BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Esten (1978: 9) mendefinisikan sastra atau kesusastraan sebagai
pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan
manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek
yang positif terhadap kehidupan manusia. Definisi yang diutarakan Esten merujuk
pada pendapat Hawthorn (dalam Pujiharto, 2010: 5) yang menyebut bahwa karya
fiksi merupakan karya-karya imajinatif.
Esten secara jelas terlihat dipengaruhi pemikiran Marxisme, Goldmann,
dan pemikiran sastra di luar aliran strukturalisme, kecuali aliran strukturalismegenetik yang memandang adanya keterkaitan sastra dengan dunia luar. Dengan
demikian, sastra senantiasa merujuk pada nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam
masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra adalah sebuah refleksi sosial dalam
masyarakat karena ia bernilai kemanusiaan, yakni sesuatu yang hadir dari
pengalaman manusia.
Merujuk pada pendapat Esten, didapatkan kenyataan bahwa gejala sastra
yang lahir tidak lepas dari unsur realitas yang ada dalam masyarakat. Dalam
perkembangannya, realitas yang mempengaruhi terciptanya karya sastra ada yang
bersifat langsung dan tidak langsung. Sifat yang pertama dapat dilihat ketika suatu
karya sastra menyorot realitas untuk disajikan sedemikian rupa di dalamnya. Sifat
yang kedua teridentifikasi ketika karya sastra menjadikan realitas sebatas sebagai
1
2
unsur terciptanya suatu karya sastra tanpa sama sekali menyentuh unsur realitas
yang terpotret dalam masyarakat. Meskipun demikian, sifat kedua jika ditilik lebih
jauh yang terjadi sebatas kecenderungan
mengaburkan realitas tanpa
meninggalkan nilai-nilai realitas yang ada.
Merujuk pada deskripsi di atas, suatu keharusan jika membicarakan
tentang karya sastra tidak pernah bisa melepaskan diri dari unsur realitas. Karya
sastra adalah dokumen sosial, ia sanggup menjadikan dirinya sebagai cermin
realitas sosial yang ada di masyarakat. Dalam perkembangannya, realitas
masyarakat marginal mendapat porsi yang lebih besar dalam karya sastra,
terutama sastra serius. Karya-karya Wiji Tukul bisa jadi contoh untuk kategori
yang pertama. Lewat karyanya, ia membawa isu kaum buruh dan segala pernakpernik yang menyertainya: kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertindasan.
Porsi masyarakat marginal yang cukup besar barangkali identik dengan
sastrawan yang selama ini lebih banyak menjadi pengamat sosial. Ruang gerak
seorang sastrawan dari satu pintu ke pintu lain senantiasa lebih didasarkan oleh
dorongan hati yang tulus untuk menguak realitas sosial. Hal ini tidak lain karena
gairah seni dan budaya –yang esensial, di dalamnya termaktub prinsip-prinsip
yang mengayomi realitas masyarakat, sebagaimana pendapat Esten di atas, juga
kalangan ahli sastra pragmatis.
Salah satu masyarakat marginal yang sampai saat ini masih minim perhatian
adalah kelompok difabel. Istilah “difabel” berasal dari bahasa Inggris, yakni
differently ability people, yang berarti manusia yang memiliki kemampuan
3
berbeda. Istilah ini sebagai pengganti istilah “penyandang cacat” yang cenderung
berimplikasi negatif dan diskriminatif. Istilah difabel didasarkan pada realitas
bahwa setiap manusia diciptakan dalam keadaan berbeda sehingga yang ada
hanyalah sebuah perbedaan, bukan suatu kecatatan atau ke-abnormal-an. Di
Indonesia, istilah difabel mulai dipergunakan sekitar tahun 1999, terutama oleh
aktifis yang peduli terhadap isu difabel, baik dari kalangan difabel maupun nondifabel (Psikomedia, edisi tahun 2012: 8).
Sampai saat ini masih jarang karya sastra yang mengangkat isu tentang
difabel sehingga sangat sulit bagi penulis untuk mencari karya sastra yang layak
dianalisis dari sudut pandang difabel. Hal ini tidak mengherankan mengingat di
dalam bidang lainnya, isu difabel masih minim perhatian oleh khalayak, baik
kalangan pemerintah maupun swasta. Kalaupun ada, umumnya sastra populer
berangkat dari kisah nyata yang hampir sama dengan biografi, seperti Surat Kecil
untuk Tuhan (2008) dan Ayah, Kenapa Aku Berbeda? (2011) karya Agnes
Davonar, serta Hafalan Sholat Delisa (2005) karya Tere Liye. Untuk kategori
sastra serius, dalam penelusuran peneliti sampai sekarang juga masih minim,
barangkali faktor pribadi pengarang cukup mempengaruhinya. Misalnya karyakarya Ratna Indraswari Ibrahim yang beberapa kali mengangkat isu difabel
mengingat pengarang termasuk dalam kategori kelompok penyandang difabel.
Meski masih terlihat minim, pada akhirnya dijatuhkan pilihan pada novel
yang berjudul Biola Tak Berdawai (2011) karya Seno Gumira Ajidarma yang
diangkat dari skenario film berjudul sama karya Sekar Ayu Asmara. Alasan
pemilihan novel Biola Tak Berdawai (untuk selanjutnya disebut BTB) tidak lain
4
karena tokoh utama pada novel ini, Aku (Dewa), merupakan sosok difabel, yakni
tunadaksa. Oleh karena itu, citra difabel yang ada dalam novel ini layak untuk
dianalisis untuk mendapat gambaran tentang dunia difabel. Pemilihan novel ini
selain dilatar belakangi oleh minimnya analisis sastra yang dilihat dari perspektif
difabel, juga disebabkan sejauh ini belum ditemukan penelitian terhadap BTB
yang menggunakan analisis Sosiologi Sastra, khususnya analisis yang
memfokuskan pada citra difabel yang ada dalam novel. Di sisi lain, Seno
merupakan sosok sastrawan yang cukup kritis dalam menyikapi realitas sosial,
seperti pada Jazz, Parfum, dan Insiden (1996), Penembak Misterius (1993), dan
lain-lain yang dihasilkan pada masa Orde Baru.
Dalam penelitian ini digunakan metode sosiologi sastra yang lebih
mendasarkan pada teori yang kemukakan Ian Watt, yakni konteks sosial
pengarang, karya sastra sebagai cerminan masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
Hal ini karena peneliti berusaha menemukan hubungan antara novel Biola Tak
Berdawai dengan unsur-unsur sosial, khususnya fenomena difabel. Oleh karena
itu, korelasi antara karya sastra dengan realitas sosial, khususnya fenomena
difabel, menjadi kajian utama dalam analisis ini. Penggunaan metode sosiologi
sastra Ian Watt didasarkan pada pertimbangan peneliti bahwa aspek-aspek dalam
teori ini lebih efektif dan efisien untuk menjabarkan penelitian yang dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan esensi sosiologi sastra, juga latar belakang penelitian,
rumusan masalah dalam penelitian ini bagaimana isu difabel dalam BTB yang
5
dikoherensikan dengan faktor sosial-kemasyarakatan yang berkaitan dengan
fenomena difabel di Indonesia. Penelitian ini memfokuskan diri pada tiga aspek,
yakni, pertama, konteks sosial pengarang. Dalam aspek ini termasuk pula faktorfaktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai individu di samping
mempengaruhi karyanya. Kedua, sejauh mana novel BTB menempatkan diri
sebagai cerminan masyarakat, terutama terkait fenomena difabel. Ketiga, fungsi
sosial sastra. Aspek yang terakhir ini menitikberatkan fungsi sosial BTB dalam
kaitannya dengan isu difabel di Indonesia, khususnya tahun 2000-an, periode di
mana BTB terbit. Selain itu, penelitian ini juga melihat bagaimana gagasan karyakarya Seno Gumira Ajidarma yang lain, yang dilihat secara garis besar, jika
dibandingkan dengan BTB, terutama dari sisi realitas sosial yang diangkat
pengarang.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni tujuan teoretis dan tujuan
praktis. Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian teoretis dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana isu difabel, khususnya dalam
masayarakat Indonesia, digambarkan dalam novel BTB yang dipandang dari tiga
aspek yang berbeda namun saling berkaitan, yakni: konteks sosial pengarang,
sastra sebagai cerminan masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
.Dengan demikian, diharapkan memunculkan perspektif baru dalam
penelitian sastra, khususnya dengan pendekatan sosiologi sastra, yang melihat dari
sudut pandang difabel yang masih minim perhatian dan jarang tersentuh. Tujuan
6
praktis dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pihak-pihak
yang selama ini concern terhadap isu difabel, baik dari kalangan sastrawan, aktifis
sosial, maupun dalam ranah birokrasi.
1.4 Tinjauan Pustaka
Sampai saat ini, sudah cukup banyak penelitian sastra yang menggunakan
metode sosiologi sastra, baik oleh akademisi maupun kritikus sastra. Misalnya,
buku karya Arif Budiman yang berawal dari skripsi untuk memperoeh gelar
sarjana pada Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, berjudul Chairil Anwar:
Sebuah Pertemuan (1967), yang membahas karya-karya Chairil Anwar. Buku ini
menganalisis sajak-sajak Chairil Anwar yang dikorelasikan dengan kehidupan
Chairil selaku pengarangnya. Namun penelitian sastra yang mengkhsuskan diri
fokus ke isu difabel dalam masyarakat belum pernah ditemukan.
Slamet Tohari dalam intisari tesisnya yang dimuat dalam blog pribadinya
berjudul “Habis Sakti Terbitlah Sakit: Perihal Difabel di Indonesia” (2011)
mengemukakan bahwa isu difabel dalam dunia kesusastraan sejatinya sudah ada
sejak sastra lisan, misalnya dalam kisah pewayangan. Hanya saja, belum banyak
khalayak publik yang menyadarinya. Sebagai gambaran, jika wayang disepakati
sebagai replikasi dan imaji masyarakat Jawa, maka pandu-pandu imaji tentang
tubuh dan difabelitas menunjukan keunikan. Lara Amis atau Durgandini,
tubuhnya amis dan kulitnya mengelupas, dia dekat sekali dengan Dewa. Dia pun
seorang anak yang juga seorang difabel yang dibawa dalam pertapaannya. Anak
ini kelak adalah orang sakti. Kita pun disuguhkan dengan Destarata dan Pandu
7
yang keduanya juga difabel. Destarata buta dan Pandu dengan wajah pucat aneh,
tidak sebagaimana orang pada umumnya. (https://amexdifabel.wordpress.com/
2011/07/14/habis-sakti-terbitlah-sakit-perihal-difabel-di-indonesia/)
Lebih lanjut, menurut Slamet Tohari, Punakawan yang merupakan tokoh
asli orang Jawa juga merupakan orang difabel. Gareng yang Pincang, Petruk yang
Dungu, Bagong yang gendut dan bermulut lebar, atau Semar yang bungkuk,
bermuka jelek. Namun, tak ada orang Jawa yang menganggap bahwa mareka
adalah orang biasa. Bahkan, sebaliknya mereka adalah orang sakti bahkan titisan
para Dewa. Meskipun demikian, pembahasan yang secara khusus membidik isu
difabel dalam karya sastra, apalagi terkait sastra Indonesia kontemporer sejauh ini
belum ditemukan.
Dalam hal analisis tokoh utama suatu karya sastra dengan menggunakan
pendekatan sosiologi sastra dilakukan Mahmudatu Rausyana Fikri (2012) dari
jurusan Sastra Jepang dalam skripsinya, “Pola Pikir, Sikap, Perilaku, dan Gaya
Hidup Modern Tokoh Utama Novel Chijin No Ai karya Tanizaki Jun’Ichiro:
Analisis Sosiologi Sastra”. Dalam penelitian ini, peneliti menganalisisnya secara
struktural terlebih dahulu, kemudian menganalisis pola pikir, sikap, perilaku, dan
gaya hidup modern tokoh utama. Dari penelitian ini, didapatkan kesimpulan
bahwa kedua tokoh utama, Kawai Jooji dan Naomi, merupakan individu-individu
yang memuja Barat. Sikap pemujaan terhadap Barat ini sangat mempengaruhi
karakter keduanya. Keduanya menjalankan gaya hidup layaknya gaya hidup orang
Barat.
8
Fikriyatun Hidayati (2012) dalam skripsinya “Problem Pendidikan dalam
Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata: Analisis Sosiologi Sastra Ian Watt”,
menemukan
adanya
pencerminan
sosial
dalam
novel
Laskar
Pelangi.
Pencerminan tersebut berupa problem pendidikan yang ada di dalam novel dengan
masalah pendidikan di luar karya. Dari hasil analisis, diperoleh hubungan timbal
balik antara fiksi dengan realitas yang ada dalam novel. Novel ini juga memiliki
fungsi sosial sebagai perombak masyarakat, penghibur, dan pendidik sehingga
novel ini dapat diterima masyarakat luas dan sanggup memberikan inspirasi
terhadap masyarakat tentang kehidupan.
“Novel Mahar Cinta Gondoriah karya Mardhiyan Novita MZ: Analisis
Sosiologi Sastra Ian Watt” oleh Eka Damayanti (2014) untuk menyelesaikan
program strata satu di jurusan Sastra Indonesia UGM dalam penelitiannya
menemukan adanya hal yang mempengaruhi pertentangan tradisi bajapuik beserta
dinamika harga lelaki dalam pernikahan khas orang Minangkabau di Pariaman.
Penelitian karya sastra yang menggunakan perspektif citra relatif sudah
banyak dilakukan. Misalnya, U’um Qomariyah (2007) dalam tesisnya, “Citra dan
Pencitraan Anak dalam Novel Negeri Awan Merah Karya Fahri Asiza; Telaah
Vokalisasi Mieke Bal”, vokalisasi berimplikasi adanya relasi tarik-menarik antara
orang tua dan anak. Relasi antara orang tua yang ingin “mengatur” anak dan anak
yang ingin eksistensinya diakui. Namun, pada akhirnya anak harus “tunduk” pada
orang tua. Dalam sastra anak, ketundukan itu direpresentasikan dalam karya-karya
9
yang lebih mendikte anak dengan penunjukan nilai-nilai moral dan pengajaran
yang lebih bersifat pedagogis.
“Citra Perempuan dalam Novel Sinden karya Puradmadi Admadipurwa;
Sebuah Kajian Kritik Sastra Feminis”, yang ditulis Chrisna Putri Kurniati (2008)
untuk tesisnya, menunjukkan adanya konsep citra perempuan dalam budaya Jawa
yang disajikan dalam novel Sinden. Konsep citra perempuan tersebut bertolak
pada budaya patriarki sebagai mahluk yang halus, lembut, dan lemah. Oleh karena
itu, laki-laki menganggap bahwa perempuan cukup berdiam di rumah, mengurus
dapur, dan mengurus anak. Konsep tersebut dalam tradisi Jawa menyebut
perempuan sebagai kanca wingking “teman belakang” yang tugasnya olah-olah,
umbah-umbah, mengkurep mlumah, lan momong bocah.
Tugas domestik yang diperankan oleh perempuan adalah bentuk pengabdian
seorang perempuan sebagai isteri. Selain itu, citra perempuan sebagai isteri juga
dituntut untuk setia pada suami membuat perempuan semakin terpuruk pada
posisi sebagai pelayan suami. Situasi tersebut menjadi salah satu faktor terjadinya
berbagai bentuk kekerasan pada perempuan di antaranya kekerasan dalam rumah
tangga, pelecehan seksual, dan pelacuran. Apabila dalam keluarga dan masyarakat
perempuan diberikan persamaan hak dalam pendidikan, mengutarakan pendapat,
dan menentukan kehidupannya sendiri antara laki-laki dan perempuan, maka
perempuan dapat tampil sebagai pemimpin, pemberani, dan bertanggung jawab
seperti selama ini dicitrakan pada laki-laki.
10
Penelitian dengan subjek karya sastra yang berhubungan dengan difabel
pernah dilakukan oleh Fadhlina Kurnia Ridha (2011) untuk meraih gelar sarjana
program studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang. Dalam skripsi yang
berjudul “Diskriminasi Sosial dalam Novel Ayah Mengapa Aku Berbeda? Karya
Agnes Davonar”, peneliti tidak secara khusus menganalisis dari prespektif
difabelitas, tetapi masih menggunakan aspek universal, yakni diskriminasi sosial
secara umum. Tetapi, hasil analisis yang dilakukan peneliti, ditemukan adanya
saluran diskriminasi karena faktor perbedaan fisik, selain karena faktor ekonomi
dan kelas sosial.
Sebagaimana yang disinggung pada bagian awal, belum peneliti temui
analisis sastra yang melihat dalam perspektif difabel secara fokus, utuh dan
penuh. Tidak hanya penelitian yang menggunakan pendekatan teori sosiologi
sastra, tetapi juga teori sastra lainnya.
1.5 Landasan Teori
Karya sastra adalah objek manusiawi, fakta kemanusiaan, atau fakta kultural
karena merupakan hasil ciptaan manusia. Namun, hal ini berbeda dengan fakta
kemanusiaan lain. Kalau fakta kemanusiaan yang lain dibangun oleh hubungan
antar tindakan, karya sastra merupakan satuan yang dibangun atas hubungan
antara tanda dan makna, antara ekspresi dan pikiran, antara aspek luar dan dalam
(Faruk, 1988:20)
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa karya sastra pada
dasarnya dibangun dari realitas sosial, sebagai refleksi sosial masyarakat. Hal ini
11
mengakibatkan fenomena yang tersaji dalam karya sastra tidak lepas dari apa yang
terjadi dalam realitas masyarakat yang melingkupi pengarang sebagai pencipta
dunia dalam karya sastra.
Karya sastra tidak terlepas dari masyarakat yang melatar belakangi
penciptaannya, pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan faktor
kemasyarakatan disebut sosiologi sastra. Menurut Ian Wat
dalam esainya
berjudul “Literature an Society” mengaitkan adanya hubungan timbal balik antara
sastrawan, sastra, dan masyarakat. Hubungan antara sastrawan, sastra, dan
masyarakat secara keseluruhan merupakan sebuah bagian-bagian yang terdiri dari
konteks sosial pengarang, sastra sebagai cerminan masyarakat, dan fungsi sosial
sastra (Damono, 1984: 3-4).
Pertama, konteks sosial pengarang. Aspek yang pertama ini ada
hubungannya dengan pondasi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya
dengan pembaca. Dalam pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi pengarang. Hal penting yang diteliti adalah (a) profesi pengarang,
(b) profesionaisme pengarang, dan (c) masyarakat yang dituju pengarang (Watt
via Damono, 1984:3).
Kedua, sastra sebagai ceminan masyarakat. Sejauh mana sastra dapat
dianggap mencerminkan keadaan masyarakat menjadi pokok bahasan utama
dalam aspek ini, terutama saat karya sastra tersebut ditulis atau dihasilkan. ( Watt
via Damono, 1984: 3-4).
12
Ketiga, Fungsi sosial sastra. hal ini berkaitan dengan sejauh mana nilai
sastra berkaitan dengan masyarakat. Dalam hubungan ini, ada tiga hal yang harus
mendapat perhatian, yakni: (a) sudut pandang kaum Romantik yang menganggap
karya sastra harus berfungsi sebagai pembaharu atau perombak, (b) dari sudut
lain, gagasan “seni untuk seni”, seperti pada kaum Struktural, di mana sastra
sebagai penghibur belaka, dan (c) semacam kompromi antara keduanya (Watt via
Damono, 1984-4). Oleh karena itu, fungsi sosial dalam karya sastra ada tiga hal
yang menjadi perhatian, yakni sejauh mana sastra berfungsi merombak
masyarakatnya, sejauh mana sastra sebatas penghibur saja, dan sejauh mana
terjadi sintetis antara keduanya, perombak dan penghibur (Watt via Faruk, 2010:
5--6).
Pandangan sastra sebagai ekspresi jiwa yang dianut kaum Romantik yang
pada akhirnya membuat banyak studi sastra dengan pendekatan psikologis
akhirnya mulai digugat dan ditinggalkan banyak ahli. Hal ini disebabkan banyak
sastrawan yang memaksudkan karyanya bukan sebagai ekspresi jiwa, tetapi
sebagai cerminan masyarakat. Sastra sebagai alat perjuangan sosial, alat
menyuarakan aspirasi dan nasib masyarakat tertindas, seperti yang ada dalam
gagasan mengenai realisme, naturalisme, dan realisme sosialis (Faruk, 2010: 41—
45).
Lebih jauh lagi, Riceur (dalam Faruk, 2010: 45--46) menyatakan bahwa
sebagai tulisan, karya sastra secara tidak terelakkan telah keluar dari situasi dan
kondisi nyata produksinya. Karya sastra tidak lagi menjadi wacana yang otonom
13
dan berdiri sendiri. Oleh karena itu, membicarakan suatu karya sastra harus
melibatkan aspek di luar karya sastra.
Di sisi lain, sebagai bahasa, karya sastra sebenarnya dapat dibawa ke dalam
keterkaitan yang kuat dengan dunia sosial yang nyata, yaitu lingkungan sosial
tempat dan waktu bahasa yang digunakan oleh karya sastra itu hidup dan berlaku.
Meski demikian, dunia sosial yang tergambar dalam karya sastra bukanlah
kenyataan sosial, tetapi kenyataan batiniah subyektif dari sastrawannya; yang
kesemuannya dihadirkan dalam bahasa pengarangnya. Meskipun sebagai
kenyataan batiniah pengarang, pertalian antara karya sastra dengan dunia sosial
yang nyata bukannya tidak ada sama sekali. Teori mimesis Plato yang
memandang dunia dalam karya sastra merupakan tiruan terhadap dunia kenyataan
yang sebenarnya juga merupakan tiruan terhadap dunia ide dapat menjadi salah
satu pijakan. Oleh karena itu, apabila dalam dunia karya sastra membentuk diri
sebagai sebuah dunia sosial, dunia tersebut merupakan tiruan terhadap dunia
sosial yang ada dalam kenyataan sebagaimana dipelajari dalam sosiologi (Faruk,
2010: 47-48).
Dalam kaitannya dengan sosiologi, karya sastra dipandang sebagai dokumen
sosial, cerminan situasi sosial, gambaran sosio-historis, dan semangat zamannya.
Akan tetapi hal tersebut tidak berimplikasi pada pergeseran paradigma bahwa
karya sastra adalah obyek sosiologi itu sendiri. Sebaliknya, sosiologi adalah alat
untuk menafsirkan karya sastra dengan maknanya yang sekunder, dengan
menghubungkan pemahaman dan pemaknaan unsur-unsur intrinsik karya itu, dan
mengaitkannya dengan unsur-unsur ekstrensik (Mahayana, 2005: 337).
14
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian karya sastra dengan teori Sosiologi Sastra Ian Watt ini
menggunakan metode dialektik. Dengan menggunakan metode dialektik sangat
memungkinkan terbuka bagi sebuah karya sastra dan masyarakat memiliki
hubungan yang dialektik atau timbal balik (Faruk, 2010: 12). Dengan demikian,
metode dialektik berusaha membandingkan kehidupan nyata dengan kehidupan
fiksi. Perbandingan yang dilakukan tidak sama persis karena ada faktor yang
berperperan sebagai mediator, yakni pandangan dunia pengarang.
Analisis data penelitian menggunakan metode kualitatif, yang berupa
deksripsi daam bentuk narasi. Metode kualititatif digunakan dalam penelitian ini
mengingat data-data yang diteliti bukan merupakan data cacah atau bilangan.
Hasil analisis terhadap data penelitian nantinya disajikan secara informal. Secara
informal, pembahasan terhadap hasil penelitian menggunakan penjabaran secara
deskriptif agar dapat digambarkan secara rinci dan jelas.
Secara umum langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menentukan karya sastra yang hendak di analisis, yakni novel Biola
Tak Berdawai
2. Membaca Biola Tak Berdawai secara berulang-ulang agar menemukan
pemahaman yang cukup.
3. Merumuskan masalah.
4. Mengumpulkan dan melakukan studi literatur untuk menemukan
metode yang tepat.
15
5. Menentukan metode penelitian.
6. Melakukan analisis dengan metode studi literatur.
7. Membuat laporan penelitan dalam bentuk skripsi.
1.7 Sistematika Laporan Penelitian
Laporan penelitian ini akan disajikan dalam beberapa bab. Bab I berisi
pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,
hipotesis, dan sistematika penyajian. Bab II merupakan penjelasan konteks sosial
pengarang. Bab III berisi penjabaran Biola Tak Berdawai sebagai cerminan
kondisi masyarakat difabel. Bab IV menjelaskan fungsi soisal Biola Tak Berdawai
yang ada dalam kaitannya dengan isu masyarakat difabel di Indonesia. Bab V
berisi kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini.
Download