9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori 1) Signalling Theory Underpricing adalah keadaan dimana harga saham pada saat penawaran perdana lebih rendah dibandingkan pada saat saham tersebut diperdagangkan di pasar sekunder. Beberapa literatur menjelaskan bahwa underpricing terjadi karena adanya asimetri informasi (asymmetry information). Pada model Baron,(1982) dalam Daljono (2000) menganggap bahwa underwiter memiliki informasi lebih tentang pasar modal, sedangkan emiten merupakan pihak yang tidak memiliki informasi. Underwriter memanfaatkan informasi yang dimilikinya untuk membuat kesepakatan harga IPO yang optimal baginya. Dikarenakan kurangnya informasi yang diperoleh maka emiten menerima harga murah bagi penawaran harga saham perdananya. Semakin besar ketidakpastian emiten tentang kewajaran harga sahamnya, maka lebih besar permintaan terhadap jasa underwriter dalam menetapkan harga. Kompensasi atas informasi yang diberikan underwriter yaitu mengizinkan underwiter menawarkan harga saham perdananya di bawah harga equilibrium, dengan demikian semakin besar ketidakpastian akan semakin besar resiko yang dihadapi underwriter, maka akan menyebabkan tingkat 10 underpricing semakin tinggi. Pada Model Rock, (1982) dalam Daljono (2000) asimetri informasi terjadi antara kelompok investor yang memiliki informasi dan kelompok investor yang tidak memiliki informasi tentang prospek perusahaan. Kelompok yang memiliki informasi lebih baik, akan membeli saham-saham initial public offering (IPO) yang underpriced. Sedangkan kelompok yang kurang memiliki informasi tentang prospek emiten, akan membeli saham secara sembarangan, baik saham yang underpriced atau overpriced. Akibat kelompok yang tidak memiliki informasi akan memperoleh lebih besar saham yang overpriced. Su (2004) dalam Saputro dan Agung (2005) menyebutkan bahwa underpricing IPO dapat disebabkan oleh masalah mendasar yang diturunkan dari ketidakpastian keadaan ekonomi mikro dan asimetri informasi. Asimetri informasi dapat terjadi antara underwriter dengan emiten atau antara investor well informed dengan investor yang uninformed. Asimetri informasi ini dapat terjadi karena underwriter mempunyai informasi yang lebih baik tentang pasar modal dibandingkan emiten. Underwriter akan memanfaatkan informasi yang dimilikinya untuk membuat kesepakatan harga IPO yang optimal bagi dirinya, dengan maksud untuk memperkecil risiko dalam keharusan membeli saham yang tidak laku terjual. Sedangkan emiten akan menerima harga yang murah bagi penawaran sahamnya karena kurangnya informasi yang dimiliki. Yolana dan Dwi Martani (2005) mendefinisikan underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham di pasar sekunder dengan harga 11 saham di pasar perdana atau saat Initial Public Offering. Fenomena underpricing dikarenakan adanya mispriced di pasar perdana karena ketidakseimbangan informasi antara pihak underwriter dan pihak perusahaan. Dalam literature keuangan masalah itu disebut Asymetri Informasi. Di Indonesia fungsi penjaminan hanya ada satu tipe yaitu full commitment, sehingga pihak underwriter berusaha mengurangi resiko dengan jalan menekan harga di pasar perdana, agar terhindar dari kerugian (Ghozali dan Mudrik Al Mansur, 2002). Tipe penjaminan full commitment adalah tipe penjaminan yang beresiko tinggi bagi underwriter (Nurhayati dan Nur Indriantoro, 1998). Fenomena underpricing tidak menguntungkan bagi perusahaan yang Go Public karena dana yang diperoleh emiten tidak maksimal tetapi di lain pihak menguntungkan investor (Pratiwi dan Kusuma, 2001). Menurut Beaty (1989) bahwa para pemilik perusahaan menginginkan agar meminimalkan underpricing karena ini akan menyebabkan adanya transfer kemakmuran (Wealth) dari pemilik kepada investor. Ada 3 (Tiga) teori pokok yang menentukan underpricing yaitu, asimetri informasi, signalling hypothesis, litigation risk. Teori-teori yang menjelaskan underpricing: 1. Asimetri Informasi Emiten, underwriter, masyarakat pemodal adalah pihak-pihak yang terlibat dalam penawaran perdana pada saat terjadinya underpricing karena adanya asimetri informasi yang menjelaskan perbedaan informasi. Model Baron (1982) sebagaimana dikutip Daljono (2000), menganggap 12 underwriter memiliki informasi lebih mengenai pasar modal. Sedangkan emiten tidak memiliki informasi mengenai pasar modal. Oleh karena itu, underwriter memanfaatkan informasi yang dimiliki untuk membuat kesepakatan harga IPO yang maksimal, yaitu harga yang memperkecil resikonya apabila saham tidak terjual semua, karena emiten tidak memiliki cukup informasi sehingga menerima harga yang murah bagi penawaran sahamnya. Semakin besar ketidakpastian emiten tentang kewajaran harga sahamnya, maka lebih besar permintaan terhadap jasa underwriter dalam menetapkan harga, sehingga underwriter menawarkan harga perdana sahamnya di bawah harga ekuilibrium. Oleh karena itu akan menyebabkan tingkat underpricing semakin tinggi. 2. Signalling Hypothesis Dalam konteks ini underpricing merupakan suatu fenomena ekuilibrium yang berfungsi sebagai sinyal kepada investor bahwa kondisi perusahaan cukup baik atau mempunyai prospek yang bagus (Ernyan dan Husnan, 2005). Titman dan trueman (1986) menyajikan signalling model yang menyatakan bahwa auditor yang memiliki kualitas baik menghasilkan informasi yang berguna bagi investor di dalam menaksir nilai perusahaan yang melakukan IPO. Hal ini sesuai dengan signalling theory yang dikemukakan Leland and Pyle (1977) yang menunjukan bahwa laporan keuangan audited dan prosentase kepemilikan saham akan mengurangi ketidakpastian. 13 3. Litigation Risk Mengutip Regulation Hypothesis menjelaskan bahwa peraturan pemerintah yang diberlakukan dimaksudkan untuk mengurangi asimetri informasi antara pihak manajemen dan pihak luar termasuk para calon pemodal (Ernyan dan Husnan, 2002) 2) Financial Leverage (Debt To Equty Ratio) Financial leverage menunjukan kemampuan perusahaan dalam membayar hutangnya dengan ekuiti yang dimilikinya. Apabila financial leverage tinggi, hal ini menunjukan resiko suatu perusahaan tinggi pula, sehingga para investor dalam melakukan keputusan investasi mempertimbangkan informasi financial leverage untuk menghindari harga saham sebagai salahsatu penyebab terjadinya underpricing Daljono dalam (Puspita 2011). 3) Profitabilitas (Return On Assets) Merupakan suatu rasio penting dipergunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dengan investasi yang telah ditanamkan atau aset yang sudah dimilikinya untuk mendapatkan laba. Return On Assets menjadi salah satu pertmbanan investor dalam melakukan investasi terhadap sahamsaham di lantai bursa menurut Iman Ghozali dan Mudrik Al-Mansur (2002). 14 4) Komposisi Dewan Komisaris Dewan komisaris merupakan salah satu inti dari mekanisme pengendalian internal. Tugas utama Dewan Komisaris adalah melakukan pengawasan terhadap Dewan Direksi dan manajemen atas pengelolaan sumber daya perusahaan agar dapat berjalan secara efisien dan efektif dalam rangka mencapai tujuan organisasi, selain itu juga menyeleksi, mengganti dewan direksi, serta mengawasi jalannya pergantian direksi. Perusahaan harus memiliki Dewan Komisaris yang kredibel serta memiliki independensi. 5) Ukuran Perusahaan (SIZE) Untuk mengukur besarnya skala atau ukuran perusahaan yaitu dengan melihat total aset dari laporan keuangan perusahaan pada saat melakukan penawaran perdana sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Aset merupakan tolok ukur berjalan atau skala perusahaan. Biasanya perusahaan besar mempunyai aset yang besar nilainya secara teoritis perusahaan yang lebih besar yang mempunyai kepastian yan lebih besar daripada perusahaan kecil sehingga akan mengurangi tingkat ketidakpastian mengenai prospek perusahaan ke depan. Hal tersebut dapat membantu investor memprediksi resiko yang mungkin terjadi jika investor berinvestasi pada perusahaan tersebut (Yolanda dan Martani, 2005) 15 B. Pasar Modal Secara formal pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar untuk berbagai instrumen keuangan (atau sekuritas) jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang ataupun modal sendiri, baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public authorities maupun perusahaan swasta. Dengan demikian pasar modal merupakan konsep yang lebih sempit dari pasar keuangan (financial market). Dalam financial market diperdagangkan semua bentuk hutang dan modal sendiri baik dana jangka pendek maupun jangka panjang, baik negotiable ataupun tidak (Husnan, 2005) Menurut Darmadji (2001), instrumen keuangan yang diperjualbelikan di pasar modal meliputi: saham, obligasi, waran, right, obligasi konvertibel dan berbagai produk turunan/derivatif (call opsi dan put opsi). Sedangkan di pasar keuangan diperjualkan antara lain: Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), Commercial Paper, Promissory Notes, Call Money, Repurchase Agreement, Banker’s Acceptance, Treasury Bills, dll. Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 seperti yang dikutip dari Darmadji (2001) memberikan pengertian Pasar Modal yang lebih spesifik, yaitu: “Kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek”. Seperti yang telah disebutkan pada latar belakang bahwa pasar modal (bursa efek) memiliki peran besar bagi perekonomian suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi sekaligus. Kedua fungsi itu adalah fungsi 16 ekonomi dan fungsi keuangan. Menurut Husnan (2005), dalam melaksanakan fungsi ekonominya, pasar modal menyediakan fasilitas untuk memindahkan dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana (lender) ke pihak yang memerlukan dana (borrower). Sementara fungsi keuangan dilakukan dengan menyediakan dana yang diperlukan oleh para borrower dan para lender menyediakan dana tanpa harus terlibat langsung dalam kepemilikan aktiva riil yang diperlukan untuk investasi tersebut. C. Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering) Penawaran umum perdana saham (IPO) adalah kegiatan penawaran saham ke publik untuk pertama kalinya. Menurut Undang-undang Nomer 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal seperti yang dikutip dari Abdullah (2001), definisi penawaran umum adalah kegiatan penawaran yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang telah diatur dalam UU tersebut dan aturan pelaksanaannya. Terdapat dua jenis penawaran perdana dalam penerbitan sekuritas baru, yaitu Initial Public Offering (IPO) yang diperdagangkan pada pasar primer dan Seasoned New Issues atau Seasoned Equity Offering (SEO) yang diperdagangkan pada pasar sekunder (dalam Saputro dan Agung, 2005). IPO terjadi untuk perusahaan yang baru pertama kali menerbitkan dan menjual sekuritasnya ke publik atau belum mempunyai sekuritas yang beredar di pasar modal, sedangkan SEO terjadi jika perusahaan sebelumnya telah menerbitkan sekuritas dan sekuritas tersebut masih beredar atau diperdagangkan di pasar 17 modal. Menurut Christian (2008), dalam penawaran umum mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1. Periode pasar perdana, yaitu ketika efek ditawarkan kepada pemodal oleh penjamin emisi melalui para agen penjual yang ditunjuk 2. Penjatahan saham, yaitu pengalokasian efek pesanan para pemodal sesuai dengan jumlah efek yang tersedia 3. Pencatatan efek di bursa, yaitu saat efek tersebut mulai diperdagangkan. Sebelum menawarkan saham di pasar perdana, perusahaan akan menerbitkan prospektus (informasi mengenai perusahaan secara detail) ringkas yang diumumkan di media massa. Prospektus ini berfungsi untuk memberikan informasi mengenai kondisi perusahaan kepada para calon investor, sehingga dengan adanya informasi maka investor bisa mengetahui prospek perusahaan dimasa mendatang, dan selanjutnya akan tertarik untuk membeli sekuritas yang diterbitkan emiten. Prospektus juga mencantumkan harga saham yang akan dijual (offering price) yang telah ditentukan dahulu oleh emiten dan underwriter. Dalam menentukan offering price, underwriter dan emiten banyak menghadapi kesulitan untuk menentukan harga wajar. underwriter cenderung untuk menentukan offering price lebih rendah dari harga yang diinginkan oleh perusahaan, dengan tujuan untuk menekan resiko tanggung jawabnya jika saham yang ditawarkan tidak habis dijual. Perusahaan yang melakukan IPO berarti perusahaan tersebut go public di pasar modal. Go public merupakan suatu tahapan dalam pertumbuhan dari 18 suatu perusahaan dan merupakan langkah penting pertama dalam evolusi sebuah perusahaan publik (Jain dan Kini, 1999; seperti yang dikutip dari Abdullah, 2001). Go public merupakan pilihan semata, bukan suatu keharusan. Proses penawaran umum saham dapat dikelompokan menjadi 4 tahapan berikut (dalam Christian, 2008): 1. Tahap Persiapan Tahapan ini merupakan tahapan awal dalam rangka mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses penawaran umum. Pada tahap yang paling awal perusahaan yang akan menerbitkan saham terlebih dahulu melakukan rapat umum pemegang saham (RUPS) untuk meminta persetujuan para pemegang saham dalam rangka penawaran umum saham. Setelah mendapat persetujuan, selanjutnya emiten melakukan penunjukan penjamin emisi serta lembaga penunjang pasar yaitu: a. Penjamin Emisi (underwriter), merupakan pihak yang paling banyak keterlibatanya dalam membantu emiten dalam rangka penerbitan saham. Kegiatan yang dilakukan penjamin emisi antara lain: menyiapkan berbagai dokumen, membantu menyiapkan prospektus, dan memberikan penjaminan atas penerbitan. b. Akuntan Publik, bertugas melakukan audit atau pemeriksaan atas laporan keuangan calon emiten. c. Penilai untuk melakukan penilaian terhadap aktiva tetap perusahaan dan menentukan nilai wajar dari aktiva tetap tersebut. 19 d. Konsultan hukum untuk memberikan pendapat dari segi hukum (legal opinion). e. Notaris untuk membuat akta-akta perubahan anggaran dasar, akta perjanjian-perjanjian dalam rangka penawaran umum dan juga notulen-notulen rapat. 2. Tahap Pengajuan Pernyataan Pendaftaran Pada tahap ini dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung calon emiten menyampaikan pendaftaran kepada BAPEPAM-LK hingga BAPEPAM-LK menyatakan pendaftaran menjadi efektif. 3. Tahap Penawaran saham Tahapan ini merupakan tahapan utama, karena pada waktu inilah emiten menawarkan saham kepada masyarakat investor. Investor dapat membeli saham tersebut melalui agen-agen penjual yang ditunjuk. Masa penawaran sekurang-kurangnya tiga hari jam kerja. 4. Tahap Pencatatan saham di Bursa Efek Setelah selesai melakukan penjualan saham dipasar perdana, selanjutnya saham tersebut dicatatkan di Bursa Efek Indonesia. Menurut Mohamad Samsul dalam Puspita (2011), suatu perusahaan yang untuk pertama kalinya akan menjual saham atau obligasi kepada masyarakat umum atau disebut initial public offering (IPO), membutuhkan tahapan-tahapan terlebih dahulu. Tahapan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 5, yaitu : rencana go public, persiapan go public, pernyataan 20 pendaftaran ke BAPEPAM, penawaran umum, dan kewajiban emiten setelah go public. 1. Rencana Go Public Rencana go pulic membutuhkan waktu yang cukup berkaitan dengan kondisi internal perusahaan, seperti : (1) Rapat gabungan pemegang saham, dewan direksi, dan dewan komisaris Rapat gabungan ini akan membahas : - Alasan go public - Jumlah dana yang dibutuhkan - Penerbitan saham atau obligasi Perusahaan berniat untuk go public karena beberapa alasan, yaitu : - Meningkatkan kapasitas produksi dengan menambah mesin baru sebagai perluasan - Inovasi produk baru dalam upaya diversifikasi - Membayar utang untuk memperbaiki struktur modal - Memperluas jaringan pemasaran (2) Kesiapan mental personel Personel dari semua lapisan manajemen (termasuk pemegang saham mayoritas) harus siap secara mental menghadapi perubahan atau kejadian yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Banyak kewajiban yang harus dilaksanakan oleh emiten setelah perusahaan go public, seperti kewajiban melaporkan secara rutin atau insidentil atas suatu peristiwa penting yang apabila tidak dilaksanakan emiten akan terkena sanksi denda atau sanksi pidana. 21 (3) Perbaikan organisasi Organisasi perusahaan yang ada sebelum go public harus disesuaikan dengan ketentuan perundangan yang berlaku di pasar modal. Misalnya, kewajiban mengelola perusahaan secara baik atau disebut good corporate governance yang tercermin dari kewajiban mengangkat komisaris independen, kewajiban membentuk komite audit, dan kewajiban mengangkat corporate secretary. (4) Perbaikan sistem informasi Mengingat banyak kewajiban pelaporan yang harus dilaksanakan oleh emiten,baik yang bersifat rutin maupun insidentil, yang diminta oleh BAPEPAM ataupun Bursa Efek, maka emiten harus memiliki sistem informasi yang dapat diterbitkan setiap kali dibutuhkan. Perbaikan sistem meliputi keberadaan sistem akuntansi keuangan yang mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan dari Ikatan Akuntan Indonesia, sistem laporan tahunanyang memasukkan standar tambahan dari bursa efek seperti hasil kerja dari komite audit, dan sistem akuntansi manajemen yang dapat menghitung laba ekonomis yang akan digunakan sebagai dasar menentukan jumlah deviden tunai yang harus dibagikan. (5) Perbaikan aspek hukum Pada umumnya emiten berasal dari perusahaan keluarga walaupun berbadan hukum perseroan terbatas. Go public berarti 22 perseroan terbatas tertutup harus berubah menjadi perseroan terbatas terbuka (PT Tbk.), status kepemilikan aset tetap dan aset bergerak harus jelas, semua jenis aset yang ada dalam laporan keuangan yang telah diaudit harus sudah atas nama perseroan, termasuk rekening yang ada di bank. Semua perjanjian dengan pihak ketiga harus dilakukan secara tertulis notariil, tidak boleh secara lisan. Semua perizinan usaha yang diwajibkan harus dipenuhi, dan yang belum ada izin harus segera diupayakan. Semua perizinan usaha yang diwajibkan harus dipenuhi, dan yang belum ada izin harus diupayakan. Semua kewajiban pajak harus dipenuhi dan dibuktikan keabsahannya. Konsultan hukum akan membantu perusahaan yang akan go public dari segi hukum sehingga sesuai dengan hukum yang berlaku. (6) Perbaikan struktur permodalan Struktur modal dengan cara pemegang saham menambah modal sendiri, atau mengubah struktur modal pinjaman dengan beban bunga yang lebih rendah. (7) Persiapan dokumen Sebelum persiapan menuju go public dimulai, yaitu penunjukkan lembaga penunjang dan lembaga profesi, semua dokumen yang dibutuhkan oleh lembaga tersebut harus disediakan. Pihak yang terlibat dalam proses go public adalah underwriter, akuntan publik, notaris, konsultan hukum, dan perusahaan penilai (appraisal company). Dokumen yang dibutuhkan antara lain : laporan keuangan 23 yang telah diaudit, proyeksi laporan keuangan, bukti kepemilikan aktiva tetap dan aktiva bergerak, anggaran dasar perseroan, perjanjian notariil ataupun yang dibawah tangan, polis asuransi, peraturan perusahaan, pajak-pajak, perkara pengadilan, dan lain-lain. 2. Persiapan Menuju Go public Setelah rincian rencana go public diselesaikan seperti uraian sebelumnya, calon emiten akan menunjuk perusahaan penjamin emisi efek, akuntan publik, notaris, konsultan hukum, dan perusahaan penilai yang terdaftar di Bapepam. Persiapan menuju go public meliputi : (1) Penunjukkan Lembaga Penunjang dan Lembaga Profesi Penjamin emisi akan bertindak sebagai koordinator dalam kegiatan-kegiatan berikut : Menentukan komitmen sesuai kondisi pasar (2) a. Rapat-rapat teknis b. Pernyataan pendaftaran kepada BAPEPAM c. Public expose dan road show d. Persiapan prospektus e. Penawaran resmi f. Pernyataan pendaftaran kepada BAPEPAM Due Diligence Meeting Untuk memperoleh gambaran awal mengenai kekuatan pasar, emiten memerlukan due diligence meeting yang dikoordinasikan oleh underwriter,yaitu pertemuan antara emiten, underwriter, dan 24 lembaga profesi lainnya disatu sisi denagn para pialang dan para analis keuangan perusahaan sertainvestor kelembagaan di sisi lainnya. (3) Pernyataan Pendaftaran kepada BAPEPAM Pernyataan pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada BAPEPAM oleh emiten dalam rangka penawaran umum atau perusahaan publik. 3. Kegiatan pelaksanaan go public meliputi : a. Penyerahan dokumen ke BAPEPAM b. Tanggapan dari BAPEPAM c. Perbaikan dokumen pernyataan pendaftaran d. Mini expose di BAPEPAM e. Penentuan harga perdana f. Sindikasi dan perjanjian penjaminan emisi 4. Penawaran Umum Kegiatan penawaran umum meliputi : a. Distribusi prospectus b. Penyusunan prospektus ringkas untuk diiklankan 25 c. Penawaran d. Penjatahan e. Pengembalian dana f. Penyerahan saham g. Pencatatan saham atau perdagangan saham Prospektus harus didistribusikan kepada para agen penjual yang ditunjuk underwriter sebelum penawaran resmi dilaksanakan. Calon investor dapat memesan saham secara langsung dari penjamin emisi atau para agen penjual sekaligus dengan pembayarannya dan menyerahkan fotocopi identitas seperti, kartu tanda penduduk. Penawaran resmi efek melibatkan 5 tahapan, yaitu : a. Periode penawaran (offering period) adalah periode (minimal 3 hari kerja) dimulainya penawaran sekuritas. b. Periode penjatahan (allotment period) adalah periode (maksimal 6 hari kerja) akan dilakukannya pembagian perolehan saham. c. Periode pengembalian dana (refund period) adalah periode tertentu (maksimal 4 hari kerja) yang telah ditetapkan dan tertera dalam prospektus akibat kelebihan pembayaran oleh calon investor berkaitan dengan penjatahan saham. d. Periode penyerahan saham (delivery period) 26 adalah 3 hari sebelum saham itu dicatatkan atau diperdagangkan di Bursa Efek, saham tersebut sudah diterima oleh investor. e. Periode pencatatan di bursa efek (listing date) adalah suatu tanggal yang telah ditetapkan terlebih dahulu dan tertera pada halaman depan prospektus yang menunjukkan hari pertama saham itu diperdagangkan di bursa efek. Setelah selesai melakukan penjualan saham di pasar perdana, selanjutnya saham tersebut dicatatkan di Bursa Efek Indonesia sampai perdagangan di pasar sekunder dilaksanakan selambat-lambatnya 90 hari sesudah dimulainya masa penawaran umum, atau 30 hari sesudah ditutupnya masa penawaran umum tersebut tergantung mana yang lebih dahulu. Di BEI, proses pencatatan efek dimulai dari pengajuan permohonan pencatatan ke bursa oleh emiten tentunya berdasarkan persyaratan pencatatan efek yang berlaku di BEI. Persyaratan untuk tiap efek berbeda, tetapi persyaratan pertama yang harus dipenuhi terlebih dahulu antara lain mendapat pernyataan efektif dari BAPEPAM atas pernyataan pendaftaran emisi emiten. 5. Kewajiban Emiten setelah Go Public Pemegang saham mayoritas atau pemilik lama sebagai pemegang saham pendiri (founding stakeholder) harus menjaga kepercayaan yang sudah diberikan oleh pemegang saham minoritas atau masyarakat dengan cara : 27 a. Pemegang saham mayoritas atau pemilik lama sebagai pemegang saham b. pendiri (founding stakeholder) harus menjaga kepercayaan yang sudah diberikan c. oleh pemegang saham minoritas atau masyarakat dengan cara : d. Tidak melakukan tindakan yang menjatuhkan harga saham di pasar e. Selalu memberi informasi secepat mungkin kepada investor f. Tidak melakukan penipuan harga dalam transaksi internal yang mengandung Conflict misalnya, transfer pricing dan pinjaman tanpa bunga. g. Menyampaikan laporan keuangan yang sudah diaudit (short form report) langsung ke alamat pemegang saham h. Menyampaikan laporan berkala yang sudah diwajibkan oleh Bapepam atau Bursa. i. Menyampaikan laporan insidentil atas suatu peristiwa yang terjadi dan dapat mempengaruhi harga saham di pasar. D. Ringkasan Hasil penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Hasil Ringkasan Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti 1 I Dewa Ayu Judul Analisis FaktorFaktor Yang Variabel Penelitian Reputasi underwriter, Hasil Penelitian Variabel reputasi underwriter, Ukuran 28 Kristiantari (2012) Mempengaruhi Underpricing saham Dalam penawaran saham perdana di Bursa Efek Indonesia Reputasi auditor, Umur perusahaan, Ukuran perusahaan, Tujuan penggunaan dana, Return On Asset, Financial leverage, Jenis industri. 2 Agnes Fristanika Hertiningtyas (2011) Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi underpricing harga saham penawaran perdana di Bursa Efek Indonesia Periode 20062010. -Reputasi Auditor -Komposisi Dewan Komisaris. -Jenis Industri -Profitabilitas Perusahaan -Umur Perusahaan -Reputasi Underwriter. 3 Tiffani Puspita (2011) Analisis FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Underpricing Dalam Initial Public Offering di Bursa Efek Indonesia. Reputasi underwriter, Reputasi auditor, Umur perusahaan, Financial leverage dan Return On Asset. perusahaan dan tujuan penggunaan dana untuk investasi secara signifikan berpengaruh pada underpricing dengan arah koefisien negatif untuk ketiga variabel. Sedangkan variabel reputasi auditor, umur perusahaan, ROA, Financial leverage dan jenis industri terbukti tidak memiliki pengaruh signifikan pada terjadinya underpricing. -Reputasi auditor, Dan Komposisi Dewan Komisaris secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat underpricing dengan arah hubungan negatif. -Reputasi Underwriter, profitabilitas, umur perusahaan dan jenis industri tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing. -Reputasi Underwiter berpengaruh tidak signifikan. -Reputasi Auditor berpengaruh tidak signifikan. -Umur Perusahaan berpengaruh signifikan. 29 4 Aria ( 2007 ) Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Underpricing pada Initial Return di Bursa Efek Jakarta Reputasi underwriter, profitabilitas perusahaan, financial leverage, persentase saham dan ukuran perusahaan 5 Chastina Yolana dan Dwi Martani (2005) .Variabel-variabel yang mempengaruhi fenomena underpricing pada penawaran saham perdana di Bursa Efek Jakarta tahun 1994-2001. (SNA 8 15-16 September 2005) -Total Asset -Return On Equity -Kurs -Reputasi penjamin emisi -Jenis Industri -Financial Leverage berpengaruh signifikan. -Return On Asset berpengaruh signifikan. Ukuran perusahaan berpengaruh significant terhadap underpricing, sedangkan reputasi underwriter, profitabilitas perusahaan, financial leverage, persentase saham tidak berpengaruh significant terhadap underpricing .-Signifikan (-) -Signifikan (-) -Signifikan(+) -Tidak Signifikan(+) -Signifikan (-) 30 E. Kerangka Penelitian Variabel-variabel yang dipredikasi mempengaruhi underpricing antara lain, umur perusahaan, reputasi underwriter, financial leverage (DER), profitabilitas (ROA), ukuran perusahaan dan komposisi Dewan Komisaris. Dalam penelitian ini apakah variabel financial leverage (DER), profitabilitas (ROA), ukuran perusahaan dan komposisi Dewan Komisaris secara bersama-sama dapat mempengaruhi tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO tahun 2005 – 2009. Kerangka berpikir dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Financial leverage (DER) (X1) Komposisi Dewan Komisaris (X2) Profitabilitas Keuangan (X3) H1 1 H2 H3 1 Underpricing (Y) 31 H4 Ukuran Perusahaan (X4) Pada kerangka pemikiran diatas menjelaskan bahwa variabel Y (underpricing) dipengaruhi oleh beberapa variabel X atau independen yang terdiri dari X1, yaitu financial leverage (DER), X2 yaitu komposisi Dewan Komisaris, X3, yaitu profitabilitas perusahaan (ROA), dan X4, yaitu ukuran perusahaan. F. Perumusan Hipotesis Berdasarkan pengamatan terhadap hasil penelitian sebelumnya, maka disusun hipotesis untuk masing-masing variabel yang akan diuji, yaitu sebagai berikut: 1. Financial leverage Financial leverage menunjukkan besarnya tingkat hutang yang dimiliki oleh perusahaan. Makin besar hutang yang dimiliki oleh perusahaan maka akan semakin besar pula risiko perusahaan tersebut. Hal ini akan berdampak pada ketidakpastian harga saham. Financial leverage diukur dengan ratio antara total hutang terhadap total ekuitas. Daljono (2000), dalam penelitiannya menggunakan data perusahaan yang 32 melakukan IPO di BEJ selama periode 1990-1997 untuk meneliti serta menguji pengaruh faktor reputasi auditor, reputasi underwriter , persentase saham yang ditawarkan, profitabilitas perusahaan, financial leverage dan solvency ratio terhadap tingkat underpricing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor financial leverage dan reputasi underwriter secara statistic signifikan mempengaruhi underpricing. H1 : Financial leverage berpengaruh terhadap underpricing. 2. Komposisi Dewan Komisaris Dewan komisaris merupakan salah satu inti dari mekanisme pengendalian internal. Tugas utama dewan komisaris adalah melakukan pengawasan terhadap dewan direksi dan manjemen atas pengelolaan sumber daya perusahaan agar dapat berjalan secara efisien dan efektif dalam rangka mencapai tujuan organisasi, selain itu juga menyeleksi, mengganti dewan direksi, serta mengawasi jalannya pergantian direksi. Perusahaan harus memiliki dewan komisaris yang kredibel serta memiliki independensi. Kredibilitas dapat dibentuk dengan melakukan penataan terhadap dewan komisaris. Terdapat faktor-faktor yang harus dicermati, yaitu: 1. Menentukan jumlah komisaris yang efektif, jumlah komisaris tidak boleh terlalu sedikit karena akan mengganggu kinerja dewan direksi 33 itu sendiri tetapi juga tidak boleh terlalu banyak karena akan berdampak pada efisiensi. 2. Faktor pendidikan, dimana tugas-tugas pokok dewan komisaris adalah berkaitan erat dengan hal-hal yang bersifat strategik. Oleh karena itu, dukungan dari latar belakang pendidikan yang memadai akan sangat menentukan kualitas keahlian, pengetahuan, dan pengolahan informasi sehingga akan berdampak pada pengawasan yang diberikan. 3. Faktor pengalaman, dimana anggota dewan komisaris yang memiliki latar belakang pendidikan yang baik akan lebih baik apabila didukung oleh pengalaman yang cukup. Dalam code for good corporate governance yang dituangkan dalam Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor: Kep315/BEI/062000 butir C mengenai pembentukan dewan komisaris independen, menjadi salah satu hal yang diwajibkan bagi perusahaanperusahaan publik yang listing di BEI. Keberadaan komisaris independen sangat diperlukan karena tujuan dibentuknya dewan komisaris adalah sebagai wakil dari pemegang saham khususnya dan stakeholders lain, yang bertugas mengawasi aktivitas manajemen sehingga asimetris informasi antara manajer dan pemegang saham dapat diatasi. Dengan asumsi dewan komisaris mewakili pemegang saham, maka dewan komisaris merupakan alat pengendali dan merupakan elemen yang sangat penting. Anggota dewan komisaris terdiri dari orang-orang yang berasal dari dalam perusahaan (intern) dan dari luar perusahaan (ekstern). anggota 34 dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan ini disebut juga sebagai komisaris independen. Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Indonesia mengenai pembentukan komisaris independen, ditetapkan bahwa jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh anggota komisaris. Prosentase 30% ini dianggap bisa mewakili pemilik saham yang dianggap minoritas, sehingga kemungkinan terjadinya perbedaan perlakuan antara pemilik saham mayoritas dan minoritas tidak perlu terjadi. Dalam menjamin pelaksanaan pengelolaan perushaan yang baik, maka diperlukan dewan komisaris yang berintegrasi, mempunyai kemampuan, mempunyai latar belakang pendidikan yang baik, tidak cacat hukum, serta tidak memiliki hubungan bisnis dengan pihak lain yang dapat merugikan perusahaan. Komposisi Dewan Komisaris harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen dalam arti tidak mempunyai kepentingan yang menganggu kemempuannya untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri dan kritis. Komposisi dewan komisaris harus memiliki kriteria yang ditetapkan oleh perusahaan agar tujuan perusahaan dalam menjaga kualitas manajemen dan mempertahankan nilai perusahaan di mata investor tercapai sesuai dengan standar corporate governance yang diwajibkan oleh Bapepam kepada perusahaan yang go public. Peraturan di Indonesia mengenai board governance merupakan suatu bentuk upaya dari pemerintah sebagai pihak regulator untuk memperbaiki corporate governance di Indonesia, terutama 35 pasca krisis ekonomi tahun 1998. Dengan demikian semakin baik komposisi dewan komisaris maka akan meningkatkan nilai perusahaan. Semakin baik komposisi Dewan Komisaris, maka semakin kecil tingkat ketidakpastian di masa mendatang, sehingga tingkat underpricing-nya akan rendah. Hertiningtyas (2011) penelitiannya menggunakan data BEI pada periode tahun 2006-2011 untuk meneliti pengaruh reputasi auditor, komposisi Dewan Komisaris, jenis industri, profitabilitas perusahaan, umur perusahaan dan reputasi underwriter. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa komposisi Dewan Komisaris berpengaruh signifikan terhadap underpricing. H2 : Komposisi Dewan Komisaris berpengaruh terhadap underpricing. 3. Profitabilitas Perusahaan Profitabilitas perusahaan memberikan informasi kepada pihak luar mengenai efektifitas operasional perusahaan dan menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Profitabilitas yang tinggi dari suatu perusahaan akan mengurangi tingkat underpricing. Profitabilitas perusahaan diukur dengan rate of return on total asset (ROA). Penelitian Puspita (2011) dengan menggunakan 50 sampel emiten dari tahun 20052009 yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia meneliti apakah variabel reputasi underwriter, reputasi auditor, umur perusahaan, financial leverage (DER), dan Return On Asset berpengaruh terhadap underpricing. 36 Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel return on assets yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing. H3 : Profitabilitas perusahaan berpengaruh terhadap underpricing. 4. Ukuran Perusahaan Perusahaan skala besar umumnya lebih dikenal oleh masyarakat karena informasi yang memuat tentang perusahaan tersebut tentunya akan lebih banyak dan mudah diperoleh bila dibanding dengan perusahaan skala kecil. Semakin banyak informasi yang tersedia akan semakin mereduksi tingkat ketidakpastian investor terhadap prospek perusahaan. Perusahaan berskala besar memiliki tingkat underpricing yang lebih rendah dibanding perusahaan berskala kecil. Tingkat underpricing yang rendah menunjukkan bahwa initial return yang diterima investor juga akan rendah. Aria (2005) menggunakan sampel sebanyak 58 perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana di BEJ dalan kurun waktu 2001 2005 untuk meneliti apakah variabel ukuran perusahaan, profitabilitas, financial leverage, reputasi penjamin emisi (underwriter), persentase saham yang ditawarkan dan umur perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap net initial return. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hanya variabel ukuran perusahaan saja yang berpengaruh secara signifikan terhadap net initial return. H4 : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap underpricing