BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit akibat kerja dan penyakit

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Penyakit akibat kerja dan penyakit terkait kerja
Penyakit yang diderita karyawan dalam hubungan dengan kerja baik faktor
resiko karena kondisi tempat kerja, peralatan kerja, material yang dipakai, proses
produksi, cara kerja, limbah perusahaan dan hasil produksi. Occupational diseases
muncul sebagai akibat paparan dari fisikal, kimia, biologis, ergonomik atau
faktor-faktor psikososial di lingkungan kerja (Occupational Medicine Practice,
1991). Menurut ILO (1991), occupational diseases adalah kondisi patologis yang
diinduksi oleh hal-hal yang berhubungan dengan kerja, seperti paparan berlebihan
dari faktor-faktor yang berbahaya, materi-materi kerja ataupun lingkungan kerja.
Menurut ILO (1991), penyakit terkait kerja adalah penyakit yang dipicu
oleh kerja, atau memiliki insidensi tinggi terhadap suatu penyakit akibat
lingkungan kerja.
Perbedaan antara penyakit akibat kerja dan penyakit terkait kerja (Buchari,
2007) :
Penyakit akibat kerja
Terjadi hanya di antara populasi kerja
Penyebabnya spesifik
Riwayat paparan di tempat kerja sangat penting
Riwayat mendapat kompensasi dan tercatat
Penyakit terkait kerja
Terjadi juga pada populasi penduduk
Penyebabnya multifaktorial
Paparan di tempat kerja mungkin merupakan salah satu faktor kemungkinan
Kemungkinan mendapat kompensasi dan tercatat
Untuk mengetahui dan mewaspadai kemungkinan bahaya di lingkungan
kerja, dapat dilakukan tiga langkah utama di bawah ini : (Buchari, 2007)
1.
Pengenalan lingkungan kerja
Pengenalan lingkungan kerja dapat dilakukan dengan cara melihat dan
mengenal (“walk through inspection”) .
2.
Evaluasi lingkungan kerja
Lakukan penilaian-penilaian dan besarnya potensi-potensi bahaya yang
mungkin timbul.
3.
Pengendalian lingkungan kerja
Dapat dilakukan upaya dengan mengurangi dan menghilangkan pemajanan
atau paparan dari zat-zat berbahaya di lingkungan kerja. Pengendalian yang
adekuat sangat membantu dalam mencegah efek kesehatan yang merugikan
2.2.
Komputer
Komputer merupakan salah satu penemuan teknologi terpenting pada abad
ke-20 (Ting, 2005). Sekarang, komputer juga tampil dalam rupa laptop dan
notebook. Menurut Blissmer (1985), komputer adalah secara umum terdiri dari
dua perangkat, yaitu hardware dan software. Monitor komputer atau dikenal
dengan “Video Display Terminal” (VDT) dimasukan sebagai hardware sedangkan
aplikasi program dimasukkan sebagai software. Komputer adalah suatu alat
elektronik yang mampu melakukan tugas menerima input, mengolahnya, dan
menyediakan output berupa hasil komputasi. Hasil komputasi akan dikonversi
menjadi data visual yang dapat dilihat dengan menggunakan monitor atau Video
Display Terminal (Humaidi, 2005). Video Display Terminal (VDT) atau yang
biasanya disebut monitor adalah bagian yang ditatap dan menimbulkan gangguan
kesehatan mata pada penggunanya (Fauzia, 2004).
Menurut Gartner (2002) dan Yates (2007), terdapat hampir satu miliar
komputer yang digunakan di dunia. Sekitar 75% pekerjaan di dunia bergantung
pada komputer dan 50% rumah memiliki setidaknya sebuah komputer (Kanitkar
dkk., 2005). Sekitar 100 juta penduduk Amerika Serikat menggunakan komputer
dalam pekerjaannya sehari-hari (Izquierdo, 2010). Di Washington, 90% pelajar
usia 5-17 tahun dan 60% orang berusia 18 tahun ke atas menggunakan komputer
setiap hari dengan mayoritas menggunakan komputer untuk bekerja, belajar, dan
mengakses internet (DeBell dkk., 2003). Penelitian Hoesin dkk. (2007) pada 2500
orang di 16 kota di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat 46,7% pengguna
komputer dengan mayoritas menggunakan komputer untuk bekerja.
Untuk mengurangi dampak dari monitor komputer perlu kita perhatikan
aspek ergonomis dari tempat kerja dan ligkungan kerja. Hal-hal yang diperhatikan
di tempat kerja seperti: monitor komputer, rancangan tempat kerja memperhatikan
tinggi meja, tinggi kursi, dan jarak mata-Video Display Terminal (450-700) mm,
dan jarak optimal 500-600mm (Suharyanto FX, 2002). Lingkungan kerja juga
sebaiknya memperhatikan penerangan, sebaiknya 300-700 lux. Untuk suhu
disarankan 24-26˚C, dengan perbedaan suhu di dalam ruangan dan diluar ruangan
tidak melebihi 5˚C, dan kelembaban 40 -60%. Kebisingan secara umum di bawah
60dB (40-60dB). Disamping faktor-faktor di atas dianjurkan untuk istirahat
selama 15 menit setelah bekerja terus-menerus dengan Video Display Terminal
selama dua jam dengan beban kerja sedang dan satu jam pada beban kerja berat.
Olah raga juga dianjurkan untuk meningkatkan kebugaran (Suharyanto FX, 2002).
2.3.
Computer Vision Syndrome
Menurut
Garg A (2009), Computer Vision Syndrome (CVS) adalah
sebuah kondisi yang terjadi pada orang-orang yang bekerja pada monitor
komputer. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya Computer Vision
Syndrome adalah posisi yang tidak pas seperti duduk terlalu dekat ke monitor
komputer, pencahayaan yang kurang, dan bertambahnya tatapan ke layar dan
frekuensi berkedip yang berkurang. Computer Vision Syndrome merupakan
kondisi sementara yang diakibatkan oleh mata yang bekerja terlalu fokus dan
menatap pada display komputer dalam suatu periode waktu yang tidak mendapat
interupsi.
2.3.1. Patofisiologi
Computer Vision Syndrome disebabkan oleh penurunan refleks berkedip
saat bekerja dalam waktu yang lama dan fokus pada layar komputer. Frekuensi
berkedip normal adalah 16-20 kali per menit. Studi menunjukkan frekuensi
berkedip menurun hingga 6-8 kali per menit pada pekerja yang menggunakan
komputer. Sebagai tambahan, pemfokusan dalam jarak dekat untuk durasi yang
lama memaksa kerja dari otot siliaris pada mata. Hal ini memicu gejala-gejala
astenopia dan memberi rasa lelah pada mata setelah bekerja dalam waktu yang
lama. Beberapa orang dengan umur sekitar 30-40 tahunan mengeluhkan
ketidakmampuan dalam memfokuskan objek-objek dekat setelah bekerja dalam
waktu yang singkat, yang berakhir pada penurunan mekanisme fokus akomodasi
dari mata dan presbyopia. Tampilan yang terdapat di monitor tidak sama pada
hasil tampilan piksel-piksel yang berupa titik, yang tercetak di atas kertas.
Permukaan garis-garis luarnya yang sangat berliku-liku tersebut menambah nilai
kontras yang rendah dan kekurangjelasan. Selain itu, huruf-huruf di monitor
komputer bervariasi dalam intensitas cahaya, yang mana juga menambah nilai
kontras yang rendah. Hal-hal ini menyebabkan mata harus tetap fokus secara
spontan untuk menjaga ketajaman gambar sehingga memaksa kerja dari otot
siliaris pada mata. Kelemahan akomodasi juga meningkatkan kerja dari otot
siliaris pada mata (Garg A, Rosen E, 2009).
2.3.2. Gejala klinis dan simptom
Simptom-simptom dari Computer Vision Syndrome dikarakteristikkan
dengan sensasi panas, berair, perasaan berat pada kelopak mata, nyeri di mata,
sakit kepala dll. Simptom-simptom dibawah ini mungkin pernah dirasakan oleh
penderita Computer Vision Syndrome (Garg A, Rosen E, 2009), yakni:
1. Mata kering
2. Sakit kepala
3. Iritasi mata
4. Sensasi benda asing
5. Penglihatan yang kabur
6. Sensitif terhadap cahaya
7. Penglihatan ganda
8. Ketidakmampuan
memfokuskan
objek
(pseudomyopia)
9. Nyeri leher dan bahu
10. Tampak gambaran halo muncul pada monitor
dalam
jarak
tertentu
11. Lemas dan lelah
12. Kesulitan dalam berkendara pada malam hari
2.3.3. Diagnosis
Menurut Garg A & Rosen E, (2009), diagnosis Computer Vision Syndrome
dapat dilakukan dengan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan okular
2. Direct opthalmoscopy
3. Visual acuity
4. Tonometry
2.3.4. Diagnosis banding
Sindroma mata kering pada Computer Vision Syndrome sering di salah
diagnosiskan dengan mata kering paska bedah refraktif.
2.4.5. Penatalaksanaan
Mata kering lebih sering menjadi target terapi pada Computer Vision
Syndrome. Penggunaan larutan counter artificial tear dapat mereduksi efek-efek
mata kering pada Computer Vision Syndrome. Gejala-gejala astenopia dapat
direduksi dengan mengistirahatkan mata beserta ototnya. Berkedip rutin juga
dianjurkan untuk membantu pengisian kembali dari tear film. Untuk mengurangi
kerja dari otot siliaris dapat dibantu dengan sesekali melihat keluar dari jendela
dan menatap langit.
Garg A & Rosen E (2009) menyatakan bahwa setiap 20 menit, fokuskan
mata pada objek berjarak 20feet (6meter) selama 20 detik. Hukum ini dikenal
dengan “20-20-20 rule”. Selain ini, bisa juga dianjurkan untuk menutup kedua
mata selama 20 detik, dilakukan sesring mungkin atau sekurangnya dalam kurun
waktu setengah jam. Kemampuan fokus yang menurun dapat dikurangi
keparahannya dengan memakai kacamata positif berkekuatan kecil (+1 s.d.
+1.50). Kacamata ini akan membantu penderita untuk mengembalikan
kemampuan fokus penderita.
2.3.6. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara (Garg A., Rosen
E., 2009), yakni :
1. Jaga jarak 20-26 inci dari monitor
2. Monitor komputer harus ditempatkan 10˚ - 15˚ dari level bawah mata pada
tatapan yang lurus
3. Gunakan layar antiglare
4. Penurunan cahaya
5. Hindari paparan cahaya matahari langsuns pada posisi komputer dan
minimalisasikan tatapan.
6. Ingat untuk berkedip secara reguler
7. Monitor komputer diletakkan secara horizontal di atas meja yang akan
sangat membantu dalam membaca dengan mengoreksi presbyopia
penderita
8. Pemberian konseling dan pencegahan yang baik memberikan hasil
prognosis yang baik.
2.4.
Sistem lakrimal
Terdiri dari dua sistem, yaitu sistem sekresi dan sistem ekskresi (Harahap
H, 1999). Ada beberapa komponen sekresi yang terdiri dari; glandula lakrimal
(kelenjar utama), glandula lakrimal aksesoris (Krause dan Wolfring), glandula
sebasea palpebra (kelenjar Meibom) dan sel-sel goblet dari konjungtiva (Musin)
(AAO, 1998). Persarafan dari sistem sekresi oleh saraf trigeminus dan saraf
simpatis tidak memberikan pada sekresi (AAO, 1992). Sistem sekresi terdiri dari
sekresi basal dan refleks sekresi. Sekresi basal terdiri dari kelenjar aksesoris air
mata dari Krause dan Wolfring, sedangkan refleks sekresi dari kelenjar air mata
yang utama terdiri dari porsi orbita dan palpebra (AAO, 1992).
Sistem ekskresi dari air mata dimulai dari puntum lakrimalis superior &
inferior, ampula, kanlikulus komunis, sakus lakrimalis, duktus nasolakrimalis, dan
nasi inferior. Persarafan juga berasal dari simpatetis orbita (AAO, 1992).
Air mata melewati empat proses yaitu produksi dari aparatus atau sistem
sekretori lakrimalis, distribusi dengan berkedip, evaporasi dari permukaan okular
dan drainasi oleh aparatus lakrimalis. Air mata berfungsi sebagai (Harahap H,
1999) :
1. Mempertahankan kornea
2. Menghaus benda asing dari permukaan kornea
3. Sumber /oksigen bagi epitel kornea dan konjungtiva
4. Pelicin antara kornea dengan kelopak mata
5. Jalur bagi sel-sel leukosit menuju ke bagian sentral kornea avaskuler bila
terjadi trauma kornea
6. Sebagai anti bakterial
7. Sebagai media pembuangan debris dari sel yag mengalami deskuamasi
2.5.
Fisiologi pengeluaran air mata
Permukaan depan bola mata ditutupi oleh suatu lapisan yang disebut Tear
Film (TF) (Gondhowiardjo TD, 1999). Tear Film terdiri dari tiga lapisan :
1. Lapisan superfisisal (lipid)
Dihasilkan oleh kelenjar meibom dan kelenjar sebasea, berfungsi
mencegah evaporasi. Memiliki tebal 0,1um terdiri dari sedikitnya sembilan
jenis lemak yaitu, hydrokarbon (7,54%), sterol ester (27,3%), wax ester
(32,3%), diester region (7,54%), tryacyl gliserol (3,7%), post tryacyl
gliserol (2,98%), free sterol (1,63%), free fatty acid (1,98%) dan polar
lipid (14,8%) (Gondhowiardjo TD, 1999). Lapisan lipid bersifat
hidropobik, memperlambat evaporasi dan untuk lubrikasi. (Irsad S, 2003)
2. Lapisan akuos
Disekresi oleh kelenjar lakrimalis dan kelenjar Krause serta
Wolfring. Mengandung garam-garam inorganik, glukosa,urea, protein dan
glikoprotein
yang
berfungsi
dalam
pengambilan
oksigen
untuk
metabolisme kornea. Tebalnya 6,5um - 7,5um, merupakan komponen
terbesar dari air mata dan mempunyai dampak dalam kualitas air mata
(Irsad S, 2003).
3. Lapisan mukus
Dihasilkan oleh sel-sel goblet konjungtiva dan merupakan lapisan
terdalam. Tebal 0,02um - 0,05um. Mukus merupakan faktor penting
untuk menurunkan tegangan permukaan (surfaktan) epitel kornea yang
hidropobik, sehingga permukaan tersebut dapat dibasahi air mata. (Irsad S,
2003).
Distribusi volume air mata pada permukaan okular umumnya sekitar 6 7µL yang terbagi tiga bagian (Sullivan, 2002), yaitu :
1. Mengisi sakus konjungitva sebanyak 3µL - 4µL.
2. Melalui proses berkedip sebanyak 1µL akan membentuk tear film dengan
tebal 6µL - 10µL dan luas 260 mm².
3. Sisanya sebanyak 2µL - 3µL akan membentuk tear meniscus seluas 29
mm² dengan jari-jari 0,24mm (Yokoi dkk., 2006). Menurut Wang dkk.,
(2006), tear film digabungkan dari tear meniscus atas dan bawah saat
berkedip.
Air mata (tear film) berjalan menutupi permukaan bola mata dan kelopak
mata kemudian melewati komponen-komponen dari sistim sekresi dan diteruskan
ke hidung. Kebanyakan tear film dieliminasi secara langsung melalui evaporasi
dan diabsorpsi kembali oleh sakus lakrimalis (Tanenbaum M, 1997).
Ketika kelopak mata membuka sebelum mata mulai berkedip maka
kanalikuli siap untuk diisi air mata. Mekanisme dimulai dari kelopak mata atas
turun sebagai awal berkedip dan bawah akan berkontak lebih kuat, sehingga
hanya setengah jalan yang tertutup. Sewaktu puntum tertutup saat berkedip, ini
akan menekan kanalikuli dan sakus lakrimal air mata terdorong melalui duktus
nasolakromalis dan melalui hidung (Tanenbaum, 1997).
Sekresi air mata pada satu mata adalah 60 gram/hari (Janin, 1772),
sedangkan sekresi basal 0,6ml – 1,2ml per menit (AAO, 1992).
2.6.Mata kering (dry eyes)
Mata kering menggambarkan suatu keadaan defisiensi air mata baik secara
kualitas maupun kuantitas, terjadi akibat penguapan air mata yang berlebihan
(Crystal D, 2002) ataupun produksi air mata yang tidak cukup atau
ketidaknormalan dari komposisi air mata. Gejala mata kering bervariasi pada tiaptiap orang seperti perasaan tidak enak di mata, rasa benda asing, mata merah, rasa
terbakar dan air mata berlebihan (Chacko B, 1997).
Mata kering sering terjadi akibat penuaan, lebih 75% orang di atas 65
tahun dan lebih tua menderita mata kering. Wanita umumnya yang mengalami
menopause karena perubahan hormonal. Mata kering dapat terjadi pada beberapa
kondisi antara lain seperti (Irsad S, 2003) :
1. Adanya masalah mengedip yang dihubungkan dengan penggunaan komputer
2. Pemakaian anti histamin,hormonal dan anti depresi
3. Faktor lingkungan seperti cuaca yang panas
4. Kehamilan dan merokok
5. Kondisi kesehatan seperti diabetes, akne rosacea, arthritis, sindrome syogren,
defisiensi vitamin A dan lan-lain
6. Pemakaian lensa kontak
7. Pembedahan refraktif seperti Lasik
2.6.1. Epidemiologi Sindroma Mata Kering
Epidemiologi sindroma mata kering meningkat dari tahun ke tahun. Di
Amerika Serikat, menunjukkan prevalensi berkisar antara 5-30% dengan total
penduduk berusia 50 tahun sebanyak 4,91 juta. Studi besar oleh Women’s Health
Study and Physician’s Health Study menunjukkan prevalensi SMK di Amerika
Serikat berkisar 7% pada wanita dan 4% pada pria (Schamberg dkk., 2003).
Salisbury Eye Study menunjukkan angka 154,6% pada populasi berusia 48-91
tahun dengan prevalensi tertinggi pada wanita (Schein dkk., 1997). The Beaver
Dam population-based study menemukan prevalensi sindrom mata kering 14,4%
pada populasi berusia diatas 65 tahun (Moss dkk., 2000).
Di Malaysia, prevalensi sindroma mata kering 14,4% (Jamaliah dkk.,
2002). Di Indonesia, Kepulauan Riau, menunjukkan prevalensi 27,5% pada
penduduk berusia diatas 21 tahun dengan faktor risiko utama umur, rokok dan
pterigium (Lee dkk., 2002). Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, Chaironika
(2011) menemukan 76,8% prevalensi Sindroma Mata Kering pada wanita yang
telah menopause.
2.6.2. Klasifikasi Sindroma Mata Kering
Sindroma mata kering dapat dikategorikan menjadi episodik dan kronik.
Sindroma Mata Kering episodik yaitu mata kering yang dialami akibat lingkungan
atau pekerjaan, dan bersifat sementara. Sindroma Mata Kering kronik yaitu mata
kering yang dipicu oleh sesuatu dan bersifat menetap. Sindroma Mata Kering
episodik dapat berlanjut ke mata kering kronik (Guyton, 2009).
Berikut adalah tabel klasifikasi beserta penyebabnya menurut Asyari F
(2002) dan Miller SJH (1990):
Table 2.6.2.1. Classification of Tear Deficiency
Aqueous tear deficiency
Mucin deficiency
Lipid abnormality
Lid surfacing abnormality
Epitheliopathy
Table 2.6.2.2. Etiology and diagnosis of Dry Eye Syndrome
I. Etiology
A. Conditions characterized by hypofunction of the lacrimal gland :
a.1. Congenital
a.1.1. Familial dysautonomia (Riley Day Syndrome)
a.1.2. Aplasia of the lacrimal gland
a.1.3. Trigeminal nerve aplasia
a.1.4. Ectodermal dysplasia
a.2. Acquired
a.2.1. Systemic diseases
a.2.1.1. Sjogren’s syndrome
a.2.1.2. Progressive systemic sclerosis
a.2.1.3. Sarcoidosis
a.2.1.4. Leukemia
a.2.1.5. Amyloidosis
a.2.1.6. Hemochromatosis
a.2.2. Infection
a.2.2.1. Trachoma
a.2.2.2. Mumps
a.2.3. Injury
a.2.3.1. Surgical removal of lacrimal gland
a.2.3.2. Irradiation
a.2.3.3. Chemical burn
a.2.4. Medications
a.2.4.1. Antihistamines
a.2.4.2. Antimuscarinics
a.2.4.3. General amesthetics
a.2.4.4. Beta-adrenergic blockers
a.2.4.5. Neurogenic-neuroparalytic
B.Conditions characterized by mucin deficiency :
b.1. Avitaminosis A
b.2. Steven-Johnsosn syndrome
b.3. Ocular pemphigoid
b.4. Chronic conjunctivitis
b.5. Chemical burns
b.6. Medications-antihistamines antimuscarinics, beta-adrenergic blocking agents
C. Conditions charatcterized by lid deficiency
c.1. Lid margin scarring:
c.2. Blepharitis
D. Defective spreading of tear film caused by the following :
d.1. Eyelid abnormalities
d.1.1. Defects
d.1.2. Ectropion or entropion
d.1.3. Keratinization of lid margin
d.1.4. Decreased or absent blinking
d.1.4.1. Neurologic disorders
d.1.4.2. Hyperthyroidism
d.1.4.3. Contact lens
d.1.4.4. Drugs
d.1.4.5. Herpes simplex keratitis
d.1.4.6. Leprosy
d.1.5. Lagophtalmus
d.1.5.1. Hyperthyroidism
d.1.5.2. Leprosy
d.1.5.3. Nocturnal lagophtalmus
d.2. Conjunctival abnormalities
d.2.1. Pterygium
d.2.2. Symblepharon
d.3. Proptosis
II. Diagnosis
A. Biomicroscopy
B. Rose bengal staining
C. Fluorescein staining
D. Tearbreak-up time
E. Tear film osmolarity
F. Tear lysozyme
G. Schirmer test wwithout an anesthesia
H. Impresion cytology
J. Tear lactofern
2.6.3. Hipersekresi dan hiposekresi air mata
Beberapa kondisi hipersekresi akibat stimulus iritatif yang merangsang
saraf trigeminus, antara lain; trauma, benda asing, penyakit kornea, penyakit
konjungtiva dan penyakit mukosa hidung (Milder B, 1987). Hiposekresi dapat
disebabkan oleh inflamasi lokal konjungtiva, sikatriks konjungtiva karena infeksi
sekunder dari bakteri dan virus, inflamasi kronis kelenjar lakrimal dan atrofi
senilis kelenjar lakrimal. (Irsad S, 2003). Produksi air mata dapat juga dipengaruhi
oleh obat-obatan. Contoh-contoh obat yang dapat mengurangi produksi air mata
yaitu, atropin, skopolamin, antihistamin, beta bloker, phenotiazin, diazepam,
nitroyus oxide dan halotan. Sedangkan obat-obat yang meningkatkan air mata
yaitu, pilokarpin, metakholin, neostigmin, epinefrin, efedrin, fluoracil, dan
bromhexin (Irsad S, 2003).
2.6.4. Faktor risiko sindroma mata kering
Faktor risiko Sindroma Mata Kering dibagi dua, yaitu : milleu interieur
dan milleu esterieur. Milleu interieur adalah kondisi fisiologis individu itu sendiri.
Misal, pada individu tersebut memang frekuensi kedipan matanya sedikit atau
individu tertentu yang memiliki sudut bukaan kelopak palpebra yang lebih lebar
(Sullivan dkk., 2004). Milleu exterieur adalah kondisi lingkungan sekitar.
Kelembaban lingkungan yang rendah dan kecepatan angin yang tinggi
menyebabkan cepatnya evaporasi. Termasuk juga faktor pekerjaan seperti analis
yang menggunakan mikroskop, dokter radiologi, atau pengguna komputer.
Berikut ini adalah penjelasan beberapa faktor risiko penyebab Sindroma Mata
Kering:
1. Usia
Berkurangnya androgen seiring pertambahan usia menyebabkan atropi
kelenjar lakrimal dan kelenjar Meibom dengan gambaran histopatologi infiltrasi
limfosit, fibrosis, dan atropi asinar (Rocha dkk., 2000). Hal ini sesuai dengan
penelitian Barabino dkk. (2007) yang menemukan adanya penurunan volume air
mata dan kurangnya protein pada air mata orang tua. Zhu dkk.. (2009)
menemukan bahwa kurangnya hormon androgen dapat menurunkan transforming
growth factor sehingga limfosit yang dihasilkan sel asinar merembes keluar dan
menghancurkan kelenjar lakrimal dan kelenjar Meibom.
2.
Jenis kelamin
Hampir semua penelitian epidemiologi sindroma mata kering menunjukkan
prevalensi SMK yang lebih tinggi pada wanita terutama wanita yang menopause
(Versura dkk., 2005). Hormon seks mempengaruhi sekresi air mata, disfungsi
meibom, dan sel goblet konjungtiva (Schaumberg dkk., 2001).
3.
Pengguna lensa kontak
Sekitar 43-50% pengguna lensa kontak mengalami mata kering (Begley dkk.,
2000). Tutt (2000) menunjukkan adanya penurunan kualitas bayangan retina pada
pengguna lensa kontak dengan alat aberometer.
4.
Merokok
Pekerja yang merokok lebih banyak mengalami gangguan oftalmikus
dibandingkan yang tidak merokok (Reijula dkk., 2004). Moss dkk. (2000)
menunjukkan bahwa mata kering 1,22 kali lebih sering terjadi pada perokok.
5.
Ruangan ber-AC
SMK lebih banyak dialami oleh penduduk yang tinggal di tempat yang tinggi
karena suhu yang rendah, kelembaban yang rendah, dan angin yang kencang
(Wolkoff dkk., 2005). Oleh karena itu, SMK dapat dipicu pada ruangan yang berAC (Schaumberg dkk., 2003).
Hubungan penggunaan komputer dengan Computer Vision Syndrome dari
segi posisi monitor komputer dan arah pandangan mata. Berbagai literatur
berhipotesis bahwa ada pengurangan frekuensi berkedip saat menggunakan
komputer (Himebaugh dkk., 2009). Hal ini menyebabkan luasnya permukaan
okular yang terpapar sehingga memperpanjang waktu paparan permukaan okular
terhadap evaporasi. Selain itu, saat menatap komputer terutama sejajar ataupun
dengan tatapan ke atas, permukaan okular yang terbuka menjadi lebih lebar
sehingga terjadi penguapan terjadi 2-3 kali lebih besar saat melihat komputer
sejajar dan ke atas dibandingkan saat melihat ke bawah dan pada keadaan istirahat
(Schaefer dkk., 2009).
Fokus bekerja pada sesuatu ditemukan berkaitan dengan frekuensi
berkedip. Bahkan, banyak penelitian yang menjadikan frekuensi berkedip sebagai
indikator terhadap kelelahan dan keberatan mental terhadap pekerjaan (Scerbo
dkk., 2001).Para peneliti berpendapat bahwa hal ini ada kaitannya dengan
pacemaker sistem saraf pusat yang diaktifkan karena pemusatan perhatian dan
pandangan (Doughty, 2001). Saat menggunakan komputer, mata dipaksa untuk
memfokuskan kerja pada komputer (stuck at that point), sehingga frekuensi
berkedip berkurang (Goldsborough, 2007). Kelelahan mata yang berlebihan akibat
terus menatap komputer akan menyebabkan kedipan inkomplit (Caffier dkk.,
2003). Jadi, selain penurunan kedipan mata, kedipan mata juga tidak sempurna.
Berkedip inkomplit juga berkontribusi terhadap semakin cepat waktu ruptur tear
film (Craig JP dkk., 2002).
Di samping itu, saat kita fokus bekerja terhadap sesuatu, sistem saraf
simpatis akan diaktifkan dan terjadi induksi sekresi dopamin. Aktivasi simpatis
yang berlebihan dapat menyebabkan kedipan mata berkurang. Dopamin adalah
neurotransmitter yang berhubungan dengan induksi fisiologi mengedip spontan
(Taylor DM dkk., 2002). Selain itu, terdapat cahaya terang akan mensupresi
produksi hormon melatonin. Melatonin seharusnya berfungsi sebagai inhibitor
sekresi dopamin pada sistem limbik (Nakayama dkk., 1998).
Download