Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 STUDI EFEKTIVITAS BAWANG PUTIH TERHADAP DAYA HAMBAT AFLATOKSIN B1 PADA PERTUMBUHAN KOLONI Bacillus megaterium (A Study of the Effectiveness of the Inhibitory Effect of Garlic Extract on Aflatoxin B1 in the Growth of Bacillus Megaterium) MERRY MUSPITA DYAH UTAMI, ALI AGUS, WIHANDOYO dan KURNIASIH Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Jl. Agro Karangmalang, Yogyakarta 55281 ABSTRACT Aflatoxin B1 brings specific problems and risks in poultry farm. It contaminates various agricultural commodities, including commercial poultry feed. The benefits of herbal in Indonesia has not been exploited yet. Garlic (Allium sativum) has a potential as a binder agent of aflatoxin B1 caused by its high organosulfur compounds. The purpose of the study was to evaluate of the effectiveness the inhibitory effect of garlic extract on aflatoxin B1 using bioassay method was to evaluate the growth of Bacillus megaterium based on count on total collonies number. An appropriate amount of aflatoxin B1 20 μg/ml and variying concentration of the fractinated compound of garlic were added in presterilized trytone soya broth (5 ml/tube). The tubes with 0.1 ml Bacillus megaterium (1 : 100.000) waas inoculated into TSB-agar and incubated at 37°C for 24 hours. This study were arranged in Randomized Completely Block Design (RCBD) and continued with Duncan’s New Multiple Range Test. The tratments consisted of variying concentration of the fractinated compound of garlic: P1 = 0 μg/ml, P2 = μg/ml, P3 = 5.0 μg/ml and P4 = 10 μg/ml. The blocks consisted of variying the fractinated compound of garlic: K1 = garlic extract, K2 = compound of hexane fractination, K3 = compound of chloroform fractination and K4 = compound of methanol fractination. The results of the experiment showed that the total collonies number of group of chloroform fractination compound (K3) is the lowest of all the groups, followed by group of hexane fractination compound (K2), group of garlic extract (K1) and group of methanol fractination compound (K4) (P < 0.05). The lowest of the total collonies number was the control (P1) that can significantly different from the concentration of 2.5 μg/ml (P2) (P < 0.05) and P2 was significantly different from the concentration of 5.0 μg/ml (P3) and the concentration of 10 μg/ml (P4) (P < 0.05). Key Words: Aflatoxin B1, Bacillus megaterium ABSTRAK Aflatoksin B1 menimbulkan banyak masalah dan resiko pada peternakan unggas. Aflatoksin B1 mencemari berbagai komoditas pertanian termasuk pakan komersial unggas. Potensi tanaman obat Indonesia sangat tinggi dan belum dapat dimanfaatkan semuanya. Bawang putih (Allium sativum) mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan pengikat terhadap aflatoksin B1 karena kandungan senyawa organosulfur sulfur yang tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk menguji efektivitas bawang putih terhadap daya hambat pertumbuhan oleh aflatoksin B1 menggunakan teknik bioassay, yaitu mengamati pertumbuhan koloni bakteri Bacillus megaterium. Sebanyak 20 μg/ml aflatoksin B1 dan ekstrak serta senyawa hasil fraksinasi bawang putih dengan konsentrasi sesuai perlakuan ditambahkan pada medium trytone soya broth (TSB) 5 ml/tabung, yang masing-masing ditambahkan 0.1 ml Bacillus megaterium (1:100.000), kemudian ditanam pada media TSB-agar dan diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24 jam. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan’s New Multiple Range Test. Perlakuan adalah konsentrasi senyawa hasil fraksinasi, masing-masing adalah P1 = 0 μg/ml, P2 = 2,5 μg/ml, P3 = 5,0 μg/ml dan P4 = 10 μg/ml. Kelompok adalah hasil fraksinasi senyawa bawang putih, yaitu K1 = ekstrak bawang putih, K2 = residu dari pelarut hexane, K3 = residu pelarut khloroform dan K4 = residu pelarut methanol. Jumlah koloni bakteri kelompok residu chloroform (K3) adalah paling rendah dari semua kelompok diikuti residu hexane (K2), ekstrak bawang putih (K1) dan residu methanol (K4) (P < 0,05). Adapun jumlah koloni paling rendah adalah pada perlakuan kontrol (P1), berbeda nyata terhadap penggunaan 869 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 dengan konsentrasi 2,5 μg/ml (P2) (P < 0,05) dan P2 berbeda nyata terhadap konsentrasi 5,0 μg/ml (P3) dan konsentrasi 10 μg/ml (P4) (P < 0,05). Kata Kunci: Aflatoksin B1, Bacillus megaterium PENDAHULUAN Di Indonesia, aflatoksin B1 dianggap sebagai senyawa kimia yang paling banyak menimbulkan masalah pada peternakan unggas (HASTIONO, 2003). Bahan pakan yang tercemar aflatoksin B1 dengan kadar relatif tinggi masih banyak beredar di pasaran. Beberapa penelitian tentang cemaran aflatoksin B1 pada pakan unggas komersial yang dilakukan GINTING (1985) dan Widiastuti (1988) memperlihatkan bahwa lebih dari 80% pakan unggas komersial diberbagai daerah di Indonesia tercemar aflatoksin B1 dengan kadar bervariasi antara 10,1 sampai 54,4 ppb, jauh diatas kadar batas aman aflatoksin B1 untuk bahan pakan yang beredar di pasaran yang direkomendasikan USFDA (United States Food and Drug Administration) yaitu sebesar 20 ppb. Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia (SANTOSA, 2002). Potensi tanaman obat Indonesia sangat tinggi dan belum termanfaatkan semuanya (THOMAS, 2000). Tanaman obat digunakan terutama dalam upaya preventif, promotif dan rehabilitatif (KATNO dan PRAMONO, 2006). Beberapa jenis tanaman obat dan ekstrak tanaman mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan pengikat terhadap aflatoksin B1 (CHOU et al. 1993). Bawang putih (Allium sativum) merupakan salah satu tanaman yang sering digunakan karena kandungan senyawa organosulfur sulfur yang tinggi (KEMPER, 2000; MILNER, 2001). Senyawa organosulfur yang terdapat pada ekstrak bawang putih mempunyai efek antimutagenik, antikarsinogenik dan mencegah DNA berikatan dengan aflatoksin B1. Tingginya biaya untuk memeriksa aflatoksin B1 menjadi kendala utama untuk mendeteksi dini keberadaan aflatoksin B1. Salah satu teknik yang digunakan sebagai alternatif untuk mendeteksi aflatoksin B1 adalah teknik bioassay. Teknik ini menggunakan pertumbuhan bakteri sebagai indikator adanya aflatoksin B1. ABDEL-SATER (1993) melakukan analisis aflatoksin B1 secara 870 bioassay dengan mengggunakan bakteri dan khamir. Selanjutnya PRIBADI et al. (1998) menyatakan bahwa fenomena penghambatan pertumbuhan Bacillus megaterium dan Staphyllococcus epidermidis oleh aflatoksin B1 memberikan alternatif pendeteksian aflatoksin B1 yang praktis dan akurat. Untuk itu metode ini digunakan untuk mengetahui efektivitas bawang putih untuk mengikat aflatoksin B1 dengan mengamati pertumbuhan Bacillus megaterium. Hal ini sesuai dengan pendapat REFAI et al. (1993) bahwa Bacillus megaterium memiliki kepekaan yang paling tinggi terhadap aflatoksin B1. Bawang putih Bawang putih (Allium sativum) termasuk dalam familia Liliaceae. Dikenal dengan nama Garlic. Di daerah Wonosobo, Jawa Tengah dikenal sebagai penghasil bawang putih lokal yang dikenal dengan sebutan bawang kathing. Karakteristik bawang kathing adalah berumbi ganda dengan kulit keunguan (RIAUWATY et al., 2005). Komposisi kimia umbi bawang putih lokal Indonesia setiap 100 gram adalah sebagai berikut: protein 4,5 gram, lemak 0,2 gram, karbohidrat 23,10 gram, vitamin B1 0,22 miligram, vitamin C 15 miligram, fosfor 134 miligram, kalsium 42 miligram, besi 1 miligram, kadar air 71 gram dan energi 95 kalori (BPPT, 2006). Bawang putih mempunyai karakteristik utama, yaitu mempunyai metabolit sekunder yang berupa senyawa organosulfur yang tinggi, diantara genus Allium yang lain (WARGOVICH et al., 1996). Senyawa organosulfur mengandung belerang yang menyebabkan rasa, aroma dan sifaat-sifat farmakologi bawang putih (ELLMORE dan FEKLDBERG, 1994). Bawang putih dapat digunakan dalam tiga bentuk, yaitu tepung bawang putih (TBP), minyak bawang putih (MBP) dan ekstrak bawang putih (EBP) (MILLNER, 2001). Dalam ekstraksi senyawa non polar dipisahkan dengan pelarut non polar dan senyawa polar dilarutkan dalam pelarut polar sehingga semua senyawa Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 yang ada dalam bahan alam tersari sempurna (Wahyuono, 2002). Ekstrak bawang putih dalam methanol 15 sampai 20% dapat disimpan selama sekitar 20 bulan pada suhu kamar dan menghasilkan aged garlic extract (BANERJEE dan MAULIK, 2002). Bawang putih juga digunakan sebagai antimikrobia (Agarwal, 1996). Pemanasan bawang putih selama lima menit mensupresi efek antimikrobia (SHARMA et al., 1977; CACERES et al., 1987; HUGHES dan LAWSON, 1991). Lebih jauh ditegaskan bahwa dalam bentuk ekstrak, bawang putih tidak menunjukkan aktivitas antimikrobia secara signifikan (MARTIN dan ERNST, 2003). Bawang putih mempunyai aktivitas antikarsinogenik (LE BON dan SIESS, 2000) yaitu melindungi jaringan dari proses karsinogenesis (SURH et al., 1995). Adanya allicin yang mengandung molekul organosulfur mampu melewati membran phospholipid dan melindungi membran sel bakteri (MIRON et al. 2000). Aflatoksin B1 Aflatoksin B1 merupakan kelompok mikotoksin yang sangat toksik dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus (ABBAS, 2004) tumbuh pada kisaran suhu yang luas, yaitu pada kisaran 10°C sampai 43°C dengan suhu optimum 32°C sampai 33°C dan pH optimum 6 (HILL et al., 1985). Aflatoksin B1 merupakan senyawa xenobiotik, yaitu merupakan senyawa asing bagi tubuh, seperti obat-obatan dan zat-zat karsinogenik kimia yang merupakan racun atau disebut juga zat pencemar (HENRY et al., 1998) xenobiotik akan tertahan dalam jaringan (MURRAY et al., 1996; SHAW dan CHADWICK, 1998). Pemeriksaan kadar aflatoksin B1 Salah satu teknik yang digunakan sebagai pengukuran aflatoksin B1 adalah teknik bioassay. Teknik ini menggunakan pertumbuhan bakteri sebagai indikator adanya aflatoksin B1 (EL-MAGHRABY dan ABDELSATER, 1993). Peneliti lain merekomendasikan Bacillus megaterium memiliki kepekaan yang paling tinggi terhadap aflatoksin B1, karena menunjukkan hambatan pertumbuhan mulai dosis 5 sampai 40 µg/ml (REFAI et al., 1993). Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian PRIBADI et al. (1998) dengan waktu kontak antara aflatoksin B1 dan bakteri selama 30 menit sebelum ditumbuhkan pada media agar, menunjukkan fenomena penghambatan pertumbuhan Bacillus megaterium dan Staphylococcus epidermidis, hal ini memberikan alternatif pendeteksian aflatoksin B1 secara kualitatif, yang praktis dan akurat. Tujuan penelitian Menguji efektivitas ekstrak bawang putih untuk detoksifikasi aflatoksin B1 dengan melakukan uji daya hambat pertumbuhan bakteri. Manfaat penelitian Mengetahui efektivitas ekstrak bawang putih untuk detoksifikasi aflatoksin B1 dengan pengujian secara kualitatif terhadap daya hambat pertumbuhan bakteri di laboratorium. MATERI DAN METODE Bahan Strain bakteri Bakteri yang digunakan dalam penelitian adalah Bacillus megaterium (FHCC-0083) yang diperoleh dari Food and Nutrition Culture Collection (FNCC) Pusat Studi Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada. Persiapan medium biakan Bahan yang digunakan adalah Triptone Soya Broth (TSB) CM 129, produksi Oxoid dan agar yang digunakan adalah agar bacteriological No. 1 produksi Oxoid. Pembuatan medium pertumbuhan bakteri adalah menimbang TSB sebanyak 30 gram dan agar 20 gram, selanjutnya dimasukkan aquadest sampai volumenya 1 liter, sehingga diperoleh medium TSB-agar. Aduk hingga homogen, tutup rapat dengan kapas dan kertas 871 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 aluminium dan dimasukkan dalam otoklaf untuk sterilisasi pada suhu 121°C selama 15 menit. Ekstrak bawang putih Ekstraksi digunakan untuk mengekstrak atau melarutkan seluruh senyawa yang ada dalam bawang putih. Fraksinasi bawang putih Fraksinasi dimaksudkan untuk mendapatkan fraksi dengan gambaran kromatogram yang lebih sederhana dan mudah dibaca. Fraksinasi ada tiga macam berdasarkan pelarut yang digunakan, yaitu heksana, chloroform, methanol. Pengujian Thin Layer Chromatograph (TLC) Senyawa hasil fraksinasi selanjutnya diuji menggunakan Thin Layer Chromatograph (TLC) untuk pemeriksaan kualitatif senyawa organosulfur (Sulfhidril) dengan menggunakan fase diam silica gel GF254 dan fase gerak butanol – propanol – asam asetat – air (3-1-11) dan pereaksi natrium nitropruside selanjutnya diamati pada panjang gelombang 254 dan 365 nm. Aflatoksin B1 Aflatoksin B1 yang digunakan dalam penelitian ini merupakan aflatoksin B1 standar, yang diperoleh dari Aspergillus flavus, produksi Sigma dilarutkan sesuai petunjuk yang ada dalam kemasan. Cara penelitian Uji efektivitas bawang putih dengan menggunakan teknik bioassay, yaitu mengamati pertumbuhan koloni bakteri Bacillus megaterium. Bakteri yang digunakan adalah biakan bakteri yang ditanam dalam media TSB. Pada biakan bakteri diberi ekstrak dan hasil fraksinasi bawang putih sesuai perlakuan, masing-masing ditambahkan aflatoksin B1 872 sebanyak 20 μg/ml, yaitu terletak dalam selang konsentrasi dari penelitian yang pernah dilakukan REFAI (1993) dan dibiarkan selama 30 menit untuk memberikan waktu kontak fisik dengan bakteri. Selanjutnya ditanam pada media TSB-agar serta diinkubasikan pada suhu 37° selama 24 jam, kemudian masing-masing dihitung koloni bakteri yang tumbuh. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perlakuan adalah konsentrasi senyawa hasil fraksinasi, masingmasing adalah P1 = 0 μg/ml, P2 = 2,5 μg/ml, P3 = 5,0 μg/ml dan P4 = 10 μg/ml. Kelompok adalah ekstrak dan fraksinasi senyawa bawang putih, yaitu K1 = ekstrak bawang putih, K2 = hasil fraksinasi dengan pelarut hexane, K3 = hasil fraksinasi dengan pelarut khloroform dan K4 = hasil fraksinasi dengan pelarut methanol. Perbedaan koloni bakteri yang tumbuh dianalisis ragam berdasarkan petunjuk GOMEZ dan GOMEZ (1995) dan dilanjutkan Uji Duncan’s New Multiple Range Test sesuai dengan metode GASPERSZ (1994). Variabel yang diamati adalah pertumbuhan bakteri dengan menghitung koloni bakteri yang tumbuh pada media. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah 24 jam diinkubasi diperoleh hasil penghitungan koloni bakteri Bacillus megaterium seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Jumlah koloni bakteri kelompok senyawa fraksinasi chloroform (K3) adalah paling rendah dari semua kelompok diikuti fraksinasi hexane (K2), ekstrak bawang putih (K1) dan fraksinasi methanol (K4) (P < 0,05). Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa penggunaan bawang putih pada semua kelompok bakteri tidak menghambat pertumbuhan bakteri dibandingkan kontrol (P1) karena semua perlakuan menggunakan bawang putih yang melalui proses pemanasan. Hasil dari beberapa penelitian diperoleh bahwa pemanasan bawang putih mensupresi efek antimikrobia (SHARMA et al., 1977; CACERES et al., 1987; HUGHES dan LAWSON, 1991). Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam bentuk ekstrak, bawang putih tidak menunjukkan aktivitas antimikroba secara signifikan (ELNIMA et al., 1983; MARTIN dan ERNST, 2003). Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 Tabel 1. Jumlah koloni bakteri Bacillus megaterium setelah inkubasi 24 jam Kelompok Perlakuan P1 P2 P3 Rerata P4 Sig K1 12,6 x 106 12,4 x 106 14,4 x 106 13,3 x 106 13,18 x 106c * K2 6 11,1 x 10 12,2 x 10 6 6 6 11,95 x 106b * K3 6,3 x 106 8,3 x 106 K4 Rerata 6 6 14,3 x 10 16,3 x 10 11,08 x 106a 12,3 x 106b 12,1 x 10 12,4 x 10 9,6 x 106 8,9 x 106 6 6 15,6 x 10 16,2 x 10 12,93 x 106c 12,7 x 106 c 8,28 x 106a * 15,6 x 106 d * * Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05) K1= ekstrak bawang putih; K2= fraksinasi hexane; K3= fraksinasi khloroform; K4= fraksinasi methanol Mekanisme aktivitas aflatoksin B1 dalam sel bakteri adalah aflatoksin B1 menyebabkan kerusakan sel. Target utama aflatoksin B1 adalah merusak membran sel dan dinding sel bakteri (BEUCHAT dan LEOCHOWICH, 1971). Dinding sel bakteri sangat tipis dan elastis, terletak diantara kapsula dan membran sitoplasma yang berfungsi memberikan bentuk bakteri, mengatur keluar masuknya zat kimia, serta berperan dalam pembelahan sel. Penelitian ini menggunakan bakteri Bacillus megaterium yang merupakan bakteri gram positif. Dinding sel bakteri gram positif hanya mempunyai satu lapis, sedangkan dinding sel bakteri gram negatif mempunyai struktur sel berlapis-lapis (CALDWELL, 1995) struktur dinding sel yang berlapis-lapis melindungi sel bakteri terhadap aflatoksin B1 (TIWARI et al., 1984). Pemberian aflatoksin B1 pada Bacillus megaterium menyebabkan kerusakan pada membran sel bakteri sehingga mempengaruhi material intraseluler, menghambat aktivitas metabolisme, menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian sel bakteri (WHITTAKER dan CHIPLEY, 1979). Kandungan senyawa organosulfur sulfur yang tinggi pada bawang putih mudah diabsorbsi, ditranformasi dan dimetabolisme (KEMPER, 2000; MILNER, 2001). Molekul organosulfur mampu melewati membran phospholipid dan melindungi membran sel bakteri (MIRON et al., 2000) hal ini ditunjukkan bahwa pada semua perlakuan (P2, P3 dan P4). Pemberian aflatoksin B1 tidak menyebabkan penghambatan pertumbuhan koloni bakteri, hal ini dapat dilihat dari jumlah koloni bakteri yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (P1). Koloni pada perlakuan kontrol (P1) berbeda nyata dibandingkan penggunaan dengan konsentrasi 2,5 µg/ml (P2) (P < 0,05) dan P2 berbeda nyata terhadap penggunaan dengan konsentrasi 5,0 µg/ml (P3) dan penggunaan dengan konsentrasi 10 µg/ml (P4) (P < 0,05). Hasil analisis kualitatif terhadap gugus sulfhidril pada bawang putih menggunakan Thin Layer Chromatography (TLC) pada semua perlakuan adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 1, 2, 3 dan 4. Pereaksi gugus sulf-hidril (-SH) menggunakan larutan natrium nitropruside menghasilkan warna spot positif berwarna ungu apabila mengandung –SH. Pada ekstrak bawang putih (Gambar 1) dan fraksinasi methanol (Gambar 4), nampak spot berwarna jelas dibandingkan fraksinasi hexane (Gambar 2) dan fraksinasi chloroform (Gambar 3). Gambar 1. Hasil analisis gugus Sulf hidril pada ekstrak bawang putih 873 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 Hasil ini menunjukkan bahwa tingginya kandungan sulf hidril pada K1 dan K4 memperbaiki pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan K2 dan K3 yang gugus sulf hidrilnya lebih sedikit. KESIMPULAN DAN SARAN Gambar 2. Hasil analisis gugus Sulf hidril pada fraksinasi hexane Ekstrak bawang putih dan hasil fraksinasi menunjukkan bahwa bawang putih mengandung senyawa organosulfur yang melindungi bakteri Bacillus megaterium sehingga tidak mengalami hambatan pertumbuhan akibat adanya aflatoksin B1. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M) DIKTI dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UGM yang telah menyetujui untuk membiayai penelitian ini pada tahun anggaran 2006. DAFTAR PUSTAKA Gambar 3. Hasil analisis gugus Sulf hidril pada fraksinasi chloroform ABBAS, H.K. 2004. Aflatoxin and food safety. J. Toxicol. 22:139 – 459. ABDEL-SATER. 1993. Microflora and Natural Occurance of Mycotoxins in Tobacco from Cigarettes in Egypt. CAB Abstract 1993/1995. AGARWAL, K.C. 1996. Therapeutic actions of garlic constituents. Med. Res. Rev. 16: 111 – 114. BANERJEE, S.K. and S.K. MAULIK. 2002. Effect of garlic on cardiovascular disorders: A review. Nutrition J. 1(4):1 – 14. BERCHAT, L.R. and R.V. LECHOWICH. 1971. Biochemical Alteration in Bacillus megaterium as Produced by Aflatoxin B1. Appl. Microbiol. 21(1): 119 – 123. Gambar 4. Hasil analisis gugus Sulf hidril pada fraksinasi methanol Hal ini menunjukkan secara kualitatif ekstrak bawang putih dan fraksinasi methanol mengandung gugus -SH lebih banyak daripada fraksinasi chloroform dan fraksinasi hexane. 874 BPPT. 2006. Komposisi: Kandungan Kimia Bawang Putih. Gd 1 – Lt. 16, Jl. M. H. Thamrin 8, Jakarta CACERES, A., L. GIRON, S. ALVARADO and M. TORRES. 1987. Screening of Antimicrobial Activity of Plants Popularly used in Guatemala for the Treatment of Dermatomucosal Diseases. J. Ethnopharm. 20: 223 – 237. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 CALDWELL, D.R. 1995. Microbial Physiology and Metabolism. Wm. C. Brown Publisher, United States of America. KEMPER, K.J. 2000. Garlic (Allium sativum). Longwood Herbal Task Force. http://www. mep.edu/herbal/default.htm). CHOU, M.W., M.H. LU, R.A. PEGRAM, P. GAO, S. CAO, K. KONG and R.W. HART. 1993. Effects of CaloricRestriction on Aflatoxin B1-Induced DNA Synthesis. Mechanism of Agein and Development. 70(1/2): 22 – 23. LE BON, A.M. and M.H. SIESS. 2000. Organosulfur Compounds from Allium and the Chemoprevention of Cancer. Drug Metab. Drug Interact. 17: 51 – 79. ELLMORE, G. and R. FEKLDBERG. 1994. Alliin Liase Location in Bundle Sheaths pf garlic Clove (Allium sativum). American J. Botany. 81: 89 – 95. EL-MAGHRABY, O.M.O. and M.A. ABDEL-SATER. 1993. Microflora and Natural Occurance of Mycotoxins in Tobacco from Cigarettes in Egypt. CAB Abstract 1993/1995. ELNIMA, E.I., S.A. AHMED, A.G. MEKKAWI and J.S. MOSSA. 1983. The Antimicrobial Activity of Garlic and Onion Extracts. Pharmazie. 38:747 – 748. GASPERSZ, V. 1994. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Tarsito, Bandung. GINTING, NG. 1985. Aflatoxin in Broiler Diets in Indonesia. Proc. 3rd AAAP Animal Science Congress. May 6 – 10. Seoul, Korea. pp. 528 – 530. GOMEZ, K.A. and A.A. GOMEZ. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. UI-Press, Jakarta. HASTIONO, S. 2003. Cendawan dan Permasalahannya terhadap Kesehatan Hewan. J. Vet. 4(2). HENRY, S., F.X. BOSCH, J.C. BOWERS, C.J. PORTIER, B.J. PETERSEN and L. BARRAJ. 1998. Safety Evaluation of Certain Food Additives and Contaminants. International Programme on Chemical Safety, World Health Organization, Geneva. HILL, R.A., D.M. WILSON, W.W. MCMILLAN, N.W. WIDSTORM, R.J. COLE, T.H. SANDER and P.D. BLAKENSKIP. 1985. Ecology of Aspergillus flavus Group and Aflatoxin Formation in Maize and Groundnut. In: Trichothecenesand other Mycotoxins. HOBOKEN, N.J. John Wiley and Sons. pp. 79 – 95. HUGHES, B.G. and L.D. LAWSON. 1991. Antimicrobial Effects of Allim sativum L. (garlic), Allium ampeloprasum L. (elephant garlic), and Allium cepa L. (onion), Garlic Compounds and Commercial Garlic Supplement Products. Phytother. Res. 5: 154 – 158. MARTIN, K.W. and E. ERNST. 2003. Herbal medicines for treatment of bacterial infections: A review of controlled clinical trials. J. Antimicrob. Chemother. 51(2): 241 – 246. MILNER, J.A. 2001. A Historical Perspective on Garlic and Cancer. J. Nutrition. 131: 1027S – 1031S. MIRON, T.A. RABINKOV, D. MIRELMAN, M. WILCHEK and L. WEINER. 2000. The Mode of Action of Allicin: Its Ready Permeability through Phospholipid Membranes May Contribute to Its Biologycal Activity. Biochim. Biophys Acta. 1463(1): 20 – 30. MURRAY, R.K., D.K. GRANNER, P.A. MAYES and V.W. RODWELL. 1996. Biokimia Harper. ANDRY HARTONO (Ed.). Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. PRIBADI, E.S., U. PATRIANA and T. SUNARTATIE. 1998. The Inhibitory Effect of Aflatoxin on the Growth of Bacillus megaterium and Staphylococcus epidermidi. Media Veteriner 5(1): 11 – 14. REFAI, M.K., M.E. HATERN, E. SHARABY and M.M. SAAD. 1993. Detection and Estimation of Aflatoxins Using Both Chemical and Biological Techniques. Mycotoxins Res. 9(1): 47 – 52. RIAUWATY, M., WINDARTI and I. LUKISTYOWATY. 2005. Sensitifitas Aeromonas hydrophylla terhadap Berbagai Jenis Bawang Putih. Laporan Program Hibah Pekerti tahun 2005. SANTOSA, D. 2002. Ekologi Tumbuhan Obat. Majalah obat Tradisional. 7(22): 19 – 24. SHARMA, R.P. 1993. Immunotoxicity of Mycotoxins. J. Dairy Sci. 76: 892 – 897. SHARMA, V., M. SETHI, A. KUMAR and J. RAROTRA. 1977. Antibacterial Property of Allium sativum Linn: in vivo and in vitro Studies. Ind. J. Exp. Biol. 15: 466 – 468. SHAW, I.C. and J. CHADWICK. 1998. Principles of Environmental Toxicology. Taylor and Francis, London. 875 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007 SURH, Y.J., R.C. LEE, K.K. PARK, S.T. MAYNE, A. LIEM and J.A. MILLER. 1995. Chemoprotective Effects of Capsaicin and diallyl sulfide Against Mutagenesis or Tumorigenesis by vinyl carbamate and N-nitrosodimethylamine. Carcinogenesis. 16: 2467 – 2471. WARGOVICH, M.J., C.J. WOODS, V.W. ENG, L.C. STEPHENS and K. GRAY. 1988. Chemoprevention of N-nitrosomethylbenzyla mine-induced Esophageal Cancer in Rats by the Naturally Occuring Thioether, Dyallil Sulfide. Cancer Res. 48: 6872 – 6875. THOMAS, A.N.S. 2000. Tanaman Obat Tradisional. Edisi ke-13, Penerbit Kanisius, Yogyakarta WHITTAKER, B.L. and J.R. CHIPLEY. 1979. Conditions for Induction of Bacteriophage from Lysogenic Bacillus megaterium with Aflatoxin B1. IApplied Environ. Microbiol. 37(3): 554 – 568. TIWARI, R.P., C.K. DHAM, L.K. GUPTA, T.C. BHALLA, S.S. SAINI and D.V. VADEHRA. 1984. J. Gen. Appl. Microbiol. 30:419 WAHYUONO, S. 2002. New Drug Discovery from Natural Resources. Majalah Obat Tradisional. 7: 6 – 13. 876 WIDIASTUTI, R., R. MARYAM, B.J. BLANEY, SALFINA and D.R. STOLTZ. 1988. Corn a Source of Mycotoxins in Indonesian Poultry Feeds and the Effectiveness of Visual Examination Methods for Detecting Contamination. Mycopathologia. 102: 45 – 49.