BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Iklan Dalam Proses Komunikasi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Iklan Dalam Proses Komunikasi
iklan secara komprehensif adalah “semua bentuk aktivitas untuk
menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara
nonpersonal yang dibayar oleh sponsor tertentu…” Secara umum,iklan
berwujud penyajian informasi nonpersonal tentang suatu produk,
merek, perusahaan, atau toko yang dijalankan dengan kompensasi biaya
tertentu. Dengan demikian, iklan merupakan suatu proses komunikasi
yang bertujuan untuk membujuk atau menggiring orang untuk mengambil
tindakan yang menguntungkan bagi p ihak pembuat iklan.
Menurut KBBI iklan adalah4
“Berita atau pesan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai
agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan. Dari definisi d iatas,
terdapat beberapa komponen utama dalam sebuah iklan yakni mendorong
dan membujuk dengan kata lain iklan harus memiliki sifat persuasif”
Atau iklan dapat dibentuk sebagai segala bentuk pesan tentang
suatu produk yang disampaikan suatu media dan dibiayai oleh pemerkasa
yang d ikenal serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat.
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka,
2005). Cet. Ke-3, hal.421
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
Dalam komunikasi periklanan, tidak hanya menggunakan bahasa
sebagai alat, tetapi juga menggunakan alat komunikasi lainnya seperti
gambar, warna, dan bunyi. Iklan disampaikan melalui dua saluran media
massa, yaitu media cetak (surat kabar, majalah, brosur billboard dll) dan
media elektronik (radio,televisi dan film). Pengirim pesan adalah penjual
produk sedangkan penerimanya adalah khalayak ramai yang menjad i
sasaran.5
Iklan juga dapat dipahami sebagai aktifitas-aktifitas penyampainya
pesan – pesan visual atau oral kepada khalayak, dengan maksud
menginformasikan atau mempengaruhi mereka untuk membeli barang –
barang dan jasa – jasa yang diproduksi, atau untuk melakukan tindakan –
tindakan ekonomi terhadap idea – idea, institusi atau pribadi yang terlibat
dalam iklan tersebut.6
Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu iklan adalah sebagai acara
mengkomunikasikan suatu produk agar dapat diketahui oleh khalayak
ramai atau para sasaran konsumennya.
Media periklanan merupakan simbolik yang dapat digunakan untuk
menganalisis ideologi, seperti yang dijelaskan oleh James Lull (1996 :6)7
periklanan bukan hanya sekedar barang, jasa atau ide yang dijual, namun
lebih kepada penjualan sistem pembentukan ide atau gagasan berlapis dan
5
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung:Rosdakarya,2003). Hal 116
Dalam Jeremias Jena, “Etika dalam Iklan”. Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, (No.3,
1997) : 47
7
Fowles, J (1996). Advertisingand Popular Culture. London:Sage Publication.
6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
terintegrasi yang mencangkup interpretasi dan pro yeksi dari citra produk
yang saling bergantung, mengidealkan konsumsi untuk mendapatkan
manfaat dari produk yang diiklankan sehingga terjadi suatu kontruksi
sosial dan masyarakat terhegemoni tayangan iklan ditelevisi dan
ditanamkan untuk menjadi sesuatu kenyataan yang telah dikontruksi.
Jenis-jenis iklan kini dibagi menjadi 3 kategori yaitu ATL (Above
The Line) yang biasanya digunakan pada media massa seperti Televisi,
Radio dan media cetak. Kemudian BTL ( Bellow The Line) yang biasanya
digunakan di Billboard, brosur, Sales Pro motion dll. Dan kini terdapat
TTL (True The Line) atau kini lebih mengenalnya dengan Digital
marketing yaitu yang biasanya d igunakan pada media sosial media atau
media Internet.
Iklan yang paling banyak meraup massa adalah iklan Televisi.
Televisi sudah menjadi barang tidak asing lagi di Indonesia, khususnya d i
daerah ibu kota yang kebanyakan orang menganggap televisi bukan lagi
menjadi barang high involment, tetapi sudah menjadi barang kebutuhan
pokok, yang sudah pasti masyarakat akan meluangkan waktu nya untuk
menonton televisi walau hanya sebentar. Maka dari itu med ia televisi
masih menjadi media iklan yang efektif untuk para pengiklan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
2.2. Iklan dan Ideologi
Fetisis me Komoditas-Komoditas
Komoditas menurut Marx, interaksi manusia dengan alam dan para
aktor manusia memproduksi objek-objek yang mereka perlukan untuk
bertahan hidup. Objek-objek ini diproduksi untuk digunakan diri sendiri
atau orang lain di lingkungan terdekat, inilah yang disebut nilai-guna
komoditas. Berakar dari pandangan materialisme Marx, komod itas
memiliki fokus terhadap aktivitas-aktivitas produktif para aktor. Dalam
kapitalisme komoditas tidak hanya memiliki nilai guna melaikan juga
nilai-tukar.
Nilai-tukar diartikan bukan hanya digunakan secara langsung
melainkan dipertukarkan dipasar demi uang atau demi objek-objek yang
lain. Sedangkan nilai- guna dikaitkan dengan dengan relasi kuat antara
kebutuhan-kebutuhan manusia dengan objek aktual yang bisa memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Sedangkan di era kap italisme komoditas menjadi suatu realitas
eksternal yang independen, sehingga menjadi realitas eksternal yang mistis
(Marx,1867/1967:35).
Fetis (Fetish)
adalah setiap objek yang didalamnya dianggap
bersemayam ruh atau kekuatan tertentu, sehingga menimbulkan pengaruh
magis dan day pesona (dalam antropologi dan rangsangan seksual tertentu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
(dalam seksualitas)8. Sedangkan Fetisisme ialah sikap yang menganggap
adanya kekuatan, ruh atau daya pesona tertentu yang bersemayam pada
objek tertentu.9
Berbeda dari Freud yang memberikan makna fetish dalam arti
seksual. Marx merujuk pada cara-cara dimana penganut agama tertentu
seperti kaum zuni memahat patung dan kemudian menyembahnya, dan
inilah yang dimaksud Marx dengan Fetish, sesuatu yang kita buat untuk
diri kita sendiri, akan tetapi sekarang disembah, seolah-olah dia adalah
dewa.10
Sedangkan yang menjadi topik pada penelitian ini ialah fetisisme
yang mengarah kepada fetisime komoditi yaitu suatu sikap yang
menganggap adanya kekuatan, daya pesona atau makna sosial tertentu
yang dimiliki oleh seseorang yang memiliki sebuah produk (komoditi)
tertentu.11
Dalam diskusi Marx tentang komoditas dan fetisismenya
membawa kita mulai dari tinkat aktor nya sampai tingkat struktur sosial
secara luas. Fetisisme komod itas memberi ekonomi suatu realitas objek
independen yang berada diluar aktor paksaan terhadapnya. Fetisisme
komoditas kemudian diterjemahkan menjadi konsep reifikasi (Lukacs,
1992/1968; sherlock,1997).
8
Kasiyan.Manipulasi dan dehumanisasi perempuan dalam iklan. Yogyakarta:Ombak.2008.
ibid
10
Ritzer, George, Sosiological Theory (Yogyakarta:Kreasi Wacana,2008) hlm:60
11
Kasiyan. 2008. Manipulasi dan dehumanisasi perempuan dalam iklan. Yogyakarta:Ombak
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
Reifikasi dapat diartikan sebagai penyesuatuan atau bisa dikatakan sebagai
sesuatu yang dipercayai bahwa secara manusiawi bentuk-bentuk sosial yang
terbentuk merupakan sesuatu
yang alami,
universal dan absolut yang
mengakibatkan bentuk-bentuk sosial tersebut menjadi nyata.
2.3. Semiotika Roland Barthes
Semiotik atau ada yang menyebutnya dengan semiotika berasal
dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion diturunkan
dari kedokteran hipokratik atau askp lepiadik dengan perhatiannya
terhadap simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004:95)12.
Roland
Barthes,
dikenal
sebgai
tokoh
terkemuka
dari
strukturalisme, Barthes juga merupakan pengembang dari konsep semiotik
Saussure. Yang dimana konsep yang dikenal Sauusure lebih kepada teori
lingusistik, namun Barthes bertolok belakang dengan prinsip-prinsip yang
digunakan Saussure. Barthes menggunakan konsep sintagmatikdan
paragdimatik untuk mnegkaji gejala budaya, seperti mode busana,lukisan,
film, makanan dll.
Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan
manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai
tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. 13 Ro land Barthes
12
13
Sobur,Alex, Analisis Teks Media (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2004)
Hoed,Benny H. 2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, hlm.3 Depok: Komunikatas Bambu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya penandanya adalah
“ekspresi” (e) tanda, Sedangkan petanda adalah “isi”. Jadi, sesuai dengan
de Sausuure, tanda adalah “relasi” (R) antara E dan C. Teori tersebut di
kenal dengan model E-R-C. Dari Barthes, denotasi disebut sebagai sistem
“pertama” atau “primer”. Pemakai tanda mengembangkan pemakaian
tanda kedua arah yang disebut Barthes sebagai sistem “kedua” atau
“skunder”. Contoh, makna “ tempat untuk narapidana”, selain kata
penjara, pemakai tanda juga dapat menggunakan hotel prodeo atau
kurungan.
Sedangkan pengembangan itu berproses ke arah C, yang terjad i
adalah pengembangan makna yang disebut konotasi. Konotasi merupakan
makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai keinginan, latar belakang
pengetahuan atau konvensi yang baru.
“Metabahasa”
Sekunder
E
“Konotasi”
C
”Denotasi”
E
E
Primer
E
C
C
C
Gambar 2.1.
Model Teori Metabahasa dan Kontasi Roland Barthes
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Denotasi”
16
Hoed menjelaskan, bila konotasi menjad i tetap, ia akan menjadi
mitos. Sedangkan jika menjadi mantap akan menjadi ideo logi. Pada
akhirnya, makna tidak lagi d irasakan oleh masyarakat sebagai hasil
konotasi.
Tekanan
Kesimpulannya
teori
Barthes
adalah
konotasi
dan
mitos.
ialah teori metabahasa dalam konotasi itu juga
berkembang ditangan pemakai tanda.
Lain hal yang dikemukan oleh Saussure, Roland Barthes
mengemukankan iklan dianalisis berdasarkan pesan yang dikandungnya
yaitu melalui pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam iklan), pesan
ikonik terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto iklan) dan pesan
ikonik tak terkodekan (denotasi yang muncul pada iklan).
Pada dasarnya aspek-aspek yang di kemukakan Barthes dapat
menjawab fakta dibalik realitas dalam gambar iklan. O leh karena itu,
tahap-tahap pembacaan konotasi d ijadikan sebagai kerangka operasional
untuk membaca gambar-gambar iklan.
Objek
GambarDenotasi
Efek/tiruan
Konotasi
Pose/Sikap
Mitos
Objek
Ideologi
Fotogenia
Sintaksi
Gambar 2.2
Kerangka me mbaca konotasi pada gambar
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Estetisisme
17
Berikut tahap-tahap pembacaan konotasi Roland Barthes:
1. Efek tiruan : pembaca atas rekayasa yang menggabungkan dua foto
terpisah sebagai upaya menginvertensi denotasi tanpa tedeng alingaling
2. Pose atau sikap: pembaca atas sikap badan atau pose subjek sebagai
petanda
3. Objek : pembacaan atas objek-objek dalam gambar yang merujuk pada
jejaring ide tertentuatau simbo l-simbol berkesan dalam masyarakat.
4. Fotogenia : pembacaan atas aspek-aspek teknis dalam produksi foto,
seperti pencahayaan dan hasil.
5. Estetisisme : pembacaan atas perubahan pengemasan gambar untuk
tujuan estetis tertentu hingga nilai spiritual bersifat eskstasi.
6. Sintaksis : pembacaan atas rangkaian foto-foto sebagai sebuah
kesatuan.14
Roland Barthes hadir sebagai tokoh post-Strukturalis dalam ilmu
semiotik dimana ia menjelaskan konsep kedua dengan sistem penanda
(signifier) dan petanda (signified) yang menjelaskan makna denotasi dan
konotasi (Piliang, 2003: 184)15.
14
Barthes, Roland. 2010. Imaji/musik/teks, hlm. 7-11. Yogyakarta: Jalansutra
Piliang, Yasraf Amir. 2006. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies atas matinya makna.
Yogyakarta. Jalasutra.
15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
Dalam kehidupan, pemakaian tanda tidak hanya memaknainya
sebagai denotasi yang disebut oleh Barthes sebagai sistem pertama, akan
tetapi juga terjadi pengembangan makna yang sering d isebut Bathes
sebagai konotasi (sistem kedua).
1. Konotasi
Kontasi merupakan makna baru yang diberikan oleh pemakaitanda
sesuai dengan keinginan,
atau
latar belakang yang ada dalam
masyarakatnya. Dengan kata lain, konotasi sering digunakan untuk
menjelaskan bagaimana gejala budaya memperoleh makna khusus dari
anggota masyarakatnya. Barthes menggunakan tanda sederhana dari tanda
glossematic. Ia mendefinisikan suatu sistem tanda yang terdiri dari
expression (E) , suatu penanda yang berkaitan dengan relation (R) dan
content (C). Seperti sistem tanda primer dapat menjadi element dari
sebuah sistem tanda yang lebih komprehensif. Jika tanda utama
dirumuskan (E1 R1 C1), maka dapat menjadi penanda dari sistem tanda
sekunder E2 (=E1 R1 C1). Dalam hal ini tanda utama adalah salah satu
tanda denotatif sedangkan tanda sekunder adalah bentuk dari tanda
konotatif semiotika, sebagai berikut.16
16
North, Winfried. Hanbook of Semiotic. Indianapolis : Indiana University Press. 1990. Hlm 310.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
(R2)
Tanda Sekunder:
(Konotasi)
Content 2
Expression 2
Expression Content
Tanda Primer
1
1
( Denotasi):
(R1)
Tabel 2.1
Dalam visual semiotik yang diungkapkan Barthes digunakan
teknik analisa “layering” yaitu pertama adalah layer denotasi (tahap
primer, analisa permukaan) dan yang kedua adalah layer konotasi (tahapan
sekunder dan analisa makna).
Dari peta
tanda
tersebut,
terlihat
bahwa
tanda denotatif
menggambarkan relasi antara penanda dan petanda. Akan tetapi pada saat
bersamaan pula tanda denotatif juga menjadi penanda denotatif. Jadi
makna konotatif tidak hanya sekedar memiliki makna tambahan namum
juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaanya.
2. Denotasi
Denotasi merupakan makna objektif, sedangkan konotasi sebagai
makna yang subjektif dan beragam. Meskipun berbeda, namun kedua
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
makna tersebut dapat disesuaikan dengan koteks yang ada. Contohnya,
jika dalam sistem tanda sekunder E2 adalah berwarna kuning makan C2
nya berarti ada yang meninggal. Namun dalam tanda primer E1 adalah
kuning maka C1 nya dapat diartikan sebagai warna. Dari konsep yang
berikan oleh Barthes, maka konotasi dapat d iartikan bervariatif,
dikarenakan tergantung dari orang yang meninterpretasikannya.
Barthes membat sebuah model sistematic dalam menganalisa
makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes lebih tertuju pada
gagasan tentang signifikasi dua tahap ( Two order signification).
Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan
signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Disebut juga
dengan denotasi, karena makna yang paling nyata pada tanda. Konotasi
menunjukan signifikasi tahap dua. Konotasi menggambarkan interaksi
yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi
penggunanya serta nilai-nilaidari kebudayaanya (Fiske, 2007:118)17
3. Mitos
Mitos
adalah
bagaimana
kebuadayaan
menjelaskan
atau
memahami beberapa aspek tentang realitas yang ada. mitos primitif
mengenai hidup dan mati, manusia dan dewaa, baik dan buruk. Sedangkan
mitos
masa
kini
misalnya
mengenai
ilmu
pengetahuan,
seksualitas,fetisisme, feminitas dll.
17
Fiske,John. 2007. Cultural and Communication Studies cetakan ke-IV. Yogyakarta : Jalasutra.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
Menurut Barthes mitos merupakan cara berfikir dari suatu
kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau
memahami sesuatu. Mitos juga merupakan mata rantai dari konsep-konsep
terkait (Barthes dalam Fiske, 2007 : 121)18.
Mitos bukan hanya sekedar pembicaraan atau wicara yang
sembarangan, bahasa membutuhkan kondisi-kondisi khusus untuk menjadi
mitos. Tetapi yang harus menjadi ketegasan adalah bahwa mitos
merupakan komunikasi, mitos adalah sebuah pesan yang dalam hal ini
memungkinkan kita untuk memahami bahwa mitos bukan merupakan
suatu objek, konsep atau gagasan, mitos merupakan mode pertandaan,
suatu bentuk dan kita mesti menerapkan kepada batas-batas historis dan
memperkenalkan kembali kepada masyarakat.
Bagi Barthes, mitos adalah bahasa dan konsep mitosnya berupa
pemaparan fakta. O leh karna itu, mitospun dapat diartikan bervariasi dan
muncul dari lingkup kebudayaan massa. dan pada dasarnya mitos adalah
pengembangan diri dari konsep konotasi, yang kemudian menetap pada
suatu komunitas yang berakhir menjadi mitos. Pemaknaan mitos sendiri
terbentuk dari kekuatan mayoritas di masyarakat.
18
Fiske,John. 2007. Cultural and Communication Studies cetakan ke-IV. Yogyakarta : Jalasutra.
Hlm 121
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download