BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjuan Pustaka 1. Pneumonia a

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjuan Pustaka
1. Pneumonia
a. Pengertian
WHO (2003, dalam Anung, 2012) mendifinisikan bahwa pneumonia adalah
penyakit infeksi akut yang menyerang pada paru dengan gejala batuk, sulit
bernapas, napas cepat yang sering terjadi pada anak.
Pneumonia merupakan penyakit yang banyak ditemukan di negara berkembang
dan paling banyak menyerang pada anak umur di bawah lima tahun. Bayi dengan
pneumonia yang tidak memiliki gejala spesifik akan sulit untuk menegakan
diagnosis (WHO, 2008).
Definisi lain menyebutkan bahwa pneumonia adalah penyakit radang paru
disertai eksudasi dan konsolidasi (Dorland, 2002)
b. Gejala klinis
Gejala klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada tingkat berat dan
ringannya infeksi. Pada infeksi umum gejala yang muncul biasanya demam, sakit
kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan. Keluhan gastrointestinal seperti
mual, muntah atau diare, kadang-kandang ditemukan serta gejala infeksi
sektrapulmoner. Gejala respirasi berupa sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis (Said 2008, dalam Rahajoe et al.,
2008).
c. Klasifikasi Pneumonia
1) Berdasarkan umur
Dalam penentuan klasifikasi penyakit pneumonia dibedakan atas dua
kelompok umur yaitu:
a) kelompok umur 2 bulan sampai dengan kurang dari 5 tahun, dibagi atas
pneumonia berat, pneumonia, dan bukan pneumonia.
(1) Pneumonia berat: didapatkan tanda seperti Tarikan Dinding Dada
bagian bawah Ke dalam (TDDK).
(2) Pneumonia: terdapat gejala napas cepat, tidak ada TDDK. Kecepatan
napas diklasifikasikan sessuai umur yaitu: pada umur 2 bulan sampai
12 bulan napasnya kurang dari 50x/mnt, untuk anak yang umur 1
tahun sampai kurang dari 5 thn napasnya lebih dari 40x/mnt.
(3) Bukan pneumonia: tidak ada TDDK, tidak ada nafas cepat.
b) Kelompok umur kurang dari 2 bulan klasifikasi dibagi atas: pneumonia
berat dan bukan pneumonia.
(1) Pneumonia berat: ditandai dengan gejala napas cepat lebih dari
60x/mnt atau ada TDDK yang kuat.
(2) Bukan pneumonia: tidak ada tanda napas cepat atau tidak ada tanda
TDDK (Anung, 2012).
d. Faktor risiko pneumonia
Risiko yang berhubungan dengan pneumonia terbagi atas dua kelompok besar
yaitu intrinsik dan ekstrinsik. intrinsik meliputi status gizi, usia, status imunisasi,
pemberian ASI. Faktor ekstrinsik meliputi kepadatan tempat tinggal, ventilasi, jenis
lantai, pencahayaan, kepadatan hunian, kelembaban, pencahayaan rumah, jenis
bahan bakar, penghasilan keluarga, dan juga keluraga yang merokok (Greenberg &
Leibovitz, 2005 dalam Rachmawati, 2013). Penelitian tentang
risiko yang
berhubungan dengan kejadian pneumonia pada Balita di Puskesmas Mijen
Semarang menyatakan bahwa Balita yang menderita pneumonia kebanyakan dari
keluarga yang punya bapak perokok (Rachmawati, 2013).
1) Faktor intrinksik
a) Usia
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pnuemonia sering mengenai
anak usia di bawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun dan jarang
menemukan penyakit ini pada anak usia lebih lanjut (Hidayati, 2009). Hal
ini di dukung oleh penelitian lain yang menyebutkan bahwa bayi dan Balita
yang menderita pneumonia akan memberikan gambaran klinis yang lebih
jelek dibandingkan dengan orang dewasa, hal tersebut disebabkan karena
bayi dan anak Balita belum memiliki kekebalan sempurna (Alsagaff dan
Mukty, 2009).
b) Status gizi
Keputuhan gizi yang kucup sangatlah penting bagi anak untuk proses
pertumbuhan dan sistem kekebalan tubuhnya, apabila anak mengalami
kekurangan gizi akan menyebabkan pertumbuhannya terganggu bagitu juga
dengan kekebalan tubuhnya, sehingga anak rentan terkena penyakit infeksi
(Hidayati, 2009).
c) Status imunisasi
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada
Balita umur 5 - 9 bulan. Namun karena kekebalan ini hanya bersifat
sementara maka Balita diperlukan imunisasi untuk mempertahankan
kekebalan yang ada pada Balita (Depkes RI, 2004).
Menurut Kemenkes RI (2011) dikategorikan ambang batas status gizi anak
umur 0 sampai dengan 60 bulan berdasarkan Berat Badan (kg) menurut Umur
(bulan) dengan membagi:
(1) Gizi kurang jika kurang dari -3 SD
(2) Gizi kurang jika nilai -3 SD sampai dengan kurang dari -2 SD.
(3) Gizi baik jika -2 SD sampai dengan 2 SD
(4) Gizi lebih jika lebih dari 2 SD.
d) Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Air susu ibu adalah air susu yang alami diproduksi oleh ibu dan
merupakan sumber gizi yang sangat ideal dan berkomposis seimbang sesuai
dengan kebutuhan pertumbuhan bayi, dan hal yang terpenting adalah dalam
air susu ibu mengandung Antibody sebagai sumber terpenting yang tidak
terdapat pada susu formulir maret apapun, antibody tersebut sangat penting
untuk melindungi anak mencegah dari penyakit infeksi, namun pada bayi
yang tidak mendapatkan ASI eklusif memiliki probabilitas terkena
peneumonia sebersar 71% (Sugihartono dan Nurjazuli 2012).
2)
Faktor Ekstrinsik
a) Pendapat keluarga
Penelitian oleh Hannah et al.,(2010) menyebutkan bahwa pendapatan
keluarga berhubungan dengan kejadian pneumonia oleh karena bila
pendapatan keluarga rendah menyebabkan penyediaan fasilitas perumahan
berkurang, perawatan kesehatan dan gizi anak tidak memadai, sehingga anak
yang gizinya kurang akan menyebabkan daya tahan tubuhnya berkurang,
dan anak akan rentan terkena penyakit infeksi.
b) Jenis lantai
Hasil penelitian oleh Tulus (2008) menunjukkan bahwa jenis lantai
rumah mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia.
Anak yang tinggal di lantai terbuat dari tanah memiliki prevalensi nilai OR =
3.9 kali lebih besar terkena penyakit pneumonia dibangdingkan anak yang
tinggal dilantai terbuat dari semen atau berubin. Hubungan jenis lantai
dengan kejadian pnuemonia pada Balita bersifat tidak langusng, artinya jenis
lantai yang kotor atau lantai yang berbuat dari tanah cenderung
menimbulkan kelembaban, dan kelambaban ini dapat menpengaruhi kuman
berkembangbiak, sehingga anak yang sering bermain di lantai akan mudah
terjadi infeksi pneumonia.
c) Jenis bahan bakar
Anak yang tinggal dalam keluarga yang menggunakan jenis bahan bakar
kayu
cenderung
memiliki
risiko
lebih
tinggi
terkena
pneumonia
dibandingkan anak yang tinggal di keluarga yang menggunakan bahan bakar
jenis gas. Hal ini disebabkan karena bahan bakar jenis kayu mengeluarkan
asap. Asap ini apabila tidak mudah keluar dari rumah maka akan
menimbulkan polusi udara dalam rumah. Sehingga akan menggangu sistem
pernafasan seseorang terutama Balita. Dan menyebabkan anak Balita mudah
terkena pneumonia (Tulus, 2008).
d) Ventilasi rumah
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara
kotor secara alamiah atau mekanis (Keman, 2004). Penelitian menurut
Winslow (2006) dalam Tulus (2008) menpersyaratan rumah sehat sebagai
berikut:
(1) Memenuhi kebutuhan physiologis dengan pencahayaan yang cukup, baik
cahaya alam maupun buatan. Pencahayaan yang memenuhi syarat sebeser
60 - 120 lux. Luas jendela yang minimal 10% - 20% luas lantai. Rumah
yang mempunyai ventilasi yang cukup untuk proses pergantian udara
dalam ruangan. Kualitas udara dalam rumah yang memenuhi syarat adalah
bertemperatur ruangan sebeser 180 - 300 C dan kelambaban udara sebesar
40% - 70%. Rumah yang tidak terganggu oleh suara yang berasal dari
dalam maupun dari laur rumah. Cukup tempat bermain anak- anak dan
untuk belajar.
(2) Memenuhi kebutuhan psikologis: tiap anggota keluarga terjamin
ketenangannya dan kebebasannya. Rumah yang mempunyai ruang tempat
berkumpul keluarga, lingkungan sesuai, jumlah kamar tidur dan
pengaturannya sesuai dengan umur dan jenis kelamin. Ukuran tempat
tidur anak umur di bawah 5 tahun minimal 4.5 m2 dan yang lebih dari 5
tahun minimal 9 m2. Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar
tidur dibagi jumlah penghuni (sleeping density), yaitu
(a) Baik, bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7.
(b) Cukup, bila kepadatan antara 0,5 - 0,7.
(c) Kurang, bila kepadatan kurang dari 0,5.
e. Etiologi pneumonia
Mikroorganisme penyebab pneumonia pada neonatus dan bayi berupa
streptococcus group B, Bakteri gram negatif seperti E. coli, pseudomonas sp, atau
Klebsiela sp dan yang paling banyak ditemukan adalah infeksi dari bakteri
streptococcus pneumonia, virus haemophillus influenza tipe B, dan staphylococcus
aureus, namun pada anak yang lebih besar dan remaja selain bakteri tersebut juga
sering ditemukan infeksi dari Mycoplasma pneumonia (Said, 2008 dalam Rahajoe et
al., 2008).
f. Diagnosis pneumonia
Diagnosis dari pneumonia umumnya ditentukan berdasarkan anamnesis, gejala
klinis, pemeriksaan fisik, foto thorak, dan uji labotorium. Gejala klinis yang dapat
menentukan diagnosis pneumonia berupa batuk, sesak napas, napas cepat dengan
meningkatkan frekuensi napas. Uji labotorium diperiksa dengan uji serologi atau
pengambilan sempel dari saluran pernapasan. Apabila dijumpai sejumlah sel darah
putih menunjukkan ada tanda peradangan pada paru, untuk tanda inflamasi akut
dijumpai C-reaktif protein (Langley dan Bredley, 2005).
Pada anak Balita diagnosis berdasarkan gejala klinis dengan tanda-tanda yang
sederhana seperti sulit bernafas, batuk, dan disertai nafas cepat yang sesuai dengan
umur. Kecepatan napas pada Balita dapat ditentukan dengan cara menghitung
frekuensinya. Tingkat pernapasan (respiratory rate) diukur dengan cara pengamatan
dari dinding thorak atau dengan auskultasi suara memakai stetoskop selama satu
menit. Nilai serangan pernapasan per menit (ripm) diklasifikasikan oleh organisasi
kesehatan dunia (WHO) berdasarkan usia. Pada bayi usia 0 sampai 2 bulan nilai RR
sama dengan 50 ripm, pada usia 2 sampai 6 bulan RR sama dengan 60 ripm.
Auskultasi suara napas dianggap abnormal bila dijumpai suara vesikular murmur,
krakals, ronki dan suara mengi (WHO, 2008). Gold standart diagnosis pneumonia
pada Balita digunakan pemeriksaan foto thorak, apabila terdapat daerah yang keruh
dan efusi pleura pada paru menunjukkan kemungkinan diagnosis pneumonia bakteri
yang mungkin disebabkan oleh kuman pneumococcus atau haemophilus influenza.
Gambaran infiltrat intertisial paru biasanya bukan karena penyebab dari bakteri,
namun di negara berkembang belum ada metode yang aman tersedia untuk
diagnosis pneumonia berdasarkan etiologinya, sehingga test radiologi merupakan
pilihan utama yang digunakan untuk diagnosis pneumonia (Puumlainen et all,,
2008).
Tanda bahaya pneumonia pada anak bayi di usia 2 sampai 5 tahun biasanya tidak
dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi kurang. Pada bayi usia
kurang dari dua bulan tanda bahaya apabila bayi tersebut tidak dapat minum,
kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam atau terasa dingin. Selain itu
pusat pengendalian penyakit dan pencegahan pneumonia nosokomial dapat
mendiagnosis pneumonia berdasarkan dua golongan umur (Langley dan Bradley,
2005) yaitu:
1) Umur Bayi yang Kurang dari 12 Bulan
a) Diagnosis tanpa foto thorak harus ada gejala minimal dua dari tanda berikut
(sesak nafas, takipnea, bradycardia, mengi, ronki, atau batuk) dan salah satu
dari berikut ini:
(1) Peningkatan produksi sekret pernapasan.
(2) Baru timbulnya sputum purulen atau perubahan karakter sputum.
(3) Organisme yang diisolasi dari kultur darah atau diagnostik tunggal-titer
antibody (immunoglobulin IgM atau peningkat 4x IgG dalam serum).
(4) Terdapat patogen dari specimen yang diperoleh dari penghisapan
trantracheal, bronchial, atau biopsi.
(5) Terdapat virus atau antigen viral dari skresi pernapasan.
(6) Terdapat bukti pneumonia secara histopatologi.
b) Diagnosis dengan photo thorak harus mendapatkan gambaran infiltrate,
kavitas yang baru, konsolidasi, atau efusi pleura dan terdapat salah satu filtur
didiagnosis tersebut.
2) Umur Bayi Lebih Dari 12 Bulan
a) Diagnosis tanpa pemeriksaan photo thorak harus memiliki rales (suara
pernapasan abnormal yang terdengar pada auskultasi) atau suara abnormal
pada saat pemeriksaan fisik thorak dan salah satu dari berikut ini:
(1) Timbulan sputum purulen baru atau perubahan karakter sputum.
(2) Terdapat organism yang diisolasi dari kultur darah.
(3) Terdapat pathogen dari specimen yang diperoleh dari penghisapan
trantracheal, bronchial, atau biopsi.
b) Diagnosis dengan photo thorak harus mendapatkan gambaran infiltrate,
kavitas yang baru, konsolidasi, atau efusi pleura dan terdapat salah satu fitur
di bawah ini:
(1) Peningkatan produk secret pernapasan.
(2) Timbulnya purulen yang sputum baru, atau berubahan karakter sputum.
(3) Organisme yang diisolasi dari kultur darah atau diagnostic tunggal-titer
antibody (immunoglobulin IgM atau peningkat 4x IgG dalam serum).
(4) Terdapat pathogen dari specimen yang diperoleh dari pengisapan
trantracheal, bronchial, atau biopsy.
(5) Terdapat virus atau antigen viral dari skresi pernapasan.
(6) Terdapat bukti pneumonia secara histopatologi.
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia karena infeksi virus dan pneumonia mikoplasma biasanya
ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit lebih meningkat. Namun
leokosit akan meningkat sampai 15.000 - 40.000/mm3 pada pneumonia bakeri.
Keadaan leucopenia > 1500/mm3 akan memperburuk prognosisnya, dan biasanya
sering terjadi komplikasi lebih tinggi. C-reaksi protein biasa terdapat pada respon
infeksi atau inflamai jaringan. C-reaksi protein ini nantinya bisa digunakan untuk
membedakan antara infeksi dan non infeksi, infeksi virus atau bakteri, atau infeksi
superficial profonda. Kadar CRP akan sangat meningkat pada infeksi bakteri
profonda, dan meningkat pada infeksi bakteri akan terlihat rendah pada infeksi
virus. Penelitian Said (2008, dalam Rahajoe et all., 2008) mengatakan bahwa
pneumonia dengan gejala inflamasi dan meningkatnya CRP biasanya bukan
karena disebabkan virus.
2) Uji Serologi
Uji serologi bertujuan untuk mendeteksi adanya antigen dan antibody. Pada
infeksi streptococcus group A bisa terlihat naiknya Antigen O, Streptosin, atau
antidnase B.
3) Uji Mikrobiologi
Uji ini biasanya menggunakan specimen yang berasal dari usap tenggoro,
sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, fungsi pleura atau aspirasi paru.
Diagnosis dikatakan definitif apabila menemukan mikroorganisme dalam darah,
cariran pleura, atau aspirasi paru.
4) Pemeriksaan Rontgen Torak
Pemeriksaan tidak selalu dilakukan pada pneumonia ringan. Namun hanya
dilakukan pada pneumonia berat yang dirawat. Pada photo rontgen yang positif
terkadang tidak selalu berhubungan dengan gejala klinis, bahkan gambaran
infiltrate resolusi baru muncul setelah gejala klinisnya hilang. Secara umum
gambaran foto thorak terdiri dari:
a)
Infiltrate interstisial: ditandai dengan adanya peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
b) Infiltrate alveolar: yang ditandai dengan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Kondulasi yang dapat mengenai satu lobus dapat disebut
dengan pneumonia lobaris. Baisanya lesi terlihat berbentuk sferis, batas
tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi pada tumor paru.
c)
Bronkopneumonia: yang dapat dilihat dengan gambaran difus merata
pada kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrate yang dapat meluas
hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial (Said, 2008 dalam Rahajoe et all., 2008).
h. Tatalaksanaan
Indikasi perawatan pneumonia biasanya berdasarkan berat ringannya penyakit.
Pasien dengan gejala pernapasan distres, toksis, tidak mau makan atau minum, atau
apabila terdapat penyakit dasar yang lain yang menimbulkan komplikasi perlu untuk
melakukan rawat inap. Pertimbangan usia pasien merupakan hal utama, karena
kemungkinan bayi kecil dan neonatus dengan pneumonia memerlukan rawat inap
(Said, 2008 dalam Rahajoe et al., 2008).
Suara mengi yang terdapat pada anak biasanya disebabkan oleh infeksi virus,
sehingga kepatuhan dalam pengobatan anak tersebut lebih memerlukan penggunaan
bronchodilator daripada antibiotik dan hal ini biasanya diremehkan sehingga sering
terjadi kesalahan dalam pengobatan dengan antibiotik (Thorn et all., 2008).
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan suatu kunci keberhasilan pengobatan.
Anak yang diduga terkena penyakit pneumonia oleh karena bakteri, antibiotik harus
segara diberikan. Cara pemberian antibiotik harus berdasarkan identifikasi
mikrobiologi yang tepat, tapi sayangnya di negara berkembang belum tersedia uji
mikrobiologi yang cepat dan tepat, sehingga pemberian antibiotik biasanya
berdasarkan pengalaman impiris, yang didasarkan dengan kemungkinan etiologi
penyebab, usia, dan keadaan klinis serta epidemiologi (Said, 2008 dalam Rahajoe et
all., 2008).
2. Rokok
Penelitian Susanna et al. (2003), mengatakan bahwa kandungan nikotin terdapat pada
berbagai jenis rokok, namun pada rokok kretek kandungannya lebih besar daripada rokok
filter. Selanjutnya dikatakan oleh Syahdrajat (2007), rokok dapat menyebabkan berbagai
penyakit termasuk penyakit paru, penyakit kardiovaskular, dan juga kanker paru.
WHO (2004) mengatakan bahwa 80% perokok di seluruh dunia berasal dari negara
berkembang, dan prevalensi pemakaian tembaku di Indonesia pada tahun 2005 ialah
sebesar 4,5% pada wanita dan 65,9% pada laki laki. Di Indonesia termasuk urutan ke 5
dari 10 negara mengkonsumsi rokok.
Ketika seseorang menghisap sebatang rokok menyebabkan terbentuknya banyak zat
kimia yang berada di akhir pembakaran. Asap yang dibakar pada ujung filter saat pertama
kali dihisap disebut (main stream smoke), sedangkan asap yang bebas di udara tanpa
dihisap disebut (ide stream smoke). Pada asap yang terbebas ke udara biasa mengandung
zat kimia lebih toksik dari asap yang dihisap, hal ini dikarenakan oleh asap yang bebas di
udara terbakar dengan temperatur yang lebih rendah dari asap yang dihisap sehingga
menyebabkan zat kimia yang keluar lebih tinggi (Aru et al., 2006 dalam Syahdrajat,
2007).
Zat kimia yang keluar dari asap bebas biasanya akan dihirup oleh perokok pasif,
padahal dalam kandungan asap tersebut memiliki bahan CO 5 kali lipat, benzopiren 3 kali
lipat, dan ammonia 50 kali lipat lebih banyak dibandingkan asap yang dihisap. Oleh
karena itu perokok pasif canderung memiliki risiko menderia gangguan kesehatan lebih
tinggi daripada perokok aktif (Syahdrajat, 2007; Jaya dan Muhammad, 2009). Orang
menjadi perokok pasif apabila dia menghirup asap rokok dari perokok aktif minimal 15
menit (Wang et al., 2009). Perokok pasif memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit
paru, penyakit jantung, dan penyakit jantung iskemik dibandingkan dengan perokok aktif
(Lam, 2006).
Asap rokok mengandung berbagai zat kimia yang berbahaya, 40% di antaranya adalah
zat karsinogen dan kokarsinogen, selain itu rokok juga mengandung zat kimia yang
memiliki efek candu (Jaya dan Mohammad, 2009). Penelitian oleh Purnamasari (2006)
dan Syahdrajat (2007) menyebutkan bahwa zat kimia yang terdapat pada rokok sebesar
4000 jenis, dan 40 jenis di antaranya bersifat karsinogen. Komponen gas yang terdapat
dalam rokok berupa karbonmonoksida, asam hidrosianat, aetaldehid, akrolein, ammonia,
fomaldehid, oksida dari nitrogen, nitrosiamin, hidazin, dan vinil klorid. Selain itu zat
kimia yang berasal dari bahan padat berupa tar, hidrokarbon aromatik polinuklear nikotin,
fenol kresol, β-naftilamin, N-nitrosonor nikotin, benzo piren, logam, indol, karbazol, dan
katekol.
Di antara jenis-jenis zat kimia pada rokok, zat yang paling berbahaya adalah tar,
nikotin, dan monokisida. Tar adalah salah satu zat kimia yang sifatnya lengket dan
bersifat kasinogen yang bisa menempel pada paru. Tar ini juga berkaitan dengan
kerusakan dan perubahan kromosom (Jaya dan Muhammad, 2009). Nikotin merupakan
zat alkaloid yang beracun. Biasanya nikotin ini akan menyebabkan fatal bila dosisnya
sudah mencapai 60 mg; namun dalam satu batang rokok mengandung nikotin sebesar 15 20. Karbonmonoksida yang terdapat dalam rokok dapat mengurangi daya hantar O2
sebesar 15%. Hal ini dapat menyebabkan persentase CO dalam darahnya meningkat
sehingga dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Namun CO ini bersifat
mengikat Hemoglobin dan mengantikan tempat O2 di hemoglobin, sehingga
meningkatkan vikositas darah yang membuat terjadinya penggumpulan darah
(Syahdrajat, 2007).
Menurut Bustan (2000) mengklasifikasi perokok menjadi tiga kelompok yaitu:
a.
Perokok ringan bila menghisap rokok < 10 batang per hari.
b.
Perokok sedang bila menghisap rokok 10 - 20 batang per hari.
c.
Perokok berat bila menghisap rokok >20 batang per hari.
3. Hubungan Keluarga Perokok dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita
Asap rokok yang dikeluarkan oleh perokok aktif akan berbebas ke udara atau ke
dalam ventilasi rumah, asap tersebut akan dihirup orang-orang di sekitarnya atau perokok
pasif terutama anak-anak. Anak-anak lebih sering menghirup asap rokok dari dewasa
karena anak-anak memiliki fruekuensi nafas atau menghirup udara nafas lebih cepat dari
dewasa (Ramli, 2011; Depkes, 2008). Asap rokok mengandung 4000 jenis zat kimia dan
40% di antaranya memiliki sifat karsinogen dan kokarsinogen. Selain itu rokok juga
memiliki zat kimia yang bersifat candu (Jaya dan Muhammad, 2009). Hal ini
diperkuatkan oleh penelitian oleh purnamasari (2006) dan Syadrajad (2007) membuktikan
bahwa zat kimia yang berada dalam rokok sebesar 4000 jenis, dan 40% di antaranya
adalah zat karsinogen. Pada asap yang terbebas ke udara biasa mengandung zat kimia
lebih toksik dari asap yang dihisap (Aru et al., 2006 dalam Syahdrajat, 2007). Komponen
gas yang terdapat dalam rokok berupa karbonmonoksida, asam hidrosianat, aetaldehid,
akrolein, ammonia, fomaldehid, oksida dari nitrogen, nitrosiamin, hidazin, dan vinil
klorid. Selain itu zat kimia yang berasal dari bahan padat berupa tar, hidrokarbon
aromatik polinuklear nikotin, fenol kresol, β-naftilamin, N-nitrosonor nikotin, benzo
piren, logam, indol, karbazol, dan katekol. Di antara jenis-jenis zat kimia pada rokok, zat
yang paling berbahaya adalah tar, nikotin, dan monokisida. Tar adalah salah satu zat
kimia yang sifatnya lengket dan bersifat kasinogen yang bisa menempel pada paru. Tar
ini juga berkaitan dengan kerusakan dan perubahan kromosom (Jaya dan Muhammad,
2009). Nikotin merupakan zat alkaloid yang beracun. Biasanya nikotin ini akan
menyebabkan fatal bila dosisnya sudah mencapai 60 mg; namun dalam satu batang rokok
mengandung nikotin sebesar 15 - 20 mg. Karbonmonoksida yang terdapat dalam rokok
dapat mengurangi daya hantar O2 sebesar 15%. Hal ini dapat menyebabkan persentase CO
dalam darahnya meningkat sehingga dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Namun CO ini bersifat mengikat Hemoglobin dan mengantikan tempat O2 di hemoglobin,
sehingga meningkatkan vikositas darah yang membuat terjadinya penggumpulan darah
dan daya hantaran O2 ke jaringan pertukarannya terganggu (Syahdrajat, 2007). Anakanak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena Penyakit saluran pernapasan seperti
flu, asma, pneumonia dan penyakit Saluran pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam
asap rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat
dikeluarkan, menyebabkan bronchitiskronis, lumpuhnya serat elastin di jaringan paru
mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di paru paru dan
mengakibatkan pecahnya kantong udara (Dachroni,2002). Zat kimia yang terdapat dalam
rokok dihirup oleh anak akan membuat iritasi saluran napas dan mengganggu sistem
pertahanan pada saluran napas. hasil Prediktor utama terhadap kejadian pneumonia
adalah status merokok (Misba et all., 2011).
4. Kerangka Permikiran
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Hubungan Keluarga Perokok dengan Kejadian
Pneumonia pada Anak Balita Pengunjung Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)
Surakarta
5. Hipotesis
Ha: Ada hubungan antara keluarga perokok dengan kejadian pneumonia pada anak
Balita pengunjung BBKPM Surakarta.
Ho: Tidak ada hubungan antara keluarga perokok dengan kejadian pneumonia pada
anak Balita pengunjung BBKPM Surakarta.
Download