Komunikasi yang Efektif Meningkatkan Hubungan

advertisement
Komunikasi yang Efektif Meningkatkan
Hubungan yang Positif antara Orang Tua dan
Anak
Oleh Siti Nurhidayah
Abstract
This paper studies on effective communication between parent and children. Language
of acceptance is very important to create effective communication. Language of
acceptance makes open and free communication between parent and children. In this
type of communication parents should be “door-opener” or “invitation to say more” to
his children.
D
Siti Nurhidayah, lahir di Semarang, 12
Februari 1971, menyelesaikan S1 di
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Fakultas Psikologi. Saat ini sebagai Dosen
Tetap Universitas Islam ”45” Bekasi.
Pernah menjabat sebagai Ketua Program
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
(PGSD) Fakultas Agama Islam Unisma
Bekasi. Kini sebagai Ketua Program
Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Unisma Bekasi. Aktif sebagai
psikolog di Lembaga Konseling &
Pengembangan Masyarakat (LKPM),
pernah menjadi staf Psychologist Mutiara
Consultat Jakarta.
.
alam pengalaman saya berpraktek
sebagai seorang psikolog, tidak jarang
saya
menemukan
pernyataanpernyataan yang diungkapkan oleh
klien atau anak, yang tidak mereka
ungkapkan kepada orangtuanya.
Alasan
yang
paling
sering
dikemukakan oleh anak adalah bahwa
orangtua acapkali marah terhadap
“keterusterangan” mereka. Hal itu
membuat mereka pada akhirnya
enggan untuk berbicara secara
terbuka kepada orangtua. Mengapa
demikian?
Gordon (1975) menyebutkan
bahwa penolakan anak untuk berbagi
tentang apa yang mereka pikirkan
dan rasakan kepada orangtua tidak
terlepas
dari
respons
yang
disampaikan oleh orangtua terhadap
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
1
pernyataan anak. Anak menemukan
bahwa berbicara dengan orangtua
malah tidak menolong mereka
mengatasi permasalahan dan lebih
sering menimbulkan perasaan tidak
aman. Hal itu sangat disayangkan
mengingat banyaknya kesempatan
orangtua yang hilang dalam upaya
mengatasi masalah yang sedang
dihadapi anak.
Di sisi lain, tak jarang orangtua
mengeluh mengenai perilaku anak.
Berdasarkan pengalaman, saya sering
menjumpai orangtua yang merasa
cukup
kewalahan
untuk
mengendalikan
perilaku
anakanaknya. Sebagai akibatnya, orangtua
lebih sering mengambil tindakan
memarahi atau menghukum anak.
Anak pun cenderung menjadi
defensif terhadap sikap dan tindakan
orangtua. Keadaan seperti itu tentu
membawa dampak yang buruk dalam
hubungan orangtua dan anak.
Berdasarkan uraian di atas kita
dapat melihat bahwa hubungan yang
terbentuk antara orangtua dan anak
tidak terlepas dari bagaimana
komunikasi yang berlangsung di
antara keduanya. Untuk membentuk
hubungan yang efektif dengan anak,
tentu diperlukan komunikasi yang
efektif pula; dan untuk membentuk
komunikasi yang efektif dibutuhkan
“language of acceptance” (Gordon, 1975).
Penerimaan terhadap orang lain,
tak terkecuali anak, merupakan faktor
penting
dalam
meningkatkan
hubungan. Dengan penerimaan, anak
dapat tumbuh, berkembang, dan
membuat perubahan yang konstruktif
untuk dirinya. Anak juga belajar
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
memecahkan sendiri masalahnya,
menjadi lebih produktif dan kreatif,
serta mampu mengaktualisasikan
dirinya secara penuh. Sayangnya, saat
ini orangtua umumnya masih banyak
yang menggunakan “language of
unacceptance” dalam pengasuhan anak,
yang sering diyakini sebagai cara yang
paling baik untuk membantu anak.
Dengan cara ini, komunikasi yang
disampaikan oleh orangtua lebih
banyak berisi tentang evaluasi, kritik,
nasihat, benar-salah, peringatan, dan
perintah. Bentuk-bentuk seperti
itulah yang sebenarnya membuat
anak menjadi bersikap defensif,
melawan, takut, dan tidak terbuka
kepada
orangtua.
Sebaliknya,
“language of acceptance” membuat anak
menjadi terbuka dan lebih bebas
untuk berbagi perasaan dan masalah
dengan orangtua (Gordon, 1975).
Penerimaan bukanlah sesuatu
yang yang bersifat pasif tetapi harus
ditunjukkan dan dikomunikasikan
secara aktif sehingga anak dapat
merasakannya. Dalam hal ini
penerimaan dapat dikomunikasikan
secara nonverbal maupun verbal.
Penerimaan secara nonverbal dapat
ditunjukkan melalui bahasa tubuh,
sikap, dan ekspresi wajah. Sebagai
contoh, orangtua dapat menunjukkan
penerimaan dengan cara tidak
mengganggu kegiatan yang sedang
dilakukan
anak.
Sikap
diam
mendengarkan (passive listening) juga
merupakan komunikasi nonverbal
yang dapat digunakan secara efektif
untuk membuat anak merasa bahwa
ia benar-benar didengarkan dan
diterima namun hal ini tentu tidak
dapat dilakukan dalam waktu yang
2
lama. Bagaimanapun orangtua dan
anak butuh untuk saling bicara dan
bagaimana cara orangtua berbicara
kepada anak merupakan satu hal yang
mendasar (Gordon, 1975).
Gordon (1975) mengemukakan
bahwa ada setidaknya dua belas
kategori
respons
yang
biasa
ditampilkan oleh orangtua, yaitu:
1. menyuruh,
mengarahkan,
memerintahkan;
2. memperingatkan,
mengancam;
3. mendesak,
mengatakan
benar-salah, men-ceramahi;
4. menasihati, memberi solusi
dan usulan;
5. mengajari, memberi argumen
yang logis;
6. menilai,
mengkritik,
menyatakan tidak setuju,
menyalahkan;
7. memuji, menyatakan setuju;
8. memberi nama panggilan,
mengolok-olok,
mempermalukan;
9. memberi
makna,
menganalisis, mendiagnosis;
10. menentramkan,
memberi
simpati;
11. menggali,
menanyakan,
menginterogasi;
12. mengalihkan,
menghibur,
menyenangkan hati anak.
opener” atau “invitation to say more” dan
mendengar aktif (Gordon, 1975).
“Door opener” atau “invitation to say
more” adalah respons-respons yang
tidak mengkomunikasikan penilaian
atau pendapat pendengarnya, seperti
“Oh …”, “Hmm …,”Oh ya?” .
Dengan demikian anak diundang
untuk bicara, membagi ide dan
perasaannya kepada orangtua. Bentuk
lain dari respons bersifat lebih
eksplisit, seperti “Coba ceritain sama
Bunda”.
Untuk
‘mempertahankan
pintu agar tetap terbuka’, diperlukan
kemampuan untuk mendengar secara
aktif. Mendengar aktif melibatkan
orang yang berbicara (selanjutnya
disebut sebagai pengirim pesan) dan
orang
yang
mendengarkan
(selanjutnya disebut sebagai penerima
pesan).
Skema
berikut
menggambarkan proses mendengar
aktif.
Kedua belas respons tersebut
sebaiknya dihindari karena akan
berdampak secara destruktif dalam
hubungan orangtua dan anak.
Sebagai alternatif, terdapat cara-cara
yang lebih efektif dan konstruktif
untuk berespons terhadap apa yang
disampaikan anak, yaitu dengan “door-
Ketika seorang anak merasa
mengalami
kesulitan
untuh
memahami
penjelasan
ayahnya
mengenai cara penyelesaian soal
cerita
matematika,
ia
akan
mengkomunikasikan hal tersebut
dengan cara memilih sebuah kode
yang
dapat
mewakili
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
Pengirim pesan
Penerima pesan
Kode
Pikiran
Perasaan
Proses
encoding
Umpan balik
3
permasalahannya, misalnya dengan
berkata kepada ayahnya “Jelasin
sekali lagi dong, yah”. Proses encoding
dari anak tersebut kemudian diterima
dan oleh ayah melalui proses decoding
sehingga ayah dapat memahami
makna yang berkaitan dengan apa
yang terjadi dalam diri anak. Jika
proses decoding berlangsung secara
tepat maka ayah akan memahami
bahwa anaknya masih mengalami
kebingungan
(“Anakku
masih
bingung”). Jika proses decoding
ditangkap secara berbeda, misalnya
“Anakku mengantuk” maka akan
terjadi salah pengertian dan proses
komunikasi akan berantakan. Oleh
karena
itu,
perlu
dilakukan
pengecekan keakuratan proses
Proses
decoding
Kesimpulan
decoding dengan cara menceritakan apa
yang ayah pikirkan kepada anak
(“Kamu masih bingung?”). Dengan
umpan balik tersebut, anak dapat
mengatakan kepada ayahnya apakah
pesan yang ditangkap oleh ayah
benar atau salah. Pemberian umpan
balik itu menunjukkan bahwa ayah
terlibat dalam mendengar aktif.
Dalam
mendengar
aktif,
orangtua secara akurat membuat
kode kembali tentang apa yang ada
dalam diri anak atau perasaan anak.
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
Anak pun akan memperkuat
keakuratan decoding orangtua dengan
beberapa ekspresi yang menunjukkan
bahwa orangtua mendengar katakatanya dengan baik. Yang penting
untuk diingat dalam pemberian
umpan balik adalah bahwa penerima
pesan tidak mengirim pesannya
sendiri, misalnya menyampaikan
evaluasi, pendapat, atau nasihat.
Penerima pesan hanya memberi
umpan balik terhadap apa yang ia
rasakan dimaksud oleh pesan
pengirim. Dengan perkataan lain,
orangtua hanya melakukan refleksi
terhadap apa yang dikemukakan anak
.
Banyak manfaat yang dapat
diperoleh dari mendengar aktif
(Gordon, 1975; Brooks, 1991).
Dengan mendengar aktif, anak
menjadi tidak terlalu takut lagi
dengan perasaan-perasaan negatif
yang dimilikinya, anak dan orangtua
akan memiliki hubungan yang lebih
hangat, anak akan merasa dicintai,
anak lebih mau mendengarkan
pikiran dan ide orangtua, serta anak
mulai
menganalisis
masalahnya
sendiri, dan bahkan mengembangkan
sejumlah solusi yang konstruktif.
Ada sejumlah kualitas yang
dibutuhkan untuk dapat menjadi
pendengar aktif (Gordon, 1975).
Sebagai pendengar aktif, orangtua
harus mau mendengar apa yang
dikatakan anak dan membantu anak
dengan sungguh-sungguh, benarbenar dapat menerima perasaan anak
apa pun bentuknya, memiliki
perasaan percaya bahwa anak mampu
mengatasai perasaan dan menemukan
solusi sendiri sesuai kapasitasnya,
4
memahami bahwa perasaan yang
dialami
anak
hanya
bersifat
sementara, harus dapat melihat anak
sebagai individu yang terpisah dari
orangtua. Brooks menambahkan
bahwa
mendengar
aktif
membutuhkan komitmen yang kuat,
kesabaran, dan dilakukan dengan
tekun. Dibutuhkan pula waktu yang
cukup banyak untuk melakukannya,
oleh karena itu orangtua sedang
terburu-buru atau sedang terpusat
pada suatu kegiatan tertentu,
sebaiknya jangan dulu melakukannya.
Jika uraian di atas lebih banyak
membahas tentang cara berespons
yang efektif terhadap apa yang
disampaikan oleh anak, berikut ini
adalah cara yang efektif bagi orangtua
untuk menyampaikan apa yang
mereka pikirkan dan rasakan tentang
anak. Cara tersebut dikenal dengan
istilah
“I”-message.
Budaya
di
Indonesia yang tampaknya jarang
menggunakan kata ganti orang
pertama dalam percakapan antara
orangtua
dan
anak
memang
membuat istilah tersebut dirasakan
kurang tepat. Namun demikian kita
akan tetap menggunakan istilah
tersebut dalam uraian di bawah ini.
“I”-message berisi tiga bagian
penting, yaitu (1) pernyataan yang
jelas tentang bagaimana perasaan
orangtua; (2) pernyataan tentang
perilaku anak yang membuat
orangtua merasa demikian; (3)
mengapa
tingkahlaku
anak
menimbulkan
kekecewaan
bagi
orangtua. Agar “I”-message menjadi
efektif, orangtua harus yakin bahwa
anak benar-benar memperhatikan
pesan
tersebut.
Jika
anak
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
mengabaikan
pesan
tersebut,
orangtua dapat menyampaikan pesan
lain yang lebih kuat disertai dengan
nada suara yang mewakili perasaan
orangtua. ”I”-message dicontohkan
pada kalimat berikut, “Ibu sedih
karena
kamu
tidak
mau
membereskan kembali mainanmu
setelah bermain dan ibu pulang
dalam keadaan rumah sangat
berantakan”. Dalam hal ini, orangtua
perlu menganalisis perasannya dan
benar-benar sadar tentang apa yang
sedang dirasakan karena seringkali
orangtua
mengkomunikasikan
kemarahannya kepada anak, yang
sebenarnya merupakan perwujudan
dari rasa takut, kecewa, atau frustrasi
yang dialaminya.
“I”-message digunakan untuk
membuat anak mendengar apa yang
dikatakan
orangtua,
mengkomunikasikan fakta kepada
anak,
serta
membantu
anak
mengubah perilakunya yang tidak
dapat diterima. Dengan “I”-message,
anak tidak lagi menjadi resisten dan
memberontak. Ia belajar memahami
reaksi orangtua yang mungkin tidak
ia pahami sebelumnya hingga ada “I”message.
Anak
pun
memiliki
kesempatan untuk terikat dalam
pemecahan masalah dalam berespons
terhadap “I”-message
“I”-message
tidak
hanya
diperuntukkan bagi interaksi yang
melibatkan konflik. Orangtua dapat
pula mengirimkan appreciative “I”message kepada anak. Appreciative “I”message terdiri dari pernyataan tentang
bagaimana orangtua merasa bahwa
apa yang anak lakukan membuat
orangtua merasa demikian dan
5
dampak khusus dari perilaku tersebut
terhadap orangtua. Sebagai contoh,
“Ibu merasa lega dan tidak lagi
khawatir
sewaktu
menerima
teleponmu”. Appreciative “I”-message
dapat meningkatkan kualitas hidup
keluarga.
Akhirnya, berkaitan dengan
terjadinya konflik antara anak dan
orangtua, Gordon (Bigner, 1994)
mengusulkan
agar
orangtua
menggunakan metode “no lose” atau
“win-win solution” dalam resolusi
konflik. Metode ini didasarkan pada
kompromi agar semua pihak merasa
puas. Langkah-langkah dari metode
ini meliputi: (1) mengidentifikasi dan
mendefinisikan
konflik;
(2)
membangkitkan solusi yang mungkin;
(3) menilai solusi; (4) memutuskan
solusi terbaik untuk kedua belah
pihak; dan (5) menilai seberapa baik
solusi yang telah dipilih.
Ada sejumlah keuntungan dari
metode “win-win solution”. Beberapa di
antaranya adalah tanggung jawab
pemecahan konflik sebagian ada di
pundak anak, keterampilan kognitif
anak
dalam
mencari
solusi
berkembang, komunikasi antara
orangtua dan anak meningkat,
dampak gangguan emosional untuk
orangtua dan anak tidak ada,
kekuasaan orangtua tidak melebihi
anak
melainkan
setara,
serta
tingkahlaku anak yang mandiri
dikembangkan.
Sebagai kesimpulan, komunikasi
yang
efektif
penting
untuk
membentuk hubungan yang positif
antara orangtua dan anak. Untuk
membentuk komunikasi yang efektif
dibutuhkan
penerimaan
dari
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
orangtua. Adapun bentuknya dapat
berupa penerimaan secara nonverbal,
“door opener”, mendengar aktif, “I”message, dan metode “win-win solution”
dalam situasi konflik.
Seni Mendengarkan Anak
Komunikasi sesungguhnya tidak
hanya terbatas dalam bentuk katakata. Komunikasi adalah ekspresi dari
sebuah kesatuan yang sangat
kompleks: bahasa tubuh, senyuman,
peluk kasih, ciuman sayang, dan katakata.
Seni
mendengarkan,
membutuhkan totalitas perhatian dan
keinginan mendengarkan, hingga
sang pendengar dapat memahami
sepenuhnya kompleksitas emosi dan
pikiran orang yang sedang berbicara.
Bahkan, dalam komunikasi yang
sejati, sang pendengar mampu
memahami apa yang terjadi serta
yang dirasakan oleh lawan bicara
meski dengan kata-kata yang sangat
minimal. Lantas, bagaimana cara
mendengarkan anak yang baik?
Memang tidak ada orangtua
sempurna, karena setiap orangtua
memiliki masalahnya masing-masing
hingga
seringkali
memblokir
hubungan positif yang seharusnya
terjalin antara mereka dengan anakanak. Tapi, bukan berarti hal itu
dapat selalu dimaklumi. Bagaimana
pun, setiap orangtua perlu diingatkan
kembali,
bagaimana
cara
"mendengarkan"
anak
mereka.
Berikut beberapa hal atau tips yang
perlu diperhatikan, sebagaimana
ditulis situs e-psikologi.com belum
lama ini.
6
1. Fokuskan perhatian pada anak.
Pada saat anak mencoba mengatakan
sesuatu,
berilah
perhatian
sepenuhnya pada ceritanya. Untuk
itu, alangkah baiknya jika kita
mengalihkan perhatian sejenak dari
film atau sinetron yang sedang
ditonton, majalah, koran, atau dari
pekerjaan yang sedang dihadapi.
Tataplah langsung mata anak sambil
memberi kesan bahwa kita benarbenar siap memperhatikan ceritanya,
dan mendorongnya untuk bercerita.
2. Ulangi cerita anak untuk
menyamakan pengertian. Tahanlah
diri untuk tidak menginterupsi
ceritanya sampai anak selesai
bercerita. Ketika anak selesai
bercerita,
cobalah
memberikan
kesimpulan
berdasarkan
hasil
tangkapan kita terhadap ceritanya.
Pola ini, memberikan feedback bagi
orangtua dan anak, apakah kita
benar-benar telah memahami apa
yang diceritakan atau apa yang
sebenarnya ingin diungkapkan oleh
anak.
3. Menggali perasaan dan
pendapat anak akan masalah yang
sedang dihadapi. Kita boleh bertanya
pada mereka, "Bagaimana perasaan
adik waktu itu?" Cara ini jauh lebih
baik
ketimbang
menjatuhkan
penilaian subjektif, "Ah, kamu pasti
takut! Kamu kan penakut." Penilaian
bisa membuat anak frustrasi karena
mereka mengharap orangtua bisa
mengerti perasaan mereka, bukan
menilai sikap dan perasaan mereka.
Selain itu, penilaian subjektif
orangtua yang datang terlalu cepat
bisa membuat anak menarik diri
untuk tidak lebih lanjut menceritakan
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
perasaan yang sebenarnya, karena
orangtua sudah punya anggapan
tertentu.
4. Bantu anak mendifinisikan
perasaan. Mendengarkan sepenuhnya
cerita
pengalaman
anak
-menyedihkan atau menyenangkan,
membuat kedua pihak (orangtua dan
anak) dapat berbagi rasa dan anak
pun
akan
merasa
orangtua
menghargainya. Anak akan biasa
bersikap terbuka karena yakin
orangtua
pasti
bersedia
mendengarkan mereka. Jika anak
masih
sulit
mengidentifikasi
perasaannya,
bantulah
dengan
mendengarkan
cerita
mereka
sungguh-sungguh, dan melontarkan
kesan seperti "Wah, adik sepertinya
sedih sekali" atau "Kamu kelihatan
sangat marah..." Anak akan sangat
lega ketika orangtua bisa menangkap
perasaan mereka. Interaksi demikian,
melatih anak mengidentifikasikan
perasaan mereka secara tepat.
5. Bertanya. Hindari sikap
memaksakan
pendapat,
cara,
penilaian orangtua. Alangkah lebih
baik jika orangtua membimbing
mereka
dengan
pertanyaanpertanyaan yang membuat mereka
semakin memahami kejadian yang
dialami, teman yang dihadapi,
perasaan yang mereka rasakan serta
sikap-tindakan yang harus mereka
lakukan sebagai pemecahannya.
6. Dorong semangat anak untuk
bercerita. Hanya dengan memberi
respons "Oh.... ya?...Wow!..." sudah
menjadi stimulasi bagi mereka untuk
makin giat bercerita. Pola ini dapat
membuat anak tenang dan nyaman
7
karena merasa orangtua memahami
apa yang mereka ungkapkan.
7. Dorong anak mengambil
keputusan yang tepat. Jika orangtua
ingin membantu anak menghadapi
masalahnya, sebaiknya kita tidak
mengambil alih keputusan ("Ya
sudah, besok kamu tidak usah masuk
sekolah!") atau tindakan ("Biar mama
yang hadapi temanmu yang nakal
itu!"). Sebaliknya, hadirkan beberapa
alternatif yang membuat mereka
berpikir dan memilih manakah solusi
terbaik sambil membicarakan akibatakibat yang bisa dirasakan oleh anak
maupun orang lain. 8. Tunggu
redanya emosi anak dan mengajak
berpikir positif. Jika anak masih
diliputi emosi yang memuncak hingga
membuatnya sulit berbicara, orangtua
jangan memaksakan anak untuk
segera bicara. Kita tidak akan berhasil
membuatnya bercerita dan kita pun
makin tidak sabar untuk tidak
memberikan opini kita padanya.
Konflik sering terjadi dan ini
menyebabkan
memburuknya
hubungan orangtua anak. Berikan
waktu untuk menyendiri sampai
intensitas
perasaannya
mereda.
Ketika emosinya mereda, anak akan
lebih siap untuk diajak bicara.
Manfaat mendengarkan. Bagi
seorang anak, komunikasi bukan
hanya bertujuan membuat orang
dewasa atau orang lain mengetahui
dan memenuhi kebutuhannya. Dari
komunikasi itulah, anak dapat
menarik kesimpulan, bagaimana
orang dewasa memandang dirinya;
dan dari kesan inilah anak
membangun rasa percaya diri. Anak
akan merasa dihargai, merasa percaya
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
diri dan mengembangkan penilaian
positif terhadap dirinya, ketika
orangtua menaruh perhatian tidak
hanya pada ceritanya, tapi juga pada
pendapat, keyakinan, kesimpulan,
ide-ide, perasaan, bahkan ketika
pendapat tersebut tidak sesuai
dengan pendapat orang tua. Sikap
orangtua yang "mendengarkan" anak,
membuat anak berani membuat
perbedaan dan menjadi berbeda,
tanpa takut dihukum, dilecehkan atau
ditertawakan. Hal itulah yang menjadi
salah satu landasan keberanian dan
keinginan anak, untuk menjadi diri
sendiri apa adanya.
Dari
tanggapan-tanggapan
orangtua, anak akan belajar mengenal
banyak informasi dan pengetahuan,
mendengar sesuatu yang berbeda dari
yang dipikirkannya selama ini,
melihat alternatif yang lain, menilai
pendapat dan tindakannya sendiri,
menilai posisi dirinya di mata orang
lain, dan menarik kesimpulan apa
yang harus dilakukan olehnya. Proses
saling
mendengarkan
dan
didengarkan, mengasah daya kritis
dan kreativitas berpikir anak karena
ketika antara anak dengan orangtua
terdapat jalur dua arah yang terbuka,
maka terbuka pula akses informasi,
pengetahuan, perasaan, pemikiran
dan pengalaman dari kedua belah
pihak. Satu sama lain, saling belajar
dan saling memperkaya, saling
mengenal dan semakin memahami.
Mendengarkan
anak
secara
sungguh-sungguh, membuat anak
percaya pada orangtua. Hubungan ini
membuat anak merasa lebih nyaman
berada bersama orangtua, lebih
memilih curhat dengan orangtua dan
8
siap menjadi partner ketika orangtua
yang giliran butuh didengarkan.
Mendengarkan dan didengarkan
adalah kunci hubungan orangtuaanak yang sangat bermanfaat, baik
untuk pengembangkan kematangan
emosional, kepandaian intelektual,
kemampuan membina kehidupan
sosial yang baik serta penanaman
nilai prinsip moral yang baik pada
anak.
Referensi
Brooks, J.B. 1991. The Process of
Parenting. London: Mayfield
Publishing Company.
Daniel Goleman, 2002, Melejitkan
Kepekaan Emosional Anak,
Kaifa,Bandung
Gordon, T. 1975. Parent
Effectiveness Training: The
Tested New Way to Raise
Responsible Children. New
York: A Plume Book, New
American Library.
TURATS, Vol. 4, No. 1, Juni 2008
9
Download