DAMPAK PROGRAM BANTUAN SOSIAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL DI INDONESIA EDO PRAMANA PUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Program Bantuan Sosial Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten Tertinggal di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Edo Pramana Putra NIM H152124071 RINGKASAN EDO PRAMANA PUTRA. Dampak Program Bantuan Sosial Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten Tertinggal di Indonesia. Dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI dan SAHARA. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi merupakan dua tujuan pembangunan yang seharusnya dapat dicapai secara bersamaan dalam proses pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tanpa diikuti oleh pemerataan ekonomi akan memperlebar jurang pemisah antara satu kelompok masyarakat dan kelompok lainnya, sementara pemerataan ekonomi tanpa pertumbuhan ekonomi sama halnya dengan meningkatkan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010-2013 mengalami peningkatan akan tetapi pada saat yang bersamaan terjadi ketimpangan pembangunan. Kesenjangan atau ketimpangan antar daerah (yang maju dan yang tertinggal) semakin melebar. Indikasi dari ketimpangan wilayah adalah munculnya daerah tertinggal dan masalah ketimpangan pembangunan ini merupakan permasalahan disparitas wilayah yang membahayakan kesatuan nasional. Percepatan pembangunan dan pengurangan ketimpangan di daerah tertinggal diupayakan melalui pemberian bantuan sosial (bansos) yang dioperasionalisasikan melalui program bantuan, yang meliputi: (1) peningkatan sumberdaya daerah tertinggal, (2) peningkatan infrastruktur daerah tertinggal, (3) pembinaan ekonomi dan dunia usaha daerah tertinggal, (4) pembinaan kelembagaan dan sosial budaya daerah tertinggal, dan (5) pengembangan daerah khusus. Bantuan sosial untuk daerah tertinggal sudah diberikan sejak tahun 2009. Namun secara umum kondisi daerah tertinggal di Indonesia belumlah terlalu baik, tingkat kemiskinan masih tinggi yaitu 11 persen dan masih banyaknya jumlah kabupaten tertinggal, yakni 133 kabupaten atau 32,2 persen dari jumlah kabupaten di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengkaji dinamika kemiskinan, perekonomian, dan bantuan sosial di kabupaten tertinggal di Indonesia, (2) menganalisis pengaruh program bantuan sosial Kementerian PDT terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di Indonesia, (3) menganalisis hubungan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan di kabupaten tertinggal di Indonesia. Selama tahun 2010-2013 sebagian besar kabupaten tertinggal mengalami penurunan tingkat kemiskinan dan peningkatan pertumbuhan PDRB, namun juga terdapat daerah kabupaten tertinggal yang mengalami peningkatan tingkat kemiskinan dengan pertumbuhan PDRB yang kecil. Kabupaten tertinggal yang mengalami peningkatan tingkat kemiskinan juga diiringi dengan pertumbuhan PDRB yang paling kecil, seperti yang terjadi pada provinsi Kepulauan Riau dan Sumatera Utara. Kondisi berbeda terjadi pada wilayah tertinggal di kawasan timur, dimana pada wilayah yang mengalami peningkatan kemiskinan justru diiringi dengan tingginya pertumbuhan PDRB nya. Kondisi tersebut mengidentifikasikan bahwa terdapat ketimpangan yang lebih tinggi di daerah tertinggal kawasan timur Indonesia. Bantuan yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal adalah bantuan infrastruktur dan bantuan kelembagaan sosial dan budaya. Terdapat hubungan negatif antara tingkat PDRB dan kemiskinan di daerah tertinggal, dimana peningkatan nilai PDRB memberikan efek terhadap penurunan kemiskinan. Kebijakan yang direkomendasikan untuk mempercepat pembangunan dan memperkecil ketimpangan antar wilayah di daerah tertinggal yaitu dengan memberikan bantuan yang lebih besar dan kontiniu bagi daerah tertinggal, yaitu bantuan infrastruktur dan bantuan kelembagaan sosial dan budaya. Kata kunci : bantuan sosial, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, daerah tertinggal SUMMARY EDO PRAMANA PUTRA. The Impact of the Social Aid Program Against Economic Growth and Poverty Disadvantaged Regency in Indonesia. Guided by YETI LIS PURNAMADEWI and SAHARA. Economic growth and economic equitable distributionare the two goals of development that would be achieved simultaneously in the process of economic development.Economic growth without economic equalitable distribution would expand the gap betweenone groups and others, while economic growth without economic aquitable distribution as well as increasing poverty. Economic growth in Indonesia from 2010 to 2013 has increased but at the same time the inequality of development occurs. The gap or inequality between regions (leading and lagging) expanded. The indications of inequality region makes disadvantaged areas appear and the problem of inequality development is disparity issues that may endanger the unity of the national territory. Accelerated development and the reduction of inequality in underdeveloped areas pursued through the provision of social aid were operationalized through aid programs, which include: (1) an increase in the resources of disadvantaged areas, (2) the improvement of infrastructure underdeveloped areas, (3) development of economic and business in underdeveloped regions, (4) development of institutional and socio-cultural in disadvantaged areas, and (5) the development of specific areas. Social aid for underdeveloped areas have been granted since 2009. However, the general condition of the rural sector in Indonesia has not been too well, the poverty rate is still high at 11 percent and still large number of underdeveloped districts, namely 133 districts, or 32.2 percent of the total number of districts in Indonesia. The purpose of this study are: (1) assessing the dynamics of poverty, the economy, and social aid in underdeveloped districts in Indonesia, (2) to analyze the influence of the social aid program of the Ministry of PDT to economic growth underdeveloped districts in Indonesia, (3) to analyze the relationship economic growth with poverty in underdeveloped districts in Indonesia. During 2010-2013 most of the underdeveloped districts decreased on poverty and increased the GDP growth, but lagging districts are experiencing an increase in the level of poverty with a small GDP growth. Underdeveloped districts that experienced the highest increase in poverty rates is also followedby the smallest GDP growth, its happened in the province of Riau and North Sumatra. Different conditions occur in the disadvantaged areas in the eastern region, where the region has increased poverty instead accompanied by high growth in its GDP. The condition was identified that there is a higher inequality in underdeveloped areas of eastern Indonesia. Social aid which significantly affects economic growth in underdeveloped areas are infrastructure aid, and social aid and cultural institutions. There is negative relationship between the level of GDP and poverty in underdeveloped areas, where the increase in value of GDP able to give effect to the reduction of poverty. The policies that can be recommended to accelerate development and reduce inequality between regions in disadvantaged areas with provide greater aid and is continuous for disadvantaged areas, specially infrastructure aid and social cultural institutions aid. Keywords: social aid, economic growth, underdeveloped regions, poverty © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB DAMPAK PROGRAM BANTUAN SOSIAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL DI INDONESIA EDO PRAMANA PUTRA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan dan Pembangunan Wilayah Perdesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dalam penelitian ini ialah Dampak Program Bantuan Sosial Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal Di Indonesia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MscAgr dan Ibu Dr Sahara, SP MSi selaku pembimbing atas dukungan, arahan, dan waktu yang telah diberikan selama penulisan tesis ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, dan terima kasih kepada ibu Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian sidang atas saran dan masukan yang diberikan. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada DIKTI yang telah membiayai studi penulis melalui program beasiswa Freshgraduate(FG). Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Ayahanda Syafruddin, Ibunda Refni Yetti, dan kakak tercinta Yoga dan Yogi serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Selanjutnya kepada teman-teman PWD angkatan 2012, 2013, 2014 atas doa dan dukungannya selama masa pendidikan, dan kepada Staf PWD yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis selama pendidikan. Penulis sangat mengharapkan saran-saran dan masukan dari semua pihak untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis sendiri khususnya. Bogor, Januari 2016 Edo Pramana Putra DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 1 1 5 7 8 8 2 TINJAUAN PUSTAKA Peranan Pemerintah Dalam Pembangunn Ekonomi Teori Pertumbuhan Ekonomi Konsep Kemiskinan Konsep Daerah Tertinggal Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran 9 9 14 17 20 21 27 3 METODE PENELITIAN Jenis dan Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan dan Analisis Data Model Penelitian Uji Identifikasi Model 29 29 29 29 32 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi dan Bantuan Sosial di KBI dan KTI Analisis Pengaruh Bantuan Sosial Terhadap Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tertinggal Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal di indonesia 35 5. SIMPULAN DAN SARAN 60 DAFTAR PUSTAKA 61 RIWAYAT HIDUP 77 35 50 55 DAFTAR TABEL 1. Distribusi nilai PDRB menurut pulau di Indonesia tahun 2008-2012 2. Jumlah bantuan sosial Kementerian PDT untuk kabupaten tertinggal 3. 4. 5. 6. 7. 8. di Indonesia tahun 2010-2013 Gambaran umum daerah tertinggal di Indonesia tahun 2010-2013 Rangkuman penelitian sebelumnya tentang pertumbuhan ekonomi Rangkuman penelitian sebelumnya tentang kemiskinan Matriks metode penelitian Hasil estimasi model pertumbuhan ekonomi Hasil estimasi model kemiskinan 3 6 7 23 26 34 50 56 DAFTAR GAMBAR 1. Perkembangan pertumbuhan ekonomi, indeks gini, dan indeks Williamson di Indonesia tahun 2009-2013 2. Sebaran daerah tertinggal menurut pulau di Indonesia tahun 2012 3. Lingkaran setan kemiskinan 4. Diagram alur kerangka pemikiran 5. Tahapan penyusunan model simultan 6. Rata-rata persentase kenaikan dan penurunan penduduk miskin kabupaten tertinggal di kawasan barat Indonesia tahun 2009-2013 7. Rata-rata persentase kenaikan dan penurunan penduduk miskin kabupaten tertinggal di kawasan timur Indonesia tahun 2009-2013 8. Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di kawasan barat Indonesia tahun 2009-2013 9. Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di kawasan timur Indonesia tahun 2009-2013 10. Persentase masing-masing bantuan sosial yang disalurkan PDT tahun 2010-2013 Kementerian 11. Persentase bantuan sumberdaya untuk daerah tertinggal KBI dan KTI tahun 2010-2013 12. Distribusi bantuan sumberdaya Tahun 2010-2013 13. Persentase bantuan infrastruktur untuk wilayah KBI dan KTI tahun 2010-2013 14. Distribusi bantuan infrastruktur tahun 2010-2013 15. Persentase bantuan ekonomi dan dunia usaha untuk wilayah KBI dan KTI tahun 2010-2013 16. Distribusi bantuan ekonomi dan dunia usaha tahun 2010-2013 17. Persentase bantuan lembaga sosial dan budaya untuk wilayah KBI dan KTI tahun 2010-2013 18. Distribusi bantuan lembaga sosial dan budaya tahun 2010-2013 19. Persentase bantuan daerah khusus untuk wilayah KBI dan KTI tahun 2010-2013 20. Distribusi bantuan daerah khusus tahun 2010-2013 2 4 19 28 30 36 37 39 40 41 42 43 44 45 46 46 47 47 48 49 DAFTAR LAMPIRAN 1. Dinamika kemiskinan menurut persentase penduduk miskin 2010-2013 2. Dinamika pertumbuhan ekonomi menurut PDRB 2010-2013 3. Dinamika bantuan SDM 2010-2013 4. Dinamika bantuan infrastruktur 2010-2013 5. Dinamika bantuan ekonomi dan dunia usaha 2010-2013 6. Dinamika bantuan kelembagaan sosial dan budaya 2010-2013 7. Dinamika bantuan pengembangan daerah khusus 2010-2013 8. Uji identifikasi model persamaan struktural 9. Uji asumsi klasik model pertumbuhan ekonomi 10. Uji asumsi klasik model kemiskinan 11. Uji validasi model simultan 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 1 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Sasaran pembangunan nasional maupun pembangunan regional di Indonesia adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil pembangunan. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi merupakan dua tujuan pembangunan yang seharusnya dapat dicapai secara bersamaan dalam proses pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tanpa diikuti oleh pemerataan ekonomi akan memperlebar jurang pemisah antara satu kelompok masyarakat dan kelompok lainnya, sementara pemerataan ekonomi tanpa pertumbuhan ekonomi sama halnya dengan meningkatkan kemiskinan disuatu daerah. Pertumbuhan dan pemerataan menjadi hal yang paling diperhatikan oleh negara berkembang termasuk Indonesia karena dirasakan permasalahan tersebut sangatlah kompleks. Lima tahun terakhir (2009-2013), perekonomian nasional mampu tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5,85 persen, angka rata-rata pertumbuhan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi negara lain, khususnya negara-negara anggota ASEAN yang rata-rata pertumbuhan ekonominya adalah 5 persen (BPS 2014). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mengindikasikan tercapainya keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang mengalami peningkatan akan tetapi pada saat yang bersamaan juga terjadi peningkatan ketimpangan. Pertumbuhan yang tinggi telah mengakibatkan bertambah lebarnya kesenjangan atau ketimpangan antar golongan masyarakat (yang kaya dan yang miskin) dan kesenjangan atau ketimpangan antar daerah (yang maju dan yang tertinggal). Indeks Gini Indonesia Tahun 2013 menunjukkan angka 0,413 (Gambar 1), dimana menurut Todaro dan Smith (2006) angka ini mencerminkan tidak meratanya distribusi pendapatan di masyarakat (Mankiw 2007). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga diikuti dengan bertambah lebarnya kesenjangan atau ketimpangan antar daerah (yang maju dan yang tertinggal). Indeks Williamson merupakan suatu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pembangunan. Nilai Indeks Williamson yang mendekati 1 menunjukkan kondisi ketimpangan yang tinggi, dan nilai Indeks Williamson yang mendekati nol menunjukkan kondisi pembangunan yang merata. Analisis ketimpangan di Indonesia yang dilakukan oleh Bappenas menyebutkan bahwa ketimpangan pembangunan secara nasional menunjukkan ketimpangan pembangunan sangat tinggi dengan nilai indeks Williamson (Gambar 1) dari tahun 2009-2013 > 1 (Bappenas 2013). Indonesia merupakan negara dengan peningkatan ketimpangan tercepat di kawasan asia (World Bank 2013). Pada skala nasional, tingkat kesejahteraan antar wilayah menjadi tidak berimbang dengan pendekatan pertumbuhan ekonomi makro. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah yang jauh dari perkotaan (hinterland) mengalami 2 eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Secara makro dapat dilihat terjadinya ketimpangan antar wilayah yang signifikan misalnya antara desakota, antara Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia (KBI), antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya (Bappenas 2013). 7 6 0,91 5 0,81 4 0,71 pertumbuhan ekonomi 3 0,61 indeks williamson 2 0,51 1 0,41 0 0,31 indeks gini 2009 2010 2011 2012 2013 Sumber : Bappenas (2013) Gambar 1 Perkembangan pertumbuhan ekonomi, indeks gini, dan indeks Williamson di Indonesia tahun 2009-2013 Kesenjangan perekonomian antar wilayah khususnya antara KBI dan KTI dapat digambarkan juga melalui distribusi nilai PDRB (Bappenas 2013). Distribusi nilai PDRB antara wilayah KBI dan KTI menunjukkan tingkat kesenjangan yang cukup tinggi, berdasarkan data PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dari tahun 2008-2012 menunjukan nilai PDRB selama periode tersebut share terbesar masih terkonsentrasi di Wilayah KBI (JawaBali dan Wilayah Sumatera). Kontribusi PDRB dari wilayah tersebut tahun 2012 mencapai sekitar 82,64 persen terhadap perekonomian nasional, sementara untuk wilayah lainnya relatif rendah terutama wilayah KTI (Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua) hanya sebesar 3,32 persen (Tabel 1). Kondisi ini disebabkan karena wilayah KBI (Jawa-Bali dan Sumatera) didominasi oleh sektor sekunder dan tersier yang pertumbuhannya relatif cepat dan lebih berorientasi ke industri pengolahan dan manufaktur serta pelayanan jasa. Sementara untuk perkembangan aktivitas ekonomi di wilayah KTI masih didominasi oleh sektor primer, yaitu pertanian dan pertambangan. Salah satu indikasi persoalan ketimpangan wilayah adalah persoalan daerah tertinggal dan masalah ketimpangan pembangunan ini merupakan permasalahan disparitas wilayah yang membahayakan kesatuan nasional. Menurut Bappenas, daerah tertinggal ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial serta letak geografis yang relatif terpencil atau wilayah yang miskin sumberdaya alam atau rawan bencana (Bappenas 2013). 3 Tabel 1 Distribusi nilai PDRB menurut pulau di Indonesia tahun 2008-2012 Wilayah 2008 (%) 2009 (%) 2010 (%) 2011 (%) 2012 (%) 22,90 59,21 22,69 59,88 23,12 59,33 23,57 58,81 23,77 58,87 10,36 4,19 3,34 9,21 4,46 3,76 9,15 4,52 3,88 9,55 4,61 3,46 9,30 4,74 3,32 Kawasan Barat Indonesia (KBI) 1. Sumatera 2. Jawa-bali Kawasan Timur Indonesia (KTI) 1. Kalimantan 2. Sulawesi 3. Nustra, Maluku, Papua Sumber: BPS Tahun 2012 Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa visi pembangunan 2010-2014 adalah “terwujudnya indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan” (Kementrian Keuangan 2011). Visi pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut antara lain adalah percepatan pembangunan daerah tertinggal yang dijalankan oleh Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (Kementrian PDT). Pembentukan Kementerian PDT adalah berdasarkan Perpres No.9 tahun 2005 yang memiliki tugas pokok dan fungsi membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal. Strategi nasional Kementerian PDT secara umum memuat garis besar kebijakan dan strategi pembangunan daerah tertinggal, program prioritas, sumber pendanaan serta kriteria dan penetapan daerah yang dikategorikan tertinggal. Strategi nasional ini bersifat umum dan diarahkan kepada para pemegang kebijakan baik pusat maupun didaerah agar dapat mempercepat pembangunan daerah tertinggal diwilayah yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik masing-masing sehingga mampu memberi pengaruh yang nyata terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya secara berkelanjutan. Menurut Kementrian PDT tahun 2013 penentuan kriteria daerah tertinggal menggunakan pendekatan enam kriteria yaitu: (1) perekonomian masyarakat, (2) sumberdaya manusia, (3) prasarana dan sarana, (4) kemampuan keuangan daerah, (5) aksesibilitas dan (6) karakteristik daerah. Berdasarkan pendekatan enam kriteria tersebut, terdapat 183 daerah tertinggal di Indonesia yang tersebar di 27 Provinsi. Jika daerah tertinggal ini dipisahkan antara KBI dan KTI, maka di KBI terdapat 11 Provinsi dan KTI terdapat 16 Provinsi yang memiliki daerah tertinggal. Jumlah daerah tertinggal di KBI yang meliputi pulau Sumatera, Jawa, dan Bali adalah 55 daerah tertinggal dengan sebaran 39 daerah tertinggal di pulau Sumatera dan 16 daerah tertinggal di pulau Jawa, sedangkan di KTI terdapat 128 daerah tertinggal yang tersebar di pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku yang pembagiannya dapat dilihat pada Gambar 2. 4 Pembentukan Kementerian PDT melalui perpres No 9 Tahun 2005 merupakan salah satu upaya pemerintah didalam mengatasi permasalahan pembangunan didaerah tertinggal. Berdasarkan hal tersebut pemerintah pusat telah mengalokasikan bantuan sosial (bansos) melalui 5 program percepatan pembangunan daerah tertinggal, kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan ketimpangan yang dioperasionalisasikan pada berbagai program bantuan, program tersebut meliputi: (1) peningkatan sumberdaya daerah tertinggal, (2) peningkatan infrastruktur daerah tertinggal, (3) pembinaan ekonomi dan dunia usaha daerah tertinggal, (4) pembinaan kelembagaan dan sosial budaya daerah tertinggal, dan (5) pengembangan daerah khusus. Program ini telah dimulai pada tahun 2009 dan masih berjalan sampai sekarang, dan telah disalurkan pada 183 daerah tertinggal di Indonesia (Kementerian PDT 2013). Sebaran Derah Tertinggal Sebaran Daerah Tertinggal Menurut Provinsi Menurut Provinsi SUMAT ERA 25% PAPUA 19% MALUK U 8% SULAW ESI 19% Sebaran Daerah Tertinggal Menurut Wilayah KBI dan KTI KBI 30% JAWA 5% NUSA TENGG ARA 15% KALIM ANTAN 9% Sumber: Kementerian PDT (2012) Gambar 2 Sebaran daerah tertinggal menurut pulau di Indonesia tahun 2012 Percepatan pembangunan daerah tertinggal melalui lima program utama bantuan sosial merupakan langkah yang tepat dilakukan oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Aziz (1994) bahwa untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya, terdapat beberapa alternatif pengembangan suatu daerah. Alternatif tersebut dapat berupa investasi yang langsung diarahkan pada sektor produktif atau investasi pada bidang social overhead, seperti pembangunan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan prasarana infrastruktur lainnya. Kondisi diatas membuktikan bahwa pemerintah memiliki perhatian serius terhadap percepatan pembangunan daerah tertinggal. Studi mengenai dampak dari bantuan sosial perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana efektifitas dari pemberian bantuan sosial tersebut dalam mengatasi permasalahan daerah tertinggal, karena pemerintah memiliki keterbatasan anggaran dan dalam jangka panjang belum tentu akan selalu memberikan bantuan serta dikarenakan terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah (Sari 2011; Savas 2008). Berdasarkan latar 5 belakang tersebut, penelitian ini akan menganalisis pengaruh program bantuan sosial terhadap percepatan perekonomian serta kaitannya dengan kemiskinan di kabupaten tertinggal. Permasalahan Tujuan pemberian bantuan sosial kepada daerah tertinggal dimaksudkan untuk mengurangi permasalahan yang dihadapi daerah tertinggal melalui peningkatan kemampuan masyarakat yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing. Selain itu pemberian dana bansos ini juga bertujuan untuk memberdayakan masyarakat tertinggal sehingga dapat meningkatkan kegiatan ekonomi untuk berperan aktif dalam pembangunan sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan, kualitas, kelangsungan hidup dan memulihkan fungsi sosial ekonomi dan budaya. Kementerian PDT dari tahun 2010-2013 telah mengucurkan dana untuk program bansos sebesar Rp1,41 Trilun. Pola sebaran bantuan yang diberikan cukup sesuai mengingat share bantuan sosial diberikan berdasarkan permasalahan pembangunan dimasing-masing daerah tertinggal (Kementerian PDT 2013). Tabel 2 memperlihatkan bahwa dana yang digulirkan Kementrian PDT untuk percepatan pembangunan daerah tertinggal mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi (Patricia and Izhucukwu 2013; Bataineh 2012; Muritala 2011; Alexiou 2009). Pengeluaran pemerintah dalam bentuk bantuan sosial berupa program permberdayaan juga mampu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat (Maelissa 2010; Mulyana 2009). Selain itu, kegiatan-kegiatan yang terdapat didalam program bantuan sosial seperti bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, lingkungan, infrastruktur serta komunikasi dan hubungan sosial dengan masyarakat/kelompok dapat berkontribusi positif terhadap pengembangan wilayah. Peningkatan pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari pengeluaran pemerintah diharapkan dapat menurunkan tingkat kemiskinan. Penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan penurunan tingkat kemiskinan (Indra 2013; Jonaidi 2012; Mehmood 2010). Kajian dari keseluruhan program bantuan sosial Kementerian PDT dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan di daerah tertinggal belum banyak dilakukan. Kajian ini penting untuk dilakukan untuk menilai efektivitas program yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian daerah tertinggal, karena pemerintah memiliki keterbatasan anggaran dan dalam jangka panjang tidak selalu akan memberikan dana bantuan. Strategi yang telah dijalankan oleh Kementerian PDT dalam RPJMN tahun 2010-2014 diantaranya: a) pengembangan ekonomi lokal di daerah tertinggal, b) penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal di daerah tertinggal, c) 6 peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau di daerah tertinggal, d) peningkatan pelayanan pendidikan yang berkualitas di daerah tertinggal, dan e) peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur daerah tertinggal serta peningkatan aksesibilitas daerah tertinggal dengan pusatpusat pertumbuhan. Strategi ini belum mampu untuk menekan tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di daerah tertinggal, sehingga perlu di rumuskan strategi kebijakan yang tepat untuk pengentasan kemiskinan dan penurunan ketimpangan di daerah tertinggal. Tabel 2 Jumlah bantuan sosial kementerian PDT untuk kabupaten tertinggal di Indonesia tahun 2010-2013 Jenis Bantuan Tahun 2012 30.340 306.111 134.635 2010 2011 2013 Bidang Pengembangan SDM 25.425 10.436 Bidang Peningkatan Infrastruktur 62.203 162.772 Bidang Pembinaan Ekonomi dan Dunia 10.500 98.276 28.210 Usaha Bidang Pembinaan Lembaga Sosial dan 12.580 14.580 7.378 27.551 Budaya Bidang Pengembangan Daerah Khusus 32.350 56.950 116.205 288.806 Total (juta rupiah) 143.058 343.015 594.699 344.567 Sumber: Kementerian PDT (2013) Pemberian dana bantuan sosial bagi daerah tertinggal sudah dilakukan sejak tahun 2009. Bantuan sosial diberikan secara merata pada daerah tertinggal di Indonesia, baik di kawasan Barat (KBI) maupun kawasan Timur Indonesia (KTI), namun secara umum kondisi daerah tertinggal di Indonesia belumlah terlalu baik. Pertumbuhan ekonomi berfluktuatif dengan rata-rata 5 persen pertahun, ditambah dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi dari rata-rata kemiskinan nasional yaitu 11 persen. Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal sangat diperlukan mengingat masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori sebagai daerah tertinggal, yakni 133 kabupaten atau 32,2 persen dari jumlah kabupaten dengan rata-rata jumlah penduduk miskin sebesar 16,13 persen (Tabel 3). Masih banyaknya penduduk miskin berlokasi di daerah tertinggal menimbulkan dugaan awal bahwa kemiskinan yang terjadi di kabupaten tertinggal ini dapat dikategorikan sebagai kemiskinan yang kronis (chronic poverty). Dugaan ini cukup beralasan mengingat berbagai keterbatasan dan keterbelakangan daerah tertinggal jika dibandingkan dengan daerah lain yang lebih maju, diantaranya rendahnya kualitas sumberdaya alam, sumberdaya manusia, rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur dan letak geografis yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan akses penduduk menjadi terbatas. Berdasarkan permasalahan diatas perlu dilakukan studi mengenai dampak dari pemberian dana bantuan sosial terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten tertinggal. Kajian lain yang juga penting untuk dilakukan adalah bagaimana dampak dari pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan 7 kemiskinan di kabupaten tertinggal di Indonesia, hal ini penting untuk dilakukan mengingat masih tingginya rata-rata penduduk miskin dikabupaten tertinggal yaitu 16,13 persen. Berdasarkan fakta tersebut maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Bagaimana dinamika kemiskinan, perekonomian, dan bantuan sosial di kabupaten tertinggal di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan kawasan Timur Indonesia (KTI)? Bagaimana pengaruh program bantuan sosial Kementerian PDT terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten tertinggal di Indonesia? Bagaimana hubungan antara pertumbuhan perekonomian dengan tingkat kemiskinan kabupaten tertinggal di Indonesia? Tabel 3 Gambaran umum daerah tertinggal di Indonesia tahun 2010-2013 Indikator Kondisi Tahun 2010 Rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal (persen) 5,76 Persentase Penduduk miskin didaerah tertinggal (persen) 21,17 Jumlah kabupaten daerah tertinggal 183 Target Pembangunan Capaian Target Di Daerah Tahun 2013 Tertinggal di Tahun 2013 Meningkatnya 5,96 rata-rata pertumbuhan ekonomi menjadi 6,8 persen Berkurangnya 16,13 persentase penduduk miskin di daerah tertinggal menjadi 12,46 persen Terentaskannya 133 minimal 40 kabupaten tertinggal Sumber: Kementerian PDT (2013) Tujuan Penelitian 1. 2. 3. Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: Mengkaji dinamika kemiskinan, perekonomian, dan bantuan sosial di kabupaten tertinggal di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan kawasan Timur Indonesia (KTI) Menganalisis pengaruh program bantuan sosial Kementerian PDT terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di Indonesia Menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan di kabupaten tertinggal di Indonesia 8 Manfaat Penelitian Manfaaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan bagi pemerintah khususnya Kementerian PDT didalam merumuskan kebijakan yang tepat, sehingga program bantuan yang digulirkan memang benar-benar mampu untuk meningkatkan pendapatan masyarakat kabupaten tertinggal. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alat evaluasi bagi Kementerian PDT didalam menilai dampak dari program bantuan sosial bagi perekonomian kabupaten tertinggal. Ruang Lingkup Penelitian Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada kabupaten tertinggal, analisis dilakukan pada kabupaten tertinggal di Indonesia (KBI dan KTI) yang termasuk dalam 183 kabupaten tertinggal yang telah ditetapkan oleh Kementrian PDT yang mendapatkan dana bantuan sosial dari tahun 2010-2013. 9 2 TINJAUAN PUSTAKA Peranan Pemerintah dalam Pembangunan Ekonomi Kebijakan Pemerintah Dalam Pembangunan Peranan pemerintah dalam pembangunan ekonomi telah lama menjadi objek pembahasan yang menarik di antara ahli ekonomi. Aliran Klasik, yang menganut kebebasan pasar berpendapat bahwa campurtangan pemerintah sebagai sesuatu yang menghambat dan mengganggu bekerjanya kekuatan-kekuatan objektif dari pasar yang disebut sebagai mekanisme pasar. Para penganut aliran neoklasik bahkan menuduh bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu (individual freedom) yang merupakan fondasi dari sistem demokrasi. Berbeda dengan kaum klasik dan neoklasik, John M. Keynes seorang ahli ekonomi terkemuka menganggap bahwa kebebasan pasar, tanpa ada campur tangan pemerintah, tidak akan mampu melakukan alokasi sumberdaya dan output secara optimal (full employment of outputs). Tanpa campur tangan pemerintah dalam perekonomian, akan terjadi persaingan bebas yang merugikan kelompok ekonomi lemah. Akibatnya terjadi restriksi pasar dalam bentuk monopoli yang dikuasai golongan ekonomi kuat. Karena itu Keynes memandang perlu adanya peran pemerintah, antara lain dalam bentuk kebijakan anggaran untuk mengatasi pengangguran yang sekaligus juga meningkatkan dayabeli dan mendorong adanya kegiatan bisnis. Walaupun mekanisme pasar benar-benar beroperasi lebih efisien dalam rangka mengalokasikan sumberdaya yang ada dibandingkan mekanisme sektor publik, tetapi tidak berarti bahwa peranan sektor publik atau pemerintah dalam pengelolaan ekonomi nasional bisa dihilangkan sama sekali. Pembentukan modal (capital formation) adalah kebutuhan mendasar bagi pembangunan ekonomi. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, tabungan privat di negara-negara berkembang sangat rendah maka pemerintahlah yang harus memainkan peranan utama dalam upaya mengakumulasi modal. Selain itu, pemerintah juga masih harus menciptakan suatu keterkaitan tertentu dengan sektor swasta, agar sektor swasta tersebut dapat tumbuh dengan subur. Peranan penting lain yang dijalankan pemerintah adalah pengembangan sumberdaya manusia melalui pendidikan dan latihan (yang tidak bisa diharapkan akan digarap oleh pihak swasta mengingat biayanya yang besar dan tidak adanya keuntungan seketika). Selanjutnya, pembangunan ekonomi juga bisa menciptakan distribusi pendapatan yang sangat timpang sehingga diperlukan pengaturan dan pengawasan oleh pemerintah untuk memperbaiki distribusi pendapatan (Todaro, 2000). Menurut Jhingan (2008), dalam rangka mengatasi sifat kaku yang melekat di negara berkembang, pemerintah harus memegang peranan positif dan tidak boleh berlaku sebagai penonton pasif. Problema di negara berkembang adalah sedemikian besarnya sehingga tidak dapat diserahkan begitu saja kepada mekanisme pasar (kekuatan-kekuatan ekonomi). Untuk 10 mengangkat negara keluar dari titik-titik stagnasi diperlukan adanya pembaharuan rasio ekonomi secara cepat. Pada fase awal pembangunan, investasi harus dilakukan di bidang-bidang yang meningkatkan ekonomi eksternal yaitu yang mengarah pada penciptaan overhead sosial dan ekonomi seperti tenaga kerja, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Perusahaan swasta tidak akan tertarik melaksanakan kegiatankegiatan tersebut karena risikonya besar dan keuntungannya kecil. Dari sini timbul kebutuhan untuk menyeimbangkan pertumbuhan berbagai sektor ekonomi sehingga penawaran sesuai dengan permintaannya. Oleh karena itu pengawasan dan pengaturan oleh negara menjadi penting dalam rangka mencapai keseimbangan pertumbuhan. Keseimbangan memerlukan pengawasan atas produksi, distribusi dan konsumsi komoditas. Untuk tujuan ini pemerintah harus merencanakan pengawasan fisik dan langkah-langkah fiskal dan moneter. Langkah-langkah ini memang tidak dapat dihindarkan, untuk mengurangi ketidakseimbangan ekonomi dan sosial yang mengancam negara berkembang. Mengatasi perbedaan sosial dan menciptakan situasi psikologis, ideologis, sosial dan politik yang menguntungkan bagi pembangunan ekonomi merupakan tugas terpenting pemerintah, karena itu ruang lingkup tindakan pemerintah sangat luas dan menyeluruh. Menurut Lewis lingkup itu mencakup penyelenggaraan pelayanan umum, menentukan sikap, membentuk lembaga-lembaga ekonomi, menentukan penggunaan sumber, menentukan distribusi pendapatan, mengendalikan jumlah uang, mengendalikan fluktuasi ekonomi, menjamin full employment, dan menentukan laju investasi (Norton, 2004; Jhingan, 2008). Pemerintah dapat mendorong pembangunan ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter. Dengan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat, pemerintah mampu menyingkirkan hambatan-hambatan ekonomis, kelembagaan dan sosial di negara berkembang. Kebijakan moneter memainkan peranan penting dalam mempercepat pembangunan dengan memengaruhi biaya dan ketersediaan kredit, pengendalian inflasi, dan menjaga keseimbangan neraca pembayaran. Melalui kebijakan fiskal, pemerintah berusaha memperbaiki ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan yang melebar dengan adanya pembangunan, memperluas pasar internal, mengurangi impor yang tidak penting, meniadakan tekanan inflasi, dan merangsang berbagai jenis proyek pembangunan yang diinginkan (Donalson, 1984; Todaro, 2000; Jhingan 2008). Dalam mengelola perekonomian guna mencapai tujuan pembangunan, pemerintah dapat menggunakan kebijakan di bidang ekonomi. Pemerintah mengusahakan pada tingkat makro tercapainya kesempatan kerja penuh, stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan neraca pembayaran, dan pada tingkat mikro terjadinya pemakaian sumberdaya yang efisien. Dalam praktik, pada kondisi kerumitan ekonomi yang ada dan terbukanya perekonomian pada pengaruhpengaruh internasional, pencapaian semua tujuan ini sekaligus secara berkesinambungan sering kali tidak mungkin, sehingga dibutuhkan skala prioritas serta pertimbangan politik dan ekonomi. (Donalson, 1984; Todaro, 2000; Norton, 2004). 11 Program Pengentasan Kemiskinan Pertumbuhan ekonomi penting untuk menciptakan kesempatankesempatan atau peluang-peluang untuk mengurangi kemiskinan. Meskipun demikian pertumbuhan ekonomi sendiri tidak cukup, orang miskin dan orang yang rentan mungkin tidak memperoleh keuntungan dari pertumbuhan, karena mereka kurang sehat, kurang keahlian, dan kurangnya akses terhadap infrastruktur dasar. Pemberdayaan sangat penting bagi penduduk miskin untuk mengambil keuntungan dari peluang-peluang yang diciptakan dengan adanya pertumbuhan. Dalam menjalankan roda pembangunan pemerintah telah melaksanakan berbagai macam program penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Berbagai program telah dilaksanakan tetapi pada kenyataannya tingkat kemiskinan masih saja merupakan fenomena yang harus terus ditanggulangi sampai saat ini. Berbagai program yang dijalankan pemerintah tersebut lebih banyak menemui kegagalan dibandingkan dengan keberhasilannya. Beberapa program tersebut antara lain: Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) Program IDT merupakan program yang paling luas dan tersebar di Indonesia. Program ini dilaksanakan sejak 1994/1995. Program penanggulangan kemiskinan ini lebih di khususkan pada tingkat pedesaan. Kunci yang paling penting dari program IDT adalah memberi kepercayaan penuh dan kebebasan kepada penduduk miskin untuk melaksanakan program-programnya sesuai dengan kreatifitas dan potensi yang dimiliki oleh penduduk miskin sendiri. Dengan dana hibah Rp 20 juta untuk masingmasing desa, masyarakat dipercaya untuk menggunakannya sesuai dengan kegiatan/usahanya masing-masing tanpa intervensi sedikitpun. Program IDT merupakan suatu program untuk menumbuhkan dan memperkuat kegiatan usaha para penduduk miskin dengan membuka kesempatan berusaha yang dirahkan untuk pengembangan kegiatan sosial ekonomi dengan prinsip gotong royong, keswadayaan dan peran serta. Keberhasilan pelaksanaannya tergantung dari kepedulian aktif seluruh masyarakat, motivasi penduduk miskin untuk mengubah nasibnya, dukungan aparat pemerintah dalam penganggulangan kemiskinan serta peran aktif berbagai pihak seperti perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, pers dan dunia usaha. Bantuan dana IDT disalurkan langsung kepada kelompok masyarakat melalui bank penyalur yang di tunjuk tingkat kecamatan. Dana tersebut menjadi dana abadi milik masyarakat desa yang digunakan untuk mengembangkan desa yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga. Pengembangan usaha dan kegiatan ekonomi yang dilakukan berdasarkan potensi sumberdaya alam setempat atau melalui kegiatan ekonomi yang sudah biasa dilakukan penduduk miskin sehari-hari. Meskipun terkesan di masyarakat luas bahwa program IDT “gagal total” karena tidak ada lagi dana segar yang disalurkan kepada penduduk miskin, dan sudah ada program-program penggantinya. Tetapi berdasarkan 12 penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Mubyarto dkk, membuktikan yang sebaliknya. Dana hibah di Karangawen Gunung kidul, telah meningkatkan pendapatan penduduk miskin sebesar 97 persen selama 8 tahun (1994-2002). Meskipun dana IDT diberikan sebagai dana hibah pemerintah pusat kepada 123 ribu pokmas di seluruh Indonesia, tetapi di Karangawen otomatis dijadikan modal simapn pinjam yang kini telah berkembang 126 persen. Bukti dari lapangan tersebut menunjukkan bahwa rakyat/penduduk miskin tidak memperlakukan dana IDT sebagai program belas kasihan, tetapi benar-benar sebagai dana program pemberdayaan ekonomi rakyat yang mampu mengembangkan masyarakat desa yang mampu dan percaya diri. Bantuan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal Pengembangan program IDT diimplementasikan dalam Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) yang merupakan pendukung program IDT. P3DT dioperasionalkan mulai tahun 1995/1996 yang menekankan bantuan pembangunan prasarana dan sarana dasar yang dapat mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat lokal. Peran serta aktif masyarakat lokal dalam kegiatan pembanguanan di tingkat lokal, penguatan kelembagaan pembangunan di tingkat lokal, dan pelestarian hasil pembangunan melalui pemantapan sistem pelaporan (pemantauan dan evaluasi) makin dimantapkan dalam pelaksanaan program P3DT. Prinsip penguatan kelembagaan pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat lokal dan yang diwujudkan melalui wadah LKMD menjadi dasar pelaksanaan kegiatan pembangunan sarana dan prasarana dasar sosial ekonomi. Melalui pelaporan yang tertib, perkembangan dan pelestarian pelaksanaan kegiatan, hasil pembangunan dan dampaknya dapat diketahui guna meningkatkan kapasitas masyarakat. Bantuan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) Program P3DT ini kemudian disempurnakan dalam bentuk Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Kedua program ini memiliki sistem dan aturan yang sama perbedaannya hanyalah pada lokasi program. PPK merupakan bantuan program untuk daerah pedesaan sedangkan P2KP untuk daerah perkotaan. Program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE) Dalam mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia, maka untuk mengatasi dampak dari krisis tersebut pemerintah memberikan program PDM-DKE. Program ini menerapkan prinsip perencanaan bottom-up. Dengan didampingi oleh tim koordinasi/Pembina dalam pelaksanaannya. Dalam segi penyaluran bantuan, program PDM-DKE menerapkan bantuan langsung kepada masyarakat. Sejak dan berada di daerah, masyarakat di daerah tersebut memiliki hak sepenuhnya untuk mengelola penggunaan bantuan tersebut. 13 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Program ini ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesempatan kerja. Koordinasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan merupakan merupakan penting yang harus dilakukan dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pemerintah mengkonsolidasikan program-program penanggulangan kemiskinan menjadi 3 kelompok program penanggulangan kemiskinan. Masing-masing ketiga kelompok tersebut secara berurutan berupaya mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin, selanjutnya berupaya meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin dan kemudian meningkatkan tabungan dan menjamin keberlanjutan berusaha pelaku usaha mikro dan kecil. Ketiga kelompok tersebut adalah: (1) kelompok program berbasis bantuan dan perlindungan sosial, (2) kelompok program berbasis pemberdayaan masyarakat, (3) kelompok program berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Berdasarkan laporan TNP2K (2013) hasil yang telah diperoleh pada tahun 2011 dari Klaster I yang ditujukan untuk mengurangi beban pemenuhan kebutuhan dasar dan untuk mengurangi beban pemenuhan kebutuhan dasar dan untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota rumah tangga miskin melalui peningkatan akses pada pelayanan dasar adalah: (1) realisasi penyaluran subsidi Raskin sebesar 2.9 ton bagi 17.5 juta rumah tangga sasaran penerima raskin, dan adanya penyaluran raskin ke-13 mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin akibat kenaikan hargaharga pangan, termasuk beras, (2) pemberian beasiswa yang direncanakan untuk 4.7 juta siswa. Sementara itu, pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) pada tahun 2011 telah dilaksanakan bagi 722,000 rumah tangga miskin (RTSM) di 88 Kabupaten/Kota pada 20 Provinsi dengan kualitas yang semakin meningkat dimana telah terjalin koordinasi antara beberapa program berbasis keluarga atau rumah tangga, seperti Jamkesmas dan beasiswa miskin. Pelaksanan PKH juga telah memberikan dampak terhadap peningkatan siswa yang terdaftar pada satuan pendidikan setingkat SMP sebesar 3.1 % dan juga peningkatan kesehatan RTSM. Sejalan dengan pelaksanaan Klaster I, hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program Klaster II untuk tujuan Pemberdayaan Masyarakat diantaranya adalah sebagai berikut: pada tahun 2011 pelayanan PNPM Mandiri Inti sudah dilaksanakan di 6,328 kecamatan di seluruh Indonesia, dan akan terus dilanjutkan sehingga pada tahun 2012 PNPM Inti akan mencakup di 6,623 kecamatan, dengan penempatan 30,000 fasilitator sebagai pendamping masyarakat dan didukung dengan penyaluran bantuan langsung masyarakat sebesar Rp. 10.31 triliun yang berasal dari APBN dan APBD. Pelaksanaan PNPM Mandiri, juga didukung oleh pelaksanaan PNPM pendukung diantaranya: (1) PNPM Generasi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas generasi penerus, (2) PNPM Kelautan dan Perikanan (PNPM-KP) yang ditujukan untuk memberikan fasilitas bantuan sosial dan akses usaha modal, (3) PNPM Agribisnis, yaitu Program Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP), serta (4) PNPM Pariwisata yang baru masuk dalam 14 PNPM Penguatan dengan tujuan mengembangkan kapasitas masyarakat dan memperluas kesempatan berusaha dalam kegiatan kepariwisataan. Pelaksanaan PNPM telah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pendapatan rumah tangga hingga 19 persen dan konsumsi rumah tangga hingga 5 persen dibandingkan dengan daerah yang tidak mendapat PNPM. Selain itu, akses terhadap kesehatan juga lebih besar 5 persen dan peningkatan kesempatan kerja yang lebih besar 1.25 persen di lokasi PNPM dibandingkan lokasi non PNPM. Hasil yang dicapai dalam pelaksanaan Klaster III adalah terlaksananya penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk UMKM dan koperasi. Sejak tahun 2007 sampai dengan akhir tahun 2011 kredit yang tersalurkan hampir Rp. 34.42 triliun, dan mencakup sekitar 3.81 juta nasabah dengan tingkat NPL mencapai 2.52 persen. Sebagian besar KUR diserap oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel (63.7 persen) dan pertanian (17.1 persen). Penyaluran KUR sebagian besar berada di wilayah Jawa dengan volume KUR sebesar 50,2 persen dan proporsi debitur mencapai 61.0 persen. Pada periode tahun 2011, dana KUR yang disalurkan mencapai Rp. 17.23 triliun dengan jumlah nasabah lebih dari 1.4 juta nasabah. Pelaksanaan KUR telah memberikan dampak terhadap rata-rata asset usaha sebesar Rp. 51 juta, asset rumah tangga sebesar Rp. 12.66 juta dan pengeluaran rumah tangga sebesar Rp. 279,000 per bulan. Selain itu, KUR juga telah mengatasi penggangguran terselubung bagi debitur dan keluarganya, serta meningkatkan intensitas utilisasi tenaga kerja dan kontribusi pada perekonomian nasional. Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Perekonomian dianggap mengalami pertumbuhan bila seluruh balas jasa riil terhadap penggunaan faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar daripada pendapatan riil masyarakat pada tahun sebelumnya. Indikator yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi adalah tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil. Perkembangan teori-teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tersebut terdiri dari Mazhab Historis dan Mahzab Analitis yang terdiri dari teori Klasik, Teori Neo Klasik, Teori Keynesian, dan Teori Schumpeter (Anonymous 2012) dalam Indra (2013). Teori Pertumbuhan Keynessian Mankiw (2007) menyatakan bahwa teori Keynessian adalah nama suatu teori ekonomi yang diambil dari John Maynard Keynes, seorang ekonom Inggris yang hidup antara tahun 1883 sampai 1946. Beliau dikenal sebagai orang pertama yang mampu menjelaskan secara sederhana penyebab dari Great Depression. Teori ekonominya berdasarkan atas hipotesis siklus arus uang, yang mengacu pada ide bahwa peningkatan belanja (konsumsi) dalam suatu perekonomian, akan meningkatkan pendapatan yang kemudian akan mendorong lebih meningkatnya lagi 15 belanja dan pendapatan. Teori Keynes ini menyebabkan banyak intervensi kebijakan ekonomi pada era terjadinya Great Depression. Teori Keynes kemudian menyimpulkan bahwa ada alasan pragmatis untuk pendistribusian kemakmuran: jika segmen masyarakat yang lebih miskin diberikan sejumlah uang, mereka akan cenderung membelanjakannya daripada menyimpannya; yang kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi. Ide pokok dari teori Keynes ini adalah “Peranan Pemerintah” yang tadinya diharamkan dalam Teori Ekonomi Klasik. John Meynard Keynes menjelaskan teori ekonominya dalam buku karangannya berjudul “The General Theory of Employment, Interest and Money” Inti dari kebijakan makro Keynes adalah bagaimana pemerintah bisa mempengaruhi permintaan agregat (dengan demikian, mempengaruhi situasi makro), agar mendekati posisi “Full Employment”-nya. Permintaan Agregat adalah seluruh jumlah uang yang dibelanjakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk membeli barang dan jasa dalam satu tahun. Barang dan jasa diartikan sebagai barang dan jasa yang diproduksikan dalam tahun tersebut (barang bekas atau barang yang diproduksikan tahun-tahun sebelumnya atau barang yang tidak diproduksikan seperti tanah, tenaga kerja dan faktor produksi lain, tidak termasuk dalam pengertian “barang dan jasa” dimaksud disini). Dalam perekonomian tertutup permintaan agregat terdiri dari 3 unsur: 1 Pengeluaran Konsumsi oleh Rumah Tangga (C) 2 Pengeluaran Investasi oleh Perusahaan (I) 3 Pengeluaran Pemerintah (G), Pemerintah bisa mempengaruhi permintaan agregat secara langsung melalui pengeluaran pemerintah dan secara tidak langsung terhadap pengeluaran konsumsi dan pengeluaran investasi. 𝑌 =𝐶+𝐼+𝐺 Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat. Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran menyatakan bahwa 𝑌 = 𝐶 + 𝐼 + 𝐺 + (𝑋 − 𝑀) Formula ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional, sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan variable-variabel di ruas kanan disebut permintaan agregat. Variabel G menyatakan pengeluaran pemerintah (Government expenditures), I merupakan Investment, X-M adalah net ekspor. Dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamatinya dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan permintaan agregat atau pendapatan nasional. Dengan ini, dapat dianalisis seberapa penting peranan pemerintah dalam perekonomian nasional. Pemerintah sebagai salah satu pelaku ekonomi (rumah tangga pemerintah), memiliki fungsi penting dalam perekonomian yaitu berfungsi sebagai stabilisasi, alokasi, dan distribusi. 16 1. 2. 3. Fungsi Stabilisasi, yakni fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan, dan keamanan. Fungsi Alokasi, yakni fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa publik seperti pembangunan jalan raya, gedung sekolah, penyediaan fasilitas penerangan, dan telepon. Fungsi Distribusi, yakni fungsi pemerintah dalam pemerataan atau distribusi pendapatan masyarakat. Beberapa ahli seperti Huttman, Marshall, Rein, dan Magill mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial (Suharto 1997). 1. Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Huttman 1981). 2. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshall 1965). 3. Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial (Rein 1970). 4. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magill 1986) Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi tergantung kepada penambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal dan tingkat kemajuan teknologi. Pandangan ini didasarkan kepada anggapan yang mendasari analisis klasik, yaitu perekonomian akan tetap mengalami tingkat pengerjaan penuh (full employment) dan kapasitas peralatan modal akan tetap sepenuhnya digunakan sepanjang waktu. Dengan kata lain, sampai dimana perekonomian akan berkembang tergantung kepada pertambahan penduduk, akumulasi capital, dan kemajuan teknologi. Menurut teori ini, rasio modal-output (capital-output ratio) bisa berubah. Untuk menciptakan sejumlah output tertentu, bisa digunakan jumlah modal yang berbeda-beda dengan bantuan tenaga kerja yang jumlahnya berbeda-beda pula. Jika lebih banyak modal yang digunakan, maka tenaga kerja yang digunakan lebih sedikit. Sebaliknya jika modal yang digunakan lebih sedikit, maka lebih banyak tenaga kerja yang digunakan. Dengan adanya fleksibilitas ini suatu perekonomian mempunyai kebebasan yang tak terbatas dalam menentukan kombinasi modal dan tenaga kerja yang akan digunakan untuk menghasilkan output tertentu. Model dasar teori sollow bisa dituliskan sebagai berikut: 17 Y = F(K, L) Y𝑡 K𝑡 L𝑡 = GDP (PDRB) pada tahun t = jumlah stok barang modal pada tahun t = jumlah tenaga kerja pada tahun t f(k) y=Y/L y=f(k) y i=sf(k) i K k=K/L Y/L (output per pekerja) adalah fungsi dari K/L (jumlah modal per pekerja). Dengan asumsi besarnya perekonomian yang diukur dengan jumlah pekerja tidak mempengaruhi hubungan output perkapita dengan modal per pekerja, jadi Y/L=y dan K/L=k. Konsep dan Teori Kemiskinan Konsep Kemiskinan Kemiskinan menurut UNDP dalam Cahyat (2004), adalah ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan. Badan Pusat Statistik (2014) dalam mengukur tingkat kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan BPS adalah menghitung garis kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Penghitungan GK dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin menurut BPS adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. GKM merupakan suatu nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi. GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan. 18 Selama periode September 2013-Maret 2014, garis kemiskinan naik sebesar 3,34 persen, yaitu dari Rp. 292.951,- per kapita perbulan pada September 2013 menjadi Rp. 302.735,- per kapita per bulan pada Maret 2014. Sementara pada periode Maret 2013-Maret 2014, Garis Kemiskinan naik sebesar 11,45 persen, yaitu dari Rp. 271.626,- per kapita per bulan pada Maret 2013 menjadi Rp. 302.735,- per kapita per bulan Maret 2014. (BPS, 2014) Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemiskinan, perlu dilakukan suatu pemetaan kemiskinan. Pemetaan kemiskinan secara makro bertujuan untuk menggambarkan keragaman kemiskinan dalam suatu negara, yaitu wilayah mana yang lebih sejahtera dan wilayah mana yang kurang sejahtera. Wilayah yang mempunyai tingkat kemiskinan secara makro yang lebih rendah, mungkin mempunyai kantongkantong kemiskinan yang besar dan tidak tercermin dalam statistik kemiskinan secara makro. Teori dan Faktor Kemiskinan Berbagai teori mengenai kemiskinan dikemukakan oleh para ahli, diantaranya Bellinger (2007) yang berpendapat bahwa kemiskinan memiliki dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan nonpendapatan. Kemiskinan dalam dimensi pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah, sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan. Kemiskinan dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Todaro dan Smith (2006) berpendapat bahwa kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu, atau dapat dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan internasional, selain kemiskinan absolut, beberapa ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator jurang kemiskinan total yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis tersebut. Kemiskinan relatif merupakan ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan nasional, indeks gini merupakan salah satu contoh ukuran kemiskinan relatif. Sharp, et al (1996) dalam Kuncoro (1997) mencoba mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi: a. Secara mikro kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pada kepemilikan sumberdaya yang menyebabkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. b. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia rendah 19 berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan. c. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Ketiga penyebab kemiskinan diatas bermuara pada teori lingkaran kemiskinan / vicious circle of poverty (Gambar 3). Lingkaran kemiskinan adalah suatu lingkaran yang saling mempengaruhi satu sama lain secara sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suatu keadaan dimana suatu negara akan tetap miskin dan akan banyak mengalami kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih baik. Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya produktifitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi, baik invetasi manusia maupun investasi kapital. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya. Logika berpikir ini dikemukakan oleh Ragnar Nurkse (1953) yang mengatakan “ a poor country is a poor because it is poor” (negara miskin itu miskin karena dia miskin). Produktiftas rendah Pembentukan modal rendah Pendapatan rendah Investasi rendah Permintaan barang rendah DEMAND Produktifitas rendah Pembentukan modal rendah Investasi rendah Pendapatan rendah Tabungan rendah SUPPLY Sumber : Nurkse dalam Kuncoro (1997) Gambar 3 Lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) Menurut Nurkse ada dua lingkaran perangkap kemiskinan, yaitu dari segi penawaran (supply) dimana tingkat pendapatan masyarakat yang rendah yang diakibatkan oleh tingkat produktivitas yang rendah menyebabkan kemampuan masyarakat untuk menabung rendah. Kemampuan untuk menabung rendah, menyebabkan tingkat pembentukan modal yang rendah, tingkat pembentukan modal (investasi) yang rendah menyebabkan kekurangan modal, dan dengan demikian tingkat produktivitasnya juga rendah dan seterusnya. Dari segi permintaan (demand), di negara-negara yang miskin perangsang untuk menanamkan modal adalah sangat rendah, karena luas pasar untuk berbagai jenis barang adanya terbatas, hal ini disebabkan oleh karena pendapatan masyarakat sangat rendah. Pendapatan masyarakat sangat rendah karena tingkat produktivitas yang rendah, sebagai wujud dari tingkatan pembentukan modal yang terbatas di masa lalu. 20 Pembentukan modal yang terbatas disebabkan kekurangan perangsang untuk menanamkan modal dan seterusnya. Konsep Daerah Tertinggal Konsep dan kriteria kabupaten tertinggal tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor.001/KEP/MPDT/I/2005. Dalam Keputusan Menteri tersebut kabupaten tertinggal adalah daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional dan berpenduduk yang relatif tertinggal. Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan relatif berdasarkan pada perhitungan enam (6) kriteria dasar dan 27 indikator utama yaitu : 1. Perekonomian masyarakat, dengan indikator utama persentase keluarga miskin dan konsumsi perkapita. 2. Sumber daya manusia, dengan indikator utama angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf. 3. Prasarana (infrastruktur) dengan indikator utama jumlah jalan dengan permukaan terluas aspal/beton, jalan diperkeras, jalan tanah, dan jalan lainnya, persentase pengguna listrik, telepon dan air bersih, jumlah desa dengan pasar tanpa bangunan permanen, jumlah prasarana kesehatan/1000 penduduk, jumlah dokter/1000 penduduk, jumlah SD-SMP/1000 penduduk. 4. Kemampuan keuangan daerah dengan indikator utama celah fiskal. 5. Aksesibilitas dengan indikator utama rata-rata jarak dari desa ke kota kabupaten, jarak ke pelayanan pendidikan, jumlah desa dengan akses pelayanan kesehatan lebih besar dari 5 km. 6. karakteristik daerah dengan indikator utama persentase desa rawan gempa bumi, tanah longsor, banjir, dan bencana lainnya, persentase desa di kawasan lindung, desa berlahan kritis, dan desa rawan konflik satu tahun terakhir. Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan. Sebaran daerah tertinggal secara geografis digolongkan menjadi beberapa kelompok, antara lain: a. Daerah yang terletak di wilayah pedalaman, tepi hutan, dan pegunungan yang pada umumnya tidak atau belum memiliki akses ke daerah lain yang relatif lebih maju. b. Daerah yang terletak di pulau-pulau kecil, gugusan pulau yang berpenduduk dan memiliki kesulitan akses ke daerah lain yang lebih maju. c. Daerah yang secara administratif sebagian atau seluruhnya terletak di perbatasan antarnegara baik batas darat maupun laut 21 d. Daerah yang terletak di wilayah rawan bencana alam baik gempa, longsor, gunung api, maupun banjir. e. Daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir. Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan enam kriteria dasar yaitu: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka dalam Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal ditetapkan 183 kabupaten yang dikategorikan kabupaten tertinggal. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai kondisi di daerah tertinggal belum banyak dilakukan, khususnya penelitian tentang bantuan sosial dari Kementerian PDT. Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan menganalisis bantuan sosial secara parsial untuk melihat efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian yang lebih menyeluruh dari pemberian bantuan sosial oleh Kementerian PDT dan efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan penting dilakukan untuk melihat efektivitas bantuan, karena dalam jangka panjang pemerintah tidak selalu akan memberikan bantuan karena keterbatasan anggaran dll. Penelitian Tentang Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah atau negara sangat dipengaruhi oleh kestabilan ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut. Situasi makro ekonomi yang kondusif dan stabil akan mempengaruhi perputaran perekonomian di tingkat mikro atau skala rumah tangga penduduk dan perusahaan maupun berkembangnya usaha masyarakat di berbagai sektor. Intervensi pemerintah merupakan salah satu kunci dalam mewujudkan iklim perekonomian yang kondusif tersebut. Sikap dan tindakan pemerintah dalam menangani beberapa kondisi makro ekonomi seperti inflasi, penggangguran, investasi menjadi hal yang mempengaruhi dinamika pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Terkait dengan hal ini, telah banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat bagaimana peran pemerintah dalam mengatur perekonomian di berbagai negara, baik negara berkembang maupun negara maju. Apakah terdapat perbedaan intervensi pemerintah dalam mengatur perekonomian, fenomena ini sangat menarik untuk diteliti. Perkembangan perekonomian di negara maju dicirikan dengan perkembangan sebuah infrastrutktur modern (baik secara fisik maupun institusional) dan sebuah pergerakan dari sektor bernilai tambah rendah seperti pertanian dan pengambilan sumber daya alam yang lebih padat karya ke sektor industri yang lebih padat modal. Hal ini akan mempengaruhi negara maju dalam mengatur system perekonomiannya, cenderung system ekonominya akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mandiri. Keadaan sebaliknya 22 terjadi di negara berkembang, dimana sektor perekonomian masih bercirikan padat karya dan belum mampu untuk mandiri dalam mengatur sistem perekonomiannya, karena masih didukung oleh hutang ke negara maju. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk melihat perbedaan ini, salah satu penelitian yang mengangkat kasus di negara berkembang seperti di Nigeria tentang “Government expenditure and economic development: empirical evidence from Nigeria” yang dilakukan oleh Muritala (2011) dengan tujuan untuk melihat hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi menggunakan model ekonometrik teknik Ordinary Least Square, data panel selama 1970-2008. Membuktikan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi. dimana model yang digunakan GDP dipengaruhi oleh Recurrent Expenditure (REC) dan Capital Expenditure (CAP). Artinya, pengeluaran sangat mempengaruhi bagaimana perekonomian tumbuh, hanya saja pada penelitian ini tidak dijelaskan secara rinci, jenis-jenis pengeluaran pemerintah dan berapa porsi yang dikeluarkan oleh pemerintah permasingmasing sektor. Tahun 2013 dilakukan penelitian lebih lanjut oleh Patricia dan Izuchukwu (2013) tentang Impact of Government Expenditure on Economic Growth in Nigeria, selama periode 1977-2012 menggunakan teknik yang berbeda dari yang digunakan oleh Muritala sebelumnya, Patricia dan Izuchukwu menggunakan teknik Error Correction Model (ECM). Hasil dari penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah pada sektor pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat tinggi dan signifikan serta berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Artinya, tambahan informasi yang bisa didapatkan dari penelitian ini adalah fokusnya pada anggaran pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pembenahan sistem pendidikan sangat diperlukan di Nigeria, dimana jumlah penduduk miskinnya masih berada pada angka yang jauh di atas negara maju. Sehingga pembenahan utama yang harus dilakukan adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusianya. Dengan pendidikan yang tinggi, akan membantu penduduk di Nigeria mendapatkan pekerjaan yang lebih baik yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan mereka dan dapat mengeluarkan masyarakat di Nigeria dari kemiskinan. Kegiatan produksi di skala mikro akan tumbuh, sehingga akan ada arus perputaran uang disana, seperti tabungan dan pinjaman yang dikelola oleh lembaga keuangan di negara tersebut. Jika iklim usaha di tingkat mikro sudah berkembang maka para investor akan tertarik untuk menanamkan modal. Penelitian lebih lanjut tentang bagaiman peran investor belum muncul dalam dua penelitian ini, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut bagaimana pembentukan modal yang terjadi selain pada sektor pendidikan. Hal yang dapat disarankan adalah selain untuk sektor pendidikan anggaran untuk sektor pembentukan modal juga harus ditambah, sehingga memacu produksi dan dapat menekan angka kemiskinan di Nigeria. Negara berkembang lain yang juga masih tinggi ketergantungan intervensi pemerintah dalam sistem perekonomiannya adalah Jordania, dimana Bataineh (2012) melakukan penelitian tentang “The Impact of 23 Government Expenditures on Economic Growth in Jordan selama periode 1990-2010 dengan menggunakan model regresi. Menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah mempunyai efek yang positif terhadap pertumbuhan GDP yang sesuai dengan teori Keynessian. Kasus yang mewakili pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di negara maju dipaparkan oleh Alexiou (2009) tentang Government Spending and Economic Growth: Econometric Evidenve from the South Eastern Europe (SEE), dengan menggunakan dua pendekatan ekonometrik pada tujuh kota di SEE area dari tahun 1995-2005. Hasil penelitian ini meyatakan bahwa lima variabel yaitu pembentukan modal, bantuan pembangunan, investasi pribadi dan perdagangan bebas mempunyai pengaruh yang positif dan signikan terhadap pertumbuhan ekonomi, hanya variabel pertumbuhan populasi yang tidak signifikan secara perhitungan statistik. Perbedaan yang jelas terlihat dari hasil penelitian ini adalah pertumbuhan populasi yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perekonomia di SEE, karena ciri perekonomian di negara maju yang lebih padat modal. . Tabel 4 Rangkuman penelitian sebelumnya tentang pertumbuhan ekonomi Peneliti Muritala (2011) Judul Pengeluaran pemerintah dan pembangunan ekonomi Pendekatan Ekonometrik Patricia dan Izuchukwu (2013) Dampak pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria Ekonometrik Bataineh (2012) Dampak pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomo di Jordania Pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di Saudi Arabi Ekonometrik Ghali (1997) Ekonometrik Sumber: Rangkuman penulis dari berbagai sumber Hasil Terdapat hubungan positif antara pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi Pengeluaran pemerintah khususnya di bidang pendidikan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi Pengeluaran pemerintah memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi Tidak terdapat hubungan positif antara pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi. 24 Ciri lain dari perekonomian di negara maju juga didukung oleh penelitian Ghali (1997) yang melakukan penelitian tentang “Government Spending and Economic Growth in Saudi Arabia” dengan tujuan untuk melihat hubungan antara pengeluaran pemerintah Saudi Arabia dengan pertumbuhan ekonomi, dimana pendekatan yang dilakukan melalui share investasi dan share konsumsi. Metode yang digunakan adalah Vector Autoregressive (VAR), membuktikan bahwa tidak adanya hubungan yang positif antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi di Arab Saudi, dimana kebijakan fiskal di Saudi Arabia dapat mengontrol ketika terjadi defisit anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian bisa mandiri tanpa terlalu banyak intervensi yang dilakukan oleh pemerintah melalui pengeluarannya, karena ketika terjadi suatu kondisi defisit anggaran, kebijakan fiskal cukup untuk menangani hal tersebut. Pada akhirnya perbedaan bagaimana sistem perekonomian dan campur tangan pemerintah di tiap negara, tidak selalu sama, namun faktorfaktor makroekonomi akan mempengaruhi perkembangan kesejaheraan masyarakat yang berusaha di sektor mikro. Rangkuman dari beberapa studi sebelumnya tentang hubungan antara pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada Tabel 4 Penelitian Tentang Kemiskinan Pertumbuhan ekonomi yang baik di suatu negara akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya yang pada akhirnya akan mengurangi kemiskinan yang terjadi di negara tersebut. Kantong-kantong kemiskinan umumnya banyak berada pada sektor-sektor seperti pertanian, peternakan dan usaha mikro, dimana modal yang bergulir rendah dan risiko usahanya tinggi. Masyakarat miskin banyak bekerja pada sektor-sektor ini, dan umumnya terjadi di negara berkembang. Kasus-kasus kemiskinan sangat banyak mendapat perhatian peneliti, bagaimana pemerintah menangani kemiskinan di tiap daerah pun berbeda, serta faktor-faktor yang mempengaruhi juga tidak selalu sama pengaruhnya di setiap daerah. Beberapa penelitian tentang kemiskinan di berbagai negara telah dilakukan oleh sejumlah peneliti, seperti penelitian yang dilakukan oleh Montalvo (2010) yang melakukan penelitian tentang “Pattern Of Growth and Poverty Reduction in China”, menyatakan bahwa beberapa instrumen kebijakan yg diambil oleh pemerintah untuk menyeimbangkan pertumbuhan sektoral (agriculture and manufacturing) yaitu: a) subsidi untuk harga input (energi, lahan), memperkuat regulasi (termasuk perlindungan lingkungan), b) kemudahan akses modal, khususnya untuk perusahaan besar (swasta dan BUMN), c) pembatasan perpindahan tenaga kerja melalui sistem ‘hukou’, dan membatasi perpindahan tenaga kerja kekota, d) pengalokasian lahan untuk masyarakat lokal, dengan tujuan menyediakan lahan untuk masyarakat yg kehilangan lahan pertaniannya. China mempelajari negaranegara yang berhasil mengurangi kemiskinan di era modern, di China peran kondisi geografis dan pertumbuhan sektoral mampu menurunkan angka kemiskinan. Pengembangan sektor pertanian, jasa, dan industri diharapkan menjadi jalan keluar untuk mengurangi kemiskinan di China. Pengembangan sektor primer terbukti menjadi kekuatan untuk menurunkan 25 kemiskinan, jauh lebih baik dari pada sektor sekunder (manufaktur) dan sektor tersier (jasa). Penelitian yang dilakukan oleh Guiga (2012) tentang ‘Poverty, Growth, and Inequality in Developing Countries’, hasil penelitian ini adalah di beberapa negara upaya untuk menurunkan kemiskinan dilakukan melalui kebijakan moneter, pemerataan, dan pendidikan. Pendapat ini juga diperkuat dengan hasil peneltian Kraay (2006), dimana dari 80 negara berkembang korelasi antara indikator kemiskinan dengan rata-rata pendapatan semuanya negatif. Tetapi hasil penelitian diatas tidak berlaku untuk semua wilayah dan negara yang memiliki perbedaan kondisi geografis. Di Asia timur, China berhasil menurunkan kemiskinan cukup besar sejak tahun 1980, begitu juga di Afrika sukses menurunkan kemiskinan yang sudah dilakukan dari tahun 1990-2004. Beberapa penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat beberapa alternatif yang diambil untuk menurunkan kemiskinan, Bourguignon (2003) dalam Guiga (2012), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan tidak berhubungan sistematis dengan pertumbuhan ekonomi, karena mereka bisa saja berhubungan dengan pemerataan didalam ekonomi. Penjelasan ini juga menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pertumbuhan, pemerataan, dan penurunan kemiskinan. Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan saja tidak cukup untuk mengurangi kemiskinan, dibutuhkan kebijakan lain seperti meningkatkan pemerataan. Penurunan kemiskinan sangat tergantung kepada distribusi dari pertumbuhan ekonomi dan akses masyarakat serta kesempatan orang miskin untuk menikmati pertumbuhan. Mehmood (2010) melakukan peneiltian tentang The Relationship Between Government Expenditure and Poverty: A cointegration Analysis. Kajian dilakukan untuk melihat dalam jangka pendek hubungan antara pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan. Hasil studi menunjukkan hubungan negatif antara pengeluaran pemerintah dengan penurunan kemiskinan dengan menggunakan data time series dari tahun 1976-2010. Hasil analisis menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah, pertumbuhan penduduk, dan remittances berpengaruh signifikan terhadap penurunan kemiskinan, sedangkan investasi tidak berpengaruh signifikan tehadap penurunan kemiskinan. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki jumlah penduduk miskin yang tinggi, yaitu 10,96 persen dari total penduduknya (BPS 2015). Pendekatan secara institusional sudah dilakukan untuk mengatasi masalah ini, namun tetap saja belum bisa menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Beberapa penelitian sebelumnya tentang kemiskinan di Indonesia antara lain dilakukan oleh Jonaidi (2012) tentang analisis pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia. Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan dua arah yang kuat antara peretumbuhan ekonomi dan kemiskinan, terutama di daerah pedesaan yang banyak terdapat kantong-kantong kemiskinan. Sebaliknya kemiskinan dan tingkat penggangguran berpengaruh signifikan dan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. 26 Penelitian oleh Siregar dan Wahyuniarti (2008) tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia, menyimpulkan bahwa PDRB, jumlah penduduk, share sektor pertanian, share sektor industri, share sektor jasa, tingkat inflasi, jumlah lulusan SMP, jumlah lulusan SMA, jumlah lulusan diploma, dan dummy krisis berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia Penelitian Eddy (2010) tentang kemiskinan di lima belas Provinsi di Indonesia, menyimpulkan terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi karakteristik kemiskinan penduduk miskin yaitu: faktor pekerjaan, faktor pendidikan, dan faktor rumah tinggal. Rangkuman penelitian sebelumnya tentang kemiskinan terdapat pada Tabel 5. Tabel 5 Rangkuman penelitian sebelumnya tentang kemiskinan Peneliti Judul Pendekatan Hasil Montalvo Pertumbuhan dan Ekonometrika Kebijakan (2010) penurunan pembangunan kemiskinan di sektoral mampu china menurunkan tingkat kemiskinan Guiga (2012) Kemiskinan, Ekonometrik Penurunan tingkat pertumbuhan, kemiskinan dan ketimpangan dilakukan melalui di negara kebijakan moneter, berkembang pemerataan, dan pendidikan Mehmood Hubungan antara Ekonometrik Terdapat hubungan (2010) pengeluaran negatif antara pemerintah pengeluaran dengan pemerintah dengan kemiskinan tingkat kemiskinan Jonaidi Pertumbuhan Ekonometrik Terdapat hubungan (2012) ekonomi dan dua arah antara kemiskinan di pertumbuhan Indonesia ekonomi dengan tingkat kemiskinan Eddy (2010) Kemiskinan di 15 Ekonometrik Faktor utama yang provinsi di mempengaruhi Indonesia kemiskinan adalah pendidikan, pekerjaan, dan rumah tinggal Sumber: Rangkuman penulis dari berbagai sumber 27 Kerangka Pemikiran Pembangunan ekonomi pada suatu negara bisa dikatakan berhasil apabila terjadi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan rata-rata berada pada angka 5,82 persen dalam kurun waktu 2008-2013, akan tetapi pada saat yang bersamaan juga terjadi masalah ketimpangan yang disebabkan oleh ketidakmerataan pembangunan di Indonesia terutama pada daerah tertinggal. Masalah ketimpangan sudah meluas sampai ke tingkat antar pulau Jawa dan luar pulau Jawa, yang dibagi menjadi Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) dimana kawasan ini dibedakan berdasarkan aspek geografisnya. Ketimpangan Daerah Tertinggal Kawasan timur Indonesia (KTI) Kawasan barat Indonesia (KBI) Dinamika pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan bantuan sosial Bantuan Sosial Kementerian PDT Pengaruh Bantuan Sosial terhadap Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi 1. 2. 3. 4. 5. Bantuan Peningkata Sumberdaya Bantuan Infrastruktur Bantuan Ekonomi dan Dunia Usaha Bantuan Kelembagaan Sosial dan Budaya Bantuan Pengembangan Daerah Khusus kemiskinan Rekomendasi kebijakan Gambar 4 Diagram alur kerangka pemikiran Pemerintah melalui RPJM 2010-2014 telah menggariskan bahwa visi pembangunan 2010-2014 adalah terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan. Salah satu kebijakan yang dilaksanakan adalah 28 percepatan pembangunan daerah tertinggal, dengan membentuk Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (Kementerian PDT). Melalui dana bantuan sosial yang diberikan pada 183 daerah tertinggal terpilih, yang tersebar di KBI dan KTI diharapkan dapat memicu pertumbuhan ekonomi sehingga bisa mengentaskan kemiskinan. Untuk melihat bagaimana dampak dari dana bantuan sosial yang telah digulirkan oleh pemerintah dalam 5 tahun terakhir, memerlukan suatu kajian empiris. Selama ini belum ada penelitian yang menganalisis pengaruh bansos terhadap kemiskinan yang dilihat dari 5 aspek yang didanai serta variabel lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, selain itu hal lain yang menjadi penting untuk dikaji adalah bagaimana hubungan antara peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan penurunan kemiskinan. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penelitian tentang analisis dampak dari bantuan sosial terhadap PDRB dan kemiskinan menjadi penting untuk dilakukan dalam upaya memberikan masukan untuk perbaikan strategi dan kebijakan yang diambil oleh Kementerian PDT dalam mengefektifkan program yang dilaksanakan yang diarahkan pada strategi rancangan RPJMN 2015-2019, yang tujuannya agar lebih efektif dan aplikatif dalam pengentasan kemiskinan di daerah tertinggal. Berdasarkan latar belakang dan kerangka pikir yang diuraikan sebelumnya (gambar 4), maka ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Bantuan sosial, pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan memiliki dinamika yang saling berhubungan, ketiganya saling berfluktuasi dan saling mempengaruhi. 2. Bantuan sosial Kementerian PDT yang meliputi bantuan pengembangan sumberdaya, bantuan infrastruktur, bantuan ekonomi dan dunia usaha, bantuan kelembagaan sosial, dan bantuan pengembangan daerah khusus memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten tertinggal di Indonesia 3. Peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan tingkat kemiskinan di kabupaten tertinggal Indonesia 29 3 METODE PENELITIAN Jenis dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari berbagai publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), diantaranya publikasi PDRB, IPM, persentase penduduk miskin, jumlah penduduk, tingkat pengangguran. Data mengenai bantuan sosial yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Kementrian PDT. Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab tujuan pertama, yaitu menganalisis dinamika pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan bantuan sosial. Analisis merujuk pada data tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan data bantuan sosial dari data BPS dan Kementerian PDT dari tahun 2009 sampai dengan 2013. Analisis Kuantitatif Analisis kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan analisis persamaan simultan yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian dua dan tiga yaitu menganalisis pengaruh bantuan sosial terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal dan menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan. Analisis simultan digunakan dalam penelitian ini karena model terdiri dari beberapa persamaan yang saling ketergantungan. Suatu ciri unik dari model persamaan simultan adalah bahwa variabel endogen dalam suatu persamaan mungkin muncul sebagai variabel yang menjelaskan dalam persamaan lain dalam sistem, oleh karena itu variabel eksogen menjadi stokhastik dan biasanya berkorelasi dengan variabel pengganggu dari persamaan yang mana variabel tersebut muncul sebagai variabel yang menjelaskan (Gujarati 1993). Dalam studi ini dirumuskan model ekonometrika pengaruh bantuan sosial terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal dan hubungan pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan yang merupakan sistem persamaan simultan yang terdiri dari 2 persamaan struktural, yaitu persamaan pertumbuhan ekonomi dan persamaan kemiskinan. Dua pesamaan ini merupakan persamaan simultan dimana pada persamaan pertama PDRB berfungsi sebagai variabel endogen dan pada persamaan kedua PDRB berfungsi sebagai variabel penjelas/predetermined. Model Penelitian Penelitian menggunakan model ekonometrika, dimulai dengan langkah spesifikasi model, penaksiran, verifikasi/evaluasi, dan implikasi kebijakan berdasarkan parameter-parameter yang telah ditaksir. Dalam spesifikasi model dirumuskan persamaan-persamaan matematis yang menggambarkan hubungan antara berbagai variabel ekonomi. Spesifikasi 30 model ekonometrika didasarkan pada teori ekonomi dan adanya informasi yang berhubungan dengan fenomena yang diteliti. Langkah selanjutnya adalah melakukan estimasi atas model yang telah terspesifikasi dan hasil parameter yang didapat, masih dilakukan verifikasi secara statistik untuk menguji hasil estimasi tersebut. Suatu model dikatakan baik jika model dapat memenuhi: 1. Kriteria Ekonomi (menyangkut tanda dan besar parameter estimasi). 2. Kriteria Statistik (menyangkut uji statistik). 3. Kriteria Ekonometrika (menyangkut asumsi model) Tahapan penyusunan model simultan dapat dilihat pada Gambar 5. Fenomena Seleksi Variabel yang Relevan Dengan Justifikasi Teori dan Penelitian Terdahulu Model Ekonomi Spesifikasi Model (menggunakan sistem persamaan simultan) Pengumpulan Data Estimasi Parameter Model Evaluasi Kriteria Ekonomi (Tanda dan Besaran) Kriteria Ekonometrika (Penyimpangan Asumsi) Gambar 5 Tahapan penyusunan model simultan (Diadopsi dari Sinaga 1998) 31 Model merupakan representasi dari suatu fenomena aktual, seperti sistem atau proses aktual. Dengan kata lain, fenomena aktual dapat digambarkan dalam suatu model dalam rangka menjelaskan, memprediksi, atau mengontrol fenomena tersebut. Model ekonometrika menggambarkan suatu sistem dengan suatu rancangan hubungan di antara variabel-variabel secara stokhastik. (Intriligator, Bodkin, dan Hsiao 1996). Model pada penelitian ini digambarkan dalam 2 persamaan struktural berikut: PDRBit = β0+ β1bantuan SDMit+ β2bantuan Infras it+ β3bantuan ekonomi it + β4bantuan daerah khusus it + β5bantuan kelembagaan it + β6Lag PDRBit +β7POPit+ ε it KEMISKINANit = β0 +β1 PDRBit + β2 Pengangguranit + β3 IPMit+ β4 Gini Ratioit + εit PDRBit = PDRB kabupaten ke-i periode ke-t (Rp) KEMISKINAN = Tingkat kemiskinan kabupaten ke-i periode ke-t(%) bantuansdm it = Bantuan pengembangan sumberdaya kabupaten ke-i periode ke-t (Rp) bantua Infras it = Bantuan infrastruktur kabupaten ke-i periode ke-t (Rp) bantuan = Bantuan ekonomi dan dunia usaha kabupaten ekonomi it ke-i periode ke-t (Rp) bantuan daerah = Bantuan pengembangan daerah khusus khususit kabupaten ke-i periode ke-t (Rp) bantuan = Bantuan sosial dan kelembagaan kabupaten ke-i kelembagaan it periode ke-t POPit =Jumlah penduduk kabupaten ke-i periode ke-t (%) Lag PDRBit = Nilai PDRB tahun sebelumnya kabupaten ke-i periode ke-t (Rp) Pengangguran = Pengangguran kabupaten ke-i periode ke-t (%) IPM = IPM kabupaten ke-i periode ke-t (indeks) Gini Ratio = Indeks Gini Kabupaten ke-i periode ke-t (indeks) Model pertumbuhan ekonomi dianalisis dengan menggunakan variabel bantuan sosial KPDT, serta variabel jumlah penduduk dan nilai Lag PDRB, sedangkan variabel yang digunakan dalam menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan adalah variabel PDRB, IPM dan tingkat pengangguran. Pemilihan variabel didalam model merujuk kepada teori yang mendasarinya dan dari hasil penelitian terdahulu. Model pertumbuhan ekonomi merujuk kepada teori permintaan agregat dimana tingkat output dipengaruhi salah satunya oleh pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah yang dianalisis didalam penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah pusat melalui Kementerian PDT. 32 Uji Identifikasi Model Dalam model persamaan simultan, identifikasi dilakukan pada awal sebelum melakukan penaksiran untuk menentukan apakah suatu model persamaan simultan dapat dilakukan penaksiran atau tidak, dan mengetahui metode penaksiran apa yang sebaiknya digunakan pada persamaan simultan. Menurut Koutsoyiannis (1997), identifikasi pada dasarnya menentukan pilihan metode apa yang digunakan secara tepat dari model yang akan ditaksir dan ada dua situasi yang mungkin dari pengidentifikasian tersebut, yaitu: a. Persamaan underidentified Persamaan underidentified (kurang teridentifikasi), jika bentuk statistiknya tidak unik atau kurang. Jika persamaan underidentified, maka tidak dapat menaksir seluruh parameter dengan teknik ekonometrika manapun, dengan kata lain koefisien persamaan structural tidak diperoleh. b. Persamaan identified Persamaan identified (dapat teridentifikasi), jika bentuk statistiknya unik (tunggal). Jika persamaan identified, maka koefisien dalam persamaan simultan secara umum dapat ditaksir, dengan kata lain koefisien persamaan structural memiliki solusi yang unik. Persamaan identified dapat menjadi persamaan exactly identified (tepat teridentifikasi) dan persamaan overidentified (terlalu teridentifikasi). Persamaan exactly identified adalah jika diperoleh suatu nilai koefisien yang unik dari parameter strukturalnya dan metode yang sesuai adalah indirect least square (ILS). Sedangkan persamaan overidentified adalah jika diperoleh lebih dari satu nilai koefisien untuk parameter-parameter strukturalnya dan metode yang sesuai adalah two-stage least square (2SLS), three-stage least square (3SLS), limited information maximum likelihood (LIML), dan full information maximum likelihood (FIML). Menurut Koutsoyiannis (1977), terdapat dua aturan formal yang digunakan untuk menentukan identifikasi yaitu kondisi orde dan kondisi rank. Dalam penelitian ini uji identifikasi pada model dilakukan dengan menggunakann kondisi orde. Kondisi orde merupakan suatu kondisi yang diperlukan (necessary, pengembangan kondisi orde dapat dilakukan untuk memenuhi syarat perlu dan cukup (necessary and sufficient conditions). Pemenuhan syarat perlu dan cukup membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam karena harus memahami pangkat dari suatu matriks. Notasi yang digunakan pada kondisi orde ini adalah: 𝑀 = Jumlah variabel endogen dalam model persamaan simultan 𝑚 = Jumlah variabel endogen dalam suatu persamaan tertentu 𝐾 = Jumlah variabel predetermine dalam model persamaan simultan 𝑘 = Jumlah variabel predetermine dalam suatu persamaan tertentu 33 Ada dua cara untuk mengidentifikasi kondisi orde, yang masingmasing sebenarnya menghasilkan hasil yang setara. Gujarati (2012) menyatakan: 1. Model 𝑀 persamaan simultan agar dapat diidentifkasi setidaknya harus mengeluarkan 𝑀 − 1 variabel (endogen dan predetermine) yang terdapat dalam model. Koutsoyiannis (1977) menyatakan untuk persamaan yang teridentifikasi, jumlah variabel yang dikeluarkan (endogen dan predetermine) dari model harus sama dengan atau lebih besar dari jumlah variabel endogen dikurangi satu, dinotasikan dengan : (𝑀 − 𝑚) + (𝐾 − 𝑘) ≥ 𝑀 − 1 Jika variabel yang dikeluarkan tepat sejumlah 𝑀 − 1 variabel, maka persamaan tersebut tepat teridentifikasi (exactly identified), sedangkan jika variabel yang dikeluarkan lebih dari 𝑀 − 1 , maka persamaan tersebut terlalu teridentifikasi (overidentified) 2. Model 𝑀 persamaan simultan agar dapat diidentifikasi, jumlah dari variabel predetermine yang dikeluarkan dari persamaan tidak boleh kurang dari jumlah variabel endogen yang dimasukkan dalam persamaan dikurangi satu, dinotasikan dengan: 𝐾 − 𝑘 ≥ 𝑚 − 1 Uji Asumsi Klasik (Multicollinearity, Heteroscedasticity, Autocorrelation) Salah satu asumsi dari model regresi adalah bahwa tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas dalam model tersebut. Jika hubungan tersebut ada, maka peubah bebas tersebut berkolinearitas (multicollinearity). Multicollinearity muncul jika dua atau lebih peubah (atau kombinasi peubah) bebas berkorelasi tinggi antara peubah satu dengan peubah yang lainnya. Dalam model penelitian ini hubungan multicollinearity dilihat dari hasi uji nilai tolerance dan VIF, jika nilai tolerance < 0.1 dan nilai VIF > 10 maka terjadi multicollinearity antar variabel bebas. Asumsi model regresi selanjutnya adalah bahwa ragam sisaan (𝜀𝑡 ) sama atau homogen. Asumsi ini disebut homoskedastisitas (homoscedasticity). Jika ragam sisaan tidak sama untuk tiap pengamatan dari peubah bebas dalam model regresi, maka terdapat heteroskedastisitas. Dalam model penelitian ini uji heteroskedastisitas dilihat dari hasil uji nilai Sig untuk masing-masing variabel, jika nilai Sig untuk masing-masing variabel > 0,05 maka tidak terjadi heteroskedastisitas. Asumsi terakhir yaitu tidak terjadi autokeralasi atau korelasi serial antara sisaan (𝜀𝑡 ). Jika antar sisaan tidak bebas, maka dikatakan ada masalah autokorelasi. Sama halnya dengan masalah heteroskedastisitas, hasil dugaan tidak lagi efisien atau ragamnya tidak lagi minimum jika terjadi autokorelasi. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat menggunakan metode uji Durbin Watson (DW). Nilai DW berada pada kisaran nilai 0 sampai 4, dan jika nilainya mendekati 2 maka menunjukkan tidak ada autokorelasi. Matriks metode penelitian dapai dilihat pada Tabel 6. 34 Tabel 6 Matriks metode penelitian Tujuan Alat analisis Data 1. Mengkaji Dinamika Kemiskinan, Pertumbuhan ekonomi dan Bantuan Sosial Kabupaten Tertinggal di KBI dan KTI Deskriptif Kemiskinan di daerah kualitatif dari tahun 2009-2013 tertinggal di KBI dan KTI PDRB di daerah tertinggal di KBI dan KTI Program Bantuan Sosial Kementerian PDT 2. Menganalisis pengaruh program bantuan sosial Kementerian PDT terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal Analisis Persamaan Simultan PDRB kabupaten 3. Menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal Analisis Persamaan Simultan tertinggal Bantuan pengembangan sdm Bantuan infrastruktur Bantuan ekonomi dan dunia usaha Bantuan pengembangan daerah khusus Bantuan kelembagaan sosial Jumlah penduduk PDRB kabupaten tertinggal Persentase kemiskinan kabupaten tertinggal IPM kabupaten tertinggal Persentase pengangguran di kabupaten tertinggal Sumber Data BPS Keme ntrian PDT BPS Keme nterian PDT BPS 35 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Bantuan Sosial di Daerah Tertinggal KBI dan KTI Dinamika Kemiskinan Daerah Tertinggal KBI dan KTI Pertumbuhan ekonomi yang tidak merata di seluruh kawasan barat dan timur Indonesia menjadi salah satu penyebab terjadinya kemiskinan di Indonesia. Kemiskinan lebih parah lagi terjadi di daerah tertinggal. Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal sangat diperlukan mengingat masih tingginya persentase penduduk miskin sebesar 16,13 (tahun 2013) dan masih banyaknya kabupaten tertinggal, yakni 133 kabupaten atau 32,2 persen dari total kabupaten di Indonesia. Kemiskinan merupakan masalah multi dimensi yang menarik untuk dicermati. Indikator kemiskinan yang paling sering mendapat perhatian publik adalah jumlah dan persentase penduduk miskin. Melalui kedua indikator ini, kinerja pembangunan ekonomi yang mampu mensejahterakan masyarakat dapat diukur. Persentase penduduk miskin Indonesia tahun 2013 tercatat sebesar 11,47 persen, angka ini mengalami perbaikan apabila dibandingkan dengan tahun 2010 yaitu sebesar 13,33 persen. Hal ini berarti terjadi penurunan angka kemiskinan di Indonesia sebesar 1,86 persen dalam kurun waktu tiga tahun. Persentase penduduk miskin di daerah tertinggal juga mengalami perbaikan. Tahun 2010 persentase penduduk miskin mencapai 21,17 persen dan turun cukup signifikan menjadi 16,13 persen pada tahun 2013. Rata-rata persentase kemiskinan di dua wilayah KBI dan KTI sama-sama mengalami penurunan. KBI mengalami rata-rata penurunan persentase penduduk miskin sebesar 1 persen yang lebih kecil dibandingkan dengan KTI yaitu 3 persen, penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal tidak terlepas dari beberapa program pemerintah khususnya melalui kementerian PDT dengan sasaran utama program adalah percepatan pembangunan dan penurunan kemiskinan. Rata-rata penurunan persentase penduduk miskin yang tertinggi di KBI adalah Provinsi Sumatera Barat dengan rata-rata penurunan sebesar 9 persen (Gambar 6). Persentase penurunan penduduk miskin yang cukup besar di Sumatera Barat diiringi pertumbuhan ekonomi yang besar, dimana rata-rata pertumbuhan PDRB Sumatera Barat selama kurun waktu 5 tahun sebesar 6,05 persen, yang berada diatas rata-rata pertumbuhan daerah tertinggal di KBI yang hanya 4,95 persen (Lampiran 2). 9 Dari 11 provinsi yang termasuk dalam KBI menunjukkan penurunan persentase penduduk miskin dari tahun 2009 sampai dengan 2013. Terdapat dua Provinsi yaitu Provinsi Sumatera Utara dan Kepulauan Riau yang mengalami peningkatan persentase jumlah penduduk miskin, dengan rata-rata peningkatan sebesar 14 persen dan 21 persen. Hal ini juga mempunyai pengaruh pada pertumbuhan ekonominya, dimana Kepulauan Riau memiliki persentase pertumbuhan PDRB sebesar 3,22 persen yang paling rendah dibandingkan dengan 10 provinsi lainnya yang berada di KBI. 36 Provinsi Sumatera Utara juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah, yaitu sebesar 4,04 persen. Terdapat korelasi antara peningkatan persentase kemiskinan dengan pertumbuhan ekonomi di kedua provinsi tersebut, dimana pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak berkualitas. Beberapa penyebab tidak berkualitasnya pertumbuhan ekonomi suatu wilayah antara lain karena pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja dan belum menyentuh masyarakat yang berekonomi lemah (miskin), hal inilah yang mungkin terjadi di provinsi Sumatera Utara dan Kepulauan Riau. 0,25 0,21 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 -0,05 -0,10 -0,09 Rata-rata kemiskinan daerah tertinggal KBI Gambar 6 Rata-rata persentase kenaikan dan penurunan penduduk miskin di daerah tertinggal KBI tahun 2009-2013 Provinsi Kalimatan Timur merupakan provinsi yang mengalami penurunan persentase penduduk miskin yang paling tinggi di Kawasan Timur Indonesia, dengan rata-rata penurunan sebesar 11 persen (Gambar 7). Angka ini sangat jauh berada diatas rata-rata persentase penurunan penduduk miskin di KTI yang hanya sebesar 3 persen (Lampiran 1). Penurunan kemiskinan di Kalimantan Timur diiringi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi yaitu sebesar 6,25 persen, walaupun masih lebih kecil dari rata-rata pertumbuhan ekonomi KTI yaitu 6,93 persen. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Provinsi Kalimanatan Timur merupakan pertumbuhan yang berkualitas, dimana pertumbuhan ekonomi memberikan dampak terhadap penurunan kemiskinan. Sulawesi Utara merupakan provinsi dengan peningkatan penduduk miskin paling tinggi di KTI yaitu sebesar 8 persen. Provinsi kedua yang mengalami peningkatan persentase penduduk miskin adalah Provinsi Papua barat dengan peningkatan rata-rata kemiskinan 6 persen (Gambar 7). Walaupun mengalami peningkatan rata-rata penduduk miskin, Sulawesi Utara mengalami pertumbuhan ekonomi yang meningkat selama kurun waktu 5 tahun terakhir dengan persentase pertumbuhan sebesar 5,82 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Utara tidak 37 mampu untuk menurunkan persentase penduduk miskin yang disebabkan karena tidak berkualitasnya pertumbuhan ekonomi yang dicapai. 0,08 0,08 0,06 0,04 0,02 0,00 -0,02 -0,04 -0,06 -0,08 -0,10 -0,12 -0,11 Rata-rata kemiskinan daerah tertinggal KTI Gambar 7 Rata-rata kenaikan dan penurunan penduduk miskin di daerah tertinggal KTI tahun 2009-2013 Walaupun terjadi peningkatan rata-rata kemiskinan, Papua Barat mencapai pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi di KTI yaitu sebesar 27,12 persen. Kondisi ini mengindikasikan bahwa terjadinya pertumbuhan yang tidak berkualitas, dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak terdistribusi secara merata sehingga meningkatkan persentase kemiskinan. Diduga terjadinya kebocoran efek pertumbuhan ekonomi, dimana perputaran uang tidak sampai menyentuh masyarakat miskin/lokal yang ada di wilayah tersebut, multiplier effect dari pertumbuhan ekonomi tidak optimal dalam menurunkan kemiskinan. Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Daerah Tertinggal KBI dan KTI Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator penting guna melakukan evaluasi dan koreksi terhadap program pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan pada masa atau periode yang lalu. Dalam mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi digunakan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan, karena dalam penghitungan PDRB atas dasar harga konstan tersebut, pengaruh perubahan harga telah dieliminasi. Dengan demikian pertumbuhan yang dicerminkan merupakan pertumbuhan riil barang dan jasa dalam suatu periode waktu tertentu. Program-program pengentasan daerah tertinggal yang dilakukan oleh Kementrian PDT selain dimaksudkan untuk mengentaskan kabupaten tertinggal juga diupayakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Upaya yang dilakukan Kementerian PDT untuk mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi adalah dengan pengembangan kebijakan dan koordinasi pembangunan bidang ekonomi, kualitas sumberdaya manusia, dan infrastruktur di daerah tertinggal (Kementerian PDT 2011). Rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal di Kawasan Barat Indonesia mencapai angka 4,95 persen selama periode 2009-2013. Enam provinsi memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 4,95 persen dan 5 provinsi 38 lainnya memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi dibawah 4,95 persen. Rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah Provinsi Jawa Timur sebesar 6,12 persen (Gambar 8). Berkembangnya sektor perdagangan di daerah tertinggal di Jawa Timur menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi, sebagian besar sektor perdagangan diperoleh melalui kegiatan ekspor impor barang yang berasal dari kegiatan transaksi ke pulau Sumatera dan Jawa yang bernilai 38 persen dari total transaksi sektor perdagangan. Menurut Setiawan (2013) sektor unggulan yang memicu perkembangan perekonomian di Jawa Timur adalah jasa pengangkutan dan sektor bahan-bahan setengah jadi, hal ini sangat menunjang jalannya perdagangan di Jawa Timur seperti industri rokok yang mampu menyumbang output 125 Trilyun bagi Jawa Timur, serta industri kertas dan karton-nya dengan 63 Trilyun, industri logam dasar besi dan baja sebesar 47 trilyun serta untuk industri bambu kayu dan rotan dengan 38 Trilyun rupiah atau 2,7 persen dari output provinsi. Sektor industri alat pengangkutan lainnya memiliki tingkat daya tarik paling tinggi dengan nilai indeks 1,416 diantara berbagai industri yang tersedia di Jawa Timur. Ini berarti dalam menghasilkan outputnya sektor tersebut mampu menarik (multiplier effect) berbagai macam sektor lainnya yang tersedia beserta sumber dayanya sehingga mampu mendorong kegiatan produksi output sektor tersebut lebih meningkat dari sebelumnya. Industri pengangkutan ini adalah industri angkutan udara, industri truk, bus, industri angkot, angdes dan berbagai industri angkutan darat lainnya. Jawa Timur sejak tahun 2009 memiliki tingkat pertumbuhan diatas rata-rata pertumbuhan nasional yaitu sebesar 6,11, 5,94, 5,01, 6,68, 7,22. Provinsi dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi terendah di KBI adalah Kepulauan Riau dengan rata-rata 3,22 persen (Gambar 8). Angka ini berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi KBI 4,95 persen. Kabupaten Natuna dan Kepulauan Anambas memiliki tingkat pertumbuhan yang selalu meningkat setiap tahunnya, hanya saja persentase pertumbuhannya tidak signifikan. Sektor yang berkembang adalah industri pengolahan, namun masih terdesentralisasi di kota Batam, sehingga multiplier efek nya tidak berimbas pada kabupaten tertinggal yang ada. Menurut Sembodo (2011) ketidakberhasilan pengembangan daya saing ekonomi lokal di Kabupaten Anambas dalam mengangkat masyarakat dari kemiskinan dan meningkatkan perekonomian adalah kapasitas pengelolaan anggaran publik dan pemberdayaan komunitas yang belum sepenuhnya terbangun seperti kelompok usaha nelayan dan tani yang menjadi motor penggerak program ekonomi lokal, serta kecilnya keterlibatan keluarga miskin dalam kegiatan pengembangan komoditi unggulan. Kabupaten Natuna dan Anambas sangat kaya akan potensi sumberdaya alamnya. Potensi yang perlu dikembangkan untuk mendukung peningkatan perekonomiannya adalah memanfaatkan potensi sumber daya laut yang berlimpah untuk mengekspor hasil laut ke luar negeri yang berdampak bagi peningkatan kesejahteraan dan menggerakkan roda perekonomian masyarakat, kemudian potensi sektor pariwisata bahari, serta potensi sektor pertanian dan perkebunan. 39 Persentase pertumbuhan ekonomi di KTI lebih tinggi dibandingkan dengan di KBI, yaitu 6,93 persen (Lampiran 2). Provinsi yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi paling tinggi adalah Papua Barat dengan 27,12 persen (Gambar 9). Berkembangnya industri pengolahan di Papua Barat memicu pertumbuhan ekonominya, kabupaten tertinggal yang berkontribusi paling besar adalah Kabupaten Teluk Bintuni. Tahun 2010 PDRB atas harga konstannya mencapai 2,61 triliun sedangkan pada tahun 2014 sebesar 6,79 triliun. Terjadi kenaikan hampir 3 kali lipat selama 5 tahun terakhir. 10% 6,12% 5% 0% Rata-rata pertumbuhan ekonomi per provinsi di KBI Gambar 8 Rata-rata pertumbuhan ekonomi wilayah tertinggal di KBI tahun 2009-2013 Beda halnya dengan provinsi Papua Barat, Provinsi Papua mengalami penurunan dalam pertumbuhan ekonomi yaitu sebesar 3,14 persen. Penelitian Wulandari dan sulistio (2013) menyatakan bahwa potensi yang dimiliki Papua adalah kekayaan sumber daya alam seperti pertambangan, kehutanan, dan juga perikanan. Dalam sektor pertambangan, Provinsi Papua memiliki cadangan tembaga dan emas terbesar di dunia yang saat ini dikelola oleh PT Freeport McMoran dari Amerika. Dalam sektor kehutanan, lebih dari 80 persen luas wilayah Provinsi Papua merupakan hutan yang ditumbuhi oleh berbagai jenis kayu yang berkualitas, sedangkan dalam sektor perikanan Provinsi Papua dikenal sebagai salah satu daerah penghasil ikan laut yang cukup besar. Potensi kekayaan sumber daya alam yang berlimpah merupakan salah satu modal untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua. Melalui sumber daya alam tersebut, pemerintah dapat memanfaatkannya untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, memperbaiki sarana dan prasarana daerah, serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Otonomi khusus memberikan dampak bagi perkembangan perekonomian Provinsi Papua karena beberapa komponen keuangan yang menyertainya seperti dana otonomi khusus, dana tambahan infrastruktur, serta dana bagi hasil minyak bumi dan gas alam. Hingga tahun 2013, jumlah dana otonomi khusus yang diterima oleh Provinsi Papua adalah Rp. 32.765.854.752.550. Besarnya bantuan yang 40 diterima belum mampu meningkatkan perekonomian Provinsi Papua. Hasil evaluasi Kemendagri tahun 2014, setelah 10 tahun diberikannya otonomi khusus kepada Provinsi Papua belum tampak perubahan yang signifikan jika dilihat dari empat bidang pokok yang menjadi sasaran otonomi khusus, yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pembangunan infrastruktur. Beberapa penyebab mengapa tujuan tersebut tidak tercapai antara lain : (1) belum ada acuan yang jelas dalam pengelolaaan dana otonomi khusus tersebut, sehingga pelaksana kebijakan seperti pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya seringkali mengalami kebingungan dalam hal pengalokasiannya, (2) penggunaan dana otonomi khusus masih belum dapat dikatakan optimal, hal ini tercermin dari penggunaan dana otsus tersebut yang belum sesuai dengan prioritasnya, (3) pengaturan masalah pembagian dana otonomi khusus yang didistribusikan pemerintah provinsi kepada tiap kabupaten masih belum jelas pengaturannya. Keberadaan jumlah penduduk asli Papua dan kondisi ketertinggalan belum sepenuhnya menjadi pertimbangan (Kemendagri 2014). 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% -5% 27,12% Rata-rata pertumbuhan ekonomi per provinsi di KTI Gambar 9 Rata-rata pertumbuhan ekonomi wilayah tertinggal di KTI tahun 2009-2013 Dinamika Bantuan Sosial Daerah Tertinggal Peraturan Presiden No. 9 tahun 2005 dan No. 90 tahun 2006 menjadi landasan Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) Kementrian PDT, diantaranya adalah perumusan kebijakan nasional di bidang pembangunan daerah tertinggal secara fisik maupun sumberdaya manusia, yang didalamnya termasuk program lima bantuan sosial yaitu bantuan pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan infrastruktur, pembinaan ekonomi dan dunia usaha, pembinaan lembaga sosial dan budaya, dan pengembangan 41 daerah khusus. Sampai tahun 2013 telah diberikan bantuan sosial ke 183 daerah tertinggal dengan total Rp. 1,415,640,353,500, dengan persentase untuk pengembangan SDM 5 persen, peningkatan infrastruktur 36 persen, pembinaan ekonomi dan dunia usaha 20 persen, pembinaan lembaga sosial dan budaya 4 persen dan pengembangan daerah khusus sebanyak 35 persen (Gambar 10). Bantuan infrastruktur adalah bantuan dengan porsi paling besar dalam pembagian bansos. Data identifikasi dan validasi Kementrian PDT, aspek sarana dan prasarana menjadi kebutuhan paling tinggi dalam penanganan daerah tertinggal yaitu sebesar 50,81 persen, dibandingkan dari aspek lainnya seperti bencana alam dan konflik sebesar 9,38 persen, kelembagaan daerah sebesar 4,02 persen, perekonomian lokal sebesar 18,39 persen dan sumberdaya manusia 17,41 persen. Gambar 10 Persentase masing-masing bantuan sosial yang disalurkan Kementerian PDT tahun 2010-2013 a. Bantuan Sumberdaya Manusia Peningkatan kualitas sumberdaya manusia di daerah tertinggal sangat penting untuk dilakukan. Kementerian PDT melalui Deputi Bidang Sumberdaya manusia memiliki tugas untuk melakukan pengembangan terkait sumberdaya yang meliputi : sumberdaya hayati, sumberdaya manusia, sumberdaya mineral dan energi, lingkungan hidup dan teknologi. Dalam kurun waktu 2010-2013, bantuan pengembangan SDM yang diberikan berfluktuatif dari tahun ke tahun. Besaran pemberian bantuan didasarkan pada kebutuhan masing-masing daerah tertinggal. Lima provinsi tidak menerima bantuan ini, yaitu Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Papua Barat, sedangkan total kabupaten yang menerima sebanyak 22 kabupaten tertinggal (Lampiran 3). Share bansos pengembangan SDM untuk wilayah KBI sebesar 33 persen, sedangkan untuk wilayah KTI sebesar 67 persen (Gambar 11), sedangkan persentase bantuan per provinsi dapat dilihat pada (Gambar 12). Total bantuan yang telah diberikan dari tahun 2010-2013 sebesar Rp. 13.296.785.000,- untuk wilayah KBI, dan Rp. 50.938.135.000,- untuk 42 wilayah KTI, sehingga total keseluruhan bantuan adalah Rp. 64.234.920.000,-. Bansos SDM diberikan paling besar kepada Provinsi Papua, dengan porsi 23,62 persen atau sebesar Rp. 15.175.000.000,- yang juga menjadikannya sebagai provinsi dengan nilai bansos tertinggi di KTI. Hal ini disebabkan karena masih rendahnya mutu sumberdaya manusia di Provinsi Papua yang dilihat dari tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat yang berusia produktif. Pendidikan merupakan bidang yang paling diprioritaskan, tetapi untuk menilai keberhasilan bidang pendidikan tidak dapat ukur dalam waktu yang singkat. Program-program peningkatan kualitas dan kuantitas pendidik diterapkan untuk meningkatkan tingkat pendidikan putra putri asli Papua. Hasil evaluasi Bappenas tahun 2013 terdapat peningkatan partisipasi sekolah di berbagai jenjang usia pendidikan. Ada indikasi perbaikan di bidang pendidikan, meskipun hasilnya belum optimal dan memerlukan perbaikan dalam kualitas pendidikan maupun kualitas dan ketersediaan sarana pendidikan dan sumberdaya manusia pendidikannya. Gambar 11 Persentase bantuan sumberdaya untuk daerah tertinggal KBI dan KTI tahun 2010-2013 Kualitas tenaga kerja juga menjadi perhatian di Provinsi Papua selain dari aspek pendidikan, usaha yang telah dilakukan adalah programprogram peningkatan keterampilan, seperti di Kabupaten Jayapura dilakukan pelatihan keterampilan bagi pencari kerja di 5 Distrik 7 kampung, di Biak Numfor dilakukan bantuan pembinaan untuk pengangguran. Provinsi Bengkulu mendapatkan dana bansos SDM paling besar di KBI sebesar Rp. 3.462.160.000,- atau sebesar 5,39 persen. Programprogram yang dilakukan untuk pengembangan sumberdaya manusia di Bengkulu di berbagai sektor usaha masyarakat antara lain pelatihan penanaman dan pemeliharaan sagon dan jabon dengan plafon dana sebesar Rp. 250.000.000,- yang diberikan kepada petani beringin indah, harapan makmur, muda sepakat, suka tani dan sinar pagi. Bidang peternakan juga dilakukan pelatihan bagi peternak kambing pada kelompok tani tahaji satu dengan plafon bansos sebesar Rp. 300.000.000,-. 43 Kegiatan lain untuk pengembangan SDM di bengkulu adalah pelatihan dan instalasi biogas di Kabupaten Kaur dengan dana sebesar Rp. 200.000.000,- yang diberikan pada kelompok tani rukun santosa, setia bakti, tunas muda dan sumber makmur I. Pengembangan usaha pertanian juga dilakukan dengan membangun kandang, rumah jaga, pemberian handtractor, pagar hidup, peralatan pengolahan pupuk organik dan mesin pemotong rumput juga mesin perontok padi dengan dana Rp. 260.000.000,- di Kabupaten Kaur. 23,62% 25% 20% 15% 10% 5% NAD SUMUT SUMBAR SUMSEL BENGKULU LAMPUNG BABEL KEPRI JABAR JATIM BANTEN NTB NTT KALBAR KALTENG KALSEL KALTIM SULUT SULTENG SULSEL SULTRA GORONTALO SULBAR MALUKU MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA 0% Persentase bantuan SDM Gambar 12 Distribusi bantuan sumberdaya tahun 2010-2013 b. Bantuan Peningkatan Infrastruktur Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2006 menjadi dasar hukum pelaksanaan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilaksanakan oleh Kementrian PDT. Peningkatan infrastruktur ini diharapkan dapat menjadi pendorong dalam pengentasan daerah tertinggal. Selain untuk mengentaskan daerah tertinggal, program P2IPDT ini juga sebagai solusi mengatasi ketimpangan infrastruktur. Program P2IPDT merupakan salah satu bentuk kegiatan pokok dari pemerintah kepada daerah tertinggal di bidang pembangunan infrastruktur pedesaan dan menjadi stimulan kegiatan pendukung atau pendorong pembangunan infrastruktur daerah melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi dalam bentuk bantuan sosial dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Bantuan stimulan bersifat komplementer dan integral terhadap sektor terkait dan program masing-masing daerah. Bantuan pembangunan infrastruktur merupakan bantuan yang paling besar dibandingkan dengan bantuan lainnya yang diberikan pada 27 provinsi dengan nominal yang berbeda-beda (Lampiran 4). Share bansos pengembangan infrastruktur untuk wilayah KBI sebesar 29 persen dengan besaran bantuan Rp. 150.315.503.000, sedangkan untuk wilayah KTI sebesar 71 persen atau sebesar Rp. 360.243.284.000 (Gambar 13), sehingga 44 total bantuan infrastruktur yang diberikan dari tahun 2010-2013 adalah Rp. 510.558.787.000,-. Bantuan infrastruktur paling besar diberikan kepada Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan porsi 11,97 persen (Gambar 14) atau sebesar Rp. 61.115.206.000,- yang juga menjadikannya sebagai provinsi dengan nilai bansos tertinggi di KTI. Pembangunan infrastruktur yang telah dikembangkan di NTT meliputi perumahan dan pemukiman, pembangunan infrastruktur air bersih, pembangunan sanitasi dan pembangunan rumah sakit. Gambar 13 Persentase bantuan infrastruktur untuk wilayah KBI dan KTI tahun 2010-2013 Pembangunan ekonomi produktif juga dilakukan, dimana kawasan peruntukan pertanian terdiri atas kawasan tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan seperti cengkeh, kelapa, kopi, jambu mete, vanili dan kemiri. Berdasarkan data BPS mayoritas penduduk yang ada di provinsi NTT bermata pencaharian sebagai petani (64,70 persen). Produk pertanian khususnya tanaman pangan merupakan salah satu andalan utama bagi peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Kegiatan pengembangan industri pengolahan produk pertanian dilakukan untuk meningkatkan pendapatan petani seperti yang dilakukan di Kabupaten Ngada dengan nilai bantuan sebesar Rp 650.000.000. Untuk mendukung kegiatan pertanian juga dilakukan pengembangan irigasi seperti yang dilakukan di Kabupaten Sumba Timur dengan nilai bantuan Rp 550.000.000. Pembangunan transportasi jalan raya dan penyebrangan juga menjadi prioritas pembangunan infrstruktur di NTT, seperti pembangunan dramaga di Kabupaten Manggarai Barat. Pembangunan prasarana angkutan penyeberangan ini akan menunjang peningkatan konektivitas antar wilayah melalui transportasi terpadu antar moda. Provinsi Jawa Timur mendapatkan bansos infrastruktur paling besar untuk wilayah KBI dengan total bantuan 22.046.790.000,-. Berbagai program terkait pengembangan infsratruktur dikembangkan di Jawa Timur. Pengembangan infrastruktur ekonomi yang dilakukan antara lain adalah pengembangan embung air di madiun dengan plafon dana sebesar Rp. 350.000.000,- dan dilakukan pengembangan irigasi desa dengan plafon 45 dana Rp. 300.000.000,-. Pengembangan Pasar Desa sebagai prasarana untuk aktivitas ekonomi wilayah di kembangakan di Kabupaten Bondowoso dengan dana yang digunakan sebanyak Rp. 300.000.000,-. Prasarana Jalan sangat menunjang kelancaran aktivitas ekonomi antar wiayah, untuk itu dengan menggunakan dana bantuan infrastruktur transportasi dilakukan pembangunan jalan desa di Kabupaten Bangkalan dengan jumlah bantuan sebesar Rp. 300.0000.000,-, kemudian dilakukan juga perbaikan jalan lingkungan di beberapa wilayah kecamatan dengan jumlah bantuan Rp. 300.000.000,11,97% 12% 10% 8% 6% 4% 2% NAD SUMUT SUMBAR SUMSEL BENGKULU LAMPUNG BABEL KEPRI JABAR JATIM BANTEN NTB NTT KALBAR KALTENG KALSEL KALTIM SULUT SULTENG SULSEL SULTRA GORONTALO SULBAR MALUKU MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA 0% Persentase bantuan infrastruktur Gambar 14 Distribusi bantuan infrastruktur tahun 2010-2013 Pengembangan infrastruktur sosial juga menjadi perhatian Kementrian PDT, dimana diberikan bantuan pengembangan sarana dan prasarana pendidikan di kabupaten Pamekasan dengan pagu dana sebesar Rp. 315.600.000,-. kabupaten Madiun juga mendapatkan dana pengembangan sarana dan prasarana pendidikan ini dengan plafon dana sebesar Rp. 300.000.000,c. Bantuan Pembinaan Ekonomi Dan Dunia Usaha Deputi bidang pembinaan ekonomi dan dunia usaha di Kementerian PDT menangani beberapa hal terkait dengan investasi, pemberdayaan masyarakat di sekitar industri, usaha mikro kecil dan menengah serta kemitraan usaha dan pengembangan pariwisata. Bantuan yang diberikan sifatnya lebih kepada pengembangan produk unggulan daerah. Besaran pemberian bantuan didasarkan pada kebutuhan masing-masing daerah tertinggal (Lampiran 5). Bantuan pembinaan dunia usaha dan ekonomi merupakan bantuan terbesar ketiga setelah bantuan infrastruktur dan bantuan pengembangan daerah khusus dengan share sebesar 19 persen. Share bansos pembinaaan dunia usaha dan ekonomi sebanyak 62 persen untuk wilayah KTI dan 38 persen untuk wilayah KBI (Gambar 15). Total bantuan dari tahun 20102013 sebesar Rp. 102.235.000.000,- untuk wilayah KBI, dan Rp. 169.136.321.500,- untuk KTI sehingga total bantuan yang diberikan adalah Rp. 271,371,321,500,-. Provinsi Nusa Tenggara Timur mendapatkan bantuan paling besar dengan porsi 12,78 persen (Gambar 16) atau sebesar Rp. 34.681.675.000,- 46 yang juga menjadikannya sebagai provinsi dengan nilai bansos tertinggi di KTI. Jenis program yang telah dilakukan antara lain adalah pengambangan kakao di Kabupaten Manggarai Timur. Perikanan tangkap juga dijadikan program pengembangan usaha di Flores Timur dimana bantuan dialokasikan untuk pembelian kapal tangkap. Pengembangan jagung dilakukan di Kabupaten Ngada dengan memberikan benih jagung, pupuk NPK, carbosulfat, alat pemipil jagung, dan Hand Tractor. Program lain yang dilakukan terkait dengan pengembangan dunia usaha adalah pengembangan kebun jagung, peternakan sapi dan kebun jambu di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara. Gambar 15 Persentase bantuan ekonomi dan dunia usaha untuk wilayah KBI dan KTI tahun 2010-2013 Sumatera Selatan mendapatkan bantuan ekonomi dan dunia usaha paling besar di KBI sebesar 7,08 persen atau Rp. 19.110.000.000,-. Program yang dijalankan antara lain di kabupaten Ogan Hilir yaitu bantuan mesin dan peralatan untuk anyaman dan industri perak. Program lain adalah di Kabupaten Lahat, Empat Lawang dan Kabupaten Musi Rawas yang mendapatkan bantuan pengembangan bibit sapi bali jantan, dan bibit karet. 12,78% 14% 12% 10% 8% 6% 4% 2% NAD SUMUT SUMBAR SUMSEL BENGKULU LAMPUNG BABEL KEPRI JABAR JATIM BANTEN NTB NTT KALBAR KALTENG KALSEL KALTIM SULUT SULTENG SULSEL SULTRA GORONTALO SULBAR MALUKU MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA 0% Persentase bantuan ekonomi dan dunia usaha Gambar 16 Distribusi bantuan ekonomi dan dunia usaha tahun 2010-2013 47 d. Bantuan Pembinaan Lembaga Sosial dan Budaya Bantuan pembinaaan lembaga sosial dan budaya sebanyak 58 persen diberikan untuk wilayah di KTI atau sebesar Rp. 35.621.850.000,- dan 42 persen untuk wilayah KBI atau sebesar Rp. 26.187.350.000 (Gambar 17), dengan total keseluruhan bantuan sebesar Rp. 61.809.200.000,-. Bantuan pembinaan lembaga sosial dan budaya diberikan paling besar kepada Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan porsi 11,63 persen (Gambar 18) atau sebesar Rp. 7.186.050.000,- yang juga menjadikannya sebagai provinsi dengan nilai bansos tertinggi di KTI. Jenis program yang diterima antara lain penguatan kelembagaan Kelompok Penggerak Pembangunan Desa (KPPD) di beberapa kabupaten seperti kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya. Gambar 17 Persentase bantuan lembaga sosial dan budaya untuk wilayah KBI dan KTI 2010-2013 Provinsi Sumatera Selatan mendapatkan bantuan lembaga sosial dan budaya terbesar di KBI yaitu sebesar 6.71 persen atau sebesar Rp.4,147,690,000. Program yang dijalankan antara lain penguatan kelembagaan kelompok penggerak pembangunan desa (KPPD) di Kabupaten Lahat, Musi Rawas, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu. 11,63% 12% 10% 8% 6% 4% 0% NAD SUMUT SUMBAR SUMSEL BENGKULU LAMPUNG BABEL KEPRI JABAR JATIM BANTEN NTB NTT KALBAR KALTENG KALSEL KALTIM SULUT SULTENG SULSEL SULTRA GORONTALO SULBAR MALUKU MALUKU… PAPUA BARAT PAPUA 2% Persentase bantuan lembaga sosial dan budaya Gambar 18 Distribusi bantuan lembaga sosial dan budaya tahun 2010-2013 48 Bantuan pembinaan lembaga sosial dan budaya berada dibawah Deputi IV Kementerian PDT. Kegiatan yang dijalankan antara lain penyiapan dan perumusan kebijakan di bidang pembinaan lembaga sosial dan budaya, koordinasi kebijakan lambaga sosial dan budaya, melaksanakan hubungan kerja di bidang lembaga sosial dan budaya dengan kementrian koordinator, kementrian negara lain, departemen lembaga pemerintah non departemen dan lembaga yang terkait. Besaran bantuan pembinaan lembaga sosial dan budaya dapat dilihat di Lampiran 6. Bantuan pembinaan lembaga sosial dan budaya merupakan bantuan terendah sharenya dibandingkan dengan bantuan sosial lainnya, yaitu sebesar 5 persen. e. Bantuan Pengembangan Daerah Khusus Bantuan daerah khusus diberikan untuk daerah tertinggal yang memiliki permasalahan khusus, yang meliputi daerah perbatasan, daerah rawan konflik dan bencana serta daerah pulau terpencil dan terluar. Bantuan pengembangan daerah khusus per provinsi dapat dilihat di Lampiran 7, bantuan pengembangan daerah khusus ini merupakan bantuan kedua terbesar dibandingkan dengan bantuan sosial lainnya, yaitu sebesar 35 persen, Bantuan pengembangan daerah khusus sebesar 89 persen atau sekitar Rp. 431.001.125.000,- diberikan untuk wilayah KTI dan 11 persen atau sekitar Rp. 63.310,000,000,- diberikan untuk wilayah KBI (Gambar 19), sehingga total bantuan yang telah diberikan dari tahun 2010-2013 adalah sebesar Rp. 494.311.125.000. Bantuan pengembangan daerah khusus diberikan paling besar untuk Provinsi Papua, dengan porsi 18,93 persen (Gambar20) atau sebesar Rp. 93.593.000.000,- yang juga menjadikannya sebagai provinsi dengan nilai bansos tertinggi di KTI. Gambar 19 Persentase bantuan daerah khusus untuk wilayah KBI dan KTI tahun 2010-2013 Pemerintah pusat melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 mengeluarkan kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Tujuannya adalah selain untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua, juga untuk meredam aksi separatisme yang dilakukan oleh 49 organisasi papua merdeka (OPM). Otonomi khusus memberikan dampak bagi perkembangan perekonomian Provinsi Papua karena beberapa komponen keuangan yang menyertainya seperti dana otonomi khusus, dana tambahan infrastruktur, serta dana bagi hasil minyak bumi dan gas alam. Bantuan sosial pengembangan daerah khusus yang diterima ditujukan untuk membiayai beberapa program yang menjadi prioitas dalam penerapan kebijakan otonomi khusus di Papua seperti pendidikan, kesehatan dan perbaikan gizi, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, serta pembangunan infrastruktur. Kebijakan otonomi khusus diharapkan mampu memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua melalui perbaikan dalam keempat sektor tersebut. Terdapat beberapa jenis bantuan atau program pengembangan daerah khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua antara lain penyediaan listrik pembangkit tenaga surya di Merauke, pembangunan rumah layak huni di Keroom, pengadaan motor tempel dan cool box di Kabupaten Supiori, perlengkapan alat pertanian dan penyimpanan padi di Kabupaten Boven Digoel, pengadaan bibit ternak kambing dan babi di Kabupaten Pegunungan Bintang. Program-program bantuan pengembangan daerah khusus ini terus berlanjut untuk seluruh kabupaten-kabupaten tertinggalnya. Provinsi Sumatera Barat mendapatkan bantuan pengembangan daerah khusus paling besar di KBI dengan jumlah Rp. 8,530,000,000 atau 1,73 persen. Provinsi Kepulauan Riau mendapatkan bantuan pengembangan daerah khusus khusus terbesar kedua di KBI yaitu 1,72 persen atau setara dengan Rp. 8.500.000.000,-, kedua provinsi ini memiliki karakteristik daerah khusus yaitu sebagai daerah rawan bencana dan daerah perbatasan. 18,93% 20% 15% 10% 5% NAD SUMUT SUMBAR SUMSEL BENGKULU LAMPUNG BABEL KEPRI JABAR JATIM BANTEN NTB NTT KALBAR KALTENG KALSEL KALTIM SULUT SULTENG SULSEL SULTRA GORONTALO SULBAR MALUKU MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA 0% Persentase bantuan daerah khusus Gambar 20 Distribusi bantuan daerah khusus tahun 2010-2013 Sumatera Barat mendapatkan bantuan pengembangan daerah khusus untuk membangunan rintisan jalur evakuasi/tanggul dan sarana penyediaan air bersih untuk pencegahan krisis air bersih yang disalurkan ke Kabupaten Padang Pariaman, dimana infrastruktur di Padang Pariaman rusak berat setelah dilanda gempa tahun 2009. Kabupaten Pesisir Selatan yang juga wilayahnya rusak akibat gempa mendapatkan bantuan penyediaan air bersih. Bantuan lain yang diterima untuk pembangunan pasca gempa adalah 50 bantuan rehabilitasi pasca bencana yang disalurkan ke Kabupaten Pasaman Barat, Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir karena kabupaten tersebut menjadi kabupaten terparah yang terkena dampak gempa. Tahun 2010 daerah tertinggal di Provinsi Kepulauan Riau yang terdiri atas kabupaten Natuna dan Anambas menerima jenis bansos daerah khusus yang berbeda. Kabupaten Natuna menerima bantuan pengembangan perkebunan karet unggul yang sasarannya adalah kelompok masyarakat. Kepulauan Anambas mendapatkan jenis bantuan pembangunan instalasi air bersih yang bersumber dari air bawah tanah (Deputi Bidang Pengembangan Daerah Khusus 2010). Bantuan penyaluran energi listrik melalui Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di kabupaten Anambas juga telah dilakukan, dengan menyalurkan listrik sebesar 10 kwH yang diperuntukkan untuk masyarakat, dan pengembangan produk minyak kelapa di Natuna dengan luas perkebunan kelapa 4.700 Ha. Analisis Pengaruh Bantuan Sosial Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertinggal Analisis pengaruh bantuan sosial terhadap perekonomian kabupaten tertinggal dijelaskan dari hasil analisis pada Tabel 7. Estimasi dilakukan dengan menggunakan metode 2SLS, metode 2SLS digunakan Karena dari hasil uji identifikasi kedua model overidentified (Lampiran 8), sehingga metode yang tepat untuk menduganya adalah dengan metode 2SLS. Hasil uji asumsi klasik menunjukkan bahwa model terbebas dari multicollinerarity, heteroscedasticity,dan autocorrelation (Lampiran 9). Tabel 7 Hasil estimasi model pertumbuhan ekonomi Variabel 1. Intersep 2. B.SDM 3. B.Infrastruktur 4. B.Ekonomi 5. B.Kelembagaan 6. B.D.Khusus 7. J.Penduduk 8. Lagpdrb Durbin-Watson 1.659892 R-square 0.77953 Parameter t value 186.2998 2.57 -138.624 -1.40 120.3370** 1.68 -47.3466 -0.62 160.233* 2.21 2.021734 0.03 0.002128* 14.69 0.540027* 19.49 Prob.t Elastisitas 0.0104 0.1617 -0.010 0.0930 0.066 0.5367 -0.013 0.0274 0.010 0.9778 0.001 0.0001 0.405 0.0001 0.068 Prob>F 0.0001 Ket: *signifikan pada taraf nyata 5 persen **signifikan pada taraf nyata 10 persen Hasil estimasi menunjukkan bahwa bantuan infrastruktur, bantuan kelembagaan sosial dan budaya, jumlah penduduk, dan nilai PDRB tahun sebelumnya pada taraf nyata 5 dan 10 persen mempengaruhi perekonomian di kabupaten tertinggal, sedangkan bantuan sumberdaya manusia, bantuan ekonomi dan dunia usaha, serta bantuan daerah khusus tidak signifikan mempengaruhi perekonomian di kabupaten tertinggal. Nilai R-Square (R2) 51 atau koefisien determinasi dari model sebesar 0,77953 (Tabel 7), nilai tersebut menunjukkan bahwa variasi dalam variabel eksogen yang terdiri atas bantuan SDM, bantuan infrastruktur, bantuan ekonomi dan dunia usaha, bantuak kelembagaan sosial dan budaya, bantuan daerah khusus, jumlah penduduk, dan nlai Lag PDRB mampu menjelaskan 77,95 persen variasi nilai PDRB, sedangkan sisanya sebesar 22,05 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model. a. Pengaruh bantuan sumberdaya manusia (SDM) terhadap pertumbuhan ekonomi Investasi untuk pengembangan sumberdaya manusia adalah suatu biaya yang dikeluarkan atau diberikan baik dalam bentuak uang, waktu, maupun kesempatan untuk membentuk modal manusia yang lebih baik di masa depan. Kegiatan investasi terhadap sumberdaya manusia ini antara lain melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan. Bantuan pengembangan sumberdaya manusia di daerah tertinggal ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka mempercepat pembangunan ekonomi didaerah tertinggal. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain pemberian pelatihan untuk kegiatan pertanian, peternakan, dan perikanan, serta pembangunan infrastruktur seperti pembangunan sekolah, sarana kesehatan dan lainnya. Hasil estimasi menunjukkan bahwa bantuan sumberdaya manusia memiliki hubungan yang negatif terhadap perekonomian daerah tertinggal. Kondisi ini menunjukkan bahwa hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi tidak ada yang konsisten, bisa positif atau negatif. Kondisi ini sudah dibuktikan dengan beberapa studi sebelumnya yang dilakukan dibeberapa negara. Folster dan Henrekson (1999) menyatakan bahwa dampak dari pengeluaran publik akan berbeda dampaknya tergantung kondisi dinegara tersebut. Barro (1990) menyatakan bahwa kontribusi pengeluaran yang produktif akan positif terhadap pertumbuhan, dan sebaliknya untuk pengeluaran yang tidak produktif. Tidak ada kesimpulan pasti mengenai arah hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi (Folster dan Henrekson 1999). Bantuan sosial pengembangan sumberdaya manusia yang meliputi sumberdaya hayati, sumberdaya manusia, sumberdaya mineral dan energi, lingkungan hidup dan teknologi dari hasil penelitian tidak signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal, dengan nilai elastisitas -0.010. b. Pengaruh bantuan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2006 menjadi dasar hukum pelaksanaan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilaksanakan oleh Kementrian PDT. Peningkatan infrastruktur ini diharapkan dapat menjadi pendorong dalam pengentasan daerah tertinggal. Program P2IPDT merupakan salah satu bentuk kegiatan pokok dari pemerintah kepada daerah tertinggal di bidang pembangunan infrastruktur pedesaan dan menjadi stimulan kegiatan pendukung atau pendorong pembangunan infrastruktur daerah melalui penyediaan sarana 52 dan prasarana transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi dalam bentuk bantuan sosial dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Bantuan stimulan bersifat komplementer dan integral terhadap sektor terkait dan program daerah. Besaran pemberian bantuan dan jenis bantuan stimulus infrastruktur ini didasarkan pada kebutuhan masing-masing daerah tertinggal. Beberapa bantuan yang diberikan terkait dengan peningkatan infrastruktur antara lain bantuan infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial dan infrastruktur produktif, dimana program-program yang telah terealisasi adalah pembangunan irigasi, pembangunan jalan raya dan pembangunan gedunggedung sekolah, rumah sakit dan prasarana sosial lainnya Beberapa penelitian yang sebelumnya sudah dilakukan antara lain oleh Canning dan Pedroni (1999) serta Seetanah et al (2010) menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi merupakan infrastruktur yang menyumbang kontribusi terbesar pada pertumbuhan, untuk itu kiranya perlu dipertimbangkan untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur transportasi sebagai infrastruktur prioritas utama pada pembangunan kabupaten tertinggal. Penelitian lainnya tentang pengaruh program pembangunan infrastruktur terhadap kemiskinan di kabupaten tertinggal oleh Sari (2011) menunjukkan bahwa pengaruh bantuan infrastruktur (P2IPDT) terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal dapat dirasakan oleh masyarakat dalam jangka menengah dan panjang. Hasil estimasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variabel dana bantuan sosial infrastruktur memiliki pengaruh yang positif dan signifkan pada taraf nyata 10 persen terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan nilai elastisitas 0,066 yang berarti setiap kenaikan 1 miliar bantuan infrastruktur akan meningkatkan PDRB sebesar 0,066 miliar. c. Pengaruh bantuan ekonomi dan dunia usaha terhadap pertumbuhan ekonomi Dalam rangka pembinaan dan pengembangan dunia usaha di daerah tertinggal, maka ditegaskan pokok-pokok arah pembinaan dan pengembangannya adalah: meningkatkan partisipasi masyarakat yang lebih aktif dalam pembangunan, sehingga perluasan dunia usaha haruslah mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Usaha peningkatan perekonomian golongan ekonomi lemah didaerah tertinggal dilaksanakan antara lain dengan pengembangan produk atau komoditas unggulan daerah, pemberian bantuan kredit dengan syarat yang tidak memberatkan, , bantuan keahlian, penyuluhan, dan melalui usaha-usaha pengembangan kewirausahaan. Kementerian PDT telah melaksanakan berbagai program terkait dengan pemberian bantuan ekonomi dan dunia usaha, salah satunya adalah dengan pengembangan produk atau komoditas unggulan daerah yang menjadi program utama bantuan ekonomi dan dunia usaha. Sama halnya dengan bantuan sumberdaya manusia, bantuan ekonomi dan dunia usaha dari hasil estimasi menunjukkan hubungan yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Hal ini kembali menunjukkan bahwa hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi 53 tidak ada yang konsisten, bisa berhubungan positif atau negatif dimana kondisi ini sudah dibuktikan dari beberapa studi yang sebelumnya sudah dilakukan di beberapa negara. Penelitian lanjutan yang lebih mendalam dapat dilakukan untuk mengetahui mengapa timbul hubungan negatif ini, khususnya terkait jenis bantuan yang diberikan apakah bantuan yang diberikan bersifat produktif atau tidak produktif dengan melihat kondisi riil dilapangan. Variabel bansos pembinaan ekonomi dan dunia usaha dari hasil penelitian ini tidak signifikan meningkatan pertumbuhan ekonomi, dengan nilai elastisitas -0,013. Hal ini menunjukkan bahwa bantuan pengembangan ekonomi dan dunia usaha yang diberikan kepada daerah tertinggal belum mampu meningkatkan perekonomian masyarakat melalui berbagai program yang telah dilakukan. d. Pengaruh bantuan kelembagaan sosial dan budaya terhadap pertumbuhan ekonomi Kementerian PDT telah melaksanakan berbagai program terkait bantuan kelembagaan sosial dan budaya. Program dan kegiatan diarahkan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat desa melalui pengembangan kualitas SDM dan penguatan organisasi masyarakat desa. Peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat di daerah tertinggal dilakukan dengan pemberian pembinaan, pengendalian, evaluasi dan penyusunan laporan kegiatan lembaga. Kegiatan ini dilakukan melalui kerjasama antara kementerian PDT, pendamping manajemen nasional (PMN), tenaga pendamping provinsi (TPP), tenaga pendamping kabupaten (TPK), tenaga fasilitator desa (TFD), serta instansi terkait lainnya (Kementerian PDT 2013). Keberadaan Kelompok penggerak pembangunan desa (KPPD) membantu pelaksanaan pembangunan pedesaan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya program percepatan pembangunan sosial ekonomi daerah tertinggal. Kementerian PDT telah melakukan kegiatan penguatan kelembagaan kelompok penggerak pembangunan desa (KPPD) yang dilakukan di semua kabupaten yang menerima bantuan kelembagaan sosial dan budaya. Penelitian tentang pentingnya penguatan kelembagaan di desa sudah banyak dilalukan sebelumnya, antara lain oleh Hasan dan Sufri (2013) menyimpulkan bahwa dalam menunjang kelembagaan masyarakat desa, ada beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain: (1) pelatihan partisipatif kelompok, (2) sosialisasi, serta (3) pendampingan. Penguatan kelembagaan melalui kegiatan pendampingan merupakan satu hal yang sangat dibutuhkan dalam menunjang penguatan kelembagaan masyarakat desa dan kegiatan pemberdayaan. Kegagalan suatu program bisa terjadi karena tidak adanya pendampingan ataupun karena pendampingan tersebut dilakukan oleh orang yang kapasitasnya terbatas. Variabel bansos kelembagaan sosial dan budaya memiliki pengaruh yang positif dan signiikan pada taraf nyata 5 persen dengan nilai elastisitas 0,010 yang berarti setiap peningkatan 1 miliar bantuan kelembagaan sosial dan budaya akan meningkatkan PDRB sebesar 0,010 miliar. Hal ini 54 menunjukkan bahwa bantuan kelembagaan sosial dan budaya yang telah diberikan telah mampu meningkatkan perekonomian masyarakat melalui berbagai program yang telah dilakukan. e. Pengaruh bantuan pengembangan daerah khusus terhadap pertumbuhan ekonomi Program percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus (P2DTK) adalah upaya pemerintah untuk memfasilitasi dan mendampingi proses pemberdayaan masyarakat serta sebagai upaya untuk mengoptimalkan keterpaduan peran pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal. Bantuan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus adalah bantuan yang diberikan kepada beberapa daerah tertinggal di Indonesia yang memiliki karakteristik daerah yang khusus dibandingkan dengan daerah tertinggal lainnya, yang meliputi daerah perbatasan, daerah rawan konflik dan bencana, dan daerah pulau terpencil dan terluar. Beberapa bantuan yang diberikan terkait dengan percepatan pembangunan daerah tertinggal khusus antara lain bantuan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga surya, pembangunan rumah layak huni, pengadaan motor tempel dan cool box, pengembangan perkebunan karet unggul dan pembangunan instalasi air bersih bersumber dari air bawah tanah. Bantuan sosial untuk pengembangan daerah khusus memiliki pengaruh yang positif namun tidak signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dengan nilai elastisitas 0,001. Bantuan pengembangan daerah khusus merupakan bantuan kedua paling besar diberikan kepada daerah tertinggal setelah bantuan infrastruktur. Namun dari hasil estimasi menunjukkan bahwa bantuan yang diberikan belum mampu memberikan dampak terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi. Walaupun hasil estimasi menunjukkan bantuan belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bukan berarti bantuan tersebut tidak berdampak positif terhadap perekonomian daerah tertinggal. karena sifat dan jenis dari bantuan mungkin akan dirasakan dampaknya terhadap perekonomian dalam jangka menengah dan jangka panjang. Beberapa studi yang telah dilakukan terkait pentingnya pengembangan daerah tertinggal dengan karakteristik khusus ini antara studi yang dilakukan oleh lembaga pertahanan nasional (Lemhanas) tahun 2013 tentang optimalisisasi percepatan pembangunan daerah tertinggal di Papua guna mendorong peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat Papua. Dibutuhkan upaya yang lebih besar untuk mempercepat pembangunan di Papua karena keadaan geografis papua yang berada di perbatasan dan kondisi alam yang berupa daratan yang sangat luas, pegunungan, dan perbukitan yang diliputi hutan lebat yang menjadi ciri khas sekaligus menjadi hambatan dalam pembangunan, khususnya pembangunan dalam bidang infrastruktur. 55 f. Pengaruh jumlah penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi Menurut (Jhingan 2000) proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor ekonomi, dan faktor non ekonomi yang salah satunya adalah faktor kependudukan. Pertumbuhan penduduk merupakan salah satu unsur penting dalam memacu pembangunan ekonomi. Populasi yang lebih besar adalah pasar potensial yang menjadi sumber permintaan akan berbagai macam kegiatan ekonomi sehingga menciptakan skala ekonomi (economic of scale) yang menguntungkan semua pihak, menurunkan biaya-biaya produksi, sehingga pada akhirnya akan merangsang tingkat output atau produksi agregat yang lebih tinggi (Todaro dan Smith 2006). Penduduk merupakan unsur penting dalam usaha untuk meningkatkan produksi dan mengembangkan kegiatan ekonomi di daerah tertinggal. Penduduk memegang peranan penting karena menyediakan tenaga kerja, dan pertumbuhan penduduk juga mengakibatkan bertambah dan makin kompleksnya kebutuhan (Sukirno 1985). Peningkatan jumlah penduduk di kabupaten tertinggal mampu meningkatkan nilai PDRB karena diiringi dengan semakin meningkatnya tingkat konsumsi di masyarakat. Hasil analisis sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Savas (2008) dengan judul The relationship between population and ecomic growth:empirical evidence from the central asian economies yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan positif antara pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel jumlah penduduk berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten tertinggal dengan nilai elastisitas 0,405 yang berarti setiap kenaikan seribu penduduk akan meningkatkan nilai pdrb sebesar 0,405 miliar g. Pengaruh pdrb tahun sebelumnya terhadap pertumbuhan ekonomi Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel lag PDRB berkorelasi positif terhadap perekonomian di kabupaten tertinggal dengan nilai elastisitas 0,068. Angka ini dapat diartikan sebagai kenaikan 1 miliar PDRB tahun sebelumnya akan meningkatkan pdrb tahun berjalan sebesar 0,068 miliar. Hubungan yang positif ini dikarenakan adanya penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment) mengingat variabel PDRB merupakan variabel yang dinamis terutama dalam analisis jangka panjang. Hasil analisis ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Sari (2011) yang menyebutkan terdapat hubungan positif antara lagPDRB dengan nilai PDRB tahun berjalan. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal di Indonesia Analisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan dijelaskan dari hasil analisis pada Tabel 8. Hasil uji asumsi klasik menunjukkan bahwa model terbebas dari gejala multicollinearity, heteroscedasticity, dan autocorrelation (Lampiran 10). Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel PDRB, IPM berpengaruh signifikan terhadap 56 tingkat kemiskinan pada taraf nyata 5 persen, sedangkan variable pengangguran dan gini ratio tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Nilai R-Square (R2) atau koefisien determinasi dari model sebesar 0,55242. Nilai tersebut menunjukkan bahwa variasi dalam variabel eksogen yang terdiri dari PDRB, IPM, pengangguran dan gini ratio mampu menjelaskan 55,24 persen variasi kemiskinan, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Tabel 8 Hasil estimasi model kemiskinan Variabel Kemiskinan Daerah Tertinggal 1. Intersep 2. PDRB 3. IPM 4. Pengangguran 5. Gini Ratio Durbin-Watson R-square Parameter t value Prob.t Elastisitas 245.7589 -0.027709* -3.32864* 0.84705 24.0473 9.31 -25.94 -9.28 1.51 0.71 0.001 0.001 0.001 0.131 0.480 -0.819 -5.041 0.090 0.138 1.72826 0.55242 Prob>F 0.0001 Ket:*signifikan pada taraf nyata 5 persen a. Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan, dapat mengurangi kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di daerah tertinggal, capaian pertumbuhan ekonomi berkualitas menjadi sasaran pembangunan dalam dokumen pembangunan seperti RPJP, RPJMN dan RKP. Berdasarkan teori makroekonomi, pertumbuhan ekonomi menunjukkan semakin banyaknya output nasional, dengan demikian akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sehingga pengangguran menurun dan kemiskinan pun akan menurun. Kondisi ini terjadi karena sektor yang berkembang merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Menurut BPS (2013) perekonomian di indonesia termasuk juga di daerah tertinggal di topang oleh sektor jasa (non tradable). Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel PDRB berkorelasi negatif terhadap tingkat kemiskinan di daerah tertinggal. Hal ini berarti peningkatan laju nilai PDRB diiringi dengan penurunan tingkat kemiskinan di daerah tertinggal. Nilai elastisitas PDRB sebesar 0,819 yang berarti setiap peningkatan 1 miliar PDRB akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,819 persen. Permasalahan kemiskinan di daerah tertinggal tidak cukup dipecahkan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi semata dengan mengharapkan terjadinya trickle down effect. Peningkatan kualitas SDM mungkin akan lebih mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap pengurangan tingkat kemiskinan di daerah tertinggal di Indonesia. b. Pengaruh IPM terhadap tingkat kemiskinan Indeks pembangunan manusia (IPM) mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar hidup. Sebagai 57 ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor. Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka harapan hidup. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran perkapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak (BPS 2013). Evaluasi RPJMN 2010-2014 yang dilakukan oleh BAPPENAS, peningkatan kualitas SDM di daerah tertinggal telah menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, rata-rata indeks pembangunan manusia di kabupaten tertinggal adalah 67,48 (Bappenas 2014). Beberapa program yang dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas SDM di kabupaten tertinggal antara lain program-program yang berada di bawah Deputi 1 kementerian daerah tertinggal melalui pemberian bantuan sumberdaya manusia. Bentuk kegiatan berupa kegiatan pemberdayaan dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat. Hasil studi ini sejalan dengan studi sebelumnya yang menyatakan bahwa peningkatan pendidikan dan kualitas kesehatan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan dapat menurunkan kemiskinan (Eleonora, Muhammad, Arip 2014). Hasil estimasi variabel indeks pembangunan manusia (IPM) menunjukkan bahwa variabel IPM berkorelasi negatif terhadap jumlah penduduk miskin. Hal ini berarti semakin meningkat nilai IPM maka tingkat kemiskinan juga akan menurun. Nilai elastisitas IPM sebesar -5,041 yang berarti setiap kenaikan 1 indeks IPM akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 5,041 persen. c. Pengaruh pengangguran terhadap kemiskinan Pengangguran adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak (BPS 2013). Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkata kerja atau pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada. Pengangguran sering kali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang, sehingga menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah sosial lainnya. Beberapa studi sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara pengangguran dengan tingkat kemiskinan. Upaya menurunkan tingkat pengangguran dan menurunkan tingkat kemiskinan adalah sama pentingnya (Saunder 2002). Secara teori jika masyarakat tidak menganggur berarti mempunyai pekerjaan dan pengahasilan, dan penghasilan yang dimiliki dari bekerja diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Jika kebutuhan hidup terpenuhi, maka masyarakat tidak akan miskin. Sehingga 58 dapat disimpulkan dengan tingkat pengangguran rendah (kesempatan kerja tinggi) maka tingkat kemiskinan juga akan rendah. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, maka laju pertumbuhan angkatan kerja juga tinggi. Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2014 sekitar 125,32 juta jiwa. Besarnya jumlah dan pertumbuhan angkatan kerja menuntut kesempatan kerja yang lebih besar dan di pihak lain menuntut pembinaan angkatan kerja agar mampu menghasilkan keluaran yang lebih tinggi sebagai prasyarat untuk menuju tahap tinggal landas. Ditingkat regional sektor non riil tumbuh sangat cepat sedangkan sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja malah tumbuh lambat (BPS 2014). Kondisi ini juga berlaku di daerah tertinggal, sektor riil tumbuh sangat lambat sehingga daya serap tenaga kerja menjadi rendah, ditambah dengan kenaikan harga BBM semakin menurunkan daya saing sektor riil dan semakin menurunkan kemampuan daya beli masyarakat. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel jumlah pengangguran berkorelasi positif terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini berarti bahwa semakin meningkat tingkat pengangguran, maka tingkat kemiskinan juga semakin meningkat. Nilai elastisitas pengangguran sebesar 0,090 yang berarti setiap kenaikan jumlah pengangguran sebesar 1 persen, akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,090 persen. d. Pengaruh indeks gini terhadap kemiskinan Indeks gini atau koefisien gini adalah salah satu ukuran umum untuk mengukur distribusi pendapatan atau kekayaan yang menunjukkan seberapa merata pendapatan dan kekayaan didistrubusikan diantara populasi. Indeks gini memiliki kisaran 0 sampai 1. Nilai mendekati 0 menunjukkan distribusi yang sangat merata dan nilai yang mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang sangat tinggi. Selama 10 tahun terakhir ketimpangan pendapatan di Indonesia meningkat cukup pesat. Koefisien Gini indonesia tahun 2013 adalah 0.413, angka ini mencerminkan tingginya tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia. Tren kenaikan ketimpangan pendapatan terjadi baik di level nasional, perkotaan, pedesaan, juga di semua propinsi di Indonesia. Di perkotaan, ketimpangan cenderung lebih tinggi daripada di pedesaan, khususnya ketimpangan yang terjadi di kota-kota besar. Beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan ketimpangan pendapatan antara lain adalah: (1) ketidakberpihakan anggaran pemerintah dalam melakukan redistribusi pendapatan sesuai fungsi hakikinya, anggaran pemerintah belum berpihak kepada golongan berpendapatan rendah, (2) kenaikan harga internasional dari komoditas ekspor utama Indonesia seperti komoditas perkebunan dan sumber daya alam (misalnya batu bara) yang terjadi pada 10 tahun terakhir. keuntungan dari sektor-sektor ini umumnya lebih dinikmati golongan pemilik modal karena sifatnya yang padat modal atau menguntungkan pemilik lahan besar, (3) ketidakberpihakan regulasi ketenagakerjaan yang cenderung hanya menguntungkan kaum pekerja formal yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada pekerja informal plus mereka yang belum bekerja. 59 Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel indeks gini berkorelasi positif terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini berarti bahwa semakin meningkat tingkat ketimpangan, maka tingkat kemiskinan juga semakin meningkat. Nilai elastisitas indeks gini sebesar 0,138 yang berarti setiap kenaikan 1 indeks gini, akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,138 persen 60 5. SIMPULAN SARAN Simpulan 1. Penurunan tingkat kemiskinan di KTI lebih besar dibandingkan dengan penurunan tingkat kemiskinan di KBI. Penurunan kemiskinan di KTI 3 persen dan di KBI 1 persen. Pertumbuhan ekonomi paling tinggi untuk daerah tertinggal KBI adalah provinsi Jawa Timur dengan rata-rata pertumbuhan 6,12 persen, sedangkan untuk KTI provinsi dengan ratarata pertumbuhan paling besar adalah Provinsi Papua Barat dengan 27,12 persen. Persentase bantuan sosial paling besar diberikan untuk bantuan infrastruktur, diikuti dengan bantuan pengembangan daerah khusus, bantuan ekonomi dan dunia usaha, bantuan sumberdaya manusia, dan bantuan kelembagaan sosial dan budaya. 2. Bantuan sosial berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal, bantuan yang signifikan mempengaruhi adalah bantuan infrastruktur, dan bansos kelembagaan sosial. 3. Terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan Saran 1. Dalam rangka meningkatkan PDRB dan mempercepat penurunan kemiskinan, pemerintah melalui kementerian PDT perlu meningkatkan pemberian bantuan sosial kepada daerah tertinggal khususnya bantuan infrastruktur dan bantuan kelembagaan sosial 2. Pemerintah perlu melakukan evaluasi terkait jenis-jenis serta mekanisme pemberian bantuan sosial yang diberikan kepada daerah tertinggal, khususnya bantuan SDM, bantuan ekonomi dan dunia usaha, dan bantuan pengembangan daerah khusus. perlu dilakukan untuk mempercepat 3. Peningkatan kualitas SDM penurunan kemiskinan khususnya melalui bidang pendidikan. 4. Pada penelitian ini variabel inflasi tidak dimasukkan, padahal variabel inflasi sangat berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Tidak dimasukkannya variabel inflasi karena data inflasi untuk Kabupaten tertinggal tidak tersedia, data inflasi hanya tersedia untuk beberapa kota besar di Indonesia. Dengan demikian pada penelitian yang akan datang penggunaan variabel inflasi sebaiknya dilakukan. 61 DAFTAR PUSTAKA Alexion C, 2009. Government Spending and Economic Growth: Econometric Evidence from South Eastern Europe (SEE). Journal of Economic and Social Research 11 (1): 2009, 1-16 Akita T, Sjahbana AS. 2002. Regional Income Inequality in Indonesia and The Initial Impact of The Economic Crisis. Bulletin of Indonesia Economic Studies.Vol.38, No.2. Antwi S, Ebenezer M, and Xicang Z. 2013. Impact of Macroeconomic Factors on Economic Growth in Ghana: a Cointegration Analysis. International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Science.Volume , No 1, januari 2013, 35-45. Aziz IJ. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota menurut Subsektor Tahun 2007-2012. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Distribusi Nilai PDRB Menurut Pulau Tahun 2008-2012. Jakarta: BPS [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2014. Jakarta: BPS Bataineh, Mohammed I. 2012. The impact of Government Expenditures on Economic Growth in Jordan. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business. October, Vol. 4, No. 6 Bellinger WK. 2007. The Economics Analysis of Public Policy. Routledge: Oxon Boa H. 2008. Analisis Model Kemiskinan Perdesaan Di Indonesia. EPP.Vol.5.No.1.2008:16-22 Canning D dan Pedroni P. 1999.Infrastructure and Long Run Economic Growth. World Bank and USAID CAER II Working Paper. Capello R. 2007. Regional Economics. New York (US): Routledge. Eddy, Agung. Priyo Utomo. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Secara Makro di 15 provinsi Tahun 2007. Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 6, Nomor 2, September 2010, 89-100. Eleonora, Muhammad. Arip, Syaman Sholeh. Human Development and Poverty In Papua Provinces. OIDA International Journal Of Sustainable Development. Vol (06) Page 51- 62.2013 Ernita, Dewi. Syamsul, Amar. dan Efrizal, Syofyan. 2013. Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dan Konsumsi Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi.Volume 1, Nomor 2, Januari 2013, 176-193. Ghali, Khalifa H. 1997. Government Spending and Economic Growth in Saudi Arabia.Journal of Economic Development. Volume 22, number 2, December 1997. Guiga, Housseima. and Jaleleddine, Ben Rejeb. 2012. Poverty, growth and inequality in Developing Countries. International Journal of Economics and Financial Issues. Vol.2, no 4, 2012, pp. 470-479. 62 Indra, Van Wiguna. Analisis Pengaruh PDRB, Pendidikan dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2010. Jurnal Ilmiah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.2013 Inibehe, Inibeye. and Nneoyi I.Ofem. Cointegration inferences on issues of poverty and population growth in Nigeria.Jurnal of Development and Agricultural Economics.Vol.5(7) pp.277-283,July 2013 Iulia, Andreea Rosoiu. The Relation Between Unemployment Rate And Economic Growth In Usa. International Journal Of Economic Practices And Theories.Vol (4) No.2 2014 Jonaidi. 2012. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia.Jurnal Kajian Ekonomi.Volume 1 Nomor 1 April 2012. Rasidin, karo-karo sitepu. dan Bonar, M Sinaga, 2004. Dampak Investasi Sumber Daya Manusia Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia: Pendekatan Model Computable General Equilibrium. Klasen S dan Lawson D. 2007. The Impact of Population Growth on Economic Growth and Poverty Reduction in Uganda.Göttingen: George August University. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Draft Pedoman Umum Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Khusus (P2DTK). Jakarta.2006 Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2008. Arah Kebijakan, Program dan Kegiatan Bidang Peningkatan Infrastruktur di Daerah Tertinggal. Workshop Peran PV dalam Penyediaan Energi Listrik di Indonesia. Jakarta: Kementrian PDT. Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2013. Bantuan Sosial/Stimulan Kabupaten Tertinggal, Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Jakarta: Kementrian PDT. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional 2014. Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014. Jakarta.Bappenas Lembaga Pertahanan Nasional.Optimalisasi Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Di Papua.Jurnal Kajian Lemhannas. Edisi 16. 2013 Mankiw NG. 2007. Makroekonomi. Edisi keenam. Jakarta: Erlangga. Maria, Ana Popa. 2012. The Impact of Social Factors on Economic Growth: Empirical Evidence for Rumania and European Union Countries. Romanian Journal of Fiscal Policy. Volume 3, No 2, December 2012 (5), 1-16 Martha, Ignatia Hendrati. dan Hera, Aprilianti. 2009. Analisis Faktor Ekonomi Yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan Pada Saat Krisis di Kota Surabaya. Jurnal Riset Ekonomi dan Bisnis Vol.9 No. 1 Maret 2009. Mehmood, Rasyid and Sara, Sadiq. The Relationship between Government Expenditure and Poverty: A Cointegration Anlysis. Romanian Journal of Fiscal Policy. Volume 1, Issue 1, July-December 2010, Pages 29-37. 63 Meier G.M (1989).Leading Issues In Economic Development.Oxford.New York Montalvo, Jose G. and Martin, Ravallion.The Pattern of Growth and Poverty Reduction in China.Journal of comparative Economics 38 (2010) 2-16. Mulyana N. 2009. Pengembangan Masyarakat Sebagai Pendekatan Pengembangan Kawasan Perdesaan.[Tesis]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. Muritala, Taiwo and Abayomi, Taiwo. 2011. Government Expenditure and Economic Development: Empirical Evidence from Nigeria. MPRA Paper.No. 37293, posted 11. March 2012. Najid, Muhammad. Muhammad, Farhat Hayat.The Impact Of Trade Liberalization,Population Growth and Income Inequality On Poverty:A Case Study Of Pakistan. Jurnal Of Economic,Bussiness and Ict. Vol (5) Page 31-33.2012 Nia, Ajeng Indriyani. 2008. Pengaruh Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) Terhadap Pendapatan Usaha dan Kemiskinan Rumah Tangga (Studi Kasus di Kelurahan Pasir Mulya, Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Ogawa N dan Suits DB. 1981. Lessons on Population and Economic Change, From the Japanesse Meiji Experience. NUPRI Research Paper Series 2. Tokyo. Patricia, Chude. and Chude, Daniel Izuchukwu. 2013. Impact of Government Expenditure on Economic Growth in Nigeria.International Journal of Business and Mangement Review. Vol. 1, No. 4, pp 64-71, December 2013. Pravitasari AE 2009. Dinamika Perubahan Disparitas Regional di Pulau Jawa Sebelum dan Setelah Kebijakan Otonomi Daerah.[Thesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Priyo, Slamet Maemujiono. 2014. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan dan Strategi Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Brebes Tahun 2009-2011.Economics Development Analysis Journal: 3 (1) 2014 Ratiza dan Sardjito. Pengembangan Komoditas Unggulan Pertanian Dengan Konsep Agribisnis Di Kabupaten Pamekasan. Jurnal Teknik Pomits. Vol2.No2.2013. Saunder. The Direct and Indirect Effect Of Unemployment On Poverty and Inequality. SPRC Discussion Paper 118:1-31 Sari. 2011. Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur Terhadap Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal.[Tesis] Bogor: Institut Pertanian Bogor. Savas. The Relationship Between Population And Economic Growth:Empirical Evidence From The Central Asian Economies. OAKA International Journal. Vol(3) Page 161183.2008 Seetanah. Ramessur. Rojid. 2009. Does Infrastructure Alleviates Poverty In Developing Countries.International Journal of Applied Econometrics and Quantitative Study. 64 Hermanto, Siregar. Dwi, Wahyuniarti. 2006. Dampak Pertumbuhan EkonomiTerhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. Institut Pertanian Bogor Sukmaraga. 2011. Analisis Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia,PDRB Perkapita, dan Jumlah Pengangguran Terhadap Jumlah Penduduk Miskin Di Provinsi Jawa Tengah.[Skripsi] Semarang : Universitas Diponegoro. Suliswanto. Pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Terhadap Angka Kemiskinan Di Indonesia. Jurnal ekonomi Pembangunan.Vol 8 N0.2 2010 Supranto J. 2000, Statistik Teori dan Aplikasi.Edisi Keenam.Jilid 1. Jakarta:Erlangga Sjafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat.PrismaLP3ES, No 3 Tahun XXVI. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang (ID): Baduose Media. Taufan, Maulana Permana. Hasbi, Yasin. Agus, Rusgiyono. 2013. Analisis Faktor- Kemiskinan di Kabupaten Wonosobo dengan Pendekatan Geographically Weighted Regression. Jurnal Gaussian,Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 59-68 Ukpere, W.I Slabbert. A Relationship Between Current Globalization, Unemployment, Inequality, And Poverty. International Journal Of Social Economic.Vol(36) Page 37-46 Dicky, Wahyudi. dan Tri, Wahyu Rejekingsih.2013. Analisis Kemiskinan DiJawaTengah.http://ejournalS1.undip.ac.id/index.php/jme/article/vi ew/1914 65 Lampiran 1 Dinamika kemiskinan menurut persentase penduduk miskin (2010-2013) No Provinsi Jumlah Kabupaeten Rata-Rata Kemiskinan 2010-2013 (%) 1 NAD 12 -6 2 Sumatera Utara 6 14 3 Sumatera Barat 8 -9 4 Sumatera Selatan 7 -4 5 Bengkulu 6 -1 6 Lampung 4 -1 7 Bangka Belitung 1 -7 8 Kepulauan Riau 2 21 9 Jawa Barat 2 -8 10 Jawa Timur 5 -7 11 Banten 2 -5 12 NTB 8 -1 13 NTT 20 -3 14 Kalimantan Barat 10 -4 15 Kalimantan Tengah 1 -3 16 Kalimantan Selatan 2 -9 17 Kalimantan Timur 3 -11 18 Sulawesi Utara 3 8 19 Sulawesi Tengah 10 -7 20 Sulawesi Selatan 4 2 21 Sulawesi Tenggara 9 -4 22 Gorontalo 3 -1 23 Sulawesi Barat 5 -5 24 Maluku 8 -2 25 Maluku Utara 7 -7 26 Papua Barat 8 6 27 Papua 27 -2 Total 183 Total Rata-Rata Kemiskinan -12% -1% 44% -3% 66 Lampiran 2 Dinamika pertumbuhan ekonomi menurut pdrb atas harga konstan tahun 2010-2013 No Provinsi Jumlah Kabupaeten Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi 20102013 (%) 1 Nad 12 4.37 2 Sumatera Utara 6 4.04 3 Sumatera Barat 8 6.05 4 Sumatera Selatan 7 4.75 5 Bengkulu 6 5.83 6 Lampung 4 4.06 7 Bangka Belitung 1 5.55 8 Kepulauan Riau 2 3.22 9 Jawa Barat 2 4.72 10 Jawa Timur 5 6.12 11 Banten 2 5.69 12 NTB 8 2.03 13 NTT 20 3.74 14 Kalimantan Barat 10 5.87 15 Kalimantan Tengah 1 6.28 16 Kalimantan Selatan 2 4.96 17 Kalimantan Timur 3 6.25 18 Sulawesi Utara 3 5.82 19 Sulawesi Tengah 10 6.85 20 Sulawesi Selatan 4 8.07 21 Sulawesi Tenggara 9 7.86 22 Gorontalo 3 7.47 23 Sulawesi Barat 5 7.74 24 Maluku 8 5.79 25 Maluku Utara 7 5.30 26 Papua Barat 8 27.12 27 Papua 27 -0.34 Total 183 Total Pertumbuhan Rata-Rata Pertumbuhan 54.40% 4.95% 110.82% 6.93% 67 Lampiran 3 Dinamika bantuan sosial pengembangan sumberdaya tahun 2010-2013 No Provinsi Jumlah Kabupaeten Jumlah Bansos SDM (2010-2013) Persentase 1 NAD 12 2,050,000,000 3.19 2 Sumatera Utara 6 2,135,000,000 3.32 3 Sumatera Barat 8 1,610,000,000 2.51 4 Sumatera Selatan 7 949,625,000 1.48 5 Bengkulu 6 3,462,160,000 5.39 6 Lampung 4 690,000,000 1.07 7 Bangka Belitung 1 0 0.00 8 Kepulauan Riau 2 785,000,000 1.22 9 Jawa Barat 2 385,000,000 0.60 10 Jawa Timur 5 980,000,000 1.53 11 Banten 2 250,000,000 0.39 12 NTB 8 2,510,000,000 3.91 13 NTT 20 8,656,785,000 13.48 14 Kalimantan Barat 10 4,120,000,000 6.41 15 Kalimantan Tengah 1 0 0.00 16 Kalimantan Selatan 2 400,000,000 0.62 17 Kalimantan Timur 3 275,000,000 0.43 18 Sulawesi Utara 3 2,104,625,000 3.28 19 Sulawesi Tengah 10 0 0.00 20 Sulawesi Selatan 4 989,625,000 1.54 21 Sulawesi Tenggara 9 1,057,100,000 1.65 22 Gorontalo 3 0 0.00 23 Sulawesi Barat 5 6,680,000,000 10.40 24 Maluku 8 2,900,000,000 4.51 25 Maluku Utara 7 6,070,000,000 9.45 26 Papua Barat 8 0 0.00 27 Papua 27 15,175,000,000 23.62 Total 183 64,234,920,000 100 68 Lampiran 4 Dinamika bantuan sosial peningkatan infrastruktur 2010-2013 No Provinsi tahun Jumlah Kabupaeten Jumlah Bansos Infrastruktur (2010-2013) Persentase 1 NAD 12 4,360,000,000 0.85 2 Sumatera Utara 6 12,910,000,000 2.53 3 Sumatera Barat 8 19,086,800,000 3.74 4 Sumatera Selatan 7 16,823,000,000 3.30 5 Bengkulu 6 12,941,980,000 2.53 6 Lampung 4 17,018,670,000 3.33 7 Bangka Belitung 1 2,380,000,000 0.47 8 Kepulauan Riau 2 7,245,000,000 1.42 9 Jawa Barat 2 20,462,619,000 4.01 10 Jawa Timur 5 22,046,790,000 4.32 11 Banten 2 15,040,644,000 2.95 12 NTB 8 16,135,785,000 3.16 13 NTT 20 61,115,206,000 11.97 14 Kalimantan Barat 10 16,174,203,000 3.17 15 Kalimantan Tengah 1 863,000,000 0.17 16 Kalimantan Selatan 2 4,224,000,000 0.83 17 Kalimantan Timur 3 6,661,795,000 1.30 18 Sulawesi Utara 3 28,805,200,000 5.64 19 Sulawesi Tengah 10 40,714,128,000 7.97 20 Sulawesi Selatan 4 18,318,375,000 3.59 21 Sulawesi Tenggara 9 20,740,640,000 4.06 22 Gorontalo 3 11,841,000,000 2.32 23 Sulawesi Barat 5 12,900,400,000 2.53 24 Maluku 8 30,584,622,000 5.99 25 Maluku Utara 7 24,086,690,000 4.72 26 Papua Barat 8 30,511,040,000 5.98 27 Papua 27 36,567,200,000 7.16 Total 183 510,558,787,000 100 69 Lampiran 5 Dinamika bantuan sosial pembinaan ekonomi dan dunia usaha tahun 2010-2013 1 NAD 12 Jumlah Bansos pembinaan ekonomi dan dunia usaha (2010-2013) 1,340,000,000 2 Sumatera Utara 6 13,500,000,000 4.97 3 Sumatera Barat 8 5,105,000,000 1.88 4 Sumatera Selatan 7 19,110,000,000 7.04 5 Bengkulu 6 8,135,000,000 3.00 6 Lampung 4 13,825,000,000 5.09 7 Bangka Belitung 1 250,000,000 0.09 8 Kepulauan Riau 2 0 0.00 9 Jawa Barat 2 14,800,000,000 5.45 10 Jawa Timur 5 12,810,000,000 4.72 11 Banten 2 13,360,000,000 4.92 12 NTB 8 23,067,667,000 8.50 13 NTT 20 34,681,675,000 12.78 14 Kalimantan Barat 10 1,250,000,000 0.46 15 Kalimantan Tengah 1 0 0.00 16 Kalimantan Selatan 2 660,000,000 0.24 17 Kalimantan Timur 3 4,000,000,000 1.47 18 Sulawesi Utara 3 7,532,736,000 2.78 19 Sulawesi Tengah 10 30,041,852,000 11.07 20 Sulawesi Selatan 4 9,534,000,000 3.51 21 Sulawesi Tenggara 9 9,887,284,000 3.64 22 Gorontalo 3 7,733,173,500 2.85 23 Sulawesi Barat 5 4,800,000,000 1.77 24 Maluku 8 22,010,864,000 8.11 25 Maluku Utara 7 7,320,000,000 2.70 26 Papua Barat 8 2,720,070,000 1.00 27 Papua 27 3,897,000,000 1.44 Total 183 271,371,321,500 100 No Provinsi Jumlah Kabupaten Persentase 0.49 70 Lampiran 6 Dinamika bantuan sosial pengembangan lembaga sosial dan budaya tahun 2010-2013 1 NAD 12 Jumlah Bansos lembaga sosial dan budaya (20102013) 1,372,410,000 2 Sumatera Utara 6 2,694,080,000 4.36 3 Sumatera Barat 8 3,240,310,000 5.24 4 Sumatera Selatan 7 4,147,690,000 6.71 5 Bengkulu 6 3,430,740,000 5.55 6 Lampung 4 2,191,680,000 3.55 7 Bangka Belitung 1 200,000,000 0.32 8 Kepulauan Riau 2 490,000,000 0.79 9 Jawa Barat 2 2,438,280,000 3.94 10 Jawa Timur 5 3,832,790,000 6.20 11 Banten 2 2,149,370,000 3.48 12 NTB 8 2,964,040,000 4.80 13 NTT 20 7,186,050,000 11.63 14 Kalimantan Barat 10 4,946,070,000 8.00 15 Kalimantan Tengah 1 140,000,000 0.23 16 Kalimantan Selatan 2 500,000,000 0.81 17 Kalimantan Timur 3 430,000,000 0.70 18 Sulawesi Utara 3 1,399,770,000 2.26 19 Sulawesi Tengah 10 1,750,000,000 2.83 20 Sulawesi Selatan 4 2,498,890,000 4.04 21 Sulawesi Tenggara 9 4,222,070,000 6.83 22 Gorontalo 3 900,000,000 1.46 23 Sulawesi Barat 5 1,210,000,000 1.96 24 Maluku 8 1,724,210,000 2.79 25 Maluku Utara 7 2,270,750,000 3.67 26 Papua Barat 8 1,150,000,000 1.86 27 Papua 27 2,330,000,000 3.77 Total 183 61,809,200,000 100 No Provinsi Jumlah Kabupaten Persentase 2.22 71 Lampiran 7 Dinamika bantuan sosial pengembangan daerah khusus tahun 2010-2013 1 NAD 12 Jumlah Bansos pengembangan daerah khusus (2010-2013) 6,840,000,000 2 Sumatera Utara 6 4,550,000,000 0.92 3 Sumatera Barat 8 8,530,000,000 1.73 4 Sumatera Selatan 7 6,600,000,000 1.34 5 Bengkulu 6 5,040,000,000 1.02 6 Lampung 4 7,300,000,000 1.48 7 Bangka Belitung 1 1,500,000,000 0.30 8 Kepulauan Riau 2 8,500,000,000 1.72 9 Jawa Barat 2 6,450,000,000 1.30 10 Jawa Timur 5 3,800,000,000 0.77 11 Banten 2 4,200,000,000 0.85 12 NTB 8 27,832,000,000 5.63 13 NTT 20 91,146,125,000 18.44 14 Kalimantan Barat 10 38,220,000,000 7.73 15 Kalimantan Tengah 1 0 0.00 16 Kalimantan Selatan 2 0 0.00 17 Kalimantan Timur 3 13,100,000,000 2.65 18 Sulawesi Utara 3 14,800,000,000 2.99 19 Sulawesi Tengah 10 16,940,000,000 3.43 20 Sulawesi Selatan 4 1,100,000,000 0.22 21 Sulawesi Tenggara 9 19,940,000,000 4.03 22 Gorontalo 3 3,240,000,000 0.66 23 Sulawesi Barat 5 1,490,000,000 0.30 24 Maluku 8 36,575,000,000 7.40 25 Maluku Utara 7 42,500,000,000 8.60 26 Papua Barat 8 30,525,000,000 6.18 27 Papua 27 93,593,000,000 18.93 Total 183 494,311,125,000 100 No Provinsi Jumlah Kabupaten Persentase 1.38 72 Lampiran 8 Uji identifikasi model persamaan struktural Identifikasi menggunakan kondisi orde (Gujarati 2012) 1. (K-k) = m-1 exactly identified (K-k) > m-1 overidentified 2. (M-m) + (K-k) = M-1 (M-m) + (K-k) ≥ M-1 exactly identified overidentified Persamaan (K-k) (m-1) Hasil 1 (satu) 9-7=2 1-1=0 Overidentified 2 (dua) 9-2=7 1-1=0 Overidentified 73 Lampiran 9 Uji asumsi klasik model pertumbuhan ekonomi Collinearity Statistics Model t Sig. Tolerance VIF b.sumberdaya -.580 .562 .984 1.016 b.infrastruktur -1.826 .168 .830 1.205 b.ekonomi -.178 .858 .843 1.186 b.sosial 1.794 .273 .797 1.255 b.khusus 2.706 .207 .990 1.010 penduduk 2.756 .306 .759 1.317 lagpdrb 8.127 .400 .998 1.002 (Constant) a. Uji Heteroskedastisitas Pada model ini tidak terjadi heteroskedastisitas dimana dari hasil uji didapat nilai sig untuk masing-masing variabel > 0.05 b. Uji Multikolinearitas Pada model ini tidak terjadi multikolinaeritas dimana dari hasil uji didapat nilai Tolerance >0.10 dan VIF < 10 untuk masing-masing variabel 74 Lampiran 10 Uji Asumsi Klasik Untuk Model Kemiskinan Collinearity Statistics Model t Sig. Tolerance VIF pengangguran 4.435 .452 .823 1.215 pdrb 3.691 .361 .995 1.005 ipm -3.216 .169 .823 1.215 (Constant) 1 a. Uji Heteroskedastisitas Dari hasil uji asumsi tidak terdapat heteroskedastisitas dimana nilai sig untuk masing-masing variabel > 0.10 b. Uji Multikolinearitas Dari hasil uji asumsi tidak terdapat multikolinearitas dimana nilai Tolerance > 0.10 dan VIF < 10 untuk masing-masing variabel 75 Lampiran 11 Uji validasi model simultan The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= VALIDASI OUT= B Solution Summary Variables Solved Solution Range First Last Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations 2 tahun 2010 2013 NEWTON 1E-8 0 1 3 1 Observations Processed Read Solved Failed 4 3 1 Variables Solved For kemiskinan pdrb The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Solution Range tahun = 2010 To 2013 Descriptive Statistics Variable N Obs kemiskinan 3 pdrb 3 N 3 3 Actual Mean Std Dev 18.4333 0.6028 287.7 14.2251 Mean Predicted Std Dev 16.5569 760.3 0.6115 43.4832 Label kemiskinan pdrb 76 Statistics of fit Mean Error Mean % Error Mean Abs Error Variable R-Square N kemiskinan -13.55 pdrb -1661 3 -1.8765 -10.1875 1.8765 3 472.6 472.6 164.3 Mean Abs % Error RMS RMS% Error Error 10.1875 1.8772 10.1955 164.3 473.4 164.5 Theil Forecast Error Statistics Corr Coef Variable U MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar N MSE (R) (UM) kemiskinan 3 3.5239 0.99 1.00 0.0536 pdrb 3 224143 0.76 1.00 0.4513 (UR) (UD) (US) Inequality (UC) U1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.1018 0.00 0.00 0.00 0.00 1.6441 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U Kemiskinan 2 0.0103 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.1100 0.6102 pdrb 2 2.8538 -1.00 1.00 0.00 -0.00 0.00 0.00 33.1967 0.9434 77 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 30 Desember 1988 dari Ayahanda Syafruddin dan Ibunda Refni Yetti. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga orang bersaudara. Tahun 2007 penulis diterima di Universitas Andalas (UNAND) pada Program Studi Agribinis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2013 penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan dan Pembangunan Wilayah Perdesaan (PWD) pada Program Pascasarjana IPB.