Templat tesis dan disertasi

advertisement
DAMPAK PROGRAM BANTUAN SOSIAL TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN
KABUPATEN TERTINGGAL DI INDONESIA
EDO PRAMANA PUTRA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Program
Bantuan Sosial Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten
Tertinggal di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Edo Pramana Putra
NIM H152124071
RINGKASAN
EDO PRAMANA PUTRA. Dampak Program Bantuan Sosial Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten Tertinggal di Indonesia.
Dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI dan SAHARA.
Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi merupakan dua tujuan
pembangunan yang seharusnya dapat dicapai secara bersamaan dalam proses
pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tanpa diikuti oleh pemerataan
ekonomi akan memperlebar jurang pemisah antara satu kelompok masyarakat
dan kelompok lainnya, sementara pemerataan ekonomi tanpa pertumbuhan
ekonomi sama halnya dengan meningkatkan kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010-2013 mengalami
peningkatan akan tetapi pada saat yang bersamaan terjadi ketimpangan
pembangunan. Kesenjangan atau ketimpangan antar daerah (yang maju dan
yang tertinggal) semakin melebar. Indikasi dari ketimpangan wilayah adalah
munculnya daerah tertinggal dan masalah ketimpangan pembangunan ini
merupakan permasalahan disparitas wilayah yang membahayakan kesatuan
nasional. Percepatan pembangunan dan pengurangan ketimpangan di daerah
tertinggal diupayakan melalui pemberian bantuan sosial (bansos) yang
dioperasionalisasikan melalui program bantuan, yang meliputi: (1) peningkatan
sumberdaya daerah tertinggal, (2) peningkatan infrastruktur daerah tertinggal,
(3) pembinaan ekonomi dan dunia usaha daerah tertinggal, (4) pembinaan
kelembagaan dan sosial budaya daerah tertinggal, dan (5) pengembangan
daerah khusus.
Bantuan sosial untuk daerah tertinggal sudah diberikan sejak tahun 2009.
Namun secara umum kondisi daerah tertinggal di Indonesia belumlah terlalu
baik, tingkat kemiskinan masih tinggi yaitu 11 persen dan masih banyaknya
jumlah kabupaten tertinggal, yakni 133 kabupaten atau 32,2 persen dari jumlah
kabupaten di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengkaji dinamika
kemiskinan, perekonomian, dan bantuan sosial di kabupaten tertinggal di
Indonesia, (2) menganalisis pengaruh program bantuan sosial Kementerian
PDT terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di Indonesia, (3)
menganalisis hubungan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan di
kabupaten tertinggal di Indonesia.
Selama tahun 2010-2013 sebagian besar kabupaten tertinggal mengalami
penurunan tingkat kemiskinan dan peningkatan pertumbuhan PDRB, namun
juga terdapat daerah kabupaten tertinggal yang mengalami peningkatan tingkat
kemiskinan dengan pertumbuhan PDRB yang kecil. Kabupaten tertinggal yang
mengalami peningkatan tingkat kemiskinan juga diiringi dengan pertumbuhan
PDRB yang paling kecil, seperti yang terjadi pada provinsi Kepulauan Riau
dan Sumatera Utara. Kondisi berbeda terjadi pada wilayah tertinggal di
kawasan timur, dimana pada wilayah yang mengalami peningkatan kemiskinan
justru diiringi dengan tingginya pertumbuhan PDRB nya. Kondisi tersebut
mengidentifikasikan bahwa terdapat ketimpangan yang lebih tinggi di daerah
tertinggal kawasan timur Indonesia.
Bantuan yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah
tertinggal adalah bantuan infrastruktur dan bantuan kelembagaan sosial dan
budaya. Terdapat hubungan negatif antara tingkat PDRB dan kemiskinan di
daerah tertinggal, dimana peningkatan nilai PDRB memberikan efek terhadap
penurunan kemiskinan.
Kebijakan yang direkomendasikan untuk mempercepat pembangunan
dan memperkecil ketimpangan antar wilayah di daerah tertinggal yaitu dengan
memberikan bantuan yang lebih besar dan kontiniu bagi daerah tertinggal,
yaitu bantuan infrastruktur dan bantuan kelembagaan sosial dan budaya.
Kata kunci : bantuan sosial, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, daerah
tertinggal
SUMMARY
EDO PRAMANA PUTRA. The Impact of the Social Aid Program Against
Economic Growth and Poverty Disadvantaged Regency in Indonesia. Guided
by YETI LIS PURNAMADEWI and SAHARA.
Economic growth and economic equitable distributionare the two goals
of development that would be achieved simultaneously in the process of
economic development.Economic growth without economic equalitable
distribution would expand the gap betweenone groups and others, while
economic growth without economic aquitable distribution as well as increasing
poverty.
Economic growth in Indonesia from 2010 to 2013 has increased but at
the same time the inequality of development occurs. The gap or inequality
between regions (leading and lagging) expanded. The indications of inequality
region makes disadvantaged areas appear and the problem of inequality
development is disparity issues that may endanger the unity of the national
territory. Accelerated development and the reduction of inequality in
underdeveloped areas pursued through the provision of social aid were
operationalized through aid programs, which include: (1) an increase in the
resources of disadvantaged areas, (2) the improvement of infrastructure
underdeveloped areas, (3) development of economic and business in
underdeveloped regions, (4) development of institutional and socio-cultural in
disadvantaged areas, and (5) the development of specific areas.
Social aid for underdeveloped areas have been granted since 2009.
However, the general condition of the rural sector in Indonesia has not been
too well, the poverty rate is still high at 11 percent and still large number of
underdeveloped districts, namely 133 districts, or 32.2 percent of the total
number of districts in Indonesia. The purpose of this study are: (1) assessing
the dynamics of poverty, the economy, and social aid in underdeveloped
districts in Indonesia, (2) to analyze the influence of the social aid program of
the Ministry of PDT to economic growth underdeveloped districts in Indonesia,
(3) to analyze the relationship economic growth with poverty in
underdeveloped districts in Indonesia.
During 2010-2013 most of the underdeveloped districts decreased on
poverty and increased the GDP growth, but lagging districts are experiencing
an increase in the level of poverty with a small GDP growth. Underdeveloped
districts that experienced the highest increase in poverty rates is also
followedby the smallest GDP growth, its happened in the province of Riau and
North Sumatra. Different conditions occur in the disadvantaged areas in the
eastern region, where the region has increased poverty instead accompanied by
high growth in its GDP. The condition was identified that there is a higher
inequality in underdeveloped areas of eastern Indonesia.
Social aid which significantly affects economic growth in
underdeveloped areas are infrastructure aid, and social aid and cultural
institutions. There is negative relationship between the level of GDP and
poverty in underdeveloped areas, where the increase in value of GDP able to
give effect to the reduction of poverty.
The policies that can be recommended to accelerate development and
reduce inequality between regions in disadvantaged areas with provide greater
aid and is continuous for disadvantaged areas, specially infrastructure aid and
social cultural institutions aid.
Keywords: social aid, economic growth, underdeveloped regions,
poverty
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAMPAK PROGRAM BANTUAN SOSIAL TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN
KABUPATEN TERTINGGAL DI INDONESIA
EDO PRAMANA PUTRA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan dan Pembangunan
Wilayah Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Judul dalam penelitian ini ialah Dampak Program Bantuan
Sosial Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Kabupaten
Tertinggal Di Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Yeti Lis
Purnamadewi, MscAgr dan Ibu Dr Sahara, SP MSi selaku pembimbing
atas dukungan, arahan, dan waktu yang telah diberikan selama penulisan
tesis ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir
Bambang Juanda, MS selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, dan terima kasih kepada ibu Dr Ir
Wiwiek Rindayati, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian sidang atas
saran dan masukan yang diberikan. Selain itu penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada DIKTI yang telah membiayai studi penulis melalui
program beasiswa Freshgraduate(FG). Ungkapan terima kasih yang
sebesar-besarnya disampaikan kepada Ayahanda Syafruddin, Ibunda
Refni Yetti, dan kakak tercinta Yoga dan Yogi serta seluruh keluarga,
atas doa dan kasih sayangnya. Selanjutnya kepada teman-teman PWD
angkatan 2012, 2013, 2014 atas doa dan dukungannya selama masa
pendidikan, dan kepada Staf PWD yang telah memberikan dukungan dan
semangat kepada penulis selama pendidikan.
Penulis sangat mengharapkan saran-saran dan masukan dari
semua pihak untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat
bagi pembaca umumnya dan penulis sendiri khususnya.
Bogor, Januari 2016
Edo Pramana Putra
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
5
7
8
8
2 TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Pemerintah Dalam Pembangunn Ekonomi
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Konsep Kemiskinan
Konsep Daerah Tertinggal
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
9
9
14
17
20
21
27
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Model Penelitian
Uji Identifikasi Model
29
29
29
29
32
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Dinamika Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi dan Bantuan Sosial di
KBI dan KTI
Analisis Pengaruh Bantuan Sosial Terhadap Pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Tertinggal
Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Tingkat
Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal di indonesia
35
5. SIMPULAN DAN SARAN
60
DAFTAR PUSTAKA
61
RIWAYAT HIDUP
77
35
50
55
DAFTAR TABEL
1. Distribusi nilai PDRB menurut pulau di Indonesia tahun 2008-2012
2. Jumlah bantuan sosial Kementerian PDT untuk kabupaten tertinggal
3.
4.
5.
6.
7.
8.
di Indonesia tahun 2010-2013
Gambaran umum daerah tertinggal di Indonesia tahun 2010-2013
Rangkuman penelitian sebelumnya tentang pertumbuhan ekonomi
Rangkuman penelitian sebelumnya tentang kemiskinan
Matriks metode penelitian
Hasil estimasi model pertumbuhan ekonomi
Hasil estimasi model kemiskinan
3
6
7
23
26
34
50
56
DAFTAR GAMBAR
1. Perkembangan pertumbuhan ekonomi, indeks gini, dan indeks
Williamson di Indonesia tahun 2009-2013
2. Sebaran daerah tertinggal menurut pulau di Indonesia tahun 2012
3. Lingkaran setan kemiskinan
4. Diagram alur kerangka pemikiran
5. Tahapan penyusunan model simultan
6. Rata-rata persentase kenaikan dan penurunan penduduk miskin
kabupaten tertinggal di kawasan barat Indonesia tahun 2009-2013
7. Rata-rata persentase kenaikan dan penurunan penduduk miskin
kabupaten tertinggal di kawasan timur Indonesia tahun 2009-2013
8. Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di kawasan
barat Indonesia tahun 2009-2013
9. Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di kawasan
timur Indonesia tahun 2009-2013
10. Persentase masing-masing bantuan sosial yang disalurkan
PDT tahun 2010-2013
Kementerian
11. Persentase bantuan sumberdaya untuk daerah tertinggal KBI
dan KTI tahun 2010-2013
12. Distribusi bantuan sumberdaya Tahun 2010-2013
13. Persentase bantuan infrastruktur untuk wilayah KBI dan KTI
tahun 2010-2013
14. Distribusi bantuan infrastruktur tahun 2010-2013
15. Persentase bantuan ekonomi dan dunia usaha untuk wilayah
KBI dan KTI tahun 2010-2013
16. Distribusi bantuan ekonomi dan dunia usaha tahun 2010-2013
17. Persentase bantuan lembaga sosial dan budaya untuk wilayah KBI
dan KTI tahun 2010-2013
18. Distribusi bantuan lembaga sosial dan budaya tahun 2010-2013
19. Persentase bantuan daerah khusus untuk wilayah KBI dan KTI
tahun 2010-2013
20. Distribusi bantuan daerah khusus tahun 2010-2013
2
4
19
28
30
36
37
39
40
41
42
43
44
45
46
46
47
47
48
49
DAFTAR LAMPIRAN
1. Dinamika kemiskinan menurut persentase penduduk miskin
2010-2013
2. Dinamika pertumbuhan ekonomi menurut PDRB 2010-2013
3. Dinamika bantuan SDM 2010-2013
4. Dinamika bantuan infrastruktur 2010-2013
5. Dinamika bantuan ekonomi dan dunia usaha 2010-2013
6. Dinamika bantuan kelembagaan sosial dan budaya 2010-2013
7. Dinamika bantuan pengembangan daerah khusus 2010-2013
8. Uji identifikasi model persamaan struktural
9. Uji asumsi klasik model pertumbuhan ekonomi
10. Uji asumsi klasik model kemiskinan
11. Uji validasi model simultan
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sasaran pembangunan nasional maupun pembangunan regional di
Indonesia adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil
pembangunan. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi merupakan
dua tujuan pembangunan yang seharusnya dapat dicapai secara bersamaan
dalam proses pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tanpa diikuti
oleh pemerataan ekonomi akan memperlebar jurang pemisah antara satu
kelompok masyarakat dan kelompok lainnya, sementara pemerataan
ekonomi tanpa pertumbuhan ekonomi sama halnya dengan meningkatkan
kemiskinan disuatu daerah. Pertumbuhan dan pemerataan menjadi hal yang
paling diperhatikan oleh negara berkembang termasuk Indonesia karena
dirasakan permasalahan tersebut sangatlah kompleks.
Lima tahun terakhir (2009-2013), perekonomian nasional mampu
tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5,85 persen, angka rata-rata
pertumbuhan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata
pertumbuhan ekonomi negara lain, khususnya negara-negara anggota
ASEAN yang rata-rata pertumbuhan ekonominya adalah 5 persen (BPS
2014). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mengindikasikan tercapainya
keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang mengalami peningkatan
akan tetapi pada saat yang bersamaan juga terjadi peningkatan ketimpangan.
Pertumbuhan yang tinggi telah mengakibatkan bertambah lebarnya
kesenjangan atau ketimpangan antar golongan masyarakat (yang kaya dan
yang miskin) dan kesenjangan atau ketimpangan antar daerah (yang maju
dan yang tertinggal). Indeks Gini Indonesia Tahun 2013 menunjukkan
angka 0,413 (Gambar 1), dimana menurut Todaro dan Smith (2006) angka
ini mencerminkan tidak meratanya distribusi pendapatan di masyarakat
(Mankiw 2007).
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga diikuti dengan bertambah
lebarnya kesenjangan atau ketimpangan antar daerah (yang maju dan yang
tertinggal). Indeks Williamson merupakan suatu indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pembangunan. Nilai Indeks
Williamson yang mendekati 1 menunjukkan kondisi ketimpangan yang
tinggi, dan nilai Indeks Williamson yang mendekati nol menunjukkan
kondisi pembangunan yang merata. Analisis ketimpangan di Indonesia yang
dilakukan oleh Bappenas menyebutkan bahwa ketimpangan pembangunan
secara nasional menunjukkan ketimpangan pembangunan sangat tinggi
dengan nilai indeks Williamson (Gambar 1) dari tahun 2009-2013 > 1
(Bappenas 2013).
Indonesia merupakan negara dengan peningkatan ketimpangan
tercepat di kawasan asia (World Bank 2013). Pada skala nasional, tingkat
kesejahteraan antar wilayah menjadi tidak berimbang dengan pendekatan
pertumbuhan ekonomi makro. Investasi dan sumberdaya terserap dan
terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara
wilayah-wilayah yang jauh dari perkotaan (hinterland) mengalami
2
eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Secara makro dapat dilihat
terjadinya ketimpangan antar wilayah yang signifikan misalnya antara desakota, antara Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia
(KBI), antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya (Bappenas 2013).
7
6
0,91
5
0,81
4
0,71
pertumbuhan ekonomi
3
0,61
indeks williamson
2
0,51
1
0,41
0
0,31
indeks gini
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : Bappenas (2013)
Gambar 1 Perkembangan pertumbuhan ekonomi, indeks gini, dan indeks
Williamson di Indonesia tahun 2009-2013
Kesenjangan perekonomian antar wilayah khususnya antara KBI dan
KTI dapat digambarkan juga melalui distribusi nilai PDRB (Bappenas 2013).
Distribusi nilai PDRB antara wilayah KBI dan KTI menunjukkan tingkat
kesenjangan yang cukup tinggi, berdasarkan data PDRB Atas Dasar Harga
Berlaku (ADHB) dari tahun 2008-2012 menunjukan nilai PDRB selama
periode tersebut share terbesar masih terkonsentrasi di Wilayah KBI (JawaBali dan Wilayah Sumatera). Kontribusi PDRB dari wilayah tersebut tahun
2012 mencapai sekitar 82,64 persen terhadap perekonomian nasional,
sementara untuk wilayah lainnya relatif rendah terutama wilayah KTI
(Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua) hanya sebesar 3,32 persen (Tabel 1).
Kondisi ini disebabkan karena wilayah KBI (Jawa-Bali dan Sumatera)
didominasi oleh sektor sekunder dan tersier yang pertumbuhannya relatif
cepat dan lebih berorientasi ke industri pengolahan dan manufaktur serta
pelayanan jasa. Sementara untuk perkembangan aktivitas ekonomi di
wilayah KTI masih didominasi oleh sektor primer, yaitu pertanian dan
pertambangan.
Salah satu indikasi persoalan ketimpangan wilayah adalah persoalan
daerah tertinggal dan masalah ketimpangan pembangunan ini merupakan
permasalahan disparitas wilayah yang membahayakan kesatuan nasional.
Menurut Bappenas, daerah tertinggal ditandai dengan rendahnya
aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial serta letak
geografis yang relatif terpencil atau wilayah yang miskin sumberdaya alam
atau rawan bencana (Bappenas 2013).
3
Tabel 1 Distribusi nilai PDRB menurut pulau di Indonesia tahun 2008-2012
Wilayah
2008
(%)
2009
(%)
2010
(%)
2011
(%)
2012
(%)
22,90
59,21
22,69
59,88
23,12
59,33
23,57
58,81
23,77
58,87
10,36
4,19
3,34
9,21
4,46
3,76
9,15
4,52
3,88
9,55
4,61
3,46
9,30
4,74
3,32
Kawasan Barat Indonesia (KBI)
1. Sumatera
2. Jawa-bali
Kawasan Timur Indonesia (KTI)
1. Kalimantan
2. Sulawesi
3. Nustra, Maluku, Papua
Sumber: BPS Tahun 2012
Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa visi
pembangunan 2010-2014 adalah “terwujudnya indonesia yang sejahtera,
demokratis, dan berkeadilan” (Kementrian Keuangan 2011). Visi
pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah dalam
mengambil berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut antara lain
adalah percepatan pembangunan daerah tertinggal yang dijalankan oleh
Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (Kementrian PDT).
Pembentukan Kementerian PDT adalah berdasarkan Perpres No.9 tahun
2005 yang memiliki tugas pokok dan fungsi membantu Presiden dalam
merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah
tertinggal.
Strategi nasional Kementerian PDT secara umum memuat garis
besar kebijakan dan strategi pembangunan daerah tertinggal, program
prioritas, sumber pendanaan serta kriteria dan penetapan daerah yang
dikategorikan tertinggal. Strategi nasional ini bersifat umum dan diarahkan
kepada para pemegang kebijakan baik pusat maupun didaerah agar dapat
mempercepat pembangunan daerah tertinggal diwilayah yang sesuai dengan
kondisi dan karakteristik masing-masing sehingga mampu memberi
pengaruh yang nyata terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya
secara berkelanjutan.
Menurut Kementrian PDT tahun 2013 penentuan kriteria daerah
tertinggal menggunakan pendekatan enam kriteria yaitu: (1) perekonomian
masyarakat, (2) sumberdaya manusia, (3) prasarana dan sarana, (4)
kemampuan keuangan daerah, (5) aksesibilitas dan (6) karakteristik daerah.
Berdasarkan pendekatan enam kriteria tersebut, terdapat 183 daerah
tertinggal di Indonesia yang tersebar di 27 Provinsi. Jika daerah tertinggal
ini dipisahkan antara KBI dan KTI, maka di KBI terdapat 11 Provinsi dan
KTI terdapat 16 Provinsi yang memiliki daerah tertinggal. Jumlah daerah
tertinggal di KBI yang meliputi pulau Sumatera, Jawa, dan Bali adalah 55
daerah tertinggal dengan sebaran 39 daerah tertinggal di pulau Sumatera dan
16 daerah tertinggal di pulau Jawa, sedangkan di KTI terdapat 128 daerah
tertinggal yang tersebar di pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara,
Papua, dan Maluku yang pembagiannya dapat dilihat pada Gambar 2.
4
Pembentukan Kementerian PDT melalui perpres No 9 Tahun 2005
merupakan salah satu upaya pemerintah didalam mengatasi permasalahan
pembangunan didaerah tertinggal. Berdasarkan hal tersebut pemerintah
pusat telah mengalokasikan bantuan sosial (bansos) melalui 5 program
percepatan pembangunan daerah tertinggal, kebijakan tersebut bertujuan
untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi
dan pengurangan ketimpangan yang dioperasionalisasikan pada berbagai
program bantuan, program tersebut meliputi: (1) peningkatan sumberdaya
daerah tertinggal, (2) peningkatan infrastruktur daerah tertinggal, (3)
pembinaan ekonomi dan dunia usaha daerah tertinggal, (4) pembinaan
kelembagaan dan sosial budaya daerah tertinggal, dan (5) pengembangan
daerah khusus. Program ini telah dimulai pada tahun 2009 dan masih
berjalan sampai sekarang, dan telah disalurkan pada 183 daerah tertinggal di
Indonesia (Kementerian PDT 2013).
Sebaran Derah Tertinggal
Sebaran Daerah
Tertinggal
Menurut
Provinsi
Menurut Provinsi
SUMAT
ERA
25%
PAPUA
19%
MALUK
U
8%
SULAW
ESI
19%
Sebaran Daerah Tertinggal
Menurut Wilayah KBI dan KTI
KBI
30%
JAWA
5%
NUSA
TENGG
ARA
15%
KALIM
ANTAN
9%
Sumber: Kementerian PDT (2012)
Gambar 2 Sebaran daerah tertinggal menurut pulau di Indonesia tahun 2012
Percepatan pembangunan daerah tertinggal melalui lima program
utama bantuan sosial merupakan langkah yang tepat dilakukan oleh
pemerintah. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Aziz (1994)
bahwa untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya, terdapat beberapa
alternatif pengembangan suatu daerah. Alternatif tersebut dapat berupa
investasi yang langsung diarahkan pada sektor produktif atau investasi pada
bidang social overhead, seperti pembangunan jalan, fasilitas kesehatan,
pendidikan dan prasarana infrastruktur lainnya.
Kondisi diatas membuktikan bahwa pemerintah memiliki perhatian
serius terhadap percepatan pembangunan daerah tertinggal. Studi mengenai
dampak dari bantuan sosial perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
efektifitas dari pemberian bantuan sosial tersebut dalam mengatasi
permasalahan daerah tertinggal, karena pemerintah memiliki keterbatasan
anggaran dan dalam jangka panjang belum tentu akan selalu memberikan
bantuan serta dikarenakan terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi wilayah (Sari 2011; Savas 2008). Berdasarkan latar
5
belakang tersebut, penelitian ini akan menganalisis pengaruh program
bantuan sosial terhadap percepatan perekonomian serta kaitannya dengan
kemiskinan di kabupaten tertinggal.
Permasalahan
Tujuan pemberian bantuan sosial kepada daerah tertinggal
dimaksudkan untuk mengurangi permasalahan yang dihadapi daerah
tertinggal melalui peningkatan kemampuan masyarakat yang disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing. Selain itu pemberian
dana bansos ini juga bertujuan untuk memberdayakan masyarakat tertinggal
sehingga dapat meningkatkan kegiatan ekonomi untuk berperan aktif dalam
pembangunan sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan,
kualitas, kelangsungan hidup dan memulihkan fungsi sosial ekonomi dan
budaya.
Kementerian PDT dari tahun 2010-2013 telah mengucurkan dana
untuk program bansos sebesar Rp1,41 Trilun. Pola sebaran bantuan yang
diberikan cukup sesuai mengingat share bantuan sosial diberikan
berdasarkan permasalahan pembangunan dimasing-masing daerah tertinggal
(Kementerian PDT 2013). Tabel 2 memperlihatkan bahwa dana yang
digulirkan Kementrian PDT untuk percepatan pembangunan daerah
tertinggal mengalami kenaikan yang sangat signifikan.
Penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa pengeluaran
pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi (Patricia
and Izhucukwu 2013; Bataineh 2012; Muritala 2011; Alexiou 2009).
Pengeluaran pemerintah dalam bentuk bantuan sosial berupa program
permberdayaan juga mampu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat
(Maelissa 2010; Mulyana 2009). Selain itu, kegiatan-kegiatan yang terdapat
didalam program bantuan sosial seperti bidang pendidikan, kesehatan,
pemberdayaan ekonomi lokal, lingkungan, infrastruktur serta komunikasi
dan hubungan sosial dengan masyarakat/kelompok dapat berkontribusi
positif terhadap pengembangan wilayah.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari pengeluaran
pemerintah diharapkan dapat menurunkan tingkat kemiskinan. Penelitian di
beberapa negara menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan
pertumbuhan ekonomi dengan penurunan tingkat kemiskinan (Indra 2013;
Jonaidi 2012; Mehmood 2010).
Kajian dari keseluruhan program bantuan sosial Kementerian PDT
dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan di daerah
tertinggal belum banyak dilakukan. Kajian ini penting untuk dilakukan
untuk menilai efektivitas program yang dilakukan pemerintah untuk
meningkatkan perekonomian daerah tertinggal, karena pemerintah memiliki
keterbatasan anggaran dan dalam jangka panjang tidak selalu akan
memberikan dana bantuan.
Strategi yang telah dijalankan oleh Kementerian PDT dalam
RPJMN tahun 2010-2014 diantaranya: a) pengembangan ekonomi lokal di
daerah tertinggal, b) penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah
daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal di daerah tertinggal, c)
6
peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau di daerah
tertinggal, d) peningkatan pelayanan pendidikan yang berkualitas di daerah
tertinggal, dan e) peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur daerah
tertinggal serta peningkatan aksesibilitas daerah tertinggal dengan pusatpusat pertumbuhan. Strategi ini belum mampu untuk menekan tingkat
kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di daerah tertinggal, sehingga perlu
di rumuskan strategi kebijakan yang tepat untuk pengentasan kemiskinan
dan penurunan ketimpangan di daerah tertinggal.
Tabel 2 Jumlah bantuan sosial kementerian PDT untuk kabupaten tertinggal
di Indonesia tahun 2010-2013
Jenis Bantuan
Tahun
2012
30.340
306.111
134.635
2010
2011
2013
Bidang Pengembangan SDM
25.425 10.436
Bidang Peningkatan Infrastruktur
62.203 162.772
Bidang Pembinaan Ekonomi dan Dunia 10.500 98.276
28.210
Usaha
Bidang Pembinaan Lembaga Sosial dan 12.580 14.580
7.378 27.551
Budaya
Bidang Pengembangan Daerah Khusus
32.350 56.950 116.205 288.806
Total (juta rupiah) 143.058 343.015 594.699 344.567
Sumber: Kementerian PDT (2013)
Pemberian dana bantuan sosial bagi daerah tertinggal sudah
dilakukan sejak tahun 2009. Bantuan sosial diberikan secara merata pada
daerah tertinggal di Indonesia, baik di kawasan Barat (KBI) maupun
kawasan Timur Indonesia (KTI), namun secara umum kondisi daerah
tertinggal di Indonesia belumlah terlalu baik. Pertumbuhan ekonomi
berfluktuatif dengan rata-rata 5 persen pertahun, ditambah dengan tingkat
kemiskinan yang masih tinggi dari rata-rata kemiskinan nasional yaitu 11
persen. Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal sangat
diperlukan mengingat masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori
sebagai daerah tertinggal, yakni 133 kabupaten atau 32,2 persen dari jumlah
kabupaten dengan rata-rata jumlah penduduk miskin sebesar 16,13 persen
(Tabel 3).
Masih banyaknya penduduk miskin berlokasi di daerah tertinggal
menimbulkan dugaan awal bahwa kemiskinan yang terjadi di kabupaten
tertinggal ini dapat dikategorikan sebagai kemiskinan yang kronis (chronic
poverty). Dugaan ini cukup beralasan mengingat berbagai keterbatasan dan
keterbelakangan daerah tertinggal jika dibandingkan dengan daerah lain
yang lebih maju, diantaranya rendahnya kualitas sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur dan
letak geografis yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan sehingga
menyebabkan akses penduduk menjadi terbatas.
Berdasarkan permasalahan diatas perlu dilakukan studi mengenai
dampak dari pemberian dana bantuan sosial terhadap pertumbuhan ekonomi
di kabupaten tertinggal. Kajian lain yang juga penting untuk dilakukan
adalah bagaimana dampak dari pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan
7
kemiskinan di kabupaten tertinggal di Indonesia, hal ini penting untuk
dilakukan mengingat masih tingginya rata-rata penduduk miskin
dikabupaten tertinggal yaitu 16,13 persen. Berdasarkan fakta tersebut maka
pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
Bagaimana dinamika kemiskinan, perekonomian, dan bantuan sosial di
kabupaten tertinggal di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan kawasan
Timur Indonesia (KTI)?
Bagaimana pengaruh program bantuan sosial Kementerian PDT
terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten tertinggal di Indonesia?
Bagaimana hubungan antara pertumbuhan perekonomian dengan
tingkat kemiskinan kabupaten tertinggal di Indonesia?
Tabel 3 Gambaran umum daerah tertinggal di Indonesia tahun 2010-2013
Indikator
Kondisi Tahun 2010
Rata-rata
pertumbuhan
ekonomi di daerah
tertinggal (persen)
5,76
Persentase
Penduduk miskin
didaerah tertinggal
(persen)
21,17
Jumlah kabupaten
daerah tertinggal
183
Target
Pembangunan
Capaian Target Di
Daerah
Tahun 2013
Tertinggal di
Tahun 2013
Meningkatnya
5,96
rata-rata
pertumbuhan
ekonomi
menjadi 6,8
persen
Berkurangnya
16,13
persentase
penduduk
miskin di
daerah
tertinggal
menjadi 12,46
persen
Terentaskannya
133
minimal 40
kabupaten
tertinggal
Sumber: Kementerian PDT (2013)
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
Mengkaji dinamika kemiskinan, perekonomian, dan bantuan sosial di
kabupaten tertinggal di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan kawasan
Timur Indonesia (KTI)
Menganalisis pengaruh program bantuan sosial Kementerian PDT
terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di Indonesia
Menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat
kemiskinan di kabupaten tertinggal di Indonesia
8
Manfaat Penelitian
Manfaaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai bahan
masukan bagi pemerintah khususnya Kementerian PDT didalam
merumuskan kebijakan yang tepat, sehingga program bantuan yang
digulirkan memang benar-benar mampu untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat kabupaten tertinggal. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
salah satu alat evaluasi bagi Kementerian PDT didalam menilai dampak dari
program bantuan sosial bagi perekonomian kabupaten tertinggal.
Ruang Lingkup Penelitian
Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada kabupaten
tertinggal, analisis dilakukan pada kabupaten tertinggal di Indonesia (KBI
dan KTI) yang termasuk dalam 183 kabupaten tertinggal yang telah
ditetapkan oleh Kementrian PDT yang mendapatkan dana bantuan sosial
dari tahun 2010-2013.
9
2
TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Pemerintah dalam Pembangunan Ekonomi
Kebijakan Pemerintah Dalam Pembangunan
Peranan pemerintah dalam pembangunan ekonomi telah lama
menjadi objek pembahasan yang menarik di antara ahli ekonomi. Aliran
Klasik, yang menganut kebebasan pasar berpendapat bahwa campurtangan
pemerintah sebagai sesuatu yang menghambat dan mengganggu bekerjanya
kekuatan-kekuatan objektif dari pasar yang disebut sebagai mekanisme
pasar. Para penganut aliran neoklasik bahkan menuduh bahwa campur
tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu (individual
freedom) yang merupakan fondasi dari sistem demokrasi.
Berbeda dengan kaum klasik dan neoklasik, John M. Keynes
seorang ahli ekonomi terkemuka menganggap bahwa kebebasan pasar,
tanpa ada campur tangan pemerintah, tidak akan mampu melakukan alokasi
sumberdaya dan output secara optimal (full employment of outputs). Tanpa
campur tangan pemerintah dalam perekonomian, akan terjadi persaingan
bebas yang merugikan kelompok ekonomi lemah. Akibatnya terjadi restriksi
pasar dalam bentuk monopoli yang dikuasai golongan ekonomi kuat.
Karena itu Keynes memandang perlu adanya peran pemerintah, antara lain
dalam bentuk kebijakan anggaran untuk mengatasi pengangguran yang
sekaligus juga meningkatkan dayabeli dan mendorong adanya kegiatan
bisnis.
Walaupun mekanisme pasar benar-benar beroperasi lebih efisien
dalam rangka mengalokasikan sumberdaya yang ada dibandingkan
mekanisme sektor publik, tetapi tidak berarti bahwa peranan sektor publik
atau pemerintah dalam pengelolaan ekonomi nasional bisa dihilangkan sama
sekali. Pembentukan modal (capital formation) adalah kebutuhan mendasar
bagi pembangunan ekonomi. Pada tahap awal pembangunan ekonomi,
tabungan privat di negara-negara berkembang sangat rendah maka
pemerintahlah yang harus memainkan peranan utama dalam upaya
mengakumulasi modal. Selain itu, pemerintah juga masih harus
menciptakan suatu keterkaitan tertentu dengan sektor swasta, agar sektor
swasta tersebut dapat tumbuh dengan subur. Peranan penting lain yang
dijalankan pemerintah adalah pengembangan sumberdaya manusia melalui
pendidikan dan latihan (yang tidak bisa diharapkan akan digarap oleh pihak
swasta mengingat biayanya yang besar dan tidak adanya keuntungan
seketika). Selanjutnya, pembangunan ekonomi juga bisa menciptakan
distribusi pendapatan yang sangat timpang sehingga diperlukan pengaturan
dan pengawasan oleh pemerintah untuk memperbaiki distribusi pendapatan
(Todaro, 2000).
Menurut Jhingan (2008), dalam rangka mengatasi sifat kaku yang
melekat di negara berkembang, pemerintah harus memegang peranan positif
dan tidak boleh berlaku sebagai penonton pasif. Problema di negara
berkembang adalah sedemikian besarnya sehingga tidak dapat diserahkan
begitu saja kepada mekanisme pasar (kekuatan-kekuatan ekonomi). Untuk
10
mengangkat negara keluar dari titik-titik stagnasi diperlukan adanya
pembaharuan rasio ekonomi secara cepat. Pada fase awal pembangunan,
investasi harus dilakukan di bidang-bidang yang meningkatkan ekonomi
eksternal yaitu yang mengarah pada penciptaan overhead sosial dan
ekonomi seperti tenaga kerja, transportasi, pendidikan, kesehatan dan
lainnya.
Perusahaan swasta tidak akan tertarik melaksanakan kegiatankegiatan tersebut karena risikonya besar dan keuntungannya kecil. Dari sini
timbul kebutuhan untuk menyeimbangkan pertumbuhan berbagai sektor
ekonomi sehingga penawaran sesuai dengan permintaannya. Oleh karena itu
pengawasan dan pengaturan oleh negara menjadi penting dalam rangka
mencapai keseimbangan pertumbuhan. Keseimbangan memerlukan
pengawasan atas produksi, distribusi dan konsumsi komoditas. Untuk tujuan
ini pemerintah harus merencanakan pengawasan fisik dan langkah-langkah
fiskal dan moneter. Langkah-langkah ini memang tidak dapat dihindarkan,
untuk mengurangi ketidakseimbangan ekonomi dan sosial yang mengancam
negara berkembang. Mengatasi perbedaan sosial dan menciptakan situasi
psikologis, ideologis, sosial dan politik yang menguntungkan bagi
pembangunan ekonomi merupakan tugas terpenting pemerintah, karena itu
ruang lingkup tindakan pemerintah sangat luas dan menyeluruh. Menurut
Lewis lingkup itu mencakup penyelenggaraan pelayanan umum,
menentukan sikap, membentuk lembaga-lembaga ekonomi, menentukan
penggunaan sumber, menentukan distribusi pendapatan, mengendalikan
jumlah uang, mengendalikan fluktuasi ekonomi, menjamin full employment,
dan menentukan laju investasi (Norton, 2004; Jhingan, 2008).
Pemerintah dapat mendorong pembangunan ekonomi melalui
kebijakan fiskal dan moneter. Dengan kebijakan fiskal dan moneter yang
tepat, pemerintah mampu menyingkirkan hambatan-hambatan ekonomis,
kelembagaan dan sosial di negara berkembang. Kebijakan moneter
memainkan peranan penting dalam mempercepat pembangunan dengan
memengaruhi biaya dan ketersediaan kredit, pengendalian inflasi, dan
menjaga keseimbangan neraca pembayaran. Melalui kebijakan fiskal,
pemerintah berusaha memperbaiki ketimpangan pendapatan dan
kesejahteraan yang melebar dengan adanya pembangunan, memperluas
pasar internal, mengurangi impor yang tidak penting, meniadakan tekanan
inflasi, dan merangsang berbagai jenis proyek pembangunan yang
diinginkan (Donalson, 1984; Todaro, 2000; Jhingan 2008).
Dalam mengelola perekonomian guna mencapai tujuan
pembangunan, pemerintah dapat menggunakan kebijakan di bidang
ekonomi. Pemerintah mengusahakan pada tingkat makro tercapainya
kesempatan kerja penuh, stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi dan
keseimbangan neraca pembayaran, dan pada tingkat mikro terjadinya
pemakaian sumberdaya yang efisien. Dalam praktik, pada kondisi
kerumitan ekonomi yang ada dan terbukanya perekonomian pada pengaruhpengaruh internasional, pencapaian semua tujuan ini sekaligus secara
berkesinambungan sering kali tidak mungkin, sehingga dibutuhkan skala
prioritas serta pertimbangan politik dan ekonomi. (Donalson, 1984; Todaro,
2000; Norton, 2004).
11
Program Pengentasan Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi penting untuk menciptakan kesempatankesempatan atau peluang-peluang untuk mengurangi kemiskinan. Meskipun
demikian pertumbuhan ekonomi sendiri tidak cukup, orang miskin dan
orang yang rentan
mungkin tidak memperoleh keuntungan dari
pertumbuhan, karena mereka kurang sehat, kurang keahlian, dan kurangnya
akses terhadap infrastruktur dasar. Pemberdayaan sangat penting bagi
penduduk miskin untuk mengambil keuntungan dari peluang-peluang yang
diciptakan dengan adanya pertumbuhan.
Dalam menjalankan roda pembangunan pemerintah telah
melaksanakan berbagai macam program penanggulangan kemiskinan
dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Berbagai program telah
dilaksanakan tetapi pada kenyataannya tingkat kemiskinan masih saja
merupakan fenomena yang harus terus ditanggulangi sampai saat ini.
Berbagai program yang dijalankan pemerintah tersebut lebih banyak
menemui kegagalan dibandingkan dengan keberhasilannya. Beberapa
program tersebut antara lain:
Program Inpres Desa Tertinggal (IDT)
Program IDT merupakan program yang paling luas dan tersebar di
Indonesia. Program ini dilaksanakan sejak 1994/1995. Program
penanggulangan kemiskinan ini lebih di khususkan pada tingkat pedesaan.
Kunci yang paling penting dari program IDT adalah memberi kepercayaan
penuh dan kebebasan kepada penduduk miskin untuk melaksanakan
program-programnya sesuai dengan kreatifitas dan potensi yang dimiliki
oleh penduduk miskin sendiri. Dengan dana hibah Rp 20 juta untuk masingmasing desa, masyarakat dipercaya untuk menggunakannya sesuai dengan
kegiatan/usahanya masing-masing tanpa intervensi sedikitpun.
Program IDT merupakan suatu program untuk menumbuhkan dan
memperkuat kegiatan usaha para penduduk miskin dengan membuka
kesempatan berusaha yang dirahkan untuk pengembangan kegiatan sosial
ekonomi dengan prinsip gotong royong, keswadayaan dan peran serta.
Keberhasilan pelaksanaannya tergantung dari kepedulian aktif seluruh
masyarakat, motivasi penduduk miskin untuk mengubah nasibnya,
dukungan aparat pemerintah dalam penganggulangan kemiskinan serta
peran aktif berbagai pihak seperti perguruan tinggi, organisasi
kemasyarakatan, pers dan dunia usaha.
Bantuan dana IDT disalurkan langsung kepada kelompok
masyarakat melalui bank penyalur yang di tunjuk tingkat kecamatan. Dana
tersebut menjadi dana abadi milik masyarakat desa yang digunakan untuk
mengembangkan desa yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan
pendapatan rumah tangga. Pengembangan usaha dan kegiatan ekonomi yang
dilakukan berdasarkan potensi sumberdaya alam setempat atau melalui
kegiatan ekonomi yang sudah biasa dilakukan penduduk miskin sehari-hari.
Meskipun terkesan di masyarakat luas bahwa program IDT “gagal
total” karena tidak ada lagi dana segar yang disalurkan kepada penduduk
miskin, dan sudah ada program-program penggantinya. Tetapi berdasarkan
12
penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Mubyarto dkk, membuktikan yang
sebaliknya. Dana hibah di Karangawen Gunung kidul, telah meningkatkan
pendapatan penduduk miskin sebesar 97 persen selama 8 tahun (1994-2002).
Meskipun dana IDT diberikan sebagai dana hibah pemerintah pusat kepada
123 ribu pokmas di seluruh Indonesia, tetapi di Karangawen otomatis
dijadikan modal simapn pinjam yang kini telah berkembang 126 persen.
Bukti dari lapangan tersebut menunjukkan bahwa rakyat/penduduk miskin
tidak memperlakukan dana IDT sebagai program belas kasihan, tetapi
benar-benar sebagai dana program pemberdayaan ekonomi rakyat yang
mampu mengembangkan masyarakat desa yang mampu dan percaya diri.
Bantuan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
Pengembangan program IDT diimplementasikan dalam Program
Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) yang
merupakan pendukung program IDT. P3DT dioperasionalkan mulai tahun
1995/1996 yang menekankan bantuan pembangunan prasarana dan sarana
dasar yang dapat mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat lokal.
Peran serta aktif masyarakat lokal dalam kegiatan pembanguanan di tingkat
lokal, penguatan kelembagaan pembangunan di tingkat lokal, dan
pelestarian hasil pembangunan melalui pemantapan sistem pelaporan
(pemantauan dan evaluasi) makin dimantapkan dalam pelaksanaan program
P3DT. Prinsip penguatan kelembagaan pembangunan yang dilaksanakan
oleh masyarakat lokal dan yang diwujudkan melalui wadah LKMD menjadi
dasar pelaksanaan kegiatan pembangunan sarana dan prasarana dasar sosial
ekonomi. Melalui pelaporan yang tertib, perkembangan dan pelestarian
pelaksanaan kegiatan, hasil pembangunan dan dampaknya dapat diketahui
guna meningkatkan kapasitas masyarakat.
Bantuan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)
Program P3DT ini kemudian disempurnakan dalam bentuk Program
Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Kedua program ini memiliki sistem dan
aturan yang sama perbedaannya hanyalah pada lokasi program. PPK
merupakan bantuan program untuk daerah pedesaan sedangkan P2KP untuk
daerah perkotaan.
Program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE)
Dalam mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia, maka untuk mengatasi
dampak dari krisis tersebut pemerintah memberikan program PDM-DKE.
Program ini menerapkan prinsip perencanaan bottom-up. Dengan
didampingi oleh tim koordinasi/Pembina dalam pelaksanaannya. Dalam segi
penyaluran bantuan, program PDM-DKE menerapkan bantuan langsung
kepada masyarakat. Sejak dan berada di daerah, masyarakat di daerah
tersebut memiliki hak sepenuhnya untuk mengelola penggunaan bantuan
tersebut.
13
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Program ini ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan
kesempatan kerja. Koordinasi kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan merupakan merupakan penting yang harus dilakukan dalam
upaya penanggulangan kemiskinan. Pemerintah mengkonsolidasikan
program-program penanggulangan kemiskinan menjadi 3 kelompok
program penanggulangan kemiskinan. Masing-masing ketiga kelompok
tersebut secara berurutan berupaya mengurangi beban pengeluaran
masyarakat miskin, selanjutnya berupaya meningkatkan kemampuan dan
pendapatan masyarakat miskin dan kemudian meningkatkan tabungan dan
menjamin keberlanjutan berusaha pelaku usaha mikro dan kecil. Ketiga
kelompok tersebut adalah: (1) kelompok program berbasis bantuan dan
perlindungan sosial, (2) kelompok program berbasis pemberdayaan
masyarakat, (3) kelompok program berbasis pemberdayaan usaha mikro dan
kecil.
Berdasarkan laporan TNP2K (2013) hasil yang telah diperoleh pada
tahun 2011 dari Klaster I yang ditujukan untuk mengurangi beban
pemenuhan kebutuhan dasar dan untuk mengurangi beban pemenuhan
kebutuhan dasar dan untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota rumah
tangga miskin melalui peningkatan akses pada pelayanan dasar adalah: (1)
realisasi penyaluran subsidi Raskin sebesar 2.9 ton bagi 17.5 juta rumah
tangga sasaran penerima raskin, dan adanya penyaluran raskin ke-13
mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin akibat kenaikan hargaharga pangan, termasuk beras, (2) pemberian beasiswa yang direncanakan
untuk 4.7 juta siswa.
Sementara itu, pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) pada
tahun 2011 telah dilaksanakan bagi 722,000 rumah tangga miskin (RTSM)
di 88 Kabupaten/Kota pada 20 Provinsi dengan kualitas yang semakin
meningkat dimana telah terjalin koordinasi antara beberapa program
berbasis keluarga atau rumah tangga, seperti Jamkesmas dan beasiswa
miskin. Pelaksanan PKH juga telah memberikan dampak terhadap
peningkatan siswa yang terdaftar pada satuan pendidikan setingkat SMP
sebesar 3.1 % dan juga peningkatan kesehatan RTSM.
Sejalan dengan pelaksanaan Klaster I, hasil yang dicapai dalam
pelaksanaan program Klaster II untuk tujuan Pemberdayaan Masyarakat
diantaranya adalah sebagai berikut: pada tahun 2011 pelayanan PNPM
Mandiri Inti sudah dilaksanakan di 6,328 kecamatan di seluruh Indonesia,
dan akan terus dilanjutkan sehingga pada tahun 2012 PNPM Inti akan
mencakup di 6,623 kecamatan, dengan penempatan 30,000 fasilitator
sebagai pendamping masyarakat dan didukung dengan penyaluran bantuan
langsung masyarakat sebesar Rp. 10.31 triliun yang berasal dari APBN dan
APBD. Pelaksanaan PNPM Mandiri, juga didukung oleh pelaksanaan
PNPM pendukung diantaranya: (1) PNPM Generasi sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas generasi penerus, (2) PNPM Kelautan dan Perikanan
(PNPM-KP) yang ditujukan untuk memberikan fasilitas bantuan sosial dan
akses usaha modal, (3) PNPM Agribisnis, yaitu Program Usaha Agribisnis
Pertanian (PUAP), serta (4) PNPM Pariwisata yang baru masuk dalam
14
PNPM Penguatan dengan tujuan mengembangkan kapasitas masyarakat dan
memperluas kesempatan berusaha dalam kegiatan kepariwisataan.
Pelaksanaan PNPM telah meningkatkan kesejahteraan rakyat
melalui peningkatan pendapatan rumah tangga hingga 19 persen dan
konsumsi rumah tangga hingga 5 persen dibandingkan dengan daerah yang
tidak mendapat PNPM. Selain itu, akses terhadap kesehatan juga lebih besar
5 persen dan peningkatan kesempatan kerja yang lebih besar 1.25 persen di
lokasi PNPM dibandingkan lokasi non PNPM. Hasil yang dicapai dalam
pelaksanaan Klaster III adalah terlaksananya penyaluran Kredit Usaha
Rakyat (KUR) untuk UMKM dan koperasi. Sejak tahun 2007 sampai
dengan akhir tahun 2011 kredit yang tersalurkan hampir Rp. 34.42 triliun,
dan mencakup sekitar 3.81 juta nasabah dengan tingkat NPL mencapai 2.52
persen. Sebagian besar KUR diserap oleh sektor perdagangan, restoran dan
hotel (63.7 persen) dan pertanian (17.1 persen). Penyaluran KUR sebagian
besar berada di wilayah Jawa dengan volume KUR sebesar 50,2 persen dan
proporsi debitur mencapai 61.0 persen. Pada periode tahun 2011, dana KUR
yang disalurkan mencapai Rp. 17.23 triliun dengan jumlah nasabah lebih
dari 1.4 juta nasabah. Pelaksanaan KUR telah memberikan dampak terhadap
rata-rata asset usaha sebesar Rp. 51 juta, asset rumah tangga sebesar Rp.
12.66 juta dan pengeluaran rumah tangga sebesar Rp. 279,000 per bulan.
Selain itu, KUR juga telah mengatasi penggangguran terselubung bagi
debitur dan keluarganya, serta meningkatkan intensitas utilisasi tenaga kerja
dan kontribusi pada perekonomian nasional.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas
perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada
suatu periode tertentu. Perekonomian dianggap mengalami pertumbuhan
bila seluruh balas jasa riil terhadap penggunaan faktor produksi pada tahun
tertentu lebih besar daripada pendapatan riil masyarakat pada tahun
sebelumnya. Indikator yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan
ekonomi adalah tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil.
Perkembangan teori-teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tersebut
terdiri dari Mazhab Historis dan Mahzab Analitis yang terdiri dari teori
Klasik, Teori Neo Klasik, Teori Keynesian, dan Teori Schumpeter
(Anonymous 2012) dalam Indra (2013).
Teori Pertumbuhan Keynessian
Mankiw (2007) menyatakan bahwa teori Keynessian adalah nama
suatu teori ekonomi yang diambil dari John Maynard Keynes, seorang
ekonom Inggris yang hidup antara tahun 1883 sampai 1946. Beliau dikenal
sebagai orang pertama yang mampu menjelaskan secara sederhana
penyebab dari Great Depression. Teori ekonominya berdasarkan atas
hipotesis siklus arus uang, yang mengacu pada ide bahwa peningkatan
belanja (konsumsi) dalam suatu perekonomian, akan meningkatkan
pendapatan yang kemudian akan mendorong lebih meningkatnya lagi
15
belanja dan pendapatan. Teori Keynes ini menyebabkan banyak intervensi
kebijakan ekonomi pada era terjadinya Great Depression.
Teori Keynes kemudian menyimpulkan bahwa ada alasan pragmatis
untuk pendistribusian kemakmuran: jika segmen masyarakat yang lebih
miskin
diberikan
sejumlah
uang,
mereka
akan
cenderung
membelanjakannya daripada menyimpannya; yang kemudian mendorong
pertumbuhan ekonomi. Ide pokok dari teori Keynes ini adalah “Peranan
Pemerintah” yang tadinya diharamkan dalam Teori Ekonomi Klasik. John
Meynard Keynes menjelaskan teori ekonominya dalam buku karangannya
berjudul “The General Theory of Employment, Interest and Money”
Inti dari kebijakan makro Keynes adalah bagaimana pemerintah bisa
mempengaruhi permintaan agregat (dengan demikian, mempengaruhi
situasi makro), agar mendekati posisi “Full Employment”-nya. Permintaan
Agregat adalah seluruh jumlah uang yang dibelanjakan oleh seluruh lapisan
masyarakat untuk membeli barang dan jasa dalam satu tahun. Barang dan
jasa diartikan sebagai barang dan jasa yang diproduksikan dalam tahun
tersebut (barang bekas atau barang yang diproduksikan tahun-tahun
sebelumnya atau barang yang tidak diproduksikan seperti tanah, tenaga
kerja dan faktor produksi lain, tidak termasuk dalam pengertian “barang
dan jasa” dimaksud disini). Dalam perekonomian tertutup permintaan
agregat terdiri dari 3 unsur:
1 Pengeluaran Konsumsi oleh Rumah Tangga (C)
2 Pengeluaran Investasi oleh Perusahaan (I)
3 Pengeluaran Pemerintah (G), Pemerintah bisa mempengaruhi
permintaan agregat secara langsung melalui pengeluaran pemerintah
dan secara tidak langsung terhadap pengeluaran konsumsi dan
pengeluaran investasi.
𝑌 =𝐶+𝐼+𝐺
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan
agregat. Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan
pengeluaran menyatakan bahwa
𝑌 = 𝐶 + 𝐼 + 𝐺 + (𝑋 − 𝑀)
Formula ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional, sekaligus
mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan variable-variabel di ruas
kanan disebut permintaan agregat. Variabel G menyatakan pengeluaran
pemerintah (Government expenditures), I merupakan Investment, X-M
adalah net ekspor. Dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta
mengamatinya dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar
kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan permintaan agregat
atau pendapatan nasional. Dengan ini, dapat dianalisis seberapa penting
peranan pemerintah dalam perekonomian nasional.
Pemerintah sebagai salah satu pelaku ekonomi (rumah tangga
pemerintah), memiliki fungsi penting dalam perekonomian yaitu berfungsi
sebagai stabilisasi, alokasi, dan distribusi.
16
1.
2.
3.
Fungsi Stabilisasi, yakni fungsi pemerintah dalam menciptakan
kestabilan ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan, dan keamanan.
Fungsi Alokasi, yakni fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan
jasa publik seperti pembangunan jalan raya, gedung sekolah,
penyediaan fasilitas penerangan, dan telepon.
Fungsi Distribusi, yakni fungsi pemerintah dalam pemerataan atau
distribusi pendapatan masyarakat.
Beberapa ahli seperti Huttman, Marshall, Rein, dan Magill mengartikan
kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial
(Suharto 1997).
1. Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau
rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi
kebutuhan sosial (Huttman 1981).
2. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga
negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan
(Marshall 1965).
3. Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial,
peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan
sosial (Rein 1970).
4. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy).
Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari
pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi,
pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air
bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik
yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magill 1986)
Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow
Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi tergantung kepada
penambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja,
dan akumulasi modal dan tingkat kemajuan teknologi. Pandangan ini
didasarkan kepada anggapan yang mendasari analisis klasik, yaitu
perekonomian akan tetap mengalami tingkat pengerjaan penuh (full
employment) dan kapasitas peralatan modal akan tetap sepenuhnya
digunakan sepanjang waktu. Dengan kata lain, sampai dimana
perekonomian akan berkembang tergantung kepada pertambahan penduduk,
akumulasi capital, dan kemajuan teknologi.
Menurut teori ini, rasio modal-output (capital-output ratio) bisa
berubah. Untuk menciptakan sejumlah output tertentu, bisa digunakan
jumlah modal yang berbeda-beda dengan bantuan tenaga kerja yang
jumlahnya berbeda-beda pula. Jika lebih banyak modal yang digunakan,
maka tenaga kerja yang digunakan lebih sedikit. Sebaliknya jika modal
yang digunakan lebih sedikit, maka lebih banyak tenaga kerja yang
digunakan. Dengan adanya fleksibilitas ini suatu perekonomian mempunyai
kebebasan yang tak terbatas dalam menentukan kombinasi modal dan
tenaga kerja yang akan digunakan untuk menghasilkan output tertentu.
Model dasar teori sollow bisa dituliskan sebagai berikut:
17
Y = F(K, L)
Y𝑡
K𝑡
L𝑡
= GDP (PDRB) pada tahun t
= jumlah stok barang modal pada tahun t
= jumlah tenaga kerja pada tahun t
f(k)
y=Y/L
y=f(k)
y
i=sf(k)
i
K
k=K/L
Y/L (output per pekerja) adalah fungsi dari K/L (jumlah modal per pekerja).
Dengan asumsi besarnya perekonomian yang diukur dengan jumlah pekerja
tidak mempengaruhi hubungan output perkapita dengan modal per pekerja,
jadi Y/L=y dan K/L=k.
Konsep dan Teori Kemiskinan
Konsep Kemiskinan
Kemiskinan menurut UNDP dalam Cahyat (2004), adalah
ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain
dengan memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan
kebijakan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan. Badan Pusat
Statistik (2014) dalam mengukur tingkat kemiskinan menggunakan konsep
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan
pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan
yang diukur dari sisi pengeluaran.
Metode yang digunakan BPS adalah menghitung garis kemiskinan
(GK), yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan
(GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Penghitungan GK
dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk
miskin menurut BPS adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran
per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. GKM merupakan suatu
nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan
2100 kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan
diwakili oleh 52 jenis komoditi. GKBM adalah kebutuhan minimum untuk
perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan
dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47
jenis komoditi di pedesaan.
18
Selama periode September 2013-Maret 2014, garis kemiskinan naik
sebesar 3,34 persen, yaitu dari Rp. 292.951,- per kapita perbulan pada
September 2013 menjadi Rp. 302.735,- per kapita per bulan pada Maret
2014. Sementara pada periode Maret 2013-Maret 2014, Garis Kemiskinan
naik sebesar 11,45 persen, yaitu dari Rp. 271.626,- per kapita per bulan pada
Maret 2013 menjadi Rp. 302.735,- per kapita per bulan Maret 2014. (BPS,
2014)
Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
kemiskinan, perlu dilakukan suatu pemetaan kemiskinan. Pemetaan
kemiskinan secara makro bertujuan untuk menggambarkan keragaman
kemiskinan dalam suatu negara, yaitu wilayah mana yang lebih sejahtera
dan wilayah mana yang kurang sejahtera. Wilayah yang mempunyai tingkat
kemiskinan secara makro yang lebih rendah, mungkin mempunyai kantongkantong kemiskinan yang besar dan tidak tercermin dalam statistik
kemiskinan secara makro.
Teori dan Faktor Kemiskinan
Berbagai teori mengenai kemiskinan dikemukakan oleh para ahli,
diantaranya Bellinger (2007) yang berpendapat bahwa kemiskinan memiliki
dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan nonpendapatan. Kemiskinan
dalam dimensi pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki
pendapatan rendah, sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan
adanya ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan
kebebasan. Kemiskinan dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan
karena lebih mudah diukur, dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif
dan kemiskinan absolut.
Todaro dan Smith (2006) berpendapat bahwa kemiskinan absolut
adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah
tingkat pendapatan riil minimum tertentu, atau dapat dikatakan hidup di
bawah garis kemiskinan internasional, selain kemiskinan absolut, beberapa
ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator jurang kemiskinan total yang
mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang
masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis tersebut. Kemiskinan relatif
merupakan ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan,
biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat rata-rata distribusi
pendapatan nasional, indeks gini merupakan salah satu contoh ukuran
kemiskinan relatif.
Sharp, et al (1996) dalam Kuncoro (1997) mencoba
mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi:
a. Secara mikro kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan
pada kepemilikan sumberdaya yang menyebabkan distribusi
pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki
sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah.
b. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas
sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia rendah
19
berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya
rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena
rendahnya pendidikan, nasib kurang beruntung, adanya
diskriminasi atau karena keturunan.
c. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
Ketiga penyebab kemiskinan diatas bermuara pada teori lingkaran
kemiskinan / vicious circle of poverty (Gambar 3). Lingkaran kemiskinan
adalah suatu lingkaran yang saling mempengaruhi satu sama lain secara
sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suatu keadaan dimana suatu
negara akan tetap miskin dan akan banyak mengalami kesukaran untuk
mencapai tingkat pembangunan yang lebih baik. Adanya keterbelakangan,
ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya
produktifitas. Rendahnya produktifitas mengakibatkan rendahnya
pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi
pada rendahnya tabungan dan investasi, baik invetasi manusia maupun
investasi kapital. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan dan
seterusnya. Logika berpikir ini dikemukakan oleh Ragnar Nurkse (1953)
yang mengatakan “ a poor country is a poor because it is poor” (negara
miskin itu miskin karena dia miskin).
Produktiftas rendah
Pembentukan
modal rendah
Pendapatan rendah
Investasi rendah
Permintaan barang
rendah
DEMAND
Produktifitas rendah
Pembentukan modal
rendah
Investasi rendah
Pendapatan rendah
Tabungan rendah
SUPPLY
Sumber : Nurkse dalam Kuncoro (1997)
Gambar 3 Lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty)
Menurut Nurkse ada dua lingkaran perangkap kemiskinan, yaitu dari
segi penawaran (supply) dimana tingkat pendapatan masyarakat yang rendah
yang diakibatkan oleh tingkat produktivitas yang rendah menyebabkan
kemampuan masyarakat untuk menabung rendah. Kemampuan untuk
menabung rendah, menyebabkan tingkat pembentukan modal yang rendah,
tingkat pembentukan modal (investasi) yang rendah menyebabkan
kekurangan modal, dan dengan demikian tingkat produktivitasnya juga
rendah dan seterusnya. Dari segi permintaan (demand), di negara-negara
yang miskin perangsang untuk menanamkan modal adalah sangat rendah,
karena luas pasar untuk berbagai jenis barang adanya terbatas, hal ini
disebabkan oleh karena pendapatan masyarakat sangat rendah. Pendapatan
masyarakat sangat rendah karena tingkat produktivitas yang rendah, sebagai
wujud dari tingkatan pembentukan modal yang terbatas di masa lalu.
20
Pembentukan modal yang terbatas disebabkan kekurangan perangsang
untuk menanamkan modal dan seterusnya.
Konsep Daerah Tertinggal
Konsep dan kriteria kabupaten tertinggal tertuang dalam Keputusan
Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor.001/KEP/MPDT/I/2005. Dalam Keputusan Menteri tersebut kabupaten tertinggal adalah
daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain
dalam skala nasional dan berpenduduk yang relatif tertinggal. Penetapan
kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan relatif
berdasarkan pada perhitungan enam (6) kriteria dasar dan 27 indikator
utama yaitu :
1. Perekonomian masyarakat, dengan indikator utama persentase
keluarga miskin dan konsumsi perkapita.
2. Sumber daya manusia, dengan indikator utama angka harapan
hidup, rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf.
3. Prasarana (infrastruktur) dengan indikator utama jumlah jalan
dengan permukaan terluas aspal/beton, jalan diperkeras, jalan
tanah, dan jalan lainnya, persentase pengguna listrik, telepon dan
air bersih, jumlah desa dengan pasar tanpa bangunan permanen,
jumlah prasarana kesehatan/1000 penduduk, jumlah dokter/1000
penduduk, jumlah SD-SMP/1000 penduduk.
4. Kemampuan keuangan daerah dengan indikator utama celah
fiskal.
5. Aksesibilitas dengan indikator utama rata-rata jarak dari desa ke
kota kabupaten, jarak ke pelayanan pendidikan, jumlah desa
dengan akses pelayanan kesehatan lebih besar dari 5 km.
6. karakteristik daerah dengan indikator utama persentase desa
rawan gempa bumi, tanah longsor, banjir, dan bencana lainnya,
persentase desa di kawasan lindung, desa berlahan kritis, dan desa
rawan konflik satu tahun terakhir.
Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa
kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada pembangunan
daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan serta
tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan
pembangunan.
Sebaran daerah tertinggal secara geografis digolongkan menjadi
beberapa kelompok, antara lain:
a. Daerah yang terletak di wilayah pedalaman, tepi hutan, dan pegunungan
yang pada umumnya tidak atau belum memiliki akses ke daerah lain
yang relatif lebih maju.
b. Daerah yang terletak di pulau-pulau kecil, gugusan pulau yang
berpenduduk dan memiliki kesulitan akses ke daerah lain yang lebih
maju.
c. Daerah yang secara administratif sebagian atau seluruhnya terletak di
perbatasan antarnegara baik batas darat maupun laut
21
d. Daerah yang terletak di wilayah rawan bencana alam baik gempa,
longsor, gunung api, maupun banjir.
e. Daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir.
Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan
pendekatan berdasarkan pada perhitungan enam kriteria dasar yaitu:
perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur),
kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik
daerah. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka dalam Strategi Nasional
Pembangunan Daerah Tertinggal ditetapkan 183 kabupaten yang
dikategorikan kabupaten tertinggal.
Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai kondisi di daerah tertinggal belum banyak
dilakukan, khususnya penelitian tentang bantuan sosial dari Kementerian
PDT. Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan menganalisis bantuan
sosial secara parsial untuk melihat efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Penelitian yang lebih menyeluruh dari pemberian bantuan sosial oleh
Kementerian PDT dan efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan
penurunan kemiskinan penting dilakukan untuk melihat efektivitas bantuan,
karena dalam jangka panjang pemerintah tidak selalu akan memberikan
bantuan karena keterbatasan anggaran dll.
Penelitian Tentang Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah atau negara sangat
dipengaruhi oleh kestabilan ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut.
Situasi makro ekonomi yang kondusif dan stabil akan mempengaruhi
perputaran perekonomian di tingkat mikro atau skala rumah tangga
penduduk dan perusahaan maupun berkembangnya usaha masyarakat di
berbagai sektor. Intervensi pemerintah merupakan salah satu kunci dalam
mewujudkan iklim perekonomian yang kondusif tersebut. Sikap dan
tindakan pemerintah dalam menangani beberapa kondisi makro ekonomi
seperti inflasi, penggangguran, investasi menjadi hal yang mempengaruhi
dinamika pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Terkait dengan hal ini, telah banyak penelitian yang dilakukan untuk
melihat bagaimana peran pemerintah dalam mengatur perekonomian di
berbagai negara, baik negara berkembang maupun negara maju. Apakah
terdapat perbedaan intervensi pemerintah dalam mengatur perekonomian,
fenomena ini sangat menarik untuk diteliti. Perkembangan perekonomian di
negara maju dicirikan dengan perkembangan sebuah infrastrutktur modern
(baik secara fisik maupun institusional) dan sebuah pergerakan dari sektor
bernilai tambah rendah seperti pertanian dan pengambilan sumber daya
alam yang lebih padat karya ke sektor industri yang lebih padat modal. Hal
ini akan mempengaruhi negara maju dalam mengatur system
perekonomiannya, cenderung system ekonominya akan sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mandiri. Keadaan sebaliknya
22
terjadi di negara berkembang, dimana sektor perekonomian masih
bercirikan padat karya dan belum mampu untuk mandiri dalam mengatur
sistem perekonomiannya, karena masih didukung oleh hutang ke negara
maju.
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk melihat perbedaan ini,
salah satu penelitian yang mengangkat kasus di negara berkembang seperti
di Nigeria tentang “Government expenditure and economic development:
empirical evidence from Nigeria” yang dilakukan oleh Muritala (2011)
dengan tujuan untuk melihat hubungan antara pengeluaran pemerintah
dengan pertumbuhan ekonomi menggunakan model ekonometrik teknik
Ordinary Least Square, data panel selama 1970-2008. Membuktikan bahwa
terdapat hubungan yang positif antara pengeluaran pemerintah dengan
pertumbuhan ekonomi. dimana model yang digunakan GDP dipengaruhi
oleh Recurrent Expenditure (REC) dan Capital Expenditure (CAP). Artinya,
pengeluaran sangat mempengaruhi bagaimana perekonomian tumbuh, hanya
saja pada penelitian ini tidak dijelaskan secara rinci, jenis-jenis pengeluaran
pemerintah dan berapa porsi yang dikeluarkan oleh pemerintah permasingmasing sektor.
Tahun 2013 dilakukan penelitian lebih lanjut oleh Patricia dan
Izuchukwu (2013) tentang Impact of Government Expenditure on Economic
Growth in Nigeria, selama periode 1977-2012 menggunakan teknik yang
berbeda dari yang digunakan oleh Muritala sebelumnya, Patricia dan
Izuchukwu menggunakan teknik Error Correction Model (ECM). Hasil dari
penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah pada sektor pendidikan
mempunyai pengaruh yang sangat tinggi dan signifikan serta berkorelasi
positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Artinya, tambahan
informasi yang bisa didapatkan dari penelitian ini adalah fokusnya pada
anggaran pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pembenahan sistem
pendidikan sangat diperlukan di Nigeria, dimana jumlah penduduk
miskinnya masih berada pada angka yang jauh di atas negara maju.
Sehingga pembenahan utama yang harus dilakukan adalah peningkatan
kualitas sumberdaya manusianya. Dengan pendidikan yang tinggi, akan
membantu penduduk di Nigeria mendapatkan pekerjaan yang lebih baik
yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan mereka dan dapat
mengeluarkan masyarakat di Nigeria dari kemiskinan.
Kegiatan produksi di skala mikro akan tumbuh, sehingga akan ada
arus perputaran uang disana, seperti tabungan dan pinjaman yang dikelola
oleh lembaga keuangan di negara tersebut. Jika iklim usaha di tingkat mikro
sudah berkembang maka para investor akan tertarik untuk menanamkan
modal. Penelitian lebih lanjut tentang bagaiman peran investor belum
muncul dalam dua penelitian ini, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut
bagaimana pembentukan modal yang terjadi selain pada sektor pendidikan.
Hal yang dapat disarankan adalah selain untuk sektor pendidikan anggaran
untuk sektor pembentukan modal juga harus ditambah, sehingga memacu
produksi dan dapat menekan angka kemiskinan di Nigeria.
Negara berkembang lain yang juga masih tinggi ketergantungan
intervensi pemerintah dalam sistem perekonomiannya adalah Jordania,
dimana Bataineh (2012) melakukan penelitian tentang “The Impact of
23
Government Expenditures on Economic Growth in Jordan selama periode
1990-2010 dengan menggunakan model regresi. Menyatakan bahwa
pengeluaran pemerintah mempunyai efek yang positif terhadap
pertumbuhan GDP yang sesuai dengan teori Keynessian.
Kasus yang mewakili pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di
negara maju dipaparkan oleh Alexiou (2009) tentang Government Spending
and Economic Growth: Econometric Evidenve from the South Eastern
Europe (SEE), dengan menggunakan dua pendekatan ekonometrik pada
tujuh kota di SEE area dari tahun 1995-2005. Hasil penelitian ini meyatakan
bahwa lima variabel yaitu pembentukan modal, bantuan pembangunan,
investasi pribadi dan perdagangan bebas mempunyai pengaruh yang positif
dan signikan terhadap pertumbuhan ekonomi, hanya variabel pertumbuhan
populasi yang tidak signifikan secara perhitungan statistik. Perbedaan yang
jelas terlihat dari hasil penelitian ini adalah pertumbuhan populasi yang
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perekonomia di SEE, karena
ciri perekonomian di negara maju yang lebih padat modal. .
Tabel 4 Rangkuman penelitian sebelumnya tentang pertumbuhan ekonomi
Peneliti
Muritala (2011)
Judul
Pengeluaran
pemerintah dan
pembangunan
ekonomi
Pendekatan
Ekonometrik
Patricia dan
Izuchukwu (2013)
Dampak
pengeluaran
pemerintah
terhadap
pertumbuhan
ekonomi di
Nigeria
Ekonometrik
Bataineh (2012)
Dampak
pengeluaran
pemerintah
terhadap
pertumbuhan
ekonomo di
Jordania
Pengeluaran
pemerintah dan
pertumbuhan
ekonomi di Saudi
Arabi
Ekonometrik
Ghali (1997)
Ekonometrik
Sumber: Rangkuman penulis dari berbagai sumber
Hasil
Terdapat
hubungan positif
antara pengeluaran
pemerintah
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
Pengeluaran
pemerintah
khususnya di
bidang pendidikan
berkorelasi positif
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
Pengeluaran
pemerintah
memberikan efek
positif terhadap
pertumbuhan
ekonomi
Tidak terdapat
hubungan positif
antara pengeluaran
pemerintah
terhadap
pertumbuhan
ekonomi.
24
Ciri lain dari perekonomian di negara maju juga didukung oleh
penelitian Ghali (1997) yang melakukan penelitian tentang “Government
Spending and Economic Growth in Saudi Arabia” dengan tujuan untuk
melihat hubungan antara pengeluaran pemerintah Saudi Arabia dengan
pertumbuhan ekonomi, dimana pendekatan yang dilakukan melalui share
investasi dan share konsumsi. Metode yang digunakan adalah Vector
Autoregressive (VAR), membuktikan bahwa tidak adanya hubungan yang
positif antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi di
Arab Saudi, dimana kebijakan fiskal di Saudi Arabia dapat mengontrol
ketika terjadi defisit anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian
bisa mandiri tanpa terlalu banyak intervensi yang dilakukan oleh pemerintah
melalui pengeluarannya, karena ketika terjadi suatu kondisi defisit anggaran,
kebijakan fiskal cukup untuk menangani hal tersebut.
Pada akhirnya perbedaan bagaimana sistem perekonomian dan
campur tangan pemerintah di tiap negara, tidak selalu sama, namun faktorfaktor makroekonomi akan mempengaruhi perkembangan kesejaheraan
masyarakat yang berusaha di sektor mikro. Rangkuman dari beberapa studi
sebelumnya tentang hubungan antara pengeluaran pemerintah terhadap
pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada Tabel 4
Penelitian Tentang Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi yang baik di suatu negara akan mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya yang pada akhirnya akan
mengurangi kemiskinan yang terjadi di negara tersebut. Kantong-kantong
kemiskinan umumnya banyak berada pada sektor-sektor seperti pertanian,
peternakan dan usaha mikro, dimana modal yang bergulir rendah dan risiko
usahanya tinggi. Masyakarat miskin banyak bekerja pada sektor-sektor ini,
dan umumnya terjadi di negara berkembang. Kasus-kasus kemiskinan
sangat banyak mendapat perhatian peneliti, bagaimana pemerintah
menangani kemiskinan di tiap daerah pun berbeda, serta faktor-faktor yang
mempengaruhi juga tidak selalu sama pengaruhnya di setiap daerah.
Beberapa penelitian tentang kemiskinan di berbagai negara telah
dilakukan oleh sejumlah peneliti, seperti penelitian yang dilakukan oleh
Montalvo (2010) yang melakukan penelitian tentang “Pattern Of Growth
and Poverty Reduction in China”, menyatakan bahwa beberapa instrumen
kebijakan yg diambil oleh pemerintah untuk menyeimbangkan pertumbuhan
sektoral (agriculture and manufacturing) yaitu: a) subsidi untuk harga input
(energi, lahan), memperkuat regulasi (termasuk perlindungan lingkungan),
b) kemudahan akses modal, khususnya untuk perusahaan besar (swasta dan
BUMN), c) pembatasan perpindahan tenaga kerja melalui sistem ‘hukou’,
dan membatasi perpindahan tenaga kerja kekota, d) pengalokasian lahan
untuk masyarakat lokal, dengan tujuan menyediakan lahan untuk
masyarakat yg kehilangan lahan pertaniannya. China mempelajari negaranegara yang berhasil mengurangi kemiskinan di era modern, di China peran
kondisi geografis dan pertumbuhan sektoral mampu menurunkan angka
kemiskinan. Pengembangan sektor pertanian, jasa, dan industri diharapkan
menjadi jalan keluar untuk mengurangi kemiskinan di China.
Pengembangan sektor primer terbukti menjadi kekuatan untuk menurunkan
25
kemiskinan, jauh lebih baik dari pada sektor sekunder (manufaktur) dan
sektor tersier (jasa).
Penelitian yang dilakukan oleh Guiga (2012) tentang ‘Poverty,
Growth, and Inequality in Developing Countries’, hasil penelitian ini adalah
di beberapa negara upaya untuk menurunkan kemiskinan dilakukan melalui
kebijakan moneter, pemerataan, dan pendidikan. Pendapat ini juga diperkuat
dengan hasil peneltian Kraay (2006), dimana dari 80 negara berkembang
korelasi antara indikator kemiskinan dengan rata-rata pendapatan semuanya
negatif. Tetapi hasil penelitian diatas tidak berlaku untuk semua wilayah dan
negara yang memiliki perbedaan kondisi geografis. Di Asia timur, China
berhasil menurunkan kemiskinan cukup besar sejak tahun 1980, begitu juga
di Afrika sukses menurunkan kemiskinan yang sudah dilakukan dari tahun
1990-2004.
Beberapa penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat beberapa
alternatif yang diambil untuk menurunkan kemiskinan, Bourguignon (2003)
dalam Guiga (2012), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penurunan
kemiskinan tidak berhubungan sistematis dengan pertumbuhan ekonomi,
karena mereka bisa saja berhubungan dengan pemerataan didalam ekonomi.
Penjelasan ini juga menunjukkan bahwa adanya hubungan antara
pertumbuhan, pemerataan, dan penurunan kemiskinan. Dapat dikatakan
bahwa pertumbuhan saja tidak cukup untuk mengurangi kemiskinan,
dibutuhkan kebijakan lain seperti meningkatkan pemerataan. Penurunan
kemiskinan sangat tergantung kepada distribusi dari pertumbuhan ekonomi
dan akses masyarakat serta kesempatan orang miskin untuk menikmati
pertumbuhan.
Mehmood (2010) melakukan peneiltian tentang The Relationship
Between Government Expenditure and Poverty: A cointegration Analysis.
Kajian dilakukan untuk melihat dalam jangka pendek hubungan antara
pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan. Hasil studi menunjukkan
hubungan negatif antara pengeluaran pemerintah dengan penurunan
kemiskinan dengan menggunakan data time series dari tahun 1976-2010.
Hasil analisis menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah, pertumbuhan
penduduk, dan remittances berpengaruh signifikan terhadap penurunan
kemiskinan, sedangkan investasi tidak berpengaruh signifikan tehadap
penurunan kemiskinan.
Indonesia sebagai negara berkembang memiliki jumlah penduduk
miskin yang tinggi, yaitu 10,96 persen dari total penduduknya (BPS 2015).
Pendekatan secara institusional sudah dilakukan untuk mengatasi masalah
ini, namun tetap saja belum bisa menurunkan angka kemiskinan secara
signifikan. Beberapa penelitian sebelumnya tentang kemiskinan di
Indonesia antara lain dilakukan oleh Jonaidi (2012) tentang analisis
pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia. Hasil estimasi
menunjukkan bahwa terdapat hubungan dua arah yang kuat antara
peretumbuhan ekonomi dan kemiskinan, terutama di daerah pedesaan yang
banyak terdapat kantong-kantong kemiskinan. Sebaliknya kemiskinan dan
tingkat penggangguran berpengaruh signifikan dan negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
26
Penelitian oleh Siregar dan Wahyuniarti (2008) tentang pengaruh
pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia,
menyimpulkan bahwa PDRB, jumlah penduduk, share sektor pertanian,
share sektor industri, share sektor jasa, tingkat inflasi, jumlah lulusan SMP,
jumlah lulusan SMA, jumlah lulusan diploma, dan dummy krisis
berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di
Indonesia
Penelitian Eddy (2010) tentang kemiskinan di lima belas Provinsi di
Indonesia, menyimpulkan terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
karakteristik kemiskinan penduduk miskin yaitu: faktor pekerjaan, faktor
pendidikan, dan faktor rumah tinggal.
Rangkuman penelitian sebelumnya tentang kemiskinan terdapat
pada Tabel 5.
Tabel 5 Rangkuman penelitian sebelumnya tentang kemiskinan
Peneliti
Judul
Pendekatan
Hasil
Montalvo
Pertumbuhan dan
Ekonometrika
Kebijakan
(2010)
penurunan
pembangunan
kemiskinan di
sektoral mampu
china
menurunkan tingkat
kemiskinan
Guiga (2012) Kemiskinan,
Ekonometrik
Penurunan tingkat
pertumbuhan,
kemiskinan
dan ketimpangan
dilakukan melalui
di negara
kebijakan moneter,
berkembang
pemerataan, dan
pendidikan
Mehmood
Hubungan antara
Ekonometrik
Terdapat hubungan
(2010)
pengeluaran
negatif antara
pemerintah
pengeluaran
dengan
pemerintah dengan
kemiskinan
tingkat kemiskinan
Jonaidi
Pertumbuhan
Ekonometrik
Terdapat hubungan
(2012)
ekonomi dan
dua arah antara
kemiskinan di
pertumbuhan
Indonesia
ekonomi dengan
tingkat kemiskinan
Eddy (2010) Kemiskinan di 15
Ekonometrik
Faktor utama yang
provinsi di
mempengaruhi
Indonesia
kemiskinan adalah
pendidikan,
pekerjaan, dan rumah
tinggal
Sumber: Rangkuman penulis dari berbagai sumber
27
Kerangka Pemikiran
Pembangunan ekonomi pada suatu negara bisa dikatakan berhasil
apabila terjadi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia mengalami peningkatan rata-rata berada pada angka
5,82 persen dalam kurun waktu 2008-2013, akan tetapi pada saat yang
bersamaan juga terjadi masalah ketimpangan yang disebabkan oleh
ketidakmerataan pembangunan di Indonesia terutama pada daerah tertinggal.
Masalah ketimpangan sudah meluas sampai ke tingkat antar pulau Jawa dan
luar pulau Jawa, yang dibagi menjadi Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan
Kawasan Timur Indonesia (KTI) dimana kawasan ini dibedakan
berdasarkan aspek geografisnya.
Ketimpangan
Daerah Tertinggal
Kawasan timur Indonesia
(KTI)
Kawasan barat Indonesia
(KBI)
Dinamika pertumbuhan
ekonomi, kemiskinan, dan
bantuan sosial
Bantuan Sosial Kementerian
PDT
Pengaruh Bantuan Sosial terhadap
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi
1.
2.
3.
4.
5.
Bantuan Peningkata Sumberdaya
Bantuan Infrastruktur
Bantuan Ekonomi dan Dunia Usaha
Bantuan Kelembagaan Sosial dan Budaya
Bantuan Pengembangan Daerah Khusus
kemiskinan
Rekomendasi
kebijakan
Gambar 4 Diagram alur kerangka pemikiran
Pemerintah melalui RPJM 2010-2014 telah menggariskan bahwa
visi pembangunan 2010-2014 adalah terwujudnya Indonesia yang sejahtera,
demokratis dan berkeadilan. Salah satu kebijakan yang dilaksanakan adalah
28
percepatan pembangunan daerah tertinggal, dengan membentuk Kementrian
Pembangunan Daerah Tertinggal (Kementerian PDT). Melalui dana bantuan
sosial yang diberikan pada 183 daerah tertinggal terpilih, yang tersebar di
KBI dan KTI diharapkan dapat memicu pertumbuhan ekonomi sehingga
bisa mengentaskan kemiskinan.
Untuk melihat bagaimana dampak dari dana bantuan sosial yang
telah digulirkan oleh pemerintah dalam 5 tahun terakhir, memerlukan suatu
kajian empiris. Selama ini belum ada penelitian yang menganalisis pengaruh
bansos terhadap kemiskinan yang dilihat dari 5 aspek yang didanai serta
variabel lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, selain itu hal lain
yang menjadi penting untuk dikaji adalah bagaimana hubungan antara
peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan penurunan kemiskinan.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penelitian tentang analisis
dampak dari bantuan sosial terhadap PDRB dan kemiskinan menjadi
penting untuk dilakukan dalam upaya memberikan masukan untuk
perbaikan strategi dan kebijakan yang diambil oleh Kementerian PDT dalam
mengefektifkan program yang dilaksanakan yang diarahkan pada strategi
rancangan RPJMN 2015-2019, yang tujuannya agar lebih efektif dan
aplikatif dalam pengentasan kemiskinan di daerah tertinggal.
Berdasarkan latar belakang dan kerangka pikir yang diuraikan
sebelumnya (gambar 4), maka ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Bantuan sosial, pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan memiliki
dinamika yang saling berhubungan, ketiganya saling berfluktuasi dan
saling mempengaruhi.
2. Bantuan sosial Kementerian PDT yang meliputi bantuan pengembangan
sumberdaya, bantuan infrastruktur, bantuan ekonomi dan dunia usaha,
bantuan kelembagaan sosial, dan bantuan pengembangan daerah khusus
memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi di
kabupaten tertinggal di Indonesia
3. Peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan tingkat
kemiskinan di kabupaten tertinggal Indonesia
29
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
dari berbagai publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), diantaranya publikasi
PDRB, IPM, persentase penduduk miskin, jumlah penduduk, tingkat
pengangguran. Data mengenai bantuan sosial yang digunakan dalam
penelitian ini bersumber dari Kementrian PDT.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab
tujuan pertama, yaitu menganalisis dinamika pertumbuhan ekonomi,
kemiskinan, dan bantuan sosial. Analisis merujuk pada data tingkat
kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan data bantuan sosial dari data BPS
dan Kementerian PDT dari tahun 2009 sampai dengan 2013.
Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan analisis
persamaan simultan yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian dua
dan tiga yaitu menganalisis pengaruh bantuan sosial terhadap pertumbuhan
ekonomi kabupaten tertinggal dan menganalisis hubungan antara
pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan. Analisis simultan
digunakan dalam penelitian ini karena model terdiri dari beberapa
persamaan yang saling ketergantungan.
Suatu ciri unik dari model persamaan simultan adalah bahwa
variabel endogen dalam suatu persamaan mungkin muncul sebagai variabel
yang menjelaskan dalam persamaan lain dalam sistem, oleh karena itu
variabel eksogen menjadi stokhastik dan biasanya berkorelasi dengan
variabel pengganggu dari persamaan yang mana variabel tersebut muncul
sebagai variabel yang menjelaskan (Gujarati 1993).
Dalam studi ini dirumuskan model ekonometrika pengaruh bantuan
sosial terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal dan hubungan
pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan yang merupakan sistem
persamaan simultan yang terdiri dari 2 persamaan struktural, yaitu
persamaan pertumbuhan ekonomi dan persamaan kemiskinan. Dua
pesamaan ini merupakan persamaan simultan dimana pada persamaan
pertama PDRB berfungsi sebagai variabel endogen dan pada persamaan
kedua PDRB berfungsi sebagai variabel penjelas/predetermined.
Model Penelitian
Penelitian menggunakan model ekonometrika, dimulai dengan
langkah spesifikasi model, penaksiran, verifikasi/evaluasi, dan implikasi
kebijakan berdasarkan parameter-parameter yang telah ditaksir. Dalam
spesifikasi model dirumuskan persamaan-persamaan matematis yang
menggambarkan hubungan antara berbagai variabel ekonomi. Spesifikasi
30
model ekonometrika didasarkan pada teori ekonomi dan adanya informasi
yang berhubungan dengan fenomena yang diteliti. Langkah selanjutnya
adalah melakukan estimasi atas model yang telah terspesifikasi dan hasil
parameter yang didapat, masih dilakukan verifikasi secara statistik untuk
menguji hasil estimasi tersebut.
Suatu model dikatakan baik jika model dapat memenuhi:
1. Kriteria Ekonomi (menyangkut tanda dan besar parameter estimasi).
2. Kriteria Statistik (menyangkut uji statistik).
3. Kriteria Ekonometrika (menyangkut asumsi model)
Tahapan penyusunan model simultan dapat dilihat pada Gambar 5.
Fenomena
Seleksi Variabel yang Relevan Dengan
Justifikasi Teori dan Penelitian Terdahulu
Model Ekonomi
Spesifikasi Model
(menggunakan sistem
persamaan simultan)
Pengumpulan Data
Estimasi Parameter Model
Evaluasi
Kriteria Ekonomi
(Tanda dan
Besaran)
Kriteria Ekonometrika
(Penyimpangan
Asumsi)
Gambar 5 Tahapan penyusunan model simultan (Diadopsi dari Sinaga
1998)
31
Model merupakan representasi dari suatu fenomena aktual, seperti
sistem atau proses aktual. Dengan kata lain, fenomena aktual dapat
digambarkan dalam suatu model dalam rangka menjelaskan, memprediksi,
atau mengontrol fenomena tersebut. Model ekonometrika menggambarkan
suatu sistem dengan suatu rancangan hubungan di antara variabel-variabel
secara stokhastik. (Intriligator, Bodkin, dan Hsiao 1996).
Model pada penelitian ini digambarkan dalam 2 persamaan struktural
berikut:
PDRBit
= β0+ β1bantuan SDMit+ β2bantuan Infras it+
β3bantuan ekonomi it + β4bantuan daerah khusus it
+ β5bantuan kelembagaan it + β6Lag PDRBit
+β7POPit+ ε it
KEMISKINANit = β0 +β1 PDRBit + β2 Pengangguranit + β3 IPMit+ β4
Gini Ratioit + εit
PDRBit
= PDRB kabupaten ke-i periode ke-t (Rp)
KEMISKINAN = Tingkat kemiskinan kabupaten ke-i periode ke-t(%)
bantuansdm it
= Bantuan pengembangan sumberdaya kabupaten
ke-i periode ke-t
(Rp)
bantua Infras it = Bantuan infrastruktur kabupaten ke-i periode ke-t (Rp)
bantuan
= Bantuan ekonomi dan dunia usaha kabupaten
ekonomi it
ke-i periode ke-t (Rp)
bantuan daerah = Bantuan pengembangan daerah khusus
khususit
kabupaten ke-i periode ke-t (Rp)
bantuan
= Bantuan sosial dan kelembagaan kabupaten ke-i
kelembagaan it
periode ke-t
POPit
=Jumlah penduduk kabupaten ke-i periode ke-t (%)
Lag PDRBit
= Nilai PDRB tahun sebelumnya kabupaten ke-i
periode ke-t (Rp)
Pengangguran
= Pengangguran kabupaten ke-i periode ke-t (%)
IPM
= IPM kabupaten ke-i periode ke-t (indeks)
Gini Ratio
= Indeks Gini Kabupaten ke-i periode ke-t (indeks)
Model pertumbuhan ekonomi dianalisis dengan menggunakan
variabel bantuan sosial KPDT, serta variabel jumlah penduduk dan nilai Lag
PDRB, sedangkan variabel yang digunakan dalam menganalisis pengaruh
pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan adalah variabel PDRB, IPM
dan tingkat pengangguran. Pemilihan variabel didalam model merujuk
kepada teori yang mendasarinya dan dari hasil penelitian terdahulu. Model
pertumbuhan ekonomi merujuk kepada teori permintaan agregat dimana
tingkat output dipengaruhi salah satunya oleh pengeluaran pemerintah.
Pengeluaran pemerintah yang dianalisis didalam penelitian ini adalah
pengeluaran pemerintah pusat melalui Kementerian PDT.
32
Uji Identifikasi Model
Dalam model persamaan simultan, identifikasi dilakukan pada awal
sebelum melakukan penaksiran untuk menentukan apakah suatu model
persamaan simultan dapat dilakukan penaksiran atau tidak, dan mengetahui
metode penaksiran apa yang sebaiknya digunakan pada persamaan simultan.
Menurut Koutsoyiannis (1997), identifikasi pada dasarnya
menentukan pilihan metode apa yang digunakan secara tepat dari model
yang akan ditaksir dan ada dua situasi yang mungkin dari pengidentifikasian
tersebut, yaitu:
a. Persamaan underidentified
Persamaan underidentified (kurang teridentifikasi), jika bentuk
statistiknya tidak unik atau kurang. Jika persamaan underidentified,
maka tidak dapat menaksir seluruh parameter dengan teknik
ekonometrika manapun, dengan kata lain koefisien persamaan
structural tidak diperoleh.
b. Persamaan identified
Persamaan identified (dapat teridentifikasi), jika bentuk
statistiknya unik (tunggal). Jika persamaan identified, maka
koefisien dalam persamaan simultan secara umum dapat ditaksir,
dengan kata lain koefisien persamaan structural memiliki solusi
yang unik. Persamaan identified dapat menjadi persamaan exactly
identified (tepat teridentifikasi) dan persamaan overidentified
(terlalu teridentifikasi).
Persamaan exactly identified adalah jika diperoleh suatu
nilai koefisien yang unik dari parameter strukturalnya dan metode
yang sesuai adalah indirect least square (ILS). Sedangkan
persamaan overidentified adalah jika diperoleh lebih dari satu nilai
koefisien untuk parameter-parameter strukturalnya dan metode
yang sesuai adalah two-stage least square (2SLS), three-stage
least square (3SLS), limited information maximum likelihood
(LIML), dan full information maximum likelihood (FIML).
Menurut Koutsoyiannis (1977), terdapat dua aturan formal yang
digunakan untuk menentukan identifikasi yaitu kondisi orde dan kondisi
rank. Dalam penelitian ini uji identifikasi pada model dilakukan dengan
menggunakann kondisi orde.
Kondisi orde merupakan suatu kondisi yang diperlukan (necessary,
pengembangan kondisi orde dapat dilakukan untuk memenuhi syarat perlu
dan cukup (necessary and sufficient conditions). Pemenuhan syarat perlu
dan cukup membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam karena harus
memahami pangkat dari suatu matriks.
Notasi yang digunakan pada kondisi orde ini adalah:
𝑀
= Jumlah variabel endogen dalam model persamaan simultan
𝑚
= Jumlah variabel endogen dalam suatu persamaan tertentu
𝐾
= Jumlah variabel predetermine dalam model persamaan simultan
𝑘
= Jumlah variabel predetermine dalam suatu persamaan tertentu
33
Ada dua cara untuk mengidentifikasi kondisi orde, yang masingmasing sebenarnya menghasilkan hasil yang setara. Gujarati (2012)
menyatakan:
1. Model 𝑀 persamaan simultan agar dapat diidentifkasi
setidaknya harus mengeluarkan 𝑀 − 1 variabel (endogen dan
predetermine) yang terdapat dalam model. Koutsoyiannis
(1977) menyatakan untuk persamaan yang teridentifikasi,
jumlah variabel yang dikeluarkan (endogen dan predetermine)
dari model harus sama dengan atau lebih besar dari jumlah
variabel endogen dikurangi satu, dinotasikan dengan :
(𝑀 − 𝑚) + (𝐾 − 𝑘) ≥ 𝑀 − 1
Jika variabel yang dikeluarkan tepat sejumlah 𝑀 − 1 variabel,
maka persamaan tersebut tepat teridentifikasi (exactly
identified), sedangkan jika variabel yang dikeluarkan lebih
dari 𝑀 − 1 , maka persamaan tersebut terlalu teridentifikasi
(overidentified)
2. Model 𝑀 persamaan simultan agar dapat diidentifikasi, jumlah
dari variabel predetermine yang dikeluarkan dari persamaan
tidak boleh kurang dari jumlah variabel endogen yang
dimasukkan dalam persamaan dikurangi satu, dinotasikan
dengan: 𝐾 − 𝑘 ≥ 𝑚 − 1
Uji Asumsi Klasik (Multicollinearity, Heteroscedasticity, Autocorrelation)
Salah satu asumsi dari model regresi adalah bahwa tidak ada
hubungan linear sempurna antar peubah bebas dalam model tersebut. Jika
hubungan tersebut ada, maka peubah bebas tersebut berkolinearitas
(multicollinearity). Multicollinearity muncul jika dua atau lebih peubah
(atau kombinasi peubah) bebas berkorelasi tinggi antara peubah satu dengan
peubah yang lainnya. Dalam model penelitian ini hubungan
multicollinearity dilihat dari hasi uji nilai tolerance dan VIF, jika nilai
tolerance < 0.1 dan nilai VIF > 10 maka terjadi multicollinearity antar
variabel bebas.
Asumsi model regresi selanjutnya adalah bahwa ragam sisaan (𝜀𝑡 )
sama atau homogen. Asumsi ini disebut homoskedastisitas
(homoscedasticity). Jika ragam sisaan tidak sama untuk tiap pengamatan
dari peubah bebas dalam model regresi, maka terdapat heteroskedastisitas.
Dalam model penelitian ini uji heteroskedastisitas dilihat dari hasil uji nilai
Sig untuk masing-masing variabel, jika nilai Sig untuk masing-masing
variabel > 0,05 maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
Asumsi terakhir yaitu tidak terjadi autokeralasi atau korelasi serial
antara sisaan (𝜀𝑡 ). Jika antar sisaan tidak bebas, maka dikatakan ada masalah
autokorelasi. Sama halnya dengan masalah heteroskedastisitas, hasil dugaan
tidak lagi efisien atau ragamnya tidak lagi minimum jika terjadi autokorelasi.
Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat menggunakan metode uji
Durbin Watson (DW). Nilai DW berada pada kisaran nilai 0 sampai 4, dan
jika nilainya mendekati 2 maka menunjukkan tidak ada autokorelasi.
Matriks metode penelitian dapai dilihat pada Tabel 6.
34
Tabel 6 Matriks metode penelitian
Tujuan
Alat analisis
Data
1. Mengkaji
Dinamika
Kemiskinan,
Pertumbuhan
ekonomi dan
Bantuan Sosial
Kabupaten
Tertinggal di KBI
dan KTI
 Deskriptif
 Kemiskinan di daerah
kualitatif
dari tahun
2009-2013
tertinggal di KBI dan
KTI
 PDRB di daerah
tertinggal di KBI dan
KTI
 Program Bantuan
Sosial Kementerian
PDT
2. Menganalisis
pengaruh program
bantuan sosial
Kementerian PDT
terhadap
pertumbuhan
ekonomi kabupaten
tertinggal
 Analisis
Persamaan
Simultan
 PDRB kabupaten





3. Menganalisis
hubungan antara
pertumbuhan
ekonomi dengan
penurunan
kemiskinan di
kabupaten
tertinggal
 Analisis
Persamaan
Simultan





tertinggal
Bantuan
pengembangan sdm
Bantuan infrastruktur
Bantuan ekonomi dan
dunia usaha
Bantuan
pengembangan
daerah khusus
Bantuan kelembagaan
sosial
Jumlah penduduk
PDRB kabupaten
tertinggal
Persentase
kemiskinan
kabupaten tertinggal
IPM kabupaten
tertinggal
Persentase
pengangguran di
kabupaten tertinggal
Sumber
Data
 BPS
 Keme
ntrian
PDT
 BPS
 Keme
nterian
PDT
 BPS
35
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Dinamika Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Bantuan
Sosial di Daerah Tertinggal KBI dan KTI
Dinamika Kemiskinan Daerah Tertinggal KBI dan KTI
Pertumbuhan ekonomi yang tidak merata di seluruh kawasan barat
dan timur Indonesia menjadi salah satu penyebab terjadinya kemiskinan di
Indonesia. Kemiskinan lebih parah lagi terjadi di daerah tertinggal.
Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal sangat diperlukan
mengingat masih tingginya persentase penduduk miskin sebesar 16,13
(tahun 2013) dan masih banyaknya kabupaten tertinggal, yakni 133
kabupaten atau 32,2 persen dari total kabupaten di Indonesia. Kemiskinan
merupakan masalah multi dimensi yang menarik untuk dicermati. Indikator
kemiskinan yang paling sering mendapat perhatian publik adalah jumlah
dan persentase penduduk miskin. Melalui kedua indikator ini, kinerja
pembangunan ekonomi yang mampu mensejahterakan masyarakat dapat
diukur. Persentase penduduk miskin Indonesia tahun 2013 tercatat sebesar
11,47 persen, angka ini mengalami perbaikan apabila dibandingkan dengan
tahun 2010 yaitu sebesar 13,33 persen. Hal ini berarti terjadi penurunan
angka kemiskinan di Indonesia sebesar 1,86 persen dalam kurun waktu tiga
tahun.
Persentase penduduk miskin di daerah tertinggal juga mengalami
perbaikan. Tahun 2010 persentase penduduk miskin mencapai 21,17 persen
dan turun cukup signifikan menjadi 16,13 persen pada tahun 2013. Rata-rata
persentase kemiskinan di dua wilayah KBI dan KTI sama-sama mengalami
penurunan. KBI mengalami rata-rata penurunan persentase penduduk
miskin sebesar 1 persen yang lebih kecil dibandingkan dengan KTI yaitu 3
persen, penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal tidak terlepas dari
beberapa program pemerintah khususnya melalui kementerian PDT dengan
sasaran utama program adalah percepatan pembangunan dan penurunan
kemiskinan.
Rata-rata penurunan persentase penduduk miskin yang tertinggi di
KBI adalah Provinsi Sumatera Barat dengan rata-rata penurunan sebesar 9
persen (Gambar 6). Persentase penurunan penduduk miskin yang cukup
besar di Sumatera Barat diiringi pertumbuhan ekonomi yang besar, dimana
rata-rata pertumbuhan PDRB Sumatera Barat selama kurun waktu 5 tahun
sebesar 6,05 persen, yang berada diatas rata-rata pertumbuhan daerah
tertinggal di KBI yang hanya 4,95 persen (Lampiran 2).
9 Dari 11 provinsi yang termasuk dalam KBI menunjukkan
penurunan persentase penduduk miskin dari tahun 2009 sampai dengan
2013. Terdapat dua Provinsi yaitu Provinsi Sumatera Utara dan Kepulauan
Riau yang mengalami peningkatan persentase jumlah penduduk miskin,
dengan rata-rata peningkatan sebesar 14 persen dan 21 persen. Hal ini juga
mempunyai pengaruh pada pertumbuhan ekonominya, dimana Kepulauan
Riau memiliki persentase pertumbuhan PDRB sebesar 3,22 persen yang
paling rendah dibandingkan dengan 10 provinsi lainnya yang berada di KBI.
36
Provinsi Sumatera Utara juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang
rendah, yaitu sebesar 4,04 persen. Terdapat korelasi antara peningkatan
persentase kemiskinan dengan pertumbuhan ekonomi di kedua provinsi
tersebut, dimana pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak berkualitas.
Beberapa penyebab tidak berkualitasnya pertumbuhan ekonomi suatu
wilayah antara lain karena pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh
kalangan tertentu saja dan belum menyentuh masyarakat yang berekonomi
lemah (miskin), hal inilah yang mungkin terjadi di provinsi Sumatera Utara
dan Kepulauan Riau.
0,25
0,21
0,20
0,15
0,10
0,05
0,00
-0,05
-0,10
-0,09
Rata-rata kemiskinan daerah tertinggal KBI
Gambar 6 Rata-rata persentase kenaikan dan penurunan penduduk miskin di
daerah tertinggal KBI tahun 2009-2013
Provinsi Kalimatan Timur merupakan provinsi yang mengalami
penurunan persentase penduduk miskin yang paling tinggi di Kawasan
Timur Indonesia, dengan rata-rata penurunan sebesar 11 persen (Gambar 7).
Angka ini sangat jauh berada diatas rata-rata persentase penurunan
penduduk miskin di KTI yang hanya sebesar 3 persen (Lampiran 1).
Penurunan kemiskinan di Kalimantan Timur diiringi dengan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi yaitu sebesar 6,25 persen, walaupun masih lebih kecil
dari rata-rata pertumbuhan ekonomi KTI yaitu 6,93 persen. Pertumbuhan
ekonomi yang terjadi di Provinsi Kalimanatan Timur merupakan
pertumbuhan yang berkualitas, dimana pertumbuhan ekonomi memberikan
dampak terhadap penurunan kemiskinan.
Sulawesi Utara merupakan provinsi dengan peningkatan penduduk
miskin paling tinggi di KTI yaitu sebesar 8 persen. Provinsi kedua yang
mengalami peningkatan persentase penduduk miskin adalah Provinsi Papua
barat dengan peningkatan rata-rata kemiskinan 6 persen (Gambar 7).
Walaupun mengalami peningkatan rata-rata penduduk miskin, Sulawesi
Utara mengalami pertumbuhan ekonomi yang meningkat selama kurun
waktu 5 tahun terakhir dengan persentase pertumbuhan sebesar 5,82 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Utara tidak
37
mampu untuk menurunkan persentase penduduk miskin yang disebabkan
karena tidak berkualitasnya pertumbuhan ekonomi yang dicapai.
0,08
0,08
0,06
0,04
0,02
0,00
-0,02
-0,04
-0,06
-0,08
-0,10
-0,12
-0,11
Rata-rata kemiskinan daerah tertinggal KTI
Gambar 7 Rata-rata kenaikan dan penurunan penduduk miskin di daerah
tertinggal KTI tahun 2009-2013
Walaupun terjadi peningkatan rata-rata kemiskinan, Papua Barat
mencapai pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi di KTI yaitu sebesar
27,12 persen. Kondisi ini mengindikasikan bahwa terjadinya pertumbuhan
yang tidak berkualitas, dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak
terdistribusi secara merata sehingga meningkatkan persentase kemiskinan.
Diduga terjadinya kebocoran efek pertumbuhan ekonomi, dimana
perputaran uang tidak sampai menyentuh masyarakat miskin/lokal yang ada
di wilayah tersebut, multiplier effect dari pertumbuhan ekonomi tidak
optimal dalam menurunkan kemiskinan.
Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Daerah Tertinggal KBI dan KTI
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator penting guna
melakukan evaluasi dan koreksi terhadap program pembangunan ekonomi
yang telah dilaksanakan pada masa atau periode yang lalu. Dalam mengukur
tingkat pertumbuhan ekonomi digunakan angka Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan, karena dalam penghitungan PDRB
atas dasar harga konstan tersebut, pengaruh perubahan harga telah
dieliminasi. Dengan demikian pertumbuhan yang dicerminkan merupakan
pertumbuhan riil barang dan jasa dalam suatu periode waktu tertentu.
Program-program pengentasan daerah tertinggal yang dilakukan oleh
Kementrian PDT selain dimaksudkan untuk mengentaskan kabupaten
tertinggal juga diupayakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Upaya
yang dilakukan Kementerian PDT untuk mencapai peningkatan
pertumbuhan ekonomi adalah dengan pengembangan kebijakan dan
koordinasi pembangunan bidang ekonomi, kualitas sumberdaya manusia,
dan infrastruktur di daerah tertinggal (Kementerian PDT 2011).
Rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal di Kawasan Barat
Indonesia mencapai angka 4,95 persen selama periode 2009-2013. Enam
provinsi memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 4,95 persen dan 5 provinsi
38
lainnya memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi dibawah 4,95 persen.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah Provinsi Jawa Timur
sebesar 6,12 persen (Gambar 8). Berkembangnya sektor perdagangan di
daerah tertinggal di Jawa Timur menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi,
sebagian besar sektor perdagangan diperoleh melalui kegiatan ekspor impor
barang yang berasal dari kegiatan transaksi ke pulau Sumatera dan Jawa
yang bernilai 38 persen dari total transaksi sektor perdagangan.
Menurut Setiawan (2013) sektor unggulan yang memicu
perkembangan perekonomian di Jawa Timur adalah jasa pengangkutan dan
sektor bahan-bahan setengah jadi, hal ini sangat menunjang jalannya
perdagangan di Jawa Timur seperti industri rokok yang mampu
menyumbang output 125 Trilyun bagi Jawa Timur, serta industri kertas dan
karton-nya dengan 63 Trilyun, industri logam dasar besi dan baja sebesar 47
trilyun serta untuk industri bambu kayu dan rotan dengan 38 Trilyun rupiah
atau 2,7 persen dari output provinsi.
Sektor industri alat pengangkutan lainnya memiliki tingkat daya
tarik paling tinggi dengan nilai indeks 1,416 diantara berbagai industri yang
tersedia di Jawa Timur. Ini berarti dalam menghasilkan outputnya sektor
tersebut mampu menarik (multiplier effect) berbagai macam sektor lainnya
yang tersedia beserta sumber dayanya sehingga mampu mendorong kegiatan
produksi output sektor tersebut lebih meningkat dari sebelumnya. Industri
pengangkutan ini adalah industri angkutan udara, industri truk, bus, industri
angkot, angdes dan berbagai industri angkutan darat lainnya. Jawa Timur
sejak tahun 2009 memiliki tingkat pertumbuhan diatas rata-rata
pertumbuhan nasional yaitu sebesar 6,11, 5,94, 5,01, 6,68, 7,22.
Provinsi dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi terendah di KBI
adalah Kepulauan Riau dengan rata-rata 3,22 persen (Gambar 8). Angka ini
berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi KBI 4,95 persen.
Kabupaten Natuna dan Kepulauan Anambas memiliki tingkat pertumbuhan
yang selalu meningkat setiap tahunnya, hanya saja persentase
pertumbuhannya tidak signifikan. Sektor yang berkembang adalah industri
pengolahan, namun masih terdesentralisasi di kota Batam, sehingga
multiplier efek nya tidak berimbas pada kabupaten tertinggal yang ada.
Menurut Sembodo (2011) ketidakberhasilan pengembangan daya saing
ekonomi lokal di Kabupaten Anambas dalam mengangkat masyarakat dari
kemiskinan dan meningkatkan perekonomian adalah kapasitas pengelolaan
anggaran publik dan pemberdayaan komunitas yang belum sepenuhnya
terbangun seperti kelompok usaha nelayan dan tani yang menjadi motor
penggerak program ekonomi lokal, serta kecilnya keterlibatan keluarga
miskin dalam kegiatan pengembangan komoditi unggulan.
Kabupaten Natuna dan Anambas sangat kaya akan potensi
sumberdaya alamnya. Potensi yang perlu dikembangkan untuk mendukung
peningkatan perekonomiannya adalah memanfaatkan potensi sumber daya
laut yang berlimpah untuk mengekspor hasil laut ke luar negeri yang
berdampak bagi peningkatan kesejahteraan dan menggerakkan roda
perekonomian masyarakat, kemudian potensi sektor pariwisata bahari, serta
potensi sektor pertanian dan perkebunan.
39
Persentase pertumbuhan ekonomi di KTI lebih tinggi dibandingkan
dengan di KBI, yaitu 6,93 persen (Lampiran 2). Provinsi yang memiliki
tingkat pertumbuhan ekonomi paling tinggi adalah Papua Barat dengan
27,12 persen (Gambar 9). Berkembangnya industri pengolahan di Papua
Barat memicu pertumbuhan ekonominya, kabupaten tertinggal yang
berkontribusi paling besar adalah Kabupaten Teluk Bintuni. Tahun 2010
PDRB atas harga konstannya mencapai 2,61 triliun sedangkan pada tahun
2014 sebesar 6,79 triliun. Terjadi kenaikan hampir 3 kali lipat selama 5
tahun terakhir.
10%
6,12%
5%
0%
Rata-rata pertumbuhan ekonomi per provinsi di KBI
Gambar 8 Rata-rata pertumbuhan ekonomi wilayah tertinggal di KBI tahun
2009-2013
Beda halnya dengan provinsi Papua Barat, Provinsi Papua
mengalami penurunan dalam pertumbuhan ekonomi yaitu sebesar 3,14
persen. Penelitian Wulandari dan sulistio (2013) menyatakan bahwa potensi
yang dimiliki Papua adalah kekayaan sumber daya alam seperti
pertambangan, kehutanan, dan juga perikanan. Dalam sektor pertambangan,
Provinsi Papua memiliki cadangan tembaga dan emas terbesar di dunia yang
saat ini dikelola oleh PT Freeport McMoran dari Amerika. Dalam sektor
kehutanan, lebih dari 80 persen luas wilayah Provinsi Papua merupakan
hutan yang ditumbuhi oleh berbagai jenis kayu yang berkualitas, sedangkan
dalam sektor perikanan Provinsi Papua dikenal sebagai salah satu daerah
penghasil ikan laut yang cukup besar.
Potensi kekayaan sumber daya alam yang berlimpah merupakan
salah satu modal untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat di Provinsi
Papua. Melalui sumber daya alam tersebut, pemerintah dapat
memanfaatkannya untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat,
memperbaiki sarana dan prasarana daerah, serta meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Otonomi khusus memberikan dampak bagi
perkembangan perekonomian Provinsi Papua karena beberapa komponen
keuangan yang menyertainya seperti dana otonomi khusus, dana tambahan
infrastruktur, serta dana bagi hasil minyak bumi dan gas alam.
Hingga tahun 2013, jumlah dana otonomi khusus yang diterima oleh
Provinsi Papua adalah Rp. 32.765.854.752.550. Besarnya bantuan yang
40
diterima belum mampu meningkatkan perekonomian Provinsi Papua. Hasil
evaluasi Kemendagri tahun 2014, setelah 10 tahun diberikannya otonomi
khusus kepada Provinsi Papua belum tampak perubahan yang signifikan jika
dilihat dari empat bidang pokok yang menjadi sasaran otonomi khusus,
yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan
pembangunan infrastruktur. Beberapa penyebab mengapa tujuan tersebut
tidak tercapai antara lain : (1) belum ada acuan yang jelas dalam
pengelolaaan dana otonomi khusus tersebut, sehingga pelaksana kebijakan
seperti pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya seringkali
mengalami kebingungan dalam hal pengalokasiannya, (2) penggunaan dana
otonomi khusus masih belum dapat dikatakan optimal, hal ini tercermin dari
penggunaan dana otsus tersebut yang belum sesuai dengan prioritasnya, (3)
pengaturan masalah pembagian dana otonomi khusus yang didistribusikan
pemerintah provinsi kepada tiap kabupaten masih belum jelas
pengaturannya. Keberadaan jumlah penduduk asli Papua dan kondisi
ketertinggalan belum sepenuhnya menjadi pertimbangan (Kemendagri
2014).
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
-5%
27,12%
Rata-rata pertumbuhan ekonomi per provinsi di KTI
Gambar 9 Rata-rata pertumbuhan ekonomi wilayah tertinggal di KTI tahun
2009-2013
Dinamika Bantuan Sosial Daerah Tertinggal
Peraturan Presiden No. 9 tahun 2005 dan No. 90 tahun 2006 menjadi
landasan Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) Kementrian PDT, diantaranya
adalah perumusan kebijakan nasional di bidang pembangunan daerah
tertinggal secara fisik maupun sumberdaya manusia, yang didalamnya
termasuk program lima bantuan sosial yaitu bantuan pengembangan
sumberdaya manusia, peningkatan infrastruktur, pembinaan ekonomi dan
dunia usaha, pembinaan lembaga sosial dan budaya, dan pengembangan
41
daerah khusus. Sampai tahun 2013 telah diberikan bantuan sosial ke 183
daerah tertinggal dengan total Rp. 1,415,640,353,500, dengan persentase
untuk pengembangan SDM 5 persen, peningkatan infrastruktur 36 persen,
pembinaan ekonomi dan dunia usaha 20 persen, pembinaan lembaga sosial
dan budaya 4 persen dan pengembangan daerah khusus sebanyak 35 persen
(Gambar 10).
Bantuan infrastruktur adalah bantuan dengan porsi paling besar
dalam pembagian bansos. Data identifikasi dan validasi Kementrian PDT,
aspek sarana dan prasarana menjadi kebutuhan paling tinggi dalam
penanganan daerah tertinggal yaitu sebesar 50,81 persen, dibandingkan dari
aspek lainnya seperti bencana alam dan konflik sebesar 9,38 persen,
kelembagaan daerah sebesar 4,02 persen, perekonomian lokal sebesar 18,39
persen dan sumberdaya manusia 17,41 persen.
Gambar 10 Persentase masing-masing bantuan sosial yang disalurkan
Kementerian PDT tahun 2010-2013
a. Bantuan Sumberdaya Manusia
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia di daerah tertinggal
sangat penting untuk dilakukan. Kementerian PDT melalui Deputi Bidang
Sumberdaya manusia memiliki tugas untuk melakukan pengembangan
terkait sumberdaya yang meliputi : sumberdaya hayati, sumberdaya manusia,
sumberdaya mineral dan energi, lingkungan hidup dan teknologi.
Dalam kurun waktu 2010-2013, bantuan pengembangan SDM yang
diberikan berfluktuatif dari tahun ke tahun. Besaran pemberian bantuan
didasarkan pada kebutuhan masing-masing daerah tertinggal. Lima provinsi
tidak menerima bantuan ini, yaitu Bangka Belitung, Kalimantan Tengah,
Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Papua Barat, sedangkan total kabupaten
yang menerima sebanyak 22 kabupaten tertinggal (Lampiran 3).
Share bansos pengembangan SDM untuk wilayah KBI sebesar 33
persen, sedangkan untuk wilayah KTI sebesar 67 persen (Gambar 11),
sedangkan persentase bantuan per provinsi dapat dilihat pada (Gambar 12).
Total bantuan yang telah diberikan dari tahun 2010-2013 sebesar Rp.
13.296.785.000,- untuk wilayah KBI, dan Rp. 50.938.135.000,- untuk
42
wilayah KTI, sehingga total keseluruhan bantuan adalah Rp.
64.234.920.000,-.
Bansos SDM diberikan paling besar kepada Provinsi Papua, dengan
porsi 23,62 persen atau sebesar Rp. 15.175.000.000,- yang juga
menjadikannya sebagai provinsi dengan nilai bansos tertinggi di KTI. Hal
ini disebabkan karena masih rendahnya mutu sumberdaya manusia di
Provinsi Papua yang dilihat dari tingkat pendidikan dan keterampilan
masyarakat yang berusia produktif.
Pendidikan merupakan bidang yang paling diprioritaskan, tetapi
untuk menilai keberhasilan bidang pendidikan tidak dapat ukur dalam waktu
yang singkat. Program-program peningkatan kualitas dan kuantitas pendidik
diterapkan untuk meningkatkan tingkat pendidikan putra putri asli Papua.
Hasil evaluasi Bappenas tahun 2013 terdapat peningkatan partisipasi
sekolah di berbagai jenjang usia pendidikan. Ada indikasi perbaikan di
bidang pendidikan, meskipun hasilnya belum optimal dan memerlukan
perbaikan dalam kualitas pendidikan maupun kualitas dan ketersediaan
sarana pendidikan dan sumberdaya manusia pendidikannya.
Gambar 11 Persentase bantuan sumberdaya untuk daerah tertinggal KBI
dan KTI tahun 2010-2013
Kualitas tenaga kerja juga menjadi perhatian di Provinsi Papua
selain dari aspek pendidikan, usaha yang telah dilakukan adalah programprogram peningkatan keterampilan, seperti di Kabupaten Jayapura
dilakukan pelatihan keterampilan bagi pencari kerja di 5 Distrik 7 kampung,
di Biak Numfor dilakukan bantuan pembinaan untuk pengangguran.
Provinsi Bengkulu mendapatkan dana bansos SDM paling besar di
KBI sebesar Rp. 3.462.160.000,- atau sebesar 5,39 persen. Programprogram yang dilakukan untuk pengembangan sumberdaya manusia di
Bengkulu di berbagai sektor usaha masyarakat antara lain pelatihan
penanaman dan pemeliharaan sagon dan jabon dengan plafon dana sebesar
Rp. 250.000.000,- yang diberikan kepada petani beringin indah, harapan
makmur, muda sepakat, suka tani dan sinar pagi. Bidang peternakan juga
dilakukan pelatihan bagi peternak kambing pada kelompok tani tahaji satu
dengan plafon bansos sebesar Rp. 300.000.000,-.
43
Kegiatan lain untuk pengembangan SDM di bengkulu adalah
pelatihan dan instalasi biogas di Kabupaten Kaur dengan dana sebesar Rp.
200.000.000,- yang diberikan pada kelompok tani rukun santosa, setia bakti,
tunas muda dan sumber makmur I. Pengembangan usaha pertanian juga
dilakukan dengan membangun kandang, rumah jaga, pemberian handtractor,
pagar hidup, peralatan pengolahan pupuk organik dan mesin pemotong
rumput juga mesin perontok padi dengan dana Rp. 260.000.000,- di
Kabupaten Kaur.
23,62%
25%
20%
15%
10%
5%
NAD
SUMUT
SUMBAR
SUMSEL
BENGKULU
LAMPUNG
BABEL
KEPRI
JABAR
JATIM
BANTEN
NTB
NTT
KALBAR
KALTENG
KALSEL
KALTIM
SULUT
SULTENG
SULSEL
SULTRA
GORONTALO
SULBAR
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA
0%
Persentase bantuan SDM
Gambar 12 Distribusi bantuan sumberdaya tahun 2010-2013
b. Bantuan Peningkatan Infrastruktur
Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2006 menjadi dasar hukum
pelaksanaan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah
Tertinggal (P2IPDT) yang dilaksanakan oleh Kementrian PDT. Peningkatan
infrastruktur ini diharapkan dapat menjadi pendorong dalam pengentasan
daerah tertinggal. Selain untuk mengentaskan daerah tertinggal, program
P2IPDT ini juga sebagai solusi mengatasi ketimpangan infrastruktur.
Program P2IPDT merupakan salah satu bentuk kegiatan pokok dari
pemerintah kepada daerah tertinggal di bidang pembangunan infrastruktur
pedesaan dan menjadi stimulan kegiatan pendukung atau pendorong
pembangunan infrastruktur daerah melalui penyediaan sarana dan prasarana
transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi
dalam bentuk bantuan sosial dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Bantuan stimulan bersifat komplementer dan integral terhadap sektor terkait
dan program masing-masing daerah.
Bantuan pembangunan infrastruktur merupakan bantuan yang paling
besar dibandingkan dengan bantuan lainnya yang diberikan pada 27 provinsi
dengan nominal yang berbeda-beda (Lampiran 4). Share bansos
pengembangan infrastruktur untuk wilayah KBI sebesar 29 persen dengan
besaran bantuan Rp. 150.315.503.000, sedangkan untuk wilayah KTI
sebesar 71 persen atau sebesar Rp. 360.243.284.000 (Gambar 13), sehingga
44
total bantuan infrastruktur yang diberikan dari tahun 2010-2013 adalah Rp.
510.558.787.000,-.
Bantuan infrastruktur paling besar diberikan kepada Provinsi Nusa
Tenggara Timur, dengan porsi 11,97 persen (Gambar 14) atau sebesar Rp.
61.115.206.000,- yang juga menjadikannya sebagai provinsi dengan nilai
bansos tertinggi di KTI. Pembangunan infrastruktur yang telah
dikembangkan di NTT meliputi perumahan dan pemukiman, pembangunan
infrastruktur air bersih, pembangunan sanitasi dan pembangunan rumah
sakit.
Gambar 13 Persentase bantuan infrastruktur untuk wilayah KBI dan KTI
tahun 2010-2013
Pembangunan ekonomi produktif juga dilakukan, dimana kawasan
peruntukan pertanian terdiri atas kawasan tanaman pangan, hortikultura dan
perkebunan seperti cengkeh, kelapa, kopi, jambu mete, vanili dan kemiri.
Berdasarkan data BPS mayoritas penduduk yang ada di provinsi NTT
bermata pencaharian sebagai petani (64,70 persen). Produk pertanian
khususnya tanaman pangan merupakan salah satu andalan utama bagi
peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Kegiatan
pengembangan industri pengolahan produk pertanian dilakukan untuk
meningkatkan pendapatan petani seperti yang dilakukan di Kabupaten
Ngada dengan nilai bantuan sebesar Rp 650.000.000. Untuk mendukung
kegiatan pertanian juga dilakukan pengembangan irigasi seperti yang
dilakukan di Kabupaten Sumba Timur dengan nilai bantuan Rp 550.000.000.
Pembangunan transportasi jalan raya dan penyebrangan juga
menjadi prioritas pembangunan infrstruktur di NTT, seperti pembangunan
dramaga di Kabupaten Manggarai Barat. Pembangunan prasarana angkutan
penyeberangan ini akan menunjang peningkatan konektivitas antar wilayah
melalui transportasi terpadu antar moda.
Provinsi Jawa Timur mendapatkan bansos infrastruktur paling besar
untuk wilayah KBI dengan total bantuan 22.046.790.000,-. Berbagai
program terkait pengembangan infsratruktur dikembangkan di Jawa Timur.
Pengembangan infrastruktur ekonomi yang dilakukan antara lain adalah
pengembangan embung air di madiun dengan plafon dana sebesar Rp.
350.000.000,- dan dilakukan pengembangan irigasi desa dengan plafon
45
dana Rp. 300.000.000,-. Pengembangan Pasar Desa sebagai prasarana untuk
aktivitas ekonomi wilayah di kembangakan di Kabupaten Bondowoso
dengan dana yang digunakan sebanyak Rp. 300.000.000,-.
Prasarana Jalan sangat menunjang kelancaran aktivitas ekonomi
antar wiayah, untuk itu dengan menggunakan dana bantuan infrastruktur
transportasi dilakukan pembangunan jalan desa di Kabupaten Bangkalan
dengan jumlah bantuan sebesar Rp. 300.0000.000,-, kemudian dilakukan
juga perbaikan jalan lingkungan di beberapa wilayah kecamatan dengan
jumlah bantuan Rp. 300.000.000,11,97%
12%
10%
8%
6%
4%
2%
NAD
SUMUT
SUMBAR
SUMSEL
BENGKULU
LAMPUNG
BABEL
KEPRI
JABAR
JATIM
BANTEN
NTB
NTT
KALBAR
KALTENG
KALSEL
KALTIM
SULUT
SULTENG
SULSEL
SULTRA
GORONTALO
SULBAR
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA
0%
Persentase bantuan infrastruktur
Gambar 14 Distribusi bantuan infrastruktur tahun 2010-2013
Pengembangan infrastruktur sosial juga menjadi perhatian
Kementrian PDT, dimana diberikan bantuan pengembangan sarana dan
prasarana pendidikan di kabupaten Pamekasan dengan pagu dana sebesar
Rp. 315.600.000,-. kabupaten Madiun juga mendapatkan dana
pengembangan sarana dan prasarana pendidikan ini dengan plafon dana
sebesar Rp. 300.000.000,c. Bantuan Pembinaan Ekonomi Dan Dunia Usaha
Deputi bidang pembinaan ekonomi dan dunia usaha di Kementerian
PDT menangani beberapa hal terkait dengan investasi, pemberdayaan
masyarakat di sekitar industri, usaha mikro kecil dan menengah serta
kemitraan usaha dan pengembangan pariwisata. Bantuan yang diberikan
sifatnya lebih kepada pengembangan produk unggulan daerah. Besaran
pemberian bantuan didasarkan pada kebutuhan masing-masing daerah
tertinggal (Lampiran 5).
Bantuan pembinaan dunia usaha dan ekonomi merupakan bantuan
terbesar ketiga setelah bantuan infrastruktur dan bantuan pengembangan
daerah khusus dengan share sebesar 19 persen. Share bansos pembinaaan
dunia usaha dan ekonomi sebanyak 62 persen untuk wilayah KTI dan 38
persen untuk wilayah KBI (Gambar 15). Total bantuan dari tahun 20102013 sebesar Rp. 102.235.000.000,- untuk wilayah KBI, dan Rp.
169.136.321.500,- untuk KTI sehingga total bantuan yang diberikan adalah
Rp. 271,371,321,500,-.
Provinsi Nusa Tenggara Timur mendapatkan bantuan paling besar
dengan porsi 12,78 persen (Gambar 16) atau sebesar Rp. 34.681.675.000,-
46
yang juga menjadikannya sebagai provinsi dengan nilai bansos tertinggi di
KTI. Jenis program yang telah dilakukan antara lain adalah pengambangan
kakao di Kabupaten Manggarai Timur. Perikanan tangkap juga dijadikan
program pengembangan usaha di Flores Timur dimana bantuan dialokasikan
untuk pembelian kapal tangkap. Pengembangan jagung dilakukan di
Kabupaten Ngada dengan memberikan benih jagung, pupuk NPK,
carbosulfat, alat pemipil jagung, dan Hand Tractor. Program lain yang
dilakukan terkait dengan pengembangan dunia usaha adalah pengembangan
kebun jagung, peternakan sapi dan kebun jambu di Kabupaten Timor
Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara.
Gambar 15 Persentase bantuan ekonomi dan dunia usaha untuk wilayah
KBI dan KTI tahun 2010-2013
Sumatera Selatan mendapatkan bantuan ekonomi dan dunia usaha
paling besar di KBI sebesar 7,08 persen atau Rp. 19.110.000.000,-. Program
yang dijalankan antara lain di kabupaten Ogan Hilir yaitu bantuan mesin
dan peralatan untuk anyaman dan industri perak. Program lain adalah di
Kabupaten Lahat, Empat Lawang dan Kabupaten Musi Rawas yang
mendapatkan bantuan pengembangan bibit sapi bali jantan, dan bibit karet.
12,78%
14%
12%
10%
8%
6%
4%
2%
NAD
SUMUT
SUMBAR
SUMSEL
BENGKULU
LAMPUNG
BABEL
KEPRI
JABAR
JATIM
BANTEN
NTB
NTT
KALBAR
KALTENG
KALSEL
KALTIM
SULUT
SULTENG
SULSEL
SULTRA
GORONTALO
SULBAR
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA
0%
Persentase bantuan ekonomi dan
dunia usaha
Gambar 16 Distribusi bantuan ekonomi dan dunia usaha tahun 2010-2013
47
d. Bantuan Pembinaan Lembaga Sosial dan Budaya
Bantuan pembinaaan lembaga sosial dan budaya sebanyak 58 persen
diberikan untuk wilayah di KTI atau sebesar Rp. 35.621.850.000,- dan 42
persen untuk wilayah KBI atau sebesar Rp. 26.187.350.000 (Gambar 17),
dengan total keseluruhan bantuan sebesar Rp. 61.809.200.000,-. Bantuan
pembinaan lembaga sosial dan budaya diberikan paling besar kepada
Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan porsi 11,63 persen (Gambar 18)
atau sebesar Rp. 7.186.050.000,- yang juga menjadikannya sebagai provinsi
dengan nilai bansos tertinggi di KTI. Jenis program yang diterima antara
lain penguatan kelembagaan Kelompok Penggerak Pembangunan Desa
(KPPD) di beberapa kabupaten seperti kabupaten Sumba Barat, Sumba
Timur, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya.
Gambar 17 Persentase bantuan lembaga sosial dan budaya untuk wilayah
KBI dan KTI 2010-2013
Provinsi Sumatera Selatan mendapatkan bantuan lembaga sosial dan
budaya terbesar di KBI yaitu sebesar 6.71 persen atau sebesar
Rp.4,147,690,000. Program yang dijalankan antara lain penguatan
kelembagaan kelompok penggerak pembangunan desa (KPPD) di
Kabupaten Lahat, Musi Rawas, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu.
11,63%
12%
10%
8%
6%
4%
0%
NAD
SUMUT
SUMBAR
SUMSEL
BENGKULU
LAMPUNG
BABEL
KEPRI
JABAR
JATIM
BANTEN
NTB
NTT
KALBAR
KALTENG
KALSEL
KALTIM
SULUT
SULTENG
SULSEL
SULTRA
GORONTALO
SULBAR
MALUKU
MALUKU…
PAPUA BARAT
PAPUA
2%
Persentase bantuan lembaga
sosial dan budaya
Gambar 18 Distribusi bantuan lembaga sosial dan budaya tahun 2010-2013
48
Bantuan pembinaan lembaga sosial dan budaya berada dibawah
Deputi IV Kementerian PDT. Kegiatan yang dijalankan antara lain
penyiapan dan perumusan kebijakan di bidang pembinaan lembaga sosial
dan budaya, koordinasi kebijakan lambaga sosial dan budaya, melaksanakan
hubungan kerja di bidang lembaga sosial dan budaya dengan kementrian
koordinator, kementrian negara lain, departemen lembaga pemerintah non
departemen dan lembaga yang terkait. Besaran bantuan pembinaan lembaga
sosial dan budaya dapat dilihat di Lampiran 6. Bantuan pembinaan lembaga
sosial dan budaya merupakan bantuan terendah sharenya dibandingkan
dengan bantuan sosial lainnya, yaitu sebesar 5 persen.
e. Bantuan Pengembangan Daerah Khusus
Bantuan daerah khusus diberikan untuk daerah tertinggal yang
memiliki permasalahan khusus, yang meliputi daerah perbatasan, daerah
rawan konflik dan bencana serta daerah pulau terpencil dan terluar. Bantuan
pengembangan daerah khusus per provinsi dapat dilihat di Lampiran 7,
bantuan pengembangan daerah khusus ini merupakan bantuan kedua
terbesar dibandingkan dengan bantuan sosial lainnya, yaitu sebesar 35
persen,
Bantuan pengembangan daerah khusus sebesar 89 persen atau sekitar
Rp. 431.001.125.000,- diberikan untuk wilayah KTI dan 11 persen atau
sekitar Rp. 63.310,000,000,- diberikan untuk wilayah KBI (Gambar 19),
sehingga total bantuan yang telah diberikan dari tahun 2010-2013 adalah
sebesar Rp. 494.311.125.000. Bantuan pengembangan daerah khusus
diberikan paling besar untuk Provinsi Papua, dengan porsi 18,93 persen
(Gambar20) atau sebesar Rp. 93.593.000.000,- yang juga menjadikannya
sebagai provinsi dengan nilai bansos tertinggi di KTI.
Gambar 19 Persentase bantuan daerah khusus untuk wilayah KBI dan KTI
tahun 2010-2013
Pemerintah pusat melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
mengeluarkan kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Tujuannya
adalah selain untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat di
Provinsi Papua, juga untuk meredam aksi separatisme yang dilakukan oleh
49
organisasi papua merdeka (OPM). Otonomi khusus memberikan dampak
bagi perkembangan perekonomian Provinsi Papua karena beberapa
komponen keuangan yang menyertainya seperti dana otonomi khusus, dana
tambahan infrastruktur, serta dana bagi hasil minyak bumi dan gas alam.
Bantuan sosial pengembangan daerah khusus yang diterima
ditujukan untuk membiayai beberapa program yang menjadi prioitas dalam
penerapan kebijakan otonomi khusus di Papua seperti pendidikan, kesehatan
dan perbaikan gizi, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, serta pembangunan
infrastruktur. Kebijakan otonomi khusus diharapkan mampu memperbaiki
kondisi kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua melalui perbaikan
dalam keempat sektor tersebut.
Terdapat beberapa jenis bantuan atau program pengembangan
daerah khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua antara lain penyediaan
listrik pembangkit tenaga surya di Merauke, pembangunan rumah layak
huni di Keroom, pengadaan motor tempel dan cool box di Kabupaten
Supiori, perlengkapan alat pertanian dan penyimpanan padi di Kabupaten
Boven Digoel, pengadaan bibit ternak kambing dan babi di Kabupaten
Pegunungan Bintang. Program-program bantuan pengembangan daerah
khusus ini terus berlanjut untuk seluruh kabupaten-kabupaten tertinggalnya.
Provinsi Sumatera Barat mendapatkan bantuan pengembangan
daerah khusus paling besar di KBI dengan jumlah Rp. 8,530,000,000 atau
1,73 persen. Provinsi Kepulauan Riau mendapatkan bantuan pengembangan
daerah khusus khusus terbesar kedua di KBI yaitu 1,72 persen atau setara
dengan Rp. 8.500.000.000,-, kedua provinsi ini memiliki karakteristik
daerah khusus yaitu sebagai daerah rawan bencana dan daerah perbatasan.
18,93%
20%
15%
10%
5%
NAD
SUMUT
SUMBAR
SUMSEL
BENGKULU
LAMPUNG
BABEL
KEPRI
JABAR
JATIM
BANTEN
NTB
NTT
KALBAR
KALTENG
KALSEL
KALTIM
SULUT
SULTENG
SULSEL
SULTRA
GORONTALO
SULBAR
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA
0%
Persentase bantuan daerah khusus
Gambar 20 Distribusi bantuan daerah khusus tahun 2010-2013
Sumatera Barat mendapatkan bantuan pengembangan daerah khusus
untuk membangunan rintisan jalur evakuasi/tanggul dan sarana penyediaan
air bersih untuk pencegahan krisis air bersih yang disalurkan ke Kabupaten
Padang Pariaman, dimana infrastruktur di Padang Pariaman rusak berat
setelah dilanda gempa tahun 2009. Kabupaten Pesisir Selatan yang juga
wilayahnya rusak akibat gempa mendapatkan bantuan penyediaan air bersih.
Bantuan lain yang diterima untuk pembangunan pasca gempa adalah
50
bantuan rehabilitasi pasca bencana yang disalurkan ke Kabupaten Pasaman
Barat, Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir karena kabupaten tersebut
menjadi kabupaten terparah yang terkena dampak gempa.
Tahun 2010 daerah tertinggal di Provinsi Kepulauan Riau yang
terdiri atas kabupaten Natuna dan Anambas menerima jenis bansos daerah
khusus yang berbeda. Kabupaten Natuna menerima bantuan pengembangan
perkebunan karet unggul yang sasarannya adalah kelompok masyarakat.
Kepulauan Anambas mendapatkan jenis bantuan pembangunan instalasi air
bersih yang bersumber dari air bawah tanah (Deputi Bidang Pengembangan
Daerah Khusus 2010). Bantuan penyaluran energi listrik melalui
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di kabupaten
Anambas juga telah dilakukan, dengan menyalurkan listrik sebesar 10 kwH
yang diperuntukkan untuk masyarakat, dan pengembangan produk minyak
kelapa di Natuna dengan luas perkebunan kelapa 4.700 Ha.
Analisis Pengaruh Bantuan Sosial Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten Tertinggal
Analisis pengaruh bantuan sosial terhadap perekonomian kabupaten
tertinggal dijelaskan dari hasil analisis pada Tabel 7. Estimasi dilakukan
dengan menggunakan metode 2SLS, metode 2SLS digunakan Karena dari
hasil uji identifikasi kedua model overidentified (Lampiran 8), sehingga
metode yang tepat untuk menduganya adalah dengan metode 2SLS. Hasil
uji asumsi klasik menunjukkan bahwa model terbebas dari
multicollinerarity, heteroscedasticity,dan autocorrelation (Lampiran 9).
Tabel 7 Hasil estimasi model pertumbuhan ekonomi
Variabel
1. Intersep
2. B.SDM
3. B.Infrastruktur
4. B.Ekonomi
5. B.Kelembagaan
6. B.D.Khusus
7. J.Penduduk
8. Lagpdrb
Durbin-Watson 1.659892
R-square
0.77953
Parameter t value
186.2998
2.57
-138.624
-1.40
120.3370** 1.68
-47.3466
-0.62
160.233*
2.21
2.021734
0.03
0.002128* 14.69
0.540027* 19.49
Prob.t
Elastisitas
0.0104
0.1617
-0.010
0.0930
0.066
0.5367
-0.013
0.0274
0.010
0.9778
0.001
0.0001
0.405
0.0001
0.068
Prob>F 0.0001
Ket: *signifikan pada taraf nyata 5 persen
**signifikan pada taraf nyata 10 persen
Hasil estimasi menunjukkan bahwa bantuan infrastruktur, bantuan
kelembagaan sosial dan budaya, jumlah penduduk, dan nilai PDRB tahun
sebelumnya pada taraf nyata 5 dan 10 persen mempengaruhi perekonomian
di kabupaten tertinggal, sedangkan bantuan sumberdaya manusia, bantuan
ekonomi dan dunia usaha, serta bantuan daerah khusus tidak signifikan
mempengaruhi perekonomian di kabupaten tertinggal. Nilai R-Square (R2)
51
atau koefisien determinasi dari model sebesar 0,77953 (Tabel 7), nilai
tersebut menunjukkan bahwa variasi dalam variabel eksogen yang terdiri
atas bantuan SDM, bantuan infrastruktur, bantuan ekonomi dan dunia usaha,
bantuak kelembagaan sosial dan budaya, bantuan daerah khusus, jumlah
penduduk, dan nlai Lag PDRB mampu menjelaskan 77,95 persen variasi
nilai PDRB, sedangkan sisanya sebesar 22,05 persen dijelaskan oleh
variabel lain diluar model.
a. Pengaruh bantuan sumberdaya manusia (SDM) terhadap
pertumbuhan ekonomi
Investasi untuk pengembangan sumberdaya manusia adalah suatu
biaya yang dikeluarkan atau diberikan baik dalam bentuak uang, waktu,
maupun kesempatan untuk membentuk modal manusia yang lebih baik di
masa depan. Kegiatan investasi terhadap sumberdaya manusia ini antara lain
melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan.
Bantuan pengembangan sumberdaya manusia di daerah tertinggal
ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka
mempercepat pembangunan ekonomi didaerah tertinggal. Beberapa kegiatan
yang dilakukan antara lain pemberian pelatihan untuk kegiatan pertanian,
peternakan, dan perikanan, serta pembangunan infrastruktur seperti
pembangunan sekolah, sarana kesehatan dan lainnya.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa bantuan sumberdaya manusia
memiliki hubungan yang negatif terhadap perekonomian daerah tertinggal.
Kondisi ini menunjukkan bahwa hubungan antara pengeluaran pemerintah
dan pertumbuhan ekonomi tidak ada yang konsisten, bisa positif atau negatif.
Kondisi ini sudah dibuktikan dengan beberapa studi sebelumnya yang
dilakukan dibeberapa negara. Folster dan Henrekson (1999) menyatakan
bahwa dampak dari pengeluaran publik akan berbeda dampaknya tergantung
kondisi dinegara tersebut. Barro (1990) menyatakan bahwa kontribusi
pengeluaran yang produktif akan positif terhadap pertumbuhan, dan
sebaliknya untuk pengeluaran yang tidak produktif. Tidak ada kesimpulan
pasti mengenai arah hubungan antara pengeluaran pemerintah dan
pertumbuhan ekonomi (Folster dan Henrekson 1999).
Bantuan sosial pengembangan sumberdaya manusia yang meliputi
sumberdaya hayati, sumberdaya manusia, sumberdaya mineral dan energi,
lingkungan hidup dan teknologi dari hasil penelitian tidak signifikan dalam
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal, dengan nilai
elastisitas -0.010.
b. Pengaruh bantuan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi
Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2006 menjadi dasar hukum
pelaksanaan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah
Tertinggal (P2IPDT) yang dilaksanakan oleh Kementrian PDT. Peningkatan
infrastruktur ini diharapkan dapat menjadi pendorong dalam pengentasan
daerah tertinggal. Program P2IPDT merupakan salah satu bentuk kegiatan
pokok dari pemerintah kepada daerah tertinggal di bidang pembangunan
infrastruktur pedesaan dan menjadi stimulan kegiatan pendukung atau
pendorong pembangunan infrastruktur daerah melalui penyediaan sarana
52
dan prasarana transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi
dan energi dalam bentuk bantuan sosial dengan pendekatan pemberdayaan
masyarakat. Bantuan stimulan bersifat komplementer dan integral terhadap
sektor terkait dan program daerah.
Besaran pemberian bantuan dan jenis bantuan stimulus infrastruktur
ini didasarkan pada kebutuhan masing-masing daerah tertinggal. Beberapa
bantuan yang diberikan terkait dengan peningkatan infrastruktur antara lain
bantuan infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial dan infrastruktur
produktif, dimana program-program yang telah terealisasi adalah
pembangunan irigasi, pembangunan jalan raya dan pembangunan gedunggedung sekolah, rumah sakit dan prasarana sosial lainnya
Beberapa penelitian yang sebelumnya sudah dilakukan antara lain
oleh Canning dan Pedroni (1999) serta Seetanah et al (2010) menunjukkan
bahwa infrastruktur transportasi merupakan infrastruktur yang menyumbang
kontribusi terbesar pada pertumbuhan, untuk itu kiranya perlu
dipertimbangkan untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur
transportasi sebagai infrastruktur prioritas utama pada pembangunan
kabupaten tertinggal. Penelitian lainnya tentang pengaruh program
pembangunan infrastruktur terhadap kemiskinan di kabupaten tertinggal
oleh Sari (2011) menunjukkan bahwa pengaruh bantuan infrastruktur
(P2IPDT) terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal dapat
dirasakan oleh masyarakat dalam jangka menengah dan panjang.
Hasil estimasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variabel
dana bantuan sosial infrastruktur memiliki pengaruh yang positif dan
signifkan pada taraf nyata 10 persen terhadap pertumbuhan ekonomi,
dengan nilai elastisitas 0,066 yang berarti setiap kenaikan 1 miliar bantuan
infrastruktur akan meningkatkan PDRB sebesar 0,066 miliar.
c. Pengaruh bantuan ekonomi dan dunia usaha terhadap pertumbuhan
ekonomi
Dalam rangka pembinaan dan pengembangan dunia usaha di daerah
tertinggal, maka ditegaskan pokok-pokok arah pembinaan dan
pengembangannya adalah: meningkatkan partisipasi masyarakat yang lebih
aktif dalam pembangunan, sehingga perluasan dunia usaha haruslah
mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Usaha peningkatan
perekonomian golongan ekonomi lemah didaerah tertinggal dilaksanakan
antara lain dengan pengembangan produk atau komoditas unggulan daerah,
pemberian bantuan kredit dengan syarat yang tidak memberatkan, , bantuan
keahlian, penyuluhan, dan melalui usaha-usaha pengembangan
kewirausahaan.
Kementerian PDT telah melaksanakan berbagai program terkait
dengan pemberian bantuan ekonomi dan dunia usaha, salah satunya adalah
dengan pengembangan produk atau komoditas unggulan daerah yang
menjadi program utama bantuan ekonomi dan dunia usaha. Sama halnya
dengan bantuan sumberdaya manusia, bantuan ekonomi dan dunia usaha
dari hasil estimasi menunjukkan hubungan yang negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Hal ini kembali menunjukkan
bahwa hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi
53
tidak ada yang konsisten, bisa berhubungan positif atau negatif dimana
kondisi ini sudah dibuktikan dari beberapa studi yang sebelumnya sudah
dilakukan di beberapa negara. Penelitian lanjutan yang lebih mendalam
dapat dilakukan untuk mengetahui mengapa timbul hubungan negatif ini,
khususnya terkait jenis bantuan yang diberikan apakah bantuan yang
diberikan bersifat produktif atau tidak produktif dengan melihat kondisi riil
dilapangan.
Variabel bansos pembinaan ekonomi dan dunia usaha dari hasil
penelitian ini tidak signifikan meningkatan pertumbuhan ekonomi, dengan
nilai elastisitas -0,013. Hal ini menunjukkan bahwa bantuan pengembangan
ekonomi dan dunia usaha yang diberikan kepada daerah tertinggal belum
mampu meningkatkan perekonomian masyarakat melalui berbagai program
yang telah dilakukan.
d. Pengaruh bantuan kelembagaan sosial dan budaya terhadap
pertumbuhan ekonomi
Kementerian PDT telah melaksanakan berbagai program terkait
bantuan kelembagaan sosial dan budaya. Program dan kegiatan diarahkan
untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat desa melalui
pengembangan kualitas SDM dan penguatan organisasi masyarakat desa.
Peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat di daerah tertinggal
dilakukan dengan pemberian pembinaan, pengendalian, evaluasi dan
penyusunan laporan kegiatan lembaga. Kegiatan ini dilakukan melalui
kerjasama antara kementerian PDT, pendamping manajemen nasional
(PMN), tenaga pendamping provinsi (TPP), tenaga pendamping kabupaten
(TPK), tenaga fasilitator desa (TFD), serta instansi terkait lainnya
(Kementerian PDT 2013).
Keberadaan Kelompok penggerak pembangunan desa (KPPD)
membantu pelaksanaan pembangunan pedesaan yang dilakukan oleh
pemerintah, khususnya program percepatan pembangunan sosial ekonomi
daerah tertinggal. Kementerian PDT telah melakukan kegiatan penguatan
kelembagaan kelompok penggerak pembangunan desa (KPPD) yang
dilakukan di semua kabupaten yang menerima bantuan kelembagaan sosial
dan budaya.
Penelitian tentang pentingnya penguatan kelembagaan di desa sudah
banyak dilalukan sebelumnya, antara lain oleh Hasan dan Sufri (2013)
menyimpulkan bahwa dalam menunjang kelembagaan masyarakat desa, ada
beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain: (1) pelatihan partisipatif
kelompok, (2) sosialisasi, serta (3) pendampingan. Penguatan kelembagaan
melalui kegiatan pendampingan
merupakan satu hal yang sangat
dibutuhkan dalam menunjang penguatan kelembagaan masyarakat desa dan
kegiatan pemberdayaan. Kegagalan suatu program bisa terjadi karena tidak
adanya pendampingan ataupun karena pendampingan tersebut dilakukan
oleh orang yang kapasitasnya terbatas.
Variabel bansos kelembagaan sosial dan budaya memiliki pengaruh
yang positif dan signiikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai elastisitas
0,010 yang berarti setiap peningkatan 1 miliar bantuan kelembagaan sosial
dan budaya akan meningkatkan PDRB sebesar 0,010 miliar. Hal ini
54
menunjukkan bahwa bantuan kelembagaan sosial dan budaya yang telah
diberikan telah mampu meningkatkan perekonomian masyarakat melalui
berbagai program yang telah dilakukan.
e. Pengaruh bantuan pengembangan daerah khusus terhadap
pertumbuhan ekonomi
Program percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus
(P2DTK) adalah upaya pemerintah untuk memfasilitasi dan mendampingi
proses pemberdayaan masyarakat serta sebagai upaya untuk
mengoptimalkan keterpaduan peran pemerintah, swasta, dan masyarakat
dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal. Bantuan percepatan
pembangunan daerah tertinggal dan khusus adalah bantuan yang diberikan
kepada beberapa daerah tertinggal di Indonesia yang memiliki karakteristik
daerah yang khusus dibandingkan dengan daerah tertinggal lainnya, yang
meliputi daerah perbatasan, daerah rawan konflik dan bencana, dan daerah
pulau terpencil dan terluar.
Beberapa bantuan yang diberikan
terkait dengan percepatan
pembangunan daerah tertinggal khusus antara lain bantuan untuk
pembangunan pembangkit listrik tenaga surya, pembangunan rumah layak
huni, pengadaan motor tempel dan cool box, pengembangan perkebunan
karet unggul dan pembangunan instalasi air bersih bersumber dari air bawah
tanah.
Bantuan sosial untuk pengembangan daerah khusus memiliki
pengaruh yang positif namun tidak signifikan dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, dengan nilai elastisitas 0,001. Bantuan
pengembangan daerah khusus merupakan bantuan kedua paling besar
diberikan kepada daerah tertinggal setelah bantuan infrastruktur. Namun
dari hasil estimasi menunjukkan bahwa bantuan yang diberikan belum
mampu memberikan dampak terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Walaupun hasil estimasi menunjukkan bantuan belum mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bukan berarti bantuan tersebut tidak
berdampak positif terhadap perekonomian daerah tertinggal. karena sifat
dan jenis dari bantuan mungkin akan dirasakan dampaknya terhadap
perekonomian dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Beberapa studi yang telah dilakukan terkait pentingnya
pengembangan daerah tertinggal dengan karakteristik khusus ini antara
studi yang dilakukan oleh lembaga pertahanan nasional (Lemhanas) tahun
2013 tentang optimalisisasi percepatan pembangunan daerah tertinggal di
Papua guna mendorong peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat Papua.
Dibutuhkan upaya yang lebih besar untuk mempercepat pembangunan di
Papua karena keadaan geografis papua yang berada di perbatasan dan
kondisi alam yang berupa daratan yang sangat luas, pegunungan, dan
perbukitan yang diliputi hutan lebat yang menjadi ciri khas sekaligus
menjadi hambatan dalam pembangunan, khususnya pembangunan dalam
bidang infrastruktur.
55
f. Pengaruh jumlah penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi
Menurut (Jhingan 2000) proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu faktor ekonomi, dan faktor non ekonomi yang salah
satunya adalah faktor kependudukan. Pertumbuhan penduduk merupakan
salah satu unsur penting dalam memacu pembangunan ekonomi. Populasi
yang lebih besar adalah pasar potensial yang menjadi sumber permintaan
akan berbagai macam kegiatan ekonomi sehingga menciptakan skala
ekonomi
(economic of scale) yang menguntungkan semua pihak,
menurunkan biaya-biaya produksi, sehingga pada akhirnya akan
merangsang tingkat output atau produksi agregat yang lebih tinggi (Todaro
dan Smith 2006).
Penduduk merupakan unsur penting dalam usaha untuk
meningkatkan produksi dan mengembangkan kegiatan ekonomi di daerah
tertinggal. Penduduk memegang peranan penting karena menyediakan
tenaga kerja, dan pertumbuhan penduduk juga mengakibatkan bertambah
dan makin kompleksnya kebutuhan (Sukirno 1985). Peningkatan jumlah
penduduk di kabupaten tertinggal mampu meningkatkan nilai PDRB karena
diiringi dengan semakin meningkatnya tingkat konsumsi di masyarakat.
Hasil analisis sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Savas (2008)
dengan judul The relationship between population and ecomic
growth:empirical evidence from the central asian economies yang
mengatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan positif antara
pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel jumlah penduduk
berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten tertinggal
dengan nilai elastisitas 0,405 yang berarti setiap kenaikan seribu penduduk
akan meningkatkan nilai pdrb sebesar 0,405 miliar
g. Pengaruh pdrb tahun sebelumnya terhadap pertumbuhan ekonomi
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel lag PDRB berkorelasi
positif terhadap perekonomian di kabupaten tertinggal dengan nilai
elastisitas 0,068. Angka ini dapat diartikan sebagai kenaikan 1 miliar PDRB
tahun sebelumnya akan meningkatkan pdrb tahun berjalan sebesar 0,068
miliar. Hubungan yang positif ini dikarenakan adanya penyesuaian dinamis
(dynamic of adjustment) mengingat variabel PDRB merupakan variabel
yang dinamis terutama dalam analisis jangka panjang. Hasil analisis ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Sari (2011) yang
menyebutkan terdapat hubungan positif antara lagPDRB dengan nilai PDRB
tahun berjalan.
Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan di
Kabupaten Tertinggal di Indonesia
Analisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan
dijelaskan dari hasil analisis pada Tabel 8. Hasil uji asumsi klasik
menunjukkan bahwa model terbebas dari gejala multicollinearity,
heteroscedasticity, dan autocorrelation (Lampiran 10). Hasil estimasi
menunjukkan bahwa variabel PDRB, IPM berpengaruh signifikan terhadap
56
tingkat kemiskinan pada taraf nyata 5 persen, sedangkan variable
pengangguran dan gini ratio tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi. Nilai R-Square (R2) atau koefisien determinasi dari model sebesar
0,55242. Nilai tersebut menunjukkan bahwa variasi dalam variabel eksogen
yang terdiri dari PDRB, IPM, pengangguran dan gini ratio mampu
menjelaskan 55,24 persen variasi kemiskinan, sedangkan sisanya dijelaskan
oleh variabel lain diluar model.
Tabel 8 Hasil estimasi model kemiskinan
Variabel
Kemiskinan Daerah Tertinggal
1. Intersep
2. PDRB
3. IPM
4. Pengangguran
5. Gini Ratio
Durbin-Watson
R-square
Parameter
t value
Prob.t
Elastisitas
245.7589
-0.027709*
-3.32864*
0.84705
24.0473
9.31
-25.94
-9.28
1.51
0.71
0.001
0.001
0.001
0.131
0.480
-0.819
-5.041
0.090
0.138
1.72826
0.55242
Prob>F 0.0001
Ket:*signifikan pada taraf nyata 5 persen
a. Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan yang
menciptakan pemerataan pendapatan, dapat mengurangi kemiskinan dan
membuka kesempatan kerja yang luas. Di daerah tertinggal, capaian
pertumbuhan ekonomi berkualitas menjadi sasaran pembangunan dalam
dokumen pembangunan seperti RPJP, RPJMN dan RKP.
Berdasarkan teori makroekonomi, pertumbuhan ekonomi
menunjukkan semakin banyaknya output nasional, dengan demikian akan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja sehingga pengangguran menurun
dan kemiskinan pun akan menurun. Kondisi ini terjadi karena sektor yang
berkembang merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja.
Menurut BPS (2013) perekonomian di indonesia termasuk juga di daerah
tertinggal di topang oleh sektor jasa (non tradable).
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel PDRB berkorelasi
negatif terhadap tingkat kemiskinan di daerah tertinggal. Hal ini berarti
peningkatan laju nilai PDRB diiringi dengan penurunan tingkat kemiskinan
di daerah tertinggal. Nilai elastisitas PDRB sebesar 0,819 yang berarti
setiap peningkatan 1 miliar PDRB akan menurunkan jumlah penduduk
miskin sebesar 0,819 persen.
Permasalahan kemiskinan di daerah tertinggal tidak cukup
dipecahkan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi semata dengan
mengharapkan terjadinya trickle down effect. Peningkatan kualitas SDM
mungkin akan lebih mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap
pengurangan tingkat kemiskinan di daerah tertinggal di Indonesia.
b. Pengaruh IPM terhadap tingkat kemiskinan
Indeks pembangunan manusia (IPM) mengukur capaian
pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar hidup. Sebagai
57
ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar.
Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan dan
kehidupan yang layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat
luas karena terkait banyak faktor. Untuk mengukur dimensi kesehatan,
digunakan angka harapan hidup. Selanjutnya untuk mengukur dimensi
pengetahuan digunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata
lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan
indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan
pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran perkapita sebagai
pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup
layak (BPS 2013).
Evaluasi RPJMN 2010-2014 yang dilakukan oleh BAPPENAS,
peningkatan kualitas SDM di daerah tertinggal telah menunjukkan adanya
peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia yang
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, rata-rata indeks pembangunan
manusia di kabupaten tertinggal adalah 67,48 (Bappenas 2014). Beberapa
program yang dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas SDM di kabupaten
tertinggal antara lain program-program yang berada di bawah Deputi 1
kementerian daerah tertinggal melalui pemberian bantuan sumberdaya
manusia. Bentuk kegiatan berupa kegiatan pemberdayaan dan pelatihan
untuk meningkatkan keterampilan masyarakat. Hasil studi ini sejalan
dengan studi sebelumnya yang menyatakan bahwa peningkatan pendidikan
dan kualitas kesehatan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
dan dapat menurunkan kemiskinan (Eleonora, Muhammad, Arip 2014).
Hasil estimasi variabel indeks pembangunan manusia (IPM)
menunjukkan bahwa variabel IPM berkorelasi negatif terhadap jumlah
penduduk miskin. Hal ini berarti semakin meningkat nilai IPM maka tingkat
kemiskinan juga akan menurun. Nilai elastisitas IPM sebesar -5,041 yang
berarti setiap kenaikan 1 indeks IPM akan menurunkan jumlah penduduk
miskin sebesar 5,041 persen.
c. Pengaruh pengangguran terhadap kemiskinan
Pengangguran adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama
sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari, atau seseorang
yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak (BPS 2013).
Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkata kerja atau
pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada.
Pengangguran sering kali menjadi masalah dalam perekonomian karena
dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat
akan berkurang, sehingga menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah
sosial lainnya.
Beberapa studi sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat hubungan
positif antara pengangguran dengan tingkat kemiskinan. Upaya menurunkan
tingkat pengangguran dan menurunkan tingkat kemiskinan adalah sama
pentingnya (Saunder 2002). Secara teori jika masyarakat tidak menganggur
berarti mempunyai pekerjaan dan pengahasilan, dan penghasilan yang
dimiliki dari bekerja diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Jika
kebutuhan hidup terpenuhi, maka masyarakat tidak akan miskin. Sehingga
58
dapat disimpulkan dengan tingkat pengangguran rendah (kesempatan kerja
tinggi) maka tingkat kemiskinan juga akan rendah.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, maka laju
pertumbuhan angkatan kerja juga tinggi. Angkatan kerja di Indonesia pada
tahun 2014 sekitar 125,32 juta jiwa. Besarnya jumlah dan pertumbuhan
angkatan kerja menuntut kesempatan kerja yang lebih besar dan di pihak
lain menuntut pembinaan angkatan kerja agar mampu menghasilkan
keluaran yang lebih tinggi sebagai prasyarat untuk menuju tahap tinggal
landas.
Ditingkat regional sektor non riil tumbuh sangat cepat sedangkan
sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja malah tumbuh lambat (BPS
2014). Kondisi ini juga berlaku di daerah tertinggal, sektor riil tumbuh
sangat lambat sehingga daya serap tenaga kerja menjadi rendah, ditambah
dengan kenaikan harga BBM semakin menurunkan daya saing sektor riil
dan semakin menurunkan kemampuan daya beli masyarakat.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel jumlah pengangguran
berkorelasi positif terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini berarti bahwa
semakin meningkat tingkat pengangguran, maka tingkat kemiskinan juga
semakin meningkat. Nilai elastisitas pengangguran sebesar 0,090 yang
berarti setiap kenaikan jumlah pengangguran sebesar 1 persen, akan
meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,090 persen.
d. Pengaruh indeks gini terhadap kemiskinan
Indeks gini atau koefisien gini adalah salah satu ukuran umum untuk
mengukur distribusi pendapatan atau kekayaan yang menunjukkan seberapa
merata pendapatan dan kekayaan didistrubusikan diantara populasi. Indeks
gini memiliki kisaran 0 sampai 1. Nilai mendekati 0 menunjukkan distribusi
yang sangat merata dan nilai yang mendekati 1 menunjukkan ketimpangan
yang sangat tinggi.
Selama 10 tahun terakhir ketimpangan pendapatan di Indonesia
meningkat cukup pesat. Koefisien Gini indonesia tahun 2013 adalah 0.413,
angka ini mencerminkan tingginya tingkat ketimpangan pendapatan di
Indonesia. Tren kenaikan ketimpangan pendapatan terjadi baik di level
nasional, perkotaan, pedesaan, juga di semua propinsi di Indonesia. Di
perkotaan, ketimpangan cenderung lebih tinggi daripada di pedesaan,
khususnya ketimpangan yang terjadi di kota-kota besar.
Beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan ketimpangan
pendapatan antara lain adalah: (1) ketidakberpihakan anggaran pemerintah
dalam melakukan redistribusi pendapatan sesuai fungsi hakikinya, anggaran
pemerintah belum berpihak kepada golongan berpendapatan rendah, (2)
kenaikan harga internasional dari komoditas ekspor utama Indonesia seperti
komoditas perkebunan dan sumber daya alam (misalnya batu bara) yang
terjadi pada 10 tahun terakhir. keuntungan dari sektor-sektor ini umumnya
lebih dinikmati golongan pemilik modal karena sifatnya yang padat modal
atau menguntungkan pemilik lahan besar, (3) ketidakberpihakan regulasi
ketenagakerjaan yang cenderung hanya menguntungkan kaum pekerja
formal yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada pekerja informal plus
mereka yang belum bekerja.
59
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel indeks gini berkorelasi
positif terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini berarti bahwa semakin
meningkat tingkat ketimpangan, maka tingkat kemiskinan juga semakin
meningkat. Nilai elastisitas indeks gini sebesar 0,138 yang berarti setiap
kenaikan 1 indeks gini, akan meningkatkan jumlah penduduk miskin
sebesar 0,138 persen
60
5. SIMPULAN SARAN
Simpulan
1. Penurunan tingkat kemiskinan di KTI lebih besar dibandingkan dengan
penurunan tingkat kemiskinan di KBI. Penurunan kemiskinan di KTI 3
persen dan di KBI 1 persen. Pertumbuhan ekonomi paling tinggi untuk
daerah tertinggal KBI adalah provinsi Jawa Timur dengan rata-rata
pertumbuhan 6,12 persen, sedangkan untuk KTI provinsi dengan ratarata pertumbuhan paling besar adalah Provinsi Papua Barat dengan
27,12 persen. Persentase bantuan sosial paling besar diberikan untuk
bantuan infrastruktur, diikuti dengan bantuan pengembangan daerah
khusus, bantuan ekonomi dan dunia usaha, bantuan sumberdaya
manusia, dan bantuan kelembagaan sosial dan budaya.
2. Bantuan sosial berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah tertinggal, bantuan yang signifikan mempengaruhi adalah
bantuan infrastruktur, dan bansos kelembagaan sosial.
3. Terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat
kemiskinan
Saran
1. Dalam rangka meningkatkan PDRB dan mempercepat penurunan
kemiskinan, pemerintah melalui kementerian PDT perlu meningkatkan
pemberian bantuan sosial kepada daerah tertinggal khususnya bantuan
infrastruktur dan bantuan kelembagaan sosial
2. Pemerintah perlu melakukan evaluasi terkait jenis-jenis serta mekanisme
pemberian bantuan sosial yang diberikan kepada daerah tertinggal,
khususnya bantuan SDM, bantuan ekonomi dan dunia usaha, dan
bantuan pengembangan daerah khusus.
perlu dilakukan untuk mempercepat
3. Peningkatan kualitas SDM
penurunan kemiskinan khususnya melalui bidang pendidikan.
4. Pada penelitian ini variabel inflasi tidak dimasukkan, padahal variabel
inflasi sangat berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Tidak
dimasukkannya variabel inflasi karena data inflasi untuk Kabupaten
tertinggal tidak tersedia, data inflasi hanya tersedia untuk beberapa kota
besar di Indonesia. Dengan demikian pada penelitian yang akan datang
penggunaan variabel inflasi sebaiknya dilakukan.
61
DAFTAR PUSTAKA
Alexion C, 2009. Government Spending and Economic Growth:
Econometric Evidence from South Eastern Europe (SEE). Journal of
Economic and Social Research 11 (1): 2009, 1-16
Akita T, Sjahbana AS. 2002. Regional Income Inequality in Indonesia and
The Initial Impact of The Economic Crisis. Bulletin of Indonesia
Economic Studies.Vol.38, No.2.
Antwi S, Ebenezer M, and Xicang Z. 2013. Impact of Macroeconomic
Factors on Economic Growth in Ghana: a Cointegration Analysis.
International Journal of Academic Research in Accounting, Finance
and Management Science.Volume , No 1, januari 2013, 35-45.
Aziz IJ. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di
Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten/Kota menurut Subsektor Tahun 2007-2012. Jakarta: BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Distribusi Nilai PDRB Menurut Pulau
Tahun 2008-2012. Jakarta: BPS
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret
2014. Jakarta: BPS
Bataineh, Mohammed I. 2012. The impact of Government Expenditures on
Economic Growth in Jordan. Interdisciplinary Journal of
Contemporary Research in Business. October, Vol. 4, No. 6
Bellinger WK. 2007. The Economics Analysis of Public Policy. Routledge:
Oxon
Boa H. 2008. Analisis Model Kemiskinan Perdesaan Di Indonesia.
EPP.Vol.5.No.1.2008:16-22
Canning D dan Pedroni P. 1999.Infrastructure and Long Run Economic
Growth. World Bank and USAID CAER II Working Paper.
Capello R. 2007. Regional Economics. New York (US): Routledge.
Eddy, Agung. Priyo Utomo. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kemiskinan Secara Makro di 15 provinsi Tahun 2007. Jurnal
Organisasi dan Manajemen, Volume 6, Nomor 2, September 2010,
89-100.
Eleonora, Muhammad. Arip, Syaman Sholeh. Human Development and
Poverty In Papua
Provinces. OIDA International Journal Of
Sustainable Development. Vol (06) Page 51- 62.2013
Ernita, Dewi. Syamsul, Amar. dan Efrizal, Syofyan. 2013. Analisis
Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Konsumsi Indonesia. Jurnal
Kajian Ekonomi.Volume 1, Nomor 2, Januari 2013, 176-193.
Ghali, Khalifa H. 1997. Government Spending and Economic Growth in
Saudi Arabia.Journal of Economic Development. Volume 22,
number 2, December 1997.
Guiga, Housseima. and Jaleleddine, Ben Rejeb. 2012. Poverty, growth and
inequality in Developing Countries. International Journal of
Economics and Financial Issues. Vol.2, no 4, 2012, pp. 470-479.
62
Indra, Van Wiguna. Analisis Pengaruh PDRB, Pendidikan
dan
Pengangguran Terhadap Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2005-2010. Jurnal Ilmiah Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya.2013
Inibehe, Inibeye. and Nneoyi I.Ofem. Cointegration inferences on issues of
poverty and population growth in Nigeria.Jurnal of Development
and Agricultural Economics.Vol.5(7) pp.277-283,July 2013
Iulia, Andreea Rosoiu. The Relation Between Unemployment Rate And
Economic Growth In Usa. International Journal Of Economic
Practices And Theories.Vol (4) No.2 2014
Jonaidi. 2012. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di
Indonesia.Jurnal Kajian
Ekonomi.Volume 1 Nomor 1 April
2012.
Rasidin, karo-karo sitepu. dan Bonar, M Sinaga, 2004. Dampak Investasi
Sumber Daya Manusia Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan
Kemiskinan di Indonesia: Pendekatan Model Computable General
Equilibrium.
Klasen S dan Lawson D. 2007. The Impact of Population Growth on
Economic Growth and
Poverty
Reduction
in
Uganda.Göttingen: George August University.
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Draft Pedoman
Umum Program Percepatan Pembangunan Daerah
Tertinggal
Khusus (P2DTK). Jakarta.2006
Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2008. Arah Kebijakan,
Program dan Kegiatan Bidang Peningkatan Infrastruktur di Daerah
Tertinggal. Workshop Peran PV dalam Penyediaan Energi Listrik di
Indonesia. Jakarta: Kementrian PDT.
Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2013. Bantuan
Sosial/Stimulan Kabupaten Tertinggal,
Kementrian
Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal. Jakarta: Kementrian
PDT.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional 2014. Evaluasi Paruh
Waktu RPJMN 2010-2014. Jakarta.Bappenas
Lembaga Pertahanan Nasional.Optimalisasi Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal Di Papua.Jurnal Kajian Lemhannas. Edisi 16.
2013
Mankiw NG. 2007. Makroekonomi. Edisi keenam. Jakarta: Erlangga.
Maria, Ana Popa. 2012. The Impact of Social Factors on Economic Growth:
Empirical Evidence for Rumania and European Union Countries.
Romanian Journal of Fiscal Policy. Volume 3, No 2, December
2012 (5), 1-16
Martha, Ignatia Hendrati. dan Hera, Aprilianti. 2009. Analisis Faktor
Ekonomi Yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan Pada Saat Krisis
di Kota Surabaya. Jurnal Riset Ekonomi dan Bisnis Vol.9 No. 1
Maret 2009.
Mehmood, Rasyid and Sara, Sadiq. The Relationship between Government
Expenditure and Poverty: A Cointegration Anlysis. Romanian
Journal of Fiscal Policy. Volume 1, Issue 1, July-December 2010,
Pages 29-37.
63
Meier G.M (1989).Leading Issues In Economic Development.Oxford.New
York
Montalvo, Jose G. and Martin, Ravallion.The Pattern of Growth and
Poverty Reduction in China.Journal of comparative Economics 38
(2010) 2-16.
Mulyana N. 2009. Pengembangan Masyarakat Sebagai Pendekatan
Pengembangan Kawasan Perdesaan.[Tesis]. Bogor (ID):Institut
Pertanian Bogor.
Muritala, Taiwo and Abayomi, Taiwo. 2011. Government Expenditure and
Economic Development: Empirical Evidence from Nigeria. MPRA
Paper.No. 37293, posted 11. March 2012.
Najid, Muhammad. Muhammad, Farhat Hayat.The Impact Of Trade
Liberalization,Population
Growth and Income Inequality On
Poverty:A Case Study Of Pakistan. Jurnal Of Economic,Bussiness
and Ict. Vol (5) Page 31-33.2012
Nia, Ajeng Indriyani. 2008. Pengaruh Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP) Terhadap Pendapatan Usaha dan
Kemiskinan Rumah Tangga (Studi Kasus di Kelurahan Pasir Mulya,
Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Ogawa N dan Suits DB. 1981. Lessons on Population and Economic
Change, From the Japanesse Meiji Experience. NUPRI Research
Paper Series 2. Tokyo.
Patricia, Chude. and Chude, Daniel Izuchukwu. 2013. Impact of
Government
Expenditure
on
Economic
Growth
in
Nigeria.International Journal of Business and Mangement Review.
Vol. 1, No. 4, pp 64-71, December 2013.
Pravitasari AE 2009. Dinamika Perubahan Disparitas Regional di Pulau
Jawa Sebelum dan Setelah Kebijakan Otonomi Daerah.[Thesis].
Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Priyo, Slamet Maemujiono. 2014. Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan dan Strategi Pengentasan
Kemiskinan di Kabupaten Brebes Tahun 2009-2011.Economics
Development Analysis Journal: 3 (1) 2014
Ratiza dan Sardjito. Pengembangan Komoditas Unggulan Pertanian Dengan
Konsep Agribisnis Di Kabupaten Pamekasan. Jurnal Teknik Pomits.
Vol2.No2.2013.
Saunder. The Direct and Indirect Effect Of Unemployment On Poverty and
Inequality. SPRC
Discussion Paper 118:1-31
Sari. 2011. Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur
Terhadap Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal.[Tesis] Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Savas. The Relationship Between Population And Economic
Growth:Empirical Evidence From The Central Asian Economies.
OAKA International Journal. Vol(3) Page 161183.2008
Seetanah. Ramessur. Rojid. 2009. Does Infrastructure Alleviates Poverty In
Developing
Countries.International
Journal
of
Applied
Econometrics and Quantitative Study.
64
Hermanto, Siregar. Dwi, Wahyuniarti. 2006. Dampak Pertumbuhan
EkonomiTerhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. Institut
Pertanian Bogor
Sukmaraga. 2011. Analisis Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia,PDRB
Perkapita, dan Jumlah Pengangguran Terhadap Jumlah Penduduk
Miskin Di Provinsi Jawa Tengah.[Skripsi] Semarang : Universitas
Diponegoro.
Suliswanto. Pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB) dan Indeks
Pembangunan Manusia
(IPM) Terhadap Angka Kemiskinan
Di Indonesia. Jurnal ekonomi Pembangunan.Vol 8
N0.2
2010
Supranto J. 2000, Statistik Teori dan Aplikasi.Edisi Keenam.Jilid 1.
Jakarta:Erlangga
Sjafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah
Indonesia Bagian Barat.PrismaLP3ES, No 3 Tahun XXVI.
Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang (ID):
Baduose Media.
Taufan, Maulana Permana. Hasbi, Yasin. Agus, Rusgiyono. 2013. Analisis
Faktor- Kemiskinan di Kabupaten Wonosobo dengan Pendekatan
Geographically Weighted Regression. Jurnal Gaussian,Volume 2,
Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 59-68
Ukpere, W.I Slabbert. A Relationship Between Current Globalization,
Unemployment,
Inequality, And Poverty. International Journal
Of Social Economic.Vol(36) Page 37-46
Dicky, Wahyudi. dan Tri, Wahyu Rejekingsih.2013. Analisis Kemiskinan
DiJawaTengah.http://ejournalS1.undip.ac.id/index.php/jme/article/vi
ew/1914
65
Lampiran 1 Dinamika kemiskinan menurut persentase penduduk miskin
(2010-2013)
No
Provinsi
Jumlah
Kabupaeten
Rata-Rata
Kemiskinan
2010-2013 (%)
1
NAD
12
-6
2
Sumatera Utara
6
14
3
Sumatera Barat
8
-9
4
Sumatera Selatan
7
-4
5
Bengkulu
6
-1
6
Lampung
4
-1
7
Bangka Belitung
1
-7
8
Kepulauan Riau
2
21
9
Jawa Barat
2
-8
10
Jawa Timur
5
-7
11
Banten
2
-5
12
NTB
8
-1
13
NTT
20
-3
14
Kalimantan Barat
10
-4
15
Kalimantan Tengah
1
-3
16
Kalimantan Selatan
2
-9
17
Kalimantan Timur
3
-11
18
Sulawesi Utara
3
8
19
Sulawesi Tengah
10
-7
20
Sulawesi Selatan
4
2
21
Sulawesi Tenggara
9
-4
22
Gorontalo
3
-1
23
Sulawesi Barat
5
-5
24
Maluku
8
-2
25
Maluku Utara
7
-7
26
Papua Barat
8
6
27
Papua
27
-2
Total
183
Total
Rata-Rata
Kemiskinan
-12%
-1%
44%
-3%
66
Lampiran 2 Dinamika pertumbuhan ekonomi menurut pdrb atas harga
konstan tahun 2010-2013
No
Provinsi
Jumlah
Kabupaeten
Rata-Rata
Pertumbuhan
Ekonomi 20102013 (%)
1
Nad
12
4.37
2
Sumatera Utara
6
4.04
3
Sumatera Barat
8
6.05
4
Sumatera Selatan
7
4.75
5
Bengkulu
6
5.83
6
Lampung
4
4.06
7
Bangka Belitung
1
5.55
8
Kepulauan Riau
2
3.22
9
Jawa Barat
2
4.72
10
Jawa Timur
5
6.12
11
Banten
2
5.69
12
NTB
8
2.03
13
NTT
20
3.74
14
Kalimantan Barat
10
5.87
15
Kalimantan Tengah
1
6.28
16
Kalimantan Selatan
2
4.96
17
Kalimantan Timur
3
6.25
18
Sulawesi Utara
3
5.82
19
Sulawesi Tengah
10
6.85
20
Sulawesi Selatan
4
8.07
21
Sulawesi Tenggara
9
7.86
22
Gorontalo
3
7.47
23
Sulawesi Barat
5
7.74
24
Maluku
8
5.79
25
Maluku Utara
7
5.30
26
Papua Barat
8
27.12
27
Papua
27
-0.34
Total
183
Total
Pertumbuhan
Rata-Rata
Pertumbuhan
54.40%
4.95%
110.82%
6.93%
67
Lampiran 3 Dinamika bantuan sosial pengembangan sumberdaya tahun
2010-2013
No
Provinsi
Jumlah
Kabupaeten
Jumlah Bansos
SDM (2010-2013)
Persentase
1
NAD
12
2,050,000,000
3.19
2
Sumatera Utara
6
2,135,000,000
3.32
3
Sumatera Barat
8
1,610,000,000
2.51
4
Sumatera Selatan
7
949,625,000
1.48
5
Bengkulu
6
3,462,160,000
5.39
6
Lampung
4
690,000,000
1.07
7
Bangka Belitung
1
0
0.00
8
Kepulauan Riau
2
785,000,000
1.22
9
Jawa Barat
2
385,000,000
0.60
10
Jawa Timur
5
980,000,000
1.53
11
Banten
2
250,000,000
0.39
12
NTB
8
2,510,000,000
3.91
13
NTT
20
8,656,785,000
13.48
14
Kalimantan Barat
10
4,120,000,000
6.41
15
Kalimantan Tengah
1
0
0.00
16
Kalimantan Selatan
2
400,000,000
0.62
17
Kalimantan Timur
3
275,000,000
0.43
18
Sulawesi Utara
3
2,104,625,000
3.28
19
Sulawesi Tengah
10
0
0.00
20
Sulawesi Selatan
4
989,625,000
1.54
21
Sulawesi Tenggara
9
1,057,100,000
1.65
22
Gorontalo
3
0
0.00
23
Sulawesi Barat
5
6,680,000,000
10.40
24
Maluku
8
2,900,000,000
4.51
25
Maluku Utara
7
6,070,000,000
9.45
26
Papua Barat
8
0
0.00
27
Papua
27
15,175,000,000
23.62
Total
183
64,234,920,000
100
68
Lampiran 4 Dinamika bantuan sosial peningkatan infrastruktur
2010-2013
No
Provinsi
tahun
Jumlah
Kabupaeten
Jumlah Bansos
Infrastruktur
(2010-2013)
Persentase
1
NAD
12
4,360,000,000
0.85
2
Sumatera Utara
6
12,910,000,000
2.53
3
Sumatera Barat
8
19,086,800,000
3.74
4
Sumatera Selatan
7
16,823,000,000
3.30
5
Bengkulu
6
12,941,980,000
2.53
6
Lampung
4
17,018,670,000
3.33
7
Bangka Belitung
1
2,380,000,000
0.47
8
Kepulauan Riau
2
7,245,000,000
1.42
9
Jawa Barat
2
20,462,619,000
4.01
10
Jawa Timur
5
22,046,790,000
4.32
11
Banten
2
15,040,644,000
2.95
12
NTB
8
16,135,785,000
3.16
13
NTT
20
61,115,206,000
11.97
14
Kalimantan Barat
10
16,174,203,000
3.17
15
Kalimantan Tengah
1
863,000,000
0.17
16
Kalimantan Selatan
2
4,224,000,000
0.83
17
Kalimantan Timur
3
6,661,795,000
1.30
18
Sulawesi Utara
3
28,805,200,000
5.64
19
Sulawesi Tengah
10
40,714,128,000
7.97
20
Sulawesi Selatan
4
18,318,375,000
3.59
21
Sulawesi Tenggara
9
20,740,640,000
4.06
22
Gorontalo
3
11,841,000,000
2.32
23
Sulawesi Barat
5
12,900,400,000
2.53
24
Maluku
8
30,584,622,000
5.99
25
Maluku Utara
7
24,086,690,000
4.72
26
Papua Barat
8
30,511,040,000
5.98
27
Papua
27
36,567,200,000
7.16
Total
183
510,558,787,000
100
69
Lampiran 5 Dinamika bantuan sosial pembinaan ekonomi dan dunia usaha
tahun 2010-2013
1
NAD
12
Jumlah Bansos
pembinaan ekonomi
dan dunia usaha
(2010-2013)
1,340,000,000
2
Sumatera Utara
6
13,500,000,000
4.97
3
Sumatera Barat
8
5,105,000,000
1.88
4
Sumatera Selatan
7
19,110,000,000
7.04
5
Bengkulu
6
8,135,000,000
3.00
6
Lampung
4
13,825,000,000
5.09
7
Bangka Belitung
1
250,000,000
0.09
8
Kepulauan Riau
2
0
0.00
9
Jawa Barat
2
14,800,000,000
5.45
10
Jawa Timur
5
12,810,000,000
4.72
11
Banten
2
13,360,000,000
4.92
12
NTB
8
23,067,667,000
8.50
13
NTT
20
34,681,675,000
12.78
14
Kalimantan Barat
10
1,250,000,000
0.46
15
Kalimantan Tengah
1
0
0.00
16
Kalimantan Selatan
2
660,000,000
0.24
17
Kalimantan Timur
3
4,000,000,000
1.47
18
Sulawesi Utara
3
7,532,736,000
2.78
19
Sulawesi Tengah
10
30,041,852,000
11.07
20
Sulawesi Selatan
4
9,534,000,000
3.51
21
Sulawesi Tenggara
9
9,887,284,000
3.64
22
Gorontalo
3
7,733,173,500
2.85
23
Sulawesi Barat
5
4,800,000,000
1.77
24
Maluku
8
22,010,864,000
8.11
25
Maluku Utara
7
7,320,000,000
2.70
26
Papua Barat
8
2,720,070,000
1.00
27
Papua
27
3,897,000,000
1.44
Total
183
271,371,321,500
100
No
Provinsi
Jumlah
Kabupaten
Persentase
0.49
70
Lampiran 6
Dinamika bantuan sosial pengembangan lembaga sosial dan
budaya tahun 2010-2013
1
NAD
12
Jumlah Bansos
lembaga sosial dan
budaya (20102013)
1,372,410,000
2
Sumatera Utara
6
2,694,080,000
4.36
3
Sumatera Barat
8
3,240,310,000
5.24
4
Sumatera Selatan
7
4,147,690,000
6.71
5
Bengkulu
6
3,430,740,000
5.55
6
Lampung
4
2,191,680,000
3.55
7
Bangka Belitung
1
200,000,000
0.32
8
Kepulauan Riau
2
490,000,000
0.79
9
Jawa Barat
2
2,438,280,000
3.94
10
Jawa Timur
5
3,832,790,000
6.20
11
Banten
2
2,149,370,000
3.48
12
NTB
8
2,964,040,000
4.80
13
NTT
20
7,186,050,000
11.63
14
Kalimantan Barat
10
4,946,070,000
8.00
15
Kalimantan Tengah
1
140,000,000
0.23
16
Kalimantan Selatan
2
500,000,000
0.81
17
Kalimantan Timur
3
430,000,000
0.70
18
Sulawesi Utara
3
1,399,770,000
2.26
19
Sulawesi Tengah
10
1,750,000,000
2.83
20
Sulawesi Selatan
4
2,498,890,000
4.04
21
Sulawesi Tenggara
9
4,222,070,000
6.83
22
Gorontalo
3
900,000,000
1.46
23
Sulawesi Barat
5
1,210,000,000
1.96
24
Maluku
8
1,724,210,000
2.79
25
Maluku Utara
7
2,270,750,000
3.67
26
Papua Barat
8
1,150,000,000
1.86
27
Papua
27
2,330,000,000
3.77
Total
183
61,809,200,000
100
No
Provinsi
Jumlah
Kabupaten
Persentase
2.22
71
Lampiran 7 Dinamika bantuan sosial pengembangan daerah khusus tahun
2010-2013
1
NAD
12
Jumlah Bansos
pengembangan
daerah khusus
(2010-2013)
6,840,000,000
2
Sumatera Utara
6
4,550,000,000
0.92
3
Sumatera Barat
8
8,530,000,000
1.73
4
Sumatera Selatan
7
6,600,000,000
1.34
5
Bengkulu
6
5,040,000,000
1.02
6
Lampung
4
7,300,000,000
1.48
7
Bangka Belitung
1
1,500,000,000
0.30
8
Kepulauan Riau
2
8,500,000,000
1.72
9
Jawa Barat
2
6,450,000,000
1.30
10
Jawa Timur
5
3,800,000,000
0.77
11
Banten
2
4,200,000,000
0.85
12
NTB
8
27,832,000,000
5.63
13
NTT
20
91,146,125,000
18.44
14
Kalimantan Barat
10
38,220,000,000
7.73
15
Kalimantan Tengah
1
0
0.00
16
Kalimantan Selatan
2
0
0.00
17
Kalimantan Timur
3
13,100,000,000
2.65
18
Sulawesi Utara
3
14,800,000,000
2.99
19
Sulawesi Tengah
10
16,940,000,000
3.43
20
Sulawesi Selatan
4
1,100,000,000
0.22
21
Sulawesi Tenggara
9
19,940,000,000
4.03
22
Gorontalo
3
3,240,000,000
0.66
23
Sulawesi Barat
5
1,490,000,000
0.30
24
Maluku
8
36,575,000,000
7.40
25
Maluku Utara
7
42,500,000,000
8.60
26
Papua Barat
8
30,525,000,000
6.18
27
Papua
27
93,593,000,000
18.93
Total
183
494,311,125,000
100
No
Provinsi
Jumlah
Kabupaten
Persentase
1.38
72
Lampiran 8 Uji identifikasi model persamaan struktural
Identifikasi menggunakan kondisi orde (Gujarati 2012)
1. (K-k) = m-1
exactly identified
(K-k) > m-1
overidentified
2. (M-m) + (K-k) = M-1
(M-m) + (K-k) ≥ M-1
exactly identified
overidentified
Persamaan
(K-k)
(m-1)
Hasil
1 (satu)
9-7=2
1-1=0
Overidentified
2 (dua)
9-2=7
1-1=0
Overidentified
73
Lampiran 9 Uji asumsi klasik model pertumbuhan ekonomi
Collinearity Statistics
Model
t
Sig.
Tolerance
VIF
b.sumberdaya
-.580
.562
.984
1.016
b.infrastruktur
-1.826
.168
.830
1.205
b.ekonomi
-.178
.858
.843
1.186
b.sosial
1.794
.273
.797
1.255
b.khusus
2.706
.207
.990
1.010
penduduk
2.756
.306
.759
1.317
lagpdrb
8.127
.400
.998
1.002
(Constant)
a. Uji Heteroskedastisitas
Pada model ini tidak terjadi heteroskedastisitas dimana dari hasil uji
didapat nilai sig untuk masing-masing variabel > 0.05
b. Uji Multikolinearitas
Pada model ini tidak terjadi multikolinaeritas dimana dari hasil uji
didapat nilai Tolerance >0.10 dan VIF < 10 untuk masing-masing variabel
74
Lampiran 10 Uji Asumsi Klasik Untuk Model Kemiskinan
Collinearity Statistics
Model
t
Sig.
Tolerance
VIF
pengangguran
4.435
.452
.823
1.215
pdrb
3.691
.361
.995
1.005
ipm
-3.216
.169
.823
1.215
(Constant)
1
a. Uji Heteroskedastisitas
Dari hasil uji asumsi tidak terdapat heteroskedastisitas dimana nilai
sig untuk masing-masing variabel > 0.10
b. Uji Multikolinearitas
Dari hasil uji asumsi tidak terdapat multikolinearitas dimana nilai
Tolerance > 0.10 dan VIF < 10 untuk masing-masing variabel
75
Lampiran 11 Uji validasi model simultan
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Data Set Options
DATA=
VALIDASI
OUT=
B
Solution Summary
Variables Solved
Solution Range
First
Last
Solution Method
CONVERGE=
Maximum CC
Maximum Iterations
Total Iterations
Average Iterations
2
tahun
2010
2013
NEWTON
1E-8
0
1
3
1
Observations Processed
Read
Solved
Failed
4
3
1
Variables Solved For
kemiskinan pdrb
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Solution Range tahun = 2010 To 2013
Descriptive Statistics
Variable
N Obs
kemiskinan 3
pdrb
3
N
3
3
Actual
Mean Std Dev
18.4333 0.6028
287.7 14.2251
Mean
Predicted
Std Dev
16.5569
760.3
0.6115
43.4832
Label
kemiskinan
pdrb
76
Statistics of fit
Mean
Error
Mean %
Error
Mean Abs
Error
Variable
R-Square
N
kemiskinan
-13.55
pdrb
-1661
3 -1.8765 -10.1875
1.8765
3 472.6
472.6
164.3
Mean Abs
% Error
RMS RMS%
Error
Error
10.1875 1.8772 10.1955
164.3
473.4 164.5
Theil Forecast Error Statistics
Corr
Coef
Variable
U
MSE Decomposition Proportions
Bias
Reg
Dist Var Covar
N MSE (R)
(UM)
kemiskinan 3 3.5239 0.99 1.00
0.0536
pdrb
3 224143 0.76 1.00
0.4513
(UR)
(UD)
(US)
Inequality
(UC)
U1
0.00
0.00
0.00
0.00
0.1018
0.00
0.00
0.00
0.00
1.6441
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist
Var Covar Inequality Coef
Variable
N
MSE
(R)
(UM) (UR) (UD)
(US) (UC)
U1
U
Kemiskinan 2 0.0103 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.1100
0.6102
pdrb
2 2.8538 -1.00 1.00
0.00 -0.00
0.00
0.00 33.1967
0.9434
77
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat pada
tanggal 30 Desember 1988 dari Ayahanda Syafruddin dan Ibunda Refni
Yetti. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga orang bersaudara. Tahun
2007 penulis diterima di Universitas Andalas (UNAND) pada Program
Studi Agribinis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, lulus
pada tahun 2011. Pada tahun 2013 penulis diterima di Program Studi Ilmu
Perencanaan dan Pembangunan Wilayah Perdesaan (PWD) pada Program
Pascasarjana IPB.
Download