BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

advertisement
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN
HIPOTESIS
A. Landasan Teori
1) Signalling Theory
Underpricing adalah keadaan dimana harga saham pada saat
penawaran perdana lebih rendah dibandingkan pada saat saham tersebut
diperdagangkan di pasar sekunder. Beberapa literatur menjelaskan bahwa
underpricing
terjadi
karena
adanya
asimetri
informasi
(asymmetry
information).
Pada model Baron,(1982) dalam Daljono (2000) menganggap bahwa
underwiter memiliki informasi lebih tentang pasar modal, sedangkan emiten
merupakan pihak yang tidak memiliki informasi. Underwriter memanfaatkan
informasi yang dimilikinya untuk membuat kesepakatan harga IPO yang
optimal baginya. Dikarenakan kurangnya informasi yang diperoleh maka
emiten menerima harga murah bagi penawaran harga saham perdananya.
Semakin besar ketidakpastian emiten tentang kewajaran harga sahamnya,
maka lebih besar permintaan terhadap jasa underwriter dalam menetapkan
harga. Kompensasi atas informasi yang diberikan underwriter yaitu
mengizinkan underwiter menawarkan harga saham perdananya di bawah harga
equilibrium, dengan demikian semakin besar ketidakpastian akan semakin
besar resiko yang dihadapi underwriter, maka akan menyebabkan tingkat
10
underpricing semakin tinggi.
Pada Model Rock, (1982) dalam Daljono (2000) asimetri informasi
terjadi antara kelompok investor yang memiliki informasi dan kelompok
investor yang tidak memiliki informasi tentang prospek perusahaan.
Kelompok yang memiliki informasi lebih baik, akan membeli saham-saham
initial public offering (IPO) yang underpriced. Sedangkan kelompok yang
kurang memiliki informasi tentang prospek emiten, akan membeli saham
secara sembarangan, baik saham yang underpriced atau overpriced. Akibat
kelompok yang tidak memiliki informasi akan memperoleh lebih besar saham
yang overpriced.
Su (2004) dalam Saputro dan Agung (2005) menyebutkan bahwa
underpricing IPO dapat disebabkan oleh masalah mendasar yang diturunkan
dari ketidakpastian keadaan ekonomi mikro dan asimetri informasi. Asimetri
informasi dapat terjadi antara underwriter dengan emiten atau antara investor
well informed dengan investor yang uninformed. Asimetri informasi ini dapat
terjadi karena underwriter mempunyai informasi yang lebih baik tentang pasar
modal dibandingkan emiten. Underwriter akan memanfaatkan informasi yang
dimilikinya untuk membuat kesepakatan harga IPO yang optimal bagi dirinya,
dengan maksud untuk memperkecil risiko dalam keharusan membeli saham
yang tidak laku terjual. Sedangkan emiten akan menerima harga yang murah
bagi penawaran sahamnya karena kurangnya informasi yang dimiliki.
Yolana dan Dwi Martani (2005) mendefinisikan underpricing adalah
adanya selisih positif antara harga saham di pasar sekunder dengan harga
11
saham di pasar perdana atau saat Initial Public Offering. Fenomena
underpricing dikarenakan adanya mispriced di pasar perdana karena
ketidakseimbangan informasi antara pihak underwriter dan pihak perusahaan.
Dalam literature keuangan masalah itu disebut Asymetri Informasi.
Di Indonesia fungsi penjaminan hanya ada satu tipe yaitu full
commitment, sehingga pihak underwriter berusaha mengurangi resiko dengan
jalan menekan harga di pasar perdana, agar terhindar dari kerugian (Ghozali
dan Mudrik Al Mansur, 2002). Tipe penjaminan full commitment adalah tipe
penjaminan yang beresiko tinggi bagi underwriter (Nurhayati dan Nur
Indriantoro, 1998). Fenomena underpricing tidak menguntungkan bagi
perusahaan yang Go Public karena dana yang diperoleh emiten tidak
maksimal tetapi di lain pihak menguntungkan investor (Pratiwi dan Kusuma,
2001). Menurut Beaty (1989) bahwa para pemilik perusahaan menginginkan
agar meminimalkan underpricing karena ini akan menyebabkan adanya
transfer kemakmuran (Wealth) dari pemilik kepada investor.
Ada 3 (Tiga) teori pokok yang menentukan underpricing yaitu, asimetri
informasi, signalling hypothesis, litigation risk.
Teori-teori yang menjelaskan underpricing:
1. Asimetri Informasi
Emiten, underwriter, masyarakat pemodal adalah pihak-pihak yang
terlibat dalam penawaran perdana pada saat terjadinya underpricing karena
adanya asimetri informasi yang menjelaskan perbedaan informasi. Model
Baron (1982) sebagaimana dikutip Daljono (2000), menganggap
12
underwriter memiliki informasi lebih mengenai pasar modal. Sedangkan
emiten tidak memiliki informasi mengenai pasar modal. Oleh karena itu,
underwriter memanfaatkan informasi yang dimiliki untuk membuat
kesepakatan harga IPO yang maksimal, yaitu harga yang memperkecil
resikonya apabila saham tidak terjual semua, karena emiten tidak memiliki
cukup informasi sehingga menerima harga yang murah bagi penawaran
sahamnya. Semakin besar ketidakpastian emiten tentang kewajaran harga
sahamnya, maka lebih besar permintaan terhadap jasa underwriter dalam
menetapkan harga, sehingga underwriter menawarkan harga perdana
sahamnya di bawah harga ekuilibrium. Oleh karena itu akan menyebabkan
tingkat underpricing semakin tinggi.
2. Signalling Hypothesis
Dalam konteks ini underpricing merupakan suatu fenomena
ekuilibrium yang berfungsi sebagai sinyal kepada investor bahwa kondisi
perusahaan cukup baik atau mempunyai prospek yang bagus (Ernyan dan
Husnan, 2005). Titman dan trueman (1986) menyajikan signalling model
yang
menyatakan
bahwa
auditor
yang
memiliki
kualitas
baik
menghasilkan informasi yang berguna bagi investor di dalam menaksir
nilai perusahaan yang melakukan IPO. Hal ini sesuai dengan signalling
theory yang dikemukakan Leland and Pyle (1977) yang menunjukan
bahwa laporan keuangan audited dan prosentase kepemilikan saham akan
mengurangi ketidakpastian.
13
3. Litigation Risk
Mengutip Regulation Hypothesis menjelaskan bahwa peraturan
pemerintah yang diberlakukan dimaksudkan untuk mengurangi asimetri
informasi antara pihak manajemen dan pihak luar termasuk para calon
pemodal (Ernyan dan Husnan, 2002)
2) Financial Leverage (Debt To Equty Ratio)
Financial leverage menunjukan kemampuan perusahaan dalam
membayar hutangnya dengan ekuiti yang dimilikinya. Apabila financial
leverage tinggi, hal ini menunjukan resiko suatu perusahaan tinggi pula,
sehingga
para
investor
dalam
melakukan
keputusan
investasi
mempertimbangkan informasi financial leverage untuk menghindari harga
saham sebagai salahsatu penyebab terjadinya underpricing Daljono dalam
(Puspita 2011).
3) Profitabilitas (Return On Assets)
Merupakan suatu rasio penting dipergunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan dengan investasi yang telah ditanamkan atau aset
yang sudah dimilikinya untuk mendapatkan laba. Return On Assets menjadi
salah satu pertmbanan investor dalam melakukan investasi terhadap sahamsaham di lantai bursa menurut Iman Ghozali dan Mudrik Al-Mansur (2002).
14
4) Komposisi Dewan Komisaris
Dewan komisaris merupakan salah satu inti dari mekanisme
pengendalian internal. Tugas utama Dewan Komisaris adalah melakukan
pengawasan terhadap Dewan Direksi dan manajemen atas pengelolaan sumber
daya perusahaan agar dapat berjalan secara efisien dan efektif dalam rangka
mencapai tujuan organisasi, selain itu juga menyeleksi, mengganti dewan
direksi, serta mengawasi jalannya pergantian direksi. Perusahaan harus
memiliki Dewan Komisaris yang kredibel serta memiliki independensi.
5) Ukuran Perusahaan (SIZE)
Untuk mengukur besarnya skala atau ukuran perusahaan yaitu dengan
melihat total aset dari laporan keuangan perusahaan pada saat melakukan
penawaran perdana sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Aset merupakan tolok
ukur berjalan atau skala perusahaan. Biasanya perusahaan besar mempunyai
aset yang besar nilainya secara teoritis perusahaan yang lebih besar yang
mempunyai kepastian yan lebih besar daripada perusahaan kecil sehingga
akan mengurangi tingkat ketidakpastian mengenai prospek perusahaan ke
depan. Hal tersebut dapat membantu investor memprediksi resiko yang
mungkin terjadi jika investor berinvestasi pada perusahaan tersebut (Yolanda
dan Martani, 2005)
15
B. Pasar Modal
Secara formal pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar untuk
berbagai instrumen keuangan (atau sekuritas) jangka panjang yang bisa
diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang ataupun modal sendiri, baik yang
diterbitkan oleh pemerintah, public authorities maupun perusahaan swasta.
Dengan demikian pasar modal merupakan konsep yang lebih sempit dari pasar
keuangan (financial market). Dalam financial market diperdagangkan semua
bentuk hutang dan modal sendiri baik dana jangka pendek maupun jangka
panjang, baik negotiable ataupun tidak (Husnan, 2005)
Menurut Darmadji (2001), instrumen keuangan yang diperjualbelikan
di pasar modal meliputi: saham, obligasi, waran, right, obligasi konvertibel
dan berbagai produk turunan/derivatif (call opsi dan put opsi). Sedangkan di
pasar keuangan diperjualkan antara lain: Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), Commercial Paper, Promissory Notes,
Call Money, Repurchase Agreement, Banker’s Acceptance, Treasury Bills, dll.
Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 seperti yang
dikutip dari Darmadji (2001) memberikan pengertian Pasar Modal yang lebih
spesifik, yaitu: “Kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan
perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan dengan Efek
yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek”.
Seperti yang telah disebutkan pada latar belakang bahwa pasar modal
(bursa efek) memiliki peran besar bagi perekonomian suatu negara karena
pasar modal menjalankan dua fungsi sekaligus. Kedua fungsi itu adalah fungsi
16
ekonomi dan fungsi keuangan. Menurut Husnan (2005), dalam melaksanakan
fungsi ekonominya, pasar modal menyediakan fasilitas untuk memindahkan
dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana (lender) ke pihak yang
memerlukan dana (borrower). Sementara fungsi keuangan dilakukan dengan
menyediakan dana yang diperlukan oleh para borrower dan para lender
menyediakan dana tanpa harus terlibat langsung dalam kepemilikan aktiva riil
yang diperlukan untuk investasi tersebut.
C. Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering)
Penawaran umum perdana saham (IPO) adalah kegiatan penawaran
saham ke publik untuk pertama kalinya. Menurut Undang-undang Nomer 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal seperti yang dikutip dari Abdullah (2001),
definisi penawaran umum adalah kegiatan penawaran yang dilakukan oleh
emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang
telah diatur dalam UU tersebut dan aturan pelaksanaannya.
Terdapat dua jenis penawaran perdana dalam penerbitan sekuritas
baru, yaitu Initial Public Offering (IPO) yang diperdagangkan pada pasar
primer dan Seasoned New Issues atau Seasoned Equity Offering (SEO) yang
diperdagangkan pada pasar sekunder (dalam Saputro dan Agung, 2005). IPO
terjadi untuk perusahaan yang baru pertama kali menerbitkan dan menjual
sekuritasnya ke publik atau belum mempunyai sekuritas yang beredar di pasar
modal, sedangkan SEO terjadi jika perusahaan sebelumnya telah menerbitkan
sekuritas dan sekuritas tersebut masih beredar atau diperdagangkan di pasar
17
modal.
Menurut Christian (2008), dalam penawaran umum mencakup
kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Periode pasar perdana, yaitu ketika efek ditawarkan kepada pemodal oleh
penjamin emisi melalui para agen penjual yang ditunjuk
2. Penjatahan saham, yaitu pengalokasian efek pesanan para pemodal sesuai
dengan jumlah efek yang tersedia
3. Pencatatan efek di bursa, yaitu saat efek tersebut mulai diperdagangkan.
Sebelum menawarkan saham di pasar perdana, perusahaan akan
menerbitkan prospektus (informasi mengenai perusahaan secara detail)
ringkas yang diumumkan di media massa. Prospektus ini berfungsi untuk
memberikan informasi mengenai kondisi perusahaan kepada para calon
investor, sehingga dengan adanya informasi maka investor bisa mengetahui
prospek perusahaan dimasa mendatang, dan selanjutnya akan tertarik untuk
membeli sekuritas yang diterbitkan emiten. Prospektus juga mencantumkan
harga saham yang akan dijual (offering price) yang telah ditentukan dahulu
oleh emiten dan underwriter. Dalam menentukan offering price, underwriter
dan emiten banyak menghadapi kesulitan untuk menentukan harga wajar.
underwriter cenderung untuk menentukan offering price lebih rendah dari
harga yang diinginkan oleh perusahaan, dengan tujuan untuk menekan resiko
tanggung jawabnya jika saham yang ditawarkan tidak habis dijual.
Perusahaan yang melakukan IPO berarti perusahaan tersebut go public
di pasar modal. Go public merupakan suatu tahapan dalam pertumbuhan dari
18
suatu perusahaan dan merupakan langkah penting pertama dalam evolusi
sebuah perusahaan publik (Jain dan Kini, 1999; seperti yang dikutip dari
Abdullah, 2001). Go public merupakan pilihan semata, bukan suatu
keharusan.
Proses penawaran umum saham dapat dikelompokan menjadi 4
tahapan berikut (dalam Christian, 2008):
1. Tahap Persiapan
Tahapan ini merupakan tahapan awal dalam rangka mempersiapkan segala
sesuatu yang berkaitan dengan proses penawaran umum. Pada tahap yang
paling awal perusahaan yang akan menerbitkan saham terlebih dahulu
melakukan rapat umum pemegang saham (RUPS) untuk meminta
persetujuan para pemegang saham dalam rangka penawaran umum saham.
Setelah mendapat persetujuan, selanjutnya emiten melakukan penunjukan
penjamin emisi serta lembaga penunjang pasar yaitu:
a.
Penjamin Emisi (underwriter), merupakan pihak yang paling banyak
keterlibatanya dalam membantu emiten dalam rangka penerbitan
saham. Kegiatan yang dilakukan penjamin emisi antara lain:
menyiapkan berbagai dokumen, membantu menyiapkan prospektus,
dan memberikan penjaminan atas penerbitan.
b. Akuntan Publik, bertugas melakukan audit atau pemeriksaan atas
laporan keuangan calon emiten.
c.
Penilai untuk melakukan penilaian terhadap aktiva tetap perusahaan
dan menentukan nilai wajar dari aktiva tetap tersebut.
19
d. Konsultan hukum untuk memberikan pendapat dari segi hukum (legal
opinion).
e.
Notaris untuk membuat akta-akta perubahan anggaran dasar, akta
perjanjian-perjanjian dalam rangka penawaran umum dan juga
notulen-notulen rapat.
2. Tahap Pengajuan Pernyataan Pendaftaran
Pada tahap ini dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung calon
emiten menyampaikan pendaftaran kepada BAPEPAM-LK hingga
BAPEPAM-LK menyatakan pendaftaran menjadi efektif.
3. Tahap Penawaran saham
Tahapan ini merupakan tahapan utama, karena pada waktu inilah emiten
menawarkan saham kepada masyarakat investor. Investor dapat membeli
saham tersebut melalui agen-agen penjual yang ditunjuk. Masa penawaran
sekurang-kurangnya tiga hari jam kerja.
4. Tahap Pencatatan saham di Bursa Efek
Setelah selesai melakukan penjualan saham dipasar perdana, selanjutnya
saham tersebut dicatatkan di Bursa Efek Indonesia.
Menurut Mohamad Samsul dalam Puspita (2011), suatu perusahaan
yang untuk pertama kalinya akan menjual saham atau obligasi kepada
masyarakat umum atau disebut initial public offering (IPO), membutuhkan
tahapan-tahapan terlebih dahulu. Tahapan tersebut dapat dikelompokkan
menjadi 5, yaitu : rencana go public, persiapan go public, pernyataan
20
pendaftaran ke BAPEPAM, penawaran umum, dan kewajiban emiten setelah
go public.
1. Rencana Go Public
Rencana go pulic membutuhkan waktu yang cukup berkaitan
dengan kondisi
internal perusahaan, seperti :
(1) Rapat gabungan pemegang saham, dewan direksi, dan dewan
komisaris Rapat gabungan ini akan membahas :
-
Alasan go public
-
Jumlah dana yang dibutuhkan
-
Penerbitan saham atau obligasi
Perusahaan berniat untuk go public karena beberapa alasan, yaitu :
-
Meningkatkan kapasitas produksi dengan menambah mesin baru
sebagai perluasan
-
Inovasi produk baru dalam upaya diversifikasi
-
Membayar utang untuk memperbaiki struktur modal
-
Memperluas jaringan pemasaran
(2) Kesiapan mental personel
Personel dari semua lapisan manajemen (termasuk pemegang
saham mayoritas) harus siap secara mental menghadapi perubahan atau
kejadian yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Banyak kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh emiten setelah perusahaan go public,
seperti kewajiban melaporkan secara rutin atau insidentil atas suatu
peristiwa penting yang apabila tidak dilaksanakan emiten akan terkena
sanksi denda atau sanksi pidana.
21
(3) Perbaikan organisasi
Organisasi perusahaan yang ada sebelum go public harus
disesuaikan dengan ketentuan perundangan yang berlaku di pasar
modal. Misalnya, kewajiban mengelola perusahaan secara baik atau
disebut good corporate governance yang tercermin dari kewajiban
mengangkat komisaris independen, kewajiban membentuk komite
audit, dan kewajiban mengangkat corporate secretary.
(4) Perbaikan sistem informasi
Mengingat
banyak
kewajiban
pelaporan
yang
harus
dilaksanakan oleh emiten,baik yang bersifat rutin maupun insidentil,
yang diminta oleh BAPEPAM ataupun Bursa Efek, maka emiten harus
memiliki sistem informasi yang dapat diterbitkan setiap kali
dibutuhkan. Perbaikan sistem meliputi keberadaan sistem akuntansi
keuangan yang mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan dari Ikatan
Akuntan Indonesia, sistem laporan tahunanyang memasukkan standar
tambahan dari bursa efek seperti hasil kerja dari komite audit, dan
sistem akuntansi manajemen yang dapat menghitung laba ekonomis
yang akan digunakan sebagai dasar menentukan jumlah deviden
tunai yang harus dibagikan.
(5) Perbaikan aspek hukum
Pada umumnya emiten berasal dari perusahaan keluarga
walaupun berbadan hukum perseroan terbatas. Go public berarti
22
perseroan terbatas tertutup harus berubah menjadi perseroan terbatas
terbuka (PT Tbk.), status kepemilikan aset tetap dan aset bergerak
harus jelas, semua jenis aset yang ada dalam laporan keuangan yang
telah diaudit harus sudah atas nama perseroan, termasuk rekening yang
ada di bank. Semua perjanjian dengan pihak ketiga harus dilakukan
secara tertulis notariil, tidak boleh secara lisan. Semua perizinan usaha
yang diwajibkan harus dipenuhi, dan yang belum ada izin harus segera
diupayakan. Semua perizinan usaha yang diwajibkan harus dipenuhi,
dan yang belum ada izin harus diupayakan. Semua kewajiban pajak
harus dipenuhi dan dibuktikan keabsahannya. Konsultan hukum akan
membantu perusahaan yang akan go public dari segi hukum sehingga
sesuai dengan hukum yang berlaku.
(6) Perbaikan struktur permodalan
Struktur modal dengan cara pemegang saham menambah modal
sendiri, atau mengubah struktur modal pinjaman dengan beban bunga
yang lebih rendah.
(7) Persiapan dokumen
Sebelum persiapan menuju go public dimulai, yaitu penunjukkan
lembaga penunjang dan lembaga profesi, semua dokumen yang
dibutuhkan oleh lembaga tersebut harus disediakan. Pihak yang
terlibat dalam proses go public adalah underwriter, akuntan publik,
notaris, konsultan hukum, dan perusahaan penilai (appraisal
company). Dokumen yang dibutuhkan antara lain : laporan keuangan
23
yang telah diaudit, proyeksi laporan keuangan, bukti kepemilikan
aktiva tetap dan aktiva bergerak, anggaran dasar perseroan, perjanjian
notariil ataupun yang dibawah tangan, polis asuransi, peraturan
perusahaan, pajak-pajak, perkara pengadilan, dan lain-lain.
2. Persiapan Menuju Go public
Setelah rincian rencana go public diselesaikan seperti uraian
sebelumnya, calon emiten akan menunjuk perusahaan penjamin emisi
efek, akuntan publik, notaris, konsultan hukum, dan perusahaan penilai
yang terdaftar di Bapepam. Persiapan menuju go public meliputi :
(1)
Penunjukkan Lembaga Penunjang dan Lembaga Profesi
Penjamin emisi akan bertindak sebagai koordinator dalam
kegiatan-kegiatan berikut :
Menentukan komitmen sesuai kondisi pasar
(2)
a.
Rapat-rapat teknis
b.
Pernyataan pendaftaran kepada BAPEPAM
c.
Public expose dan road show
d.
Persiapan prospektus
e.
Penawaran resmi
f.
Pernyataan pendaftaran kepada BAPEPAM
Due Diligence Meeting
Untuk memperoleh gambaran awal mengenai kekuatan pasar,
emiten memerlukan due diligence meeting yang dikoordinasikan
oleh underwriter,yaitu pertemuan antara emiten, underwriter, dan
24
lembaga profesi lainnya disatu sisi denagn para pialang dan para
analis keuangan perusahaan sertainvestor kelembagaan di sisi
lainnya.
(3)
Pernyataan Pendaftaran kepada BAPEPAM
Pernyataan pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan
kepada BAPEPAM oleh emiten dalam rangka penawaran umum
atau perusahaan publik.
3. Kegiatan pelaksanaan go public meliputi :
a. Penyerahan dokumen ke BAPEPAM
b. Tanggapan dari BAPEPAM
c. Perbaikan dokumen pernyataan pendaftaran
d. Mini expose di BAPEPAM
e. Penentuan harga perdana
f. Sindikasi dan perjanjian penjaminan emisi
4. Penawaran Umum
Kegiatan penawaran umum meliputi :
a. Distribusi prospectus
b. Penyusunan prospektus ringkas untuk diiklankan
25
c. Penawaran
d. Penjatahan
e. Pengembalian dana
f. Penyerahan saham
g. Pencatatan saham atau perdagangan saham
Prospektus harus didistribusikan kepada para agen penjual yang
ditunjuk underwriter sebelum penawaran resmi dilaksanakan. Calon
investor dapat memesan saham secara langsung dari penjamin emisi atau
para agen penjual sekaligus dengan pembayarannya dan menyerahkan
fotocopi identitas seperti, kartu tanda penduduk.
Penawaran resmi efek melibatkan 5 tahapan, yaitu :
a. Periode penawaran (offering period)
adalah periode (minimal 3 hari kerja) dimulainya penawaran sekuritas.
b. Periode penjatahan (allotment period)
adalah periode (maksimal 6 hari kerja) akan dilakukannya pembagian
perolehan saham.
c. Periode pengembalian dana (refund period)
adalah periode tertentu (maksimal 4 hari kerja) yang telah ditetapkan
dan tertera dalam prospektus akibat kelebihan pembayaran oleh calon
investor berkaitan dengan penjatahan saham.
d. Periode penyerahan saham (delivery period)
26
adalah 3 hari sebelum saham itu dicatatkan atau diperdagangkan di
Bursa Efek, saham tersebut sudah diterima oleh investor.
e. Periode pencatatan di bursa efek (listing date)
adalah suatu tanggal yang telah ditetapkan terlebih dahulu dan tertera
pada halaman depan prospektus yang menunjukkan hari pertama
saham itu diperdagangkan di bursa efek. Setelah selesai melakukan
penjualan saham di pasar perdana, selanjutnya saham tersebut
dicatatkan di Bursa Efek Indonesia sampai perdagangan di pasar
sekunder
dilaksanakan
selambat-lambatnya
90
hari
sesudah
dimulainya masa penawaran umum, atau 30 hari sesudah ditutupnya
masa penawaran umum tersebut tergantung mana yang lebih dahulu.
Di BEI, proses pencatatan efek dimulai dari pengajuan permohonan
pencatatan ke bursa oleh emiten tentunya berdasarkan persyaratan
pencatatan efek yang berlaku di BEI. Persyaratan untuk tiap efek
berbeda, tetapi persyaratan pertama yang harus dipenuhi terlebih
dahulu antara lain mendapat pernyataan efektif dari BAPEPAM atas
pernyataan pendaftaran emisi emiten.
5. Kewajiban Emiten setelah Go Public
Pemegang saham mayoritas atau pemilik lama sebagai pemegang saham
pendiri (founding stakeholder) harus menjaga kepercayaan yang sudah
diberikan oleh pemegang saham minoritas atau masyarakat dengan cara :
27
a.
Pemegang saham mayoritas atau pemilik lama sebagai pemegang
saham
b.
pendiri (founding stakeholder) harus menjaga kepercayaan yang
sudah diberikan
c.
oleh pemegang saham minoritas atau masyarakat dengan cara :
d.
Tidak melakukan tindakan yang menjatuhkan harga saham di pasar
e.
Selalu memberi informasi secepat mungkin kepada investor
f.
Tidak melakukan penipuan harga dalam transaksi internal yang
mengandung
Conflict misalnya, transfer pricing dan pinjaman tanpa bunga.
g.
Menyampaikan laporan keuangan yang sudah diaudit (short form
report)
langsung ke alamat pemegang saham
h.
Menyampaikan laporan berkala yang sudah diwajibkan oleh
Bapepam atau Bursa.
i.
Menyampaikan laporan insidentil atas suatu peristiwa yang terjadi
dan dapat mempengaruhi harga saham di pasar.
D. Ringkasan Hasil penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Hasil Ringkasan Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti
1
I Dewa Ayu
Judul
Analisis FaktorFaktor Yang
Variabel
Penelitian
Reputasi
underwriter,
Hasil Penelitian
Variabel reputasi
underwriter, Ukuran
28
Kristiantari
(2012)
Mempengaruhi
Underpricing
saham Dalam
penawaran saham
perdana di Bursa
Efek Indonesia
Reputasi
auditor, Umur
perusahaan,
Ukuran
perusahaan,
Tujuan
penggunaan
dana, Return On
Asset, Financial
leverage, Jenis
industri.
2
Agnes
Fristanika
Hertiningtyas
(2011)
Analisis FaktorFaktor yang
Mempengaruhi
underpricing
harga saham
penawaran
perdana di Bursa
Efek Indonesia
Periode 20062010.
-Reputasi
Auditor
-Komposisi
Dewan
Komisaris.
-Jenis Industri
-Profitabilitas
Perusahaan
-Umur
Perusahaan
-Reputasi
Underwriter.
3
Tiffani
Puspita
(2011)
Analisis FaktorFaktor Yang
Mempengaruhi
Underpricing
Dalam Initial
Public Offering di
Bursa Efek
Indonesia.
Reputasi
underwriter,
Reputasi
auditor, Umur
perusahaan,
Financial
leverage dan
Return On
Asset.
perusahaan dan
tujuan penggunaan
dana untuk investasi
secara signifikan
berpengaruh pada
underpricing dengan
arah koefisien
negatif untuk ketiga
variabel. Sedangkan
variabel reputasi
auditor, umur
perusahaan, ROA,
Financial leverage
dan jenis industri
terbukti tidak
memiliki pengaruh
signifikan pada
terjadinya
underpricing.
-Reputasi auditor,
Dan Komposisi
Dewan Komisaris
secara signifikan
berpengaruh
terhadap tingkat
underpricing dengan
arah hubungan
negatif.
-Reputasi
Underwriter,
profitabilitas, umur
perusahaan dan jenis
industri tidak
memiliki pengaruh
signifikan terhadap
tingkat underpricing.
-Reputasi
Underwiter
berpengaruh tidak
signifikan.
-Reputasi Auditor
berpengaruh tidak
signifikan.
-Umur Perusahaan
berpengaruh
signifikan.
29
4
Aria ( 2007 )
Analisis FaktorFaktor yang
Mempengaruhi
Underpricing
pada Initial
Return di Bursa
Efek Jakarta
Reputasi
underwriter,
profitabilitas
perusahaan,
financial
leverage,
persentase
saham dan
ukuran
perusahaan
5
Chastina
Yolana dan
Dwi Martani
(2005)
.Variabel-variabel
yang
mempengaruhi
fenomena
underpricing
pada penawaran
saham perdana di
Bursa Efek
Jakarta tahun
1994-2001.
(SNA 8 15-16
September 2005)
-Total Asset
-Return On
Equity
-Kurs
-Reputasi
penjamin emisi
-Jenis Industri
-Financial Leverage
berpengaruh
signifikan.
-Return On Asset
berpengaruh
signifikan.
Ukuran perusahaan
berpengaruh
significant terhadap
underpricing,
sedangkan reputasi
underwriter,
profitabilitas
perusahaan,
financial leverage,
persentase saham
tidak berpengaruh
significant terhadap
underpricing
.-Signifikan (-)
-Signifikan (-)
-Signifikan(+)
-Tidak Signifikan(+)
-Signifikan (-)
30
E. Kerangka Penelitian
Variabel-variabel yang dipredikasi mempengaruhi underpricing antara
lain, umur perusahaan, reputasi underwriter, financial leverage (DER),
profitabilitas (ROA), ukuran perusahaan dan komposisi Dewan Komisaris.
Dalam penelitian ini apakah variabel financial leverage (DER),
profitabilitas (ROA), ukuran perusahaan dan komposisi Dewan Komisaris
secara bersama-sama dapat mempengaruhi tingkat underpricing pada
perusahaan yang melakukan IPO tahun 2005 – 2009.
Kerangka berpikir dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1
Kerangka Penelitian
Financial
leverage (DER)
(X1)
Komposisi
Dewan Komisaris
(X2)
Profitabilitas
Keuangan
(X3)
H1
1
H2
H3
1
Underpricing
(Y)
31
H4
Ukuran
Perusahaan
(X4)
Pada kerangka pemikiran diatas menjelaskan bahwa variabel Y
(underpricing) dipengaruhi oleh beberapa variabel X atau independen yang
terdiri dari X1, yaitu financial leverage (DER), X2 yaitu komposisi Dewan
Komisaris, X3, yaitu profitabilitas perusahaan (ROA), dan X4, yaitu
ukuran perusahaan.
F. Perumusan Hipotesis
Berdasarkan pengamatan terhadap hasil penelitian sebelumnya, maka
disusun hipotesis untuk masing-masing variabel yang akan diuji, yaitu sebagai
berikut:
1. Financial leverage
Financial leverage menunjukkan besarnya tingkat hutang yang
dimiliki oleh perusahaan. Makin besar hutang yang dimiliki oleh
perusahaan maka akan semakin besar pula risiko perusahaan tersebut. Hal
ini akan berdampak pada ketidakpastian harga saham. Financial leverage
diukur dengan ratio antara total hutang terhadap total ekuitas.
Daljono (2000), dalam penelitiannya menggunakan data perusahaan yang
32
melakukan IPO di BEJ selama periode 1990-1997 untuk meneliti serta
menguji pengaruh faktor reputasi auditor, reputasi underwriter ,
persentase saham yang ditawarkan, profitabilitas perusahaan, financial
leverage dan solvency ratio terhadap tingkat underpricing. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor financial leverage dan reputasi underwriter
secara statistic signifikan mempengaruhi underpricing.
H1 : Financial leverage berpengaruh terhadap underpricing.
2. Komposisi Dewan Komisaris
Dewan komisaris merupakan salah satu inti dari mekanisme
pengendalian internal. Tugas utama dewan komisaris adalah melakukan
pengawasan terhadap dewan direksi dan manjemen atas pengelolaan
sumber daya perusahaan agar dapat berjalan secara efisien dan efektif
dalam rangka mencapai tujuan organisasi, selain itu juga menyeleksi,
mengganti dewan direksi, serta mengawasi jalannya pergantian direksi.
Perusahaan harus memiliki dewan komisaris yang kredibel serta memiliki
independensi. Kredibilitas dapat dibentuk dengan melakukan penataan
terhadap dewan komisaris. Terdapat faktor-faktor yang harus dicermati,
yaitu:
1. Menentukan jumlah komisaris yang efektif, jumlah komisaris tidak
boleh terlalu sedikit karena akan mengganggu kinerja dewan direksi
33
itu sendiri tetapi juga tidak boleh terlalu banyak karena akan
berdampak pada efisiensi.
2. Faktor pendidikan, dimana tugas-tugas pokok dewan komisaris adalah
berkaitan erat dengan hal-hal yang bersifat strategik. Oleh karena itu,
dukungan dari latar belakang pendidikan yang memadai akan sangat
menentukan kualitas keahlian, pengetahuan, dan pengolahan informasi
sehingga akan berdampak pada pengawasan yang diberikan.
3. Faktor pengalaman, dimana anggota dewan komisaris yang memiliki
latar belakang pendidikan yang baik akan lebih baik apabila didukung
oleh pengalaman yang cukup.
Dalam code for good corporate governance yang dituangkan
dalam Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor: Kep315/BEI/062000 butir C mengenai pembentukan dewan komisaris
independen, menjadi salah satu hal yang diwajibkan bagi perusahaanperusahaan publik yang listing di BEI. Keberadaan komisaris independen
sangat diperlukan karena tujuan dibentuknya dewan komisaris adalah
sebagai wakil dari pemegang saham khususnya dan stakeholders lain,
yang bertugas mengawasi aktivitas manajemen sehingga asimetris
informasi antara manajer dan pemegang saham dapat diatasi. Dengan
asumsi dewan komisaris mewakili pemegang saham, maka dewan
komisaris merupakan alat pengendali dan merupakan elemen yang sangat
penting. Anggota dewan komisaris terdiri dari orang-orang yang berasal
dari dalam perusahaan (intern) dan dari luar perusahaan (ekstern). anggota
34
dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan ini disebut juga sebagai
komisaris independen. Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Bursa
Efek Indonesia mengenai pembentukan komisaris independen, ditetapkan
bahwa jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah
seluruh anggota komisaris. Prosentase 30% ini dianggap bisa mewakili
pemilik saham yang dianggap minoritas, sehingga kemungkinan terjadinya
perbedaan perlakuan antara pemilik saham mayoritas dan minoritas tidak
perlu terjadi. Dalam menjamin pelaksanaan pengelolaan perushaan yang
baik, maka diperlukan dewan komisaris yang berintegrasi, mempunyai
kemampuan, mempunyai latar belakang pendidikan yang baik, tidak cacat
hukum, serta tidak memiliki hubungan bisnis dengan pihak lain yang dapat
merugikan perusahaan. Komposisi Dewan Komisaris harus sedemikian
rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif, tepat,
dan cepat serta dapat bertindak secara independen dalam arti tidak
mempunyai
kepentingan
yang
menganggu
kemempuannya
untuk
melaksanakan tugasnya secara mandiri dan kritis. Komposisi dewan
komisaris harus memiliki kriteria yang ditetapkan oleh perusahaan agar
tujuan
perusahaan
dalam
menjaga
kualitas
manajemen
dan
mempertahankan nilai perusahaan di mata investor tercapai sesuai dengan
standar corporate governance yang diwajibkan oleh Bapepam kepada
perusahaan yang go public. Peraturan di Indonesia mengenai board
governance merupakan suatu bentuk upaya dari pemerintah sebagai pihak
regulator untuk memperbaiki corporate governance di Indonesia, terutama
35
pasca krisis ekonomi tahun 1998. Dengan demikian semakin baik
komposisi dewan komisaris maka akan meningkatkan nilai perusahaan.
Semakin baik komposisi Dewan Komisaris, maka semakin kecil tingkat
ketidakpastian di masa mendatang, sehingga tingkat underpricing-nya
akan rendah. Hertiningtyas (2011) penelitiannya menggunakan data BEI
pada periode tahun 2006-2011 untuk meneliti pengaruh reputasi auditor,
komposisi Dewan Komisaris, jenis industri, profitabilitas perusahaan,
umur
perusahaan
dan
reputasi
underwriter.
Hasil
penelitiannya
menunjukan bahwa komposisi Dewan Komisaris berpengaruh signifikan
terhadap underpricing.
H2
:
Komposisi
Dewan
Komisaris
berpengaruh
terhadap
underpricing.
3. Profitabilitas Perusahaan
Profitabilitas perusahaan memberikan informasi kepada pihak luar
mengenai efektifitas operasional perusahaan dan menunjukkan kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan laba. Profitabilitas yang tinggi dari suatu
perusahaan
akan
mengurangi
tingkat
underpricing.
Profitabilitas
perusahaan diukur dengan rate of return on total asset (ROA). Penelitian
Puspita (2011) dengan menggunakan 50 sampel emiten dari tahun 20052009 yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia meneliti apakah
variabel reputasi underwriter, reputasi auditor, umur perusahaan, financial
leverage (DER), dan Return On Asset berpengaruh terhadap underpricing.
36
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel return on assets yang
berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing.
H3 : Profitabilitas perusahaan berpengaruh terhadap underpricing.
4. Ukuran Perusahaan
Perusahaan skala besar umumnya lebih dikenal oleh masyarakat
karena informasi yang memuat tentang perusahaan tersebut tentunya akan
lebih banyak dan mudah diperoleh bila dibanding dengan perusahaan skala
kecil. Semakin banyak informasi yang tersedia akan semakin mereduksi
tingkat ketidakpastian investor terhadap prospek perusahaan. Perusahaan
berskala besar memiliki tingkat underpricing yang lebih rendah dibanding
perusahaan
berskala
kecil.
Tingkat
underpricing
yang
rendah
menunjukkan bahwa initial return yang diterima investor juga akan
rendah.
Aria (2005) menggunakan sampel sebanyak 58 perusahaan yang
melakukan penawaran saham perdana di BEJ dalan kurun waktu 2001 2005 untuk meneliti apakah variabel ukuran perusahaan, profitabilitas,
financial leverage, reputasi penjamin emisi (underwriter), persentase
saham yang ditawarkan dan umur perusahaan mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap net initial return. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa hanya variabel ukuran perusahaan saja yang berpengaruh secara
signifikan terhadap net initial return.
H4 : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap underpricing
Download