3 TINJAUAN PUSTAKA Anggrek Phalaenopsis sp. Phalaenopsis adalah salah satu genus anggrek yang memiliki kurang lebih 40-60 spesies. Jumlah varietasnya sekitar 140 jenis, 60 diantaranya terdapat di Indonesia. Selama ini pemahaman Phalaenopsis sering disalahartikan dengan anggrek bulan. Padahal anggrek bulan atau Phalaenopsis amabilis hanyalah salah satu spesies dari genus Phalaenopsis. Nama Phalaenopsis berasal dari Bahasa Yunani, yaitu Phalenos yang berarti ngengat dan opsis berarti bentuk atau penampakan. Blume, seorang ahli botani berkebangsaan Belanda, yang memberi nama Phalaenopsis pada tahun 1825. Nama tersebut muncul saat ia menjumpai anggrek ini untuk pertama kalinya (Iswanto 2001). Melihat cara hidupnya di alam, anggrek Phalaenopsis termasuk jenis epifit. Jenis ini hidup menumpang pada pohon lain tanpa merugikan tanaman inangnya. Anggrek menyukai kondisi lingkungan yang ternaungi dengan intensitas cahaya matahari yang tidak terlalu tinggi, hanya berkisar antara 20-50%. Berdasarkan kebutuhan suhu, anggrek Phalaenopsis membutuhkan kelembapan nisbi yang cukup tinggi yaitu 60-85% dan termasuk jenis anggrek tipe hangat, suhu malam hari yang diperlukan antara 21-24ºC dan siang hari antara 24-29ºC. Saat suhu terlalu tinggi, air cepat terserap oleh daun, sementara itu akar tidak mampu menyerap cukup air untuk mengimbangi penyerapan daun, akibatnya batang dan daun anggrek tampak berkerut. Saat suhu terlalu rendah, daun menjadi rapuh dan pertumbuhan menjadi sangat lamban (Iswanto 2001). Penyakit Busuk Lunak Gejala Serangan Busuk lunak merupakan penyakit utama pada tanaman anggrek dan penyakit ini dapat ditemukan disemua jenis tanaman anggrek (Burnett 1986 dalam Yarmadi 1990). Penyakit busuk lunak tergolong penyakit yang serius. Gejala serangan ditandai dengan munculnya bintik-bintik kecil berwarna kecoklatan di permukaan 4 daun (Iswanto 2001). Bercak-bercak kecil berair tersebut kemudian berkembang menjadi kecoklatan dan mengeluarkan bau busuk (Sudarman 2007). Bakteri masuk ke dalam tanaman melalui luka-luka, menyebabkan busuk basah yang berkembang dengan pesat dan menimbulkan bau yang tidak enak. Pada jaringan muda yang lunak pembusukan berkembang dengan cepat, tetapi pada bagian yang lebih dewasa, khususnya pada umbi semu atau akar rimpang, pembusukan berkembang lebih lambat (Semangoen 1991) Organisme Penyebab Penyakit Penyebab penyakit busuk lunak adalah Erwinia carotovora (Semangoen 1991). Ciri khas bakteri tersebut terlihat dari sel bakteri yang berbentuk batang dengan ukuran (1,5 – 2,0) x (0,6 – 0,9) mikron, umumnya membentuk rangkaian sel seperti rantai, tidak mempunyai kapsul dan tidak berspora. Bakteri bergerak menggunakan flagella yang terdapat di sekeliling sel bakteri (flagella peritrichous). Bakteri bersifat gram negatif. Suhu optimal untuk perkembangan bakteri adalah 17ºC. Pada kondisi kelembapan rendah dan suhu yang rendah maka perkembangan bakteri akan terhambat (Anonim 1994). Pengendalian Biologi Pengendalian biologi didasarkan pada antagonisme mikroba yang dapat bersifat langsung (kompetisi, antibiosis, parasitisme) atau tidak langsung (induksi resistensi inang). Pada beberapa kasus penyakit yang disebabkan oleh bakteri dapat berhasil dikendalikan dengan agens biokontrol (Janse 2005). Bakteri yang bersifat antagonis telah banyak diisolasi dari berbagai sumber, misalnya tanah suppressive dan rizosfer tanaman inang. Di daun (filosfer) juga dapat ditemukan adanya kompetisi dan antagonisme, misalnya antara E. herbicola yang nonpatogenik dengan E. amylovora (patogen) pada daun Rosaceae. Bakteri saprofit Pseudomonas spp. dari kelompok fluoresen juga telah banyak digunakan sebagai antagonis, misalnya untuk pengendalian R. solanacearum pada kentang. Untuk E. amylovora, salah satu strain P. fluorescens (A560) telah terbukti sangat efektif dan telah dipasarkan. Beberapa strain B. subtilis, E. herbicola (Pantoea agglomerans) dan Rahnella aquatilis juga 5 cukup berpotensi (Janse 2005). Bakteri-bakteri tersebut yang umumnya diisolasi dari tanah perakaran tanaman (rhizosphere) disebut sebagai Plant Growth- Promoting Rhizobacteria (PGPR). Pseudomonas fluorescens Beberapa isolat Pseudomonas kelompok flouresen sudah banyak diketahui potensial sebagai agens biokontrol. Bakteri ini dicirikan oleh pigmen fluoresen yang dihasilkan, pigmen ini dihasilkan pada kandungan zat besi yang rendah, dinamakan pyoverdin dan berfungsi sebagai siderofor (Demange et al. dalam Paulitz & Loper 1991) Siderofor berguna untuk mensuplai zat besi ke dalam sel (Leong 1986). Penggunaan bakteri tersebut telah mulai dikembangkan untuk skala laboratorium, bahkan telah mulai dipasarkan misalnya PFA506 yang telah dijual untuk mengendalikan Erwinia amylovora penyebab fire blight pada apel dan pear (Tjahjono 2000). Beberapa peneliti telah mencoba beberapa jenis bakteri untuk melindungi benih dari serangan patogen dan menekan terjadinya penyakit (Bruehl 1987 dalam Yusriadi 1998). Beberapa mekanisme penekanan oleh bakteri kelompok fluoresen yang telah dilaporkan oleh peneliti-peneliti lain menurut Howie & Suslow (1991) adalah biosintesa antibiotik, produksi enzim hidrolitik, produksi siderofor dan kompetisi nutrisi. Salah satu bakteri dari kelompok fluoresens yang banyak diteliti dan dinyatakan potensial sebagai agens biokontrol adalah Pseudomonas fluorescens Migula. Beberapa peneliti (Howie & Suslow 1991) melaporkan bahwa beberapa strain P. fluorescens Migula dan P. putida (Trevisian) Migula dapat menekan infeksi patogen tular tanah dan menekan perkembangan mikroorganisme lain yang mengganggu kesehatan tanaman. Bacillus subtilis Bacillus subtilis termasuk dalam Divisi bacteria, Kelas Shizomycetes, Ordo Eubacteriales dan Famili Bacilliaceae (Hadioetomo 1985). Sifat bakteri ini adalah berbentuk batang, bakteri gram postif, motil dan mampu membentuk 6 endospora, menghidrolisis karbohidrat, mampu tumbuh pada suhu 5°C – 55 °C dan pH 5.6. Keunggulan Bacillus subtilis bila dibandingkan dengan bakteri antagonis lain adalah bakteri ini dapat menghasilkan endospora yang tahan terhadap suhu yang tinggi dan rendah, pH yang ekstrem, pestisida, pupuk dan waktu penyimpanan yang lama (Tjahjono 2000).