelaskan bahwa kajian paparan adalah bagian paling kompleks dari
kajian risiko. Pada kajian paparan, evaluasi dilakukan tehadap bahaya mikrobiologis yang
terdapat dalam produk pangan pada waktu dikonsumsi. Kajian paparan menyediakan pandangan
ilmiah terhadap keberadaan bahaya pada produk yang dikonsumsi. Proses ini menggabungkan
informasi ketersediaan dan konsentrasi mikroba dalam suplai pangan konsumen dan lingkungan,
dan kemungkinan jumlah bervariasi dalam pangan. Pada kajian paparan, Faktor-faktor yang
terlibat pada tahap ini antara lain meliputi ekologi mikroba pada pangan, tingkat kontaminasi
awal bahan mentah, prevalensi infeksi, variabilitas proses dan kontrol proses, serta metode dan
kondisi pengemasan, distribusi dan penyimpanan pangan.
Respon dari sebuah populasi manusia terhadap paparan penyakit sangat bervariasi,
mencerminkan fakta bahwa kejadian penyakit tergantung pada berbagai faktor seperti
karakteristik virulensi patogen, jumlah sel tertelan, dosis kesehatan umum dan kekebalan tubuh
status inang, dan atribut dari makanan yang mengubah mikroba. Dengan demikian, kemungkinan
bahwa setiap individu akan menjadi sakit akibat paparan patogen dari makanan tergantung pada
integrasi dari host, patogen, dan efek makanan matriks. Interaksi ini sering disebut sebagai
segitiga penyakit menular.
Untuk menentukan hubungan antara tingkat paparan (dosis) terhadap patogen dengan
keparahan dan/atau frekuensi pengaruh buruk terhadap kesehatan (respon) dilakukan kajian
dosis-respon. Dari kajian ini juga dapat dihitung peluang infeksi akibat konsumsi suatu produk
pangan. Data yang digunakan dalam kajian dosis respon dapat berasal dari studi pada manusia
secara sukarela, statistik kesehatan masyarakat, dan data kejadian luar biasa dan hewan
percobaan (Kusumaningrum 2004).
Produk pangan pada umumnya tercemar oleh mikroba dalam jumlah yang rendah,
sedangkan pada uji laboratorium (hewan percobaan maupun pada manusia secara sukarela) pada
umumnya digunakan dosis yang relatif tinggi. Oleh karena itu diperlukan model matematis untuk
mengekstrapolasi data yang berasal dari data dosis tinggi ke respon dengan dosis rendah.
Beberapa model dosis-respon sudah diusulkan untuk mendeskripsikan hubungan antara
tertelannya (ingestion) sejumlah tertentu mikroba patogen dan kemungkinan terjadi akibatnya.
Model utama yang sering digunakan adalah eksponensial dan beta-Poisson.
9
Penetapan Tujuan
Identifikasi bahaya




Karakteristik mikroba
Masalah akhir : Infeksi/keracunan makanan,
mortalitas
Epidemiologi
Kejadian luar biasa
Kajian Paparan
Karakterisasi Bahaya
Data
-Pola konsumsi pangan
-Tingkat pencemaran
Pangan
-laju Pertumbuhan
-Waktu Simpan
-Suhu simpan
Modelling
- Tingkat pencemaran
pangan di pengecer
- Pertumbuhan antara
pembelian &konsumsi
- Inaktivasi panas
- Tingkat cemaran pada
saat konsumsi pangan
Data
-Virulensi patogen
-Kerentanan populasi
-Jejaring surveilan
pangan
Modelling
- Dosis-respon pada
tikus
- Faktor penyesuai
- Kurva dosis respon
untuk 3 subpopulasi
Karakterisasi resiko
-Resiko per penyajian
-Resiko per tahun
-Ranking resiko
-Grafik ketidak pastian
Skenario intervensi
- Suhu penyimpanan
- Waktu penyimpanan
- Frekuensi kontaminsi
- dan lain-lain
Gambar 3. Kerangka kajian risiko
Persamaan model eksponensial adalah Pi = 1- exp (-r x N). Dengan Pi adalah peluang
terjadinya infeksi, r adalah peluang interaksi dengan inang, dan N adalah jumlah mikroba yang
tertelan. Sementara model beta-poisson memiliki persamaan PI = [1-(1+N/β)]-α. Dengan Pi
adalah peluang terjadinya infeksi, N adalah jumlah mikroba yang tertelan, serta α dan β adalah
parameter spesifik untuk patogen. Parameter r, α, dan β bervariasi untuk setiap patogen. Untuk
Campylobacter jejuni nilai r yang diusulkan oleh Medema et al. (1996) adalah 3.52x10-6 dan
nilai α dan β yang disusulkan oleh Teunis dan Havelaar (2000) berturut-turut adalah 0.145 dan
7.589. FAO/WHO (2001) juga telah menetapkan nilai α dan β untuk Campylobacter jejuni yaitu
α=0.21 dan β=59.95.
10
Pada persamaan beta-Poisson, nilai α dan β adalah parameter dosis dan respon yang
ditetapkan oleh tingkat infektivitas organisme, nilai β lebih besar dari α (Furumoto dan Mickey
1967 dalam Medema 1996). Nilai α dan β ditetapkan berdasarkan kurva relasi dosis-respon
antara dosis rata-rata yang diberikan dan peluang terjadinya infeksi. Nilai α menunjukkan
parameter slope dari kurva sedangkan nilai β adalah parameter skala. Perubahan nilai
β menyebabkan hubungan dosis-respons pada model Beta Poisson akan bergeser sepanjang
sumbu dosis (sumbu x), tanpa merubah bentuk kurva (Teunis dan Havelaar 2000).
Model beta-Poisson memberikan hasil yang tepat dengan data dosis-respon dari
sejumlah bakteri enteropatogenik dan virus, sementara model eksponensial biasa digunakan
dalam mengkaji protozoa enteroparasitik pada manusia. Model beta-Poisson didasarkan pada
asumsi bahwa mikroorganisme dalam inokulum atau bahan pangan terdistribusi secara acak
sesuai pola distribusi Poisson dan kemungkinan organisme masuk ke dalam saluran intestinal
dan menyebabkan infeksi diasumsikan dengan distribusi beta (Haas 1993).
Karakterisasi bahaya adalah evaluasi secara kualitatif dan/atau kuntitatif terhadap efek
merugikan yang diasosiasikan dengan agen biologi, kimia dan fisik yang mungkin ada pada
pangan (Forshyte 2002). Summer (2002) menjelaskan bahwa karakterisasi bahaya diperoleh
dengan mengumpulkan informasi perilaku bahaya dan asupan bahaya yang kemungkinan
menyebabkan sakit.
Karakterisasi risiko adalah integrasi dari tiga langkah sebelumnya (identifikasi bahaya,
kajian pemaparan, karakterisasi bahaya) untuk memperoleh dugaan risiko yang mungkin terjadi
dan tingkat keparahan dari efek buruknya terhadap suatu populasi, yang disertai adanya
ketidakpastian (Forshyte 2002). Umumnya pada karakterisasi risiko akan diperoleh suatu
perkiraan risiko (risk estimate) tentang kemungkinan dan keparahan pengaruh buruk pada suattu
populasi termasuk adanya ketidakpastian, berdasarkan hasil dari identifikasi bahaya,
karakterisasi bahaya dan kajian pemaparan. Hasil kajian risiko harus secara jelas
mengidentifikasi gap data yang penting, asumsi dan ketidakpastian utnuk menolong manajer
risiko menilai kedekatan karakterisasi risiko yang dideskripsikan denan kenyataan yang terjadi
(Kusumaningrum 2004). Pada perkiraan kuantitatif peluang kejadian dan pengaruh buruk
terhadap kesehatan dalam suatu populasi, umumnya diperkirakan dengan menggunakan model
matematik.
Pada model kajian risiko deterministik, pada umumnya digunakan perkiraan tungggal
sebagai data input, sedangkan pada model stokhastik (probabilistik) umumnya menggunakan
sebaran distribusi dari nilai-nilai data. Pada pendekatan probabilistik, data sebaran distribusi
kemudian dianalisis lebih lanjut dengan simulasi Monte Carlo, yang merupakann proses
berulang sampai dengan ribuan simulasi (umumnya 10.000 simulasi). Pada setiap ulangan, suatu
nilai diambil untuk setiap parameter dari sebaran yang telah ditentukan, sehingga hasil simulasi
juga merupakan suatu sebaran. Analisis distribusi probabilitas tersebut akan menghasilkan suatu
disribusi risiko dalam suatu populasi.
Selanjutnya pada kajian risiko sering dilakukan analisis skenario terhadap beberapa
skenario yang mungkin terjadi. Salah satu analisis yang sering digunakan adalah ‘apa yang
terjadi jika’ (What if scenario). Beberapa skenario ditentukan, kemudian dikaji dengan simulasi
Monte Carlo, untuk mendapatkan satu skenario yang paling baik yang digunakan untuk
memenuhi jawaban yang telah disusun oleh manajemen risiko ( Kusumaningrum 2004).
Kajian risiko bersifat spesifik untuk suatu kombinasi mikroorganisme dengan jenis
pangan tertentu. Foshyte (2002) menyebutkan bahwa beberapa kajian risiko yang telah
dilakukan, yang secara spesifik memfokuskan pada kombinasi suatu bakteri dengan pangan
11
tertentu, seperti risiko Bacillus cereus pada susu pasteurisasi, Salmonella pada produk daging
ayam, Escherechia Coli 0157:H7 pada daging cincang, dan Salmonella enteridis pada produk
telur.
E. PEMANGGANGAN
Pemanggangan adalah metode pemasakan dengan menggunakan udara panas, api
terbuka, oven, atau sumber panas lainnya. Pemanggangan umumnya menyebabkan karamelisasi
atau reaksi maillard pada permukaan bahan yang dipanggang sehingga menimbulkan flavor yang
khas. Pemanggangan adalah metode memasak yang lama. butuh waktu setengah sampai tiga jam
untuk mematangkan daging tergantung dari jenis dan jumlah daging yang dipanggang. Proses
pemanggangan lebih banyak menggunakan panas tidak langsung, panas terdifusi (seperti pada
oven), dan cocok untuk memasak daging dalam bentuk besar dan utuh (Blaisdell 2002).
Produk biasa ditempatkan pada rak, loyang pemanggang, atau pada sebuah alat
pemanggang yang dapat memutar untuk memastikan aplikasi panas terpapar pada permukaan
produk secara merata. Pada oven, udara panas mengalir secara merata di sekitar permukaan
daging dan mematangkannya.
Tujuan umum dari pemanggangan adalah mempertahankan kadar air sebanyak
mungkin agar mendapatkan tekstur dan aroma yang diinginkan, sehingga pada saat proses
pemanggangan seringkali produk ditambahkan mentega untuk mengurangi kehilangan air akibat
penguapan. Sehingga dibutuhkan pula kombinasi waktu dan suhu yang tepat untuk membunuh
mikroba yang terdapat pada produk. Alat yang biasa digunakan untuk memanggang adalah oven,
oven didefinisikan sebagai ruang termal terisolasi yang digunakan untuk memanaskan,
memanggang atau mengeringkan suatu zat. Beberapa jenis oven yang dikenal antara lain oven
bakar dengan api dibawahnya yang bisa berasal dari kayu atau kompor, oven gas dengan sumber
panas dari pembajaran gas, oven listrik dengan elemen pemanas dengan sumber listrik, dan oven
gelombang mikro (microwave oven).
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pemanggangan terhadap mutu
mikrobiologi dan sensori produk antara lain jenis bahan, suhu pemanggangan, lama waktu
pemanggangan, jenis alat pemanggang, dan metode pemanggangan. USDA telah mengeluarkan
rekomendasi suhu dan waktu proses pemanggangan untuk mereduksi jumlah mikroba dalam
produk daging, misalnya suhu internal pemanggangan daging setidaknya adalah 71 0C
(Whittington dan Waldron 2010). Rekomendasi serupa juga dikeluarkan oleh FDA untuk
menginaktivasi virus dan bakteri patogen selama proses pengolahan.
Pada suhu yang sama, maka waktu pemanasan lebih besar pengaruhnya terhadap
kematian sel mikroorganisme. Tetapi yang lebih besar pengaruhnya sebenarnya adalah suhu
pemanasan, dimana suhu pemanasan yang semakin tinggi lebih besar pengaruhnya terhadap
kematian sel. Pada suhu yang lebih tinggi, waktu pemanasan yang diperlukan untuk membunuh
sejumlah sel semakin singkat.
F. AYAM PANGGANG
Ayam merupakan salah satu opsi sumber pemenuhan kebutuhan protein hewani
masyarakat Indonesia. Konsumsi daging ayam per tahun masih lebih besar dari pada konsumsi
daging sapi. Konsumsi daging ayam per tahun sebesar 4.8 Kg per kapita per tahun sementara
12
konsumsi daging sapi sebesar 1.7 Kg per kapita per tahun. Walaupun konsumsi daging ayam
masyarakat Indonesia masih sangat rendah dibanding beberapa negara berkembang lainnya yaitu
23 Kg per kapita per tahun, akan tetapi tingkat permintaan nasional terhadap daging ayam terus
meningkat 7% per tahun.
Karkas ayam merupakan produk yang rentan oleh kontaminasi mikroorganisme seperti
Staphylocooccus eperimidis, Pseudomonas nigrificans, Salmonella, Clostridium perfringens,
Staphylococcus aureus, dan Campylobacter jejuni. Keberadaan mikroorganisme ini dapat
menurunkan mutu kelayakan daging dan berpengaruh terhadap nilai ekonomis. Bahkan beberapa
dapat menyebabkan foodborne disease yang bisa berakibat fatal.
Untuk menurunkan jumlah kontaminasi mikroba di produk ayam, dan menaikkan
kualitas sensori daging ayam, masyarakat biasa mengolah daging ayam dengan berbagai metode
menjadi produk matang seperti ayam bakar, ayam goreng, ayam panggang, dan ayam bumbu.
Preferensi terbesar masyarakat masih terhadap ayam goreng yaitu sebesar 72%, sementara ayam
bakar dan ayam panggang berturut turut adalah 6.2% dan 1.5% (Basuki 2011).
Pengolahan ayam bakar berbeda dengan ayam panggang. Ayam bakar (grill)
menggunakan api langsung dengan bantuan alat pegangan seperti jeruji sementara ayam
panggang (roasted) menggunakan api/panas tidak langsung yang biasanya di lakukan dalam
oven, diatas wajan tanpa minyak/sedikit minyak. Pada proses pembakaran, panas/suhu lebih sulit
dikontrol karena berkaitan dengan api langsung, sementara dengan pemanggangan suhu relatif
lebih mudah di atur karena menggunakan termokopel di oven.
Suhu standar yang biasa digunakan untuk memanggang adalah 170 0C, namun suhu
yang ideal (set point) dapat bervariasi plus atau minus 25 0C tergantung pada bagian daging yang
dipanggang. Pada suhu yang lebih rendah, waktu matang akan semakin lama, tetapi
menghasilkan flavor yang lebih terasa, mempertahankan lebih banyak air, dan lebih sedikit
mengalami penyusutan (Pepin 1979).
Pada proses pemanggangan daging terjadi perubahan kimia yang memmpengaruhi
penampilan, rasa, tekstur, penyusutan, kematangan, dan kemunculan flavor. Efek pertama yang
terjadi saat pemanggangan adalah protein otot menyusut dan kehilangan kandungan airnya.
Ketika daging dipanaskan, protein otot akan terkoagulasi dan menyusut. Mekanisme ini
kemudian menekan air keluar dari jaringan. Semakin lama daging dipanaskan, semakin banyak
pula air yang tertekan ke luar. Ini pula yang menyebabkan matang dan kering menjadi identik.
Kehilangan air selama proses pemanggangan lewat penguapan ataupun hilang bersama
dengan lemak intramuskular, menentukan kadar juiciness daging tersebut, jumlah penyusutan
dan porsi rendemen berat dapat dimakan dari produk. Oleh karena itu, sebuah termometer biasa
digunakan untuk mengukur suhu internal daging yang dimasak. Oleh karena itu keadaan
overcooking, yang dapat menyebabkan produk akhir terlalu kering dan keras, dapat dihindari
namun keamanan dari kontaminasi mikroba tetap terjaga.
Panas yang didapatkan pada saat proses pemanggangan berlangsung juga dapat
mempengaruhi pigmentasi daging dan perubahan warnanya. Pada daging sapi misalnya, dari
warna daging mentah yang kemerahan berubah menjadi merah muda dan kemudian kecokelatan
abu-abu selama suhu naik dari 125 0F ke 165 0F karena adanya oksidasi myoglobin. Untuk
daging ayam, perubahan terjadi dari warna putih-merah muda menjadi kecokelatan. Selama
proses pemanggangan jaringan ikat akan menjadi lembut dan protein kolagen terkoagulasi. Panas
juga menyebabkan lemak mencair dan terjadinya proses pencokelatan yang menyebakan
munculnya flavor (Lee 1983).
13
Download