BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Esten (1978: 9) mendefinisikan sastra atau kesusastraan sebagai pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia. Definisi yang diutarakan Esten merujuk pada pendapat Hawthorn (dalam Pujiharto, 2010: 5) yang menyebut bahwa karya fiksi merupakan karya-karya imajinatif. Esten secara jelas terlihat dipengaruhi pemikiran Marxisme, Goldmann, dan pemikiran sastra di luar aliran strukturalisme, kecuali aliran strukturalismegenetik yang memandang adanya keterkaitan sastra dengan dunia luar. Dengan demikian, sastra senantiasa merujuk pada nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra adalah sebuah refleksi sosial dalam masyarakat karena ia bernilai kemanusiaan, yakni sesuatu yang hadir dari pengalaman manusia. Merujuk pada pendapat Esten, didapatkan kenyataan bahwa gejala sastra yang lahir tidak lepas dari unsur realitas yang ada dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, realitas yang mempengaruhi terciptanya karya sastra ada yang bersifat langsung dan tidak langsung. Sifat yang pertama dapat dilihat ketika suatu karya sastra menyorot realitas untuk disajikan sedemikian rupa di dalamnya. Sifat yang kedua teridentifikasi ketika karya sastra menjadikan realitas sebatas sebagai 1 2 unsur terciptanya suatu karya sastra tanpa sama sekali menyentuh unsur realitas yang terpotret dalam masyarakat. Meskipun demikian, sifat kedua jika ditilik lebih jauh yang terjadi sebatas kecenderungan mengaburkan realitas tanpa meninggalkan nilai-nilai realitas yang ada. Merujuk pada deskripsi di atas, suatu keharusan jika membicarakan tentang karya sastra tidak pernah bisa melepaskan diri dari unsur realitas. Karya sastra adalah dokumen sosial, ia sanggup menjadikan dirinya sebagai cermin realitas sosial yang ada di masyarakat. Dalam perkembangannya, realitas masyarakat marginal mendapat porsi yang lebih besar dalam karya sastra, terutama sastra serius. Karya-karya Wiji Tukul bisa jadi contoh untuk kategori yang pertama. Lewat karyanya, ia membawa isu kaum buruh dan segala pernakpernik yang menyertainya: kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertindasan. Porsi masyarakat marginal yang cukup besar barangkali identik dengan sastrawan yang selama ini lebih banyak menjadi pengamat sosial. Ruang gerak seorang sastrawan dari satu pintu ke pintu lain senantiasa lebih didasarkan oleh dorongan hati yang tulus untuk menguak realitas sosial. Hal ini tidak lain karena gairah seni dan budaya –yang esensial, di dalamnya termaktub prinsip-prinsip yang mengayomi realitas masyarakat, sebagaimana pendapat Esten di atas, juga kalangan ahli sastra pragmatis. Salah satu masyarakat marginal yang sampai saat ini masih minim perhatian adalah kelompok difabel. Istilah “difabel” berasal dari bahasa Inggris, yakni differently ability people, yang berarti manusia yang memiliki kemampuan 3 berbeda. Istilah ini sebagai pengganti istilah “penyandang cacat” yang cenderung berimplikasi negatif dan diskriminatif. Istilah difabel didasarkan pada realitas bahwa setiap manusia diciptakan dalam keadaan berbeda sehingga yang ada hanyalah sebuah perbedaan, bukan suatu kecatatan atau ke-abnormal-an. Di Indonesia, istilah difabel mulai dipergunakan sekitar tahun 1999, terutama oleh aktifis yang peduli terhadap isu difabel, baik dari kalangan difabel maupun nondifabel (Psikomedia, edisi tahun 2012: 8). Sampai saat ini masih jarang karya sastra yang mengangkat isu tentang difabel sehingga sangat sulit bagi penulis untuk mencari karya sastra yang layak dianalisis dari sudut pandang difabel. Hal ini tidak mengherankan mengingat di dalam bidang lainnya, isu difabel masih minim perhatian oleh khalayak, baik kalangan pemerintah maupun swasta. Kalaupun ada, umumnya sastra populer berangkat dari kisah nyata yang hampir sama dengan biografi, seperti Surat Kecil untuk Tuhan (2008) dan Ayah, Kenapa Aku Berbeda? (2011) karya Agnes Davonar, serta Hafalan Sholat Delisa (2005) karya Tere Liye. Untuk kategori sastra serius, dalam penelusuran peneliti sampai sekarang juga masih minim, barangkali faktor pribadi pengarang cukup mempengaruhinya. Misalnya karyakarya Ratna Indraswari Ibrahim yang beberapa kali mengangkat isu difabel mengingat pengarang termasuk dalam kategori kelompok penyandang difabel. Meski masih terlihat minim, pada akhirnya dijatuhkan pilihan pada novel yang berjudul Biola Tak Berdawai (2011) karya Seno Gumira Ajidarma yang diangkat dari skenario film berjudul sama karya Sekar Ayu Asmara. Alasan pemilihan novel Biola Tak Berdawai (untuk selanjutnya disebut BTB) tidak lain 4 karena tokoh utama pada novel ini, Aku (Dewa), merupakan sosok difabel, yakni tunadaksa. Oleh karena itu, citra difabel yang ada dalam novel ini layak untuk dianalisis untuk mendapat gambaran tentang dunia difabel. Pemilihan novel ini selain dilatar belakangi oleh minimnya analisis sastra yang dilihat dari perspektif difabel, juga disebabkan sejauh ini belum ditemukan penelitian terhadap BTB yang menggunakan analisis Sosiologi Sastra, khususnya analisis yang memfokuskan pada citra difabel yang ada dalam novel. Di sisi lain, Seno merupakan sosok sastrawan yang cukup kritis dalam menyikapi realitas sosial, seperti pada Jazz, Parfum, dan Insiden (1996), Penembak Misterius (1993), dan lain-lain yang dihasilkan pada masa Orde Baru. Dalam penelitian ini digunakan metode sosiologi sastra yang lebih mendasarkan pada teori yang kemukakan Ian Watt, yakni konteks sosial pengarang, karya sastra sebagai cerminan masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Hal ini karena peneliti berusaha menemukan hubungan antara novel Biola Tak Berdawai dengan unsur-unsur sosial, khususnya fenomena difabel. Oleh karena itu, korelasi antara karya sastra dengan realitas sosial, khususnya fenomena difabel, menjadi kajian utama dalam analisis ini. Penggunaan metode sosiologi sastra Ian Watt didasarkan pada pertimbangan peneliti bahwa aspek-aspek dalam teori ini lebih efektif dan efisien untuk menjabarkan penelitian yang dilakukan. 1.2 Rumusan Masalah Sesuai dengan esensi sosiologi sastra, juga latar belakang penelitian, rumusan masalah dalam penelitian ini bagaimana isu difabel dalam BTB yang 5 dikoherensikan dengan faktor sosial-kemasyarakatan yang berkaitan dengan fenomena difabel di Indonesia. Penelitian ini memfokuskan diri pada tiga aspek, yakni, pertama, konteks sosial pengarang. Dalam aspek ini termasuk pula faktorfaktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai individu di samping mempengaruhi karyanya. Kedua, sejauh mana novel BTB menempatkan diri sebagai cerminan masyarakat, terutama terkait fenomena difabel. Ketiga, fungsi sosial sastra. Aspek yang terakhir ini menitikberatkan fungsi sosial BTB dalam kaitannya dengan isu difabel di Indonesia, khususnya tahun 2000-an, periode di mana BTB terbit. Selain itu, penelitian ini juga melihat bagaimana gagasan karyakarya Seno Gumira Ajidarma yang lain, yang dilihat secara garis besar, jika dibandingkan dengan BTB, terutama dari sisi realitas sosial yang diangkat pengarang. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni tujuan teoretis dan tujuan praktis. Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian teoretis dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana isu difabel, khususnya dalam masayarakat Indonesia, digambarkan dalam novel BTB yang dipandang dari tiga aspek yang berbeda namun saling berkaitan, yakni: konteks sosial pengarang, sastra sebagai cerminan masyarakat, dan fungsi sosial sastra. .Dengan demikian, diharapkan memunculkan perspektif baru dalam penelitian sastra, khususnya dengan pendekatan sosiologi sastra, yang melihat dari sudut pandang difabel yang masih minim perhatian dan jarang tersentuh. Tujuan 6 praktis dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pihak-pihak yang selama ini concern terhadap isu difabel, baik dari kalangan sastrawan, aktifis sosial, maupun dalam ranah birokrasi. 1.4 Tinjauan Pustaka Sampai saat ini, sudah cukup banyak penelitian sastra yang menggunakan metode sosiologi sastra, baik oleh akademisi maupun kritikus sastra. Misalnya, buku karya Arif Budiman yang berawal dari skripsi untuk memperoeh gelar sarjana pada Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, berjudul Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (1967), yang membahas karya-karya Chairil Anwar. Buku ini menganalisis sajak-sajak Chairil Anwar yang dikorelasikan dengan kehidupan Chairil selaku pengarangnya. Namun penelitian sastra yang mengkhsuskan diri fokus ke isu difabel dalam masyarakat belum pernah ditemukan. Slamet Tohari dalam intisari tesisnya yang dimuat dalam blog pribadinya berjudul “Habis Sakti Terbitlah Sakit: Perihal Difabel di Indonesia” (2011) mengemukakan bahwa isu difabel dalam dunia kesusastraan sejatinya sudah ada sejak sastra lisan, misalnya dalam kisah pewayangan. Hanya saja, belum banyak khalayak publik yang menyadarinya. Sebagai gambaran, jika wayang disepakati sebagai replikasi dan imaji masyarakat Jawa, maka pandu-pandu imaji tentang tubuh dan difabelitas menunjukan keunikan. Lara Amis atau Durgandini, tubuhnya amis dan kulitnya mengelupas, dia dekat sekali dengan Dewa. Dia pun seorang anak yang juga seorang difabel yang dibawa dalam pertapaannya. Anak ini kelak adalah orang sakti. Kita pun disuguhkan dengan Destarata dan Pandu 7 yang keduanya juga difabel. Destarata buta dan Pandu dengan wajah pucat aneh, tidak sebagaimana orang pada umumnya. (https://amexdifabel.wordpress.com/ 2011/07/14/habis-sakti-terbitlah-sakit-perihal-difabel-di-indonesia/) Lebih lanjut, menurut Slamet Tohari, Punakawan yang merupakan tokoh asli orang Jawa juga merupakan orang difabel. Gareng yang Pincang, Petruk yang Dungu, Bagong yang gendut dan bermulut lebar, atau Semar yang bungkuk, bermuka jelek. Namun, tak ada orang Jawa yang menganggap bahwa mareka adalah orang biasa. Bahkan, sebaliknya mereka adalah orang sakti bahkan titisan para Dewa. Meskipun demikian, pembahasan yang secara khusus membidik isu difabel dalam karya sastra, apalagi terkait sastra Indonesia kontemporer sejauh ini belum ditemukan. Dalam hal analisis tokoh utama suatu karya sastra dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra dilakukan Mahmudatu Rausyana Fikri (2012) dari jurusan Sastra Jepang dalam skripsinya, “Pola Pikir, Sikap, Perilaku, dan Gaya Hidup Modern Tokoh Utama Novel Chijin No Ai karya Tanizaki Jun’Ichiro: Analisis Sosiologi Sastra”. Dalam penelitian ini, peneliti menganalisisnya secara struktural terlebih dahulu, kemudian menganalisis pola pikir, sikap, perilaku, dan gaya hidup modern tokoh utama. Dari penelitian ini, didapatkan kesimpulan bahwa kedua tokoh utama, Kawai Jooji dan Naomi, merupakan individu-individu yang memuja Barat. Sikap pemujaan terhadap Barat ini sangat mempengaruhi karakter keduanya. Keduanya menjalankan gaya hidup layaknya gaya hidup orang Barat. 8 Fikriyatun Hidayati (2012) dalam skripsinya “Problem Pendidikan dalam Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata: Analisis Sosiologi Sastra Ian Watt”, menemukan adanya pencerminan sosial dalam novel Laskar Pelangi. Pencerminan tersebut berupa problem pendidikan yang ada di dalam novel dengan masalah pendidikan di luar karya. Dari hasil analisis, diperoleh hubungan timbal balik antara fiksi dengan realitas yang ada dalam novel. Novel ini juga memiliki fungsi sosial sebagai perombak masyarakat, penghibur, dan pendidik sehingga novel ini dapat diterima masyarakat luas dan sanggup memberikan inspirasi terhadap masyarakat tentang kehidupan. “Novel Mahar Cinta Gondoriah karya Mardhiyan Novita MZ: Analisis Sosiologi Sastra Ian Watt” oleh Eka Damayanti (2014) untuk menyelesaikan program strata satu di jurusan Sastra Indonesia UGM dalam penelitiannya menemukan adanya hal yang mempengaruhi pertentangan tradisi bajapuik beserta dinamika harga lelaki dalam pernikahan khas orang Minangkabau di Pariaman. Penelitian karya sastra yang menggunakan perspektif citra relatif sudah banyak dilakukan. Misalnya, U’um Qomariyah (2007) dalam tesisnya, “Citra dan Pencitraan Anak dalam Novel Negeri Awan Merah Karya Fahri Asiza; Telaah Vokalisasi Mieke Bal”, vokalisasi berimplikasi adanya relasi tarik-menarik antara orang tua dan anak. Relasi antara orang tua yang ingin “mengatur” anak dan anak yang ingin eksistensinya diakui. Namun, pada akhirnya anak harus “tunduk” pada orang tua. Dalam sastra anak, ketundukan itu direpresentasikan dalam karya-karya 9 yang lebih mendikte anak dengan penunjukan nilai-nilai moral dan pengajaran yang lebih bersifat pedagogis. “Citra Perempuan dalam Novel Sinden karya Puradmadi Admadipurwa; Sebuah Kajian Kritik Sastra Feminis”, yang ditulis Chrisna Putri Kurniati (2008) untuk tesisnya, menunjukkan adanya konsep citra perempuan dalam budaya Jawa yang disajikan dalam novel Sinden. Konsep citra perempuan tersebut bertolak pada budaya patriarki sebagai mahluk yang halus, lembut, dan lemah. Oleh karena itu, laki-laki menganggap bahwa perempuan cukup berdiam di rumah, mengurus dapur, dan mengurus anak. Konsep tersebut dalam tradisi Jawa menyebut perempuan sebagai kanca wingking “teman belakang” yang tugasnya olah-olah, umbah-umbah, mengkurep mlumah, lan momong bocah. Tugas domestik yang diperankan oleh perempuan adalah bentuk pengabdian seorang perempuan sebagai isteri. Selain itu, citra perempuan sebagai isteri juga dituntut untuk setia pada suami membuat perempuan semakin terpuruk pada posisi sebagai pelayan suami. Situasi tersebut menjadi salah satu faktor terjadinya berbagai bentuk kekerasan pada perempuan di antaranya kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan pelacuran. Apabila dalam keluarga dan masyarakat perempuan diberikan persamaan hak dalam pendidikan, mengutarakan pendapat, dan menentukan kehidupannya sendiri antara laki-laki dan perempuan, maka perempuan dapat tampil sebagai pemimpin, pemberani, dan bertanggung jawab seperti selama ini dicitrakan pada laki-laki. 10 Penelitian dengan subjek karya sastra yang berhubungan dengan difabel pernah dilakukan oleh Fadhlina Kurnia Ridha (2011) untuk meraih gelar sarjana program studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang. Dalam skripsi yang berjudul “Diskriminasi Sosial dalam Novel Ayah Mengapa Aku Berbeda? Karya Agnes Davonar”, peneliti tidak secara khusus menganalisis dari prespektif difabelitas, tetapi masih menggunakan aspek universal, yakni diskriminasi sosial secara umum. Tetapi, hasil analisis yang dilakukan peneliti, ditemukan adanya saluran diskriminasi karena faktor perbedaan fisik, selain karena faktor ekonomi dan kelas sosial. Sebagaimana yang disinggung pada bagian awal, belum peneliti temui analisis sastra yang melihat dalam perspektif difabel secara fokus, utuh dan penuh. Tidak hanya penelitian yang menggunakan pendekatan teori sosiologi sastra, tetapi juga teori sastra lainnya. 1.5 Landasan Teori Karya sastra adalah objek manusiawi, fakta kemanusiaan, atau fakta kultural karena merupakan hasil ciptaan manusia. Namun, hal ini berbeda dengan fakta kemanusiaan lain. Kalau fakta kemanusiaan yang lain dibangun oleh hubungan antar tindakan, karya sastra merupakan satuan yang dibangun atas hubungan antara tanda dan makna, antara ekspresi dan pikiran, antara aspek luar dan dalam (Faruk, 1988:20) Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa karya sastra pada dasarnya dibangun dari realitas sosial, sebagai refleksi sosial masyarakat. Hal ini 11 mengakibatkan fenomena yang tersaji dalam karya sastra tidak lepas dari apa yang terjadi dalam realitas masyarakat yang melingkupi pengarang sebagai pencipta dunia dalam karya sastra. Karya sastra tidak terlepas dari masyarakat yang melatar belakangi penciptaannya, pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan faktor kemasyarakatan disebut sosiologi sastra. Menurut Ian Wat dalam esainya berjudul “Literature an Society” mengaitkan adanya hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat secara keseluruhan merupakan sebuah bagian-bagian yang terdiri dari konteks sosial pengarang, sastra sebagai cerminan masyarakat, dan fungsi sosial sastra (Damono, 1984: 3-4). Pertama, konteks sosial pengarang. Aspek yang pertama ini ada hubungannya dengan pondasi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Dalam pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pengarang. Hal penting yang diteliti adalah (a) profesi pengarang, (b) profesionaisme pengarang, dan (c) masyarakat yang dituju pengarang (Watt via Damono, 1984:3). Kedua, sastra sebagai ceminan masyarakat. Sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat menjadi pokok bahasan utama dalam aspek ini, terutama saat karya sastra tersebut ditulis atau dihasilkan. ( Watt via Damono, 1984: 3-4). 12 Ketiga, Fungsi sosial sastra. hal ini berkaitan dengan sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan masyarakat. Dalam hubungan ini, ada tiga hal yang harus mendapat perhatian, yakni: (a) sudut pandang kaum Romantik yang menganggap karya sastra harus berfungsi sebagai pembaharu atau perombak, (b) dari sudut lain, gagasan “seni untuk seni”, seperti pada kaum Struktural, di mana sastra sebagai penghibur belaka, dan (c) semacam kompromi antara keduanya (Watt via Damono, 1984-4). Oleh karena itu, fungsi sosial dalam karya sastra ada tiga hal yang menjadi perhatian, yakni sejauh mana sastra berfungsi merombak masyarakatnya, sejauh mana sastra sebatas penghibur saja, dan sejauh mana terjadi sintetis antara keduanya, perombak dan penghibur (Watt via Faruk, 2010: 5--6). Pandangan sastra sebagai ekspresi jiwa yang dianut kaum Romantik yang pada akhirnya membuat banyak studi sastra dengan pendekatan psikologis akhirnya mulai digugat dan ditinggalkan banyak ahli. Hal ini disebabkan banyak sastrawan yang memaksudkan karyanya bukan sebagai ekspresi jiwa, tetapi sebagai cerminan masyarakat. Sastra sebagai alat perjuangan sosial, alat menyuarakan aspirasi dan nasib masyarakat tertindas, seperti yang ada dalam gagasan mengenai realisme, naturalisme, dan realisme sosialis (Faruk, 2010: 41— 45). Lebih jauh lagi, Riceur (dalam Faruk, 2010: 45--46) menyatakan bahwa sebagai tulisan, karya sastra secara tidak terelakkan telah keluar dari situasi dan kondisi nyata produksinya. Karya sastra tidak lagi menjadi wacana yang otonom 13 dan berdiri sendiri. Oleh karena itu, membicarakan suatu karya sastra harus melibatkan aspek di luar karya sastra. Di sisi lain, sebagai bahasa, karya sastra sebenarnya dapat dibawa ke dalam keterkaitan yang kuat dengan dunia sosial yang nyata, yaitu lingkungan sosial tempat dan waktu bahasa yang digunakan oleh karya sastra itu hidup dan berlaku. Meski demikian, dunia sosial yang tergambar dalam karya sastra bukanlah kenyataan sosial, tetapi kenyataan batiniah subyektif dari sastrawannya; yang kesemuannya dihadirkan dalam bahasa pengarangnya. Meskipun sebagai kenyataan batiniah pengarang, pertalian antara karya sastra dengan dunia sosial yang nyata bukannya tidak ada sama sekali. Teori mimesis Plato yang memandang dunia dalam karya sastra merupakan tiruan terhadap dunia kenyataan yang sebenarnya juga merupakan tiruan terhadap dunia ide dapat menjadi salah satu pijakan. Oleh karena itu, apabila dalam dunia karya sastra membentuk diri sebagai sebuah dunia sosial, dunia tersebut merupakan tiruan terhadap dunia sosial yang ada dalam kenyataan sebagaimana dipelajari dalam sosiologi (Faruk, 2010: 47-48). Dalam kaitannya dengan sosiologi, karya sastra dipandang sebagai dokumen sosial, cerminan situasi sosial, gambaran sosio-historis, dan semangat zamannya. Akan tetapi hal tersebut tidak berimplikasi pada pergeseran paradigma bahwa karya sastra adalah obyek sosiologi itu sendiri. Sebaliknya, sosiologi adalah alat untuk menafsirkan karya sastra dengan maknanya yang sekunder, dengan menghubungkan pemahaman dan pemaknaan unsur-unsur intrinsik karya itu, dan mengaitkannya dengan unsur-unsur ekstrensik (Mahayana, 2005: 337). 14 1.6 Metode Penelitian Metode penelitian karya sastra dengan teori Sosiologi Sastra Ian Watt ini menggunakan metode dialektik. Dengan menggunakan metode dialektik sangat memungkinkan terbuka bagi sebuah karya sastra dan masyarakat memiliki hubungan yang dialektik atau timbal balik (Faruk, 2010: 12). Dengan demikian, metode dialektik berusaha membandingkan kehidupan nyata dengan kehidupan fiksi. Perbandingan yang dilakukan tidak sama persis karena ada faktor yang berperperan sebagai mediator, yakni pandangan dunia pengarang. Analisis data penelitian menggunakan metode kualitatif, yang berupa deksripsi daam bentuk narasi. Metode kualititatif digunakan dalam penelitian ini mengingat data-data yang diteliti bukan merupakan data cacah atau bilangan. Hasil analisis terhadap data penelitian nantinya disajikan secara informal. Secara informal, pembahasan terhadap hasil penelitian menggunakan penjabaran secara deskriptif agar dapat digambarkan secara rinci dan jelas. Secara umum langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menentukan karya sastra yang hendak di analisis, yakni novel Biola Tak Berdawai 2. Membaca Biola Tak Berdawai secara berulang-ulang agar menemukan pemahaman yang cukup. 3. Merumuskan masalah. 4. Mengumpulkan dan melakukan studi literatur untuk menemukan metode yang tepat. 15 5. Menentukan metode penelitian. 6. Melakukan analisis dengan metode studi literatur. 7. Membuat laporan penelitan dalam bentuk skripsi. 1.7 Sistematika Laporan Penelitian Laporan penelitian ini akan disajikan dalam beberapa bab. Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hipotesis, dan sistematika penyajian. Bab II merupakan penjelasan konteks sosial pengarang. Bab III berisi penjabaran Biola Tak Berdawai sebagai cerminan kondisi masyarakat difabel. Bab IV menjelaskan fungsi soisal Biola Tak Berdawai yang ada dalam kaitannya dengan isu masyarakat difabel di Indonesia. Bab V berisi kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini.