G11ean_BAB I Pendahuluan

advertisement
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diare adalah suatu gejala yang ditandai
dengan meningkatnya frekuensi buang air besar
lebih dari tiga kali dalam sehari disertai dengan
perubahan bentuknya menjadi lebih cair
(Harianto 2004). Diare merupakan salah satu
masalah kesehatan di dunia dan menjadi
penyebab kematian khususnya di negara-negara
yang sedang berkembang. Di dunia, kematian
yang disebabkan oleh diare mencapai empat juta
kasus dan di India kematian karena diare sebesar
17% setiap tahunnya (Das et al. 2007). Di
Indonesia, diare merupakan penyebab kematian
nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi,
dan nomor lima pada semua usia (PIOGAMA
2007). Kematian yang disebabkan oleh diare
dari 15 propinsi di Indonesia pada tahun 2008
adalah sebesar 2,48% (DEPKES 2009).
Diare dapat disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme patogen (bakteri, virus, dan
parasit). Selain itu, diare juga dapat disebabkan
karena malabsorpsi makanan, alergi, dan
tekanan osmotik (Mouzan 1995; Harianto
2004). Diare infeksi terjadi melalui mekanisme
produksi toksin dan invasi oleh mikroorganisme
patogen. Beberapa mikroorganisme patogen
dapat menghasilkan enterotoksin yang dapat
menstimulasi sekresi cairan dan menurunkan
proses absorpsi garam dan air di dalam usus.
Selain itu, beberapa mikroorganisme mampu
menyebabkan diare melalui mekanisme invasi
pada sel epitel usus. Mekanisme invasi
menyebabkan kerusakan pada sel mukosa usus
(Carlos & Saniel 1990).
Salmonella merupakan salah satu bakteri
yang menyebabkan diare infeksi (Ohl & Miller
2001). Salmonella merupakan bakteri patogen
dari famili Enterobacteriaceae yang memiliki
sifat gram negatif berbentuk batang, fakultatif
anaerob, tidak melakukan fermentasi laktosa,
menghasilkan asam campuran, tidak membentuk
acetoin, tidak dapat memanfaatkan urea, KCN,
dan triptofan sebagai sumber karbonnya, serta
memproduksi hidrogen sulfida (Jawetz et al.
1974; Madigan et al. 2009).
Salmonella dapat menyebabkan diare
melalui produksi enterotoksin dan invasif.
Mekanisme
invasif
Salmonella
dapat
merangsang sistem kekebalan tubuh yang dapat
terlihat dari peningkatan jumlah leukosit (Carlos
& Saniel 1990). Salmonella menginfeksi dengan
jalur fecal-oral, yaitu melalui konsumsi
makanan dan minuman yang terkontaminasi
oleh Salmonella. Salmonella dapat bertahan
pada pH rendah asam lambung karena dapat
mengekspresikan berbagai produk gen untuk
bertahan pada kondisi ekstrim dari saluran
pencernaan. Salmonella masuk ke dalam sel
epitel dengan cara endositosis kemudian
merangsang respon sekretori cairan dan migrasi
neutrofil ke lumen usus (Slaunch et al. 1997;
Ohl & Miller 2001).
Leukosit adalah sel darah yang membantu
pertahanan tubuh dari mekanisme invansi
bakteri, racun, dan sel-sel yang telah rusak.
Diferensiasi leukosit dibutuhkan untuk melihat
persentase jenis leukosit dalam darah.
Diferensiasi leukosit juga dapat digunakan
untuk mendiagnosis penyebab infeksi yang
terjadi. Neutrofil merupakan leukosit yang
berperan sebagai sel fagositosis dan menjadi
garis depan dalam pertahanan selular terhadap
invansi jasad renik atau infeksi dari bakteri.
Basofil adalah leukosit yang berperan pada
proses inflamasi yang dapat memproduksi
histamin dan heparin sebagai respon alergi,
sedangkan eosinofil adalah leukosit yang
berperan dalam melawan material asing yang
masuk ke dalam tubuh dan melawan parasit
yang dapat menyebabkan infeksi. Limfosit
merupakan jenis leukosit yang fungsi di dalam
sel
belum
diketahui
namun
limfosit
memproduksi antibodi dan merusak produksi
racun dari metabolisme protein. Monosit adalah
jenis leukosit yang bersifat fagosit di dalam
jaringan (Frederic 1992; Fox 2004).
Diare dapat menyebabkan dehidrasi.
Dehidrasi dapat menyebabkan kematian karena
tubuh kehilangan banyak cairan. Dehidrasi
memiliki beberapa tingkatan yang dapat diukur
dengan nilai hematokrit. Nilai hematokrit
menyatakan jumlah konsentrasi sel darah merah
(eritrosit) dalam 100 ml darah yang dinyatakan
dalam persen. Penderita diare yang mengalami
dehidrasi akan mengalami peningkatan nilai
hematokrit (Retno 2009).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi
bakteri Salmonella dari feses penderita diare di
Puskesmas Cangkurawok, Dramaga, Bogor dan
mengetahui nilai hematokrit, jumlah leukosit,
serta diferensiasi leukosit pada penderita diare.
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari
2
hingga Oktober 2010. Pengambilan sampel
dilakukan
di
Puskesmas
Cangkurawok,
Dramaga, Bogor. Analisis sampel feses
dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan
sampel darah di Laboratorium Fungsi Hayati
dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi,
FMIPA, Institut Pertanian Bogor.
BAHAN DAN METODE
Probandus
Probandus penderita diare yang diperoleh
selama proses sampling di Puskesmas
Cangkurawok, Dramaga, Bogor mulai tanggal
24 Februari 2010 hingga 10 Juni 2010 adalah
100 pasien penderita diare. Seluruh sampel yang
diperoleh telah melalui proses perizinan
(lampiran 1). Probandus penderita diare yang
diperoleh dikelompokkan berdasarkan tingkatan
usia, yaitu usia bayi (0-1 tahun) sebanyak 13
pasien, batita (1-3 tahun) 42 pasien, balita (3-5
tahun) 13 pasien, anak-anak (5-18 tahun) 13
pasien, dan dewasa (>18 tahun) sebanyak 19
pasien (Lampiran 2).
Metode
Pengambilan sampel
Feses
Feses diambil dengan cara usap rektum
(rectal swab) menggunakan cuttonbud steril
secara langsung pada lubang anal lalu
diinokulasikan ke dalam tabung berisi larutan
PBS (Phosphate Buffered Saline) steril dan
ditempatkan pada kondisi dingin (Adkins &
Santiago 1987).
Darah
Jari dibersihkan dengan alkohol kemudian
darah diambil pada bagian jari tengah atau
manis dengan menggunakan lancet. Darah
dimasukkan pada tabung hematokrit berheparin
(Marienfeld) dan disumbat dengan lilin pada
salah satu bagian.
Isolasi bakteri Salmonella
Sampel feses dalam larutan PBS dipipet
sebanyak 0.1 ml, kemudian disebar pada media
SSA (Salmonella Shigella Agar/Criterion) lalu
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam.
Koloni berwarna hitam diambil sebanyak satu
lup kemudian digores kuadran pada media SSA
dan diinkubasi kembali pada suhu yang sama.
Koloni tunggal digoreskan pada media SSA
miring untuk disimpan.
Pewarnaan Gram
Sebanyak satu lup koloni hitam dioleskan
pada kaca objek yang telah ditetesi dengan
akuades. Olesan bakteri dikeringkan dengan
cara dilewatkan di atas bunsen. Olesan bakteri
diwarnai dengan pewarna crystal violet selama 1
menit lalu dibilas dengan akuades. Kemudian
dilanjutkan dengan tahap pewarnaan dengan
iodium gram selama 2 menit lalu dibilas
kembali dengan akuades. Olesan bakteri
digenangi dengan alkohol 95% kemudian
diwarnai kembali dengan safranin selama 30
detik lalu dibilas (Tortora et al. 2007). Setelah
kering, olesan bakteri diamati di bawah
mikroskop.
Identifikasi
Identifikasi dilakukan untuk mengetahui
keberadaan Salmonella menggunakan uji
biokimia mengacu pada Madigan et al. (2009),
yaitu uji MR (Methyl Red), VP (Voges
Proskauer), urease, H2S (Hidrogen Sulfida),
KCN (Kalium Sianida), indol, dan sitrat.
Uji MR dan VP
Koloni hitam dari media SSA diambil
sebanyak satu lup, kemudian diinkubasi dalam
media MR/VP (DifcoTM) pada suhu 370C selama
24 jam untuk MR dan 4 hari untuk VP. Setelah
diinkubasi, media diberi reagen methyl red
untuk MR dan α-napthol serta KOH untuk VP.
Uji Urease
Koloni hitam dari media SSA diambil
sebanyak satu lup, kemudian diinkubasi pada
media urease (DifcoTM) selama kurang lebih 4
hari.
Uji H2S
Koloni hitam dari media SSA diambil
sebanyak satu lup, kemudian digoreskan ke
media miring TSIA (Triple Sugar Iron
Agar/DifcoTM) lalu ditusuk menggunakan lup di
bagian bawah media. Inkubasi dilakukan pada
suhu 37oC selama 24 jam.
Uji KCN
Bakteri yang tumbuh pada media TSIA dari
uji H2S ditumbuhkan pada media TB (Terrifict
Broth), lalu diinkubasi selama 24 jam. Setelah
24 jam, sebanyak satu lup bakteri dipindahkan
ke media KCN lalu diinkubasi selama 24-48 jam
pada suhu 37oC.
Uji Indol
Koloni hitam pada media SSA diinkubasi
Download