II. TINJAUAN PUSTAKA Secara fisik ikan terdiri atas kepala 21%, tulang 14%, sisik dan sirip 13%, isi perut 16%, dan bagian otot (daging) 36%. Proporsi ini sangat bervariasi menurut ukuran dan bentuk dari setiap spesies, namun pada umumnya bagian daging mencapai 30-40%. Ikan mengandung protein 16-21%, lemak 0,2-2,5%, abu 1,2-1,5%, dan air sekitar 66-81%. Komposisi kimia ini bervariasi antar spesies bahkan antar individu tergantung umur, jenis kelamin, lingkungan, dan musim. Komposisi kimia ikan ini juga berkaitan dengan pakan yang dikonsumsinya. Lemak adalah komponen yang paling tinggi variasinya dalam satu spesies yang pada umumnya dipengaruhi musim atau tingkat reproduksi ikan tersebut. Ikan juga mengandung mineral seperti kalsium, fosfor, magnesium, dan tembaga, terutama pada bagian kepala, tulang, dan kulit, sedangkan hati ikan banyak mengandung zat besi (Anonim 2009). 2.1. Ikan patin Ikan patin merupakan jenis ikan air tawar yang termasuk kedalam ordo Ostariophysi, subordo Siluroidea, famili Pangasidae, dan genus Pangasius. Dalam bahasa inggris ikan patin dikenal sebagai Catfish (Khairuman 2007). Morfologi ikan patin disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 Morfologi ikan patin (budidayapatin.files.wordpress.com). Berdasarkan Gambar 1 terlihat ikan patin memiliki bentuk tubuh memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebirubiruan. Panjang tubuh ikan patin dapat mencapai 120 cm. Ciri khas ikan patin adalah memiliki kepala yang relatif kecil dan mulut yang terletak di ujung kepala 5 agak di bawah. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai alat peraba saat berenang ataupun mencari makan. Ikan patin tidak memiliki sisik seperti ikan-ikan pada umumnya sehingga tubuhnya licin (Susanto 1998). Warna tubuh patin didominasi oleh warna putih berkilauan seperti perak dan punggung berwarna kebiru-biruan. Bagian punggung Ikan patin terdapat sirip yang dilengkapi dengan 7-8 buah jari-jari, dimana salah satu jari bersifat keras dan 6-7 lainnya bersifat lunak. Sebuah jari yang keras ini dapat berubah fungsi menjadi patil. Sirip ekor simetris membentuk cagak. Sirip dada memiliki 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari keras yang juga dapat berfungsi sebagai patil. Sirip dubur panjang dengan 30-33 jari-jari lunak dan sirip perutnya hanya memiliki 6 jari-jari lunak (Khairuman dan Sudenda 2009). Ikan patin bersifat nokturnal yaitu melakukan aktivitas dimalam hari. Di samping itu, ikan patin juga suka bersembunyi di dalam liang-liang yang dibentuk pada dinding kolam. Ikan patin bersifat omnivora, hal inilah yang membedakannya dengan ikan-ikan catfish lainnya. Di alam, makanan ikan ini antara lain ikan-ikan kecil, cacing, serangga, biji-bijian, udang-udang kecil dan moluska (Susanto 1998). Ikan patin memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap derajat keasaman (pH) air. Dengan demikian ikan ini dapat bertahan hidup dikisaran pH air yang lebar, dari perairan yang agak asam (pH rendah) sampai dengan perairan yang basa (pH tinggi). Kebutuhan oksigen (O2) terlarut untuk kehidupan patin berkisar antara 3-6 ppm, sedangkan karbondioksida (CO2) yang bisa ditoleransi berkisar antara 9-20 ppm. Suhu air sebagai media pemeliharaan yang optimum dalam budidaya patin yaitu 28-30oC. Ikan patin terdiri atas berbagai jenis. Di Indonesia setidaknya terdapat dua jenis patin yang populer yang telah banyak dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia, yaitu patin lokal yang dikenal dengan nama ilmiah Pangasius pangasius dan Patin Siam. Patin lokal juga terdiri dari beberapa jenis, salah satunya patin jambal yang merupakan jenis populer yang berpeluang menjadi komoditas ekspor. 6 2.2. Budidaya Patin Secara alami ikan patin banyak ditemukan di sungai-sungai besar di Sumatra (Way Rarem, Musi, Indragiri, Batanghari), Jawa ( Brantas, Bengawan Solo), dan Kalimantan. Beberapa tahun terakhir, populasi ikan patin di alam semakin sedikit, hal ini diindikasikan dengan menurunnya hasil produksi tangkapan dari alam. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukan pembudidayaan ikan patin (Khairuman 2007). Secara umum ada beberapa subsistem kegiatan budidaya dalam bidang perikanan, meliputi kegiatan pembenihan, pendederan, dan pembesaran. Semua subsistem tersebut saling berhubungan. Kegiatan pembenihan merupakan kunci dari keberhasilan kegiatan lainnya. Kegiatan pendederan dan pembesaran pastinya akan memerlukan benih yang berasal dari kegiatan pembenihan (Khairuman dan Sudenda 2009). Pola produksi dalam budidaya patin disajikan pada Gambar 2. Pembenihan - Hatcery Skala Rumah Tangga Pendederan - Kolam Jaring Pembesaran - Kolam Jaring Keramba Gambar 2 Skema pola produksi budidaya patin. Selanjutnya Sunarma (2007) menambahkan, dalam melakukan budidaya patin ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi seperti sumber air, kualitas dan kuantitas air. Air merupakan faktor mutlak dalam kegiatan budidaya ikan karena merupakan media hidup ikan yang paling utama. Sumber air dalam kegiatan budidaya dapat berasal dari saluran irigasi, sungai, ataupun sumber air lainnya. Keberhasilan budidaya sangat dipengaruhi oleh kualitas air. Air yang kurang baik dapat menyebabkan ikan mudah terserang penyakit. Terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam menentukan kualitas air, yaitu: Sifat kimia air. Air mengandung O2 dan CO2 yang sifatnya saling bertentangan. Oksigen yang terlarut dalam air dapat berasal dari hasil fotosintesis 7 dengan bantuan sinar matahari atau berasal dari udara luar melalui proses difusi permukaan air. Ikan patin merupakan jenis ikan yang tahan terhadap kekurangan oksigen di dalam air. Hal ini disebabkan ikan patin dapat mengambil oksigen langsung dari udara bebas sehingga dapat bertahan selama beberapa menit di darat. Kadar oksigen minimum yang baik adalah 4 mg/L air. Selain O2 dan CO2, air juga memiliki derajat keasaman (pH). Derajat keasaman (pH) merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang terlarut sehingga menunjukkan suasana asam atau basa suatu perairan. Derajat keasaman (pH) dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan senyawa yang bersifat asam. Pada umumnya pH perairan akan meningkat pada siang hari disebabkan oleh proses fotosintesis tanaman air atau fitoplankton yang mengkonsumsi CO2. Pada malam hari terjadi penurunan pH karena tanaman air dan fitoplankton mengkonsumsi O2 dan menghasilkan CO2. Derajat keasaman (pH) yang baik untuk budidaya ikan patin adalah berkisar antara 5-9. Zat beracun. Zat beracun dalam air yang berbahaya bagi kehidupan ikan patin adalah amoniak. Amoniak dapat berasal dari proses metabolisme ikan atau dari proses pembusukan bahan organik oleh bakteri. Batas konsentrasi kandungan amoniak yang dapat mematikan kehidupan ikan patin berkisar antara 0,1-0,3 mg/L air. 2.3. Pengangkutan Ikan Pengangkutan ikan adalah memindahkan ikan dari satu tempat ke tempat lain. Pengangkutan ikan bertujuan untuk mengangkut ikan sebanyak mungkin dengan tingkat kematian dan kerugian sekecil mungkin. Pemindahan benih dari tempat pembenihan ke tempat pembesaran memerlukan penanganan khusus agar benih tetap hidup. Secara garis besar pengangkutan ikan hidup dilakukan dengan dua cara yaitu sistem kering dan sistem basah. Pengangkutan sistem kering biasanya dilakukan pada jenis ikan yang dapat tetap hidup walaupun berada di luar air, asalkan tetap dingin dan basah. Sistem ini biasanya diawali dengan menidurkan (immobilized) ikan dengan kejutan dingin, bahan kimia seperti uretan, atau dengan bahan tanaman seperti biji karet, singkong, ekstrak cengkeh, dan lainnya. Ikan kemudian dikemas dengan media lumut, rumput laut, serutan kayu, 8 serbuk gergaji, hancuran es, dan lainnya, selanjutnya diangkut dalam kondisi suhu sejuk. Pengangkutan sistem basah biasanya dilakukan dengan menggunakan wadah, tanki, atau kantong. Untuk pengangkutan dengan tanki perlu diperhatikan kadar oksigen terlarut, CO2, Amoniak (NH3), suhu, keseimbangan osmotik, dan kepadatan ikan. Pengangkutan yang terlalu padat akan mempercepat penurunan oksigen terlarut, meningkatkan suhu, CO2, dan amoniak. Selain itu juga dapat memungkinkan terjadinya penularan parasit dari satu ikan ke ikan lainnya (Anonim 2009). Pengangkutan ikan dengan sistem basah terdiri dari dua sistem yaitu pengangkutan sistem terbuka dan sistem tertutup. Pada pengangkutan sistem terbuka media air berkontak langsung dengan udara luar, sedangkan pada sistem tertutup tidak terjadi kontak dengan udara luar karena media terdapat dalam wadah yang tertutup rapat. Kebutuhan oksigen pada pengangkutan sistem tertutup dipenuhi dengan memasukkan gas oksigen murni ke dalam wadah tersebut (Utomo 2003). Ditambahkan lagi oleh Utomo (2003), pengangkutan sistem terbuka biasanya digunakan untuk jalur darat dan jarak tempuh yang relatif dekat. Pada sistem ini sumber oksigen sebagian besar dari oksigen yang terlarut dalam air, yang lainnya hasil difusi udara pada tekanan udara normal. Perbandingan volume air dengan berat ikan relatif besar pada sistem ini dibandingkan pada sistem tertutup. Semakin lama waktu pengangkutan maka semakin tinggi perbandingan volume air dengan berat ikan. Pada sistem tertutup dapat disiasati dengan melakukan upaya-upaya menghambat laju metabolisme dan mencukupi oksigen selama pengangkutan, sehingga volume air dapat dikurangi dan waktu pengangkutan dapat diperpanjang. Berbeda dengan pengangkutan sistem terbuka, pada sistem tertutup oksigen berasal dari oksigen murni yang dimasukkan ke dalam wadah dan tekanan udara di dalam wadah dibuat menjadi lebih tinggi dibanding di luar. Dengan demikian menyebabkan konsentrasi dan kelarutan oksigen dalam media air cukup tinggi. Sistem transportasi tertutup umumnya dilakukan untuk fase telur, larva, benih, konsumsi, dan induk, sedangkan untuk ukuran induk dan konsumsi dapat juga dilakukan dengan transportasi sistem terbuka. Perbandingan kandungan 9 oksigen yang digunakan dalam sistem tertutup dengan air yaitu 70:30 (Sucipto 2009). Standar kepadatan ikan pada sistem tertutup yang menggunakan kantong plastik ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1 Standar kepadatan ikan (gr/L) dengan menggunakan kantong plastik (sistem tertutup) Lama (jam) Ukuran Ikan (g/L) 1 12 24 48 Larva baru menetas (g/L) 120 80 40 10 Benih ¼ inch (g/L) 60 50 40 20 Benih 1 inch (g/L) 120 100 75 40 Benih 2 inch (g/L) 120 105 90 40 Benih 3 inch (g/L) 120 105 90 40 Induk/konsumsi (g/L) 480 180 120 80 Sistem transportasi ikan terbuka memiliki standar kepadatan yang berbeda dengan sistem transportasi tertutup. Standar kepadatan ikan pada sistem transportasi terbuka ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Standar kepadatan ikan (g/L) dengan sistem transportasi terbuka Ukuran Ikan (g/L) Lama (jam) Benih ¼ inch (g/L) 1 120 6 60 12 30 24 30 Benih 1 inch (g/L) 240 180 120 120 Benih 2 inch (g/L) 360 240 120 120 Benih 3 inch (g/L) 360 360 240 180 Induk/konsumsi (g/L) 480 180 360 240 Keberhasilan transportasi benih ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kondisi fisik maupun kimia air (O2 terlarut, NH3, CO2, pH) dan suhu air. Kepadatan juga sangat mempengaruhi kelangsungan hidup ikan selama pengangkutan, karena semakin padat ikan maka akan semakin tinggi persaingan dalam penggunaan ruang dan oksigen terlarut. Untuk menjaga ikan agar tetap hidup, sehat dan segar sampai ke tangan konsumen sebaiknya menggunakan suhu 10 rendah sekitar 20oC dan hendaknya pengangkutan dilakukan pada pagi atau sore hari (Prihatman 2000). Menurut Susanto (1998), ada beberapa langkah yang harus dipenuhi untuk mencapai keberhasilan dalam pengakutan benih yaitu: pemberokan atau dipuasakan, air, wadah, dan oksigen. Sebelum pengangkutan ikan dipuasakan selama 18 jam. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kotoran yang dikeluarkan selama perjalanan. Karena kotoran ikan akan menyebabkan menurunnya kualitas air. Air yang digunakan adalah air yang sudah diaerasi selama 24 jam. Aerasi bertujuan untuk membuang gas-gas berbahaya di dalam air seperti CO2, dan menambah kandungan O2. Wadah yang biasa digunakan dalam pengangkutan benih ikan patin adalah kantong plastik kecil berkapasitas 5 L. Kantong plastik dibuat rangkap untuk menghindari kebocoran. Perbandingan oksigen yang diperlukan selama transportasi dengan air adalah 2:1. Sebaiknya dalam satu kantong plastik diisi 1 L air sumur yang sudah di aerasi selama 24 jam dan 2 L oksigen dengan tekanan 100 kg/cm2. Selain itu juga harus diperhatikan benih, pengemasan, dan lama pengangkutan. Teknik pengemasan ditampilkan pada Gambar 3 dan Gambar 4. Gambar 3 Sistem transportasi tertutup. Gambar 4 Sistem transportasi terbuka. 11 Amonia merupakan produk akhir utama katabolisme protein yang disekresikan keluar tubuh ikan melalui insang dan kulit. Dalam air, amonia ada dalam 2 bentuk yaitu ion-ion amonium (terionisasi, NH4+) dan dalam bentuk amonium bebas (tidak terionisasi, NH3). NH3 bersifat sangat toksik bagi ikan (Irianto 2005). 2.4. Kualitas Ikan Kualitas ikan diartikan sebagai segala sesuatu yang secara sadar atau tidak merupakan bahan pertimbangan bagi orang yang mengkonsumsi atau membeli ikan. Dengan demikian kualitas ikan dapat ditinjau dari nilai gizi atau nutrisi, tingkat kesegaran, kerusakan yang terjadi selama transportasi, penanganan, pengolahan, penyimpanan, distribusi dan pemasaran, bahaya terhadap kesehatan, dan kepuasan membeli atau mengkonsumsi. Ikan merupakan produk pangan yang sangat mudah rusak. Kerusakan ikan diawali dengan terjadinya autolisis yang disebabkan oleh enzim yang berasal dari ikan itu sendiri, dan kemudian diikuti oleh kerusakan secara mikrobiologis, fisik, atau kimia. Autolisis terjadi segera setelah ikan mati. Otot ikan akan menjadi kaku karena perubahan senyawa nekliotida akibat terhentinya pasokan oksigen dan energi setelah ikan mati, keadaan ini disebut rigor mortis. Setelah rigor mortis selesai otot ikan akan kembali lemas dan elastis. Rigor mortis berlangsung selama beberapa jam atau hari, tergantung spesies, ukuran ikan, cara penangkapan dan cara penanganan, suhu, serta kondisi fisik ikan. Setelah autolisis selanjutnya adalah pemecahan senyawa-senyawa penyusun ikan menjadi senyawa lain dengan berat molekul yang lebih kecil. Pemecahan penyusun jaringan ikan tersebut berakibat pada penurunan sifat organoleptik seperti bau, rasa, tekstur, dan terkadang warna. Kerusakan akibat mikrobiologis akan memecah senyawa-senyawa protein, lemak dan karbohidrat menjadi senyawa pembusuk seperti indol, skatol, merkaptan, amonia, asam sulfida, dan lainnya. Kerusakan mikrobiologis inilah yang berperan penting dalam menimbulkan penyakit pada konsumen. Kerusakan kimia seringkali berupa proses oksidasi lemak yang menyebabkan rasa ikan menjadi pahit dan bau yang tengik serta terjadinya perubahan warna daging. 12 Mempertahankan kualitas ikan harus dimulai sejak panen hingga sampai ke konsumen. 2.5. Stres pada ikan Stres pada ikan didefinisikan sebagai reaksi fisiologis yang terjadi saat ikan mecoba untuk menjaga keseimbangan homeostasisnya (Janouskova et al. 1999). Stres memicu terjadinya perubahan biokimiawi, fisiologis, dan morfologis pada ikan sebagai alarm reaction yang selanjutnya akan memicu rangkaian perubahan hormonal. Dalam keadaan stres ikan akan berusaha menyesuaikan diri dengan gangguan yang ada dengan cara menggunakan seluruh energi cadangan. Apabila gangguan tetap terus berlangsung, ikan akan menjadi lemah akibat kehabisan energi. Akibatnya ikan tidak mampu menghadapi agen patogenik yang secara berkelanjutan kontak dengan ikan, sehingga ikan akan sakit dan mati (Irianto 2005). Respons hewan secara abnormal akibat perubahan lingkungan (stressor) dimediasi oleh aksi dari syaraf motorik dan pelepasan satu atau lebih hormon ke dalam aliran darah sehingga dapat menstimulasi organ endokrin. Respons hormonal akibat stres pada invertebrata belum begitu dimengerti dengan baik, tetapi pada ikan dan vertebrata lainnya aksi hormonal ini diatur oleh sisem andrenergik dan Hypothalamic Pituitary Inter-renal axis (HPI). Lokasi organorgan endokrin yang terlibat dalam respons stres pada ikan ditunjukkan pada Gambar 5. 13 Gambar 5 Lokasi organ-organ endokrin yang terlibat dalam respons stres pada ikan (Ross dan Ross 2008). Ada tiga tahapan respons ikan terhadap stres yaitu respons primer berupa nervous (gelisah) dan perubahan hormonal berupa peningkatan kortikosteroid dan kathekolamin serta perubaan aktivitas neurotransmitter. Respons sekunder berupa perubahan metabolik, seluler, gangguan osmoregulasi, perubahan gambaran darah, dan fungsi imun. Respons tersier berlangsung pada individu dan populasi. Pada tahap ini terjadi peningkatan metabolisme, penurunan resistensi terhadap penyakit, penurunan tingkat kesuburan, penurunan daya tetas telur, dan perubahan tingkah laku. Ikan yang stres memiliki respons antibodi dan respons seluler (phagocytic) relatif rendah, sehingga tidak mempunyai ketahanan yang memadai terhadap serangan penyakit. Stres pada ikan dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan dapat dikelompokkan menjadi stres kimia, lingkungan, dan biologis. Penyebabpenyebab stres ini dapat langsung mempengaruhi ikan atau secara tidak langsung mempengaruhi kondisi lingkungan ikan. Stres kimia dapat dikarenakan terjadinya penurunan konsentrasi CO2, ammonia maupun nitrit (Afrianto dan Evi 1992). Beberapa parameter yang dapat menyebabkan terjadinya stres lingkungan antara lain adalah suhu yang ekstrim, air yang terlalu jenuh dengan gas, atau intensitas cahaya yang berlebihan (Afrianto dan Evi 1992). Stres akibat suhu (terutama suhu rendah) dapat secara total menghambat aktivitas killer cells sistem imun, sehingga akan mengeliminasi sistem pertahanan awal yang utama dalam menghambat patogen atau parasit. Suhu yang terlalu tinggi juga bersifat sangat merusak. Peningkatan suhu terlalu tajam, sangat mengganggu kemampuan ikan dalam membebaskan antibodi terhadap patogen secara cepat. Perlu waktu panjang untuk memproduksi antibodi dalam merespons patogen yang menginvasi tubuh sehingga memungkinkan patogen berkembangbiak dan dengan mudah menyebabkan ikan menjadi sakit (Irianto 2005). 2.6. Anastesi Ikan Anastesi adalah bahan kimia atau agen fisik yang menyebabkan hilangnya mobilitas, keseimbangan, kesadaran, sensasi dan hilangnya kemampuan untuk 14 merasakan sakit melalui depresi sistem saraf pusat dan saraf perifer. Kemampuan ikan merasakan sakit sampai saat ini masih menjadi kontroversi, namun banyak bukti menunjukkan bahwa penggunaan obat bius meningkatkan kesejahteraan ikan (Summerfelt dan Smith 1990). Penggunaan anastesi mempermudah kerja pada saat penelitian dan studi invasif seperti pembedahan untuk penyidikan fisiologis dimana diperlukan keadaan ikan yang tidak bergerak dalam waktu yang cukup lama. Sedasi dengan anastesi juga digunakan untuk transportasi, grading atau vaksinasi. Meskipun secara umum penggunaan anastesi adalah untuk membuat ikan tidak bergerak, anastesi juga digunakan untuk menurunkan tingkat stres ikan. Hal ini dipertegas lagi oleh Eppard et al. (2003), bahwa penggunaan agen anastesi telah terbukti mengurangi stres fisiologis dalam tindakan pengambilan sampel darah dan mengurangi angka kematian ketika dihadapkan pada tekanan yang berat dan berulang. Ross dan Ross (2008) juga menyebutkan bahwa penggunaan anastesi dapat menekan respons normal kortisol yang merupakan indikator terjadinya stres. Saat ini diketahui banyak digunakan etomidate yang diketahui dapat menghambat sistesa kortisol. Saat ini hanya Tricaine Methane Sulphonate (TMS) dan metomidate yang terdaftar sebagai anastesi untuk ikan di Kanada. Anastesi yang dipilih tidak boleh memiliki efek samping terhadap ikan maupun pengelolanya. Harus bersifat biodegradable dan mudah dibersihkan setelah tubuh terpapar bahan anastesi (Iwama et al. 2010). Kemudian ditambahkan lagi oleh Tidwell et al. (2004), anastesi yang ideal adalah anastesi yang menimbulkan anastesi dengan cepat dengan tingkat stres minimum dan administrasinya mudah. Recovery harus cepat dan efektif pada dosis rendah serta memiliki margin of safety yang luas. Anastesi pada ikan biasanya diberikan melalui air, oleh karena itu pada dasarnya merupakan anastesi inhalasi yang akan diserap oleh insang. Pemberian anastesi secara injeksi kurang efektif pada sebagian besar ikan namun efektif pada mamalia (Harms 2009). Efisensi suatu anastesi pada ikan ditentukan oleh spesies, ukuran, kepadatan ikan, serta kualitas air (misalnya suhu dan salinitas). Oleh karena itu perlu dilakukan tes pendahuluan dengan jumlah ikan yang sedikit untuk menentukan dosis optimal dan waktu pemaparan. Perlakuan sebelum ikan 15 dianastesi adalah dengan tidak memberi makan ikan selama 18 jam. Ikan dengan kondisi perut penuh dapat memuntahkan makanannya ketika dianastesi dan akan menyumbat insang serta mengotori air. Kemudian dalam penanganannya juga harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari lecet dan hilangnya pelindung lendir. Menurut Iwama et al. (1989), terdapat beberapa tahapan anastesi dan recovery pada ikan yang dipaparkan pada Tabel 3. Tabel 3 Tahapan anastesi dan recovery Tahapan Anastesi I Deskripsi Kehilangan keseimbangan II Kehilangan gerakan tubuh tetapi gerakan opercular masih ada III Kehilangan gerakan tubuh dan opercular secara total Tahapan Recovery I Tubuh mulai bergerak tapi opercular baru mulai II Gerakan tubuh dan opercular mulai aktif III Keseimbangan mulai kembali dan penampilan seperti preanastesi Sumber : Iwama et al. 1989 Pencapaian tahapan anastesi dipengaruhi dosis dan lamanya paparan. Pada awal induksi biasanya ikan menjadi hiperaktif (Tidwell et al. 2004). Banyak deskripsi tentang tahapan-tahapan anastesi pada ikan. Tahapan-tahapan anastesi yang ditampilkan pada Tabel 1 setidaknya sudah dapat menggambarkan tingkat anastesi yang dialami oleh ikan bagi para peneliti. Kebanyakan anastesi yang digunakan pada ikan sama seperti anastesi yang digunakan pada mamalia bahkan manusia. Pada sebagian besar anastesi, immobilitas ikan dicapai pada tahap III, namun beberapa anastesi (metomidate, quinaldine sulfat) mungkin tidak sepenuhnya memblok gerakan otot tak sadar sehingga kedutan otot masih akan terjadi. Tahap III anastesi umumnya melibatkan penghentian pernapasan, mengurangi gas transfer yang menyebabkan hipoksia dan asidosis pernapasan akibat pengurangan kadar oksigen darah dan kenaikan serentak CO 2 darah. Sebagai akibat dari kurangnya respirasi akan menyebabkan meningkatnya 16 konsentrasi adrenalin dan kortisol dalam darah. Kebanyakan kasus yang terjadi, pepanjangan anastesi tahap III tanpa irigasi insang akan menyebabkan kematian (Iwama et al. 2010). 2.7. Ketamin Menurut Plumb (2005) Ketamin merupakan anastesi general yang bersifat dissosiative, artinya pasien terlepas dari lingkungan mereka. Ketamin adalah derivat dari phencyclidine yang bekerja menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA). Ketamin menekan thalamoneocortical yang terlibat dalam persepsi nyeri, sehingga ketamin dianjurkan untuk mengontrol rasa sakit. Anastesi ketamin bersifat rapid acting (reaksi cepat) dan juga mempunyai aktivitas analgesik yang signifikan serta efek mendepres cardiopulmonar yang cukup. Ketamin menginduksi terjadinya amnesia dengan mengganggu fungsi sistem syaraf pusat (SSP) melalui over stimulasi SSP. Ketamin menghambat GABA dan juga memblok serotonin, norepinefrin, serta dopamin di SSP. Sistem thalamoneocortical juga akan didepres dan secara bersamaan sistem limbik di aktivasi. Pada kucing ketamin menyebabkan penurunan suhu tubuh rata-rata 1,6oC untuk setiap dosis terapeutik. Efek analgesia yang sangat kuat dari ketamin menyebabkan penderita masih akan merasakan efek analgesiknya ketika sudah sadar. Rasa nyeri yang dihambat terutama adalah nyeri somatik, sedangkan nyeri viseral hampir tidak dihambat sehingga kurang efektif untuk operasi organ-organ viseral. Secara umum ketamin tidak menimbulkan perubahan tonus otot dan tidak juga menghilangkan refleks pedal dan refleks pinnal. Efek ketamin juga terjadi pada sistem kardiovaskular dengan meningkatkan cardiac output, denyut jantung, tekanan aorta, tekanan arteri pulmonari dan tekanan vena sentral. Efek kardiovaskular ini merupakan efek sekunder untuk meningkatkan tonus simpatis. Ketamin memiliki efek inotropic negatif jika sistem simpatik diblokir. Ketamin tidak mendepres pernapasan secara signifikan pada dosis biasa, tetapi pada dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan frekuensi pernapasan menurun. Pada manusia yang mengidap penyakit asma, ketamin menyebabkan penurunan resistensi saluran udara (Plumb 2005). 17 Ketamin didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh secara cepat dengan konsentrasi yang tinggi ditemukan di otak, hati, paru-paru, dan lemak. Ikatan dengan protein plasma sekitar 50% pada kuda, 53% pada anjing dan 37% sampai dengan 53% pada kucing (Plumb 2005). Ketamin dimetabolisme di hati dengan cara demethylasi dan hidroksilasi. Selanjutnya metabolit ketamin diekskresikan melalui renal (90%), feses (5%), dan 4% dalam bentuk yang tidak dirubah diekresikan via urin (Anonim 2001). Metabolitnya memiliki daya kerja analgetis yang berlangsung lama dari pada efek hipnotisnya. Ketamin memiliki efek samping hipertensi, kejang-kejang, sekresi ludah yang kuat dan peningkatan tekanan intrakranial dan intraokuler, juga mengurangi prestasi kegiatan jantung dan paru-paru (Tjay dan Raharja 2007). Ditambahkan lagi oleh Plumb (2005), ketamin dapat menginduksi enzim mikrosomal hepatik, namun yang muncul hanya sedikit. Redistribusi ketamin keluar dari SSP lebih dipengaruhi oleh durasi faktor anastesi daripada eliminasi waktu paruh, sama halnya dengan thiobarbiturat lainnya. Peningkatan pemberian dosis ketamin hanya akan meningkatkan durasi anastesi, sehingga ketamin dikatakan memiliki margin of safety yang luas. Ketamin memiliki indeks terapeutik yang sangat luas, sekitar lima kali lebih besar dari penthobarbital. Ketamin memiliki kelarutan air 200 g/L pada 20oC. Ketamin bersifat aman terhadap pengelola (Merck and Company 1989).