BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Laporan Keuangan Bank Syariah Menurut ketentuan pemerintah, kegiatan usaha suatu bank harus dinyatakan dalam laporan keuangan yang diterbitkan dan dilaporkan kepada masyarakat dan otoritas moneter sebagai pengawas perbankan nasional. Laporan keuangan bank syariah meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas, catatan atas laporan keuangan, laporan perubahan dana investasi terkait, laporan sumber dan penggunaan dana zakat, infak, dan sodaqah (ZIS), laporan sumber dan penggunaan dana qardhul hasan (Suwiknyo, 2010). Laporan keuangan bank menunjukkan kondisi bank secara keseluruhan. Laporan keuangan yang dihasilkan bank diharapkan dapat memberikan informasi tentang kinerja keuangan dan pertanggungjawaban manajemen bank kepada seluruh stake holder bank. Laporan keuangan digunakan untuk memenuhi kepentingan berbagai pihak. Dimana masing-masing pihak mempunyai tujuan sendiri-sendiri untuk mengetahui hasil interpretasi dari laporan keuangan tersebut. Adapun pihakpihak yang memiliki kepentingan terhadap laporan keuangan bank (Kasmir, 2004:241), antara lain: 1. Bagi pemegang saham, laporan keuangan bank digunakan untuk mengetahui kemajuan bank yang dikelola oleh manajemen dalam suatu periode kemajuan bank dapat dilihat dalam menciptakan laba, pengembangan aset dan usaha, serta dapat memberikan gambaran tentang jumlah deviden yang akan diterima. 2. Bagi pemerintah, laporan keuangan digunakan untuk mengetahui kepatuhan bank dalam melaksanakan kebijakan moneter yang telah ditetapkan, dan peranan perbankan dalam pengembangan sektor industri. 3. Laporan keuangan bagi manajemen digunakan untuk menilai kinerja 11 manajemen bank dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Ukuran keberhasilan bank dapat dilihat dari pertumbuhan laba yang diperoleh dari pengembangan aset yang dimiliki. Selain itu, laporan keuangan ini dapat digunakan sebagai penilaian pemilik untuk memberikan kompensasi dan kepercayaan kepada pihak manajemen bank untuk mengelola bank pada periode berikutnya. 4. Bagi karyawan, melalui laporan keuangan dapat mengetahui kondisi keuangan bank yang sebenarnya. Dengan demikian karyawan dapat memahami kinerja mereka, sehingga jika bank mengalami keuntungan, maka dapat diharapkan ada peningkatan kesejahteraan, tetapi jika bank mengalami kerugian maka karyawan perlu melakukan perbaikan. 5. Bagi masyarakat, laporan keuangan dapat digunakan sebagai suatu jaminan terhadap uangnya yang disimpan di bank. Kepercayaan masyarakat untuk menyimpan dana tergantung dengan kondisi bank yang bersangkutan. Tujuan informasi keuangan syariah pada dasarnya sama dengan tujuan laporan keuangan yang berlaku secara umum, yaitu menyediakan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja, dan perubahan posisi keuangan suatu perusahaan, bagi pemakai informasi dalam pengambilan keputusan ekonomi dengan tambahan sebagai berikut (Muhammad, 2005:334): 1. Informasi kepatuhan bank terhadap prinsip syariah, informasi pendapatan, dan beban yang tidak sesuai dengan prinsip syariah serta bagaimana pendapatan tersebut diperoleh serta penggunaannya. 2. Informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab terhadap amanah dalam mengamankan dana, menginvestasikan pada tingkat keuntungan yang layak dan informasi mengenai tingkat keuntungan investasi yang diperoleh pemilik dana investasi. 3. Informasi mengenai pemenuhan fungsi sosial bank termasuk pengelolaan dan penyaluran zakat. 12 2.2 Tinjauan Umum Rasio Keuangan Bank Informasi akuntansi dalam bentuk laporan keuangan memberikan manfaat kepada pengguna apabila laporan keuangan tersebut dianalisis lebih lanjut sebelum dimanfaatkan sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan. Analisis laporan keuangan meliputi perhitungan dan interpretasi rasio keuangan. Analisis rasio keuangan dapat membantu para pemakai laporan keuangan dalam menilai kinerja suatu perusahaan atas kegiatan operasional yang dilakukan. keuangan Manajemen adalah faktor utama yang mempengaruhi profitabilitas bank. Seluruh manajemen bank, baik yang mencakup manajemen permodalan, manajemen kualitas aktiva, manajemen umum, manajemen likuiditas dan rentabilitas pada akhirnya akan mempengaruhi dan bermuara pada perolehan laba (profitabilitas) pada perusahaan perbankan. Demikian juga kinerja manajemen bank syariah yang mencakup manajemen permodalan, likuiditas, efisiensi, aktiva produktif, dan rentabilitas (Muhammad, 2005). Rentabilitas bank adalah kemampuan suatu bank untuk memperoleh laba yang dinyatakan dalam prosentase (Hasibuan, 2005:100). Analisis rasio rentabilitas merupakan alat ukur menganalisis atau mengukur tingkat profitabilitas yang dicapai oleh bank. Selain untuk mengukur kinerja, rasio-rasio dalam kategori ini dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan bank syariah (Muhammad, 2005:265). 2.2.1 Profitabilitas Profitabilitas sebagai salah satu acuan dalam mengukur besarnya laba menjadi begitu penting untuk mengetahui apakah perusahaan telah menjalankan usahanya secara efisien. Efisiensi sebuah usaha baru dapat diketahui setelah membandingkan laba yang diperoleh dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut. Return on Assets (ROA) menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam menghasilkan laba dari pengelolaan assets yang dimiliki (Yuliani, 2007). ROA digunakan untuk mengukur profitabilitas bank karena Bank Indonesia sebagai 13 Pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank, diukur dengan asset yang dananya sebagian besar dari dana simpanan masyarakat (Dendawijaya, 2009:118). Analisis profitabilitas yang relevan dipergunakan dalam meneliti profitabilitas perbankan adalah ROA. Menurut Meythi (2005) alasan penggunaan ROA dikarenakan BI sebagai pembina dan pengawas perbankan yang lebih mementingkan dananya berasal dari masyarakat. Disamping itu ROA merupakan metode aset yang pengukuran yang paling objektif yang didasarkan pada data akuntansi yang tersedia dan besarnya ROA dapat mencerminkan hasil dari serangkaian kebijakan perusahaan terutama perbankan (Arianto, 2005). ROA merupakan rasio yang juga digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh laba bank syariah (Muhammad, 2005:265). Adapun standar Return On Assets (ROA) untuk Perbankan Syariah menurut surat edaran BI No. 9/24/DPbs tahun 2007 mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan bank berdasarkan prinsip syariah sebagai berikut: Tabel 2.1 Tingkat Kesehatan ROA Peringkat Nilai ROA Predikat 1. ROA.>1,5 % Perolehan laba sangat tingggi 2. 1,25% < ROA≤1,5% Perolehan laba tingggi 3. 0,5% < ROA≤1,25% Perolehan laba cukup tinggi 4. 0%< ROA ≤0,5% Perolehan laba rendah 5. ROA ≤ 0% Perolehan laba sangat rendah atau cenderung rugi Sumber: SE BI No.9/24/DPbs tangggal 30 Oktober 2007 Berdasarkan Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001, ROA dapat diukur dengan perbandingan antara laba sebelum pajak terhadap total aset (total aktiva). Laba sebelum pajak adalah laba bersih dari kegiatan operasional 14 bank sebelum pajak. Total aset yang digunakan untuk mengukur ROA adalah jumlah keseluruhan dari aset yang dimiliki oleh bank yang bersangkutan. Sumber: Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001 2.2.2 Permodalan Penilaian aspek permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan modal bank untuk mengantisipasi risiko saat ini dan yang akan datang. Modal merupakan aspek penting bagi suatu unit bisnis bank. Hal itu dikarenakan beroperasi atau tidaknya dan dipercaya atau tidaknya suatu bank salah satunya dipengaruhi oleh kecukupan modal. Dalam kaitannya dengan fungsi dari modal bank, Brenton C. Leavitt menekankan ada 4 hal, yaitu (Muhammad, 2005:243): 1. Untuk melindungi deposan yang tidak diasuransikan, pada saat bank insolvable dan likuidasi. 2. Untuk menyerap kerugian yang tidak diharapkan guna menjaga kepercayaan masyarakat bahwa bank dapat terus beroperasi. 3. Untuk memperoleh sarana fisik dan kebutuhan dasar lainnya yang diperlukan untuk menawarkan pelayanan bank. 4. Sebagai alat pelaksanaan peraturan pengendalian ekspansi aktiva yang tidak tepat. Kecukupan modal berkaitan dengan penyediaan modal sendiri yang diperlukan untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul dari pergerakan aktiva bank yang pada dasarnya sebagian besar dana berasal dari dana pihak ketiga atau masyarakat, tingginya rasio modal dapat melindungi deposan, dan memberikan dampak meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada akhirnya dapat meningkatkan ROA. Pembentukan dan peningkatan peranan aktiva bank 15 sebagai penghasil keuntungan harus memperhatikan kepentingan pihak-pihak ketiga sebagai pemasok modal bank. Dengan demikian bank harus menyediakan modal minimum yang cukup untuk menjamin kepentingan pihak ketiga (Sinungan, 2000:162). Rasio untuk mengukur kecukupan modal bank syariah yaitu dengan menggunakan rasio Capital Adequacy Ratio (Muhammad, 2004:90). Berdasarkan ketentuan Bank for International Settlements, bank yang dinyatakan termasuk sebagai bank yang sehat harus memiliki CAR paling sedikit sebesar 8% permodalan terhadap aktiva berisiko (Muhammad, 2005:249). Tingginya rasio modal dapat melindungi deposan, dan memberikan dampak meningkatnya kepercayaan masyarakat pada bank, dan akhirnya dapat meningkatkan ROA. Manajemen bank perlu meningkatkan nilai CAR sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yaitu minimal 8% karena dengan modal yang cukup, bank dapat melakukan ekspansi usaha dengan lebih aman dalam rangka meningkatkan profitabilitas (Yuliani, 2007:33). Adapun besarnya nilai CAR suatu bank dapat dihitung dengan rumus: Sumber: Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001 Modal sendiri bank syariah terdiri dari modal inti ditambah dengan pelengkap. Perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Aktiva dalam perhitungan ini mencakup baik aktiva yang tercantum dalam neraca maupun aktiva yang bersifat administratif. Terhadap masing-masing jenis aktiva ditetapkan bobot risiko yang besarnya didasarkan pada kadar risiko yang terkandung dalam aktiva itu sendiri atau yang didasarkan pada penggolongan nasabah, penjamin, atau sifat barang jaminan (Muhammad, 2005: 251). Pada bank syariah perhitungan ATMR sedikit berbeda dari bank konvensional. Aktiva pada bank syariah dibagi atas aktiva yang dibiayai dengan 16 modal sendiri serta aktiva yang didanai oleh rekening bagi hasil (Muhammad, 2005:256). Aktiva yang didanai oleh modal sendiri dan hutang risikonya ditanggung modal sendiri, sedangkan yang didanai oleh rekening bagi hasil risikonya ditanggung oleh rekening bagi hasil itu sendiri. Pemilik rekening bagi hasil berhak menolak untuk menanggung risiko atas aktiva yang dibiayainya apabila kesalahan terletak pada oihak mudharib (bank). Penetapan CAR sebagai variabel yang mempengaruhi profitabilitas didasarkan hubungannya dengan tingkat risiko bank. Penetapan CAR pada titik tertentu dimaksudkan agar bank memiki kemampuan modal yang cukup untuk meredam kemungkinan timbulnya risiko sebagai akibat berkembangnya ekspansi aset terutama aktiva yang dikategorikan dapat memberikan hasil sekaligus mengandung risiko. Rendahnya CAR dikarenakan peningkatan ekspansi aset berisiko yang tidak diimbangi dengan penambahan modal menurunkan kesempatan bank untuk berinvestasi dan menurunkan kepercayaan masyarakat sehingga berpengaruh pada penurunan profitabilitas (Werdaningtyas, 2002). Menurut Yuliani (2007), CAR juga bisa disebut dengan rasio kecukupan modal, yang berarti jumlah modal sendiri yang diperlukan untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul dari penanaman aktiva-aktiva yang mengandung risiko serta membiayai seluruh benda tetap dan inventaris bank. Manajemen bank perlu mempertahankan atau meningkatkan niali CAR sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia minimal delapan persen karena dengan modal yang cukup maka bank dapat melakukan ekspansi usaha dengan lebih aman dalam rangka meningkatkan profitabilitasnya. 2.2.3 Financing to Deposit ratio (FDR) Dalam perbankan syariah tidak dikenal istilah kredit (loan) namun pembiayaan (financing). Rasio ini menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan pembiayaaan yang diberikan sebagai likuiditasnya. Semakin tinggi rasio tersebut memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang 17 bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk pembiayaan menjadi semakin besar (Stiawan, 2009). Rasio pembiayaan yang diproksikan dengan financing to deposit ratio (FDR) dijadikan variabel yang mempengaruhi ROA berkaitan dengan seberapa jauh pembiayaan produktif yang disalurkan oleh Bank Syariah untuk mendapatkan profit dibandingkan dengan total dana pihak ketiganya. Jika rasio ini meningkat dalam batas tertentu maka akan semakin banyak dana yang disalurkan dalam bentuk pembiayaan, sehingga akan meningkatkan laba bank, dengan asumsi bank menyalurkan dananya untuk pembiayaan yang efektif. Dengan meningkatnya laba, maka return on assets (ROA) juga akan meningkat, karena laba merupakan komponen yang membentuk return on assets (ROA) (Stiawan, 2009). Para praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari FDR adalah sekitar 80%. Namun batas toleransi berkisar antara 85% - 100%. Namun oleh Bank Indonesia, suatu bank masih dianggap sehat jika FDR masih di bawah 110%. Lebih banyak penelitian menggunakan obyek bank konvensional, sehingga dalam menghitung rasio yang sering digunakan dengan istilah loan yaitu loan to deposit ratio (LDR). Dalam perbankan syariah tidak dikenal istilah kredit (loan) namun pembiayaan atau financing (Antonio, 2001:170). Pada umumnya konsep yang sama ditunjukkan pada bank syariah dalam mengukur likuiditas yaitu dengan menggunakan financing to deposit ratio (Muhammad, 2009). Financing to Deposit Ratio (FDR) yaitu seberapa besar dana pihak ketiga bank syariah dilepaskan untuk pembiayaan (Muhammad, 2005:265). Rasio ini dirumuskan sebagai berikut: Sumber: Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001 Financing (pembiayaan) dalam industri perbankan syariah adalah penyaluran dana kepada pihak ketiga, bukan bank, dan bukan Bank Indonesia dengan menggunakan beberapa jenis akad. Penyaluran dana pihak ketiga dalam industri 18 perbankan syariah harus berhubungan dengan sektor riil dan tidak boleh bersifat spekulatif (Werdaningtyas, 2002). Adapun dana pihak ketiga dalam bank syariah berupa (Muhammad, 2005:266): 1. Titipan (wadiah) simpanan yang dijamin keamanan dan pengembalian-nya tanpa memperoleh imbalan atau keuntungan. 2. Partisipasi modal berbagi hasil dari berbagai risiko untuk investasi umum. 3. Investasi khusus dimana bank hanya berlaku sebagai manajer investasi untuk memperoleh fee dan investor sepenuhnya mengambil risiko atas investasi itu. Untuk dapat memperoleh FDR yang optimum bank tetap harus menjaga NPF. Peningkatan FDR dapat berarti penyaluran dana ke pembiayaan semakin besar, sehingga laba akan meningkat. Peningkatan laba tersebut mengakibatkan kinerja bank yang diukur dengan ROA semakin tinggi. Oleh karena itupihak manajemen harus dapat mengelola dana yng dihimpun dari masyarakat untuk kemudia disalurkan kembali dalam bentuk pembiayaan yang nantinya dapat menambah pendapatan bank, baik dalam bentuk bonus maupun bagi hasil yang berarti profit bank syariah juga akan meningkat. 2.2.4 Kualitas Aktiva Tingkat kelangsungan usaha bank berkaitan erat dengan aktiva produktif yang dimilikinya, oleh karena itu manajemen bank dituntut untuk senantiasa dapat memantau dan menganalisis kualitas aktiva yang dimiliki. Kualitas aktiva produktif menunjukkan kualitas aset sehubungan dengan risiko pembiayaan yang dihadapi bank akibat pemberian pembiayaan dan investasi dana. Setiap penanaman dana bank dalam aktiva produktif bank syariah dinilai kualitasnya berdasarkan pendekatan jaminan, pendekatan karakter, kemampuan pelunasan, kelayakan usaha, dan pendekatan fungsi bank sebagai lembaga perantara keuangan (Muhammad, 2005:305). Penilaian kualitas aktiva produktif dilakukan dengan menentukan tingkat kolektabilitasnya. Kolektabilitas merupakan tingkat kelancaran pembayaran kewajiban nasabah yang berdasarkan jumlah hari tunggakan. 19 Kolektabilitas selain berpengaruh pada tingkat kesehatan bank syariah juga berpengaruh pada perolehan laba bank (Siamat, 2005). Secara umum kolektabilitas pembiayaan dikategorikan menjadi 5 macam, yaitu lancar, kurang lancar, diragukan, perhatian khusus, dan macet. Menurut Muhammad (2002:165), kriteria kolektabilitas pembiayaan adalah sebagai berikut: 1. Lancar (Pass) 1. Pembiayaan dengan angsuran diluar PPR a. Tidak terdapat tunggakan angsuran pokok, tunggakan bagi hasil, atau cerukan karena penarikan. b. Terdapat tunggakan angsuran pokok, tetapi: Belum melebihi satu bulan, bagi pembiayaan yang ditetapkan masa angsurannya kurang dari satu bulan, atau Belum melebihi tiga bulan, bagi pembiayaan yang ditetapkanmasa angsurannya bulanan, dua bulanan, atau tiga bulanan, atau Belum melampaui enam bulan bagi pembiayaan yang masa angsurannya ditetapkan empat bulanan atau lebih. Terdapat tunggakan bagi hasil, tetapi: Belum melampaui satu bulan bagi pembiayaan yang sama angsurannya kurang dari satu bulan, atau Belum melampaui tiga bulan bagi pembiayaan yang masa angsurannya lebih dari satu bulan. Terdapat cerukan karena penarikan tetapi jangka waktunya belum melampaui 15 hari kerja. 2. Pembiayaan dengan angsuran untuk PPR a. Tidak terdapat tunggakan angsuran pokok, atau b. Terdapat tunggakan angsuran pokok tetapi belum melampaui enam bulan. 3. Pembiayaan tanpa angsuran atau pembiayaan rekening koran a. Pembiayaan belum jatuh waktu dan terdapat tunggakan bagi hasil. 20 b. Pembiayaan belum jatuh waktu dan terdapat tunggakan bagi hasil tetapi belum melampaui tiga bulan. c. Pembiayaan telah jatuh waktu dan telah dilakukan analisis untuk perpanjangannya, tetapi karena kesulitan teknis belum dapat diperpanjang. d. Terdapat cerukan karena penarikan tetapi jangka waktunya belum melampaui 15 hari kerja. 4. Cerukan rekening giro a. Terdapat cerukan rekening giro tetapi jangka waktunya belum melampaui 15 hari kerja. 2. Dalam Perhatian Khusus (Special Mention) 1. Terdapat tunggakan angsuran pokok, dan belum melampaui 3 bulan, bagi pembiayaan yang ditetapkan masa angsurannya bulanan. 2. Terdapat tunggakan bagi hasil belum melampaui 3 bulan, bagi pembiayaan yang masa angsurannya bulanan. 3. Terdapat cerukan karena penarikan, tetapi jangka waktunya belum melampaui 15 hari kerja. 4. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur, atau 5. Dokumen pinjaman lemah. 3. Kurang Lancar (Sub Standard) 1. Pembiayaan dengan angsuran di luar PPR a. Terdapat tunggakan angsuran pokok yang : Melampaui 1 bulan dan belum melampaui 2 bulan bagi pembiayaan dengan angsuran kurang dari 1 bulan, atau Melampaui 3 bulan dan belum melampaui 6 bulan bagi pembiayaan yang masa angsurannya ditetapkan bulanan, dua bulanan atau tiga bulanan, atau Melampaui 6 bulan tetapi belum melampaui 12 bulan bagi pembiayaan yang masa angsurannya ditetapkan 6 bulanan atau lebih. 21 b. Terdapat tunggakan bagi hasil, tetapi: Melampaui satu bulan, tetapi belum melampaui tiga bulan bagi pembiayaan dengan masa angsuran kurang satu bulan, atau Melampaui tiga bulan, tetapi belum melampaui enam bulan bagi pembiayaan yang masa angsurannya lebih dari satu bulan. c. Terdapat cerukan karena penarikan tetapi jangka waktunya belum 2. melampaui 15 hari kerja. Pembiayaan dengan angsuran untuk PPR Terdapat tunggakan pokok yang telah melampaui 6 bulan tetapi belum melampaui 9 bulan. 3. Pembiayaan tanpa angsuran a. Pembiayaan belum jatuh waktu, dan terdapat tunggakan bagi hasil yang melampaui 3 bulan tetapi belum melampaui 6 bulan, terdapat penambahan plafon atau pembiayaan baru dimaksudkan untuk melunasi tunggakan bagi hasil. b. Pembiayaan belum jatuh waktu dan belum dibayar tetapi belum melampaui 3 bulan. c. Terdapat cerukan karena penarikan tetapi jangka waktunya telah melampaui 15 hari kerja tetapi belum melampaui 30 hari kerja. 4. Pembiayaan yang diselamatkan a. Tidak memenuhi kriteria tersebut pada kriteria lancar maupun dalam perhatian khusus dan tidak ada tunggakan. b. Terdapat tunggakan tapi masih memenuhi kriteria pada kriteri lancar. c. Terdapat cerukan karena penarikan tetapi jangka waktunya telah melampaui 15 hari kerja tetapi belum melampaui 30 hari kerja. 4. Diragukan Pembiayaan digolongkan diragukan apabila pembiayaan yang bersangkutan tidak memenuhi kriteria lancar, dalam perhatian khusus dan kurang lancar, 22 seperti pada kriteria lancar dan tetapi berdasarkan penilaian dapat disimpulkan, bahwa: 1. Pembiayaan masih dapat diselamatkan dan agunannya bernilai sekurangkurangnya 75% dari hutang peminjam termasuk bagi hasil. 2. Pembiayaan tidak dapat diselamatkan tetapi agunannya masih bernilai sekurang-kurangnya 100% dari hutang peminjam. 5. Macet Pembiayaan digolongkan macet apabila: 1. Tidak memenuhi kriteria lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar dan diragukan 2. Memenuhi kriteria diragukan tersebut tetapi jangka waktu 21 bulan sejak digolongkan diragukan belum ada pelunasan atau usaha penyelamatan 3. Pembiayaan tersebut penyelesaiannya telah diserahkan kepada pengadilan negeri atau Badan Urusan Piutang Negara atau telah diajukan penggantian rugi kepada perusahaan asuransi pembiayaan atau di Badan Arbitrase Syariah. Adanya pembiayaan bermasalah yang semakin besar dibandingkan aktiva produktifnya dapat mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk memperoleh pendapatan dari pembiayaan yang diberikan sehingga mempengaruhi perolehan laba dan berpengaruh buruk pada ROA (Dendiwijaya, 2009). Dalam menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan bank, bank konvensional biasanya menggunakan rasio Non Performing Loan atau NPL. Menurut surat edaran BI No. 3/30 DPNP tanggal 14 Desember 2001, NPL diukur dari rasio perbandingan antara kredit bermasalah terhadap total kredit yang diberikan. Kredit dalam hal ini adalah kredit yang diberikan kepada pihak ketiga tidak termasuk kredit kepada bank lain. Kredit bermasalah adalah kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, besarnya NPL yang baik adalah dibawah 5% (Stiawan, 2009). 23 Pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah menurut UU No. 10 Tahun 1998 Pasal 8 dilakukan berdasarkan analisis dengan menerapkan prinsip kehati-hatian agar nasabah debitur mampu melunasi utangnaya atau mengendalikan pembiayaan sesuai perjanjian sehingga risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya dapat dihindari. Walaupun demikian pembiayaan yang diberikan pada nasbah tidak akan lepas dari risiko terjadinya Non Performing Financing yang pada akhirnya dapat mempengaruhi terhadap kinerja Bank Syariah. Adapun kriteria tingkat kesehatan di tetepkan oleh Bank Indonesia adalah sebagai berikut: NPF yang Tabel 2.2 Tingkat Kesehatan NPF Peringkat Nilai NPF Predikat 1 NPF < 2% Sangat Baik 2 2% ≤ NPF < 5% Baik 3 5% ≤ NPF <8% Cukup Baik 4 8% ≤ NPF <12% Kurang Baik 5 NPF ≥ 12% Tidak Baik Sumber: SE BI No.9/24/DPbs tangggal 30 Oktober 2007 Risiko pembiayaan dalam penelitian ini diproksikan dengan non performing financing (NPF) dijadikan variabel yang mempengaruhi profitabilitas karena mencerminkan risiko pembiayaan. Semakin tinggi rasio ini, menunjukkan kualitas pembiayaan bank syariah semakin buruk. Tingkat kesehatan pembiayaan (NPF) ikut mempengaruhi pencapaian laba bank. Pengelolaan pembiayaan sangat diperlukan oleh bank, mengingat fungsi pembiayaan sebagai penyumbang pendapatan terbesar bagi bank syariah (Stiawan, 2009). Risiko pembiayaan yang diterima bank merupakan salah satu risiko usaha bank yang diakibatkan dari titik dilunasinya kembali pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukan oleh pihak bank (Muhammad, 2005:359). 24 Pengelolaan pembiayaan sangat diperlukan oleh bank, mengingat fungsi pembiayaan sebagai penyumbang pendapatan terbesar bagi bank syariah. Tingkat kesehatan pembiayaan (NPF) ikut mempengaruhi pencapaian laba bank (Stiawan, 2009). Kualitas aktiva produktif pada bank syariah diukur dengan non performing financing (NPF) (Muhammad, 2009). NPF digunakan untuk mengukur tingkat permasalahan pembiayaan yang dihadapi oleh bank syariah. NPF mencerminkan risiko pembiayaan bank syariah semakin buruk. Aktiva produktif bank syariah diukur dengan perbandingan antara pembiayaan bermasalah dengan total pembiayaan yang diberikan (Muhammad, 2005:265). Adapun NPF dapat dihitung dengan rumus: Sumber: Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001 2.2.5 Biaya Operasional/Pendapatan Operasional (BOPO) Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional sering disebut dengan rasio efisiensi yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank yang bersangkutan. Rasio efisiensi dalam penelitian ini diproksikan dengan BOPO. BOPO merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan bank dalam menjalankan operasionalnya secara efisien. Teori yang ada menjelaskan bahwa hubungan antara BOPO dan ROA adalah berbanding terbalik. Apabila rasio BOPO yang dihasilkan berada dalam kondisi efisien, laba yang akan diperoleh semakin besar karena biaya operasi yang ditanggung bank semakin kecil. Dengan meningkatnya laba maka dapat dipastikan bahwa ROA dapat meningkat. Rasio BOPO digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Mengingat kegiatan umum bank pada 25 prinsipnya adalah bertindak sebagai perantara, yaitu menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, maka biaya dan pendapatan operasional bank didominasi oleh biaya bagi hasil dan hasil bagi hasil. Setiap peningkatan biaya operasional akan berakibat pada berkurangnya laba sebelum pajak yang pada akhirnya akan menurunkan laba atau profitabilitas (ROA) bank yang bersangkutan (Dendawijaya, 2003). Menurut Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001, BOPO diukur dari perbandingan antara biaya operasional terhadap pendapatan operasional. BOPO Biaya Operasioanal x100% Pendapatan Operasional Sumber: Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001 Biaya operasional meruapakan biaya yang dikeluarkan oleh bank dalam rangka menjalankan aktivitas usaha pokoknya (seperti biaya bagi hasil, biaya tenaga kerja, biaya pemasaran, dan lain-lain). Pendapatan operasional merupakan pendapatan utama bank yaitu pendapatan bagi hasil yang diperoleh dari penempatan dana dalam bentuk pembiayaan dan penempatan operasi lainnya. 2.3 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai rasio keuangan bank di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Fitriani Prastiyaningtyas adalah tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Profitabilitas Perbankan, Studi pada Bank Umum Go Public yang Listed di Bursa Efek Indonesia Tahun 2005-2008. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh CAR, NPL, BOPO, LDR, NIM, dan Pangsa Pasar kredit memiliki pengaruh yang siginifikan terhadap profitabilitas perbankan pada bank umum go public dengan tingkat signifikansi 0,000. Berdasarkan hasil uji hipotesis secara parsial (uji t) pada bank umum go public menunjukkan bahwa variabel CAR, NPL, BOPO, NIM, 26 dan Pangsa Pasar Kredit berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas perbankan, sedangkan variabel LDR tidak signifikan terhadap profitabilitas perbankan. Nilai adjusted R2 dalam model regresi bank go public diperoleh sebesar 0, 779. Hal ini menunjukkan bahwa besar pengaruh variabel independen yaitu CAR, NPL, BOPO, LDR, NIM, dan Pangsa Kredit terhadap variabel dependen (ROA) sebesar 77,9% sedangkan sisanya sebesar 22,1% dipengaruhi oleh faktor lain. Selain itu nilai R2 adalah 0,796. Jika nilai R2 semakin mendekati 1 maka variabel-variabel bebas (CAR, NPL, BOPO, LDR, NIM, dan Pangsa Kredit) semakin kuat pengaruhnya dalam menjelaskan variabel terikat (ROA). 2. Penelitian yang dilakukan oleh Uswatun Hasanah adalah tentang Analisis Faktor-Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Profitabilitas Perbankan Syariah di Indonesia, Periode Tahun 2005(11)–2008(9). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari faktor internal sebagai variabel bebas yang terdiri dari FDR, NPF, dan Bagi Hasil Deposito Mudharabah terhadap Profitabiltas (ROA). Untuk faktor eksternal sebagai variabel bebas yang terdiri dari Pangsa Pasar Deposito, SWBI, dan Inflasi terhadap Profitabiltas (ROA). Hasil empiris menunjukkan bahwa faktor internal berupa Financing Deposit Ratio (FDR) dalam jangka panjang berpengaruh positif terhadap Return on Assets (ROA). Sedangkan dalam jangka pendek FDR berpengaruh megatif terhadap ROA. Faktor internal lainnya berupa Non Performing financing (NPF) dan bagi hasil deposito mudharabah berpengaruh negatif terhadap ROA baik jangka panjang maupun jangka pendek. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Adi Stiawan meneliti tentang Analisis Pengaruh Faktor Makroekonomi, Pangsa Pasar dan Karakteristik Bank Terhadap Profitabilitas Bank Syariah (Studi Pada Bank Syariah Periode 20052008). Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh kondisi ekonomi makro yang diproksi dengan inflasi dan GDP, pengaruh karakteristik bank yang diproduksi dari FDR, CAR, NPF, BOPO, SIZE, dan Pengaruh 27 Pangsa Pasar yang diproduksi dengan pembiayaan bank syariah terhadap profitabilitas bank syariah yang diproyeksikan dengan ROA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel Inflasi dan GDP, tidak berpengaruh signifikan positif terhadap ROA Bank Syariah. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Hesti Werdaningtyas tentang Analisa FaktorFaktor yang Mempengaruhi Profitabilitas Bank Take Over (BTO) Pramerger di Indonesia selama tahun 1990-1998. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh CAR, LDR, dan variabel Dummy, Pangsa Aset, Pangsa Dana, Pangsa Kredit terhadap Profitabilitas BTO di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan variabel pangsa pasar yang diukur dengan pangsa aset, pangsa dana, dan pangsa kredit tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap profitabilitas secara parsial. CAR secara signifikan berpengaruh positif terhadap profitabilitas, sedangkan LDR secara signifikan berpengaruh negatif terhadap profitabilitas. Faktor yang dominan mempengaruhi profitabilitas BTO berturut-turut adalah CAR, LDR, dan kondisi perekonomian. 2.4 Kerangka Pemikiran 2.4.1 Hubungan Capital Adequacy Ratio (CAR) dengan Return On Assets (ROA) Penetapan capital adequacy ratio (CAR) sebagai variabel yang mempengaruhi profitabilitas didasarkan hubungannya dengan tingkat risiko bank penetapan CAR pada titik tertentu yang dimaksudkan agar bank memiliki kemampuan modal yang cukup untuk meredam kemungkinan timbulnya risiko sebagai akibat bekembangnya ekspansi asset terutama aktiva yang dikategorikan dapat memberikan hasil sekaligus mengandung risiko. Rendahnya CAR dikarenakan peningkatan ekspansi aset berisiko yang tidak diimbangi dengan penambahan modal menurunkan kesempatan bank untuk berinvestasi dan menurunkan kepercayaan masyarakat sehingga berpengaruh pada penurunan profitabilitas (Werdaningtyas, 2002). 28 Tingginya rasio modal dapat melindungi deposan dan memberikan dampak meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada akhirnya dapat meningkatkan ROA. Pembentukan dan peningkatan peranan aktiva dapat meningkatkan ROA. Pembentukan dan peningkatan peranan aktiva bank sebagai penghasil keuntungan harus memperhatikan kepentingan pihak-pihak ketiga sebagai pemasok modal bank. Dengan demikian bank harus menyediakan modal minimum yang cukup untuk menjamin kepentingan pihak ketiga (Sinungan, 2000:162). Manajemen bank perlu mempertahankan atau meningkatkan nilai CAR sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia minimal delapan persen, karena dengan modal yang cukup maka bank dapat melakukan ekspansi usaha dengan lebih aman dalam rangka meningkatkan profitabilitasnya. 2.4.2 Hubungan Financing to Deposit Ratio (FDR) dengan Return On Assets (ROA) Financing to Deposit Ratio (FDR) yaitu seberapa besar dana pihak ketiga bank syariah dilepaskan untuk pembiayaan (Muhammad, 2005:265). Rasio likuiditas ini menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan dengan deposan dengan mengendalikan kredit/pembiayaan yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini, memberikan indikasi semakin rendahnya likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit/pembiayaan semakin besar (Dendawijaya, 2009). Sebaliknya semakin rendah FDR menunjukkan kurangnya efektifitas bank dalam pembiayaan. Oleh karena itu pihak manajemen harus dapat mengelola dana yang dihimpun dari masyarakat untuk kemudian disalurkan kembali dalam bentuk pembiayaan yang nantinya dapat menambah pendapatan bank baik dalam bentuk bonus maupun bagi hasil, yang berarti profit bank syariah juga akan meningkat. Semakin tinggi FDR dalam batas tertentu, maka semakin meningkat pula laba bank, dengan asumsi bank menyalurkan dananya untuk pembiayaan yang efektif. Dengan meningkatnya laba, maka Return On Asset (ROA) juga akan meningkat, 29 karena laba merupakan komponen yang membentuk return on assets (ROA). Hal ini didukung dengan hasil penelitian dari Stiawan (2009) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa variabel FDR berpengaruh positif terhadap ROA. 2.4.3 Hubungan Non Performing Financing (NPF) dengan Return On Assets (ROA) Non Performing Financing (NPF) mencerminkan risiko pembiayaan. tinggi rasio ini, menunjukkan kualitas pembiayaan bank syariah semakin Semakin buruk. Risiko pembiayaan yang diterima bank merupakan salah satu risiko usaha bank yang diakibatkan dari tidak dilunasinya cicilan pokok dan bagi hasil dari pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukan oleh pihak bank (Muhammad, 2005:358). Pengelolaan pembiayaan sangat diperlukan oleh bank, mengingat fungsi pembiayaan sebagai penyumbang pendapatan terbesar bagi bank syariah. Tingkat kesehatan pembiayaan (NPF) ikut mempengaruhi pencapaian laba bank (Stiawan, 2009). Adanya pembiayaan bermasalah yang besar dapat mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk memperoleh pendapatan dari pembiayaan yang diberikan sehingga mempengaruhi perolehan laba dan berpengaruh buruk pada ROA. Dengan semikian semakin besar NPF akan mengakibatkan menurunnya ROA. Begitu pula sebaliknya, jika NPF turun, maka ROA akan meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2009) yang menunjukkan hasil bahwa NPF berpengaruh negatif terhadap ROA. 2.4.4 Hubungan Biaya Operasional/Pendapatan Operasional (BOPO) dengan Return On Assets (ROA) Biaya operasional/pendapatan operasional (BOPO) menunjukkan efisiensi bank dalam menjalankan usaha pokoknya, terutama pembiayaan, dimana bank dalam menjalankan usaha pokoknya, terutama pembiayaan, dimana sampai saat ini pendapatan bank-bank di Indonesia masih didominasi oleh pendapatan bagi hasil pembiayaan. Semakin kecil BOPO menunjukkan semakin efisien bank dalam menjalankan aktivitas usahanya. Bank yang sehat memiliki rasio BOPO kurang dari 30 1, sebaliknya bank yang kurang sehat rasio BOPO nya lebih dari . Semakin tinggi biaya pendapatan, maka bank menjadi tidak efisien sehingga ROA semakin kecil. Dengan kata lain BOPO berpengaruh negatif dengan kinerja bank sehingga diprediksikan juga berpengaruh negatif terhadap ROA. 2.4.5 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran ini dibuat untuk mempermudah dalam memahami antara CAR, FDR, NPF, dan BOPO terhadap ROA Bank Muamalat Indonesia. Berdasarkan sudah dikemukakan di atas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini teori yang adalah sebagai berikut: Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran CAR (X1) FDR (X2) ROA (Bank Muamalat Indonesia) NPF (X3) BOPO (X4) Keterangan: : berpengaruh simultan : berpengaruh parsial X1, X2, X3, dan X4 2.5 : faktor-faktor internal yang mempengaruhi ROA Hipotesis Hipotesis adalah pernyataan tentang sesuatu yang untuk sementara waktu dianggap benar. Sugiyono (2008:39) mengemukakan pengertian hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dikatakan sementara karena 31 jawaban yang diberikan baru didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Selain itu, hipotesis dapat diartikan sebagai pernyataan yang akan diteliti sebagai jawaban sementara dari suatu masalah. Berdasarkan rumusan masalah, tujuan, teori, penelitian terdahulu dan kerangka pemikiran yang telah disebutkan di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Diduga capital adequacy ratio (CAR) berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas (ROA) Bank Muamalat Indonesia. 2. Diduga financing to deposit ratio (FDR) berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas (ROA) Bank Muamalat Indonesia. 3. Diduga non performing financing (NPF) berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas (ROA) Bank Muamalat Indonesia. 4. Diduga biaya operasional/pendapatan operasional (BOPO) berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas (ROA) Bank Muamalat Indonesia. 5. Diduga secara bersama-sama atau simultan, CAR, FDR, NPF, dan BOPO dapat menjelaskan pengaruh terhadap profitabilitas (ROA) di Bank Muamalat Indonesia. 32