TINJAUAN PUSTAKA Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) Kelapa sawit diperkenalkan pertama kali pada tahun 1848 dan ditanam di kebun raya Bogor serta selanjutnya dilakukan serangkaian pengamatan dan penelitian. Hasil pengembangan kelapa sawit baru diperoleh kira-kira 70-80 tahun setelah tahap pengenalan. Kelapa sawit mulai dikembangkan secara besar-besaran pada tahun 1970-an. Upaya pengembangan ini di dorong oleh pemikiran bahwa kelapa sawit merupakan sumber yang potensial bagi peningkatan pendapatan devisa. Selain itu juga perlu adanya tindakan untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor minyak dan gas bumi sebagai sumber dana pembangunan (Mangoensoekarjo 2003). Nama genus kelapa sawit adalah Elaeis guineesis yang diberikan oleh Jacqueis pada tahun 1763 berdasarkan pengamatannya pada pohon-pohon kelapa sawit yang tumbuh di Martinique kawasan Hindia Barat. Kata Elaeis (Yunani) berarti minyak sedangkan kata guineensis diberikan berdasarkan keyakinan Jacqueis bahwa kelapa sawit berasal dari Guinea (Afrika). Terdapat tiga macam varietas tanaman kelapa sawit yaitu Nigrescens, Virecens, dan Albescens. Jenis yang umum dipakai untuk penanaman komersial adalah varietas Nigrescens, sedangkan jenis lainnya secara umum hanya dipakai untuk penelitian (Mangoensoekarjo 2003). Minyak sawit dihasilkan dari daging buah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dan tersedia dalam beberapa bentuk produk minyak diantaranya crude palm oil (CPO), RBDPO, palm olein, palm stearin, fractionated palm olein dan palm mid-fraction. Teknologi pengolahan minyak kelapa sawit meliputi proses ekstraksi, proses pemurnian, pembuatan produk olahan, serta aplikasi minyak kelapa sawit pada produk pangan dan dan non pangan. Ekstraksi minyak kelapa sawit secara komersial dilakukan dengan menggunakan pengepres berulir. Sebelum dipress, dilakukan pemisahan mesokarp dan intisawit, bagian mesokarp akan menghasilkan CPO sedangkan bagian inti akan menghasilkan PKO (Palm Kernel Oil) (Budijanto et al. 2001). Buah Sawit Inti Sawit Minyak sawit (CPO) berasal dari daging buah sawit. Secara fisik dan kimia minyak sawit berbeda dengan palm kernel oil. Palm Kernel Oil berasal dari biji (kernel) yang terletak pada bagian dalam buah sawit Gambar 1 Buah kelapa sawit Gambar 1 diatas merupakan gambar buah kelapa sawit yang terdiri dari dua bagian utama yaitu mesokarp yang merupakan daging buah dan endokarp atau biji buah kelapa sawit. Saat ini produk utama dari kelapa sawit yang banyak di manfaatkan adalah minyaknya. Berdasarkan asalnya, minyak kelapa sawit ini dapat di bagi menjadi 2 jenis yaitu Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO). CPO merupakan minyak yang didapatkan dari hasil ekstraksi bagian sabut buah kelapa sawit (mesokarp), sedangkan PKO didapatkan dari hasil ekstraksi inti buah kelapa sawit (endokarp). Oleh karena berasal sumber yang berbeda maka komposisi asam lemak penyusunnya pun berbeda. CPO umumnya banyak mengandung asam palmitat dan asam oleat sedangkan PKO banyak sekali mengandung asam laurat, asam miristat dan asam oleat. Secara rinci komposisi asam lemak penyusun CPO dan PKO di lihat pada Tabel 1. Minyak dan lemak dari sumber tertentu mempunyai ciri khas yang berbeda dari sumber lainnya yang tergantung pada komposisi dan distribusi asam lemak pada molekul trigliseridanya. Titik leleh suatu lemak atau minyak dipengaruhi oleh sifat asam lemaknya, yaitu daya tarik antar asam lemak yang berdekatan dalam kristal. Gaya ini ditentukan oleh panjang rantai C, jumlah ikatan rangkap dan bentuk cis atau trans pada asam lemak tidak jenuh. Semakin panjang rantai C maka titik lelehnya akan semakin tinggi, misalnya asam butirat (C14) memiliki titik leleh -7,9oC sedangkan asam stearat (C18) memiliki titik leleh 64,6oC. Titik 5 leleh menurun dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap dikarenakan ikatan antar molekul asam lemak tidak jenuh kurang kuat. Bentuk trans pada asam lemak akan menyebabkan lemak mempunyai titik leleh yang lebih tinggi dibandingkan bentuk cis (Winarno 2002). Tabel 1 Komposisi Asam Lemak Penyusun Minyak Sawit (CPO) dan Minyak Inti Sawit (PKO) Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit Minyak Inti Sawit (CPO) (%) (PKO) (%) Asam kaprilat (8) 3-4 Asam kaproat (6) - 3-7 Asam laurat (12) - 46-52 Asam miristat (14) 1.1-2.5 14-17 Asam palmitat (16) 40-46 6.5-9 Asam stearat (18) 3.6-4.7 1-2.5 Asam oleat (18:1) 39-45 13-19 Asam Linoleat (18:2) 7-11 0.5-2 Sumber : Eckey (1995) Minyak sawit seperti halnya minyak pada umumnya merupakan komponen yang tersusun atas 3 buah molekul asam lemak yang berikatan dengan 1 buah molekul gliserol. Asam lemak utama yang terdapat dalam CPO adalah asam palmitat dan asam oleat, sedangkan asam lemak yang jumlahnya paling sedikit adalah asam palmitoleat dan asam linoleat. Komponen minor yang terdapat dalam minyak sawit terdiri dari karotenoid (pigmen yang membentuk warna oranye), tokoferol dan tokotrienol (sebagai antioksidan), sterol, triterpenic dan alifatik alkohol (Chin 1979). Adanya karotenoid, tokoferol, dan tokoterienol menyebabkan tingginya stabilitas oksidasi dan nilai gizi minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya (Hui 1996). Minyak sawit yang diperoleh dari hasil ekstraksi daging buah kelapa sawit merupakan minyak sawit kasar (Crude Palm Oil). Untuk memperoleh minyak goreng (minyak makan) maka perlu dilakukan proses lebih lanjut yaitu netralisasi (pemisahan gum), dekolorisasi (pemucatan), dan deodorisasi (penghilangan bau), yang disebut minyak RBDPO (Refined Bleached Deodorized Palm Oil) serta 6 fraksinasi (Ketaren 1986). Secara umum proses pemurnian minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 2. CPO Degumming Netralisasi Bleaching Deodorisasi RBDPO Gambar 2 Proses pemurnian minyak Tahap pemisahan gum (degumming) biasanya diawali dengan pengendapan terlebih dahulu. Degumming dilakukan dengan melakukan pemanasan uap beserta absorben atau kadang-kadang menggunakan sentrifusa (Winarno 1997). Proses degumming ini biasanya juga dilakukan dengan menambahkan asam fosfat. Hal ini bertujuan agar gum menggumpal dan pecah kemudian disaring Setelah dilakukan tahap degumming minyak kemudian dinetralisasi. Tahap netralisasi bertujuan untuk memisahkan minyak dari senyawa terlarut seperti pospatida, asam lemak bebas dan hidrokarbon. Lemak dengan kandungan asam lemak bebas tinggi dipisahkan dengan menggunakan uap panas dalam keadaan vakum lalu ditambah alkali. Jika kandungan asam lemak bebasnya rendah maka cukup dilakukan penambahan NaCO3. 7 Tahap pemucatan (Bleaching) bertujuan menghilangkan sebagian zat-zat warna dalam minyak. Hal ini dilakukan dengan menambahkan adsorbing agent seperti arang aktif, tanah liat atau dengan perlakuan reaksi-reaksi kimia. Setelah zat warna terserap kemudian minyak disaring. Tahap terakhir yang dilakukan adalah tahap penghilangan bau (deodorizing). Proses ini bertujuan menghilangkan bau dalam minyak yang akan mempengaruhi penerimaan minyak oleh calon konsumen. Proses ini meliputi penghilangan terhadap senyawa-senyawa aldehid dan keton. Minyak hasil dari serangkaian proses diatas disebut RBDPO (Refined Bleached Deodorized Palm Oil). Setelah minyak RBDPO didapatkan, tahap perlakuan selanjutnya adalah tahap fraksinasi. Tahap fraksinasi merupakan tahap pemisahan fraksi yang terdapat dalam minyak RBDPO. Terdapat 2 jenis fraksi dalam minyak RBDPO yaitu fraksi olein dan fraksi stearin. Fraksi olein akan diolah lebih lanjut menjadi minyak goreng (minyak makan) dan fraksi stearin akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan margarin. Gunstone et al. (1997) menyatakan bahwa fraksinasi merupakan proses pemisahan bahan dasar secara termomekanik. Proses fraskinasi terdiri dari 2 tahap yaitu proses kristalisasi dan tahap pemisahan fraksi. Tahap kristalisasi dilakukan dengan cara mengatur kondisi suhu (biasanya pada suhu rendah) dan tahap pemisahan fraksi dilakukan dengan cara penyaringan. Pada dasarnya, fraksinasi merupakan suatu teknik pemisahan minyak berdasarkan titik leleh minyak dimana tiap jenis minyak memiliki karakteristik titik leleh yang berbeda-beda. Proses fraksinasi dilakukan untuk beberapa alasan seperti penghilangan komponen minor yang dapat merusak produk, dan pemisahan menjadi beberapa fraksi yang memiliki nilai lebih pada suatu minyak (fraksi olein dan stearin). Fraksinasi yang dilakukan secara berulang (double fractionation) akan menghasilkan fraksi minyak yang lebih beragam untuk diaplikasikan ke dalam berbagai produk pangan (Gunstone et al. 1994). 8 Gliserol Gliserol adalah suatu senyawa yang terdiri dari 3 gugus hidroksil (-OH) yang berikatan pada masing-masing 3 atom karbon (C) sehingga gliserol sering disebut dengan gula alkohol. Nama perdagangan dari gliserol adalah gliserin. Keberadaan gugus hidroksil ini menyebabkan gliserol memiliki sifat larut air atau yang lazim disebut hidrofilik. Gliserol memiliki rumus kimia C3H8O3 dengan nama kimia Propane 1,2,3-triol dengan bobot molekul 92,10 dan massa jenis 1,261 g/cm3. Gliserol memiliki titik didih 290oC dan viskositas sebesar 1,5 pa. Lindsay (1985) menyatakan bahwa gliserol memiliki sifat mudah larut dalam air, tidak berwarna, dan tidak berbau. Gliserol juga memiliki kekentalan tertentu sehingga jika digunakan bersama bahan pangan dapat meningkatkan viskositas bahan pangan tersebut. Struktur gliserol dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Struktur kimia gliserol Gliserol merupakan senyawa yang telah banyak digunakan di berbagai industri baik itu industri pangan ataupun nonpangan seperti industri kosmetik. Gliserol saat ini sering digunakan sebagai pelarut, pemanis, sabun cair, atau bahkan sebagai bahan tambahan industri bahan peledak. Gliserol juga dapat digunakan sebagai komponen anti beku atau lazim disebut cryoprotectan dan sumber nutrisi pada kultur fermentasi dalam produksi antibiotika. Dalam reaksi interesterifikasi ataupun esterifikasi minyak, gliserol biasanya digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan produk MAG, DAG, ataupun TAG terstruktur. Jika suatu TAG direaksikan dengan gliserol dalam suatu reaksi interesterifikasi, baik itu secara kimiawi atau enzimatis, asam-asam lemak pada triasilgliserol akan terlepas dari struktur gliserolnya dan lalu asam-asam lemak bebas ini akan tersambung pada molekul gliserol lainnya sehingga terbentuk molekul MAG atau DAG. Hal ini pula yang terjadi pada reaksi esterifikasi antara asam lemak dengan gliserol. Fischer (1998) menyatakan bahwa penggunaan 9 gliserol berlebih akan menyebabkan reaksi kesetimbangan menuju ke arah kanan reaksi sehingga akan menghasilkan produk MAG yang cukup tinggi. Interesterifikasi Enzimatis Reaksi interesterifikasi sudah di kenal cukup lama yaitu sejak pertengahan tahun 1800-an. Duffy pada tahun 1852 telah berhasil melakukan reaksi alkoholisis antara tristearin dan etanol. Penggunaan reaksi ini ditujukan untuk jenis minyak/ lemak yang dapat di makan (edible lipids) pertama kali dilakukan oleh Norman pada tahun 1920. akhirnya reaksi ini mulai aplikasikan dalam industri pangan sejak tahun 1940 (Rousseau dan Marangoni,2002). Reaksi interesterifikasi didefinisikan sebagai reaksi dimana terjadi perpindahan gugus ester (asam lemak) dari satu lemak ke lemak lain atau dalam satu lemak tetapi hanya berpindah dari satu ‘junction’ ke ‘junction’ lain atau lepas sama sekali. Dalam reaksi ini akan dihasilkan lemak baru dengan kategori baru atau mungkin lebih baik misalnya MAG dan DAG. Reaksi interesterifikasi dapat dibagi menjadi empat kelas yaitu reaksi asidolisis, alkoholisis, gliserolisis, dan transesterifikasi. Dalam reaksi asidolisis, reaksi terjadi antara lemak dengan asam lemak. Produk yang dihasilkan adalah lemak dengan karakteristik asam lemak yang baru. Reaksi alkoholisis adalah reaksi antara alkohol dan lemak dimana produk yang biasa dihasilkan adalah MAG atau DAG. Reaksi gliserolisis pada prinsipnya sama dengan reaksi alkoholisis hanya saja alkohol diganti dengan gliserol yang sama-sama memiliki gugus hidroksil. Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi antara lemak dengan lemak yang berbeda komposisi asam lemaknya dengan penambahan katalis. Produk yang dihasilkan adalah suatu produk lemak baru dengan karakteristik asam lemak yang baru akibat terjadi distribusi antar asam lemak (Rousseau dan Marangoni 2002). MDAG biasanya diproduksi dengan proses gliserolisis, dimana lemak direaksikan dengan gliserol (Rendon et al. 2001). MDAG dapat disintesis melalui tiga cara (Garcia et al. 1996). Cara pertama berupa esterifikasi sederhana dari asam lemak dan gliserol, cara kedua adalah hidrolisis dari minyak dalam emulsi mikro, dan cara ketiga yang disebut transesterifikasi yaitu berupa reaksi transfer 10 asil antara ester asam lemak/minyak dengan alkohol seperti etanolisis atau gliserolisis. Seluruh proses ini bisa dilakukan dengan menggunakan dua macam katalis yaitu katalis inorganik (bahan kimia) atau katalis organik (enzim lipase). Proses Gliserolisis merupakan reaksi transesterifikasi antara gliserol dan minyak atau lemak. Tahapan reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : Reaksi 1 : H2C COOR1 H2C OH HC COOR2 ++ HC OH H2C OH COOR3 H2C TAG Gliserol COOR1 H2C OH HC OH HC COOR2 H2C OH H2C COOR3 H2C katalis MAG + DAG Reaksi 2 : DAG + Gliserol ↔ MAG Reaksi 3 : TAG + MAG ↔ 2 DAG Reaksi interesterifikasi ini dapat terjadi secara acak ataupun terarah. Secara umum reaksi interesterifikasi dapat terjadi secara batch, semi-continuously, atau continuously. Reaksi ini akan berjalan dengan empat tahapan, yaitu : perlakuan awal minyak, penambahan katalis, terjadi reaksi, dan deaktivasi enzim. Reaksi terjadi secara acak mengikuti hukum kemungkinan hingga komposisi yang terbentuk seimbang. Reaksi ini dapat terjadi pada suhu tinggi ataupun rendah. Secara komersial reaksi berlangsung pada suhu tinggi 249 oC tanpa katalis atau pada suhu lebih rendah dengan penambahan katalis metal alkali. Proses interesterifikasi umumnya dipengaruhi beberapa faktor yaitu suhu, lama pengadukan, jenis substrat, konsentrasi katalis dan perbandingan metanol dan asam lemak (Hui 1996). 11 Penggunaan katalis dalam reaksi interesterifikasi akan berpengaruh terhadap peningkatan laju reaksi yang terjadi. Katalis yang digunakan dalam reaksi interesterifikasi dapat berupa katalis kimia maupun katalis enzimatis. Kedua jenis katalis ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penggunaan katalis kimia saat ini lebih banyak dilakukan dikarenakan katalis kimia memiliki kelebihan antara lain mudah penanganannya, harganya yang murah, mudah dipisahkan, dan dapat digunakan dalam konsentrasi relatif rendah. Walaupun begitu penggunaan katalis kimia memiliki beberapa kekurangan antara lain terjadinya variasi produk yang beragam karena gugus asil terdistribusi dengan acak. Selain itu, Borncsheuer (1995) melaporkan bahwa produk hasil sintesis secara kimiawi memiliki rendemen yang rendah, warna yang gelap, dan flavor yang kurang baik. Penggunaan metode enzimatis saat ini mulai dilirik untuk memperbaiki kekurangan yang terdapat pada penggunaan katalis kimia. Katalis enzimatis saat ini telah diketahui memiliki keunggulan antara lain produk yang dihasilkan tidak memiliki keragaman yang besar. Hal ini disebabkan enzim lipase yang digunakan memiliki kespesifikan tertentu artinya enzim ini akan memotong ikatan antara gliserol dan asam lemak pada titik tertentu (Elizabeth dan Boyle 1997). Kelemahan dari metode ini adalah harga katalis enzimatis murni saat ini umumnya cukup mahal. Hal tersebut saat ini mulai bisa diminimalkan dengan dikembangkannya pembuatan enzim dengan harga yang tidak berbeda jauh dengan katalis kimia. Keuntungan lain pada penggunaan lipase sebagai katalis adalah dalam hal selektifitas substrat, efisiensi katalitik dan kondisi proses yang mild (Zuyi dan Ward 1993). Karakterisasi dan aplikasi produk M-DAG tersebut telah dilakukan oleh Christina (1999), sedangkan penelitian mengenai pemurniannya telah dilakukan oleh Atmadja (2000). Gliserolisis secara enzimatik termasuk reaksi orde 2 (Pecnik dan Knez, 1992) yang melibatkan substrat gliserol dan minyak/lemak atau asam lemak bebas atau ester asam lemak, sehingga rendemen MAG dipengaruhi oleh konsentrasi gliserol dalam sistem reaksi. Faktor lain yang turut berpengaruh terhadap rendemen MAG produk biosintesis antara lain kadar air sistem reaksi, jenis pelarut organik (polaritas pelarut) dan sifat kespesifikan lipase serta faktor-faktor 12 yang berpengaruh terhadap aktivitas lipase, seperti pH, suhu dan konsentrasi substrat. Rendon et al. (2001). Telah menguji teknik rekayasa pelarut untuk melakukan gliserolisis triolein dengan katalis lipase untuk menghasilkan MAG. Dalam penelitiannya dibandingkan tiga sistem reaksi yaitu gliserol diserap dalam silika gel pada pelarut heksan, gliserol bebas pada heksan dan gliserol bebas pada sistem tanpa pelarut (pada seluruh perlakuan ditambahkan 0,1g enzim, 0,25 mmol triolein dan 0,5 mol gliserol, dan reaksi dilakukan pada suhu 40 oC). Heksan dipilih sebagai pelarut karena kelarutannya yang tinggi pada hampir semua trigliserida dan minyak. Pada sistem reaksi tanpa pelarut ternyata dihasilkan monoolein yang lebih tinggi jika dibandingkan pada sistem yang menggunakan heksan. Campuran akhir gliserol dan asilgliserida akan meningkatkan polaritas medium sehingga lingkungan menjadi lebih polar dan akan memperkuat selektivitas sintesis monoolein. Meskipun sistem bebas pelarut memiliki keuntungan dalam sintesis asilgliserida dalam hal produktivitasnya, namun sifat termodinamika sistem tersebut tidak mudah dimanipulasi untuk memperkuat selektivitas reaksi. Dilaporkan pula reaksi yang dilakukan pada heksan dengan gliserol yang terserap pada silika gel menunjukkan tranformasi yang lebih cepat dibandingkan sistem reaksi yang lainnya, dimana kondisi kesetimbangan dicapai setelah 10 jam. Sebaliknya pada gliserol yang tak diserap mencapai kesetimbangan setelah 48 jam untuk reaksi dengan pelarut dan untuk reaksi tanpa pelarut setelah 72 jam. Rendahnya kecepatan reaksi pada sistem tanpa pelarut diduga disebabkan terbatasnya transfer masa. Menurut Kaewthong et al. (2005), proses gliserolisis menggunakan enzim lipase TLIM dengan perbandingan mol 1:3 antara minyak palm olein dengan gliserol menghasilkan produk MDAG dengan komposisi MAG sebesar 24%. Menurut Watanabe et al. (2003), sebelum memulai reaksi gliserol harus diadsorbsi oleh silika gel untuk memperoleh yield yang tinggi dan laju reaksi optimum. Waktu reaksi berpengaruh terhadap kadar MAG dan jenis MAG yang terbentuk. Pada daerah waktu reaksi tertentu, perubahan kadar MAG sebanding dengan perubahan waktu reaksi, diikuti dengan keadaan dimana kadar MAG tidak 13 berubah terhadap waktu dan dikenal dengan istilah waktu dan reaksi kesetimbangan (Myrnes et al. 1995). Lipase sebagai katalis dalam proses gliserolisis dapat diperoleh dari berbagai organisme seperti tanaman, hewan, dan mikroorganisme. Lipase komersial yang tersedia saat ini terutama diperoleh dari mikroorganisme seperti kapang, bakteri dan khamir disamping juga diperoleh dari pankreas hewan. Bakteri yang menghasilkan lipase diantarnya Pseudomonas fluoresens, Chromobacterium viscosum, Staphylococcus sp., Bacillus dan Moraxella. Penghasil lipase dari golongan kapang diantaranya Aspergillus niger, Geotrichum candidum, Humicola (Thermomyces) lanuginosus, Rhizopus delemar, dan lainlain. Lipase bisa juga bersumber dari khamir seperti Candida rugosa, Candida cylindracea, Candida curvata, Saccharomyces carlbergiensis, dan jenis khamir lainnya (Listyorini 2003). Aplikasi lipase telah dilakukan oleh beberapa peneliti untuk menghasilkan berbagai produk turunan atau produk modifikasi minyak/lemak. Produk-produk hasil reaksi menggunakan lipase tersebut antara lain MAG yang bersifat anti bakteri dari minyak kelapa (Mappiratu 1999; August 2000), DAG sebagai minyak makan (Watanabe et al. 2002), ester asam lemak untuk flavor (Babali et al. 2001), surfaktan sorbitan koleat (Xu et al. 2002), lemak coklat dari minyak sawit (Satiawiharja et al. 1999), TAG kaya asam lemak omega-3 (Elisabeth 1997), produk makanan bayi yang kaya kandungan asam palmitat pada posisi 2 (Quinlan dan Moore 1993), trigliserida kaya DHA (Irimescu et al. 2001), butil oleat untuk aditif biodesel (Linko et al. 1995) dan lain-lain. Enzim lipase didefinisikan sebagai protein yang memiliki aktivitas katalisis terhadap reaksi hidrolisis dan sintesis ikatan ester pada lemak dan turunannya. Menurut sistem International Union of Biochemistry (IUB), enzim lipase diklasifikasikan sebagai enzim hidrolase dengan nama sistematiknya gliserol ester hidrolase (EC 3.1.1.3), yang menghidrolisis gliserida menjadi asam lemak bebas, gliserida parsial (MAG atau DAG), dan gliserol. Enzim lipase mempunyai gugus polar dan nonpolar. Pada lingkungan aqueous gugus nonpolar (hidrofobik) berada di bagian dalam struktur enzim dan gugus polar (hidrofilik) 14 berada diluar, dan sebaliknya jika lingkungan merupakan lingkungan nonaqueous (August, 2000). Beberapa cara telah digunakan untuk mempertinggi efisiensi katalis lipase pada sistem dua fase. Dalam metode hidrolisis konvensional substrat lipofilik atau ester lipofilik terlarut dalam fase organik, sementara enzim terlarut pada fase aquaeus. Reaksi tersebut berjalan lambat dan dipengaruhi oleh pH dan kecepatan agitasi. Mori et al. (2001) menemukan bahwa lipase yang diselubungi dengan lipida dapat menjadi katalis hidrolitik dalam sistem dua fase aquaeus organik yang sangat efisien. Dilaporkan lipase yang diselubungi lipida bisa mempercepat aktivitas hidrolisis baik dalam kondisi aquaeus maupun organik 40 sampai 100 kali dan aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh pH dan kecepatan agitasi. Jensen et al. (1990) menyatakan bahwa spesifitas enzim dipengaruhi oleh sifat fisiko kimia enzim dan substrat, seperti pH, suhu, jenis pelarut, modifikasi fisik atau kimia dan sumber enzim. Jensen mengklasifikasikan spesifitas enzim ke dalam enam jenis yaitu spesifitas posisi, stereospesifitas, spesifitas asam lemak, spesifitas alkohol dan spesifitas gabungan. Sedangkan Van Camp et al. (1998), menyatakan bahwa selektifitas dan spesifitas lipase sangat tergantung pada kondisi yang diterapkan selama proses seperti Aw, pH, suhu, tipe pelarut, pilihan kosubstrat dan imobilisasi. Penggunaan enzim lipase sebagai katalis pada proses gliserolisis untuk menghasilkan MAG sudah banyak dilakukan dan memberikan hasil yang jauh lebih baik daripada dengan katalis kimia. Hanya saja secara ekonomis penggunaan katalis enzim lipase lebih mahal (Kaewthong et al. 2005). Untuk mengatasi masalah ini enzim lipase digunakan pada fase amobil sehingga dapat digunakan berulang-ulang dan memungkinkan untuk diaplikasikan pada proses kontinyu. Lipase telah diterima secara luas sebagai biokatalis untuk memodifikasi minyak dan lemak. Tetapi penggunaannya untuk skala besar masih agak terbatas karena alasan ekonomis dimana lipase memiliki harga yang mahal. Dengan perkembangan teknologi peneliti dari Novozymes A/S, Bagsvaerd, Denmark telah berhasil memproduksi Lipase TLIM yang diklaim sebagai enzim yang harganya murah secara signifikan. Lipase imobil ini kemudian dikomersialisasi untuk 15 memenuhi kebutuhan produksi komoditas minyak dan lemak khususnya margarin (Xu et al 2002). Menurut Christensen et al. (2001), Lipozyme TLIM berasal dari mikroorganisme Thermomyces (sebelumnya Humicola) lanuginosus. Lipozyme TLIM memiliki harga yang relatif murah dibandingkan enzim jenis lain karena pembuatannya menggunakan teknologi granulasi. Konsentrat cairan lipase dari Thermomyces lanuginosus disemprotkan pada butiran silika kemudian diaduk rata dan ditambahkan dekstrin serta selulosa sebagai pengikat. Efek mekanis dari pengadukan memperbesar ukuran partikel silika menjadi granula yang bersifat kompak dan dapat digunakan sebagai enzim imobil setelah dikeringkan. Granula lipase yang sudah kering sangat stabil pada larutan organik tetapi dapat larut dalam air dan terjadi pemisahan silika. Untuk itu dalam penggunaan enzim TLIM harus dihindari kontak dengan air. Menurut Rendon et al. (2001), untuk memperoleh hasil optimal dalam reaksi gliserolisis dengan menggunakan enzim TLIM sebaiknya terlebih dahulu dilakukan pencampuran antara gliserol yang akan digunakan dengan silika gel. Agar penyerapan gliserol dalam silika gel optimal pencampuran kedua bahan dilakukan dengan perbandingan 1:1, kemudian diaduk secara merata sampai campuran ini homogen. Menurut Xu et al. (2002), suhu sangat mempengaruhi derajat reaksi yang menggunakan enzim TLIM sebagai katalis. Pada reaksi batch, derajat reaksi baru akan stabil jika suhunya diatas 55˚C. Suhu optimum untuk enzim TLIM berkisar antara 60-90˚C dan konsentrasi katalis yang dapat digunakan berkisar antara 214% (Berben et al. 2000). Menurut Christensen et al. (2001), Pada proses pembuatan margarin melalui proses interesterifikasi antara palm stearin dan minyak kelapa dengan katlis enzim TLIM hasil terbaik diperoleh pada suhu 65˚C, konsentrasi enzim 10% dengan waktu reaksi 6 jam. Nilai ini pun tetap signifikan ketika diterapkan pada proses scale up produksi dari 1 kg sampai 300 kg dengan metode batch. Selain itu enzim dapat dipakai berulang-ulang sampai 10 kali pemakaian. 16 Emulsifier Mono-Diasilgliserol (MDAG) Konsumsi produk pangan hasil industri pengolahan pangan telah mengalami peningkatan di dalam masyarakat modern saat ini. Beragam produk telah banyak diproduksi oleh industri pangan. Produk-produk campuran minyakair atau sering disebut dengan produk emulsi seperti es krim, santan, margarin, mayonnaise, dan lain sebagainya memerlukan bahan tambahan tertentu untuk menjaga kestabilan emulsi dalam produk. Suatu produk dengan tingkat kestabilan emulsi yang tinggi akan memiliki penampakan yang baik dan bertahan dalam waktu yang cukup lama. Hal ini menjadi salah satu faktor penting yang harus di perhatikan dalam membuat suatu produk emulsi. Penggunan bahan tambahan pangan yang sesuai dengan karakteristik produk pangan merupakan salah satu cara untuk menciptakan produk yang berkualitas tinggi. Bahan tambahan pangan yang sering digunakan oleh industri pangan adalah emulsifier dan surfaktan yang merupakan produk turunan dari olahan lemak dan minyak atau asam lemak yang bersifat lebih alami. Kedua bahan tersebut memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembuatan suatu produk pangan terutama proses pengolahan pangan yang berhubungan dengan emulsi. Selain mendukung kesetabilan emulsi, emulsifier juga dapat berperan sebagai agen pengkompleks pada produk pangan yang mengandung pati atau untuk memodifikasi kristal pada lemak. Emulsifier atau zat pengelmusi didefinisikan sebagai senyawa yang mempunyai aktivitas permukaan (surface-active agents) sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan (surface tension) antara udara-cairan dan cairan-cairan yang terdapat dalam suatu sistem makanan. Kemampuannya menurunkan tegangan permukaan menjadi hal menarik karena emulsifier memiliki struktur kimia yang mampu menyatukan dua senyawa yang berbeda polaritasnya. Produk emulsifier ini dapat berfungsi untuk (1) meningkatkan stabilitas emulsi, (2) memodifikasi tekstur, umur simpan dan sifat reologi dengan membentuk kompleks antara protein dan lemak, (3) memperbaiki tekstur makanan yang berbasis lemak dengan pengontrolan polimorifisme lemak (Krog 1990). Emulsifier yang digunakan oleh industri pangan dapat terbuat secara alami, hasil sintesis, atau modifikasi secara kimia atau biologi. 17 Emulsifier dapat diklasifikasikan dengan beberapa cara yaitu menurut muatan, nilai HLB (hidrofilik-lipofilik balance), kelarutan, dan gugus fungsionalnya. Berdasarkan muatannya, emulsifier diklasifikasikan sebagai emulsifier ionik, non ionik, dan amfoterik. Emulsifier kationik adalah emulsifier yang memiliki muatan positif pada sisi aktif molekulnya seperti asam phospatida pada lesitin, sedangkan emulsifier aninonik memiliki muatan negatif pada sisi aktif molekulnya. Emulsifier amfoterik memiliki gugus anion maupun kation sehingga sifat surface activenya tergantung pada pH misalnya lesitin dan elmusifaier non ionik merupakan emulsifier yang tidak memiliki muatan ion serta tidak larut dalam air karena ikatan kovalennya. Emulsifier memiliki hubungan erat dengan produk yang digunakan, salah satunya adalah dalam memilih elmusifier untuk diaplikasikan pada suatu produk harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti muatan emulsifier, nilai pH, nilai hidrofilik-lipofilik balance (HLB), titik leleh, sinergisme dan kompetisi elmusifier, jenis sistem emulsi oil in water (o/w) dan water in oil (w/o). Mono-diasilgliserol (MDAG) adalah emulsifier yang pertama kali digunakan dalam produk pangan. Pada mulanya emulsifier ini digunakan pada pembuatan margarin dan shortening untuk produk pastry. Setelah mulai diperkenalkan pada tahun 1933, MDAG mulai ditambahkan pada cake shortening dan menyebabkan peningkatan aerasi dan karakteristik kriming pada cake sehingga cake yang dihasilkan memiliki tekstur yang lebih empuk. Pada tahuntahun berikutnya MDAG mulai diperkenalkan untuk diaplikasikan pada pembuatan produk roti. Hak paten untuk produk MDAG diberikan oleh pemerintah Amerika pertama kali pada tahun 1938 yang mengilustrasikan bahwa penggunaan emulsifier sangat penting terutama untuk emulsifikasi dalam pembuatan margarin. MDAG pada masa sekarang ini tetap saja merupakan emulsifier yang paling banyak digunakan di industri pangan dimana penggunaanya meliputi 70% dari seluruh penggunaan emulsifier. Bahan tambahan makanan ini dibutuhkan oleh hampir semua jenis pengolahan produk pangan. Penggunaan paling besar adalah untuk produk bakeri, campuran bahan, margarin, dan makanan beku. Karakter lipofilik dari produk ini menyebabkan MDAG merupakan emulsifier 18 yang sangat tepat untuk digunakan pada pembuatan margarin. MDAG diproduksi pada tiga macam tingkat konsentrasi MAG yaitu 40-46% α-monogliserida; 52% α-monogliserida dan monogliserida destilasi atau yang mengandung 90% monogliserida. Kualitas MDAG akan semakin baik jika kadar monoasilgliserol semakin tinggi (O’ Brien 1998). Menurut Kamel (1991) dan Zielinski (1997), MDAG merupakan emulsifier yang paling banyak digunakan dengan status GRAS (Generally Recognized As Safe) atau aman untuk dikonsumsi. MAG terdapat sebagai isomer 1-asil atau 2-asil. DAG terdapat sebagai 1,2- dan 2,3- serta 1,3- diasil ester. Pada skala industri, MAG telah banyak diproduksi dengan menggunakan metode interesterifikasi minyak degan gliserol (gliserolisis) yang merupakan hasil samping dari pembuatan metil ester. Reaksi gliserolisis ini dilakukan pada suhu 180-230˚C dengan penambahan katalis alkali (Gunstone et al. 1994). Modifikasi lemak dan minyak juga dapat dilakukan dengan menggunakan enzim lipase. Suhu yang digunakan lebih rendah dibandingkan dengan cara gliseriolisis. Bentuk struktur kimia MAG dan DAG dapat dilihat pada Gambar 4. O ║ H2C – O – C – R1 │ HC – OH │ H2C – OH MAG O ║ H2C – O – C – R1 │ HC – OH O │ ║ H2C – O – C – R2 DAG Gambar 4 Struktur kimia MAG dan DAG MAG merupakan komponen yang tersusun oleh satu rantai asam lemak yang diesterifikasikan ke rantai gliserol, sehingga MAG memiliki bagian gugus hidroksil bebas, yang merupakan gugus hidrofilik dan gugus ester asam lemak yang merupakan gugus lipofilik. Karena sifat afinitas gandanya atau sering disebut amphifilik tersebut, MAG dapat digunakan sebagai emulsifier. MAG dengan satu gugus asam lemak dan dua gugus hidroksil bebas pada gliserol membuatnya bersifat seperti lemak dan air. MAG sendiri merupakan emulsifier 19 yang bersifat non-ionik dan tidak terlalu sensitif pada kondisi asam dan cara kerjanya sebagai emulsifier adalah dengan menurunkan tegangan permukaan antara dua fase kemudian menstabilkan produk (Hui, 1996). MAG mengandung dua gugus yang bersifat polar dan satu gugus yang bersifat non polar atau mengandung gugus hidrofilik dan hidrofobik. Adanya kedua gugus tersebut menyebabkan MAG berfungsi sebagai pengemulsi dan digolongkan sebagai bahan aditif pangan. Gugus hidrofobik MAG dalam campuran yang tidak saling melarut berorientasi pada fase organik (fase non polar), sedangkan gugus hidrofilik berorientasi pada fase air atau fase polar. Orientasi kedua gugus tersebut menyebabkan campuran yang tidak saling melarut nampak terpisah satu terhadap yang lain (membentuk emulsi) (Mappiratu 1999). MAG dalam industri pangan digunakan sebagai pengemulsi pada pengolahan margarine, mentega kacang (peanut butter), whitener, puding, roti, biskuit dan kue-kue kering berlemak lainnya (Igoe dan Hui 1996). Twillman dan White (1998) melaporkan MAG memperbaiki reologi adonan dan memperpanjang masa simpan tekstur (textural shelf life) tortila jagung. MAG dalam adonan bereaksi dengan amilopektin membentuk senyawa kompleks yang berfungsi memperbaiki adonan, volume dan tekstur roti serta memperpanjang masa simpan produk roti (Mappiratu 1999). Menurut Sanches et al. (1995), lemak rendah kalori dapat mensubtitusi 35% lemak dalam adonan dengan adanya pengemulsi mono dan diasilgliserol pada tingkat kepekatan 0,5%. Rahman (1997) menemukan tepung singkong dapat mensubtitusi tepung terigu sampai 40% pada penambahan 1% gliseril monostearat. Diasilgliserol (DAG) sudah terdapat secara alami di dalam berbagai macam minyak dan lemak edibel sebagai komponen minor. DAG dikenal sebagai blooming agent pada cocoa butter dan sebagai substrat dalam sentesis lemak terstruktur. Beberapa studi pada sifat nutrisi dan efek konsumsi DAG menyebutkan bahwa DAG memiliki sifat yang berlawanan dengan trigliserida (TAG), dimana memiliki kemampuan untuk menurunkan konsentrasi serum TAG dalam darah sehingga dapat menurunkan berat badan dan mereduksi lemak (Watanabe et al. 2003). 20 Proses pengolahan minyak (TAG) menjadi MAG dan DAG akan mengubah beberapa sifat atau karakteristik dari minyak seperti titik leleh, jumlah ikatan rangkap, komposisi asam lemak, kemampuan emulsifikasi dan lain sebagainya. Pada dasarnya, perubahaan karakteristik minyak tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan produk turunan yang dapat digunakan pada berbagai macam pengolahan pangan maupun nonpangan. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan karakteristik produk turunan minyak sawit adalah komposisi asam lemak yang terkandung di dalamnya. Karakteristik antara suatu asam lemak dengan asam lemak lain cukup beragam. Minyak dan lemak dari sumber tertentu mempunyai ciri khas yang berbeda dengan minyakdan lemak dari sumber lainnya. Perbedaan ini tergantung pada komposisi dan distribusi asam lemak pada molekul TAG. Komposisi termasuk pada bentuk rantai, kejenuhan dan tidak jenuhan serta distribusi asam lemak pada molekul gliserol akan sangat mempengaruhi sifat-sifat lemak dan minyak baik fisik maupun kimia. Titik leleh suatu lemak atau minyak dipengaruhi oleh sifat asam lemaknya, yaitu daya tarik antar asam lemak yang berdekatan dalam kristal. Gaya ini ditentukan oleh panjang rantai C, jumlah ikatan rangkap, dan bentk cis atau trans pada asam lemak tidak jenuh. Semakin panjang rantai C, titik lelehnya akan semakin tinggi, misalnya asam butirat (C4 ) memiliki titik leleh -7,9˚C sedangkan asam stearat (C18) memiliki titik leleh 64,6˚C. titik leleh menurun dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap dikarenakan ikatan antarmolekul asam lemak tidak jenuh kurang kuat. Bentuk trans pada asam lemak akan menyebabkan lemak mempunyai titik leleh yang lebih tinggi dibandingkan bentuk cis (Winarno 2002). Perbedaan komposisi gliserida serta nilai rendemen dari produk MDAG hasil reaksi gliserolisis tergantung pada beberapa faktor seperti rasio minyak dengan gliserol, suhu dan waktu reaksi, serta tekanan yang digunakan (Gunstone et al. 1994). Pada umumnya, tujuan yang ingin dicapai adalah memproduksi MAG dalam jumlah yang maksimal dan meminimalisasi kadar TAG yang terkandung di dalamnya. Emulsifier MDAG dapat berupa ester yang padat dan mempunyai titik leleh tinggi, ester yang berbentuk cair pada suhu ruang, maupun ester berbentuk 21 plastis yang bersifat antara bentuk padat dan cair (O’Brien 1998). Ketiga jenis emulsifier tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis asam lemak penyusunnya. Semakin banyak asam lemak yang yang mengandung ikatan rangkap dan semakin tidak jenuhnya asam lemak penyususnnya, maka bentuk emulsifier akan semakin lunak. Emulsifier dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai HLB (HydrophilicLipophilic Balance). Nilai tersebut menunjukan ukuran keseimbangan dan regangan gugus hidrofilik (menyukai air atau polar) dan gugus lipofilik (menyukai minyak atau nono polar) dari dua fase yang di emulsikan. Emulsifier yang mempunyai nilai HLB rendah biasanya diaplikasikan ke dalam produk emulsi water in oil (wlo), sedangkan emulsifier dengan nilai HLB tinggi sering digunakan dalam produk emulsi oil in water (o/w) (O’Brien 1998). Klasifikasi emulsifier berdasarkan nilai HLB-nya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai HLB dan aplikasinya Nilai HLB Aplikasi 3-6 Emulsifier w/o 7-9 Wetting agent 8-18 Emulsifier o/w 13-15 Detergen 15-18 Stabilizer Sumber : Becker (1983) Menurut Stauffer (1996), emulsifier dengan nilai HLB 2,0 sampai 6,5 cocok untuk emulsi w/o, sedangkan nilai HLB 8,5 sampai 16,5 cocok digunakan pada sistem emulsi o/w. Lebih jauh, Kamel (1991) menyatakan bahwa emulsifier yang baik digunakan untuk stabilitas emulsi adalah yang mempunyai nilai HLB 3,5 sampai 12,0 karena diluar kisaran tersebut, laju koalesen akan meningkat pesat. Nilai HLB yang terlalu ekstrim menyebabkan emulsifier hanya akan larut dalam fase kontinyu (Hassenhuettl 1997). MAG diklasifikasikan sebagai emulsifier lipofiflik, dan memiliki kisaran nilai HLB antara 3,7 sampai 9,2. Variasi ini disebabkan oleh grup substitusi yang teresterifikasi (Dziezak, 1988). Menurut Kamel (1991) terdapat korelasi antara nilai HLB dengan kelarutan emulsifier dalam aquades seperti terlihat pada Tabel 3, yang 22 memperlihatkan bahwa apabila emulsifier semakin tidak larut dalam air, nilai HLB tersebut semakin rendah dan semakin bersifat lipofilik. Tabel 3 Korelasi nilai HLB dengan kelarutan emulsifier Kelarutan emulsifier dalam air Nilai HLB Tidak larut dalam air 1–4 Terdispersi sangat sedikit (poor dispersion) 3–6 Dispersi keruh setelah didispersi dengan cepat 6–8 Dispersi keruh stabil 8 – 10 Dispersi jernih atau bening 10 – 13 Larutan bening >13 Sumber: Kamel (1991) 23