Referat Hepatitis Virus pada Anak Disusun Oleh: Senna Handoyo Tanujaya 11-2015-166 Pembimbing: dr. Riza Mansyoer, Sp.A Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana RSUD KOJA Jakarta Utara Periode 9 Mei 2016 – 16 Juli 2016 BAB I PENDAHULUAN Hepatitis virus adalah infeksi sistemik yang menyerang hati. Hepatitis virus masih merupakan masalah kesehatan utama, baik di negara yang sedang berkembang maupun negara maju. Virus penyebab adalah hepatitis virus A (HAV), hepatitis virus B (HBV), hepatitis virus C (HCV), hepatitis virus D (HDV), hepatitis virus E (HEV), dan hepatitis virus G (HGV).1 Infeksi virus hepatitis merupakan infeksi yang berupa inflamasi dan atau nekrosis hepatosit serta infiltrasi panlobular oleh sel mononukleus (sel MN). Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, saat ini identifikasi dan pengertian patogenesis hepatitis virus menjadi lebih baik. Semua memberi gejalan klinis yang sama, mulai dari asimptomatik hingga ke hepatitis fulminan dan kematian adalah sama bagi. Kecuali hepatitis virus G yang memberikan gejala sangat ringan, semua infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis dapat berlanjut dalam bentuk subklinis atau penyakit hati yang progresif dengan komplikasi sirosis atau timbulnya karsinoma hepatoselular, yang dikenal dengan hepatoma. Virus hepatitis A dan virus hepatitis E tidak menyebabkan penyakit kronis sedangkan virus hepatitis B,D dan C dapat menyebabkan infeksi kronis. Petanda adanya kerusakan hati (hepatocellular necrosis) adalah meningkatnya transaminase dalam serum terutama peningkatan alanin aminotransferase (ALT) yang umumnya berkorelasi baik dengan beratnya nekrosis pada sel sel hati.1,2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2 I. Hepatitis A Virus Hepatitis A menyebar secara fecal-oral. Seseorang dapat terkena Hepatitis A saat memakan sesuatu yang telah terkontaminasi oleh kotoran orang yang telah terinfeksi virus ini. Hal ini bisa terjadi dengan berbagai cara. Misalnya saat orang yang telah terinfeksi menyiapkan/memasak makanan untuk orang lain tanpa mencuci tangan terlebih dahulu dengan baik. Seseorang pun bisa terkena Hepatitis A lewat minuman yang terkontaminasi dengan virus ini. Virus Hepatitis A lebih mudah menyebar di area yang kebersihannya kurang terjaga.3 a. Virologi Hepatitis Virus A (HAV) adalah noneveloped virus berukuran 27nm dan merupakan RNA virus rantai tunggal, dari famili picornavirus, terdiri dari satu serotipe, tiga atau lebih genotipe, bereplikasi di sitoplasma hepatosit yang terinfeksi. Kerusakan hepar yang terjadi disebabkan karena mekanisme imun yang diperantai sel-T.1 Host infeksi HAV sangat terbatas, hanya manusia dan beberapa primata yang dapat menjadi host alamiah. Karena tidak ada keadaan karier, infeksi HAV terjadi melalui transmisi serial dari individu yang terinfeksi ke individu lain yang rentan, melalui rute fekal-oral. Virus yang tertelan bereplikasi di intestinum dan bermigrasi melalui vena porta ke hepar dengan melekat pada reseptor viral yang ada di membran hepatosit. HAV matur yang sudah bereplikasi kemudian diekskresikan bersama empedu dan keluar bersama feses. 1,2 Penyakit Hepatitis A ini merupakan penyakit endemis di beberapa negara berkembang. Selain itu merupakan hepatitis yang ringan, bersifat akut, sembuh spontan/ sempurna tanpa gejala sisa dan tidak menyebabkan infeksi kronik. Sumber penularan umumnya terjadi karena pencemaran air minum, makanan yang tidak dimasak, makanan yang tercemar, sanitasi yang buru, dan personal hygiene rendah.4 b. Epidemiologi Di negara berkembang dimana HAV masih endemis (Afrika, Amerika Selatan, Asia Tengah, dan Asia Tenggara) paparan terhadap HAV hampir 100% pada anak 10 tahun. Di Indonesia prevalensi di Jakarta, Bandung, dan Makassar berkisar antara 35-45% pada usia 5 tahun, dan mencapai lebih dari 0% pada usia 30 tahun. Di Papua pada umur 5 tahun prevalensi anti HAV mencapai hampir 100%. Pada tahun 2008 terjadi outbreak yang terjadi disekitar kampus universitas Gadjah Mada yang menyerang lebih dari 500 penderita, yang diduga berasal dari pedagang kaki lima yang berada sekitar kampus. Di negara maju 3 prevalensi anti HAV pada populasi umum di bawah 20% dan usia terjadinya infeksi lebih tua daripada negara berkembang.2 c. Patofisiologi Diawali dengan masuknya virus kedalam saluran pencernaan, kemudian masuk ke aliran darah menuju hati melalui vena porta, lalu menginvasi ke hepatosit, dan bereplikasi sehingga menyebabkan sel hepatosit menjadi rusak. Setelah itu virus akan keluar dan masuk kedalam ductus biliaris yang akan dieksresikan bersama feses. Hepatosit yang telah rusak akan merangsang reaksi inflamasi yang ditandai dengan adanya agregasi makrofag, pembesaran sel kupfer yang akan menekan ductus biliaris sehingga aliran bilirubin direk terhambat, kemudian terjadi penurunan ekskresi bilirubin ke usus. Keadaan ini menimbulkan ketidak seimbangan antara uptake dan eksresi bilirubin dari sel hati sehingga bilirubin yang telah mengalami proses konjugasi (direct) akan terus menumpuk dalam sel hati yang akan menyebabkan refluks ke pembuluh darah sehingga akan bermanifestasi kuning (ikterus) pada jaringan kulit terutama pada sklera, dan kadang disertai rasa gatal dan air kencing menjadi berwarna teh pekat akibat partikel bilirubin direk berukuran kecil sehingga dapat masuk ke ginjal dan dieksresikan melalui urin. Akibat bilirubin direk yang kurang dalam usus mengakibatkan gangguan dalam produksi asam empedu, karena produksinya menurun, sehingga proses pencernaan lemak terganggu, dan lemak akan bertahan dalam lambung dengan waktu yang cukup lama, dan menyebabkan regangan pada lambung sehingga merangsang saraf simpatis dan parasimpatis mengakibatkan teraktifasinya pusat muntah yang berada di medula oblongata dan menyebabkan timbulnya gejala mual, muntah, dan menurun nya nafsu makan.5 Jejas pada hepatitis akut disebabkan oleh beberapa mekanisme. Pertama merupakan refleksi jejas pada hepatosit, yang melepaskan alanin aminotransferase (ALT, atau serum glutamat piruvat transaminase) dan aspartat aminotransferase (AST, dahulu serum glutamatoksaloasetat transaminase) ke dalam aliran darah. ALT lebih spesifik pada hati daripada AST, yang juga dapat naik sesudah cedera pada eritrosit, otot skelet, atau sel miokardium. Tingginya kenaikan tidak berkorelasi dengan luasnya nekrosis hepatoseluler dan nilai prognostik kecil. Pada beberapa kasus, penurunan kadar aminotransferase dapat meramalkan hasil yang jelek jika penurunan terjadi bersama dengan kenaikan bilirubin dan waktu protrombin yang memanjang (prothrombine time/PT). Kombinasi temuan ini menunjukkan bahwa cedera hati masif telah terjadi, menyebabkan sedikit berfungsinya hepatosit. Enzim lain, laktat dehidrogenase bahkan kurang spesifik terhadap hati daripada AST dan biasanya tidak membantu dalam evaluasi cedera hati. 4 Hepatitis virus juga disertai dengan ikterus kolestatik, dimana kadar bilirubin direk maupun indirek naik. Ikterus akibat obstruksi aliran saluran empedu dan cedera terhadap hepatosit. Kenaikan alkali fosfatase serum, 5'-nukleotidase, ɣ-glutamil transpeptidase, dan urobilinogen semua dapat merefleksikan cedera terhadap sistem biliaris. Kelainan sintesis protein oleh hepatosit digambarkan oleh kenaikan PT. Karena protein ini waktu paruhnya pendek, PT adalah indikator cedera pada hati yang sensitif. Albumin serum adalah protein serum lain yang dibuat-hati, tetapi waktu paruhnya yang panjang membatasi relevansinya untuk pemantauan cedera hati akut. Kolestasis menyebabkan penurunan kumpulan asam empedu usus dan pengurangan penyerapan vitamin larut-lemak. Cedera hati dapat juga menyebabkan perubahan pada karbohidrat, ammonia dan metabolisme obat.6 d. Manifestasi Klinis Gejala muncul secara mendadak: panas, mual, muntah, anoreksia, dan nyeri perut. Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang dikenali, jarang terjadi ikterus (30%). Sebaliknya pada orang dewasa yang terinfeksi HAV, hampir semuanya (70%) simtomatik dan dapat menjadi berat. Dibedakan menjadi 4 stadium yaitu: 2 1. Masa inkubasi, berlangsung selama 18-50 hari (±28 hari) 2. Masa prodomal, terjadi selama 4 hari - 1 minggu atau lebih. Gejala: fatigue, malaise, nafsu makan berkurang, mual, muntah, rasa tidak nyaman di daerah kanan atas, demam (biasanya < 39°C). Merasa dingin, sakit kepala, gejala seperti flu. Tanda yang ditemukan biasanya hepatomegali ringan dengan nyeri tekan. 3. Fase ikterik, dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua, seperti teh, diikuti oleh feses yang berwarna seperti dempul, kemudian warna sclera dan kulit perlahan-lahan menjadi kuning. Gejala anoreksia, lesu, mual dan muntah bertambah berat. 4. Fase penyembuhan, ikterus menghilang dan warna feses kembali normal dalam 4 minggu setelah onset. Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan, sebagian besar penderita sembuh total, tetapi relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan. Tidak dikenal adanya viremia persisten maupun penyakit kronis. 2 Terdapat 5 macam gejala klinis: 2 1. Hepatitis A klasik Penyakit timbul secara mendadak didahului gejala prodromal sekitar 1 minggu sebelum jaundice. Diderita oleh ± 80% dari penderita simtomatis. IgG anti-HAV pada bentuk ini mempunyai aktivitas yang tinggi, dan dapat memisahkan IgA dari kompleks IgA-HAV, sehingga dapat dieliminasi oleh sistem imun, untuk mencegah terjadinya relaps. 5 2. Hepatitis A relaps Terjadi pada 4-20% penderita simtomatis. Timbul 6-10 minggu setelah dinyatakan sembuh secara klinis. Kebanyakan terjadi pada umur 20-40 tahun. Gejala klinis dan laboratoris dari serangan pertama bisa sudah hilang atau masih ada sebagian sebelum timbulnya relaps. Gejala relaps lebih ringan daripada bentuk pertama. 3. Hepatitis kolestatik Terjadi pada 10% penderita simtomatis. Ditandai dengan pemanjangan gejala hepatitis dalam beberapa bulan disertai panas, gatal-gatal, dan jaundice. Pada saat ini kadar AST, ALT, dan ALP secara perlahan turun ke arah normal tetapi kadar bilirubin serum tetap tinggi. 4. Hepatitis A protracted Pada bentuk protracted (8,5%), clearance dari virus terjadi perlahan sehingga pulihnya fungsi hati memerlukan waktu yang lebih lama, dapat mencapai 120 hari. Pada biopsi hepar ditemukan adanya inflamasi portal dengan piecemeal necrosis, periportal fibrosis, dan lobular hepatitis. 5. Hepatitis A fulminan Terjadi pada 0,35% kasus. Bentuk ini paling berat dan dapat menyebabkan kematian. Ditandai dengan memberatnya ikterus, ensefalopati, dan pemanjangan waktu protombin. Biasanya terjadi pada minggu pertama saat mulai timbulnya gejala. Penderita usia tua yang menderita penyakit hati kronis (HBV dan HCV) berisiko tinggi untuk terjadinya bentuk fulminan ini. 2 e. Diagnosis Diagnosa hepatitis A dapat dilihat dari pemeriksaan laboratorium dari pemeriksaan serologi IgM anti-HAV, antibodi ini ditemukan 1-2 minggu setelah terinfeksi dan bertahan dalam waktu 3-6 bulan. Sedangkan untuk pemeriksaan IgG anti-HAV dapat dideteksi dalam waktu 5-6 minggu setelah terinfeksi dan bertahan sampai beberapa dekade, bahkan memberi proteksi terhadap HAV seumur hidup. Pemeriksaan ALT dan AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar ALT dapat mencapai 5000 U/l, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan dengan derajat penyakit. Pemanjangan waktu protrombin mencerminkan nekrosis sel yang luas seperti pada bentuk fulminan.2 f. Pengobatan Indeksi akut dapat dicegah dengan pemberian imunoglobulin dalam 2 minggu setelah terinfeksi atau menggunakan vaksin. Penderita hepatitis A akut dirawat secara rawat jalan, dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi dengan kesulitan masukan per-oral, kadar SGOTSGPT> 10 kali nilai normal, koagulopati, dan ensefalopati. 6 Pengobatan meliputi istirahat dan pencegahan terhadap bahan hepatotoksik, misalnya asetaminofen. Pada penderita tipe kolestatik dapat diberikan kortikosteroid dalam jangka pendek. Pada tipe fulminan perlu perawatan di ruang perawatan intensif dengan evaluasi waktu protombin secara periodik. Parameter klinis untuk prognosis yang kurang baik adalah: 1. Pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik 2. Umur penderita kurang dari 10 tahun atau lebih dari 40 tahun 3. Kadar bilirubin serum lebih dari 17mg/dl atau waktu sejak dari ikterus menjadi ensefalopati lebih dari 7 hari.2,3 g. Pencegahan Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A maka pencegahan lebih diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan endemisitas tinggi dan pada orang dewasa dengan risiko tinggi seperti umur lebih dari 49 tahun yang menderita penyakit hati kronis. Pencegahan umum meliputi nasehat kepada pasien yaitu : perbaikan higiene makanan-minuman, perbaikan sanitasi lingkungan dan pribadi dan isolasi pasien (sampai dengan 2 minggu sesudah timbul gejala). Pencegahan khusus dengan cara imunisasi. Terdapat 2 bentuk imunisasi yaitu imunisasi pasif dengan immunoglobulin, dan imunisasi aktif dengan inactivated vaccines (Havrix, Vaqta dan Avaxim).2 Imunisasi Pasif Indikasi pemberian imunisasi pasif:2 1. Semua orang yang kontak serumah dengan penderita 2. Pegawai dan pengunjung tempat penitipan anak bila didapatkan seorang penderita atau keluarganya menderita hepatitis A. 3. Pegawai jasa boga dimana salah satu diketahui menderita hepatitis A. 4. Individu dari negara dengan endemisitas rendah yang melakukan perjalanan ke negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi dalam waktu 4 minggu. IG juga diberikan pada usia dibawah 2 tahun yang ikut bepergian sebab vaksin tidak dianjurkan untuk anak dibawah 2 tahun. Imunisasi pasif dengan immunoglobulin normal atau immune serum globulin prophylaxis dapat efektif dan memberi perlindungan selama 3 bulan dengan dosis 0,02 ml/kgBB untuk memberikan perlindungan selama 5 bulan diberikan secara intramuskular melalui otot deltoid dengan dosis 0,06 ml/kgBB pada anak usia 2-18 tahun dan tidak boleh diberikan dalam waktu 2 minggu setelah pemberian live attenuated vaccines (measles, mumps, rubella, varicella) sebab IG akan menurunkan imunogenitas vaksin. Akan tetapi, dengan penemuan vaksin yang sangat efektif, immunoglobulin tersebut menjadi jarang digunakan. Imunisasi pasif ini diindikasiskan untuk turis yang berkunjung ke daerah endemik dalam waktu singkat, wanita hamil, orang yang lahir di daerah endemis HAV, orang dengan 7 immunocompromised yang memiliki resiko penyakit berat setelah kontak erat, dan pekerja kesehatan setelah terpajan akibat pekerjaan. Ketika sumber infeksi HAV teridentifikasi, contohnya makanan atau air yang terkontaminasi HAV, immune serum globulin prophylaxis harus diberikan kepada siapa saja yang telah terpapar dari kontaminan tersebut. Hal ini terutama berlaku untuk wabah dari HAV yang terjadi di sekolah, rumah sakit, penjara, dan institusi lainnya.1,2 Normal human immunoglobulin (NIHG) mengandung 100 IU antiHAV, diberikan sebagai upaya pencegahan setelah kontak (kontak serumah, kontak seksual, saat epidemi) atau disebut profilaksis pasca paparan. Diberikan secara intramuskular dengan dosis 0,02 ml/kg berat badan pada anak yang lebih besar dan dewasa ≤5 ml, sedangkan pada anak kecil atau bayi tidak melebihi 3 ml.7 Tabel 1. Rekomendasi profilaksis post exposure terhadap VHA7 Saat paparan (minggu) ≤2 >2 Usia (tahun) <2 ≥2 <2 ≥2 Rekomendasi IG IG dan vaksin IG Vaksin Tabel 2. Profilaksis pre exposure terhadap pengunjung dari daerah non endemis7 Umur tahun <2 ≥2 Lama Kunjungan Rekomendasi Keterangan < 3 bulan 3 – 5 bulan Jangka panjang IG 0.02m1/kg IG 0.06 ml/kg IG 0.06 ml/kg 1 kali 1 kali saat berangkat, diulang <3 bulan 3 – 5 bulan Jangka panjang Vaksin atau Ig 0.02 ml/kg Vaksin atau Ig 0.06 ml/kg Vaksin setiap 5 bulan Dosis dan imunisasi aktif jadwal lihat perihal imunisasi aktif Imunisasi Aktif Vaksin yang beredar saat ini adalah Havrix dan Vaqta, Avaxime. Semuanya berasal dari inaktivasi dengan formalin dari sel kultur HAV. Havrix mengandung preservatif sedangkan Vaqta tidak. Vaksin disuntikkan secara intramuskular 2 kali dengan jarak 6 bulan dan tidak diberikan pada anak dibawah 2 tahun karena transfer antibodi dari ibu tidak jelas pada usia ini. Efikasi dan imunogenisitas dari kedua produk adalah sama walaupun titer geometrik rata-rata anti-HAV pada Vaqta™ lebih tinggi. Dalam beberapa studi klinis kadar 20 mIU/L pada Havrix™ dan 10 mIU/L pada Vaqta™ mempunyai nilai protektif. Kadar protektif 8 antibodi mencapai 88% dan 99% pada Havrix™ dan 95% dan 100% pada Vaqta™ pada bulan ke 1 dan ke 7 setelah imunisasi. Diperkirakan kemampuan proteksi bertahan antara 510 tahun atau lebih. Tidak ditemukan kasus infeksi hepatitis A dalam waktu 6 tahun setelah imunisasi. 2 Walaupun jarang, kemungkinan reaksi anafilaksis harus diperhitungkan. Seperti pada vaksin HBV kemungkinan gejala sindroma demielinisasi pernah dilaporkan (sindroma Guillain-Barre, transverse myelitis, dan multiple sclerosis), walaupun frekuensi kejadiannya tidak berbeda dibandingkan dengan populasi yang tidak divaksinasi.2 Indikasi imunisasi aktif: 1 1. Individu yang akan bekerja ke negara lain dengan prevalensi HAV sedang sampai tinggi 2. Anak-anak 2 tahun keatas pada daerah dengan endemisitas tinggi atau periodic outbreak 3. Homoseksual 4. Pengguna obat terlarang, baik injeksi maupun noninjeksi, karena banyak golongan ini yang mengidap hepatitis C kronis. 5. Peneliti HAV. 6. Penderita dengan penyakit hati kronis, dan penderita sebelum dan sesudah transplantasi hati, karena kemungkinan mengalami hepatitis fulminan meningkat. 7. Penderita gangguan pembekuan darah (defisiensi faktor VIII dan IX). Vaksinasi aktif memberikan kekebalan terhadap infeksi sekunder dari kontak penderita, maupun pada saat timbul wabah. Efikasi mencapai 79% dan jumlah penderita yang divaksinasi untuk didapatkan satu kasus infeksi sekunder adalah 18:1. Rasio ini dipengaruhi oleh status imunologi dalam masyarakat. Kombinasi imunisasi pasif dan aktif dapat diberikan pada saat yang bersamaan tetapi berbeda tempat menyuntikkannya. Hal ini memberikan perlindungan segera tetapi dengan tingkat protektif yang lebih rendah. Oleh karena kekebalan dari infeksi primer adalah seumur hidup, dan lebih dari 70% orang dewasa telali mempunyai antibodi, maka imunisasi aktif HAV pada orang dewasa sebaiknya didahului dengan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan kadar antibodi setelah vaksinasi tidak diperlukan karena tingginya angka serokonversi dan pemeriksaan tidak dapat mendeteksi kadar antibodi yang rendah.2 Imunisasi menyebabkan terbentuknya serum-neutralizing antibodies terhadap epitop permukaan virus. Kebijakan imunisasi hepatitis A lebih bersifat individual dan diberikan pada anak berusia ≥2 tahun.7 9 Tabel 3. Kandidat Vaksinasi HVA3 Kandidat vaksinasi HVA Imunisasi rutin Risiko tinggi HVA Anak di daerah endemis HVA atau daerah dengan wabah periodik Staf bangsal neonatologi Pasien yang memerlukan konsentrat faktor VIII Staf TPA, staf dan penghuni institusi untuk cacat Risiko hepatitis fulminan Risiko menularkan HVA mental Pekerja dengan primata Pelancong ke daerah endemis yang belum mempunyai kekebalan terhadap HVA Kontak dengan kelompok yang berisiko Pria homoseksual dengan pasangan ganda IVDU Pasien penyakit hati kronis Penyaji makanan, anak usia 2-3 tahun di TPA Vaksin dibuat dari virus yang dimatikan (inactivated vaccine). Dosis vaksin bervariasi tergantung produk dan usia resipien. Monovalen o Anak ≥ 2 tahun: 720 IU o Dewasa: 1440 IU Kombinasi Hep A dan B: >1 tahun Kombinasi Hep A dan tifoid: 2 tahun Vaksin diberikan 2 kali, suntikan kedua atau booster diberikan antara 6 - 18 bulan setelah dosis pertama, tergantung produk. Vaksin hepatitis A terbukti imunogenisitasnya baik. Diperkirakan anti-HAV protektif menetap selama > 20 tahun. Proteksi jangka panjang terjadi akibat antibodi protektif yang menetap atau akibat anamnestic boosting infeksi alamiah. Pemberian vaksin VHA bersamaan dengan vaksin lain (hepatitis B, tifoid) tidak mengganggu respons imun masing-masing vaksin dan tidak meningkatkan frekuensi efek samping. Vaksin VHA tidak boleh diberikan pada individu yang mengalami reaksi berat sesudah penyuntikan dosis pertama. 7 Vaksin HVA aman dan jarang menimbulkan efek samping. Reaksi lokal merupakan efek samping tersering (21-54%) tetapi umumnya ringan. Demam dialami 4% resipien.7 II. HEPATITIS B a. Virologi Virus hepatitis B (HBV) manusia termasuk golongan hepadnavirus tipe 1 dan merupakan virus hepadna yang pertama kali ditemukan. Hepadnavirus juga ditemukan pada marmut, 10 tupai, dan bebek; tetapi virus yang menginfeksi binatang tersebut tidak dapat menular pada manusia. Selain manusia, Human HBV juga dapat menginfeksi simpanse. Virus hepatotropik ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang terdiri dari 3200 nuklotida dengan diameter 42 nm dan terdiri dari 4 gen. HBV dapat ditemukan dalam 3 komponen yaitu partikel lengkap berdiameter 42 nm, partikel bulat berdiameter 22 nm, dan partikel batang dengan lebar 22 nm dengan panjang bervariasi sampai 200 nm. Pada sirkulasi, komponen terbanyak adalah bentuk bulat dan batang yang terdiri atas protein, cairan, dan karbohidrat yang membentuk hepatitis B surface antigen (HbsAg) dan antigen pre-S. Bagian dalam dari virion adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B core antigen (HbcAg) yang membungkus DNA, DNA polimerase, transkriptase, dan protein kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang terdapat dalam core adalah hepatitis B e antigen (HbeAg). Antigen ini menjadi petunjuk adanya replikasi virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal, pankreas, dan terutama hati. HbeAg merupakan petanda tak langsung derajat beratnya infeksi. Masa inkubasi HBV 60-90 hari.1,2 b. Epidemiologi WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap HBV pada tahun 2000. Pola prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3 golongan yaitu prevalensi rendah (HbsAg 0,20,5% dan anti-HBs 4-6%), prevalensi sedang (HbsAg 2-7% dan anti-HBs 20-55%), dan prevalensi tinggi (HbsAg 7-20% dan anti-HBs 70-95%). Di negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia prevalensi HbsAg bervariasi antara 0,1%0,2% sedangkan di Afrika dan Timur 10%-15%. Pada komunitas terisolasi seperti orang Eskimo di Alaska prevalensi dapat mencapai 45% dan Aborigin di Australia mencapai 85%.2 Pada ibu yang melahirkan dengan HbeAg (+), bayi memiliki risiko tertular sebesar 90%, sedangkan bila hanya HbsAg (+) maka risikonya 10% apabila tidak dilakukan tindakan imunoprofilaksis. 90% bayi yang tertular akan berkembang menjadi infeksi kronis dan 25% akan meninggal karena penyakit hati kronis.2 HBV tidak selalu didapatkan dalam ASI, namun yang dikhawatirkan adalah luka pada puting susu sehingga bayi menelan ASI yang mengandung darah dan HBV.2 c. Patofisiologi Virus hepatitis B merupakan virus nonsitopatik dan menyebabkan kerusakan jaringan melalui reaksi imunologis. Beratnya kerusakan jaringan hati menggambarkan derajat respons imunologis. Langkah pertama dalam proses hepatitis akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV, menyebabkan munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting 11 dari antigen virus ini adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg, pecahan produk HBcAg. Antigen-antigen ini, bersama dengan Protein histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I, membuat sel suatu sasaran untuk melisis sel-T sitotoksis. 1,2 Antigen tersebut akan bergabung dengan class I major histocompatibility complex (MHC I) dan menjadi target dari sel T sitotoksik (CTL) untuk terjadinya proses lisis. Partikel virus yang tidak utuh dan berasal dari sel yang lisis tidak menimbulkan infeksi, sedangkan virus utuh yang keluar akan dinetralisir oleh antibodi penetral. Untuk memungkinkan hepatosit terus terinfeksi, protein core atau protein MHC kelas I tidak dapat dikenali, limfosit sitotoksik tidak dapat diaktifkan, atau beberapa mekanisme lain yang belum diketahui dapat mengganggu penghancuran hepatosit. Agar infeksi dari sel ke sel berlanjut, beberapa hepatosit yang sedang mengandung virus harus bertahan hidup. Mekanisme imunologis juga berperan pada manifestasi ekstrahepatik. Kompleks imun yang mengandung HbsAg dapat menimbulkan poliarteritis nodosa, glomerulonefritis membranosa, polimialgia, vaskulitis, dan sindroma Guillain-Barre. 1,2 Mekanisme timbulnya infeksi kronis mungkin disebabkan oleh gangguan imunologis yang menyebabkan gangguan produksi anti-HBs karena pada pasien Hepatitis B kronik antiHBs tidak lagi terdeteksi; sehingga HbcAg dan MCH I tidak dapat dieksposisi pada permukaan sel, atau sel T sitotoksik tidak teraktivasi. Anak laki-laki lebih mudah mengalami infeksi kronis daripada anak perempuan. Selain itu umur timbulnya infeksi sangat berpengaruh terhadap kejadian infeksi kronis. Infeksi HBV < 3 tahun lebih sering menimbulkan hepatitis kronis daripada infeksi >umur 3 tahun. 2 Mutasi HBV lebih sering daripada untuk virus DNA biasa, dan sederatan strain mutan telah dikenali. Yang paling penting adalah mutan yang menyebabkan kegagalan mengekspresikan HBeAg dan telah dihubungkan dengan perkembangan hepatitis berat dan mungkin eksaserbasi infeksi HBV kronis yang lebih berat. 2 d. Gejala Klinis - Hepatitis akut Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat. Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu dengan malaise, lelah, anoreksia, mual dan muntah, timbul kuning atau ikterus dan pembesaran hati; dan berakhir setelah 6-8 minggu. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar ALT dan AST sebelum timbulnya gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus dapat 12 didahului gejala seperti serum sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit (urtikaria, purpura, makula dan makulopapular). Ikterus terdapat pada 25% penderita, biasanya mulai timbul saat 8 minggu setelah infeksi dan berlangsung selama 4 minggu. Gejala klinis ini jarang terjadi pada neonatus, 10% pada anak dibawah umur 4 tahun, dan 30% pada dewasa. Sebagian besar penderita hepatitis B simtomatis akan sembuh tetapi dapat menjadi kronis pada 10% dewasa, 25% anak, dan 80% bayi. 2 Pada pemeriksaan fisik, kulit dan membrana mukosa adalah ikterik, terutama sklera dan mukosa dibawah lidah. Hati biasanya membesar dan nyeri pada palpasi. Bila hati tidak dapat teraba dibawah tepi kosta, nyeri dapat diperagakan dengan memukul iga dengan lembut diatas hati dengan tinju menggenggam. Sering ada splenomegali dan limfadenopati.2 - Hepatitis kronis Definisi hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase atau HbsAg dalam serum, minimal selama 6 bulan. Perubahan histologis yang menetap pada penderita dengan hepatitis B, C, atau D menunjukkan perkembangan penyakit kronis. Sebagian besar penderita hepatitis kronis adalah asimtomatis atau bergejala ringan dan tidak spesifik. Peningkatan kadar aminotransferase serum (bervariasi mulai dari minimal sampai 20 kali nilai normal) menunjukkan adanya kerusakan jaringan hati yang berlanjut. Fluktuasi kadar aminotransferase serum mempunyai korelasi dengan respons imun terhadap HBV. Pada saat kadar aminotransferase serum meningkat dapat timbul gejala klinis hepatitis dan IgM anti-HBc. Namun gejala klinis ini tidak berhubungan langsung dengan beratnya penyakit, tingginya kadar aminotransferase serum, atau kerusakan jaringan hati pada biopsi. Pada penderita hepatitis kronis-aktif yang berat (pada pemeriksaan histopatologis didapatkan bridging necrosis), 50% diantaranya akan berkembang menjadi sirosis hati setelah 4 tahun, sedangkan penderita hepatitis kronis-aktif sedang akan menjadi sirosis setelah 6 tahun. Kecepatan terjadinya sirosis mungkin berhubungan dengan beratnya nekrosis jaringan hati yang dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga untuk melakukan perkiraan kapan timbulnya sirosis pada individu sukar untuk ditentukan.1,2 - Gagal hati fulminan Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B akut simtomatik. Gagal hari fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati hepatikum dalam beberapa minggu setelah munculnya gejala pertama hepatitis, disertai ikterus, gangguan pembekuan, dan peningkatan kadar aminotransferase serum hingga ribuan unit. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya reaksi imunologis yang berlebihan dan menyebabkan nekrosis jaringan hati yang luas. 13 - Pengidap sehat Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase serum berada dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga tidak terjadi kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi di daerah endemik yang terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap sehat adalah: (1) membaik (antiHbe positif) sebesar 10% setiap tahun, (2) menderita sirosis pada umur diatas 30 tahun sebesar 1%, (3) menderita karsinoma hati kurang dari 1%.2 e. Diagnosis Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada saat awal infeksi HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk ke dalam sel hati melalui aliran darah dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis. Pada saat ini DNA HBV, HbsAg, HbeAg, dan anti-HBc terdeteksi dalam serum. Keadaan ini berlangsung terus selama bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak yang dinamakan sebagai pengidap sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat kerusakan sel hari yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau berkembang menjadi hepatitis kronis. 2 Tabel 4. Penanda Serologis Infeksi HBV1 Antigen HBsAg Interpretasi Sedang infeksi HBeAg kornis, penanda kronis Proses replikasi dan sangat Hepatitis akut, hepatitis menular Antibodi Anti HBs Anti HBc total Anti Hbe Pemeriksaan Molekular PCR DNA HBV Hibridisasi DNA HBV hepatitis kronis Resolusi infeksi Kekebalan Sedang infeksi / pernah Hepatitis akut, infeksi IgM anti HBc Bentuk Klinis Hepatitis akut, kronis, penanda kekebalan Infeksi akut atau infeksi Hepatitis akut, hepatitis kronis, hepatitis kronis yang kambuh kronis Penurunan aktivitas replikasi Penanda kronis, kekebalan Infeksi HBV Hepatitis akut, hepatitis kronis, penanda kronis Replikasi aktif dan sangat Hepatitis akut, hepatitis menular kronis f. Pengobatan 14 Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian kecil menjadi kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pasien dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai normal, atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Namun tidak demikian pada neonatus, bayi, dan anak dibawah 3 tahun dimana infeksi HBV tidak menimbulkan gejala klinis hepatitis akut dan sebagian besar (80%) akan menjadi kronis. Pengobatan hepatitis B kronis merupakan masalah yang sulit; sampai saat ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak. Tujuan pengobatan hepatitis B kronis adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga virus tersebut dieliminasi dari tubuh dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis didalam hati terutama sirosis serta komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita dengan replikasi aktif (ditandai dengan HbeAg dan DNA HBV serum positif) dan hepatitis kronis dengan peningkatan kadar aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik terhadap pengobatan. 2 1. Interferon alfa Pengobatan dengan interferon-alfa-2b (IFN-a2b) adalah pengobatan standar untuk penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites, ensefalopati, koagulopati, dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif (HbeAg dan DNA HBV) serta peningkatan kadar aminotransferase serum. Kontraindikasi penggunaan interferon adalah neutropenia, trombositopenia, gangguan jiwa, adiksi terdahap alkohol, dan penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3 MU/m3 secara subkutan tiga kali dalam seminggu, diberikan selama 16 minggu.2 Efek samping interferon dapat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imunologis, nerologis, dan psikologis. Efek sistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi, anoreksia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri perut, dan rambut rontok. Efek autoimun ditandai dengan timbulnya auto-antibodi, antibodi anti-interferon, hipertiroidisme, diabetes, anemia hemolitik, dan purpura trombositopenik. Efek hematologis berupa penurunan jumlah trombosit, jumlah sel darah putih dan kadar hemoglobin. Efek imunologis berupa mudah terkena infeksi bakterial seperti bronkitis, sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih, peritonitis, dan sepsis. Efek nerologis berupa kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan tidur, delirium dan disorientasi, kejang, koma, penurunan pendengaran, tinitus, vertigo, penurunan penglihatan, dan perdarahan retina. Sedangkan efek psikologis berupa gelisah, iritabel, depresi, paranoid, penurunan libido, dan usaha bunuh diri.2 Penderita yang mendapat pengobatan interferon harus dievaluasi secara klinis dan laboratoris (ALT dan AST, albumin, bilirubin, pemeriksaan darah tepi) setiap 4 minggu 15 selama pengobatan. Pemeriksaan HbsAg, HbeAg, dan DNA HBV dilakukan pada saat mulai, selesai pengobatan dan 6 bulan paska pengobatan. Dosis interferon harus diturunkan atau pengobatan dihentikan apabila didapatkan gejala dekompensasi hati, depresi sumsum tulang, depresi kejiwaan berat, dan efek samping yang berat. Antara 10-40% penderita memerlukan pengurangan dosis, dan 5-10% pengobatan harus dihentikan. Sekitar 2% timbul efek samping berat termasuk infeksi bakteri, penyakit autoimun, depresi kejiwaan berat , kejang, gagal jantung, gagal ginjal, dan pneumonia.2 Keberhasilan pengobatan dipengaruhi oleh tingginya kadar transaminase serum, relatif rendahnya kadar DNA HBV serum, jenis kelamin perempuan, tidak berasal dari Asia, serta adanya gambaran hepatitis kronis-aktif pada biopsi. Dari beberapa penelitian didapatkan 46% penderita yang diobati mengalami serokonversi dengan timbulnya antibodi anti-Hbe dan 8% dengan timbulnya antibodi anti-HBs. Timbulnya anti-Hbe dan hilangnya DNA HBV menurunkan kejadian gagal hati dan angka kematian. Relaps terjadi pada 14% penderita pada tahun pertama setelah pengobatan. 2. Analog nukleosida Lamivudin, famsiklovir, dan adefovir adalah golongan nukleosida yang menghambat replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping daripada interferon. Dosisnya 3 mg/kgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun. Terjadi perbaikan gambaran histologis pada 52-67% kasus, sedangkan hilangnya HbeAg dan timbulnya anti-Hbe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan serokonversi HbeAg menjadi anti-Hbe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi hati, lamivudin memperbaiki skor Child-Pugh.2 Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan kadar aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi penggunaan interferon terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati. Penderita dengan mutasi precore HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama dan kemoterapi. Pada penderita yang mengalami kegagalan pengobatan dengan interferon dapat diberikan lamivudin. Apabila dengan pemberian lamivudin terjadi mutasi YMDD pada HBV, maka dapat diberikan adefovir atau gansiklovir. Penggunaan lamivudin pada anak selama 52 minggu dengan dosis 3 mg/kgBB memberi respons yang signifikan terhadap virus. Kombinasi terapi antara interferon dengan lamivudine tidak lebih baik dibandingkan pengobatan dengan lamivudine saja.2 g. Pencegahan Pencegahan Umum. 16 Meliputi uji tapis donor darah, upaya pencegahan umum mencakup sterilisasi instrumen kesehatan, alat dialisis individual, membuang jarum disposable ke tempat khusus, dan pemakaian sarung tangan oleh tenaga medis.7 Uji saring pravaksinasi dianjurkan pada kelompok khusus berisiko tinggi termasuk pengguna obat secara intravena, homoseksual, multiple sex partner, dan kontak erat dengan penderita HBV. Hasil uji saring sangat bervariasi antara 0,1-20% dengan anti-HBc positif dan 80% dari mereka memberi respons positif terhadap vaksinasi. Hal ini menyebabkan direkomendasikannya vaksinasi hanya untuk penderita dengan anti-HBc positif. Bayi baru lahir dengan risiko rendah (ibu HbsAg negatif saat melahirkan) dan anak-anak di luar Asia atau Kepulauan Pasifik tidak memerlukan uji saring dan imunisasi dapat diselesaikan dalam waktu 6-1 bulan.2 Secara luas, dalam program vaksinasi tidak dilakukan pemeriksaan paska vaksinasi. Pemeriksaan ini biasanya hanya dilakukan pada pekerja kesehatan dengan risiko tinggi tertular melalui darah maupun cairan tubuh. Pemeriksaan paska vaksinasi dilakukan satu atau dua bulan setelah suntikan ketiga. Pada bayi dengan ibu HbsAg positif yang telah divaksinasi sebaiknya dilakukan pemeriksaan penanda infeksi HBV pada umur 12 bulan.2 Untuk nonresponder dilakukan vaksinasi ulangan dengan 3 kali suntikan. Biasanya setengah dari mereka akan mencapai kadar seroprotektif. Bagi yang anti-HBs nya tidak muncul atau anti-HBs <10mlU/ml, tampaknya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan walaupun dilakukan penggantian jenis vaksin. Untuk masa mendatang, bagi para nonresponder ini dapat dilakukan: (1) pemberian vaksin yang mengandung pre-S2 HbsAg, (2) pemberian vaksin HBV bersama-sama T-helper cell peptide, (3) pemberian kombinasi HbsAg dengan HbcAg, atau (4) transfer limfosit dari responder. Untuk penderita dengan dialysis yang respon imunologisnya sangat rendah, hal diatas kurang bermanfaat. Sebaiknya para penderita penyakit ginjal diberi vaksinasi sebelum penyakitnya lanjut dan menjalani dialisis.2 Mencakup juga penyuluhan perihal safe sex, penggunaan jarum suntik disposable, mencegah kontak mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir), menutup luka. Selain itu, idealnya skrining ibu hamil (trimester ke 1 dan ke 3 terutama ibu risiko tinggi) dan skrining populasi risiko tinggi (lahir di daerah hiperendemis dan belum pernah imunisasi, homo-heteroseksual, pasangan seks ganda, tenaga medis, pasien dialisis, keluarga pasien VHB, kontak seksual dengan pasien VHB).7 Pencegahan Khusus. 17 Cakupan imunisasi hepatitis B di Indonesia pada anak usia 12 - 23 bulan sebesar 62,8%. Walaupun cakupan masih rendah, tetapi secara bermakna dapat menurunkan angka kesakitan hepatits B baik akut maupun kronik. Hepatitis B di kalangan anak-anak dan remaja telah berkurang hingga lebih dari 95% dan hingga 75% pada dewasa. Pemberian ketiga dosis vaksin hep. B dengan jumlah dosis sesuai rekomendasi, akan menyebabkan terbentuknya respons protektif (anti HBs ≥ 10 mlU/mL) pada > 90% dewasa, bayi, anak dan remaja. Vaksin diberikan secara intramuskular dalam. Pada neonatus dan bayi diberikan anteroIateral paha sedangkan pada anak besar dari dewasa diberikan di regio deltoid.7 Indikasi7 • • • • • • • • Semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu Individu yang karena pekerjaannya berisiko tertular VHB Karyawan di lembaga perawatan cacat mental Pasien hemodialisis Pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi berulang Individu yang serumah dengan pengidap VHB atau kontak akibat hubungan seksual Drug users Homosexuals Pada dasarnya, jadwal imunisasi hepatitis B sangat fleksibel sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukannya ke dalam program imunisasi terpadu. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diingat: 7 • Imunisasi minimal diberikan 3 kali • Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir • Jadwal imunisasi yang dianjurkan adalah 0,1,6 bulan karena respons antibodi paling optimal • Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan. Memperpanjang interval antara dosis pertama dan kedua tidak akan mempengaruhi imunogenisitas atau titer antibodi sesudah imunisasi selesai (dosis ketiga). • Dosis ketiga merupakan penentu respons antibodi karena merupakan dosis booster. Semakin panjang jarak antara imunisasi kedua dengan imunisasi ketiga (4-12 bulan), semakin tinggi titier antibodinya. • Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan imunisasi kedua. Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bulan dari imunisasi kedua. • Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah memungkinkan • Pada anak yang berumur antara 6 minggu - 2 tahun dapat diberikan kombinasi vaksin pentavalen (DTwP-HiB-Hep.B) atau hexavalen (DTaP-HiB-IPV-Hep.B) • Vaksin kombinasi Hepatitis A dan B (catch-up immunization) dapat diberikan pada anak berumur 18 bulan atau lebih, dengan jadwal 0,1,6 bulan. 18 • Pasien hemodialisis membutuhkan dosis yang lebih besar atau penambahan jumlah suntikan. Tabel 5. Imunisasi hepatitis B pada Bayi Baru Lahir3 HBsAg Ibu Positif Negatif Imunisasi Keterangan HBIg (0,5ml) & Vaksin Hep Dosis I: <12 jam pertama, atau B tidak Vaksin hep B diketahui setelah pemberian vit.K Dosis I: Segera setelah lahir Status HBV ibu semua tidak diketahui, tetapi bila dalam 7 hari terbukti ibu HBV, segera beri HBIg Untuk pencegahan penularan secara vertikal pada masa perinatal, terhadap seorang ibu yang melahirkan dengan HbsAg positif dengan atau tanpa adanya HbeAg, maka kepada bayinya diberikan vaksinasi pasif HBIg dan vaksinasi aktif. Pemberian HBIg saja tanpa vaksinasi aktif hanya memberi perlindungan selama 6 bulan sehingga masih memungkinkan terjadinya infeksi HBV. Faktor yang berpengaruh dalam reaksi imunologis adalah dosis vaksin, umur, dan kondisi imunologis. Sebaiknya diberikan dosis sesuai dengan rekomendasi yaitu antara 5-10 mcg. Bila dosis dikurangi maka milai titer antibodi juga turun. Lebih tua umur, serokonversi makin berkurang. Biasanya nonresponder terdapat pada mereka yang mengalami gangguan imunitas. Kadang terjadi nonresponder palsu karena kesalahan tempat penyuntikan yaitu masuk ke subkutan bukan ke otot. 2 Imunisasi Pasif Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan proteksi meskipun hanya untuk jangka pendek 3-6 bulan. HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan virus, hepatitis B (bayi dari ibu VHB), needle stick injury, kontak seksual, terciprat darah ke mukosa atau ke mata. Sebaiknya HBIg diberikan bersama vaksin VHB sehingga proteksinya berlangsung lama.7,8 Pada bayi dan ibu VHB, HBIg (0,5 ml) diberikan bersama vaksin di sisi tubuh berbeda, dalam waktu 12 jam setelah lahir. Efektivitas proteksinya (85-95%) dalam mencegah infeksi VHB dan kronisitas. Apabila yang diberikan hanya vaksin VHB, tingkat efektivitasnya 75%.7,8 19 Bayi prematur, termasuk bayi berat lahir rendah, tetap dianjurkan untuk diberikan imunisasi, 6 sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan.8 Pemberian vaksin HB pada bayi prematur dapat juga dilakukan dengan cara di bawah ini:8 1. Bayi prematur dengan ibu HBsAg positif harus diberikan imunisasi HB bersamaan dengan HBIG pada 2 tempat yang berlainan dalam waktu 12 jam. Dosis ke-2 diberikan 1 bulan kemudian, dosis ke- 3 dan ke-4 diberikan umur 6 dan 12 bulan. 2. Bayi prematur dengan ibu HBsAg negatif pemberian imunisasi dapat dengan : a. Dosis pertama saat lahir, ke-2 diberikan pada umur 2 bulan, ke-3 dan ke-4 diberikan pada umur 6 dan 12 bulan. Titer anti Hbs diperiksa setelah imunisasi ke-4. b. Dosis pertama diberikan saat bayi sudah mencapai berat badan 2000 gram atau sekitar umur 2 bulan. Vaksinasi HB pertama dapat diberikan bersama-sama DPT, OPV (IPV) dan Haemophylus influenzae B (Hib). Dosis ke-2 diberikan 1 bulan kemudian dan dosis ke-3 pada umur 8 bulan. Titer antibodi diperiksa setelah imunisasi ke-3. Catch up immunization. Merupakan upaya imunisasi pada anak atau remaja yang belum pernah diimunisasi atau terlambat > 1 bulan dari jadwal yang seharusnya. Khusus pada imunisasi hepatitis B, imunisasi catch up ini diberikan dengan interval minimal 4 minggu antara dosis pertama dan kedua, sedangkan interval antara dosis kedua dan ketiga minimal 8 minggu atau 16 minggu sesudah dosis pertama7 Efektivitas dan lama proteksi vaksin dalam mencegah infeksi VHB adalah 90-95%. Memori sistem imun menetap minimal sampai 15 tahun pasca imunisasi namun secara teoritis menetap seumur hidup sehingga pada anak normal, tidak diperlukan untuk imunisasi booster.7 Pada pasien hemodialisis, proteksi vaksin tidak sebaik individu normal dan mungkin hanya berlangsung selama titer anti HBs >=10 mlU/ml. Pada kelompok ini dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan anti-HBs setiap tahun dan booster diberikan bila anti- HBs turun menjadi <10 mIU/mL.7 Non responder. Mereka yang tidak memberikan respons terhadap imunisasi primer, diberikan vaksinasi tambahan. Tambahan satu kali vaksinasi menyebabkan 15-25% non responder memberikan respons antibodi yang adekuat. Bila vaksinasi diulang 3 kali, sampai dengan 40% dapat membentuk antibodi yang adekuat. Bila sesudah 3 kali vaksinasi 20 tambahan tidak terjadi serokonversi, dapat dipertimbangkan untuk pemberian vaksin hepatitis B dosis ganda.7 Uji serologis. Pada bayi-anak, pemeriksaan anti-HBs pra dan pasca imunisasi tidak dianjurkan. Uji serologis pra imunisasi hanya dilakukan pada yang akan memperoleh profilaksis pasca paparan dan individu berisiko tinggi tertular infeksi HBV. Uji serologi pasca imunisasi perlu dilakukan pada bayi dan ibu pengidap VHB, individu yang memperoleh profilaksis pasca paparan, dan pasien imunokompromais. Uji serologis pasca imunisasi ini dilakukan 1-2 bulan sesudah imunisasi HB lengkap.7 Reaksi KIPI. Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan bersifat sementara. Kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.7 Kontra indikasi absolut vaksin hepatitis B adalah riwayat anafilaksis setelah vaksinasi hepatitis B sebelumnya, terhadap komponen vaksin seperti yeast. Ikterus, kehamilan, dan laktasi bukan indikasi kontra imunisasi VHB.7 III. Hepatitis C Hepatitis C adalah penyakit hati yang serius yang disebabkan oleh infeksi dari Hepatitis C virus (HCV). Biasanya hepatitis C disebut dengan silent disease karena seseorang bisa terinfeksi dan tidak mengetahuinya. Beberapa orang bisa tidak bergejala, dan sembuh, tapi kebanyakan orang mendapatkan infeksi yang berkembang menjadi keronik ataupun infeksi seumur hidup. Kronik hepatitis C ini bisa menjadi masalah serius yang menyerang hati menjadi gagal hati, dan sampai menjadi kanker hati.9,10 a. Virologi HCV merupakan virus RNA dengan genom positif, termasuk famili Flaviviridae dan Pestivirus karena organisasi genetikanya yang saling menyerupai. HCV berdiameter 3060nm, dengan panjang 9,4 kb atau 9413 nukleotida, mempunyai suatu open reading frame (ORF) dapat melakukan mengkode suatu protein yang tersusun atas 3010 asam amino.2 Saat ini telah ditemukan 6 group HCV dengan 11 subtipe dan isolat yang sangat banyak, terdiri dari 4 genotipe. Pemberian tatanama HCV adalah dengan cara membandingkan persentase kesamaan nukleotida. Dikatakan adanya group atau tipe baru apabila terdapat kesamaan susunan nukleotida kurang dari 72% daripada tipe atau group yang telah diketahui.2 Heterogenitas tersebut merupakan akibat dari mutasi selama proses replikasi, yang merupakan mekanisme untuk menghindarkan diri dari sistem kekebalan tubuh sehingga infeksi dapat terus terjadi. Ini berarti bahwa dalam tubuh seseorang penderita HCV dapat ditemukan virus-virus yang berbeda susunan nukleotidanya. Masa inkubasi virus ini 30-60 21 hari. 2 Akibat dari heterogenitas tersebut adalah: 2 1. HCV mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari respon imunologis menyebabkan kurangnya daya proteksi dan terjadinya persistensi virus. 2. Mempengaruhi patogenesis perjalanan penyakit, seperti genotipe I dan infeksi dengan beberapa quasispecies menyebabkan penyakit hati yang berat. 3. Kemampuan host dalam hal respons terhadap pengobatan anti virus adalah rendah seperti pada genotipe 1 dan 4. 4. Kesulitan menentukan region yang dipakai sebagai target dalam tes diagnosis. 5. Kesulitan dalam pembuatan vaksin karena respons imun diduga sangat spesifik terhadap tipe. b. Epidemiologi Di Indonesia prevalensi HCV sangat bervariasi, sekitar 0,5% sampai 3,37%. Dari pemeriksaan darah donor di kota-kota, yaitu Jakarta sebesar 2,5%, Surabaya 2,3%, Medan 1,5%, Bandung 2,7%, Yogyakarta 1%, Bali 13%, Mataram 0,5%, Manado 3,0%, Makassar 1,0%,dan Banjarmasin 1,0%.2 Secara umum, angka tertinggi prevalensi anti HCV didapatkan ada mereka yang menggunakan obat bius dengan suntikan dan penerima transfusi berulang (antara 60-90%). Pada pasien yang hemodialisis (20%) dan angka yang rendah pada kontak seksual (1-10%). Penularan melalui transfusi darah, penggunaan obat-obatan intravena, hemodialisa, tertusuk jarum suntik, tattoo, dan hubungan seksual lebih banyak pada orang dewasa. Sedangkan pada anak biasanya disebabkan karena adanya penularan secara vertikal melalui plasenta.2 Pada bayi yang lahir dari ibu dengan anti HCV (+), didapatkan angka 5%. Bila ibu menderita HIV disertai dengan HCV, maka kemungkinan tertular akan lebih besar yaitu 14%. Kemungkinan penularan in-utero dibuktikan dengan ditemukannya viremia pada bayi baru lahir. Tetapi viremia mungkin saja tidak terjadi pada waktu lahir; dalam hal ini apabila seorang bayi dicurigai tertular HCV maka sebaiknya uji anti HCV dilakukan pada usia 15 bulan dimana antibodi ibu sudah sangat turun. Selain pemeriksaan anti HCV, pemeriksaan fungsi hati juga penting pada bayi walaupun RNA HCV negatif waktu lahir, tetapi bila terjadi peningkatan hasil uji fungsi hati, yaitu ALT setelah umur 3 bulan, diduga kuat bahwa bayi tersebut tertular secara perinatal. Gejala klinis hepatitis akan terlihat pada usia diatas 3 bulan, apabila bayi berumur 3 - 18 bulan tidak terjadi gejala hepatitis, maka kemungkinan tidak terjadi penularan secara perinatal.2 c. Patofisiologi 22 HCV mempunyai kemampuan menimbulkan infeksi kronis yang tergantung pada infeksi non-sitopatik terhadap sel hati dan respons imunologis dari host. Seperti pada infeksi virus lainnya, eradikasi HCV melibatkan antibodi penetral (neutralising antibodies) terhadap virus yang beredar dalam sirkulasi dan aktivasi sel T sitotoksik untuk merusak sel yang terinfeksi dan menghambat replikasi intraseluler melalui pelepasan sitokin. HCV dapat menghindar dari aktivitas antibodi penetral dengan cara mutasi komposisi antigeniknya. Mekanisme ini dapat menyebabkan timbulnya kuasi spesies (quasi-species) yakni dalam sirkulasi seorang penderita terdapat virus yang homogen tetapi mempunyai variasi imunologis yang menyebabkan efikasi dari antobodi penetral turun. HCV mungkin juga menurunkan respons imun antivirus dengan cara infeksi langsung pada sel limfoid dan menggangu produksi interferon. Kerusakan hepatoselular masih menjadi pertanyaan. Diduga terjadi melalui efek sitopatik dengan ditemukannya perubahan degeneratif yang disertai infiltrasi sel radang. Genotip HCV 1b mungkin lebih bersifat sitopatik daripada genotip lain. Mekanisme sitotoksisitas yang diperantarai sel diduga juga berperan dalam kerusakan sel hati, yang ditunjukkan dengan ditemukannya sel T sitotoksik yang bereaksi dengan HLA kelas 1 dan core beserta antigen envelope HCV pada serum penderita HCV kronis. Infeksi HCV juga berhubungan dengan gangguan imunologis seperti vaskulitis, glomerulonefritis, artritis, dan tiroiditis. Kejadian ini tergantung pada lamanya stimulasi virus terhadap sistem imun yang menyebabkan timbulnya reaksi antibodi monoklonal dan pembentukan kompleks imun dari IgG dan IgM atau karena HCV langsung menyerang jaringan limfoid. Reaksi ini mungkin juga menimbulkan limfoma.2 d. Manifestasi Klinis 1. Hepatitis C akut Infeksi HCV merupakan 20% bagian dari hepatitis akut di Amerika Serikat. Perkiraan masa inkubasi sekitar 7 minggu (2-30 minggu). Anak maupun dewasa yang terkena infeksi biasanya asimtomatik atau gejala tidak spesifik yaitu rasa lelah, lemah, anoreksia, dan penurunan berat badan. Sehingga dapat dikatakan bahwa diagnosis hepatitis C pada fase akut sangat jarang. Pada penderita dewasa dengan gejala klinis, 30% menunjukkan adanya ikterus. Pada pemeriksaan LFT, ALT dapat meningkat sampai 10 kali harga normal. Antibodi terhadap HCV (antiHCV) mungkin belum terdeteksi, dan didapatkan setelah beberapa minggu atau bulan setelah infeksi akut. Kadar transaminase serum meningkat selama fase akut, dan pada 40% penderita akan menjadi normal walaupun tidak berhubungan dengan status virologis. Hanya 15% penderita sembuh secara spontan dengan pembuktian menggunakan metode PCR, dan 85% akan menjadi kronis. Tidak seperti HAV maupun HBV, 23 infeksi HCV jarang menyebabkan kegagalan hati fulminan. 1 2. Hepatitis C kronis Pola klinis infeksi kronis biasanya serupa dengan pola klinis virus hepatitis yang lain. HCV merupakan hepatitis virus yang paling mungkin menyebabkan infeksi kronis. Tidak kurang dari 85% penderita hepatitis C akut berkembang menjadi kronis. Mekanisme mengenai mengapa virus masih tetap ada setelah infeksi akut belum diketahui. Data menunjukkan adanya diversitas dan kemampuan virus untuk melakukan mutasi secara cepat. Sebagian besar penderita tidak sadar akan penyakitnya, selain gejala minimal dan tidak spesifik seperti rasa lelah, mual, mialgia, rasa tidak enak pada perut kanan atas, gatal-gatal dan penurunan berat badan. Beberapa penderita menunjukkan gejala-gejala ekstrahepatik yang dapat mengenai organ lain seolah-olah tidak berhubungan dengan penyakit hati. Gejala ekstrahepatik bisa meliputi gejala hematologis, autoimun, mata, persendian, kulit, ginjal, paru, dan sistem saraf. Sekitar 30% penderita menunjukkan kadar ALT serum yang normal sedangkan yang lainnya meningkat sekitar 3 kali harga normal. Khas, pola fluktuasi kenaikan aminotransferase terjadi pada sekitar 80% dari mereka yang berkembang HCV kronis. Walaupun kenaikan kadar aminotransaminase kronis lazim. Khas Kadar bilirubin dan fosfatase alkali serum biasanya normal kecuali pada fase lanjut. 2 3. Sirosis hati Perkembangan dari hepatitis C kronis menjadi sirosis berlangsung dalam dua atau tiga dekade. Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis bervariasi antara 2030% bahkan ada yang dilaporkan mencapai 76%. Gejala klinis sangat minimal sampai timbulnya komplikasi akibat sirosis. Terdapat beberapa faktor prediktif terjadinya progresifitas penyakit yaitu: 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Umur lebih dari 40 tahun saat terinfeksi Laki-laki Derajat fibrosis pada saat biopsi awal Status imunologi Ko-infeksi dengan virus hepatotropik lainnya atau dengan virus HIV Infeksi genotip 1 Adanya quasi-spesies Overload besi Konsumsi alkohol Prognosis penderita sirosis dengan infeksi HCV secara umum adalah baik sampai terjadinya dekompensasi. Apabila terjadi dekompensasi hati, maka memiliki 5 year survival rate kurang dari 50%. Ini merupakan suatu indikasi untuk dilakukan transplantasi hati. 24 Dengan adanya resiko terjadinya karsinoma hepatoselular, maka secara berkala setiap 6 bulan perlu dilakukan USG dan pemeriksaan alfa-fetoprotein.2 4. Karsinoma hepatoselular Karsinoma hepatoseluler primer dapat berkembang pada penderita dengan sirosis, tetapi HCV kurang efektif daripada HBV dalam menyebabkan karsinoma hepatoselulare primer. Karsinoma hepatoselular akibat HCV mungkin akibat dari radang kronis dan nekrosis bukannya pengaruh onkogenik virus. Perkiraan insidens karsinoma hepatoselular karsinoma sekitar 0,25-1,2 juta kasus baru setiap tahun, sebagian besar berasal dari penderita dengan sirosis. Resiko terjadinya karsinoma hepatoselular pada penderita sirosis karena hepatitis C kronis diperkirakan sekitar 1-4%. Perkembangan sejak terjadinya infeksi HCV sampai timbulnya karsinoma hepatoselular berkisar antara 10-50 tahun.2,10 e. Diagnosis Secara garis besar diagnosis terhadap infeksi HCV dibagi dalam 2 golongan besar yaitu: 2 1. Uji saring Uji saring merupakan uji terhadap antibodi. Uji ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu mudah tersedia, mudah dilakukan dan murah. Negatif palsu didapatkan pada penderita dengan gangguan imunologi yang tidak mampu membentuk antibodi, misalnya pada penderita transplantasi organ, hemodialisis, penderita HIV, dan juga pada awal perjalanan penyakit dengan adanya window period yakni belum terbentuknya antibodi.2 2. Uji konfirmasi Oleh karena uji saring kurang sensitif dan spesifik, diperlukan uji konfirmasi walaupun perbaikan pemeriksaan serologis EIA (Enzyme Immuno Assay) generasi ketiga dapat menyamai atau tidak memerlukan uji konfirmasi. Tes konfirmasi digunakan juga pada mereka dengan hasil pemeriksaan yang rendah tetapi dicurigai tertular HCV seperti pada donor darah, uji konfirmasi ini meliputi: a. Recombinant immunoblot assay (RIBA-1, RIBA-2, RIBA-3) b. Deteksi virologis c. Biopsi hati Tes konfirmasi dan genotip rutin dilakukan sebelum memulai pengobatan dengan obatobat anti virus. Pembagian lain untuk pemeriksaan HCV dapat digolongkan dalam 2 golongan besar, yaitu pemeriksaan serologis dan pemeriksaan molekular. 2,11 Pemeriksaan serologis Pemeriksaan serologis dilakukan untuk menemukan antibodi dari berbagai bagian dari antigen HCV serta untuk menemukan adanya IgG anti HCV. IgM anti HCV tidak digunakan secara rutin. Pemeriksaan paling populer adalah dengan cara Enzyme Immuno Assays (EIA). 25 EIA generasi pertama ditujukan untuk menemukan antibodi terhadap protein nonstruktural (C100) NS-4 dari HCV. EIA generasi kedua merupakan kombinasi antara protein struktural yaitu antigen core atau C-22 dengan protein nonstruktural dari NS-3 yaitu C-33c dan NS-4 yaitu C-100 dan C5-1-1 dengan cara mencari antibodi yang spesifik. EIA generasi kedua jauh lebih sensitif dan spesifik daripada EIA generasi pertama, dimana generasi kedua ini dapat menemukan timbulnya serokonversi antiHCV dengan lebih cepat yaitu antara 4-6 minggu paska infeksi.2,11 Pemeriksaan IgM anti HCV kurang bermanfaat karena IgM anti HCV tidak timbul pada core semua penderita hepatitis C akut, tetapi ada pada penderita hepatitis C kronis ( 50% penderita infeksi kronis). Sedangkan titer IgG anti HCV berhubungan erat dengan viremia, sehingga mungkin titer IgG tersebut tidak terdapat pada penderita dengan viremia yang rendah.2,11 EIA generasi ketiga merupakan peningkatan sensitifitas dari generasi kedua, sebab selain antibodi terhadap protein yang berasal dari core, NS-3 dan NS-4, masih ditambah dengan protein rekombinan dari daerah NS-5. Penggunaan protein daerah NS-5 ini dapat menyebabkan hasil positif palsu.2,11 Pemeriksaan serologis untuk konfirmasi dari EIA adalah RIBA yang melakukan deteksi antibodi monospesifik HCV oleh protein rekombinan yang diikat lapisan nitroselulosa. Pemeriksaan ini bukan merupakan konfirmasi yang sebenarnya karena menggunakan antigen yang sama, dan dapat terjadi kesalahan interpretasi dalam pembacaan hasil. RIBA 3 merupakan perbaikan dari RIBA 2 dengan cara mengurangi hasil yang meragukan (endeterminate).2,11 Aoyagi dkk menggunakan pemeriksaan terhadap HCV-c antigen dengan metoda EIA dan menyatakan bahwa dengan cara ini dapat dideteksi adanya viremia pada fase akut, di mana antibodi terhadap antigen-c belum berbentuk (window period). Pemeriksaan ini juga dapat digunakan pada penderita HCV dengan gangguan imunitas seperti infeksi HIV, sensitivitasnya mendekati pemeriksaan RNA HCV. 2 Pemeriksaan molekular Pemeriksaan secara molekular bertujuan untuk menemukan nukleotida virus, dan juga dapat untuk melakukan penghitungan densitas virus. Pemeriksaan ini juga disebut diagnosis molekular.2,11 Ada 4 cara diagnosis molekular terhadap HCV:2,11 1. PCR 2. Nucleic acid sequence based amplification (NASBA) 26 3. Ligase chain reaction (LCR) 4. Branched DNA assay (b DNA assay) PCR, NASBA, dan LCR merupakan pemeriksaan yang berdasar pada teknik target amplification, sedangkan branched DNA assay berdasar pada teknik signal amplification. Kelebihan lain dari b DNA assay adalah prosedur ekstraksi RNA yang mudah dilakukan dan seperti deteksi signal pada ELISA reader, pemeriksaan ini lebih toleran terhadap adanya kontaminasi.2 f. Pengobatan Tujuan utama terapi pada hepatitis C adalah mencapai eradikasi hepatitis C yang menetap yang disebut sustain virological response (SVR) yaitu RNAHCV yang tidak terdeteksi dengan PCR pada 24 minggu setelah selesai terapi. Terapi standar yang umumnya digunakan adalah pegylated interferon alfa- 2a atau alfa-2b dikombinasikan dengan ribavirin.12 Kombinasi pegylated interferon dan ribavirin walaupun ditoleransi dengan baik oleh anak, obat ini memiliki efek samping yang signifikan dan beberapa kontraindikasi yang perlu diketahui sebelum memutuskan terapi.Pasien berusia kurang dari satu tahun tidak boleh menggunakan terapi ini karena risiko terjadinya neurotoksitas yang berat berupa spastik displegia. Di Amerika Serikat regimen ini dianjurkan digunakan pada anak berusia 3 tahun atau lebih, mengunakan regimen pegylated interferon alfa-2b dan ribavirin. Pasien dengan depresi perlu diawasi oleh psikiater. Pada sekitar 21% pasien yang mendapat terapi ini mengalami efek samping yang lebih berat sehingga pemeriksaan status kesehatan sebelum terapi dan selama terapi diperlukan. Efek samping pegylated interferon sama dengan interferon standar yaitu pireksia, sakit kepala, gejala gastrointestinal, depresi, penurunan berat badan dan perlambatan pertumbuhan linier dan neutropenia selama terapi. Sedangkan efek samping ribavirin adalah anemia hemolitik dan teratogenisitas. Pasien dengan sirosis kompensasi atau dekompensasi ringan masih dapat diberikan terapi ini tetapi di senter yang tersedia transplantasi hati karena bisa dengan cepat memburuk. Dosis pegylated interferon alfa-2b adalah 60 mcg/m2 sekali seminggu (disetujui digunakan pada usia 3 tahun atau lebih), dosis maksimal 1,5 mcg/ kg) dikombinasi dengan ribavirin 15 mg/kg/hari dibagi menjadi 2 dosis. Bila digunakan pegylated interferon alfa-2a dosisnya 180 mcg/1,73 m2, dosis maksimum 180 mcg) dikombinasi dengan ribavirin pada anak berusia 5 tahun atau lebih. Dapat juga diberikan interferon (3 MU/m2 tiga kali dalam seminggu) dan dikombinasi ribavirin. 12 Tabel 5. Indikasi dan Kontraindikasi Pengobatan Hepatitis C Kronis2 Indikasi Kontraindikasi pada Kontraindikasi pada 27 Interferon Peningkatan AST/LST Depresi berat Ditemukan HCV RNA Dekompensasi hati Fibrosis portal atau inflamasi Pengguna alcohol Ribavirin Anemia (Hb <11 g/dl) Tidak tahan anemia Penyakit jantung koroner pada biopsi hati Pengguna obat-obatan Penyakit autoimun Penyakit penyerta berat Hipertensi berat Kehamilan Tidak tahan kontrasepsi Penyakit vaskuler perifer Gout g. Pencegahan 1. Uji saring yang efektif terhadap donor darah, jaringan, maupun organ. 2. Uji saring terhadap individu yang berda pada daerah dengan prevalensi HCV yang tinggi untuk mencegah penyebaran lebih lanjut. 3. Pendidikan kesehatan pada pekerja yang erat kerjanya dengan darah dan cairan tubuh. 4. Jangan pernah berbagi alat seperti jarum , alat cukur, sikat gigi dan gunting kuku 5. Bila melakukan manicure, pedicure, tattoo ataupun tindik pastikan alat yang dipakai steril 6. Jika mengalami luka karena jarum suntik maka harus melakukan test ELISA atau RNA HCV setelah 4 sampai 6 bulan terjadinya luka untuk memastikan tidak terinfeksi penyakit hepatitis C.2,11 IV. Hepatitis D Hepatitis D adalah salah satu penyakit yang membahayakan jika tidak segera ditangani. Penyakit yang menyerang hati atau liver ini semakin berbahaya karena gejalanya yang tidak selalu tampak. Virus Hepatitis D hanya terjadi sebagai rekan-infeksi dari virus hepatitis B dan virus hepatitis D ini menyebabkan infeksi hepatitis B menjadi lebih berat. Yang memiliki resiko tinggi terhadap virus ini adalah pecandu obat. Biasanya para pengguna narkoba yang kemungkinan terjangkit penyakit hepatitis D ini.13 Hepatitis D, juga disebut virus delta, adalah virus cacat yang memerlukan pertolongan virus hepatitis B untuk berkembang biak sehingga hanya ditemukan pada orang yang terinfeksi hepatitis B. Virus hepatitis D (HDV) adalah yang paling jarang tapi paling berbahaya dari semua virus hepatitis.13 a. Virologi HDV adalah virus RNA rantai tunggal dengan ukuran 36 nm. Lapisan luarnya adalah HbsAg yang membungkus genom RNA dan antigen delta. HDAg adalah protein yang dikode oleh RNA-HDV ditemukan pada serum dan sel hati penderita dengan massa molekul 27000 kD dan 24000 kD. Oleh karena dibungkus oleh HbsAg maka cara masuknya HDV ke dalam 28 sel hati kemungkinan besar menggunakan reseptor untuk HBV. Apabila sudah berada di dalam sel hati maka HDV melakukan replikasi tanpa adanya HBV.2,13 b. Epidemiologi Diperkirakan terdapat minimal 15 juta orang terinfeksi HDV di seluruh dunia dengan asumsi 5% pengidap HBV terinfeksi oleh HDV. Di Amerika Serikat, infeksi HDV ditemukan paling sering pada penyalahguna obat parenteral, hemofilia, dan orang-orang yang berpindah dari Itali Selatan, bagian timur Eropa, Amerika Selatan. Afrika, dan Timur Tengah.2 Infeksi HDV dapat terjadi pada saat awal yang sama dengan infeksi HBV (koinfeksi) atau menimbulkan infeksi pada penderita yang sudah terinfeksi HBV (superinfeksi). Masa inkubasi pada superinfeksi antara 2-8 minggu sedangkan pada ko-infeksi sama dengan infeksi HBV. HDV tidak menimbulkan infeksi tanpa adanya HBV sebagai virus pembantu. HDV adalah virus blood born sehingga penularan terjadi secara parenteral. Ditemukan dua pola infeksi. Penularan biasanya terjadi dengan kontak intrafamilial atau intim pada daerah prevalensi yang tinggi, yang terutama adalah negara yang sedang berkembang. Penularan biasanya terjadi melalui kontak yang erat dalam keluarga pada daerah dengan prevalensi tinggi terutama di negara berkembang dengan cara inapparent parenteral. Sedangkan di daerah dengan prevalensi rendah maka penularan melalui lesi pada kulit lebih sering terjadi terutama pada penggunaan obat secara suntikan, transfusi pada penderita penyakit darah, dan infeksi nosokomial.2,13 c. Patofisiologi Oleh karena dibungkus HbsAg maka cara masuknya HDV ke dalam sel hati kemungkinan besar juga menggunakan reseptor untuk HBV. HDV merupakan virus sitopatik menyebabkan kerusakan langsung pada sel hati. Tidak ditemukan adanya gambaran spesifik pada pemeriksaan histopatologi hati kecuali tingkat kerusakan yang lebih berat.2 Mekanisme bagaimana infeksi HDV menyebabkan kerusakan hati masih belum jelas. Pada binatang percobaan tidak terbukti adanya efek sitopatik, namun pada penderita dengan infeksi HDV kronis terjadi replikasi intraselular yang hebat dimana pada kondisi ini beban replikasi virus yang tinggi dapat memberi efek langsung berupa kerusakan sel hati (sitopatik). Peran sistem imun pada infeksi HDV tidak jelas. Terjadi infiltrasi sel radang kronis pada portal trek yang menandakan peranan sistem imun, namun pengobatan kortikosteroid tidak memberikan efek yang menguntungkan, terdapat beberapa auto-antibodi pada serum penderita dan infeksi kronis HDV namun peranannya pada terjadinya kerusakan sel hati tidak jelas.2,13 d. Manifestasi Klinis 29 Dari semua jenis penyakit / tingkatan penyakit hepatitis dapat diketahui bahwa gejala awal yang dirasakan oleh penderita hampir sama diantaranya rasa lelah, demam, diare, mual, muntah, sakit perut, mata kuning, sakit kepala dan hilangnya nafsu makan jika HDV koinfeksi. Sedangkan pada superinfeksi jarang terjadi gejala klinis hepatitis akut namun sering terjadi hepatitis kronis dan pada kejadian superinfeksi risiko terjadinya hepatitis fulminan lebih tinggi. 1,2,13 e. Diagnosa Diagnosa infeksi HDV ditegakkan dengan mendeteksi HDV RNA di darah maupun hepar tepat sebelum dan di awal masa infeksi akut. IgM anti-HDV dapat menjadi indikator yang diandalkan untuk pajanan terhadap HDV, timbul sekitar 2-4 minggu setelah infeksi secara koinfeksi dan 10 minggu pada superinfeksi. Untuk menegakkan diagnosis pada kasus koinfeksi HDV dan HBV, deteksi IgM HDAg dan HbcAg (infeksi akut) dapat dilakukan. Sementara itu untuk kasus superinfeksi, HbsAg menetap di serum ditambah dengan antibodi HDV (IgG maupun IgM).13 f. Pengobatan Adanya infeksi secara bersamaan antara HBV dengan HDV menyebabkan pengobatan lebih sukar daripada pengobatan pada infeksi kronis HBV. Penggunaan interferon-alfa pada penderita HDV kronis minimal dilakukan selama satu tahun. Bila tidak ada hasil dimana kadar ALT tetap tinggi dan RNA HDV tetap ada, maka pengobatan dihentikan. Bila terjadi respons positif ditandai dengan hilangnya RNA HDV dan ALT menjadi normal, maka pemberian interferon diteruskan sampai HbsAg hilang dari serum.2 g. Pencegahan Tidak ada vaksin hepatitis D, namun dengan mendapatkan vaksinasi hepatitis B maka otomatis Anda akan terlindungi dari virus ini karena HDV tidak mungkin hidup tanpa HBV.13 V. Hepatitis E Hepatitis E ini dulu disebut sebagai hepatitis non-A non-B dengan transmisi secara enterik. Jenis hepatitis ini ditemukan pertama kali di New Delhi, India pada tahun 1955 di mana terdapat 29000 kasus ikterus yang diidentifikasi penyebarannya melalui air dari perusahaan air minum kota yang tercemar tinja. Pada tahun 1980 ditemukan bahwa jenis hepatitis ini secara pemeriksaan serologis bukan hepatitis A (HAV) dan juga bukan hepatitis B (HBV).2 a. Virologi Hepatitis E Virus adalah RNA virus rantai tunggal dengan virion nonenveloped yang mempunyai diameter 32-34nm, dalam pemeriksaan mikroskop elektron virus ini berbentuk sferis, dan dulu termasuk golongan calcivirus seperti Norwalk virus, akan tetapi sekarang 30 termasuk family Hepeviridae. HEV terdiri dari 7500 pasangan nukleotida. Biasanya menyerang usia lebih dewasa antara 15-40 tahun.14 b. Epidemiologi Infeksi ditularkan secara enterik. Selain di India, epidemi juga terjadi di Republik Kirgir, Uni Soviet pada tahun 1955-1956 yang menyerang 10800 penderita terutama anak muda sampai usia pertengahan. Juga terjadi di Burma dan Nepal pada tahun 1976 dengan 200000 dan 10000 kasus. Epidemi juga terjadi di Afrika pada tahun 1980-1981. Di Indonesia terjadi wabah hepatitis E di Kalimantan Tengah pada tahun 1987-1988 dengan jumlah penderita 2000 orang.2,14 c. Patofisiologi HEV dianggap sebagai virus yang bersifat sitopatik. Gambaran histopatologinya menyerupai hepatitis virus yang lain. Terdapat 2 macam gambaran histopatologis yaitu tipe kolestatik dan tipe standar. Tipe standar ini sama dengan perubahan pada infeksi virus hepatitis lain yaitu pembengkakan sel hati, degenerasi asidofilik serta infiltrasi leukosit PMN pada daerah intralobular dan traktus portal. Sedangkan pada tipe kolestatik ditandai dengan statis empedu pada kanalikuli dan parenkim sel. Respons imun humoral menimbulkan IgM dan IgG anti HEV. IgM menurun dengan cepat dan hampir hilang pada masa konvalesens sedangkan IgG anti HEV dapat bertahan sampai 10 tahun. Mekanisme kerusakan sel hati pada infeksi HEV masih belum jelas; namun adanya infiltrasi limfosit di hati dan ditemukannya cytotoxic supression immunophenotype menandakan bahwa kerusakan sel hati disebabkan oleh mekanisme imunologis selular dan humoral.2 d. Manifestasi Klinis Gambaran klinis hepatitis E bervariasi antara bentuk ringan atau subklinis sampai kasus fatal yang menyebabkan kematian. Masa inkubasinya sekitar 40 hari (15-60 hari). Bentuk subklinisnya tidak dapat dikenali karena memberikan gejala seperti flu. Bentuk klinis yang manifes dengan ikterus akan sembuh sendiri seperti hepatitis A. Perbaikan hiperbilirubinemia dan ALT dicapai setelah 3 minggu sejak timbulnya sakit. Kasus yang ringan terutama terjadi pada kelompok anak muda berupa gejala subklinis. Bentuk klinis dan simtomatis timbul pada dewasa muda dan umur pertengahan. Kasus yang berat dan menyebabkan kematian terjadi pada wanita hamil. Tidak pernah didapatkan bentuk kronis. HEV memiliki angka fatalitas tinggi pada wanita hamil.2,14 e. Diagnosis Diagnosis hepatitis E ditentukan dengan cara: 2 31 1. Mikroskop elektron imun (IEM); memeriksa virus pada tinja penderita 2. Deteksi antibodi spesifik terhadap virus menggunakan fluorescent antibody-blocking assay 3. IgM dan IgG anti HEV secara Western blot dan EIA; IgM anti HEV ditemukan satu minggu timbulnya gejala klinis 4. PCR untuk mencari RNA HEV dari serum dan tinja f. Pencegahan Belum terdapat vaksin terhadap HEV. Imunoglobulin tidak efektif untuk mencegah HEV. Karena tidak adanya vaksin pencegah hepatitis E, maka usaha utama untuk pencegahan adalah penyediaan air yang bersih. Belum ada data yang menjelaskan efikasi pemberian klor untuk mencegah infeksi HEV.2 VI. Hepatitis G Walaupun diagnosis hepatitis A, B, C, D, dan E telah dapat dibuat namun masih ada sekelompok penderita hepatitis pasca transfusi dan sporadik di masyarakat yang belum diketahui penyebabnya. Dahulu hepatitis jenis ini dinamakan non A-E. Pada tahun 1996 ditemukan suatu virus baru penyebab hepatitis non A-E yang dinamakan dengan virus hepatitis G dan isolat lainnya virus GB-C. Secara filogenetik berhubungan dengan virus hepatitis C tetapi tidak menyebabkan gangguan yang serius pada hati.2 a. Virologi Virus hepatitis G (HGV), virus GB-C merupakan virus RNA rantai tunggal yang terdiri atas 9300 pasang nukleotida dan termasuk golongan flaviviridae, dengan ukuran 50-100nm, ditularkan secara parenteral. Virus ini bereplikasi dalam sel mononuklear (MN cells), termasuk CD4, CD8, sel T, dan sel B. 2,15 Beberapa genotype GBV-C:15 Genotype 1 umumnya ditemukan di Afrika Barat Genotype 2 ditemukan di Amerika Utara Genotype 3 ditemukan di Asia Genotype 4 ditemukan di Asia Tenggara Genotype 5 ditemukan di Afrika Selatan Genotype 6 ditemukan di Indonesia b. Epidemiologi 32 HGV adalah virus ditularkan melalui darah, sering didapatkan pada penderita penyakit darah yang mengalami transfusi berulang, juga pengguna obat secara intravena. Cara lain adalah inapparent parenteral. Juga dikenal penularan secara vertikal dari ibu ke bayi yang terjadi selama proses kelahiran dan perinatal. HGV tidak mampu menembus plasenta. Prevalensi HGV pada donor darah dan populasi umum di negara maju antara 1-2%. Di negara tropis dan subtropis prevalensi antara 5-10%. Tingginya prevalensi HGV di daerah tropis dan subtropis mungkin disebabkan adanya serangga dan vektor lain. Sebagian besar penderita yang terinfeksi di masyarakat mempunyai kadat ALT serum normal.2,15 c. Patogenesis Sebagian besar penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C mengalami viremia tetapi tidak didapatkan perubahan gambaran histopatologis yang berarti dan kadar ALT dalam batas normal. Sampai saat ini tidak didapatkan bukti bahwa HGV menyebabkan gejala klinis. Replikasi virus terjadi pada sel mononuklear, termasuk CD4 dan CD8 sel T dan sel B. Karena ditemukan di limfosit, virus ini dianggap mempunyai sifat biologis seperti virus Epstein-Barr atau CMV.2 d. Manifestasi Klinis Infeksi HGV/ virus GB-C tidak menimbulkan gejala peradangan pada hati. Koinfeksi dengan virus lain tidak memperberat perjalanan penyakit HBV maupun HCV. Tidak ditemukan kasus hepatitis kronis pada penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C. Akan tetapi pasien dengan GB-C virus akan meningkatkan resiko dari limfoma non-hodgkin akibat replikasi dari GB-C virus ini yang menyebabkan kegagalan imunitas. Selain itu apabila seseorang menderita HIV disertai Hepatitis G akan mengurangi mortalitas penderita infeksi HIV, akibat dari Virus GB-C yang menghalangi penetrasi HIV kedalam limfosit.2,15 e. Diagnosis Untuk mendiagnosis Hepatitis G, adalah dengan mengidentifikasi GBV-C RNA di dalam darah penderita dengan PCR (polymerase chain reaction). Partikel virus ini terdapat dalam sel hepatosit, endotel, monosit dan limfosit. Apabila infeksi telah hilang, terbentuk antibodi terhadap kapsul glikoprotein E2 (anti-E2) dan dapat ditemukan didalam darah.15 f. Pencegahan Tidak ada metode pencegahan terhadap infeksi ini. KESIMPULAN Hepatitis virus merupakan masalah kesehatan utama di negara sedang berkembang dan negara maju. Penemuan baru dalam bidang biologi molekuler telah membantu identifikasi 33 dan pemahaman patogenesis keenam virus yang sekarang diketahui menyebabkan hepatitis. Hepatitis disebabkan oleh infeksi dan non infeksi. Infeksi yang disebabkan virus, bakteri, maupun parasit merupakan penyebab terbanyak hepatitis akut. Virus hepatitis merupakan penyebab terbanyak dari infeksi tersebut. Terdapat sedikitnya 6 jenis virus hepatotropik penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G. Semuanya memberi gejala klinis hampir sama; bervariasi mulai dari asimtomatis, bentuk klasik, sampai hepatitis fulminan yang dapat menyebabkan kematian. Hepatitis A merupakan penyakit self limiting dan memberikan kekebalan seumur hidup. Penyebaran terutama dengan rute fekal-oral. Mekanisme kerusakan sel hati oleh HAV belum speenuhnya dapat dijelaskan, namun bukti secara langsung maupun tidak langsung menyimpulkan adanya suatu mekanisme imunopatogenetik. Gejala klinisnya bedakan menjadi 4 stadium yaitu: Masa inkubasi, masa prodomal, fase ikterik, fase penyembuhan. Faktor risiko yang paling penting untuk mendapat infeksi hepatitis B pada anak adalah pemajanan perinatal terhadap ibu positif HbsAg. Faktor risiko penting lain untuk infeksi HBV pada anak adalah pemberian obat-obat atau produk-produk darah secara intravena, kontak seksual, perawatan institusi dan kontak dengan pengidap. Pada pemeriksaan fisik, kulit dan membrana mukosa adalah ikterik, terutama sklera dan mukosa dibawah lidah. Hati biasanya membesar dan nyeri pada palpasi. Skrining untuk hepatitis B rutin memerlukan assay sekurang- kurangnya dua pertanda serologis. Pencegahan merupakan upaya terpenting karena paling efisien. Secara garis besar, upaya pencegahan terdiri dari preventif umum dan khusus yaitu imunisasi VHB pasif maupun aktif. DAFTAR PUSTAKA 1. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UKRIDA; 2013. H.129-138. 2. Arief S. Hepatitis virus dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi IDAI. Jilid 1. Jakarta: IDAI; 2012. H.285-328. 3. Herdiana M, Arief S, Setyobudi B. Mengenal hepatitis a pada anak. 2015. Diunduh dari: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/mengenal-hepatitis-a-padaanak 4. Departemen Kesehatan RI. Situasi dan analisis hepatitis. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI; 2014. H. 2-7. 5. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Ed.7. Jakarta: EGC;2007. H. 673-680. 34 6. Crawford J, Liu C. Robbins and Cotran pathologic basis of disease. Edisi ke 8. Saunders Elseifer, Philadelphia; 2010.h. 444-50 7. Ranuh G, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita C, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke 5. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2014. h.247-53,335-40. 8. Ismalita. Sari pediatri: Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi Prematur. Volume 5. Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU; 2006. H. 58-63. 9. CDC. Hepatitis C: Information on Testing & Diagnosis. Downloaded from: http://www.cdc.gov/hepatitis/HCV/PDFs/HepCTesting-Diagnosis.pdf. 5 juni 2016. 10. CDC. Hepatitis C: General Information. Downloaded from: http://www.cdc.gov/hepatitis/HCV/PDFs/HepCGeneralFactSheet.pdf. 5 Juni 2016. 11. Toni. Deteksi hepatitis c. Diunduh dari: http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol1.no2.Juli2008/DETEKSI %20HEPATITIS%20C.pdf. 5 Juni 2016. 12. Djer M, Sekartini R, Handryastuti RAS, Hidayati EL, Juniar I. Current evidence in pediatric practices. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2014. H.12-13. 13. Wedemeyer H, Manns MP. Epidemiology, pathogenesis and management of hepatitis D: update and challenges ahead. Ed.7. Vol.1. Nature Reviews Gastroenterology & Hepatology; 2010. P. 31-40. 14. WHO. Hepatitis E. Downloaded from: http://www.who.int/csr/disease/hepatitis/whocdscsredc200112/en/index2.html. 6 Juni 2016. 6 Juni 2016 15. Zetterman RK. Hepatitis G virus. Emedicine. May 4, 2012. Cited June 6, 2016. Available at: http://www.medscape.com/viewarticle/763204_4. 35