BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Nilai Perusahaan Nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual (Kusuma, dkk, 2012). Nilai perusahaan akan dijadikan sebagai suatu ukuran keberhasilan manajemen perusahaan dalam operasi di masa lalu dan untuk prospek di masa mendatang sehingga dapat mewujudkan kepercayaan bagi pemegang saham perusahaan, karena apabila kesejahteraan para pemegang saham sudah mampu terpenuhi, maka sudah pasti keadaan tersebut mencerminkan nilai perusahaan yang tinggi pula. Ukuran nilai perusahaan merupakan kekayaan bersih akuntansi atau nilai buku (Thavikulwat, 2004). Nilai perusahaan dapat diukur dengan menggunakan rasio penilaian atau rasio pasar. Rasio penilaian atau rasio pasar untuk mengukur pengakuan pasar terhadap kondisi keuangan yang dicapai oleh perusahaan (Wiagustini, 2010:78). Dalam menilai saham atau harga sahamnya, menurut Tandelilin (2010:301) menyatakan bahwa terdapat dua analisis yang bisa dilakukan, yaitu analisis yang bersifat teknikal dan analisis yang bersifat fundamental. Analisis teknikal biasanya berupa grafik dalam melakukan penilaiannya. Penilaian dengan menggunakan analisis teknikal, yaitu dengan cara The Down Theory, analisis rata-rata bergerak, dan analisis Relative Strength. Analisis fundamental itu sendiri adalah analisis yang menggunakan pendekatan sebagai berikut: 1) Pendekatan nilai sekarang Perhitungan harga saham dengan cara mendikontokan aliran kas yang diharapkan di masa depan dengan tingkat diskonto sesuai dengan tingkat return yang diharapkan investor. Harga intrinsik saham ini akan sama dengan nilai diskonto cashflow yang akan diterima investor di masa mendatang. 2) Pendekatan Price Earning Ratio (PER) Pendekatan PER akan menggambarkan perbandingan antara harga saham terhadap earning perusahaan dalam bentuk rasio. Pendekatan ini juga memberikan informasi seberapa besar rupiah yang harus dibayarkan investor untuk mendapatkan setiap Rp 1 dari laba perusahaan. 3) Rasio harga per nilai buku atau Price to Book Value (PBV) Secara teoritis, harga suatu saham harus menggambarkan buku saham itu sendiri. Rasio harga terhadap nilai buku umumnya digunakan untuk menilai saham dari sektor perbankan karena assetaset bank memiliki nilai pasar dan nilai buku yang relatif sama (Tandelilin, 2010:323). Rasio mencerminkan kinerja perusahaan yang terlihat dari harga saham perusahaannya. Idealnya, harga saham jika dibandingkan dengan nilai buku akan mendekati satu. Semakin besar rasio ini, mencerminkan semakin baik pula kinerja perusahaan. 4) Rasio harga terhadap aliran kas Pada dasarnya pendekatan ini menghitung harga saham berdasarkan aliran kasnya (cashflow) perusahaan bukan berdasarkan earning yang diperoleh perusahaan. Secara akuntansi, data aliran kas dianggap lebih relevan daripada earning perusahaan. 5) Pendekatan Economic Value Added (EVA) Ukuran keberhasilan perusahaan dalam meningkatkan nilai tambah perusahaan merupakan pengertian dari EVA. Semakin baik kinerja perusahaan, maka dapat dipastikan adanya peningkatan harga saham dari perusahaan tersebut. Jika rasio ini positif, maka akan terdapat nilai tambah dari perusahaan tersebut sehingga akan meningkatkan harga saham perusahaan begitu juga sebaliknya. 2.1.2 Profitabilitas Menurut Husnan (2002:56) profitabilitas adalah hasil bersih dari berbagai kebijaksanaan dan keputusan yang diterapkan oleh sebuah perusahaan. Selain dari itu, profitabilitas didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari penjualan barang atau jasa yang diproduksinya (Astuti, 2004:36). Profitabilitas memiliki peran penting dalam semua bisnis, profitabilitas menunjukkan efisiensi keseluruhan perusahaan dan kinerja perusahaan, serta kemampuan perusahaan untuk melakukan pengembalian kepada investor. Tanpa keuntungan bisnis tidak akan berjalan lancar dan bertahan dalam jangka panjang. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menilai profitabilitas suatu perusahaan tergantung pada laba dan aktiva atau modal mana yang akan diperbandingkan satu dan lainnya, maka dipilih profitabilitas mana yang akan digunakan sebagai alat pengukur efisiensi penggunaan modal dalam perusahaan yang bersangkutan. Ada empat cara yang dapat digunakan untuk mengukur profitabilitas suatu perusahaan, yaitu (Brigham & Houston, 2009:107): 1) Margin laba atas penjualan (profit margin on sale) yang dihitung dengan membagi laba bersih dengan penjualan. Rasio ini mengukur tingkat pengembalian bersih terhadap penjualan bersihnya (Wiagustini, 2010). Margin laba perusahaan = ππππ ππππ πβ πππππ’ππππ x 100% ........................................(1) 2) ROA digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan didalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Pengembalian atas total asset (return on asset) setelah bunga dan pajak diukur dengan rasio laba bersih terhadap total asset (Wiagustini, 2010). Return on Asset (ROA) = πΏπππ π΅πππ πβ πππ‘πππβ πππππ πππ‘ππ π΄π π ππ‘ x 100%...................(2) 3) Rasio kemampuan dasar untuk menghasilkan laba (Basic Earning Power) dihitung dengan membagi jumlah laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) dengan total asset (Wiagustini, 2010). πΈπ΅πΌπ BEP = π‘ππ‘ππ ππ π ππ‘ x 100%.......................................................................(3) 4) ROE merupakan tingkat pengembalian atau ekuitas pemilik perusahaan. Pengembalian ekuitas biasa atau yang biasa disebut dengan rasio akuntansi “bottom line” (Wiagustini, 2010). πΏπππ ππππ πβ ROE = πππ’ππ‘ππ ππππ π x 100%..................................................................(4) 2.1.3 Leverage Beberapa konsep teori struktur modal (leverage) yang dikemukakan para ahli, antara lain pendekatan tradisional, trade off theory, pecking order theory dan signaling. 1) Pendekatan Tradisional Pendekatan tradisional berpendapat akan adanya struktur modal yang optimal. Dengan kata lain struktur modal mempunyai pengaruh terhadap nilai perusahaan. Struktur modal bisa diubahubah agar bisa diperoleh nilai perusahaan yang optimal, tergantung dari seberapa besar penggunaan hutang tersebut. Bila penggunaan hutang itu terlalu tinggi maka nilai perusahaan akan turun karena hutang menjadi semakin tinggi, biaya modal meningkat sehingga risiko penggunaan hutang semakin tinggi dan membuat biaya modal saham juga meningkat. 2) Teori Trade-Off Dalam kenyataan, ada hal-hal yang membuat perusahaan tidak bisa menggunakan hutang sebayak-banyaknya. Satu hal yang terpenting adalah dengan semakin tingginya hutang, akan semakin tinggi kemungkinan (probabilitas) kebangkrutan. Sebagai contoh, semakin tinggi hutang, semakin besar bunga yang harus dibayarkan, kemungkinan tidak membayar bunga yang tinggi akan semakin besar. Pemberi pinjaman bisa membangkrutkan perusahaan jika perusahaan tidak bisa membayar hutang. Biaya kebangkrutan tersebut bisa cukup signifikan. Penelitian di luar negeri menunjukkan biaya kebangkrutan bisa mencapai 20% dari nilai perusahaan. Biaya tersebut mencakup dua hal: 1. Biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar biaya administrasi, biaya pengacara, biaya akuntan dan biaya lainnya yang sejenis. 2. Biaya tidak langsung adalah biaya yang terjadi karena dalam kondisi kebangkrutan, perusahaan lain atau pihak lain tidak mau berhubungan dengan perusahaan secara normal. Misal, supplier barangkali tidak akan mau memasok barang karena mengkhawatirkan kemungkinan tidak terbayar. 3) Pecking Order Theory Teori trade-off mempunyai implikasi bahwa manajer akan berpikir dalam kerangka trade-off antara penghematan pajak dan biaya kebangkrutan dalam penentuan struktur modal. Dalam kenyataan empiris, nampaknya jarang manajer keuangan yang berpikir demikian. Seorang akademisi, Donaldson (1961) melakukan pengamatan terhadap perilaku struktur modal perusahaan di Amerika Serikat. Pengamatannya menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai keuntungan yang tinggi ternyata cenderung menggunakan hutang yang lebih rendah. Secara spesifik, perusahaan mempunyai urutan preferensi dalam penggunaan dana. Skenario urutan dalam Pecking Order Theory adalah sebagai berikut ini. 1. Perusahaan memilih pendanaan internal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba (keuntungan) yang dihasilkan dari kegiatan peruahaan. 2. Perusahaan menghitung target rasio pembayaran didasarkan pada perkiraan kesempatan investasi. Perusahaan berusaha menghindari perubahan dividen yang tiba-tiba. Dengan kata lain, pembayaran dividen diusahakan konstan atau kalau berubah terjadi secara gradual dan tidak berubah dengan signifikan. 3. Karena kebijakan dividen yang konstan (sticky), digabung dengan fluktuasi keuntungan dan kesempatan investasi yang tidak bisa diprediksi, akan menyebabkan aliran kas yang diterima oleh perusahaan akan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran investasi pada saat-saat tertentu dan akan lebih kecil pada saat yang lain. Jika kas tersebut lebih besar, perusahaan akan membayar hutang atau membeli surat berharga. Jika kas tersebut lebih kecil, perusahaan akan menggunakan kas yang dipunyai atau menjual surat berharga. 4. Jika pendanaan eksternal diperlukan, perusahaan akan mengeluarkan surat berharga yang paling aman terlebih dulu. Perusahaan akan memulai dengan hutang, kemudian dengan surat berharga campuran (hybrid) seperti obligasi konvertibel dan kemudian barangkali saham sebagai pilihan terakhir. Teori pecking order bisa menjelaskan kenapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat hutang yang lebih kecil. Tingkat hutang yang kecil tersebut tidak dikarenakan perusahaan mempunyai target tingkat hutang yang kecil, tetapi karena mereka tidak membutuhkan dana eksternal. Tingkat keuntungan yang tinggi menjadikan dana internal mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan investasi (Hanafi, 2011:313). 4) Signaling Ross (1977) mengembangkan model dimana leverage (penggunaan hutang) merupakan signal yang disampaikan oleh manajer ke pasar. Jika manajer mempunyai keyakinan bahwa prospek perusahaan baik dan karenanya ingin agar harga saham meningkat, ia ingin mengkomunikasikan hal tersebut ke investor. Salah satu cara yang paling sederhana adalah dengan mengatakan secara langsung ‘perusahaan kami mempunyai prospek yang baik’. Tentu saja investor tidak akan percaya begitu saja. Disamping itu, manajer ingin memberikan signal yang lebih dipercaya (credible). Manajer bisa menggunakan hutang lebih banyak sebagai signal yang lebih kredible. Jika hutang meningkat, maka kemungkinan bangkrut akan semakin meningkat. Jika perusahaan mengalami kebangkrutan maka manajer akan ‘terhukum’, misal reputasinya akan hancur dan tidak bisa dipercaya menjadi manajer lagi. Karena itu, perusahaan yang meningkatkan hutang bisa dipandang sebagai perusahaan yang yakin dengan prospek perusahaan dimasa mendatang. Karena cukup yakin, maka manajer perusahaan tersebut berani menggunakan hutang yang lebih besar. Investor diharapkan akan menangkap signal tersebut, signal bahwa perusahaan mempunyai prospek yang baik. Dengan demikian hutang merupakan tanda atau signal positif untuk meningkatkan nilai perusahaan dimata investor (Hanafi, 2011:316). 2.1.4 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan adalah salah satu variabel yang dipertimbangkan dalam menentukan nilai perusahaan. Ukuran perusahaan merupakan cerminan total aset yang dimiliki perusahaan. Semakin besar ukuran perusahaan, berarti aset yang dimiliki perusahaan pun semakin besar dan dana yang dibutuhkan perusahaan untuk mempertahankan kegiatan operasionalnya pun semakin banyak. Semakin besar ukuran perusahaan akan mempengaruhi keputusan manajemen dalam memutuskan pendanaan apa yang akan digunakan oleh perusahaan agar keputusan pendanaan dapat mengoptimalkan nilai perusahaan. Menurut Riyanto (2011:299), suatu perusahaan yang besar dimana sahamnya tersebar sangat luas, setiap perluasan modal saham hanya akan mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kemungkinan hilangnya atau tergesernya kontrol dari pihak dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan. Sebaliknya perusahaan yang kecil dimana sahamnya hanya tersebar di lingkungan kecil, penambahan jumlah saham akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemungkinan hilangnya kontrol pihak dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian maka pada perusahaan yang besar dimana sahamnya tersebar sangat luas akan lebih berani mengeluarkan saham baru dalam memenuhi kebutuhannya untuk membiayai pertumbuhan penjualan dibandingkan dengan perusahaan yang kecil. 2.2 Hipotesis Hipotesis merupakan dugaan sementara terhadap suatu hasil penelitian yang kebenarannya harus diuji melalui penelitian secara empiris. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 2.2.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Nilai Perusahaan Ukuran perusahaan dianggap mampu memengaruhi nilai perusahaan. Ukuran perusahaan dapat terlihat dari total aset yang dimiliki oleh satu perusahaan. Ukuran perusahaan yang besar mencerminkan bahwa perusahaan tersebut sedang mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang baik sehingga meningkatkan nilai dari suatu perusahaan. Nilai perusahaan yang meningkat dapat ditandai dengan total aktiva perusahaan yang mengalami kenaikan dan lebih besar dibandingkan dengan jumlah hutang perusahaan. Penelitian dari Gill dan Obradovich (2012) menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh positif signifikan terhadap nilai suatu perusahaan. Pernyataan tersebut juga didukung oleh beberapa peniliti seperti Maryam (2014), dan Prasetyorini (2013) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. H1: Ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. 2.2.2 Pengaruh Leverage terhadap Nilai Perusahaan Leverage merupakan kebijakan pendanaan yang berkaitan dengan keputusan perusahaan dalam membiayai perusahaan. Perusahaan yang menggunakan hutang mempunyai kewajiban atas beban bunga dan beban pokok pinjaman. Penggunaan hutang (external financing) memiliki risiko yang cukup besar atas tidak terbayarnya hutang, sehingga penggunaan hutang perlu memperhatikan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba (Prasetyorini, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Cheng dan Tzeng (2011) menyatakan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dan didukung oleh Maryadi, dkk (2012). Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Hermuningsih (2013) yang menyatakan bahwa leverage berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Penelitian Ugwuanyi (2012) menyatakan bahwa peningkatan hutang di struktur modal meningkatan kekayaan pemegang saham yang nantinya akan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Serta penelitian Gill dan Obradovich (2012) yang juga menyatakan bahwa leverage berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan H2: Leverage berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. 2.2.3 Pengaruh Profitabilitas terhadap Nilai Perusahaan Profitabilitas adalah tingkat keuntungan bersih yang diperoleh oleh perusahaan pada saat menjalankan operasinya (Hardiyanti, 2012). Profitabilitas perusahaan yang tinggi akan mencerminkan prospek perusahaan yang baik. Semakin tinggi profitabilitas yang dimiliki oleh suatu perusahaan, maka akan mencerminkan tingkat efisiensi perusahaan yang inggi juga, sehingga terlihat kinerja perusahaan yang baik pula. Penelitian yang dilakukan oleh Naceur dan Goaied (2002) menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Pernyataan tersebut didukung oleh beberapa peniliti seperti Ju Chen dan Yu Chen (2011), Gill dan Obradovich (2012), dan Hermuningsih (2013) yang juga menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. H3: Profitabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. 2.2.4 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Profitabilitas Besar kecilnya ukuran perusahaan cukup mempengaruhi tingkat profitabilitas suatu perusahaan. Perusahaan yang memiliki ukuran perusahaan yang lebih besar cenderung mempunyai pengaruh terhadap peningkatan profitabilitas dan nilai perusahaan (Hansen dan Juniarti, 2014). Sunarto dan Budi (2009) serta Niresh dan Velnampy (2014) menyatakan bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas. Perusahaan yang berukuran lebih besar akan relatif stabil dan mampu menghasilkan profit. Begitu pula sebaliknya, jika ukuran suatu perusahaan dikatakan kecil maka perusahaan tersebut memiliki tingkat efisiensi yang rendah dengan tingkat leverage financial yang lebih tinggi. Investor dalam hal ini akan jauh lebih berhati-hati dan cenderung melakukan investasi saham pada perusahaan yang memiliki ukuran besar karena memiliki tingkat resiko yang lesbih kecil. H4 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas. 2.2.5 Pengaruh Leverage terhadap Profitabilitas Perusahaan yang menggunakan sumber dana dari hutang harus mempertimbangkan kemampuannya untuk melunasi kewajiban tetapnya. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk menentukan struktur modal yang optimal bagi perusahaan. Pemilihan struktur modal yang tidak optimal akan menurunkan nilai perusahaan melalui penurunan tingkat profitabilitas yang ditandai dengan kerugian yang dialami oleh perusahaan. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Salehi dan Bashiri (2012) menyatakan bahwa struktur modal (leverage) berpengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas. Hasil penilitian yang dilakukan oleh Ju Chen dan Yu Chen (2011) juga menyatakan bahwa leverage memliki pengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas. Hasil yang sama juga diungkapkan oleh Khalid (2011) yang menyatakan bahwa leverage berpengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas. Odongo, Leonard, dan Mokoteli (2014) menyatakan leverage berpengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas suatu perusahaan. H5: Leverage berpengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas.