STUDI EFEKTIVITAS BAWANG PUTIH TERHADAP DAYA HAMBAT

advertisement
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
STUDI EFEKTIVITAS BAWANG PUTIH TERHADAP
DAYA HAMBAT AFLATOKSIN B1 PADA
PERTUMBUHAN KOLONI Bacillus megaterium
(A Study of the Effectiveness of the Inhibitory Effect of Garlic Extract on
Aflatoxin B1 in the Growth of Bacillus Megaterium)
MERRY MUSPITA DYAH UTAMI, ALI AGUS, WIHANDOYO dan KURNIASIH
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Jl. Agro Karangmalang, Yogyakarta 55281
ABSTRACT
Aflatoxin B1 brings specific problems and risks in poultry farm. It contaminates various agricultural
commodities, including commercial poultry feed. The benefits of herbal in Indonesia has not been exploited
yet. Garlic (Allium sativum) has a potential as a binder agent of aflatoxin B1 caused by its high organosulfur
compounds. The purpose of the study was to evaluate of the effectiveness the inhibitory effect of garlic
extract on aflatoxin B1 using bioassay method was to evaluate the growth of Bacillus megaterium based on
count on total collonies number. An appropriate amount of aflatoxin B1 20 μg/ml and variying concentration
of the fractinated compound of garlic were added in presterilized trytone soya broth (5 ml/tube). The tubes
with 0.1 ml Bacillus megaterium (1 : 100.000) waas inoculated into TSB-agar and incubated at 37°C for 24
hours. This study were arranged in Randomized Completely Block Design (RCBD) and continued with
Duncan’s New Multiple Range Test. The tratments consisted of variying concentration of the fractinated
compound of garlic: P1 = 0 μg/ml, P2 = μg/ml, P3 = 5.0 μg/ml and P4 = 10 μg/ml. The blocks consisted of
variying the fractinated compound of garlic: K1 = garlic extract, K2 = compound of hexane fractination, K3 =
compound of chloroform fractination and K4 = compound of methanol fractination. The results of the
experiment showed that the total collonies number of group of chloroform fractination compound (K3) is the
lowest of all the groups, followed by group of hexane fractination compound (K2), group of garlic extract
(K1) and group of methanol fractination compound (K4) (P < 0.05). The lowest of the total collonies number
was the control (P1) that can significantly different from the concentration of 2.5 μg/ml (P2) (P < 0.05) and
P2 was significantly different from the concentration of 5.0 μg/ml (P3) and the concentration of 10 μg/ml
(P4) (P < 0.05).
Key Words: Aflatoxin B1, Bacillus megaterium
ABSTRAK
Aflatoksin B1 menimbulkan banyak masalah dan resiko pada peternakan unggas. Aflatoksin B1
mencemari berbagai komoditas pertanian termasuk pakan komersial unggas. Potensi tanaman obat Indonesia
sangat tinggi dan belum dapat dimanfaatkan semuanya. Bawang putih (Allium sativum) mempunyai potensi
untuk digunakan sebagai bahan pengikat terhadap aflatoksin B1 karena kandungan senyawa organosulfur
sulfur yang tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk menguji efektivitas bawang putih terhadap daya hambat
pertumbuhan oleh aflatoksin B1 menggunakan teknik bioassay, yaitu mengamati pertumbuhan koloni bakteri
Bacillus megaterium. Sebanyak 20 μg/ml aflatoksin B1 dan ekstrak serta senyawa hasil fraksinasi bawang
putih dengan konsentrasi sesuai perlakuan ditambahkan pada medium trytone soya broth (TSB) 5 ml/tabung,
yang masing-masing ditambahkan 0.1 ml Bacillus megaterium (1:100.000), kemudian ditanam pada media
TSB-agar dan diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24 jam. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan’s New Multiple Range Test.
Perlakuan adalah konsentrasi senyawa hasil fraksinasi, masing-masing adalah P1 = 0 μg/ml, P2 = 2,5 μg/ml,
P3 = 5,0 μg/ml dan P4 = 10 μg/ml. Kelompok adalah hasil fraksinasi senyawa bawang putih, yaitu K1 =
ekstrak bawang putih, K2 = residu dari pelarut hexane, K3 = residu pelarut khloroform dan K4 = residu
pelarut methanol. Jumlah koloni bakteri kelompok residu chloroform (K3) adalah paling rendah dari semua
kelompok diikuti residu hexane (K2), ekstrak bawang putih (K1) dan residu methanol (K4) (P < 0,05).
Adapun jumlah koloni paling rendah adalah pada perlakuan kontrol (P1), berbeda nyata terhadap penggunaan
869
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
dengan konsentrasi 2,5 μg/ml (P2) (P < 0,05) dan P2 berbeda nyata terhadap konsentrasi 5,0 μg/ml (P3) dan
konsentrasi 10 μg/ml (P4) (P < 0,05).
Kata Kunci: Aflatoksin B1, Bacillus megaterium
PENDAHULUAN
Di Indonesia, aflatoksin B1 dianggap
sebagai senyawa kimia yang paling banyak
menimbulkan masalah pada peternakan unggas
(HASTIONO, 2003). Bahan pakan yang tercemar
aflatoksin B1 dengan kadar relatif tinggi masih
banyak beredar di pasaran. Beberapa penelitian
tentang cemaran aflatoksin B1 pada pakan
unggas komersial yang dilakukan GINTING
(1985) dan Widiastuti (1988) memperlihatkan
bahwa lebih dari 80% pakan unggas komersial
diberbagai daerah di Indonesia tercemar
aflatoksin B1 dengan kadar bervariasi antara
10,1 sampai 54,4 ppb, jauh diatas kadar batas
aman aflatoksin B1 untuk bahan pakan yang
beredar di pasaran yang direkomendasikan
USFDA (United States Food and Drug
Administration) yaitu sebesar 20 ppb.
Indonesia merupakan negara dengan
keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia
(SANTOSA, 2002). Potensi tanaman obat
Indonesia
sangat
tinggi
dan
belum
termanfaatkan semuanya (THOMAS, 2000).
Tanaman obat digunakan terutama dalam
upaya preventif, promotif dan rehabilitatif
(KATNO dan PRAMONO, 2006). Beberapa jenis
tanaman obat dan ekstrak tanaman mempunyai
potensi untuk digunakan sebagai bahan
pengikat terhadap aflatoksin B1 (CHOU et al.
1993).
Bawang putih (Allium sativum) merupakan
salah satu tanaman yang sering digunakan
karena kandungan senyawa organosulfur sulfur
yang tinggi (KEMPER, 2000; MILNER, 2001).
Senyawa organosulfur yang terdapat pada
ekstrak bawang putih mempunyai efek
antimutagenik, antikarsinogenik dan mencegah
DNA berikatan dengan aflatoksin B1.
Tingginya
biaya
untuk
memeriksa
aflatoksin B1 menjadi kendala utama untuk
mendeteksi dini keberadaan aflatoksin B1.
Salah satu teknik yang digunakan sebagai
alternatif untuk mendeteksi aflatoksin B1
adalah
teknik
bioassay.
Teknik
ini
menggunakan pertumbuhan bakteri sebagai
indikator adanya aflatoksin B1. ABDEL-SATER
(1993) melakukan analisis aflatoksin B1 secara
870
bioassay dengan mengggunakan bakteri dan
khamir. Selanjutnya PRIBADI et al. (1998)
menyatakan bahwa fenomena penghambatan
pertumbuhan Bacillus megaterium dan
Staphyllococcus epidermidis oleh aflatoksin B1
memberikan alternatif pendeteksian aflatoksin
B1 yang praktis dan akurat. Untuk itu metode
ini digunakan untuk mengetahui efektivitas
bawang putih untuk mengikat aflatoksin B1
dengan mengamati pertumbuhan Bacillus
megaterium. Hal ini sesuai dengan pendapat
REFAI et al. (1993) bahwa Bacillus megaterium
memiliki kepekaan yang paling tinggi terhadap
aflatoksin B1.
Bawang putih
Bawang putih (Allium sativum) termasuk
dalam familia Liliaceae. Dikenal dengan nama
Garlic. Di daerah Wonosobo, Jawa Tengah
dikenal sebagai penghasil bawang putih lokal
yang dikenal dengan sebutan bawang kathing.
Karakteristik bawang kathing adalah berumbi
ganda dengan kulit keunguan (RIAUWATY et
al., 2005). Komposisi kimia umbi bawang
putih lokal Indonesia setiap 100 gram adalah
sebagai berikut: protein 4,5 gram, lemak 0,2
gram, karbohidrat 23,10 gram, vitamin B1 0,22
miligram, vitamin C 15 miligram, fosfor 134
miligram, kalsium 42 miligram, besi 1
miligram, kadar air 71 gram dan energi 95
kalori (BPPT, 2006).
Bawang putih mempunyai karakteristik
utama, yaitu mempunyai metabolit sekunder
yang berupa senyawa organosulfur yang tinggi,
diantara genus Allium yang lain (WARGOVICH
et al., 1996). Senyawa organosulfur
mengandung belerang yang menyebabkan rasa,
aroma dan sifaat-sifat farmakologi bawang
putih (ELLMORE dan FEKLDBERG, 1994).
Bawang putih dapat digunakan dalam tiga
bentuk, yaitu tepung bawang putih (TBP),
minyak bawang putih (MBP) dan ekstrak
bawang putih (EBP) (MILLNER, 2001). Dalam
ekstraksi senyawa non polar dipisahkan dengan
pelarut non polar dan senyawa polar dilarutkan
dalam pelarut polar sehingga semua senyawa
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
yang ada dalam bahan alam tersari sempurna
(Wahyuono, 2002). Ekstrak bawang putih
dalam methanol 15 sampai 20% dapat
disimpan selama sekitar 20 bulan pada suhu
kamar dan menghasilkan aged garlic extract
(BANERJEE dan MAULIK, 2002).
Bawang putih juga digunakan sebagai
antimikrobia (Agarwal, 1996). Pemanasan
bawang putih selama lima menit mensupresi
efek antimikrobia (SHARMA et al., 1977;
CACERES et al., 1987; HUGHES dan LAWSON,
1991). Lebih jauh ditegaskan bahwa dalam
bentuk
ekstrak,
bawang
putih
tidak
menunjukkan aktivitas antimikrobia secara
signifikan (MARTIN dan ERNST, 2003).
Bawang putih mempunyai aktivitas
antikarsinogenik (LE BON dan SIESS, 2000)
yaitu melindungi jaringan dari proses
karsinogenesis (SURH et al., 1995). Adanya
allicin yang mengandung molekul organosulfur
mampu melewati membran phospholipid dan
melindungi membran sel bakteri (MIRON et al.
2000).
Aflatoksin B1
Aflatoksin B1 merupakan kelompok
mikotoksin yang sangat toksik dihasilkan oleh
jamur Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus (ABBAS, 2004) tumbuh pada
kisaran suhu yang luas, yaitu pada kisaran
10°C sampai 43°C dengan suhu optimum 32°C
sampai 33°C dan pH optimum 6 (HILL et al.,
1985).
Aflatoksin B1 merupakan senyawa
xenobiotik, yaitu merupakan senyawa asing
bagi tubuh, seperti obat-obatan dan zat-zat
karsinogenik kimia yang merupakan racun atau
disebut juga zat pencemar (HENRY et al., 1998)
xenobiotik akan tertahan dalam jaringan
(MURRAY et al., 1996; SHAW dan CHADWICK,
1998).
Pemeriksaan kadar aflatoksin B1
Salah satu teknik yang digunakan sebagai
pengukuran aflatoksin B1 adalah teknik
bioassay.
Teknik
ini
menggunakan
pertumbuhan bakteri sebagai indikator adanya
aflatoksin B1 (EL-MAGHRABY dan ABDELSATER, 1993). Peneliti lain merekomendasikan
Bacillus megaterium memiliki kepekaan yang
paling tinggi terhadap aflatoksin B1, karena
menunjukkan hambatan pertumbuhan mulai
dosis 5 sampai 40 µg/ml (REFAI et al., 1993).
Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian
PRIBADI et al. (1998) dengan waktu kontak
antara aflatoksin B1 dan bakteri selama 30
menit sebelum ditumbuhkan pada media agar,
menunjukkan
fenomena
penghambatan
pertumbuhan Bacillus megaterium dan
Staphylococcus
epidermidis,
hal
ini
memberikan alternatif pendeteksian aflatoksin
B1 secara kualitatif, yang praktis dan akurat.
Tujuan penelitian
Menguji efektivitas ekstrak bawang putih
untuk detoksifikasi aflatoksin B1 dengan
melakukan uji daya hambat pertumbuhan
bakteri.
Manfaat penelitian
Mengetahui efektivitas ekstrak bawang
putih untuk detoksifikasi aflatoksin B1 dengan
pengujian secara kualitatif terhadap daya
hambat pertumbuhan bakteri di laboratorium.
MATERI DAN METODE
Bahan
Strain bakteri
Bakteri yang digunakan dalam penelitian
adalah Bacillus megaterium (FHCC-0083)
yang diperoleh dari Food and Nutrition
Culture Collection (FNCC) Pusat Studi Pangan
dan Gizi, Universitas Gadjah Mada.
Persiapan medium biakan
Bahan yang digunakan adalah Triptone
Soya Broth (TSB) CM 129, produksi Oxoid
dan agar yang digunakan adalah agar
bacteriological No. 1 produksi Oxoid.
Pembuatan medium pertumbuhan bakteri
adalah menimbang TSB sebanyak 30 gram dan
agar 20 gram, selanjutnya dimasukkan
aquadest sampai volumenya 1 liter, sehingga
diperoleh medium TSB-agar. Aduk hingga
homogen, tutup rapat dengan kapas dan kertas
871
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
aluminium dan dimasukkan dalam otoklaf
untuk sterilisasi pada suhu 121°C selama 15
menit.
Ekstrak bawang putih
Ekstraksi digunakan untuk mengekstrak
atau melarutkan seluruh senyawa yang ada
dalam bawang putih.
Fraksinasi bawang putih
Fraksinasi dimaksudkan untuk mendapatkan
fraksi dengan gambaran kromatogram yang
lebih sederhana dan mudah dibaca. Fraksinasi
ada tiga macam berdasarkan pelarut yang
digunakan, yaitu heksana, chloroform,
methanol.
Pengujian Thin Layer Chromatograph (TLC)
Senyawa hasil fraksinasi selanjutnya diuji
menggunakan Thin Layer Chromatograph
(TLC) untuk pemeriksaan kualitatif senyawa
organosulfur (Sulfhidril) dengan menggunakan
fase diam silica gel GF254 dan fase gerak
butanol – propanol – asam asetat – air (3-1-11) dan pereaksi natrium nitropruside
selanjutnya diamati pada panjang gelombang
254 dan 365 nm.
Aflatoksin B1
Aflatoksin B1 yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan aflatoksin B1 standar,
yang diperoleh dari Aspergillus flavus, produksi
Sigma dilarutkan sesuai petunjuk yang ada
dalam kemasan.
Cara penelitian
Uji efektivitas bawang putih dengan
menggunakan teknik bioassay, yaitu mengamati
pertumbuhan
koloni
bakteri
Bacillus
megaterium. Bakteri yang digunakan adalah
biakan bakteri yang ditanam dalam media
TSB. Pada biakan bakteri diberi ekstrak dan
hasil fraksinasi bawang putih sesuai perlakuan,
masing-masing ditambahkan aflatoksin B1
872
sebanyak 20 μg/ml, yaitu terletak dalam selang
konsentrasi dari penelitian yang pernah
dilakukan REFAI (1993) dan dibiarkan selama
30 menit untuk memberikan waktu kontak fisik
dengan bakteri. Selanjutnya ditanam pada
media TSB-agar serta diinkubasikan pada suhu
37° selama 24 jam, kemudian masing-masing
dihitung koloni bakteri yang tumbuh.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak
Kelompok
(RAK).
Perlakuan
adalah
konsentrasi senyawa hasil fraksinasi, masingmasing adalah P1 = 0 μg/ml, P2 = 2,5 μg/ml,
P3 = 5,0 μg/ml dan P4 = 10 μg/ml. Kelompok
adalah ekstrak dan fraksinasi senyawa bawang
putih, yaitu K1 = ekstrak bawang putih, K2 =
hasil fraksinasi dengan pelarut hexane, K3 =
hasil fraksinasi dengan pelarut khloroform dan
K4 = hasil fraksinasi dengan pelarut methanol.
Perbedaan koloni bakteri yang tumbuh
dianalisis ragam berdasarkan petunjuk GOMEZ
dan GOMEZ (1995) dan dilanjutkan Uji
Duncan’s New Multiple Range Test sesuai
dengan metode GASPERSZ (1994). Variabel
yang diamati adalah pertumbuhan bakteri
dengan menghitung koloni bakteri yang
tumbuh pada media.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah 24 jam diinkubasi diperoleh hasil
penghitungan
koloni
bakteri
Bacillus
megaterium seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Jumlah koloni bakteri kelompok senyawa
fraksinasi chloroform (K3) adalah paling
rendah dari semua kelompok diikuti fraksinasi
hexane (K2), ekstrak bawang putih (K1) dan
fraksinasi methanol (K4) (P < 0,05). Dari hasil
penelitian ini diketahui bahwa penggunaan
bawang putih pada semua kelompok bakteri
tidak menghambat pertumbuhan bakteri
dibandingkan kontrol (P1) karena semua
perlakuan menggunakan bawang putih yang
melalui proses pemanasan. Hasil dari beberapa
penelitian diperoleh bahwa pemanasan bawang
putih mensupresi efek antimikrobia (SHARMA
et al., 1977; CACERES et al., 1987; HUGHES
dan LAWSON, 1991). Selanjutnya dijelaskan
bahwa dalam bentuk ekstrak, bawang putih
tidak menunjukkan aktivitas antimikroba secara
signifikan (ELNIMA et al., 1983; MARTIN dan
ERNST, 2003).
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 1. Jumlah koloni bakteri Bacillus megaterium setelah inkubasi 24 jam
Kelompok
Perlakuan
P1
P2
P3
Rerata
P4
Sig
K1
12,6 x 106
12,4 x 106
14,4 x 106
13,3 x 106
13,18 x 106c
*
K2
6
11,1 x 10
12,2 x 10
6
6
6
11,95 x 106b
*
K3
6,3 x 106
8,3 x 106
K4
Rerata
6
6
14,3 x 10
16,3 x 10
11,08 x 106a
12,3 x 106b
12,1 x 10
12,4 x 10
9,6 x 106
8,9 x 106
6
6
15,6 x 10
16,2 x 10
12,93 x 106c
12,7 x 106 c
8,28 x 106a
*
15,6 x 106 d
*
* Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)
K1= ekstrak bawang putih; K2= fraksinasi hexane; K3= fraksinasi khloroform; K4= fraksinasi methanol
Mekanisme aktivitas aflatoksin B1 dalam
sel bakteri adalah aflatoksin B1 menyebabkan
kerusakan sel. Target utama aflatoksin B1
adalah merusak membran sel dan dinding sel
bakteri (BEUCHAT dan LEOCHOWICH, 1971).
Dinding sel bakteri sangat tipis dan elastis,
terletak diantara kapsula dan membran
sitoplasma yang berfungsi memberikan bentuk
bakteri, mengatur keluar masuknya zat kimia,
serta berperan dalam pembelahan sel.
Penelitian ini menggunakan bakteri
Bacillus megaterium yang merupakan bakteri
gram positif. Dinding sel bakteri gram positif
hanya mempunyai satu lapis, sedangkan
dinding sel bakteri gram negatif mempunyai
struktur sel berlapis-lapis (CALDWELL, 1995)
struktur dinding sel yang berlapis-lapis
melindungi sel bakteri terhadap aflatoksin B1
(TIWARI et al., 1984). Pemberian aflatoksin B1
pada Bacillus megaterium menyebabkan
kerusakan pada membran sel bakteri sehingga
mempengaruhi
material
intraseluler,
menghambat
aktivitas
metabolisme,
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
kematian sel bakteri (WHITTAKER dan CHIPLEY,
1979).
Kandungan senyawa organosulfur sulfur
yang tinggi pada bawang putih mudah
diabsorbsi, ditranformasi dan dimetabolisme
(KEMPER, 2000; MILNER, 2001). Molekul
organosulfur mampu melewati membran
phospholipid dan melindungi membran sel
bakteri (MIRON et al., 2000) hal ini ditunjukkan
bahwa pada semua perlakuan (P2, P3 dan P4).
Pemberian aflatoksin B1 tidak menyebabkan
penghambatan pertumbuhan koloni bakteri, hal
ini dapat dilihat dari jumlah koloni bakteri
yang
lebih
tinggi
secara
signifikan
dibandingkan dengan kontrol (P1). Koloni
pada perlakuan kontrol (P1) berbeda nyata
dibandingkan penggunaan dengan konsentrasi
2,5 µg/ml (P2) (P < 0,05) dan P2 berbeda nyata
terhadap penggunaan dengan konsentrasi 5,0
µg/ml (P3) dan penggunaan dengan konsentrasi
10 µg/ml (P4) (P < 0,05).
Hasil analisis kualitatif terhadap gugus
sulfhidril pada bawang putih menggunakan
Thin Layer Chromatography (TLC) pada
semua perlakuan adalah seperti ditunjukkan
pada Gambar 1, 2, 3 dan 4.
Pereaksi
gugus
sulf-hidril
(-SH)
menggunakan larutan natrium nitropruside
menghasilkan warna spot positif berwarna
ungu apabila mengandung –SH. Pada ekstrak
bawang putih (Gambar 1) dan fraksinasi
methanol (Gambar 4), nampak spot berwarna
jelas dibandingkan fraksinasi hexane (Gambar
2) dan fraksinasi chloroform (Gambar 3).
Gambar 1. Hasil analisis gugus Sulf hidril pada
ekstrak bawang putih
873
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Hasil ini menunjukkan bahwa tingginya
kandungan sulf hidril pada K1 dan K4
memperbaiki
pertumbuhan
bakteri
dibandingkan dengan K2 dan K3 yang gugus
sulf hidrilnya lebih sedikit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Gambar 2. Hasil analisis gugus Sulf hidril pada
fraksinasi hexane
Ekstrak bawang putih dan hasil fraksinasi
menunjukkan
bahwa
bawang
putih
mengandung senyawa organosulfur yang
melindungi bakteri Bacillus megaterium
sehingga
tidak
mengalami
hambatan
pertumbuhan akibat adanya aflatoksin B1.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih penulis sampaikan kepada
Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat (DP2M) DIKTI dan Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
(LPPM) UGM yang telah menyetujui untuk
membiayai penelitian ini pada tahun anggaran
2006.
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 3. Hasil analisis gugus Sulf hidril pada
fraksinasi chloroform
ABBAS, H.K. 2004. Aflatoxin and food safety. J.
Toxicol. 22:139 – 459.
ABDEL-SATER. 1993. Microflora and Natural
Occurance of Mycotoxins in Tobacco from
Cigarettes in Egypt. CAB Abstract 1993/1995.
AGARWAL, K.C. 1996. Therapeutic actions of garlic
constituents. Med. Res. Rev. 16: 111 – 114.
BANERJEE, S.K. and S.K. MAULIK. 2002. Effect of
garlic on cardiovascular disorders: A review.
Nutrition J. 1(4):1 – 14.
BERCHAT, L.R. and R.V. LECHOWICH. 1971.
Biochemical Alteration in Bacillus megaterium
as Produced by Aflatoxin B1. Appl. Microbiol.
21(1): 119 – 123.
Gambar 4. Hasil analisis gugus Sulf hidril pada
fraksinasi methanol
Hal ini menunjukkan secara kualitatif
ekstrak bawang putih dan fraksinasi methanol
mengandung gugus -SH lebih banyak daripada
fraksinasi chloroform dan fraksinasi hexane.
874
BPPT. 2006. Komposisi: Kandungan Kimia Bawang
Putih. Gd 1 – Lt. 16, Jl. M. H. Thamrin 8,
Jakarta
CACERES, A., L. GIRON, S. ALVARADO and M.
TORRES. 1987. Screening of Antimicrobial
Activity of Plants Popularly used in Guatemala
for the Treatment of Dermatomucosal
Diseases. J. Ethnopharm. 20: 223 – 237.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
CALDWELL, D.R. 1995. Microbial Physiology and
Metabolism. Wm. C. Brown Publisher, United
States of America.
KEMPER, K.J. 2000. Garlic (Allium sativum).
Longwood Herbal Task Force. http://www.
mep.edu/herbal/default.htm).
CHOU, M.W., M.H. LU, R.A. PEGRAM, P. GAO, S.
CAO, K. KONG and R.W. HART. 1993. Effects
of CaloricRestriction on Aflatoxin B1-Induced
DNA Synthesis. Mechanism of Agein and
Development. 70(1/2): 22 – 23.
LE BON, A.M. and M.H. SIESS. 2000. Organosulfur
Compounds
from
Allium
and
the
Chemoprevention of Cancer. Drug Metab.
Drug Interact. 17: 51 – 79.
ELLMORE, G. and R. FEKLDBERG. 1994. Alliin Liase
Location in Bundle Sheaths pf garlic Clove
(Allium sativum). American J. Botany. 81: 89
– 95.
EL-MAGHRABY, O.M.O. and M.A. ABDEL-SATER.
1993. Microflora and Natural Occurance of
Mycotoxins in Tobacco from Cigarettes in
Egypt. CAB Abstract 1993/1995.
ELNIMA, E.I., S.A. AHMED, A.G. MEKKAWI and J.S.
MOSSA. 1983. The Antimicrobial Activity of
Garlic and Onion Extracts. Pharmazie. 38:747
– 748.
GASPERSZ, V. 1994. Teknik Analisis dalam
Penelitian Percobaan. Tarsito, Bandung.
GINTING, NG. 1985. Aflatoxin in Broiler Diets in
Indonesia. Proc. 3rd AAAP Animal Science
Congress. May 6 – 10. Seoul, Korea. pp. 528 –
530.
GOMEZ, K.A. and A.A. GOMEZ. 1995. Prosedur
Statistik untuk Penelitian Pertanian. UI-Press,
Jakarta.
HASTIONO, S. 2003. Cendawan dan Permasalahannya
terhadap Kesehatan Hewan. J. Vet. 4(2).
HENRY, S., F.X. BOSCH, J.C. BOWERS, C.J. PORTIER,
B.J. PETERSEN and L. BARRAJ. 1998. Safety
Evaluation of Certain Food Additives and
Contaminants. International Programme on
Chemical Safety, World Health Organization,
Geneva.
HILL, R.A., D.M. WILSON, W.W. MCMILLAN, N.W.
WIDSTORM, R.J. COLE, T.H. SANDER and P.D.
BLAKENSKIP. 1985. Ecology of Aspergillus
flavus Group and Aflatoxin Formation in
Maize and Groundnut. In: Trichothecenesand
other Mycotoxins. HOBOKEN, N.J. John Wiley
and Sons. pp. 79 – 95.
HUGHES, B.G. and L.D. LAWSON. 1991.
Antimicrobial Effects of Allim sativum L.
(garlic), Allium ampeloprasum L. (elephant
garlic), and Allium cepa L. (onion), Garlic
Compounds
and
Commercial
Garlic
Supplement Products. Phytother. Res. 5: 154 –
158.
MARTIN, K.W. and E. ERNST. 2003. Herbal
medicines for treatment of bacterial infections:
A review of controlled clinical trials. J.
Antimicrob. Chemother. 51(2): 241 – 246.
MILNER, J.A. 2001. A Historical Perspective on
Garlic and Cancer. J. Nutrition. 131: 1027S –
1031S.
MIRON, T.A. RABINKOV, D. MIRELMAN, M. WILCHEK
and L. WEINER. 2000. The Mode of Action of
Allicin: Its Ready Permeability through
Phospholipid Membranes May Contribute to
Its Biologycal Activity. Biochim. Biophys
Acta. 1463(1): 20 – 30.
MURRAY, R.K., D.K. GRANNER, P.A. MAYES and
V.W. RODWELL. 1996. Biokimia Harper.
ANDRY HARTONO (Ed.). Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
PRIBADI, E.S., U. PATRIANA and T. SUNARTATIE.
1998. The Inhibitory Effect of Aflatoxin on
the Growth of Bacillus megaterium and
Staphylococcus epidermidi. Media Veteriner
5(1): 11 – 14.
REFAI, M.K., M.E. HATERN, E. SHARABY and M.M.
SAAD. 1993. Detection and Estimation of
Aflatoxins Using Both Chemical and
Biological Techniques. Mycotoxins Res. 9(1):
47 – 52.
RIAUWATY, M., WINDARTI and I. LUKISTYOWATY.
2005. Sensitifitas Aeromonas hydrophylla
terhadap Berbagai Jenis Bawang Putih.
Laporan Program Hibah Pekerti tahun 2005.
SANTOSA, D. 2002. Ekologi Tumbuhan Obat.
Majalah obat Tradisional. 7(22): 19 – 24.
SHARMA, R.P. 1993. Immunotoxicity of Mycotoxins.
J. Dairy Sci. 76: 892 – 897.
SHARMA, V., M. SETHI, A. KUMAR and J. RAROTRA.
1977. Antibacterial Property of Allium sativum
Linn: in vivo and in vitro Studies. Ind. J. Exp.
Biol. 15: 466 – 468.
SHAW, I.C. and J. CHADWICK. 1998. Principles of
Environmental Toxicology. Taylor and Francis,
London.
875
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
SURH, Y.J., R.C. LEE, K.K. PARK, S.T. MAYNE, A.
LIEM and J.A. MILLER. 1995. Chemoprotective
Effects of Capsaicin and diallyl sulfide
Against Mutagenesis or Tumorigenesis by
vinyl carbamate and N-nitrosodimethylamine.
Carcinogenesis. 16: 2467 – 2471.
WARGOVICH, M.J., C.J. WOODS, V.W. ENG, L.C.
STEPHENS
and
K.
GRAY.
1988.
Chemoprevention of N-nitrosomethylbenzyla
mine-induced Esophageal Cancer in Rats by
the Naturally Occuring Thioether, Dyallil
Sulfide. Cancer Res. 48: 6872 – 6875.
THOMAS, A.N.S. 2000. Tanaman Obat Tradisional.
Edisi ke-13, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
WHITTAKER, B.L. and J.R. CHIPLEY. 1979.
Conditions for Induction of Bacteriophage
from Lysogenic Bacillus megaterium with
Aflatoxin B1. IApplied Environ. Microbiol.
37(3): 554 – 568.
TIWARI, R.P., C.K. DHAM, L.K. GUPTA, T.C.
BHALLA, S.S. SAINI and D.V. VADEHRA. 1984.
J. Gen. Appl. Microbiol. 30:419
WAHYUONO, S. 2002. New Drug Discovery from
Natural Resources. Majalah Obat Tradisional.
7: 6 – 13.
876
WIDIASTUTI, R., R. MARYAM, B.J. BLANEY, SALFINA
and D.R. STOLTZ. 1988. Corn a Source of
Mycotoxins in Indonesian Poultry Feeds and
the Effectiveness of Visual Examination
Methods for Detecting Contamination.
Mycopathologia. 102: 45 – 49.
Download