bab ii landasan teori

advertisement
 BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Laporan Keuangan Bank Syariah
Menurut ketentuan pemerintah, kegiatan usaha suatu bank harus dinyatakan
dalam laporan
keuangan yang diterbitkan dan dilaporkan kepada masyarakat dan
otoritas moneter sebagai pengawas perbankan nasional. Laporan keuangan bank
syariah meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan
ekuitas, catatan atas laporan keuangan, laporan perubahan dana investasi terkait,
laporan sumber dan penggunaan dana zakat, infak, dan sodaqah (ZIS), laporan
sumber dan penggunaan dana qardhul hasan (Suwiknyo, 2010).
Laporan keuangan bank menunjukkan kondisi bank secara keseluruhan.
Laporan keuangan yang dihasilkan bank diharapkan dapat memberikan informasi
tentang kinerja keuangan dan pertanggungjawaban manajemen bank kepada seluruh
stake holder bank. Laporan keuangan digunakan untuk memenuhi kepentingan
berbagai pihak. Dimana masing-masing pihak mempunyai tujuan sendiri-sendiri
untuk mengetahui hasil interpretasi dari laporan keuangan tersebut. Adapun pihakpihak yang memiliki kepentingan terhadap laporan keuangan bank (Kasmir,
2004:241), antara lain:
1.
Bagi pemegang saham, laporan keuangan bank digunakan untuk mengetahui
kemajuan bank yang dikelola oleh manajemen dalam suatu periode kemajuan
bank dapat dilihat dalam menciptakan laba, pengembangan aset dan usaha,
serta dapat memberikan gambaran tentang jumlah deviden yang akan
diterima.
2.
Bagi pemerintah, laporan keuangan digunakan untuk mengetahui kepatuhan
bank dalam melaksanakan kebijakan moneter yang telah ditetapkan, dan
peranan perbankan dalam pengembangan sektor industri.
3.
Laporan keuangan bagi manajemen digunakan untuk menilai kinerja
11
manajemen bank dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Ukuran
keberhasilan
bank dapat dilihat dari pertumbuhan laba yang diperoleh dari
pengembangan aset yang dimiliki. Selain itu, laporan keuangan ini dapat
digunakan sebagai penilaian pemilik untuk memberikan kompensasi dan
kepercayaan kepada pihak manajemen bank untuk mengelola bank pada
periode berikutnya.
4. Bagi karyawan, melalui laporan keuangan dapat mengetahui kondisi
keuangan bank yang sebenarnya. Dengan demikian karyawan dapat
memahami kinerja mereka, sehingga jika bank mengalami keuntungan, maka
dapat diharapkan ada peningkatan kesejahteraan, tetapi jika bank mengalami
kerugian maka karyawan perlu melakukan perbaikan.
5.
Bagi masyarakat, laporan keuangan dapat digunakan sebagai suatu jaminan
terhadap uangnya yang disimpan di bank. Kepercayaan masyarakat untuk
menyimpan dana tergantung dengan kondisi bank yang bersangkutan.
Tujuan informasi keuangan syariah pada dasarnya sama dengan tujuan
laporan keuangan yang berlaku secara umum, yaitu menyediakan informasi
mengenai posisi keuangan, kinerja, dan perubahan posisi keuangan suatu
perusahaan, bagi pemakai informasi dalam pengambilan keputusan ekonomi dengan
tambahan sebagai berikut (Muhammad, 2005:334):
1.
Informasi kepatuhan bank terhadap prinsip syariah, informasi pendapatan,
dan beban yang tidak sesuai dengan prinsip syariah serta bagaimana
pendapatan tersebut diperoleh serta penggunaannya.
2.
Informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab
terhadap amanah dalam mengamankan dana, menginvestasikan pada tingkat
keuntungan yang layak dan informasi mengenai tingkat keuntungan investasi
yang diperoleh pemilik dana investasi.
3.
Informasi mengenai pemenuhan fungsi sosial bank termasuk pengelolaan dan
penyaluran zakat.
12
2.2
Tinjauan Umum Rasio Keuangan Bank
Informasi
akuntansi dalam bentuk laporan keuangan memberikan manfaat
kepada pengguna apabila laporan keuangan tersebut dianalisis lebih lanjut sebelum
dimanfaatkan sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan. Analisis laporan
keuangan meliputi perhitungan dan interpretasi rasio keuangan. Analisis rasio
keuangan dapat membantu para pemakai laporan keuangan dalam menilai kinerja
suatu perusahaan atas kegiatan operasional yang dilakukan.
keuangan
Manajemen adalah faktor utama yang mempengaruhi profitabilitas bank.
Seluruh manajemen bank, baik yang mencakup manajemen permodalan, manajemen
kualitas aktiva, manajemen umum, manajemen likuiditas dan rentabilitas pada
akhirnya akan mempengaruhi dan bermuara pada perolehan laba (profitabilitas) pada
perusahaan perbankan. Demikian juga kinerja manajemen bank syariah yang
mencakup manajemen permodalan, likuiditas, efisiensi, aktiva produktif, dan
rentabilitas (Muhammad, 2005).
Rentabilitas bank adalah kemampuan suatu bank untuk memperoleh laba
yang dinyatakan dalam prosentase (Hasibuan, 2005:100). Analisis rasio rentabilitas
merupakan alat ukur menganalisis atau mengukur tingkat profitabilitas yang dicapai
oleh bank. Selain untuk mengukur kinerja, rasio-rasio dalam kategori ini dapat
digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan bank syariah (Muhammad, 2005:265).
2.2.1 Profitabilitas
Profitabilitas sebagai salah satu acuan dalam mengukur besarnya laba
menjadi begitu penting untuk mengetahui apakah perusahaan telah menjalankan
usahanya secara efisien. Efisiensi sebuah usaha baru dapat diketahui setelah
membandingkan laba yang diperoleh dengan aktiva atau modal yang menghasilkan
laba tersebut.
Return on Assets (ROA) menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam
menghasilkan laba dari pengelolaan assets yang dimiliki (Yuliani, 2007). ROA
digunakan untuk mengukur profitabilitas bank karena Bank Indonesia sebagai
13
Pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu
bank, diukur
dengan asset yang dananya sebagian besar dari dana simpanan
masyarakat (Dendawijaya, 2009:118).
Analisis profitabilitas yang relevan dipergunakan dalam meneliti profitabilitas
perbankan adalah ROA. Menurut Meythi (2005) alasan penggunaan ROA
dikarenakan BI sebagai pembina dan pengawas perbankan yang lebih mementingkan
dananya berasal dari masyarakat. Disamping itu ROA merupakan metode
aset yang
pengukuran
yang paling objektif yang didasarkan pada data akuntansi yang tersedia
dan besarnya ROA dapat mencerminkan hasil dari serangkaian kebijakan perusahaan
terutama perbankan (Arianto, 2005). ROA merupakan rasio yang juga digunakan
untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh laba bank syariah
(Muhammad, 2005:265). Adapun standar Return On Assets (ROA) untuk Perbankan
Syariah menurut surat edaran BI No. 9/24/DPbs tahun 2007 mengenai sistem
penilaian tingkat kesehatan bank berdasarkan prinsip syariah sebagai berikut:
Tabel 2.1
Tingkat Kesehatan ROA
Peringkat
Nilai ROA
Predikat
1.
ROA.>1,5 %
Perolehan laba sangat tingggi
2.
1,25% < ROA≤1,5%
Perolehan laba tingggi
3.
0,5% < ROA≤1,25%
Perolehan laba cukup tinggi
4.
0%< ROA ≤0,5%
Perolehan laba rendah
5.
ROA ≤ 0%
Perolehan laba sangat rendah
atau cenderung rugi
Sumber: SE BI No.9/24/DPbs tangggal 30 Oktober 2007
Berdasarkan Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001,
ROA dapat diukur dengan perbandingan antara laba sebelum pajak terhadap total
aset (total aktiva). Laba sebelum pajak adalah laba bersih dari kegiatan operasional
14
bank sebelum pajak. Total aset yang digunakan untuk mengukur ROA adalah jumlah
keseluruhan
dari aset yang dimiliki oleh bank yang bersangkutan.
Sumber: Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001
2.2.2 Permodalan
Penilaian aspek permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan modal
bank untuk mengantisipasi risiko saat ini dan yang akan datang. Modal merupakan
aspek penting bagi suatu unit bisnis bank. Hal itu dikarenakan beroperasi atau
tidaknya dan dipercaya atau tidaknya suatu bank salah satunya dipengaruhi oleh
kecukupan modal. Dalam kaitannya dengan fungsi dari modal bank, Brenton C.
Leavitt menekankan ada 4 hal, yaitu (Muhammad, 2005:243):
1.
Untuk melindungi deposan yang tidak diasuransikan, pada saat bank
insolvable dan likuidasi.
2.
Untuk menyerap kerugian yang tidak diharapkan guna menjaga kepercayaan
masyarakat bahwa bank dapat terus beroperasi.
3.
Untuk memperoleh sarana fisik dan kebutuhan dasar lainnya yang diperlukan
untuk menawarkan pelayanan bank.
4.
Sebagai alat pelaksanaan peraturan pengendalian ekspansi aktiva yang tidak
tepat.
Kecukupan modal berkaitan dengan penyediaan modal sendiri yang
diperlukan untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul dari pergerakan
aktiva bank yang pada dasarnya sebagian besar dana berasal dari dana pihak ketiga
atau masyarakat, tingginya rasio modal dapat melindungi deposan, dan memberikan
dampak meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan ROA. Pembentukan dan peningkatan peranan aktiva bank
15
sebagai penghasil keuntungan harus memperhatikan kepentingan pihak-pihak ketiga
sebagai pemasok modal bank. Dengan demikian bank harus menyediakan modal
minimum yang cukup untuk menjamin kepentingan pihak ketiga (Sinungan,
2000:162).
Rasio untuk mengukur kecukupan modal bank syariah yaitu dengan
menggunakan rasio Capital Adequacy Ratio (Muhammad, 2004:90). Berdasarkan
ketentuan
Bank for International Settlements, bank yang dinyatakan termasuk
sebagai bank yang sehat harus memiliki CAR paling sedikit sebesar 8% permodalan
terhadap aktiva berisiko (Muhammad, 2005:249).
Tingginya rasio modal dapat melindungi deposan, dan memberikan dampak
meningkatnya kepercayaan masyarakat pada bank, dan akhirnya dapat meningkatkan
ROA. Manajemen bank perlu meningkatkan nilai CAR sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yaitu minimal 8% karena dengan modal yang cukup, bank dapat
melakukan ekspansi usaha dengan lebih aman dalam rangka meningkatkan
profitabilitas (Yuliani, 2007:33). Adapun besarnya nilai CAR suatu bank dapat
dihitung dengan rumus:
Sumber: Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001
Modal sendiri bank syariah terdiri dari modal inti ditambah dengan pelengkap.
Perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada aktiva tertimbang menurut risiko
(ATMR). Aktiva dalam perhitungan ini mencakup baik aktiva yang tercantum dalam
neraca maupun aktiva yang bersifat administratif. Terhadap masing-masing jenis
aktiva ditetapkan bobot risiko yang besarnya didasarkan pada kadar risiko yang
terkandung dalam aktiva itu sendiri atau yang didasarkan pada penggolongan
nasabah, penjamin, atau sifat barang jaminan (Muhammad, 2005: 251).
Pada bank syariah perhitungan ATMR sedikit berbeda dari bank
konvensional. Aktiva pada bank syariah dibagi atas aktiva yang dibiayai dengan
16
modal sendiri serta aktiva yang didanai oleh rekening bagi hasil (Muhammad,
2005:256).
Aktiva yang didanai oleh modal sendiri dan hutang risikonya ditanggung
modal sendiri, sedangkan yang didanai oleh rekening bagi hasil risikonya ditanggung
oleh rekening bagi hasil itu sendiri. Pemilik rekening bagi hasil berhak menolak
untuk menanggung risiko atas aktiva yang dibiayainya apabila kesalahan terletak
pada oihak mudharib (bank).
Penetapan
CAR
sebagai
variabel
yang
mempengaruhi
profitabilitas
didasarkan
hubungannya dengan tingkat risiko bank. Penetapan CAR pada titik
tertentu dimaksudkan agar bank memiki kemampuan modal yang cukup untuk
meredam kemungkinan timbulnya risiko sebagai akibat berkembangnya ekspansi aset
terutama aktiva yang dikategorikan dapat memberikan hasil sekaligus mengandung
risiko. Rendahnya CAR dikarenakan peningkatan ekspansi aset berisiko yang tidak
diimbangi dengan penambahan modal menurunkan kesempatan bank untuk
berinvestasi dan menurunkan kepercayaan masyarakat sehingga berpengaruh pada
penurunan profitabilitas (Werdaningtyas, 2002).
Menurut Yuliani (2007), CAR juga bisa disebut dengan rasio kecukupan
modal, yang berarti jumlah modal sendiri yang diperlukan untuk menutup risiko
kerugian yang mungkin timbul dari penanaman aktiva-aktiva yang mengandung
risiko serta membiayai seluruh benda tetap dan inventaris bank. Manajemen bank
perlu mempertahankan atau meningkatkan niali CAR sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia minimal delapan persen karena dengan modal yang cukup maka bank dapat
melakukan ekspansi usaha dengan lebih aman dalam rangka meningkatkan
profitabilitasnya.
2.2.3 Financing to Deposit ratio (FDR)
Dalam perbankan syariah tidak dikenal istilah kredit (loan) namun
pembiayaan (financing). Rasio ini menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam
membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan
pembiayaaan yang diberikan sebagai likuiditasnya. Semakin tinggi rasio tersebut
memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang
17
bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk
pembiayaan
menjadi semakin besar (Stiawan, 2009).
Rasio pembiayaan yang diproksikan dengan financing to deposit ratio (FDR)
dijadikan variabel yang mempengaruhi ROA berkaitan dengan seberapa jauh
pembiayaan produktif yang disalurkan oleh Bank Syariah untuk mendapatkan profit
dibandingkan dengan total dana pihak ketiganya. Jika rasio ini meningkat dalam
batas tertentu
maka akan semakin banyak dana yang disalurkan dalam bentuk
pembiayaan,
sehingga akan meningkatkan laba bank, dengan asumsi bank
menyalurkan dananya untuk pembiayaan yang efektif. Dengan meningkatnya laba,
maka return on assets (ROA) juga akan meningkat, karena laba merupakan
komponen yang membentuk return on assets (ROA) (Stiawan, 2009).
Para praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari FDR adalah
sekitar 80%. Namun batas toleransi berkisar antara 85% - 100%. Namun oleh Bank
Indonesia, suatu bank masih dianggap sehat jika FDR masih di bawah 110%.
Lebih banyak penelitian menggunakan obyek bank konvensional, sehingga
dalam menghitung rasio yang sering digunakan dengan istilah loan yaitu loan to
deposit ratio (LDR). Dalam perbankan syariah tidak dikenal istilah kredit (loan)
namun pembiayaan atau financing (Antonio, 2001:170). Pada umumnya konsep yang
sama ditunjukkan pada bank syariah dalam mengukur likuiditas yaitu dengan
menggunakan financing to deposit ratio (Muhammad, 2009). Financing to Deposit
Ratio (FDR) yaitu seberapa besar dana pihak ketiga bank syariah dilepaskan untuk
pembiayaan (Muhammad, 2005:265). Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:
Sumber: Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001
Financing (pembiayaan) dalam industri perbankan syariah adalah penyaluran
dana kepada pihak ketiga, bukan bank, dan bukan Bank Indonesia dengan
menggunakan beberapa jenis akad. Penyaluran dana pihak ketiga dalam industri
18
perbankan syariah harus berhubungan dengan sektor riil dan tidak boleh bersifat
spekulatif
(Werdaningtyas, 2002).
Adapun dana pihak ketiga dalam bank syariah berupa (Muhammad,
2005:266):
1.
Titipan (wadiah) simpanan yang dijamin keamanan dan pengembalian-nya
tanpa memperoleh imbalan atau keuntungan.
2. Partisipasi modal berbagi hasil dari berbagai risiko untuk investasi umum.
3. Investasi khusus dimana bank hanya berlaku sebagai manajer investasi untuk
memperoleh fee dan investor sepenuhnya mengambil risiko atas investasi itu.
Untuk dapat memperoleh FDR yang optimum bank tetap harus menjaga NPF.
Peningkatan FDR dapat berarti penyaluran dana ke pembiayaan semakin besar,
sehingga laba akan meningkat. Peningkatan laba tersebut mengakibatkan kinerja bank
yang diukur dengan ROA semakin tinggi. Oleh karena itupihak manajemen harus
dapat mengelola dana yng dihimpun dari masyarakat untuk kemudia disalurkan
kembali dalam bentuk pembiayaan yang nantinya dapat menambah pendapatan bank,
baik dalam bentuk bonus maupun bagi hasil yang berarti profit bank syariah juga
akan meningkat.
2.2.4 Kualitas Aktiva
Tingkat kelangsungan usaha bank berkaitan erat dengan aktiva produktif yang
dimilikinya, oleh karena itu manajemen bank dituntut untuk senantiasa dapat
memantau dan menganalisis kualitas aktiva yang dimiliki. Kualitas aktiva produktif
menunjukkan kualitas aset sehubungan dengan risiko pembiayaan yang dihadapi
bank akibat pemberian pembiayaan dan investasi dana.
Setiap penanaman dana bank dalam aktiva produktif bank syariah dinilai
kualitasnya berdasarkan pendekatan jaminan, pendekatan karakter, kemampuan
pelunasan, kelayakan usaha, dan pendekatan fungsi bank sebagai lembaga perantara
keuangan (Muhammad, 2005:305). Penilaian kualitas aktiva produktif dilakukan
dengan menentukan tingkat kolektabilitasnya. Kolektabilitas merupakan tingkat
kelancaran pembayaran kewajiban nasabah yang berdasarkan jumlah hari tunggakan.
19
Kolektabilitas selain berpengaruh pada tingkat kesehatan bank syariah juga
berpengaruh
pada perolehan laba bank (Siamat, 2005). Secara umum kolektabilitas
pembiayaan dikategorikan menjadi 5 macam, yaitu lancar, kurang lancar, diragukan,
perhatian khusus, dan macet. Menurut Muhammad (2002:165), kriteria kolektabilitas
pembiayaan adalah sebagai berikut:
1.
Lancar (Pass)
1.
Pembiayaan
dengan angsuran diluar PPR
a. Tidak terdapat tunggakan angsuran pokok, tunggakan bagi hasil, atau
cerukan karena penarikan.
b. Terdapat tunggakan angsuran pokok, tetapi:
Belum melebihi satu bulan, bagi pembiayaan yang ditetapkan masa
angsurannya kurang dari satu bulan, atau
Belum melebihi tiga bulan, bagi pembiayaan yang ditetapkanmasa
angsurannya bulanan, dua bulanan, atau tiga bulanan, atau
Belum melampaui enam bulan bagi pembiayaan yang masa angsurannya
ditetapkan empat bulanan atau lebih.

Terdapat tunggakan bagi hasil, tetapi:
Belum melampaui satu bulan bagi pembiayaan yang sama angsurannya
kurang dari satu bulan, atau
Belum melampaui tiga bulan bagi pembiayaan yang masa angsurannya
lebih dari satu bulan.

Terdapat cerukan karena penarikan tetapi jangka waktunya belum
melampaui 15 hari kerja.
2.
Pembiayaan dengan angsuran untuk PPR
a. Tidak terdapat tunggakan angsuran pokok, atau
b. Terdapat tunggakan angsuran pokok tetapi belum melampaui enam bulan.
3.
Pembiayaan tanpa angsuran atau pembiayaan rekening koran
a. Pembiayaan belum jatuh waktu dan terdapat tunggakan bagi hasil.
20
b. Pembiayaan belum jatuh waktu dan terdapat tunggakan bagi hasil tetapi
belum melampaui tiga bulan.
c. Pembiayaan telah jatuh waktu dan telah dilakukan analisis untuk
perpanjangannya, tetapi karena kesulitan teknis belum dapat diperpanjang.
d. Terdapat cerukan karena penarikan tetapi jangka waktunya belum
melampaui 15 hari kerja.
4.
Cerukan
rekening giro
a. Terdapat cerukan rekening giro tetapi jangka waktunya belum melampaui
15 hari kerja.
2.
Dalam Perhatian Khusus (Special Mention)
1.
Terdapat tunggakan angsuran pokok, dan belum melampaui 3 bulan, bagi
pembiayaan yang ditetapkan masa angsurannya bulanan.
2.
Terdapat tunggakan bagi hasil belum melampaui 3 bulan, bagi pembiayaan
yang masa angsurannya bulanan.
3.
Terdapat cerukan karena penarikan, tetapi jangka waktunya belum melampaui
15 hari kerja.
4.
Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur, atau
5.
Dokumen pinjaman lemah.
3.
Kurang Lancar (Sub Standard)
1.
Pembiayaan dengan angsuran di luar PPR
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok yang :
Melampaui 1 bulan dan belum melampaui 2 bulan bagi pembiayaan dengan
angsuran kurang dari 1 bulan, atau
Melampaui 3 bulan dan belum melampaui 6 bulan bagi pembiayaan yang
masa angsurannya ditetapkan bulanan, dua bulanan atau tiga bulanan, atau
Melampaui 6 bulan tetapi belum melampaui 12 bulan bagi pembiayaan
yang masa angsurannya ditetapkan 6 bulanan atau lebih.
21
b. Terdapat tunggakan bagi hasil, tetapi:
Melampaui satu bulan, tetapi belum melampaui tiga bulan bagi pembiayaan
dengan masa angsuran kurang satu bulan, atau
Melampaui tiga bulan, tetapi belum melampaui enam bulan bagi
pembiayaan yang masa angsurannya lebih dari satu bulan.
c. Terdapat cerukan karena penarikan tetapi jangka waktunya belum
2.
melampaui 15 hari kerja.
Pembiayaan
dengan angsuran untuk PPR
Terdapat tunggakan pokok yang telah melampaui 6 bulan tetapi belum
melampaui 9 bulan.
3.
Pembiayaan tanpa angsuran
a. Pembiayaan belum jatuh waktu, dan terdapat tunggakan bagi hasil yang
melampaui 3 bulan tetapi belum melampaui 6 bulan, terdapat penambahan
plafon atau pembiayaan baru dimaksudkan untuk melunasi tunggakan bagi
hasil.
b. Pembiayaan belum jatuh waktu dan belum dibayar tetapi belum melampaui
3 bulan.
c. Terdapat cerukan karena penarikan tetapi jangka waktunya telah
melampaui 15 hari kerja tetapi belum melampaui 30 hari kerja.
4.
Pembiayaan yang diselamatkan
a. Tidak memenuhi kriteria tersebut pada kriteria lancar maupun dalam
perhatian khusus dan tidak ada tunggakan.
b. Terdapat tunggakan tapi masih memenuhi kriteria pada kriteri lancar.
c. Terdapat cerukan karena penarikan tetapi jangka waktunya telah
melampaui 15 hari kerja tetapi belum melampaui 30 hari kerja.
4.
Diragukan
Pembiayaan digolongkan diragukan apabila pembiayaan yang bersangkutan
tidak memenuhi kriteria lancar, dalam perhatian khusus dan kurang lancar,
22
seperti pada kriteria lancar dan tetapi berdasarkan penilaian dapat disimpulkan,
bahwa:
1.
Pembiayaan masih dapat diselamatkan dan agunannya bernilai sekurangkurangnya 75% dari hutang peminjam termasuk bagi hasil.
2.
Pembiayaan tidak dapat diselamatkan tetapi agunannya masih bernilai
sekurang-kurangnya 100% dari hutang peminjam.
5.
Macet
Pembiayaan
digolongkan macet apabila:
1.
Tidak memenuhi kriteria lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar dan
diragukan
2.
Memenuhi kriteria diragukan tersebut tetapi jangka waktu 21 bulan sejak
digolongkan diragukan belum ada pelunasan atau usaha penyelamatan
3.
Pembiayaan tersebut penyelesaiannya telah diserahkan kepada pengadilan
negeri atau Badan Urusan Piutang Negara atau telah diajukan penggantian
rugi kepada perusahaan asuransi pembiayaan atau di Badan Arbitrase
Syariah.
Adanya pembiayaan bermasalah yang semakin besar dibandingkan aktiva
produktifnya dapat mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk memperoleh
pendapatan dari pembiayaan yang diberikan sehingga mempengaruhi perolehan laba
dan berpengaruh buruk pada ROA (Dendiwijaya, 2009).
Dalam menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit
bermasalah yang diberikan bank, bank konvensional biasanya menggunakan rasio
Non Performing Loan atau NPL. Menurut surat edaran BI No. 3/30 DPNP tanggal 14
Desember 2001, NPL diukur dari rasio perbandingan antara kredit bermasalah
terhadap total kredit yang diberikan. Kredit dalam hal ini adalah kredit yang diberikan
kepada pihak ketiga tidak termasuk kredit kepada bank lain. Kredit bermasalah
adalah kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, besarnya NPL yang baik adalah
dibawah 5% (Stiawan, 2009).
23
Pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah menurut UU No. 10 Tahun
1998 Pasal
8 dilakukan berdasarkan analisis dengan menerapkan prinsip kehati-hatian
agar nasabah debitur mampu melunasi utangnaya atau mengendalikan pembiayaan
sesuai perjanjian sehingga risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya
dapat dihindari. Walaupun demikian pembiayaan yang diberikan pada nasbah tidak
akan lepas dari risiko terjadinya Non Performing Financing yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi
terhadap kinerja Bank Syariah. Adapun kriteria tingkat kesehatan
di tetepkan oleh Bank Indonesia adalah sebagai berikut:
NPF yang
Tabel 2.2
Tingkat Kesehatan NPF
Peringkat
Nilai NPF
Predikat
1
NPF < 2%
Sangat Baik
2
2% ≤ NPF < 5%
Baik
3
5% ≤ NPF <8%
Cukup Baik
4
8% ≤ NPF <12%
Kurang Baik
5
NPF ≥ 12%
Tidak Baik
Sumber: SE BI No.9/24/DPbs tangggal 30 Oktober 2007
Risiko pembiayaan dalam penelitian ini diproksikan dengan non performing
financing (NPF) dijadikan variabel yang mempengaruhi profitabilitas karena
mencerminkan risiko pembiayaan. Semakin tinggi rasio ini, menunjukkan kualitas
pembiayaan bank syariah semakin buruk. Tingkat kesehatan pembiayaan (NPF) ikut
mempengaruhi pencapaian laba bank. Pengelolaan pembiayaan sangat diperlukan
oleh bank, mengingat fungsi pembiayaan sebagai penyumbang pendapatan terbesar
bagi bank syariah (Stiawan, 2009).
Risiko pembiayaan yang diterima bank merupakan salah satu risiko usaha
bank yang diakibatkan dari titik dilunasinya kembali pinjaman yang diberikan atau
investasi yang sedang dilakukan oleh pihak bank (Muhammad, 2005:359).
24
Pengelolaan pembiayaan sangat diperlukan oleh bank, mengingat fungsi pembiayaan
sebagai penyumbang pendapatan terbesar bagi bank syariah. Tingkat kesehatan
pembiayaan (NPF) ikut mempengaruhi pencapaian laba bank (Stiawan, 2009).
Kualitas aktiva produktif pada bank syariah diukur dengan non performing
financing (NPF) (Muhammad, 2009). NPF digunakan untuk mengukur tingkat
permasalahan pembiayaan yang dihadapi oleh bank syariah. NPF mencerminkan
risiko pembiayaan
bank syariah semakin buruk. Aktiva produktif bank syariah diukur
dengan perbandingan antara pembiayaan bermasalah dengan total pembiayaan yang
diberikan (Muhammad, 2005:265). Adapun NPF dapat dihitung dengan rumus:
Sumber: Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001
2.2.5 Biaya Operasional/Pendapatan Operasional (BOPO)
Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional sering disebut
dengan rasio efisiensi yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank
dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin
kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank yang
bersangkutan.
Rasio efisiensi dalam penelitian ini diproksikan dengan BOPO. BOPO
merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan bank dalam menjalankan
operasionalnya secara efisien. Teori yang ada menjelaskan bahwa hubungan antara
BOPO dan ROA adalah berbanding terbalik. Apabila rasio BOPO yang dihasilkan
berada dalam kondisi efisien, laba yang akan diperoleh semakin besar karena biaya
operasi yang ditanggung bank semakin kecil. Dengan meningkatnya laba maka dapat
dipastikan bahwa ROA dapat meningkat.
Rasio BOPO digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan
bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Mengingat kegiatan umum bank pada
25
prinsipnya adalah bertindak sebagai perantara, yaitu menghimpun dan menyalurkan
dana masyarakat,
maka biaya dan pendapatan operasional bank didominasi oleh biaya
bagi hasil dan hasil bagi hasil. Setiap peningkatan biaya operasional akan berakibat
pada berkurangnya laba sebelum pajak yang pada akhirnya akan menurunkan laba
atau profitabilitas (ROA) bank yang bersangkutan (Dendawijaya, 2003).
Menurut Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001, BOPO
diukur dari
perbandingan antara biaya operasional terhadap pendapatan operasional.
BOPO 
Biaya Operasioanal
x100%
Pendapatan Operasional
Sumber: Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001
Biaya operasional meruapakan biaya yang dikeluarkan oleh bank dalam
rangka menjalankan aktivitas usaha pokoknya (seperti biaya bagi hasil, biaya tenaga
kerja, biaya pemasaran, dan lain-lain). Pendapatan operasional merupakan
pendapatan utama bank yaitu pendapatan bagi hasil yang diperoleh dari penempatan
dana dalam bentuk pembiayaan dan penempatan operasi lainnya.
2.3
Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai rasio keuangan bank di Indonesia telah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini
antara lain:
1.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitriani Prastiyaningtyas adalah tentang
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Profitabilitas Perbankan, Studi pada Bank
Umum Go Public yang Listed di Bursa Efek Indonesia Tahun 2005-2008.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh CAR, NPL, BOPO,
LDR, NIM, dan Pangsa Pasar kredit memiliki pengaruh yang siginifikan
terhadap profitabilitas perbankan pada bank umum go public dengan tingkat
signifikansi 0,000. Berdasarkan hasil uji hipotesis secara parsial (uji t) pada
bank umum go public menunjukkan bahwa variabel CAR, NPL, BOPO, NIM,
26
dan Pangsa Pasar Kredit berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas
perbankan,
sedangkan variabel LDR tidak signifikan terhadap profitabilitas
perbankan. Nilai adjusted R2 dalam model regresi bank go public diperoleh
sebesar 0, 779. Hal ini menunjukkan bahwa besar pengaruh variabel
independen yaitu CAR, NPL, BOPO, LDR, NIM, dan Pangsa Kredit terhadap
variabel dependen (ROA) sebesar 77,9% sedangkan sisanya sebesar 22,1%
dipengaruhi oleh faktor lain. Selain itu nilai R2 adalah 0,796. Jika nilai R2
semakin mendekati 1 maka variabel-variabel bebas (CAR, NPL, BOPO, LDR,
NIM, dan Pangsa Kredit) semakin kuat pengaruhnya dalam menjelaskan
variabel terikat (ROA).
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Uswatun Hasanah adalah tentang Analisis
Faktor-Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Profitabilitas
Perbankan Syariah di Indonesia, Periode Tahun 2005(11)–2008(9). Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari faktor internal sebagai variabel
bebas yang terdiri dari FDR, NPF, dan Bagi Hasil Deposito Mudharabah
terhadap Profitabiltas (ROA). Untuk faktor eksternal sebagai variabel bebas
yang terdiri dari Pangsa Pasar Deposito, SWBI, dan Inflasi terhadap
Profitabiltas (ROA). Hasil empiris menunjukkan bahwa faktor internal berupa
Financing Deposit Ratio (FDR) dalam jangka panjang berpengaruh positif
terhadap Return on Assets (ROA). Sedangkan dalam jangka pendek FDR
berpengaruh megatif terhadap ROA. Faktor internal lainnya berupa Non
Performing financing (NPF) dan bagi hasil deposito mudharabah berpengaruh
negatif terhadap ROA baik jangka panjang maupun jangka pendek.
3.
Penelitian yang dilakukan oleh Adi Stiawan meneliti tentang Analisis
Pengaruh Faktor Makroekonomi, Pangsa Pasar dan Karakteristik Bank
Terhadap Profitabilitas Bank Syariah (Studi Pada Bank Syariah Periode 20052008). Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh kondisi
ekonomi makro yang diproksi dengan inflasi dan GDP, pengaruh karakteristik
bank yang diproduksi dari FDR, CAR, NPF, BOPO, SIZE, dan Pengaruh
27
Pangsa Pasar yang diproduksi dengan pembiayaan bank syariah terhadap
profitabilitas
bank syariah yang diproyeksikan dengan ROA. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa variabel Inflasi dan GDP, tidak berpengaruh signifikan
positif terhadap ROA Bank Syariah.
4.
Penelitian yang dilakukan oleh Hesti Werdaningtyas tentang Analisa FaktorFaktor yang Mempengaruhi Profitabilitas Bank Take Over (BTO) Pramerger
di Indonesia selama tahun 1990-1998. Penelitian dilakukan untuk mengetahui
pengaruh CAR, LDR, dan variabel Dummy, Pangsa Aset, Pangsa Dana,
Pangsa Kredit terhadap Profitabilitas BTO di Indonesia. Hasil penelitian
menunjukkan variabel pangsa pasar yang diukur dengan pangsa aset, pangsa
dana, dan pangsa kredit tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
profitabilitas secara parsial. CAR secara signifikan berpengaruh positif
terhadap profitabilitas, sedangkan LDR secara signifikan berpengaruh negatif
terhadap profitabilitas. Faktor yang dominan mempengaruhi profitabilitas
BTO berturut-turut adalah CAR, LDR, dan kondisi perekonomian.
2.4
Kerangka Pemikiran
2.4.1 Hubungan Capital Adequacy Ratio (CAR) dengan Return On Assets
(ROA)
Penetapan
capital
adequacy
ratio
(CAR)
sebagai
variabel
yang
mempengaruhi profitabilitas didasarkan hubungannya dengan tingkat risiko bank
penetapan CAR pada titik tertentu yang dimaksudkan agar bank memiliki
kemampuan modal yang cukup untuk meredam kemungkinan timbulnya risiko
sebagai akibat bekembangnya ekspansi asset terutama aktiva yang dikategorikan
dapat memberikan hasil sekaligus mengandung risiko. Rendahnya CAR dikarenakan
peningkatan ekspansi aset berisiko yang tidak diimbangi dengan penambahan modal
menurunkan kesempatan bank untuk berinvestasi dan menurunkan kepercayaan
masyarakat sehingga berpengaruh pada penurunan profitabilitas (Werdaningtyas,
2002).
28
Tingginya rasio modal dapat melindungi deposan dan memberikan dampak
meningkatnya
kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan ROA. Pembentukan dan peningkatan peranan aktiva dapat
meningkatkan ROA. Pembentukan dan peningkatan peranan aktiva bank sebagai
penghasil keuntungan harus memperhatikan kepentingan pihak-pihak ketiga sebagai
pemasok modal bank. Dengan demikian bank harus menyediakan modal minimum
yang cukup
untuk menjamin kepentingan pihak ketiga (Sinungan, 2000:162).
Manajemen bank perlu mempertahankan atau meningkatkan nilai CAR sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia minimal delapan persen, karena dengan modal
yang cukup maka bank dapat melakukan ekspansi usaha dengan lebih aman dalam
rangka meningkatkan profitabilitasnya.
2.4.2 Hubungan Financing to Deposit Ratio (FDR) dengan Return On Assets
(ROA)
Financing to Deposit Ratio (FDR) yaitu seberapa besar dana pihak ketiga
bank syariah dilepaskan untuk pembiayaan (Muhammad, 2005:265). Rasio likuiditas
ini menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan
dana yang dilakukan dengan deposan dengan mengendalikan kredit/pembiayaan yang
diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini, memberikan
indikasi semakin rendahnya likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan
jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit/pembiayaan semakin besar
(Dendawijaya, 2009).
Sebaliknya semakin rendah FDR menunjukkan kurangnya efektifitas bank
dalam pembiayaan. Oleh karena itu pihak manajemen harus dapat mengelola dana
yang dihimpun dari masyarakat untuk kemudian disalurkan kembali dalam bentuk
pembiayaan yang nantinya dapat menambah pendapatan bank baik dalam bentuk
bonus maupun bagi hasil, yang berarti profit bank syariah juga akan meningkat.
Semakin tinggi FDR dalam batas tertentu, maka semakin meningkat pula laba
bank, dengan asumsi bank menyalurkan dananya untuk pembiayaan yang efektif.
Dengan meningkatnya laba, maka Return On Asset (ROA) juga akan meningkat,
29
karena laba merupakan komponen yang membentuk return on assets (ROA). Hal ini
didukung
dengan hasil penelitian dari Stiawan (2009) yang dalam penelitiannya
menyatakan bahwa variabel FDR berpengaruh positif terhadap ROA.
2.4.3 Hubungan Non Performing Financing (NPF) dengan Return On Assets
(ROA)
Non Performing Financing (NPF) mencerminkan risiko pembiayaan.
tinggi rasio ini, menunjukkan kualitas pembiayaan bank syariah semakin
Semakin
buruk. Risiko pembiayaan yang diterima bank merupakan salah satu risiko usaha
bank yang diakibatkan dari tidak dilunasinya cicilan pokok dan bagi hasil dari
pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukan oleh pihak bank
(Muhammad, 2005:358).
Pengelolaan pembiayaan sangat diperlukan oleh bank, mengingat fungsi
pembiayaan sebagai penyumbang pendapatan terbesar bagi bank syariah. Tingkat
kesehatan pembiayaan (NPF) ikut mempengaruhi pencapaian laba bank (Stiawan,
2009). Adanya pembiayaan bermasalah yang besar dapat mengakibatkan hilangnya
kesempatan untuk memperoleh pendapatan dari pembiayaan yang diberikan sehingga
mempengaruhi perolehan laba dan berpengaruh buruk pada ROA. Dengan semikian
semakin besar NPF akan mengakibatkan menurunnya ROA. Begitu pula sebaliknya,
jika NPF turun, maka ROA akan meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Setiawan (2009) yang menunjukkan hasil bahwa NPF
berpengaruh negatif terhadap ROA.
2.4.4 Hubungan Biaya Operasional/Pendapatan Operasional (BOPO) dengan
Return On Assets (ROA)
Biaya operasional/pendapatan operasional (BOPO) menunjukkan efisiensi
bank dalam menjalankan usaha pokoknya, terutama pembiayaan, dimana bank dalam
menjalankan usaha pokoknya, terutama pembiayaan, dimana sampai saat ini
pendapatan bank-bank di Indonesia masih didominasi oleh pendapatan bagi hasil
pembiayaan. Semakin kecil BOPO menunjukkan semakin efisien bank dalam
menjalankan aktivitas usahanya. Bank yang sehat memiliki rasio BOPO kurang dari
30
1, sebaliknya bank yang kurang sehat rasio BOPO nya lebih dari . Semakin tinggi
biaya pendapatan,
maka bank menjadi tidak efisien sehingga ROA semakin kecil.
Dengan kata lain BOPO berpengaruh negatif dengan kinerja bank sehingga
diprediksikan juga berpengaruh negatif terhadap ROA.
2.4.5
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran ini dibuat untuk mempermudah dalam memahami antara
CAR, FDR,
NPF, dan BOPO terhadap ROA Bank Muamalat Indonesia. Berdasarkan
sudah dikemukakan di atas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini
teori yang
adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
CAR (X1)
FDR (X2)
ROA
(Bank Muamalat Indonesia)
NPF (X3)
BOPO (X4)
Keterangan:
: berpengaruh simultan
: berpengaruh parsial
X1, X2, X3, dan X4
2.5
: faktor-faktor internal yang mempengaruhi ROA
Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan tentang sesuatu yang untuk sementara waktu
dianggap benar. Sugiyono (2008:39) mengemukakan pengertian hipotesis sebagai
jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dikatakan sementara karena
31
jawaban yang diberikan baru didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh
melalui pengumpulan data. Selain itu, hipotesis dapat diartikan sebagai pernyataan
yang akan diteliti sebagai jawaban sementara dari suatu masalah.
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan, teori, penelitian terdahulu dan
kerangka pemikiran yang telah disebutkan di atas, maka hipotesis dalam penelitian
ini adalah:
1. Diduga capital adequacy ratio (CAR) berpengaruh signifikan terhadap
profitabilitas (ROA) Bank Muamalat Indonesia.
2.
Diduga financing to deposit ratio (FDR) berpengaruh signifikan terhadap
profitabilitas (ROA) Bank Muamalat Indonesia.
3.
Diduga non performing financing (NPF) berpengaruh signifikan terhadap
profitabilitas (ROA) Bank Muamalat Indonesia.
4.
Diduga biaya operasional/pendapatan operasional (BOPO) berpengaruh
signifikan terhadap profitabilitas (ROA) Bank Muamalat Indonesia.
5.
Diduga secara bersama-sama atau simultan, CAR, FDR, NPF, dan BOPO
dapat menjelaskan pengaruh terhadap profitabilitas (ROA) di Bank Muamalat
Indonesia.
32
Download