Geliat Investasi di Aceh Geliat investasi di Aceh mulai terasa setahun yang lalu. Faktor yang mempengaruhinya adalah perdamaian dan proses rehab-rekon. Dua faktor ini yang membuat Aceh dilirik oleh banyak pihak. Kondisi ini tentu menjadi peluang yang baik untuk melakukan kegiatan investasi di Aceh. Investasi merupakan kegiatan ekonomi yang sangat penting dilakukan dalam menumbuhkan geliat pembangunan ekonomi di Aceh, setelah konflik yang berkepanjangan. Konflik yang lama yang telah menghancurkan tatanan sosial, termasuk kegiatan ekonomi rakyat konsekuensinya adalah; Aceh menjadi sangat tertinggal dalam pembangunan. Oleh karenanya, kegiatan investasi yang dilakukan mesti “melalui lompatan”. Lompatan ini diperlukan, karena Aceh sudah sangat tertinggal dengan provinsi lain. Geliat investasi di Aceh akan dipandang optimis, karena Aceh menjadi lingkungan yang kondusif, baik secara situasi politik maupun alam Aceh. Dengan demikian, maka banyak langkah strategis yang mesti diambil secara cepat dan tepat. Beberapa hal tentang Investasi di Aceh Sebelumnya, dunia investasi di Aceh tidak menggembirakan. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya geliat Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Data menunjukkan bahwa PMDN di Aceh fluktuatif semasa DOM dan bahkan nihil setelah tahun 2000. PMA lebih parah lagi. Statistik menunjukkan bahwa PMA menurun sejak 1993, bahkan tidak ada sama sekali sejak 1998. Ini terjadi karena faktor konflik yang berkepanjangan. Konflik yang berkepanjangan, ternyata menjadi kendala utama penghambat investasi. Gambaran ini yang berhasil ditangkap oleh Aceh Institute dalam penelitian Ekonomi Biaya Tinggi (Aceh Institute: 2005), selain hambatan birokrasi dan infrastruktur yang lemah. Dalam penelitian The Asia Foundations, tentang Daya Saing Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, 2005: Persepsi Dunia Usaha . Penelitiian ini menangkap bahwa dunia usaha melihat tingkatan varian yang dapat mendorong dunia investasi. Diantaranya, menunjukkan bahwa faktor keamanan, sosial politik dan budaya berada di rangking pertama (27%), kemudian disusul oleh ekonomi daerah (23%), ketersediaan tenaga kerja (18%), infrastruktur fisik (17%) dan kelembagaan (15%). Ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan untuk mendorong kegiatan investasi ini dan itu membutuhkan keputusan politik yang kuat dari pemerintah. Dibutuhkan langkah-langkah strategis dalam membangun dunia investasi di Aceh, diantaranya dengan memperkuat SDM lokal. Ini menjadi hal yang mesti diperhatikan secara serius, agar potensi lokal dapat diberdayakan dengan baik dan tidak menjadi penonton di tanah sendiri. Langkah stategis lainnya adalah dengan memperkuat birokrasi dengan membentuk one stop service, karena ternyata pelayanan satu pintu ini adalah salah satu upaya untuk mendorong investasi dalam skala kecil. Investasi di Aceh akan semakin baik apabila juga dilakukan langkah-langkah yang bias mengelola inisiatif anak-anak muda Aceh. Kekreatifitasan anak-anak muda Aceh ini tentu menjadi investasi sumber daya dalam jangka panjang. Selain itu juga investasi yang baik selain membangun kebijakan yang adil dan kuat seperti memproteksi kepentingan lokal serta memberi kenyamanan kepada investor asing. Yang tidak boleh dilupakan adalah, kegiatan investasi mesti memiliki sensitifitas terhadap kearifan lokal. Arah investasi juga mesti jelas. Pola seperti apa yang akan dilakukan dalam jangka pendek, seperti kemungkinan mengambil konsep investasi padat karya, ini yang coba untuk diperjelas. Padat karya itu adalah strategi untuk mengentaskan kemiskinan. Investasi yang baik adalah dengan kompetitif, dimana semua peluang dibuka, sehingga persaingan pun terbuka dan sehat. Ada kelemahan ekonomi Aceh yang masih berulang, yaitu kegiatan produksi dalam skala kecil dan tidak berkelangsungan (continued). Di masa mendatang hal ini tidak perlu terulang. Karenanya, di butuhkan spesialisasi, karena dengan spesaialisasi maka akan ada efesiensi. Ada pertanyaan yang sering ditanyakan; apa yang terlebih dahulu diprioritaskan, apakah investasi atau peningkatan SDM. Tentunya hal yang terbaik dilakukan adalah dengan melakukan secara beriringan. Tentu dengan kehadiran orang luar, maka bisa melakukan transfer knowledge. Dan terakhir yang penting adalah adanya keterbukaan masyarakat terhadap dunia luar. [AI] (Resume Diskusi Aceh Institute, 20 April 2007)