health services globalization: ke mana aja indonesia?

advertisement
HEALTH SERVICES GLOBALIZATION:
KE MANA AJA INDONESIA?
Oleh: Kementrian Kajian dan Riset Strategis BEM FK UGM
Background
Akhir tahun 2015 adalah saat diberlakukannya kebijakan AFTA yang kemudian menjadikan
setiap warga di negara-negara disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Karena hendak
dimulainya globalisasi tingkat regional ini, kemudian orang-orang menjadi heboh, dan MEA
kemudian menjadi konsumsi pembicaraan dan diskusi di masyarakat dari tiap sektor, dan tak
ketinggalan sektor kesehatan. Namun, apa itu AFTA? Sejak kapan kebijakan-kebijakannya disusun?
Kemudian yang lebih penting, bagaimana dampaknya?
MEA, AFTA, AFAS
Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN atau yang biasa disebut MEA berawal dari
kesepakatan para pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kuala Lumpur,
Malaysia pada Bulan Desember 1997. KTT selanjutnya berlangsung di Bali pada Bulan
Oktober 2003 dan mendeklarasikan bahwa pembentukan MEA pada tahun 2015. MEA adalah
kawasan bebas aliran barang, jasa, investasi, permodalan, dan tenaga kerja. ASEAN dan AEC ini
dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing ekonomi di kawasan regional ASEAN. Komunitaskomunitas pun bermunculan untuk memudahkan dalam akses informasi, salah satunya adalah
AFTA (ASEAN Free Trade Area) dimana masyarakat ASEAN lebih mudah melakukan perdagangan
bebas. AFTA sendiri terdiri dari beberapa bidang, di antaranya adalah AFAS (ASEAN Framework
Agreement in Service). AFAS yang berkaitan dengan tenaga kesehatan adalah AJCCM (ASEAN
Joint Coordinating Committee on Medical Practitioner), AJCCN (ASEAN Joint Coordinating
Committee on Nursing Practitioner) dan AJCCM (ASEAN Joint Coordinating Committee on Dental
Practitioner).
GLOBALISASI: PELAYANAN KESEHATAN
Globalisasi dalam pelayanan kesehatan sebenarnya sudah berjalan sejak lama. Di lingkup
ASEAN sendiri, sering terjadi yang disebut dengan health tourism. Health tourism adalah fenomena
di mana pasien pergi ke negara lain untuk memperoleh layanan kesehatan. Dalam rangka
pemenuhan tenaga kesehatan, ‘ekspor’ tenaga kesehatan juga telah berlangsung lama, contoh:
dokter-dokter dari Vietnam yang menjadi GP di USA, dikirimnya perawat-perawat dari Filipina ke
negara-negara lain yang membutuhkan, dan sebagainya. Belum lagi pembangunan fasilitas
kesehatan oleh pihak asing di negara-negara ASEAN.
(Source: Kanchanachitra et al. 2011)
Faktanya pula, di Indonesia sendiri, hal demikian juga sudah lama terjadi. Sudah banyak
dokter dan perawat bekerja di luar negri dengan destinasi yang berbagai macam, dari Singapura,
Jepang, Jerman, dan lainnya. Dan banyak sekali warga Indonesia yang telah menjadi
health/medication tourist, sebut saja almarhum Olga Syahputra, Julia Perez, dan warga lainnya dari
berbagai tingkat ekonomi. Pembangunan rumah sakit di Indonesia juga banyak yang sebenarnya
adalah milik asing, dalam artian pemodal utamanya adalah pihak asing. Dan seringkali hal ini tidak
begitu diketahui karena pihak asing menggunakan nama-nama lokal dalam penamaan perusahaan
maupun rumah sakit yang dibangun.
Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat ekonomi dunia sudah terjadi lebih
dulu, sudah lebih dari 20 tahun, dan jelas skalanya lebih besar daripada sekedar AFTA. Sehingga
dapat dikatakan bahwa, AFTA adalah bagian dari globalisasi yang sejatinya telah lama berlangsung
dan kurang lebihnya memberikan dampak dan permasalahan yang sama dengan berlakunya
globalisasi itu sendiri.
ARE WE READY?
Sebagai anggota PBB yang mertabat, sudah seharusnya Indonesia mengikuti aturan yang
disepakati oleh PBB, salah satunya adalah peraturan
yang dibuat oleh WTO (World
Trade Organization), yang singkatnya, jika suatu negara tidak dapat memenuhi kebutuhan di dalam
negara itu sendiri, maka negara tersebut harus memperkenankan negara lain untuk memenuhi
kebutuhan tersebut dan dilarang untuk mempersulit atau menolak hal ini jika tidak ada alasan
tertentu yang memang
tidak
mendukung aturan
ini.
Kebutuhan
tersebut
tentunya
tidak
terlepas dari sektor pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan. Kemudian sekarang, muncullah
AFTA yang nantinya akan
“membebaskan”
perdagangan
dan
keluar
masuknya
Sumber
Daya Manusia (SDM) di Indonesia. Namun, mengetahui bahwa sesungguhnya AFTA adalah
suatu bentuk dari globalisasi yang sudah lama terjadi, maka pantaslah jika muncul pertanyaan:
Kenapa masyarakat baru ribut sekarang? Bukankah sudah lama hal ini terjadi? Ke mana saja
selama ini?
Dan kemudian yang banyak ditanyakan oleh berbagai pihak adalah mengenai kesiapan
Indonesia dalam menghadapi dimulainya era MEA ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa SDM termasuk
hal yang dominan berkontribusi dalam AFTA ini, terutama jika yang dibahas adalah kesiapan dari
Indonesia. Namun sebenarnya pula, jelas jawabannya adalah siap tidak siap, Indonesia harus siap.
Mengapa? Karena sebenarnya, sekali lagi, globalisasi sudah lama berlangsung dan AFTA adalah
bagian dari globalisasi ini.
WHAT CAN WE DO?
1. Mengubah paradigma mengenai terpenuhinya kebutuhan pelayanan kesehatan?
Menilik dari bidang kesehatan, tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia dari segi jumlah
sudah banyak. Setiap tahunnya, ratusan dokter baru dihasilkan, begitu juga dengan perawat dan
nutrionist/dietitian. Namun sebenarnya, ketika memandang kesehatan sebagai unsur yang
holistik, maka fokus layanan kesehatan tidak hanya pada memberikan akses yang seluasluasnya untuk masyarakat yang diartikan memberikan kuantitas memadai, melainkan juga pada
memberikan pelayanan kesehatan dengan kualitas mumpuni, sehingga terpenuhinya kebutuhan
pelayanan kesehatan tidak dilihat dari berapa banyak jumlah tenaga kesehatan yang tersedia
(demand), tetapi dari terpenuhinya pelayanan kesehatan yang dibutuhkan (need). Sayangnya,
paradigma yang sebaliknyalah yang umum di masyarakat dan juga pemerintah, sehingga
permasalahan yang sebenarnya menjadi tak terkaburkan: mutu nakes dalam memberikan
pelayanan. Selain itu, daerah-daerah yang masih kekurangan nakes adalah daerah-daerah
rural, perbatasan, dan daerah sejenisnya. Dan akhir-akhir ini, dengan bertambahnya populasi, di
perkotaan pun mulai muncul permintaan nakes untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di tempat tersebut.
Pemerintah, dengan demikian, harus juga memfasilitasi tiap-tiap nakes sesuai keadaan
tempat mereka dipekerjakan. Untuk nakes yang disebar di daerah-daerah terpencil, tidak
hanya dilakukan dengan menaikkan gaji mereka, tapi juga persiapan/training mengenai
kehidupan
di
daerah
terpencil yang dibutuhkan nakes untuk survival dan mengenai
penggunaan metode-metode serta peralatan sederhana untuk memeriksa pasien. Sedangkan
di kota, di mana persaingan akan semakin ketat, para nakes di kota perlu ditingkatkan
kompetensinya melalui seminar-seminar, pelatihan, dan sebagainya, sehingga tidak kalah saing
dengan nakes dari luar.
2. Segera lakukan seluruh akreditasi institusi pendidikan kesehatan
Berkaitan dengan mutu tenaga kesehatan, selain dari faktor internal individu tiap nakes,
tentunya tidak terlepas dari peran institusi pendidikan yang menghasilkan para nakes. Tidak
mengatakan bahwa sistem pendidikannya masih buruk, namun dapat terlihat banyak institusi
pendidikan kesehatan yang masih tidak terakreditasi sebagaimana seharusnya oleh pemerintah.
Hal inilah yang kemudian tidak memberikan jaminan mutu akan nakes yang dihasilkan dari
institusi tersebut.
Akreditasi, selain menjamin mutu dan pengawasan oleh pemerintah, juga berperan
dalam mendorong institusi yang ada agar selalu mengembangkan dirinya dan melakukan
perbaikan secara terus menerus, sehingga mendorong institusi agar menjaga mutu pendidikan
yang dimiliki dengan adanya masa akreditasi. Akreditasi dapat juga menjadi bahan untuk
mendapatkan pengakuan dari badan atau institusi lain.
Sejak tanggal 1 Maret 2014 berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No.
AHU – 30.AH.01.07.Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan LAM-PTKes
Indonesia dan Kepmendikbud No 291/P/2014 tentang Pengakuan operasional LAM-PTKes.
BAN-PT tidak lagi bekerja sendiri mereka bekerja bersama dengan LAM-PTKes yang berfungsi
untuk mengakreditasi program studi kesehatan sedangkan BAN-PT hanya mengakreditasi
universitas saja. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah menyadari pentingnya akreditasi
dan mulai memfokuskan sistem pengakreditasian yang ad
(source: HPEQ 2012)
3. Institusi pendidikan perlu memperjelas arah lulusan yang dihasilkan
Institusi pendidikan sebenarnya masih belum jelas mengenai ke mana para calon nakes
diarahkan. Salah satu permasalahan yang timbul dari globalisasi kesehatan adalah
ketidakjelasan apakah lulusan fakultas kedokteran di Indonesia akan diarahkan untuk menjadi
rural atau global doctor, dimana keduanya sama-sama diperlukan. Oleh karena itu, setiap
institusi yang nantinya akan menghasilkan tenaga kesehatan diharapkan dapat mempersiapkan
sesuai dengan kemana nanti lulusannya akan bekerja. Mempersiapkan seorang dokter untuk
bekerja di daerah rural berarti paling tidak mempersiapkan untuk melakukan diagnosis dan
intervensi medis dengan fasilitas yang serba terbatas dan survival training untuk menghadapi
medan yang tidak mendukung dibandingkan dengan daerah urban. Sedangkan global doctor
dipersiapkan agar menguasai metode-metode intervensi menggunakan teknologi tinggi dan
pengetahuan yang lebih ke arah basic medicine (seperti genetika, biomolekular, dsb) sehingga
mampu bersaing dengan tenaga-tenaga kesehatan asing.
4. Meningkatkan dan meratakan persebaran dan pengadaan fasilitas dan tenaga kesehatan
Fasilitas kesehatan antara di daerah pelosok masih jauh bila dibandingkan dengan di daerah
kota. Bagi masyarakat Indonesia yang berada di Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan
(DPTK) dan termasuk kelas ekonomi menengah ke bawah mengalami kesulitan dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan jika dibandingkan dengan perkotaan, terutama di pulau
Jawa. Bukankah seakan-akan masyarakat pelosok merasa dianaktirikan oleh pemerintah karena
tidak mendapatkan sebagaimana fasilitas kesehatan yang ada seperti di kota. Selain itu, tenaga
kesehatan yang berada di pelosok juga merasa bingung karena alat-alat untuk menangani
pasien yang dipelajari saat di bangku kuliah tidak semuanya ada. Keterbatasan sarana dan
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut menyebabkan kualitas kesehatan masyarakat di wilayah
perbatasan masih tergolong rendah, selain dikarenakan kondisi lingkungan pemukiman dan cara
hidup yang kurang sehat. Maka itu sangat perlu peningkatan pengadaan dan persebaran fasilitas
kesehatan dan juga nakes ke seluruh daerah di Indonesia.
5. Bersiap untuk berkompetisi sedini mungkin
Sebenarnya tidak hanya mahasiswa, tiap-tiap pribadi dituntut untuk dapat berpikir lebih
terbuka, berpikir, inovatif, dan dinamis. Hal tersebut dilakukan agar mahasiswa dapat mengikuti
perkembangan zaman, khususnya pada zaman globalisasi ini. Globalisasi sebagai tantangan
untuk mahasiswa mengerti ke arah mana mereka akan menuju. Globalisasi sebagai proses
untuk membuka diri dan masuk ke dalam pergaulan dunia seharusnya mampu dijadikan alat
untuk mahasiswa mengembangkan diri. Tidak hanya belajar dari budaya sendiri, tetapi juga
mampu belajar dari budaya lain untuk dapat menjadikan manfaat bagi budaya sendiri. Dengan
kecanggihan teknologi yang telah ada, mahasiswa dituntut untuk dapat dengan bijak
menggunakannya sebagai alat jejaring yang positif. Mahasiswa yang sering disebut-sebut
sebagai agent of change seharusnya lebih peduli terhadap pergolakan-pergolakan yang terjadi di
sekitarnya, tak hanya aksi tanpa mengkaji tetapi mahasiswa seharusnya lebih dapat berpikir
kritis dalam menghadapi segala sesuatu yang terjadi. Dengan demikian, tiap-tiap dari kita perlu
mengembangkan diri baik dari segi hard skill maupun soft skill dan harus mengembangkan jiwa
berkompetisi sehingga terus termotivasi dalam pengembangan diri.
Referensi:
Lestari, Tri Rini Puji.2013.Pelayanan Kesehatan di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan
Kepulauan.Jurnal Kesejahteraan Sosial. Vol.5 No. 23/II/P3DI/Juni/2013.
Meliala, Andreasta. 2015. Slide: Global Trade in Health Services: perspective and
challenges. IKMUGM: Yogyakarta
seluruh bahan/dokumen mengenai AFTA, AFAS, MEA diperoleh dari www.as
Download