Neoliberalisme Kian Menancap di Indonesia

advertisement
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Neoliberalisme Kian Menancap di Indonesia
Suara Karya : Kamis, 18 Nopember 2010
JAKARTA (Suara Karya): Hasil pertemuan Forum G-20 dan APEC hanya menegaskan
pelaksanaan perdagangan bebas seluas-luasnya oleh negara-negara anggotanya, termasuk
Indonesia.
Pengamat ekonomi UGM Ichsanuddin Noorsy menilai, deklarasi APEC semakin
memperkokoh neoliberalisme di Indonesia. Perdagangan bebas dan kebebasan arus modal
untuk bergerak, akan semakin menguat seiring dengan keputusan Forum G-20 dan Kerja
Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC).
APEC juga dijadikan Amerika Serikat (AS) menjadi forum strategis untuk tetap
mempertahankan dominasi ekonomi, terutama di kawasan Asia Pasifik. "Kondisi ini
dijadikan AS sebagai cara mempertahankan dominasi di kawasan Asia, khususnya
Inonesia," katanya di Jakarta, kemarin.
Dengan kesepakatan dalam forum APEC dan G-20, Indonesia hanya akan mengikuti
jalan liberlisasi dengan mempromosikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan menolak
proteksionisme. Dengan ini mendukung sistem perdagangan multilateral dan mewujudkan
penyatuan ekonomi kawasan.
"Sejak APEC dibentuk dan Indonesia sebagai salah satu penggagasnya, hingga kini
struktur ekspor Indonesia relatif tidak berubah. Hanya bertumpu pada komoditas premier
dan strategis. Buktinya pada krisis moneter 1997/1998 dan 2007/2008, anggota APEC
menyelamatkan diri masing-masing. Saat ini peran ekonomi barat yang dipimpin oleh AS
tengah menurun seiring dengan munculnya kekuatan ekonomi baru dari Timur. Namun
dalam pengelompokan kekuatan ekonomi Asia Timur, negara-negara lain justru melihat
Indonesia ambivalen. Sikap ini jelas merugikan kita sendiri," tuturnya.
Ichsanuddin menjelaskan, dalam kompetisi ekonomi yang terjadi saat ini, Indonesia
hanya akan menjadi korban, karena tidak siap dengan perang ekonomi yang akan
berlangsung sengit. "Kita memang tidak dalam kesiapan berperang. Dengan kondisi ini,
pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi di Indonesia akan terus berlanjut,"
katanya.
Sementara itu, ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Pande
Radja Silalahi meminta pemerintah untuk memperkuat produk unggulan nasional, seperti
produk berbasis pertanian dan industri pengolahan lainnya. Ini dilakukan dalam
menghadapi perdagangan bebas sebagaimana yang menjadi kesepakatan dalam
perundingan di forum G-20 dan APEC.
"Untuk tetap bisa kompetitif dalam era perdagangan bebas, Indonesia harus punya
produk unggulan tertentu yang bisa dijual di pasar internasional. Kalau tidak, produk lokal
akan terus tergerus oleh barang-barang impor dengan pemberlakuan perdagangan bebas
ini," katanya.
Menurut Pande, beberapa tahun lalu, produk tekstil Indonesia merajai pasar dunia,
meskipun kini semua itu hanya tinggal kenangan. Namun untuk produk berbasis sektor
pertanian, antara lain kakao dan sawit, masih bisa menjadi produk unggulan nasional dan
primadona di pasar luar negeri. "Ini seharusnya menjadi fokus pemerintah ke depan,"
katanya.
Saat ini, lanjut dia, produk China terus menggerus pasar Indonesia tanpa bisa
dilawan dan menjadikan produk lokal menjadi tidak kompetitif. Kondisi ini semakin
merugikan bila pemerintah tidak melakukan inovasi kebijakan yang bisa membuat produk
lokal bisa lebih kompetitif. "Jangan sampai negara lain yang menikmati hasilnya,
pemerintah hanya bisa membayar tagihannya," kata Pande.
Terkait integrasi ekonomi yang juga tertuang dalam kesepakatan G-20 dan APEC,
Indonesia dinilai masih jauh untuk bisa mewujudkannya.
Pembenahan kinerja sektor industri maupun sektor riil lainnya menjadi pekerjaan
rumah yang sangat berat dan harus segera diselesaikan. (Bayu/Indra)
Download