BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Sistematika Tumbuhan Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Brassicales Suku : Brassicaceae Genus : Brassica Spesies : Brassica oleracea L. var. botrytis L. (Cahyono, 2001). 2.1.2 Sinonim Tumbuhan Brassica oleracea var. botrytis subvar. Cymosa, Brassica botrytis Miller, Brassica oleracea var botrytis cauliflora, Brassica oleracea L. var. italica Plenck 2.1.3 Nama Daerah Indonesia : Brokoli (Dalimartha, 1999). 2.1.4 Daerah Tumbuh Brokoli (Brassica oleracea L. var. botrytis L.) merupakan tanaman sayuran subtropik yang banyak dibudidayakan di Eropa dan Asia. Tanaman brokoli termasuk tanaman musim dingin, sehingga cocok ditanam pada daerah pegunungan (dataran tinggi) yang beriklim sejuk. Di Indonesia, tanaman brokoli sebagai sayuran dibudidayakan secara luas pada daerah tinggi seperti Bukit Tinggi Universitas Sumatera Utara (Sumatera Barat), Karo (Sumatera Utara), Pangalengan (Jawa Barat) dan Sumber Brantas (Jawa Timur). Di Indonesia sayuran brokoli telah dikenal sejak abad ke15, yaitu mulai penjajahan Belanda, sehingga lebih dikenal sebagai sayuran Eropa. Melalui kultivasi yang dilakukan telah dihasilkan jenis brokoli yang beragam, seperti kaelan (kale), brokoli (cabbage), brokoli umbi (kohlrabi), brokoli bunga (cauliflower), brokoli (broccoli) dan brokoli tunas. Meskipun kelihatannya sangat berbeda namun merupakan spesies yang sama (Muslim, 2010). Pada mulanya bunga brokoli dikenal sebagai sayuran daerah beriklim dingin (sub tropis), sehingga di Indonesia cocok ditanam di dataran tinggi antara 1.000 – 2.000 meter dari atas permukaan laut (dpl) yang suhu udaranya dingin dan lembab. Kisaran temperatur optimum untuk pertumbuhan produksi sayuran ini antara 15,5 - 18°C dan maksimum 24°C. Setelah beberapa negara di kawasan Asia berhasil menciptakan varietas-varietas unggul baru yang tahan terhadap temperatur tinggi (panas), maka brokoli dapat ditanam di dataran menengah sampai tinggi (Rukmana, 1994). Tanaman brokoli termasuk kedalam tanaman sayuran semusim atau berumur pendek. Tanaman brokoli hanya dapat berproduksi satu kali dan setelah itu akan mati (Cahyono, B., 2001). 2.1.5 Morfologi Tumbuhan Brokoli memiliki tangkai daun agak panjang dan helai daun berlekuklekuk panjang. Tangkai bunga brokoli lebih panjang dan lebih besar dibandingkan dengan kubis bunga. Massa bunga brokoli tersusun secara kompak membentuk bulatan berwarna hijau tua, hijau kebiru-biruan, kuning atau putih dengan diameter antara 15-20 cm atau lebih (Rukmana, 1994; Cahyono, 2001). Universitas Sumatera Utara Bentuk tanaman ini selintas mirip dengan kubis bunga. Hanya saja kepala bunganya tersusun atas kuntum-kuntum bunga dan tangkainya berdaging tebal. Tergantung varietasnya, warna kepala bunga ada empat macam yaitu hijau, ungu, putih dan hijau muda. Pada ketiak daun muncul juga kepala bunga yang lebih kecil dan akan keluar bila kepala bunga utama telah dipangkas atau dipanen. Kepala bunga utama dan samping serta tangkai berdaging tebal merupakan bagian-bagian yang biasa digunakan atau dimakan. Pada kondisi lingkungan yang sesuai, massa bunga brokoli dapat tumbuh memanjang menjadi tangkai bunga yang penuh dengan kuntum bunga, tiap bunga terdiri atas 4 helai kelopak bunga (calyx), 4 helai daun mahkota bunga (corolla), 6 helai benang sari yang komposisinya 4 memanjang dan 2 pendek. Bakal buah terdiri atas 2 ruang dan setiap ruang berisi bakal biji (Rukmana, 1994; Cahyono, 2001). Biji brokoli memiliki bentuk dan warna yang hampir sama, yaitu bulat kecil berwarna coklat sampai kehitaman. Biji tersebut dihasilkan oleh penyerbukan sendiri ataupun silang dengan bantuan sendiri ataupun serangga. Buah yang terbentuk seperti polong-polongan tetapi ukurannya kecil, ramping dan panjangnya sekitar 3-5 mm (Rukmana, 1994). Sistem perakaran relatif dangkal, dapat menembus kedalaman 60-70 cm. Akar yang baru tumbuh berukuran 0,5 mm, tetapi setelah berumur 1-2 bulan sistem perakaran menyebar ke samping pada kedalaman antara 20-30 cm (Rukmana, 1994). Dengan perakaran yang dangkal tersebut, tanaman brokoli dapat tumbuh dengan baik apabila ditanam pada tanah yang gembur dan berpori (Cahyono, 2001). Universitas Sumatera Utara 2.1.6 Kandungan Kimia Brokoli mengandung air, protein, lemak, karbohidrat, serat, kalsium, zat besi, vitamin (A, C, E, tiamin, riboflavin, nikotinamid), beta karoten dan glutation. Selain itu brokoli mengandung senyawa sianohidroksibutena (CHB), sulforafan dan iberin yang merangsang pembentukan glutation (Dalimartha, 1999). Selain itu dari proses biosintesis di dalam brokoli juga dihasilkan 3,3-diindolilmetana (DIM) (Anonima, 2011). 2.1.7 Manfaat Brokoli berkhasiat mempercepat penyembuhan penyakit serta mencegah dan menghambat perkembangan sel-sel kanker di dalam tubuh. Terutama penyakit kanker yang berkaitan dengan hormon, seperti kanker payudara pada wanita dan kanker prostat yang mengancam pria. Manfaat lainnya brokoli mampu mencegah serangan stroke. Tanaman ini sangat baik dikonsumsi penderita kencing manis. Kandungan kromium dan seratnya dapat mengatur kadar gula darah. Brokoli memperkuat sel-sel tulang sehingga dapat mencegah penyakit pengeroposan tulang (osteoporosis) di usia tua (Dalimartha, 1999). Brokoli juga dapat mencegah migrain, penyakit maag dan dapat meningkatkan kekuatan otak. Selain itu dapat juga digunakan sebagai antibiotik karena kandungan sulforafannya bisa membunuh bakteri yang kebal antibiotik (Anonima, 2011). 2.2 Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan. Sebelum ekstraksi dilakukan biasanya bahan- Universitas Sumatera Utara bahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1987). Menurut Ditjen POM (2000), beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan dalam berbagai penelitian antara lain yaitu: A. Cara dingin 1. Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan panambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari dan tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari. 2. Perkolasi Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan. B. Cara panas 1. Refluks Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang Universitas Sumatera Utara relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga bahan dapat terekstraksi sempurna. 2. Digesti Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi daripada temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C. 3. Sokletasi Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga menjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 4. Infundasi Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit. Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk menyari kandungan zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh karena itu sari yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. 5. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit. Universitas Sumatera Utara 2.3 Artemia salina Artemia merupakan zooplankton yang diklasifikasikan ke dalam filum Arthropoda dan kelas Crustaceae. Secara lengkap sistematika artemia dapat dijelaskan sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Crustaceae Subkelas : Branchiophoda Ordo : Anostraca Famili : Artemiidae Genus : Artemia Spesies : Artemia salina Leach Artemia merupakan jenis larva udang yang hidup dalam air yang berkadar garam tinggi. Artemia adalah spesies yang sangat tua yang tidak mengalami perubahan sejak 100 juta tahun lalu. Artemia ini sangat populer di Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara lain yang biasanya dijadikan hewan peliharaan untuk anak-anak dan didistribusikan dalam bentuk siste yang kering (Anonimb, 2011). Pada kondisi alamiah, Artemia hidup di danau–danau dan perairan bersalinitas tinggi. Oleh karena itu, Artemia disebut juga udang renik asin (brine shrimp). Secara fisik, Artemia tidak mempunyai pertahanan tubuh, oleh karena itu kemampuan hidup di danau dengan salinitas tinggi merupakan sistem pertahanan alamiah Artemia terhadap musuh-musuh pemangsanya. Artemia dapat tumbuh baik pada temperatur 25-30 oC. Universitas Sumatera Utara Telur Artemia ada dua jenis yaitu telur berkulit tipis, dimana jenis telur ini akan segera menetas, dan telur yang berkulit tebal (siste), dimana jenis telur ini bisa tetap bertahan dalam keadaan kering. Siste ini bisa disimpan selama beberapa tahun dan akan menetas ketika mereka ditempatkan dalam air. Telur yang tebal akan diproduksi ketika tubuh Artemia kekurangan air dan konsentrasi garam air laut meningkat (Anonimb, 2011). Apabila telur Artemia (udang laut) yang kering direndam dalam air laut, akan menetas dalam waktu 24-36 jam. Dari dalam cangkang keluar larva yang disebut dengan istilah nauplii. Dalam perkembangan selanjutnya, nauplii akan mengalami 15 kali perubahan bentuk (metamorfosis). Setiap kali mengalami perubahan bentuk merupakan satu tingkatan. Tahapan perkembangan pertama disebut instar I, bentuk lonjong dengan panjang sekitar 0,4 mm dan beratnya 15 mikrogram. Warnanya kemerah-merahan karena masih banyak mengandung cadangan makanan. Oleh karena itu masih belum memerlukan makanan. Setelah 24 jam menetas, nauplii akan berubah menjadi instar II. Pada tingkat ini nauplii mulai mempunyai mulut, saluran pencernaan dan dubur. Oleh karena itu mereka mulai mencari makanan dan bersamaan dengan itu cadangan makanannya pun mulai habis. Artemia mempunyai cara makan dengan jalan menyaring makanannya atau filter feeder. Selama perubahan bentuk terjadi, nauplii akan mengalami perubahan mata majemuk, antena dan kaki. Setelah menjadi instar XV, kakinya sudah lengkap 11 pasang maka nauplii telah berubah menjadi nauplii Artemia dewasa. Proses ini berlangsung antara 1-3 minggu. Artemia dewasa mempunyai panjang sekitar 1 cm dan beratnya 10 mg. Artemia Universitas Sumatera Utara dewasa dapat hidup sampai 6 bulan dan bertelur 4-5 kali. Setiap kali bertelur dapat menghasilkan 50-300 butir telur (Mudjiman, 1989). 2.4 Uji Aktivitas Biologis Dewasa ini penelitian terhadap senyawa aktif dari bahan alam sangat digalakkan. Tetapi banyak bahan-bahan obat alami yang telah diisolasi, dikarakterisasi dan dipublikasikan tanpa dilanjutkan dengan uji aktivitas biologi. Aktivitas biologi tumbuhan tersebut tidak diketahui hingga bertahun-tahun. Hal ini disebabkan karena pencarian untuk senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi sering menggunakan uji aktivitas dengan biaya yang mahal. Hambatan biaya ini mempengaruhi kegiatan farmakologis. Oleh karena itu dibutuhkan suatu uji aktivitas yang secara umum sederhana, mudah dan murah namun dapat dipercaya dan dapat mendeteksi adanya senyawa yang mempunyai aktivitas biologi secara luas yang terdapat pada ekstrak, fraksi dan isolat. Beberapa uji pendahuluan yang memenuhi syarat-syarat di atas antara lain: Metode Potato Disk, Brine Shrimp Lethality Test (BST) dan Uji terhadap Lemna minor L (McLaughlin and Lingling, 1998). 2.4.1 Brine Shrimp Lethality Test Senyawa bioaktif hampir selalu toksik pada dosis tinggi. Oleh karena itu kematian hewan percobaan pada pengujian suatu ekstrak dapat digunakan sebagai skrining awal terhadap ekstrak tumbuhan yang mempunyai bioaktivitas dan juga untuk mengetahui komponen zat aktifnya. Salah satu organisme yang dapat digunakan untuk pengujian tersebut adalah udang laut (brine shrimp). Brine shrimp test sudah digunakan dalam Universitas Sumatera Utara berbagai pengujian yaitu untuk menganalisa residu pestisida, mikotoksin, polutan pada air sungai, anastetik, toksin dinoflagelata senyawa yang berupa morfin, toksisitas pada dispersan minyak. Dalam fraksinasi yang diarahkan dengan bioassay, metode brine shrimp telah digunakan untuk memonitor fraksi aktif mikotoksin dan antibiotik pada ekstrak jamur (Meyer et al, 1982). Artemia salina Leach adalah sejenis udang air asin. Telurnya merupakan makanan ikan tropis dan telur tersebut dapat dijumpai di toko-toko yang menjual ikan hias tropis dengan nama brine shrimp eggs. Telur ini dapat bertahan selama bertahun-tahun dalam keadaan kering. Setelah ditempatkan dalam larutan air laut, telur-telur akan menetas dalam menetas dalam waktu 48 jam dan menghasilkan sejumlah nauplii. Nauplii Artemia salina Leach ini dapat dipakai sebagai hewan percobaan untuk mendeteksi senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas biologi (McLaughlin and Lingling, 1998). 2.4.2 Metode Potato Disk (menghambat tumor crown gall) Crown gall adalah penyakit tumor pada tumbuhan yang ditimbulkan oleh strain yang spesifik dari bakteri gram negatif Agrobacterium tumefaciens. Terdapat kesamaan antara mekanisme terjadinya tumor pada tumbuhan dan pada hewan, senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan tumor pada tumbuhan juga dapat berfungsi sebagai antitumor pada hewan. Uji ini merupakan uji pendahuluan yang sederhana untuk menemukan senyawa antikanker dari bahan alami. Penghambatan pertumbuhan crown gall tumor pada potato disk oleh ekstrak alami, menunjukkan bahwa ekstrak bahan alami tersebut memiliki aktivitas biologi (Mclaughlin and Lingling , 1998). Universitas Sumatera Utara 2.4.3 Uji Terhadap Lemna minor L. Lemna minor L. adalah tumbuhan monokotil yang hidup di daerah perairan. Pada kondisi normal, kondisi ini secara langsung menghasilkan anak daun. Jika ekstrak bahan alami dapat menghambat pertumbuhan dari anak daun tumbuhan Lemna minor L., maka ekstrak bahan alami tersebut dianggap juga dapat berkhasiat sebagai antitumor (McLaughlin and Lingling, 1998). 2.4.4 Uji Terhadap cell line Bahan alami yang telah dinyatakan aktif pada uji pendahuluan, selanjutnya dilakukan uji pada tahap berikutnya yaitu uji cell line. Uji ini menggunakan sel-sel kanker secara in vitro, zat-zat antikanker diuji langsung terhadap sel kanker. Contoh-contoh cell line yang banyak digunakan dalam pengujian zat-zat antikanker antara lain L-1210 (leukimia pada tikus), S-256 (sarcoma pada manusia) (McLaughlin and Lingling, 1998). Universitas Sumatera Utara