Dampak investasi sumberdaya manusia terhadap

advertisement
III. KERANGKA TEORI
3.1.
Modal Manusia
Investasi pendidikan dan kesehatan menyatu dalam pendekatan modal
manusia. Nilai pendidikan merupakan aset moral dalam bentuk pengetahuan dan
keterampilan serta merupakan bentuk investasi non fisik yang sering disebut
dengan modal manusia. Modal manusia (human capital) adalah istilah yang sering
digunakan oleh ekonom untuk pendidikan, kesehatan dan kapasitas manusia yang
dapat meningkatkan produktivitas jika hal ini ditingkatkan. Pendidikan dan
kesehatan merupakan tujuan pembangunan yang mendasar. Kesehatan merupakan
inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah hal pokok untuk mencapai
kehidupan yang memuaskan dan berharga. Keduanya adalah hal yang
fundamental untuk membentuk kapabilitas manusia yang lebih luas, yang berada
pada inti makna pembangunan (Todaro dan Smith, 2003).
Human capital didefinisikan sebagai kemampuan, keterampilan dan
pengetahuan pekerja dalam memproduksi barang dan jasa. Hal ini membutuhkan
proses sekolah formal, pelatihan maupun proses learning by doing (Lucas, 1988).
Melalui pendidikan, dapat menciptakan tenaga kerja yang berkualitas dalam
mengunakan teknologi baru yang berasal dari hasil penelitian dan pengembangan,
baik domestik maupun hasil efek international spillover (Frantzen, 2000).
Peningkatan kualitas SDM dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan
sebagai proses budaya akan tumbuh dan berkembang nilai-nilai dasar yang harus
dimiliki oleh setiap manusia seperti keimanan dan ketakwaan, moral, disiplin dan
etos kerja serta nilai-nilai instrumental seperti penguasaan iptek dan kemampuan
berkomunikasi, yang merupakan unsur pembentuk kemajuan dan kemandirian
42
bangsa. Aspek pendidikan memiliki tugas dan kewajiban untuk membentuk
kepribadian, watak, moral, nilai-nilai kejujuran, cinta bangsa dan negara, empati
terhadap sesama yang memiliki perbedaan etnis, agama, dan kultural. Salah satu
indikator untuk mengukur pendidikan adalah rata-rata lama sekolah (years of
schooling). Rata-rata lama sekolah adalah sebuah angka yang menunjukkan
lamanya bersekolah seseorang dari masuk sekolah dasar sampai dengan tingkat
pendidikan terakhir. Lamanya bersekolah merupakan ukuran akumulasi investasi
pendidikan individu. Setiap tahun tambahan sekolah diharapkan akan membantu
meningkatkan pendapatan seseorang (Todaro dan Smith, 2003).
Human capital juga mencakup kesehatan, baik tenaga kerja maupun orang
yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan. Menurut World Health
Organization (WHO), kesehatan adalah sebuah kondisi kesejahteraan fisik,
mental serta sosial dan bukan sekedar bebas penyakit serta kelemahan fisik.
Ukuran untuk kesehatan yang biasa digunakan adalah tingkat hidup bayi per 1000
kelahiran dan tingkat harapan hidup. Tingkat harapan hidup banyak digunakan
oleh sebagian besar negara, namun mempunyai kelemahan berupa kualitas
perpanjangan usia hidup, apakah benar-benar berkualitas atau bahkan sebaliknya.
Sedangkan tingkat hidup bayi merupakan ukuran yang baik, namun mengabaikan
pertimbangan status kesehatan masyarakat secara umum, setelah masa kanakkanak. Kedua ukuran ini pada dasarnya merupakan pendekatan yang cukup baik
dalam melihat status kesehatan masyarakat.
Angka harapan hidup (life
expectancy) adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani oleh seseorang
pada suatu tahun tertentu. Kegunaan angka harapan hidup merupakan alat untuk
mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
43
3.2.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pada awal pembangunan, umumnya perencanaan pembangunan ekonomi
berorientasi pada masalah pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi adalah proses
kenaikan output dalam jangka panjang, yang diukur melalui indikator
perkembangan PDRB riil dari tahun ke tahun. PDRB merupakan indikator
pengukur nilai output akhir (final output) barang dan jasa yang dihasilkan
penduduk suatu daerah dengan mengurangi penghasilan penduduk daerah tersebut
di luar negeri dari pendapatan daerah dan kemudian ditambahkan dengan
penghasilan penduduk asing yang berproduksi di daerah tersebut pada tahun atau
periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan proses yang berkelanjutan
merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dapat bersumber dari sisi agregate demand (AD)
dan atau agregate supply (AS). Dari sisi AD, pergeseran kurva ke kanan
mencerminkan permintaan dalam perekonomian meningkat. Sedangkan dari sisi
AS pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi produksi dan didasarkan pada teori
neo-klasik dan modern. Kelompok teori neo-klasik, memusatkan perhatian
terhadap efek positif dari akumulasi kapital (investasi fisik) terhadap pertumbuhan
ekonomi, dan peranan teknologi terhadap pertumbuhan output tidak mendapat
perhatian secara eksplisit.
Pertumbuhan ekonomi yang lambat di negara-negara sedang berkembang
disebabkan karena rendahnya tingkat permintaan (demand) masyarakat akan
barang dan jasa (Todaro dan Smith, 2003). Lemahnya permintaan masyarakat
disebabkan oleh rendahnya pendapatan, dan pendapatan yang rendah disebabkan
oleh produktivitas tenaga kerja yang rendah. Produktivitas tenaga kerja yang
44
rendah merupakan cerminan dari rendahnya kualitas SDM, sehingga Schultz
(1961) menyimpulkan tentang keunggulan sumberdaya manusia dibandingkan
dengan sumberdaya yang lain.
Amartya Sen (1999) manyatakan “capabilities to function” kapabilitas
untuk berfungsi adalah yang paling menentukan status miskin tidaknya seseorang.
Functioning bukanlah merupakan perasaan, tetapi sebuah pencapaian, merupakan
sebuah kesuksesan dalam melakukan segala sesuatu dengan menggunakan
komoditi yang dimiliki. Sedangkan kapabilitas diartikan sebagai kebebasan yang
dimiliki seseorang. Penghasilan hanya memiliki makna bila penghasilan tersebut
dapat meningkatkan utilitas. Utilitas penting karena menunjukkan kapabilitas
seseorang. Negara-negara yang memiliki tingkat pendapatan tinggi, tetapi
memiliki standar kesehatan dan pendidikan yang rendah diibaratkan sebagai
negara yang mengalami pertumbuhan tanpa pembangunan.
Pada tahun 1969, Indonesia mulai dengan pembangunan nasional yang
menitikberatkan
pada
pembangunan
bidang
ekonomi.
Proyek-proyek
pembangunan yang diadakan oleh pemerintah merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga berpengaruh terhadap permintaan
barang dan jasa. Masalah perencanaan pembangunan ekonomi menjadi sangat
penting dalam proses pembangunan suatu bangsa atau daerah.
Pertumbuhan ekonomi modern Kuznet menyatakan bahwa peningkatan
pendapatan nasional riil tergantung pada perbaikan efisiensi yang diukur dengan
pertumbuhan TFP. Beberapa dalil dalam pertumbuhan ekonomi menyatakan
bahwa pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang akan menaikkan output per
kapita yang dapat dicapai dengan adanya investasi SDM dan inovasi dalam
45
teknik produksi dan organisasi. Peranan ini dapat dikembangkan lebih jauh lagi,
yakni bagaimana agar SDM mempunyai kemampuan berinovasi terus menerus
(continous innovation capability). Inovasi ini dibutuhkan untuk mendorong
pembangunan ekonomi yang berkesinambungan (sustainable development).
Pengembangan kemampuan berinovasi terus menerus membutuhkan partisipasi
aktif dan kreatifitas dari pekerja untuk selalu mengembangkan keahlian dan
keterampilan. Jika kemampuan berinovasi diakumulasikan, maka pekerja akan
bekerja lebih efisien dan dapat meningkatkan produktivitasnya, sehingga akan
meningkatkan output dan kesejahteraan masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi (economic growth) suatu negara, menurut Kuznets
(1966) adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang suatu negara untuk
menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas
ini ditentukan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi,
institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan
yang ada. Tiga komponen pokok dari definisi di atas adalah : (1) pertumbuhan
ekonomi diwujudkan dengan adanya kenaikan output secara berkesinambungan,
sedangkan kemampuan menyediakan berbagai jenis barang merupakan tanda
kematangan ekonomi (economic maturity) suatu negara, (2) perkembangan
teknologi merupakan dasar atau prakondisi bagi berlangsungnya suatu
pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan. Hal ini adalah suatu kondisi
yang sangat diperlukan, di samping faktor-faktor lain, (3) untuk mewujudkan
potensi pertumbuhan yang terkandung dalam teknologi baru, perlu diadakan
serangkaian penyesuaian kelembagaan, sikap dan ideologi. Inovasi
teknologi
tanpa dibarengi dengan inovasi sosial sama halnya dengan lampu pijar tanpa
46
listrik (potensi ada, tanpa input komplementernya, tidak akan bisa membuahkan
hasil apapun).
Dalam analisisnya Kuznets (1966) mengemukakan enam karakteristik atau
ciri proses pertumbuhan ekonomi di negara maju, yaitu (1) tingkat pertumbuhan
output perkapita dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) tingkat kenaikan
produktivitas faktor total yang tinggi, (3) tingkat transformasi struktural ekonomi
yang tinggi, (4) tingkat transformasi sosial dan ideologi yang tinggi, (5) adanya
kecenderungan negara-negara maju untuk berusaha merambah bagian dunia
lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku yang baru, (6)
terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi, yang hanya mencapai sekitar
sepertiga bagian penduduk dunia. Dua faktor pertama sering disebut sebagai
variabel-variabel ekonomi agregat (aggregate economic variables). Faktor tiga
dan empat disebut variabel-variabel transformasi struktural. Sedangkan dua faktor
terakhir sering disebut sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi penyebaran
pertumbuhan ekonomi secara internasional. Berikut ini akan dikemukakan teori
pertumbuhan ekonomi Solow dan Endogenous Growth:
3.2.1. Teori Pertumbuhan Solow dan Swan
Teori pertumbuhan neo-klasik dikembangkan oleh Robert M. Solow
(1956) dan T.W. Swan (1956). Model Solow-Swan menggunakan unsur
pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi (eksogen), dan
besarnya output yang saling berinteraksi. Perbedaan utama dengan model HarrodDomar adalah masuknya unsur kemajuan teknologi. Selain itu, Solow-Swan
menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan adanya substitusi
antara kapital (K) dan tenaga kerja (L). Tingkat pertumbuhan berasal dari tiga
47
sumber yaitu: akumulasi modal, bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan
kemajuan teknologi. Teknologi ini terlihat dari peningkatan skill atau kemajuan
teknik sehingga produktivitas meningkat. Dalam model Solow-Swan, masalah
teknologi dianggap fungsi dari waktu.
Teori Solow-Swan menilai bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar
dapat menciptakan keseimbangan, sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak
mempengaruhi atau mencampuri pasar. Campur tangan pemerintah hanya sebatas
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Dalam Model Solow terdapat empat
variabel penting, yaitu output, capital, labor dan knowledge (pengetahuan),
dimana:
Y(t) = F [ K(t), L(t), A(t) ] ..........................…………………………….(1)
Waktu tidak masuk dalam fungsi produksi secara langsung, tetapi hanya
melalui K, L dan A, yaitu output akan berubah terhadap waktu hanya jika input
produksinya berubah. Teknologi (A) berfungsi meningkatkan produktivitas inputinput. Kemajuan teknologi dapat membawa kemajuan pada ekonomi wilayah,
artinya dengan jumlah input yang sama dapat memproduksi output lebih banyak.
Output yang diperoleh dari akumulasi capital dan labor tertentu akan meningkat
terhadap waktu (dengan adanya kemajuan teknologi), hanya jika jumlah
pengetahuannya bertambah atau meningkat.
Asumsi penting dalam model yang terkait dengan fungsi produksi adalah
constan return to scale yang dijelaskan dengan dua input, yaitu capital dan
effective labor, dengan menggandakan jumlah capital dan tenaga kerja efektif.
Artinya dengan menggandakan K dan L dengan A tetap, akan menggandakan
jumlah produksinya. Lebih umum, dengan mengalikan kedua variabel penjelas
48
dengan konstanta c (non negatif) akan menyebabkan output berubah dengan
tingkat yang sama, yaitu:
F (cK, cL)= cF (K, AL) ............................................................................(2)
untuk semua c ≥ 0.
Asumsi constan return to scale dapat dipandang sebagai kombinasi dari
dua asumsi, yaitu: (1) ekonomi cukup besar dimana perolehan dari spesialisasinya
telah dihabiskan. Dalam ekonomi yang sangat kecil, terdapat kemungkinan untuk
melakukan spesialisasi lebih lanjut yang akan menggandakan jumlah modal dan
tenaga kerja lebih dari penggandaan outputnya. Dalam model Solow
mengasumsikan bahwa perekonomian cukup besar, jika capital dan labor
digandakan, maka outputnya juga akan digandakan, (2) input selain capital, labor
dan knowledge, relatif tidak penting. Model ini mengesampingkan lahan dan
sumberdaya alam (SDA).
Seiring perjalanan waktu dan dengan terjadinya pergeseran dalam aliran
pemikiran dari Klasik ke neo-klasik. Proses perkembangan ekonomi neo-klasik
terjadi karena adanya akumulasi kapital, dimana perkembangan tersebut
merupakan proses yang gradual dan harmonis serta kumulatif. Teori neo-klasik
optimis terhadap perkembangan ekonomi, menurut mereka perkembangan
ekonomi merupakan suatu proses peningkatan produksi barang dan jasa yang
disebabkan perkembangan dalam jumlah dan kualitas faktor produksi.
Pada tahun 1960 an, teori pertumbuhan ekonomi didominasi oleh model
neo-klasik, seperti Ramsey (1928), Solow (1956), Swan (1956), Cass (1965), dan
Koopmans (1965). Kontribusi terpenting dilakukan oleh Solow dan Swan yang
menitikberatkan
pentingnya
pembentukan
49
tabungan
dan
modal
untuk
pembangunan ekonomi serta sumber-sumber pertumbuhan suatu negara. Dengan
menggunakan
fungsi
produksi
neo-klasik,
dimana
spesifikasi
model
mengasumsikan constant return to scale, diminishing return untuk setiap input,
dan elastisitas positif dari substitusi antar input.
Teori pertumbuhan model Solow dirancang untuk menunjukkan
bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja dan
kemajuan
teknologi
berinteraksi
dalam
perekonomian,
serta
bagaimana
pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan.
Dalam kondisi mapan model pertumbuhan Solow, tingkat pertumbuhan
pendapatan per kapita hanya ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi eksogen.
Dalam model Solow, pertumbuhan total factor produktivity (TFP) dihitung
sebagai residu, yaitu sebagai jumlah pertumbuhan output yang tersisa setelah
dikurangi kontribusi modal, dan kontribusi tenaga kerja, atau sering disebut
dengan residu Solow (
A/A) (Mankiw, 2003).
Tingkat modal yang memaksimalkan konsumsi pada kondisi mapan
disebut tingkat kaidah emas. Jika perekonomian memiliki lebih banyak modal,
maka mengurangi tabungan akan meningkatkan konsumsi. Sebaliknya jika
perekonomian memiliki lebih sedikit modal, maka untuk mencapai kaidah emas,
investasi perlu ditingkatkan dan konsumsi yang lebih rendah. Dimana
menunjukkan tingkat depresiasi, n adalah tingkat pertumbuhan penduduk dan g
adalah tingkat kemajuan teknologi. Dalam model Solow, tingkat tabungan
perekonomian menunjukkan ukuran persediaan modal dan tingkat produksi dalam
jangka panjang. Semakin tinggi tingkat tabungan, maka semakin tinggi persediaan
modal dan semakin tinggi tingkat output. Kenaikkan tingkat tabungan
50
memunculkan periode pertumbuhan yang cepat, tetapi akhirnya pertumbuhan itu
melambat ketika kondisi mapan yang baru dicapai, seperti ditunjukkan pada
Gambar 2 berikut ini:
y
f(k*)
y2
*
(
+ n + g)k*
c
y1
s2 y = s2 f(k*)
s1 y = s1 f(k)
i
0
k
k*
*
k
Sumber : Mankiw (2003)
Gambar 2. Model Pertumbuhan Ekonomi Neo-Klasik dan Kondisi Golden Rule
Model Solow menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan populasi dalam
perekonomian adalah determinan jangka panjang. Semakin tinggi tingkat
pertumbuhan populasi, semakin rendah tingkat output per kapita. Negara-negara
yang menabung dan menginvestasikan sebagian besar output akan lebih kaya dari
pada negara yang menabung dan menginvestasikan sedikit output. Demikian juga
negara yang tingkat pertumbuhan populasinya tinggi, lebih miskin dari pada
negara yang tingkat pertumbuhan populasinya rendah. Ketika perekonomian
mencapai kondisi mapan, kemajuan teknologi perlu dimasukkan ke dalam model,
yang meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berproduksi sepanjang waktu.
51
Kemajuan teknologi membuat fungsi produksi mangkaitkan modal total
(K), tenaga kerja (L), output total (Y), dihubungkan dengan (E), yaitu variabel
baru yang disebut efisiensi tenaga kerja, sehingga dapat ditulis dengan persamaan:
Y = F ( K, LxE ) ……................................................................................(3)
Efisiensi tenaga kerja mencerminkan pengetahuan masyarakat tentang metodemetode produksi. Efisiensi tenaga kerja meningkat ketika teknologi mengalami
kemajuan, pengembangan dalam kesehatan, pendidikan atau adanya keahlian
angkatan kerja. Efisiensi tenaga kerja (L x E), mengukur jumlah para pekerja
efektif, perkalian ini memperhitungkan jumlah pekerja (L) dan efisiensi masingmasing pekerja (E).
Asumsi yang paling sederhana tentang kemajuan teknologi adalah bahwa
kemajuan teknologi menyebabkan efisiensi tenaga kerja (E) tumbuh pada tingkat
konstan (g). Bentuk kemajuan teknologi ini disebut pengoptimalan tenaga kerja,
dan g disebut tingkat kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja
(labor augmenting technological progress). Karena angkatan kerja L tumbuh pada
tingkat n, dan efisiensi tenaga kerja E tumbuh pada tingkat g, maka jumlah
pekerja efektif (L x E) tumbuh pada tingkat (n x g). Adanya efisiensi produksi
menyebabkan notasi (K) menjadi:
k = K / (LxE) ............................................................................................(4)
menunjukkan modal per pekerja efektif, dan notasi (Y) menjadi:
y = Y / (LxE) .............................................................................................(5)
menunjukkan output per pekerja efektif. Dengan demikian, persamaannya dapat
ditulis menjadi:
y = f (k) ....................................................................................................(6)
52
sedangkan persamaan yang menunjukkan perubahan k (capital), adalah
k = sf(k) - (
+ n + g)k
...................................................................(7)
Kemajuan teknologi mengarah pada pertumbuhan yang berkelanjutan
dalam output per kapita. Tingkat tabungan yang tinggi akan menghasilkan
pertumbuhan yang tinggi jika kondisi mapan tercapai. Ketika pertumbuhan
ekonomi dalam kondisi mapan, tingkat pertumbuhan output per kapita tergantung
pada tingkat kemajuan teknologi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
dalam model Solow, hanya kemajuan teknologi yang dapat menjelaskan
peningkatan standar hidup berkelanjutan.
Kemajuan teknologi juga memodifikasi kriteria kaidah emas. Tingkat
modal
kaidah
emas
kini
didefinisikan
sebagai
kondisi
mapan
yang
memaksimalkan konsumsi per pekerja efektif, sehingga konsumsi per pekerja
efektif pada kondisi mapan adalah:
C* = f (k) – (
+ n + g) k* ...................................................................(8)
Konsumsi pada kondisi mapan dimaksimalkan jika
MPK =
+ n + g atau MPK -
= n + g ...........................................(9)
Hal ini berarti bahwa pada tingkat modal kaidah emas, produk marginal modal
netto sama dengan tingkat pertumbuhan output total. Perekonomian yang
sesungguhnya mengalami pertumbuhan populasi dan kemajuan teknologi, maka
ukuran ini harus digunakan untuk mengevaluasi perubahan modal pada kondisi
mapan kaidah emas (Mankiw, 2003).
3.2.2. Teori Pertumbuhan Endogen
Teori pertumbuhan endogen lahir dengan tujuan untuk menutupi
kelemahan dari teori neo-klasik. Pertama, asumsi neo-klasik yang menyatakan
53
bahwa marginal product of capital akan semakin menurun (diminishing return to
scale). Asumsi ini membatasi teori neo-klasik untuk memberikan penjelasan yang
memuaskan tentang perbedaan pertumbuhan pendapatan per kapita antar negara.
Hal ini disebabkan laba yang semakin menurun akan mendorong tabungan dan
investasi menurun. Menurut teori neo-klasik, tingkat tabungan dalam jangka
panjang tidak dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan. Kedua, asumsi yang
menyatakan bahwa kemajuan teknologi dianggap eksogen. Hal ini berarti tidak
ada hubungan eksplisit antara investasi dan kemajuan teknologi. Sedangkan dalam
new growth theory, kemajuan teknologi dianggap endogen yang diciptakan oleh
tindakan
sengaja
dari
pelaku
yang
bekerja
dalam
ekonomi.
Ketiga,
ketidakmampuan teori pertumbuhan neo-klasik memasukkan dampak eksternal
dalam kajiannya. Dalam pendekatan ini, akumulasi modal berperan sentral dalam
menentukan hasil pertumbuhan jangka panjang.
Faktor utama dalam teori new growth adalah diabaikannya asumsi
diminishing return to scale. Pendekatan yang paling umum untuk menanggulangi
keadaan tersebut adalah dengan memasukkan dampak eksternal (externality)
dalam sistem yang biasanya berupa knowledge spilover (dampak eksternal dari
stok pengetahuan). Model Solow hanya mengasumsikan bahwa pertumbuhan
ekonomi berasal dari kemajuan teknologi, tetapi tidak menjelaskan dari mana
kemajuan teknologi itu berasal. Teori pertumbuhan endogen (endogenous growth
theory) menolak asumsi model Solow, tentang perubahan teknologi yang berasal
dari luar (eksogen).
Berdasarkan beberapa alasan kelemahan model pertumbuhan neo-klasik,
maka sebagai alternatif muncul model pertumbuhan ekonomi modern atau
54
endogenous growth model yang memasuki aspek-aspek endogenitas dan
eksternalitas dalam proses pembangunan ekonomi. Sifat keberadaan teknologi
tidak lagi given, tetapi merupakan salah satu faktor produksi yang dinamis.
Demikian juga halnya faktor manusia, kualitas dan pengetahuan tenaga kerja
dalam fungsi produksi tidak lagi merupakan suatu faktor yang eksogen tetapi
dapat berkembang mengikuti perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan serta pendidikan
menjadi faktor pertumbuhan yang penting.
Kemajuan teknologi menyebabkan nilai berbagai variabel meningkat
secara bersamaan yang disebut sebagai pertumbuhan yang seimbang (balanced
growth). Dalam kondisi mapan, output per pekerja dan persediaan modal per
pekerja akan tumbuh pada tingkat kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi juga
akan mempengaruhi harga faktor produksi. Dalam kondisi mapan, upah riil
tumbuh pada tingkat kemajuan teknologi, namun harga sewa riil modal tetap
konstan sepanjang waktu.
Pada
era
modern,
kemajuan
teknologi,
pengetahuan,
energi,
entrepreneurship dan material merupakan faktor produksi yang sama krusialnya
dengan tenaga kerja dan modal. Selain itu, faktor-faktor lain yang dianggap oleh
teori ekonomi modern berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah
ketersediaan dan kondisi infrastruktur, hukum dan peraturan (the rule of law),
stabilitas politik (political stability), kebijakan pemerintah, birokrasi, dan nilai
tukar internasional (term of trade).
Menurut Saariluoma (2005), teknologi selalu berhubungan dengan
manusia. Teknologi dan SDM merupakan variabel utama dalam pertumbuhan
55
ekonomi, selain beberapa variabel lain seperti kondisi sosial ekonomi masyarakat,
keamanan, dan sumberdaya alam (natural resources). Dalam Endogenous growth
model, formasi human capital dimasukkan dalam fungsi produksi. Ekonomi akan
mencapai pertumbuhan yang tinggi karena adanya kenaikan investasi dalam
human capital. Teori ini menjelaskan tentang adanya pengaruh tingkat pendidikan
terhadap growth. Hasil studi empiris menyatakan bahwa ada kemungkinan
pengaruh yang signifikan antara human capital terhadap produksi. Human capital
dipercaya sebagai faktor yang penting dalam proses pertumbuhan ekonomi.
Penganut teori pertumbuhan endogen berpendapat bahwa asumsi
pengembalian modal adalah konstan (bukan kian menurun) dan memandang
bahwa ilmu pengetahuan sebagai modal. Ilmu pengetahuan adalah input penting
dalam produksi perekonomian, baik produksi barang, jasa maupun ilmu
pengetahuan baru. Dibanding dengan bentuk modal lain, kurang wajar untuk
mengasumsikan bahwa ilmu pengetahuan memiliki muatan pengembalian yang
kian menurun. Bahkan inovasi pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat
selama ini, membuat sebagian ekonom berpendapat bahwa ada pengembalian
ilmu yang meningkat. Maka model pertumbuhan endogen dengan asumsi
pengembalian modal konstan menjadi deskripsi yang lebih mengesankan tentang
pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Demikian juga halnya faktor manusia, bisa
berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi faktor pertumbuhan yang
penting (Mankiw, 2003).
Menurut Mankiw (2003), perbedaan dalam pendapatan per kapita,
disebabkan karena: (1) perbedaan faktor produksi, seperti kuantitas modal fisik
56
dan modal manusia, dan (2) perbedaan efisiensi dalam penggunaan faktor
produksi. Terdapat korelasi yang positif antara faktor akumulasi modal (termasuk
SDM) dengan efisiensi produksi. Negara yang mempunyai tingkat modal fisik dan
SDM yang besar cenderung menggunakan faktor produksi secara efisien. Salah
satu hipotesisnya adalah bahwa perekonomian yang efisien dapat mendorong
akumulasi modal. Sumberdaya dan insentif untuk tetap bersekolah akan
mengakumulasikan modal manusia yang lebih besar, sehingga perekonomian
dapat berfungsi dengan baik.
Negara yang menabung dan menginvestasikan lebih banyak akan
mempunyai fungsi produksi yang lebih baik. Jadi efisiensi produksi yang lebih
besar dapat menyebabkan akumulasi faktor produksi yang lebih besar, demikian
pula sebaliknya. Hipotesis terakhir adalah faktor akumulasi dan efisiensi produksi
digerakkan oleh kualitas institusi negara, termasuk proses pembuatan kebijakan
pemerintah. Jika pemerintah membuat kesalahan dalam kebijakan yang kurang
tepat, seperti inflasi yang tinggi, defisit anggaran yang berlebihan, campur tangan
pasar yang terlalu besar dan korupsi yang merajalela akan mengakumulasikan
modal yang sedikit dan gagal menggunakan modal tersebut dengan efisien.
Teori pertumbuhan endogen dipelopori oleh Romer (1986, 1987, 1990)
dengan mendapat kontribusi dari Lucas (1988), Aghion dan Howitt (1992), serta
Grossman dan Helpman (1991). Lucas (1988) berpendapat bahwa selain modal
fisik, akumulasi modal manusia sangat menentukan dalam pertumbuhan
ekonomi. Sedangkan Romer (1986) berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi
dipengaruhi oleh tingkat modal manusia melalui pertumbuhan teknologi, dengan
fungsi produksi agregat adalah sebagai berikut:
57
Y = F (A, K, L,H) .............…………..….................................................(10)
Dimana: A adalah perkembangan teknologi, K adalah modal fisik, H adalah
sumberdaya manusia, akumulasi dari pendidikan dan pelatihan, dan L adalah
tenaga kerja.
Model pertumbuhan endogen menurut Romer menjelaskan bahwa tingkat
pertumbuhan pendapatan per kapita dalam perekonomian adalah :
g – n = β / [1- α + β] …………………………………………………..(11)
Dimana: g adalah tingkat pertumbuhan output, n adalah tingkat pertumbuhan
populasi, β adalah perubahan teknologi, dan α adalah elastisitas output terhadap
modal. Seperti dalam model Solow dengan skala hasil konstan β = 0, maka
pertumbuhan pendapatan per kapita akan menjadi nol (tanpa adanya kemajuan
teknologi). Namun Romer mengasumsikan bahwa dengan mengumpulkan ketiga
faktor produksi termasuk eksternalitas modal, maka β > 0 sehingga g – n > 0 dan
Y/L (pendapatan per kapita) akan mengalami pertumbuhan. Hal yang menarik
dalam
model Romer adalah adanya imbasan investasi atau teknologi yang
semakin meningkat, sehingga menghilangkan asumsi hasil yang semakin menurun
(diminishing marginal product of capital).
Teori pertumbuhan endogen menyatakan bahwa kemajuan teknologi dapat
menghambat proses diminishing marginal product of capital, dimana peningkatan
output terjadi dari titik A ke A’. Peningkatannya lebih besar jika dibandingkan
dengan pertumbuhan ekonomi tanpa disertai adanya kemajuan teknologi dimana
output hanya meningkat dari titik B ke B’, seperti yang ditunjukkan pada Gambar
3 berikut ini:
58
Y
L
A’
Pertumbuhan
di Amerika
Serikat
Fungsi Produksi
dengan adanya
Technology advance
Fungsi produksi
awal
A
B’
Pertumbuhan
di Filippina
B
K
L
Sumber: Kasliwal (1995)
Gambar 3. Kemajuan Teknologi Menghambat Diminishing Marginal Product of
Capital
Dalam model Solow, capital hanya mencakup persediaan pabrik dan
peralatan perekonomian sehingga wajar mengasumsikan pengembalian modal
yang kian menurun. Investasi dalam modal fisik dan tenaga kerja tidak dapat
dilaksanakan sendiri (internalize) secara penuh oleh investor. Sedangkan dalam
teori pertumbuhan endogen adanya eksternalitas dapat menciptakan increasing
return to scale, sehingga memperbaiki asumsi constant return to scale yang
digunakan oleh model neo-klasik.
3.3.
Produktivitas Tenaga Kerja
Dalam studinya mengenai pertumbuhan ekonomi di negera-negara maju,
Kuznets (1976), pemenang hadiah nobel ekonomi menyimpulkan bahwa sebagian
terbesar dari pertumbuhan ekonomi yang dialami bukan datang dari pertumbuhan
input tetapi bersumber dari pertumbuhan produktivitas. Produktivitas merupakan
perbandingan antara hasil yang dicapai dengan sumberdaya yang digunakan.
59
Peningkatan produktivitas tenaga kerja merupakan sasaran yang strategis, karena
peningkatan produktivitas faktor-faktor lain sangat tergantung pada kemampuan
tenaga manusia yang memanfaatkannya. Secara umum produktivitas diartikan
sebagai perbandingan apa yang dihasilkan dengan apa yang dimasukkan,
merupakan rasio antara keluaran dengan masukan. Efisiensi merupakan ukuran
keberhasilan usaha, dapat juga diartikan dengan produktivitas.
Produktivitas tenaga kerja merupakan ukuran keberhasilan tenaga kerja
menghasilkan
suatu
produk
dalam
waktu
tertentu.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi produktivitas tenaga kerja antara lain pendidikan, keterampilan,
disiplin, motivasi, sikap dan etika kerja, gizi dan kesehatan, penghasilan, jaminan
sosial, lingkungan dan iklim kerja, hubungan industrial, teknologi, sarana
produksi, manajemen dan kesempatan berprestasi. Pada hakekatnya produktivitas
merupakan pandangan hidup dan sikap mental yang selalu berusaha untuk
meningkatkan mutu kehidupan. Sikap mental ini akan mendorong manusia untuk
tidak cepat merasa puas akan tetapi harus lebih lagi dalam mengembangkan diri,
dan meningkatkan kemampuan kerja (Sumarsono, 2003).
Produktivitas tenaga kerja merupakan nilai rasio antara jumlah pendapatan
tenaga kerja dengan jumlah tenaga kerja. Nilai ini juga merupakan rasio antara
pendapatan dengan jumlah kesempatan kerja. Nilai pendapatan dalam hal ini
adalah PDRB, sehingga nilai produktivitas tenaga kerja dapat menggambarkan
penghasilan rata-rata pekerja. Produktivitas tenaga kerja dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut:
P = Y/N .........................………………………………………..............(12)
Dimana: P
Y
= produktivitas tenaga kerja
= Produk Domestik Regional Bruto
60
N
= jumlah kesempatan kerja.
Konsep
investasi
SDM
dapat
dianalogikan
dengan
peningkatan
produktivitas sumberdaya lainnya, karena yang berperan dalam pengembangan
sumberdaya adalah manusia. Produktivitas tenaga kerja ditentukan oleh banyak
faktor, salah satunya adalah teknologi. Hal ini tidak berarti bahwa semua
teknologi dapat meningkatkan produktivitas. Produktivitas merupakan nilai dari
akumulasi kegiatan kerja dari proses produksi sampai pemasaran. Meskipun
teknologi tinggi, namun jika biaya yang dikeluarkan untuk itu tinggi pula, maka
tidak dapat dikatakan produktivitas meningkat. Teknologi yang menghasilkan
barang yang tidak marketable juga tidak dapat meningkatkan produktivitas.
Artinya bahwa produktivitas dihasilkan dari berbagai sisi yang sangat komplek,
baik dari sisi dukungan kapital maupun SDMnya.
Menurut
teori
human
capital,
pendidikan
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan keterampilan dan produktivitas tenaga
kerja. Pertumbuhan ekonomi yang cepat di negara-negara Asia dan perubahan
progresif dalam produksi menuju industri dan jasa berteknologi tinggi
mengakibatkan meningkatnya tuntutan dari dunia usaha terhadap perlunya SDM
yang terampil dan terdidik (berkualitas). SDM sebagai tenaga kerja sangat
diperlukan keterampilannya dalam melaksanakan tugas, meningkatkan kualitas
organisasi dan menunjang pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan sumberdaya tidak selalu merupakan syarat mutlak bagi
pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Pemanfaatan sumberdaya yang
tersedia secara lebih baik juga dapat meningkatkan output. Total factor
productivity (TFP) merupakan ukuran efisiensi pemanfaatan input dalam fungsi
61
produksi. Kenaikan TFP akan menyebabkan kurva kemungkinan produksi (KKP)
bergeser ke atas dari P-P ke P’-P’, tanpa adanya penambahan modal atau tenaga
kerja. Peningkatan kualitas SDM akan mengeser KKP keluar secara sejajar dari PP ke P’-P’. Hal ini menunjukan bahwa perekonomian daerah meningkat, dengan
asumsi perekonomian hanya memproduksi dua jenis barang, seperti diperlihatkan
pada Gambar 4 berikut ini:
Br. B
P’
KKP
P
Br. A
0
P
P’
Sumber:
Todaro dan Smith (2003)
Gambar 4. Kurva Kemungkinan Produksi (KKP), Dampak Peningkatan Kualitas
Sumberdaya Manusia terhadap Output
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kualitas SDM dan produktivitas
mempunyai korelasi positif.
Solow (1956) menekankan peranan ilmu
pengetahuan dan investasi SDM dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Schultz
(1961), menyatakan bahwa investasi pendidikan merupakan sumber utama
pertumbuhan TFP dan pendapatan nasional. Pertumbuhan ekonomi modern
Kuznets (1966), menyatakan bahwa peningkatan pendapatan nasional riil
tergantung pada perbaikan efisiensi yang diukur dengan pertumbuhan TFP.
Karakteristik kedua dari pertumbuhan ekonomi modern adalah tingginya tingkat
62
kenaikan TFP yaitu output yang dihasilkan masing-masing unit input atau faktor
produksi yang digunakan untuk membuat output tersebut. Penelitian terbaru oleh
World Bank (1998) mendukung pernyataan Kuznet, bahwa pertumbuhan TFP
merupakan elemen utama yang menentukan pertumbuhan ekonomi di berbagai
negara berkembang.
Kemajuan teknologi dapat meningkatkan modal atau tenaga kerja.
Kemajuan teknologi yang mengoptimalkan
tenaga kerja (labor augmenting
technological progress) terjadi bila penerapan teknologi tersebut mampu
meningkatkan mutu atau keterampilan tenaga kerja secara umum. Sedangkan
kemajuan
teknologi
yang
mengoptimalkan
modal
(capital
augmenting
technological progress) adalah jenis kemajuan yang terjadi jika penggunaan
teknologi memungkinkan dalam memanfaatkan barang modal yang ada secara
lebih produktif.
3.4.
Pertumbuhan Penduduk
Pertambahan penduduk berarti pertambahan tenaga kerja serta berlakunya
hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang mengakibatkan kenaikan
output semakin kecil, penurunan produk rata-rata serta penurunan taraf hidup.
Sebaliknya kenaikan jumlah barang-barang kapital, kemajuan teknologi, serta
kenaikan kualitas dan keterampilan tenaga kerja cenderung mengimbangi
berlakunya hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang. Penyebab
rendahnya pendapatan di negara-negara sedang berkembang adalah berlakunya
hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang akibat pertambahan penduduk
sangat cepat, sementara tak ada kekuatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi
63
berupa pertambahan kuantitas dan kualitas sumber alam, kapital, kemajuan
teknologi serta kenaikan kualitas dan keterampilan tenaga kerja.
Terdapat mata rantai antara pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan
ekonomi. Apabila penduduk bertambah berarti kebutuhan ekonomi juga
bertambah, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun. Dalam skala
regional, hal ini hanya bisa didapat melalui peningkatan output agregat (barang
dan jasa) atau PDRB.
Pada Gambar 5 menjelaskan bahwa pada titik awal (A), pada tingkat
output Y dan populasi P. Slop pada garis A menunjukkan pendapatan per kapita
Y/P. Jika output yang sama dibagi dengan jumlah penduduk/ populasi yang lebih
besar pada titik B, maka pendapatan per kapita akan turun. Selengkapnya tentang
hubungan antara tingkat populasi dan pendapatan per kapita sebagai berikut:
Y
C
B
•
A
Slope indicates
percapita income
Output
P
Populasi
Sumber:
Kasliwal (1995)
Gambar 5. Hubungan Tingkat Populasi dengan Pendapatan per Kapita
Penambahan populasi seharusnya perlu juga menambah output sepanjang
garis pada kurva. Dalam fungsi produksi menunjukkan bagaimana penambahan
tenaga kerja akan dapat meningkatkan output, dengan tingkat produktivitas yang
64
semakin menurun. Pada titik C diperlihatkan adanya
tingkat pendapatan per
kapita yang lebih rendah dari sebelumnya.
Kenaikan taraf hidup masyarakat suatu negara dicerminkan oleh besarnya
tabungan, akumulasi kapital dan laju pertumbuhan penduduknya. Laju
pertumbuhan penduduk yang sangat cepat di banyak negara sedang berkembang
disebabkan oleh fase atau tahap transisi demografi yang dialaminya. Negaranegara sedang berkembang mengalami fase transisi demografi, dimana angka
kelahiran masih tinggi sementara angka kematian telah menurun. Kedua hal
tersebut disebabkan karena kemajuan pelayanan kesehatan yang menurunkan
angka kematian balita dan menaiknya angka harapan hidup.
Jumlah penduduk yang besar akan menjadi pendorong pertumbuhan
ekonomi jika penduduk tersebut memiliki kualitas yang tinggi. Hal ini dapat
dibuktikan di Amerika Serikat atau Jepang. Jumlah penduduk yang relatif besar di
kedua negara tersebut, serta diimbangi dengan kualitas SDM yang tinggi, maka
penduduk merupakan aset bagi pertumbuhan ekonomi negara masing-masing.
Sebaliknya, penduduk yang besar di India dan Nigeria, karena tidak didukung
kualitas yang memadai justru menjadi beban bagi pembangunan ekonomi.
Pemerintah di kedua negara tersebut memiliki kesulitan untuk meningkatkan
kesejahtaraan penduduknya karena hasil yang diperoleh dari pembangunan harus
dibagi kepada banyak penduduk, sehingga masing-masing penduduk memperoleh
bagian yang sedikit.
Secara tradisional, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan
kerja dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan
ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah jumlah tenaga
65
kerja produktif, sedang pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti akan
meningkatkan ukuran pasar domestiknya (Todaro dan Smith, 2003). Pada
beberapa kasus di negara-negara berkembang, hubungan ini dapat berdampak
sebaliknya. Hubungan positif atau negatif pertumbuhan penduduk dengan
pembangunan ekonomi sepenuhnya tergantung pada kemampuan sistem
perekonomian yang bersangkutan untuk menyerap dan secara produktif
memanfaatkan tambahan tenaga kerja tersebut. Adapun kemampuan daya serap
ini dipengaruhi oleh tingkat dan jenis akumulasi modal dan tersedianya input atau
faktor-faktor penunjang, seperti kecakapan manajerial dan kualitas SDMnya.
3.5.
Distribusi Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi
Kondisi yang ada menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu
diikuti oleh pemerataan hasil-hasil pembangunan. Diduga bahwa hasil
pembangunan hanya dinikmati oleh sebagian masyarakat. Pembangunan yang
berorientasi pada pertumbuhan “growth oriented development” diindikasikan
mempunyai permasalahan yang justru dapat merugikan proses pembangunan.
Permasalahan
distribusi pendapatan yang tidak merata, pengangguran
serta
kemiskinan yang tinggi merupakan indikator bahwa masyarakat dalam kondisi
tidak sejahtera. Pada sekitar tahun 1970 merupakan era baru bagi negara
berkembang untuk mulai mengatur kebijakan pembangunan dalam mengurangi
kemiskinan, dengan cara memadukan pertumbuhan dan pemerataan hasil
pembangunan secara bersamaan (Redistribution with Growth).
Sasaran pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf hidup (standard of
living) yang layak bagi setiap individu, khususnya golongan ekonomi lemah atau
kelompok miskin. Masalah pemerataan memerlukan perincian tentang distribusi
66
apa yang telah dihasilkan dari pembangunan tersebut, serta kelompok masyarakat
mana yang menikmatinya atau who gets what (siapa mendapat apa).
Hubungan antara pendapatan dan pemerataan masih menjadi kontroversi.
Menurut Wie (1981), banyak ekonom masih beranggapan bahwa hubungan antara
pertumbuhan ekonomi yang pesat dan distribusi pendapatan adalah saling
bertentangan (trade-off). Pemerataan pendapatan hanya dapat dicapai, jika laju
pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi
selalu akan disertai kemerosotan dalam pembagian pendapatan atau kenaikan
dalam ketimpangan relatif.
Teori neo-Keynesian lebih menitikberatkan pada masalah distribusi
fungsional yang dikenal tiga konsep distribusi pendapatan, yaitu distribusi
fungsional, distribusi fungsional yang diperluas, dan distribusi personal. Distribusi
fungsional berkaitan dengan pembagian pendapatan yang diterima oleh pemilik
faktor produksi tradisional dalam suatu proses produksi (tanah, modal, dan tenaga
kerja). Distribusi fungsional yang diperluas merupakan bentuk lain dari distribusi
fungsional dan umumnya penggolongannya disesuaikan dengan masalah yang
sedang dibahas, misalnya pembagian pendapatan menurut wilayah (desa dan
kota), menurut sektor ekonomi (sektor pertanian dan non pertanian), atau menurut
teknik produksi dalam sektor tertentu (industri modern dan industri tradisional).
Sedangkan distribusi personal berkaitan dengan pembagian pendapatan yang
diterima oleh individu atau rumahtangga. Ukuran kesejahteraan sering dikaitkan
dengan distribusi personal. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah mengenai
pembagian pendapatan
sering ditujukan untuk
pendapatan personal.
67
memperbaiki
pembagian
Ada beberapa alat ukur ketimpangan, yaitu: (1) kurva Lorenz, yang
mengukur ketimpangan berdasarkan bentuk kurva distribusi pendapatan, dan (2)
Gini ratio, mengukur ketimpangan berdasarkan luas kurva Lorenz. Kurva Lorenz
dapat menjelaskan distribusi pendapatan secara grafis dan dipakai untuk
menganalisis statistik pendapatan perorangan.
Kurva Lorenz menjelaskan tentang hubungan kuantitatif aktual antara
persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benarbenar diterima selama periode tertentu (misalnya satu tahun). Secara lengkap
gambar tentang Kurva Lorenz adalah sebagai berikut:
Persentase Pendapatan
100%
A
x
17%
B
y
40%
Persentase Penduduk
Sumber:
Gambar 6.
100%
Kasliwal (1995) dan Fields (2001)
Kurva Lorenz
Jumlah penerima pendapatan dinyatakan dalam sumbu horisontal, tidak
dalam arti absolut melainkan dalam persentase kumulatif. Sedangkan sumbu
vertikal menyatakan bagian dari pendapatan total yang diterima oleh masingmasing persentase kelompok penduduk tersebut. Kedua sumbu tersebut berakhir
68
pada titik 100 persen, hal ini berarti kedua sumbu sama panjangnya. Garis
diagonal melambangkan pemerataan sempurna (perfect equality) dalam distribusi
pendapatan. Semakin jauh jarak dari kurva Lorenz dari garis diagonal, maka
semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya.
Perangkat lain yang digunakan untuk
mengukur derajat ketimpangan
pendapatan relatif suatu negara/daerah adalah dengan menggunakan koefisien
Gini (Gini coefficient). Koefisien Gini dihitung dengan cara menghitung rasio
bidang yang terletak antara garis diagonal daerah A dibagi dengan daerah A dan
B, menunjukkan hubungan antara jumlah penduduk dengan distribusi pendapatan
dalam bentuk persentase kumulatif. Koefisien Gini merupakan ukuran
ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna)
hingga satu (ketimpangan sempurna). Dalam prakteknya, koefisien Gini untuk
negara-negara yang derajat ketimpangannya tinggi berkisar antara 0.50 hingga
0.70. Untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya relatif merata angkanya
berkisar antara 0.20 hingga 0.35. Di bawah ini adalah rumus yang digunakan
dalam mengukur koefisien Gini:
G=
2
(n 1)
+ 2
n
n
n
ixi ..................................................................(13)
x i 1
dimana: xi adalah pendapatan penerima i, μx adalah rata-rata pendapatan, dan n
adalah jumlah total penerima pendapatan (Fields, 2001).
Kesejahteraan masyarakat berhubungan positif dengan pendapatan per
kapita namun berhubungan negatif dengan tingkat ketimpangan. Ketimpangan
perlu untuk diperhatikan karena:
1. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim menyebabkan inefisiensi ekonomi.
Ketimpangan yang tinggi menyebabkan semakin kecilnya penduduk yang
69
memenuhi syarat untuk mendapatkan pinjaman atau sumber kredit yang lain.
Ketika individu yang berpenghasilan rendah tidak dapat meminjam uang, pada
umumnya mereka tidak dapat menyediakan pendidikan yang memadai bagi
anak mereka atau memulai dan mengembangkan bisnis mereka. Pada kondisi
ketimpangan yang tinggi, tingkat tabungan secara keseluruhan dalam
perekonomian cenderung rendah, karena tingkat tabungan marginal tertinggi
biasanya ditemukan pada kelas menengah. Meskipun orang kaya dapat
menabung dalam jumlah yang lebih besar, namun mereka menabung dengan
bagian yang lebih kecil lagi dari pendapatan marginal mereka. Orang kaya
lebih suka membelanjakan sebagian besar dari pendapatan mereka pada
barang-barang impor/mewah, bepergian ke luar negeri atau justru menyimpan
kekayaannya di luar negeri dalam bentuk pelarian modal (capital flight).
Tabungan dan investasi mereka tidak menambah sumberdaya produktif
nasional, bahkan tabungan mereka mencerminkan kebocoran substansial
sumberdaya, dalam arti bahwa pendapatan mereka berasal dari jerih payah
tenaga kerja dalam negeri yang umumnya tidak terdidik dan tidak terampil.
Oleh karena itu, strategi pertumbuhan yang dibarengi dengan bertambah
lebarnya
kesenjangan
pendapatan
dalam
realitanya
dirancang
untuk
melestarikan kepentingan para elit ekonomi dan politik di negara berkembang,
yang seringkali mengorbankan kepentingan masyarakat yang lebih besar.
2. Ketimpangan
dapat
menyebabkan
alokasi
aset
yang
tidak
efisien.
Ketimpangan yang tinggi menyebabkan penekanan yang terlalu tinggi pada
pendidikan tinggi dengan mengorbankan kualitas universal pendidikan dasar
dan pada gilirannya akan menyebabkan kesenjangan pendapatan yang
70
semakin melebar. Hasilnya adalah pendapatan rata-rata yang rendah, tingkat
pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dan tingkat ketimpangan yang
tinggi.
3. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim melemahkan stabilitas sosial dan
solidaritas. Ketimpangan yang tinggi akan memperkuat kekuatan politis dan
daya tawar golongan kaya. Biasanya, kekuatan ini akan digunakan untuk
mengarahkan hasil pembangunan demi kepentingan mereka sendiri.
Ketimpangan tinggi membuat kaum miskin mendukung kebijakan yang
populis yang sebenarnya dapat merugikan mereka sendiri, dan akhirnya
ketimpangan yang tinggi akan menumbuhkan rasa ketidakadilan (Todaro dan
Smith, 2003).
Pandangan tradisional mengatakan bahwa sejumlah ketimpangan dapat
mempercepat pertumbuhan, karena tabungan dari orang kaya lebih besar dari pada
tabungan orang miskin. Jika tabungan untuk investasi berasal dari dalam negeri,
maka derajat pemerataan yang tinggi akan membahayakan pertumbuhan.
Berdasarkan penelitian terbaru dinyatakan bahwa tingkat tabungan (marginal)
yang paling tinggi ternyata berasal dari kelas menengah, bahkan berbagai
penelitian juga menunjukkan bahwa orang miskin menabung dengan tingkat yang
lebih tinggi dari pada yang diyakini sebelumnya (Todaro dan Smith, 2003).
Ketimpangan pendapatan yang tinggi membuat orang miskin tidak dapat
memperoleh pinjaman karena tidak mempunyai kolateral atau jaminan. Orang
miskin yang tidak dapat memperoleh pinjaman untuk memulai sebuah usaha dapat
terjebak dalam subsistensi atau ketergantungan.
71
Menurut Jazairy et al. (1992) yang mengkaji keterkaitan antara
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan di beberapa negara
menunjukkan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi akan diikuti oleh
adanya ketimpangan pendapatan (trade off) antara pertumbuhan dengan
pemerataan.
Perubahan pola pembagian pendapatan dengan meningkatnya
pendapatan per kapita penduduk yang biasa disebut dengan hipotesis U terbalik
dari Kuznets. Proses pembangunan ekonomi pada tahap awal pada umumnya
disertai oleh kemerosotan yang cukup besar dalam pembagian pendapatan, yang
baru berbalik menuju suatu pemerataan yang lebih besar dalam pembagian
pendapatan pada tahap pembangunan lebih lanjut (Kuznets, 1955; 1966).
Analisis ekonomi pada umumnya tidak menyinggung soal kaitan antara
pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan distribusi pendapatan. Menurut
Galenson dan Leibenstein (1955), sebagian besar teori yang ada nampaknya
memang mengisyaratkan bahwa pemerataan distribusi pendapatan yang tidak
merata merupakan sesuatu yang terpaksa dikorbankan demi memacu laju
pertumbuhan ekonomi secara cepat. Paradigma pertumbuhan ekonomi di masa
lalu sudah menjurus kepada pemujaan terhadap keberhasilan percepatannya dan
korban dari percepatan itu dianggap sebagai biaya sosial yang tak perlu
dirisaukan. Todaro (1994) menyatakan bahwa ketidak-adilan pendapatan sebagai
syarat yang pantas dikorbankan dalam rangka menggapai proses pertumbuhan
ekonomi secara maksimum dan dianggap
syarat
yang
diperlukan untuk
meningkatkan taraf hidup penduduk melalui mekanisme trickle down effect
dianggap sebagai pendekatan yang gegabah.
72
Menurut Arif (1978), ada delapan proses yang menimbulkan ketimpangan
pada suatu wilayah pada level provinsi ataupun negara, yaitu: (1) pertambahan
penduduk yang tinggi mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita, (2)
inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional
dengan pertambahan produksi barang-barang, (3) ketidak-merataan pembangunan
antar subwilayah, (4) investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang
intensif modal, sehingga persentase
pendapatan dari harta bertambah besar
dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga
pengangguran bertambah, (5) rendahnya mobilitas sosial, (6) pelaksanaan
kebijaksanaan substitusi-impor industri yang menyebabkan kenaikan harga
barang-barang hasil
industri
untuk
melindungi
golongan kapitalis, (7)
memburuknya term of trade bagi wilayah yang sedang berkembang dalam
perdagangan dengan wilayah maju sebagai akibat ketidak-elastisan permintaan
wilayah maju, (8) hancurnya industri-industri rakyat, seperti: pertukangan,
industri rumahtangga, dan lain-lainnya.
Menurut Wie (1981), upaya dalam menanggulangi ketimpangan ini adalah
dengan strategi campur tangan pemerintah. Dalam hal ini diupayakan pembagian
yang merata dari sumberdaya-sumberdaya yang ada kepada golongan masyarakat
termiskin, sehingga kesejahteraan mereka dapat meningkat. Menurut Todaro dan
Smith (2003), terdapat lima alasan mengapa kebijakan yang ditujukan untuk
mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan, yaitu:
1. Kemiskinan menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin tidak
mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai
pendidikan anaknya dan tiadanya peluang untuk berinvestasi.
73
2. Kaum kaya di negara miskin tidak dikenal karena investasi mereka hanya di
dalam negara mereka sendiri.
3. Pendapatan rendah dan standar hidup buruk tercermin dari kesehatan, gizi dan
pendidikan yang rendah dapat menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan
akibatnya perekonomian tumbuh lambat.
4. Peningkatan pendapatan golongan miskin mendorong permintaan produk
lokal dalam negeri.
5. Penurunan kemiskinan secara massal dapat menstimulasi ekspansi ekonomi
yang lebih sehat karena akan mendorong partisipasi publik dalam proses
pembangunan.
Pemerintah dapat merubah distribusi pendapatan secara langsung dengan
pajak yang progresif, yaitu beban pajak yang lebih besar bagi orang kaya dan
pajak yang lebih ringan bagi bagi orang miskin, disertai subsidi bagi golongan
miskin. Pemerintah juga dapat secara tidak langsung mempengaruhi distribusi
pendapatan dengan kebijakan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan,
kesehatan, infrastruktur, dan sebagainya.
3.6.
Kemiskinan dan Kesejahteraan Masyarakat
Kemiskinan dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang yang tidak
terlepas di mana pun diletakkan. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan
dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan
(diukur dari sisi pengeluaran), BPS (2009). Penduduk miskin adalah penduduk
yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis
kemiskinan. Komponen garis kemiskinan terdiri dari garis kemiskinan makanan
(GKM) ditambah garis kemiskinan non makanan (GKNM). Kebutuhan dasar
74
makanan setara dengan pemenuhan kebutuhan kalori sebanyak 2100 kalori per
kapita per hari. Kebutuhan dasar bukan makanan adalah kebutuhan minimum
untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Garis kemiskinan adalah
ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup
minimum. Garis kemiskinan lainnya adalah garis kemiskinan Sajogyo, yang
menghitung garis kemiskinan berdasarkan harga beras. Sajogyo mendefinisikan
batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama
dengan beras.
Kemiskinan bersifat multidimensional, dalam arti berkaitan dengan aspek
sosial, ekonomi, budaya, politik dan aspek lainnya (Sumodiningrat, 1989). Aspek
sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi.
Aspek ekonomi dapat dilihat dari terbatasnya pemilikan alat produksi, upah yang
rendah, daya tawar rendah, tidak adanya tabungan, lemah mengantisipasi peluang.
Aspek budaya timbul rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir.
Sedangkan dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai
fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil
keputusan.
Kartasasmita (1997) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah
dalam pembangunan yang ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan,
yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada
umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada
kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang
mempunyai potensi lebih tinggi. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan
Friedmann yang mengatakan bahwa kemiskinan sebagai akibat dari ketidak-
75
samaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial (Friedmann,
1992).
Kemiskinan
berbeda
dengan
ketimpangan
distribusi
pendapatan
(inequality). Kemiskinan berkaitan erat dengan standar hidup absolut dari
masyarakat tertentu, sedangkan ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif
dari seluruh masyarakat.
Menurut Baswir (1997) dan Sumodiningrat (1998). Secara sosioekonomis,
terdapat dua bentuk kemiskinan, yaitu : (1) kemiskinan absolut adalah suatu
kemiskinan di mana orang-orang miskin memiliki tingkat pendapatan dibawah
garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup minimum, kebutuhan hidup minimum antara lain diukur dengan
kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan, GNP per
kapita, pengeluaran konsumsi dan lain-lain, (2) kemiskinan relatif adalah
kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat
pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Seseorang yang tergolong kaya
(mampu) pada masyarakat desa tertentu bisa menjadi yang termiskin pada
masyarakat desa yang lain.
Terdapat bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor
penyebab kemiskinan menurut (Kartasasmita 1996, Sumodiningrat 1998, dan
Baswir 1997) adalah:
1.
Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang
miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki
sumberdaya yang memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia
maupun sumberdaya pembangunan, atau kalaupun mereka ikut serta dalam
pembangunan, mereka hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah.
76
Menurut Baswir (1997) kemiskinan natural adalah kemiskinan yang
disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut
atau karena bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut
Kartasasmita (1996) disebut sebagai “persisten poverty” yaitu kemiskinan
yang telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti ini pada umumnya
merupakan daerah yang kritis sumberdaya alamnya atau daerah yang terisolir.
2.
Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok
masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di
mana mereka tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini
tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau
berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir (1997) bahwa ia miskin karena
faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan sebagainya.
3.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor
buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset
produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia
yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu (Baswir,
1997). Sumodiningrat (1998) mengatakan bahwa munculnya kemiskinan
struktural disebabkan karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural,
yaitu dengan direncanakan bermacam-macam program dan kebijakan. Namun
karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata,
kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi
tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang.
Menurut Kartasasmita (1996) hal ini disebut “accidental poverty”, yaitu
77
kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang
menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat miskin biasanya mempunyai tingkat pendapatan yang rendah.
Pendapatan yang rendah mengakibatkan
masyarakat miskin tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga mereka terjebak pada kondisi yang
disebut sebagai lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty), seperti
yang digambarkan oleh Capello (2007) sebagai berikut:
Kesehatan dan
Pendidikan buruk
Produktivitas rendah
Tingkat pendapatan
rendah
(Kemiskinan)
Tingkat tabungan dan
konsumsi rendah
Sumber: Capello (2007)
Gambar 7. Lingkaran Setan Kemiskinan
Masalah kemiskinan menurut Nurkse disebut sebagai sebuah lingkaran
setan kemiskinan atau the vicious circle of poverty, yang mengandung arti deretan
melingkar kekuatan-kekuatan yang satu sama lain beraksi dan bereaksi
sedemikian rupa sehingga menempatkan suatu negara miskin tetap berada dalam
keadaan miskin. Seseorang yang miskin akan selalu kekurangan makan, sehingga
kesehatannya menjadi buruk. Fisik yang lemah menjadikan kapasitas kerja yang
rendah, sehingga penghasilan juga rendah (menimbulkan kemiskinan) demikian
seterusnya.
Dari sudut permintaan, lingkaran setan adalah rendahnya pendapatan
menyebabkan tingkat permintaan menjadi rendah sehingga tingkat investasi
menjadi rendah. Investasi rendah menyebabkan modal dan produktivitas rendah.
78
Produktivitas rendah tercermin dari pendapatan riil dan tabungan yang rendah.
Tingkat tabungan rendah menyebabkan investasi dan modal rendah. Kurangnya
modal pada gilirannya bermuara pada produktivitas yang rendah, maka
lengkaplah juga lingkaran setan bila dilihat dari sudut penawaran.
Lingkaran setan yang ketiga menyangkut keterbelakangan manusia dan
sumber alam. Pengembangan sumber alam suatu negara tergantung pada
kemampuan produktif manusianya. Bila penduduknya terbelakang, langka akan
keterampilan teknik, pengetahuan, dan aktivitas kewirausahaan, maka sumbersumber alam akan terabaikan, kurang atau bahkan salah guna. Keterbelakangan
sumber alam menyebabkan keterbelakangan manusia. Keterbelakangan sumber
alam merupakan sebab sekaligus akibat keterbelakangan manusia (Meier dan
Baldwin, 1960).
Definisi kemiskinan menurut Bappenas (2004) adalah kondisi dimana
seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hakhak dasar antara lain: (1) terpenuhinya kebutuhan pangan, (2) tersedianya
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya
alam dan lingkungan hidup, (3) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak
kekerasan, dan (4) hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik.
Karakteristik kemiskinan mencakup lima hal, yaitu: (1) penduduk miskin
tidak memiliki faktor produksi sendiri, (2) tidak mempunyai kemungkinan
memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri, (3) tingkat pendidikan
rendah, (4) tidak mempunyai fasilitas, dan (5) mereka berusaha dalam usia yang
relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai
79
(Salim, 1984). Negara berkembang umumnya mempunyai masalah jumlah
penduduk yang tinggi, pendapatan perkapita rendah, rata-rata 40 persen
penduduknya miskin, adanya pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan
(Lewis, 1954).
Manusia merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan
kemakmuran bangsa. Sumberdaya alam tidak akan ada artinya bila tidak ada
sumberdaya manusia yang pandai mengelola sehingga bermanfaat bagi
kehidupan. Sumberdaya manusia yang efektif adalah prasyarat bagi tercapainya
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat
adalah tingkat hidup layak masyarakat yang diindikasikan oleh kondisi ekonomi
dan keadaan sosial masyarakat. Kesejahteraan masyarakat juga dapat diartikan
sebagai tingkat kepuasan agregat dalam suatu masyarakat. Tingkat kesejahteraan
dapat dirumuskan dengan persamaan W = W(Y, I, P) dimana Y adalah pendapatan
per kapita dan berhubungan positif dengan kesejahteraan, I adalah ketimpangan
yang berhubungan negatif dengan W dan P adalah kemiskinan absolut yang juga
berhubungan negatif. Ketiga komponen ini mempunyai signifikansi yang berbedabeda dan perlu mempertimbangkan ketiga elemen ini untuk mendapatkan
penilaian menyeluruh terhadap kesejahteraan di negara berkembang (Todaro dan
Smith, 2003).
Secara umum kesejahteraan dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan
seseorang dalam memenuhi kebutuhan primernya (basic needs) berupa sandang,
pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Definisi kesejahteraan dapat juga
diartikan sebagai tingkat aksesibilitas seseorang dalam kepemilikan faktor-faktor
produksi yang dapat dimanfaatkan dalam suatu proses produksi dan memperoleh
80
imbalan (compensations) dari penggunaan faktor-faktor produksi tersebut.
Semakin tinggi seseorang mampu meningkatkan pemakaian faktor-faktor
produksi yang ia kuasai maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan yang
diraihnya. Demikian pula sebaliknya, orang menjadi miskin karena tidak punya
akses yang luas dalam memiliki faktor-faktor produksi walaupun faktor produksi
itu adalah dirinya sendiri.
Pengertian kesejahteraan sosial menurut Whithaker dan Federico (1997)
merupakan sistem suatu bangsa tentang manfaat dan jasa untuk membantu
masyarakat guna memperoleh kebutuhan sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan
yang penting bagi kelangsungan masyarakat tersebut. Kurangnya kemampuan
seseorang dapat berarti kurang mampu untuk mencapai fungsi tertentu sehingga
menjadi kurang sejahtera. United nations development programe (UNDP) mulai
tahun 1990 telah menyusun suatu indikator kesejahteraan manusia yang dapat
menunjukkan kemajuan manusia berdasarkan rata-rata usia harapan hidup, ratarata lama sekolah, angka melek huruf, dan kesejahteraan secara keseluruhan.
3.7.
Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Perekonomian
Otonomi daerah memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk
menggunakan anggaran sesuai dengan keperluan daerah. Asumsinya, pemerintah
daerah lebih mengerti kondisi daerahnya, sehingga alokasi anggaran lebih tepat
dan sesuai kebutuhan. UU No 32/2004 tentang desentralisasi fiskal memberikan
jaminan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan APBD sesuai kebutuhan
daerah.
Mazhab ekonomi Keynesian dan neo-Keynesian memberikan saran bahwa
campur tangan pemerintah dalam perekonomian sangat diperlukan untuk
81
menciptakan keseimbangan perekonomian dalam jangka pendek. Dalam kondisi
ekonomi booming, maka pemerintah dapat mengurangi campur tangannya dalam
perekonomian. Pada saat perekonomian mengalami overheating atau aktivitas
ekonomi yang terlalu dinamis, maka pemerintah bisa mengerem laju pertumbuhan
ekonomi untuk menghindari resesi. Sebaliknya, dalam kondisi perekonomian lesu,
maka pemerintah harus membantu menggairahkan kondisi ekonomi.
Dengan adanya UU No 32/2004 berarti pemerintah daerah mempunyai
kewajiban untuk turut serta memberikan stimulus dalam perekonomian. Hal ini
dilakukan dengan pengelolaan APBD secara benar, namun tampaknya kurang
dipahami benar oleh pemerintah daerah. Banyak kasus kebijakan pemerintah
daerah yang tidak mempunyai tujuan menggerakkan perekonomian daerah. Dalam
menentukan anggaran pembangunan, banyak proyek pemerintah daerah yang
tidak dapat dilihat multiplier effect-nya bagi perekonomian.
Menurut Goeltom (1997), peran pemerintah dalam sistem perekonomian
modern dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu: (1) peran alokasi, yaitu
peran dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi untuk meningkatkan
kapasitas produksi maupun efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi, (2) peran
distribusi, yaitu mendistribusikan kembali faktor-faktor produksi dan hasilnya,
dan (3) stabilisasi, yaitu menjamin stabilitas ekonomi dan politik.
Dalam implementasinya terjadi trade off antara satu tujuan dengan tujuan
lain. Peran stabilisasi dapat trade off dengan distribusi, peran alokasi dapat trade
off dengan stabilisasi. Untuk mengatasi masalah ini, biasanya dilakukan
kombinasi kebijakan secara terpadu (mixed policy). Meskipun secara teoritis,
peran pemerintah dapat dipisahkan, tetapi dalam implementasinya tidak dapat
82
dipisahkan, sehingga kebijakan pemerintah semestinya harus diputuskan melalui
pertimbangan yang menyeluruh dari berbagai aspek.
Untuk menganalisis dampak belanja pemerintah terhadap pencapaian
kinerja bidang pendidikan, model analisis yang digunakan direfleksikan dalam
bentuk hubungan matematis sebagai berikut: E = f(X ,Z), dimana: E adalah
indikator sosial yang menunjukkan kinerja bidang pendidikan dan kesehatan
sebagai fungsi dari pengeluaran pendidikan dan kesehatan (X), dan vektor variabel
sosial ekonomi (Z) yang diperlakukan sebagai variabel kontrol. Pilar pokok
kebijakan/ program pembangunan adalah :
1. Pemberdayaan: partisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan
menyangkut kehidupan dan
mendapat manfaat dari pembangunan serta
pengentasan kemiskinan
2. Produktivitas dalam meningkatkan mutu modal manusia: SDM, kesehatan
masyarakat dan peningkatan tingkat pendapatan.
3. Pemerataan dalam distribusi pendapatan, meliputi redistribusi asset negara,
akses ke sumberdaya ekonomi, fasilitas sosial, proses pengambilan keputusan
4. Berkelanjutan, yaitu tersedianya SDA bagi generasi mendatang pembangunan
berkelanjutan: pertumbuhan terkendali dan pelestarian lingkungan SDA dan
keanekaragaman hayati.
Kebijakan fiskal (fiscal policy) merupakan salah satu kebijakan
makroekonomi yang secara khusus berkaitan dengan kebijakan penerimaan dan
pengeluaran negara. Instrumen kebijakan fiskal adalah pajak, pengeluaran
pemerintah dan pembayaran transfer (transfer payment). Dalam melaksanakan
kebijakan fiskal, maka variabel-variabel ini akan diubah sesuai dengan tujuan
83
yang ingin dicapai oleh pemerintah. Kebijakan Fiskal berarti penggunaan pajak,
pinjaman masyarakat, pengeluaran masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan
stabilisasi atau pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks negara berkembang
peranan kebijakan fiskal adalah untuk memacu laju pembentukan modal dan
sebagai piranti pembangunan ekonomi. Menurut Jhingan (2004), beberapa tujuan
kebijakan fiskal adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan laju investasi, baik di sektor swasta maupun pemerintah.
2. Mendorong investasi sosial secara optimal sesuai dengan keinginan
masyarakat, mendorong investasi pada overhead sosial dan ekonomi, seperti
investasi di bidang pendidikan, kesehatan dan fasilitas latihan tehnik untuk
overhead sosial. Kedua kategori ini menghasilkan ekonomi eksternal yang
cenderung memperluas pasar, meningkatkan produktivitas dan mengurangi
biaya produksi.
3. Meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran atau setengah
pengangguran. Pengeluaran pemerintah harus diarahkan pada penyediaan
overhead sosial dan ekonomi, yang notabene pengeluaran ini akan lebih
banyak menciptakan lapangan pekerjaan dan menaikkan efisiensi produksi
perekonomian jangka panjang.
4. Meningkatkan stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian internasional.
5. Menanggulangi inflasi, misalnya dengan diberlakukannya pajak langsung
progresif yang dilengkapi dengan pajak komoditi.
6. Meningkatkan dan meredistribusikan pendapatan nasional agar dapat
mengurangi ketimpangan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
84
Menurut Psacharopoulos (1977), kesempatan sekolah di semua tingkat
telah mendorong pertumbuhan ekonomi agregat melalui:
1. Terciptanya angkatan kerja yang lebih produktif karena bekal pengetahuan
dan keterampilan yang lebih baik.
2. Tersedianya kesempatan kerja yang lebih luas dan kesempatan untuk
mendapatkan penghasilan bagi guru, pekerja bangunan, pencetakan buku
sekolah, pembuat seragam sekolah dan pekerja lain yang terkait dengan
sekolah.
3. Terciptanya kelompok pemimpin yang terdidik untuk mengisi jabatan yang
ditinggalkan oleh ekspatriat atau di lembaga pemerintah, perusahaan publik,
swasta serta profesi.
4. Tersedianya berbagai program pendidikan dan pelatihan yang mendorong
kemampuan baca tulis dan keterampilan dasar dan mendorong terciptanya
sikap-sikap modern dalam masyarakat.
Kebijakan fiskal dalam bentuk peningkatan pengeluaran pemerintah
menyebabkan kurva agregat demand bergeser dari AD0 ke AD1 dan output
bertambah dari Y0 ke Y1. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan
dan kesehatan akan meningkatkan kapabilitas dan produktivitas tenaga kerja.
Peningkatan produktivitas tenaga kerja akan menyebabkan output bertambah dan
menggeser kurva agregat supply dari AS0 ke AS1. Oleh karena tingkat upah riil
sama dengan marginal product of labor (MPL = w), maka peningkatan
produktivitas akan meningkatkan output dan tidak menyebabkan harga naik,
sehingga keseimbangan akhir akan berada pada titik Y2-P0.
85
Peningkatan investasi SDM menyebabkan ouput meningkat dari dua sisi,
yaitu sisi agregat demand dan agregat supply secara bersamaan serta tidak
menimbulkan efek inflasioner. Sebagai dampak akhirnya, peningkatan investasi
SDM menyebabkan output meningkat dari Y0 ke Y2 dan harga tetap pada P0
(Branson dan Litvack, 1981). Selengkapnya tentang dampak investasi SDM pada
pasar barang seperti dijelaskan pada Gambar 8 berikut ini:
P
AS0
AS1
P0
AD1
AD0
Y
Y2
Sumber: Branson dan Litvack (1981)
Gambar 8. Dampak Investasi SDM pada Pasar Barang
Y0
Y1
Peningkatan investasi SDM dapat meningkatkan output dan penyerapan
tenaga kerja, sehingga pengangguran, ketimpangan pendapatan, dan kemiskinan
berkurang. Dampak akhirnya adalah tercapainya tujuan pebangunan growth dan
equity secara simultan.
86
Download