BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang jumlah penderitanya mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Menurut data yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2013, sebanyak 347 juta penduduk di dunia menderita diabetes dan 80% dari penderita diabetes berasal dari negara dengan perekonomian menengah ke bawah. Pada tahun 2004 diketahui sebanyak 3,4 juta orang mengalami kematian akibat tingginya kadar gula dalam darah (WHO, 2008). Menurut data yang dikeluarkan oleh WHO Indonesia menempati peringkat ke-4 di dunia dengan jumlah penderita sebanyak 8.426.000 orang pada tahun 2000 dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan meningkat sebanyak 152% menjadi 21.257.000 orang. Diabetes melitus dapat mengakibatkan berbagai komplikasi akut maupun kronik yang dapat mengenai berbagai jaringan dan organ tubuh. Menurut WHO (2008), diabetes dapat meningkatkan resiko penyakit jantung dan stroke dan sebanyak 50 % dari penderita diabetes meninggal akibat penyakit kardiovaskular. Diabetes juga dapat menyebabkan kerusakan pada saraf (diabetic neuropathy) yang akan menyebabkan penderita merasa kesemutan, mati rasa atau kebas, kesakitan serta merasa lemah pada tangan dan kaki. Apabila dikombinasikan dengan kurang lancarnya peredaran darah maka dapat meningkatkan kemungkinan terjadi bisul, infeksi dan kemungkinan terparahnya akan 1 menyebabkan amputasi pada anggota tubuh. Diabetes juga dapat mengakibatkan kebutaan (diabetic retinopathy). Hal ini akan terjadi akibat dari jangka panjang kerusakan pada pembuluh darah kecil di retina. Diabetes juga menjadi salah satu penyebab utama terjadinya gagal ginjal (diabetic nepropathy), sebanyak 10-20% dari penderita diabetes meninggal akibat gagal ginjal. Selain tingkat komplikasi diabetes melitus yang banyak dan mematikan, prevalensi penderita diabetes melitus di Indonesia juga semakin tinggi. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, diperoleh informasi bahwa terjadi peningkatan prevalensi diabetes melitus dari 1,1% pada tahun 2007 menjadi 2,2% pada tahun 2013 (Annonim3, 2013). Oleh karena itu penyakit diabetes kini memperoleh perhatian dari berbagai pihak sebagai upaya untuk pencegahan maupun pengelolaan. Salah satu upaya pengendalian terhadap penyakit diabetes saat ini banyak dilakukan penelitian terhadap bahan pangan fungsional yang memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai macam penyakit, salah satu contohnya menurunkan kadar gula darah. Menurut Martirosyan (2015), pada tahun 2014 Functional Food Center (FFC) mendefinisikan pangan fungsional sebagai bahan pangan alami maupun olahan yang mengandung komponen bioaktif, baik yang dikenali maupun yang tidak dikenali, dimana dalam jumlah yang dibatasi bersifat tidak beracun, memberi manfaat terhadap kesehatan yang terbukti kebenarannya secara klinis memiliki efek kesehatan untuk pencegahan, penanganan dan perawatan penyakit kronis. Salah satu contoh bahan pangan lokal yang dapat berfungsi sebagai sumber pangan fungsional adalah buah pisang. 2 Tanaman pisang merupakan tanaman yang hidup di daerah tropis dan tidak bergantung kepada musim buah, sehingga buah pisang tersedia pada setiap saat. Buah pisang merupakan bahan pangan yang bergizi, berfungsi sebagai sumber karbohidrat, vitamin serta mineral. Kandungan karbohidrat terbesar pada daging buah pisang adalah pati, yang seiring dengan perkembangan proses pematangan pati-pati ini akan diubah menjadi glukosa, sukrosa dan fruktosa (Bello et al., 2000). Pati yang terdapat dalam buah pisang terdiri dari dua jenis yaitu adalah pati yang dapat dicerna oleh enzim pencernaan serta pati yang tidak dapat tercerna atau yang disebut sebagai pati resisten. Kandungan pati resisten yang terdapat dalam buah pisang dipengaruhi oleh tingkat kematangan, semakin tinggi tingkat kematangan makan kadar pati resisten akan semakin menurun. Beberapa penelitian terdahulu untuk mengidentifikasi kadar pati resisten yang terkandung pada berbagai varietas pisang telah banyak dilakukan Kadar pati resisten yang terkandung dalam pisang Kepok berkisar antara 5,15-27,70 % dan kandungan pati resisten dalam pisang Tanduk berkisar antara 6,80-29,60 % (Marsono, 2002; Musita, 2009; dan Rosida, 2011). Secara fisiologis pati resisten didefinisikan sebagai pati atau produk degradasi pati, merupakan fraksi dari serat pangan, yang tidak dapat dicerna dan tidak diserap oleh usus halus manusia yang sehat (Asp, 1992 dan Sajilata et al., 2006). Pati resisten terukur sebagai serat tidak larut tetapi memiliki fungsi fisiologis seperti serat larut. Terdapat lima klasifikasi pati resisten yaitu RS1 (pati yang secara fisik sulit untuk dicerna), RS2 (granula pati resisten), RS3 (pati teretrogradasi), RS4 (pati modifikasi) dan RS5 (kompleks amilosa-lipid). Pati 3 resisten tahan terhadap enzim pencernaan sehingga lolos ke dalam kolon dan menjadi substrat fermentasi bagi bakteri di kolon. Produk yang dihasilkan dari fermentasi RS adalah lemak rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA), gas CO2, hidrogen dan metana. SCFA yang dihasilkan dari fermentasi RS memiliki berbagai macam efek kesehatan, diantara lain adalah mencegah kanker kolon, pengurangan pembentukkan batu empedu, memiliki efek hipoglikemik, berperan sebagai prebiotik, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak, dan meningkatkan absorbsi mineral. Penelitian yang dilakukan oleh Raben et al. (1994) dan Reader et al. (1994) dalam Fuentes-Zaragoza et al. (2010) menunjukkan bahwa konsumsi pati resisten dapat menurunkan kadar gula darah postprandial dan mungkin memainkan peran dalam meningkatkan kontrol metabolik terhadap diabetes tipe II. Selain itu penelitian tersebut membuktikan bahwa kadar gula darah subyek penelitian yang mengkonsumsi pati resisten lebih rendah bila dibandingkan subyek penelitian lain yang mengkonsumsi karbohidrat jenis lainnya seperti gula sederhana, oligosakarida dan pati pada umumnya. Pada saat ini belum ada penelitian yang menguji mengenai pengaruh pemberian tepung pisang terhadap penurunan kadar gula darah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian tepung pisang yang mengandung pati resisten tertinggi terhadap penurunan kadar gula darah pada tikus diabetes yang diinduksi dengan STZ-NA. Varietas pisang yang digunakan terdiri dari pisang Kepok Putih (Musa balbisiana), pisang Tanduk (Musa paradisiacal) dan pisang Uter (Musa paradisiaca Linn. var uter) atau yang lebih dikenal dengan pisang Raja Bandung. 4 1.2 Rumusan Masalah 1. Diantara varietas pisang Kepok Putih (Musa balbisiana), pisang Tanduk (Musa paradisiacal) dan pisang Uter (Musa paradisiaca Linn. var uter), varietas pisang manakah yang mengandung kadar pati resisten tertinggi? 2. Bagaimana pengaruh pemberian tepung pisang yang mengandung kadar pati resisten tertinggi terhadap penurunan kadar gula darah tikus diabetes yang diinduksi dengan STZ-NA? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah: 1 Untuk mengetahui kadar pati resisten tertinggi diantara varietas pisang Kepok Putih (Musa balbisiana), pisang Tanduk (Musa paradisiacal) dan pisang Uter (Musa paradisiaca Linn. var uter). 2 Untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung pisang dengan kadar pati resisten tertinggi terhadap penurunan kadar gula darah tikus diabetes yang diinduksi dengan STZ-NA? 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi kadar pati resisten pada beberapa varietas pisang dan mengetahui varietas pisang mana yang memiliki kadar pati resisten paling tinggi. Selain itu dapat mengaplikasikan tepung pisang dengan kadar pati resistent paling tinggi dalam upaya untuk menurunkan prevalensi diabetes. 5