skripsi zulfatun najah / f34052594

advertisement
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK MINYAK IKAN
Karakterisasi minyak ikan meliputi karakteristik fisiko-kimia dan analisa
komponen-komponen yang terkandung dalam minyak ikan. Karakteristik fisikokimia dilakukan melalui analisa bilangan asam, bilangan penyabunan, dan
penentuan kadar asam lemak bebas. Sementara analisa komponen yang
terkandung dalam minyak ikan dilakukan melalui analisa Gas Chromatography
Mass Spectrometry (GC-MS).
1.
Sifat fisiko kimia minyak ikan
Hasil analisa karakterisasi minyak ikan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Karakterisasi bahan baku minyak ikan
Karakterisasi
Nilai
Rujukan
Bilangan asam
3,29
10,15a
Kadar asam lemak bebas (%)
1,49
4,6a
204,81
187,4a
Bilangan penyabunan
Sumber : a Celik (2002)
Berdasarkan Tabel 7 diatas, minyak ikan yang digunakan memiliki
kualitas yang cukup baik, karena memiliki bilangan asam yang kurang dari
5. Menurut Wallace (1935), bilangan asam minyak ikan yang dapat
digunakan proses pemurnian lebih lanjut harus kurang dari 5.
Berdasarkan analisa yang dilakukan Celik (2002), minyak ikan
komersial memiliki bilangan asam 10,15 dengan kadar asam lemak
bebasnya sebesar 4,6%. Berdasarkan hasil pengukuran analisa sifat fisiko
kimia minyak ikan, bahan baku minyak ikan yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki bilangan asam sebesar 3,29 dengan kadar asam
lemak bebasnya sebesar 1,49%. Dengan demikian, minyak ikan yang
digunakan dalam penelitian memiliki kualitas yang baik dan layak
digunakan sebagai bahan baku untuk hidrolisis enzimatik. Hal ini
dikarenakan bahan baku minyak ikan masih berada dalam batas maksimal
kandungan bilangan asam dan kadar asam lemak bebas pada minyak ikan
komersial.
31
Menurut Ketaren (1996), bilangan asam menunjukkan ukuran jumlah
asam lemak bebas. Menurut Ketaren (1986), kandungan asam lemak bebas
terbaik adalah serendah mungkin (± 2 %). Tingginya bilangan asam pada
minyak ikan mempengaruhi aktivitas katalitik enzim lipase pada reaksi
hidrolisis.
Bilangan penyabunan menunjukkan banyaknya total asam lemak
yang dapat dinetralkan oleh sejumlah alkali. Menurut Celik (2002), bilangan
penyabunan minyak ikan komersial adalah 187,4. Namun, analisa bilangan
penyabunan menunjukkan bahwa minyak mengandung total asam lemak
sejumlah 204,81. Hal ini menunjukkan bahwa, minyak ikan yang digunakan
dalam penelitian ini telah mulai teroksidasi. Hasil dari reaksi oksidasi
minyak adalah senyawa keton atau aldehid. Kandungan senyawa lain dalam
minyak seperti aldehid atau keton dalam minyak diduga dapat menyebabkan
nilai bilangan penyabunan meningkat. Menurut Ketaren (1996), minyak
yang memiliki bobot molekul tinggi akan memiliki jumlah bilangan
penyabunan yang lebih rendah daripada minyak yang berbobot molekul
rendah. Minyak ikan memiliki bobot molekul 903,01g/mol (Roberto et al.,
2007) dengan bilangan penyabunan yang rendah yaitu 187,4 (Celik, 2002).
2.
Komponen kimia di dalam minyak ikan
Asam lemak tak jenuh dalam minyak ikan merupakan komponen
terbesar dalam minyak ikan. Asam lemak tak jenuh berkisar antara 75-90%
dari total asam lemak yang ada dalam minyak (Celik, 2002). Komponen
yang terkandung dalam minyak dapat diketahui melalui analisa Gas
Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS). Analisa GC MS yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi asam
lemak dalam minyak ikan serta komponen lain yang terlarut dalam minyak
ikan dari ikan sarden. Hasil dari analisa GC-MS dapat dilihat pada Tabel 8.
32
Tabel 8. Komponen kimia bahan baku minyak ikan
Golongan
Rumus
No Jenis Komponen
Empiris
Hidrokarbon
1 Pentadecana
C14H28O2
Hidrokarbon
2 Heptadecana
C17H36
2,6,10,14-tetrametil Hidrokarbon
3
C19H40
Pentadecane
Asam lemak
Tetradecanoic acid
jenuh
4
(Asam Miristat)
C14H28O2
Asam lemak tak
jenuh dengan
Hexadecenoic acid
5
satu ikatan
(Asam Palmitoleat)
rangkap
C16H30O2
Asam lemak
n-Hexadecenoic acid jenuh
6
(Asam Palmitat)
C16H32O2
Asam lemak tak
5,8,11,14,17jenuh dengan
7 Eicosapentaenoic
banyak ikatan
acid
rangkap
C21H32O2
Asam lemak tak
9-Octadecenoic acid jenuh dengan
8
satu ikatan
(Asam Oleat)
rangkap
C18H34O2
Octadecanoic acid
Asam lemak
9
jenuh
C18H36O2
(Asam Stearat)
9-Octadecenal
Aldehid
11
C18H24O
(oleicaldehyde)
2,6,10,14,18,22Hidrokarbon
12 Tetracosahexaene
C30H50
(Squalene)
Cholesta-3,5-diene
Hidrokarbon
13
C27H44
(Squalene)
Sterol
14 Lanosterol
C27H46O
Bobot Jumlah
Molekul
(%)
2,9
228
2,9
240
5,39
268
4,18
228
6,8
254
16,81
256
1,81
316
26,37
282
1,77
284
0,88
266
2,25
410
2,55
368
24,96
386
Berdasarkan tabel data hasil analisa GC-MS, komponen terbesar
minyak ikan sebagai bahan baku penelitian ini adalah asam oleat. Asam
lemak tak jenuh yang terdapat pada minyak ikan sebesar 34,98% dimana
sebagian besar merupakan asam lemak tidak jenuh dengan satu ikatan
rangkap (monounsaturated fatty acid) dengan presentase 33,17%, sedangkan
asam lemak jenuh (saturated fatty acid) sebesar 22,76%, sisanya adalah
33
alkana (11,19%), aldehid (0,88%), squalene (4,8%), dan lanosterol
(24,96%). Persentase perbandingan jumlah asam lemak tidak jenuh dan
asam lemak jenuh menunjukkan bahwa minyak ikan sebagian besar tersusun
dari asam lemak tak jenuh. Tingginya jumlah asam lemah tak jenuh,
memungkinkan adanya oksidasi terhadap asam lemak tersebut. Komponen
lain seperti oktadecenal yang terdapat dalam minyak ikan ini kemungkinan
berasal dari oksidasi asam lemak tersebut. Hasil oksidasi tersebut adalah
golongan aldehid, atau keton yang bereaksi dengan basa yang dapat
meningkatkan bilangan penyabunan.
B. AKTIVITAS ENZIM
Aktitas enzim dinyatakan dalam Unit per gram enzim (U/g). Unit tersebut
menunjukkan banyaknya mikromol asam lemak yang dihasilkan atau mikromol
substrat yang digunakan dalam waktu 30 menit pada kondisi standar. Kondisi
standar untuk pengukuran aktivitas enzim berdasarkan Sigma aldrich adalah
suhu 35oC dan pH 7. Pengukuran aktivitas enzim dapat dilakukan dengan
berbagai cara, salah satu diantaranya adalah dengan metode spektrofotometri.
Pada metode spektrofotometri tersebut digunakan substrat paranitrofenil butirat.
Pada dasarnya, substrat untuk perhitungan aktivitas lipase dengan metode
spektrofotometri adalah paranitrofenil asil ester.
Dasar dari prosedur ini adalah lipase mempengaruhi secara umum
aktivitas katalitik ikatan ester terhadap berbagai macam substrat karboksil ester.
Substrat paranitrofenil asil ester dihidrolisis untuk menghasilkan asam lemak dan
paranitrofenol. Paranitrofenol yang dihasilkan membawa warna kekuningan
yang dapat terbaca pada panjang gelombang λ 400 nm sampai 410 nm.
Menurut Shirai et al. (1982) prinsip kerja katalitik enzim lipase terhadap
substrat dapat dilihat pada Gambar 14.
+
Paranitrofenil
butirat
+ H2 O
Enzim
Lipase
Paranitrofenol
+
Asam
Butirat
Gambar 9. Mekanisme katalitik enzim lipase pada paranitrofenil butirat (Shirai
et al., 1982)
34
Metode perhitungan aktivitas enzim lipase Aspergillus niger pada
penelitian ini menghitung banyaknya paranitrofenol yang dilepaskan setelah
hidrolisis paranitrofenil butirat oleh lipase. Paranitrofenol yang dibebaskan akan
berwarna kuning dan dapat terbaca pada spektrofotometer. Aktivitas lipase
dihitung
dengan
membandingkan
paranitrofenol
yang
dihasilkan
dari
pengukuran aktivitas enzim dengan kurva paranitrofenol standar pada nilai
absorbansi sampel pada λ 410 nm. Berdasarkan perhitungan aktivitas lipase
dengan metode spektrofotometri tersebut, diperoleh aktivitas lipase Aspergillus
niger Amano Pharmaceutical Manufacturing Co sebesar 7939,98 Unit/gram.
Menurut Amano Pharmaceutical Manufacturing Co aktivitas enzim lipase
Aspergillus niger yang tertera pada label kemasan adalah 12000U/g. Lebih
rendahnya hasil pengukuran aktivitas enzim lipase Aspergillus niger pada
penelitian ini diduga dikarenakan kondisi lingkungan yang kurang sesuai selama
penyimpanan
atau
pada
saat
distribusi sehingga
mempengaruhi
nilai
aktivitasnya.
C. HUBUNGAN DERAJAT KEASAMAN DAN SUHU
TINGKAT HIDROLISIS ENZIMATIK MINYAK IKAN
TERHADAP
Reaksi hidrolisis merupakan yaitu pembentukan gliserol dan asam lemak
bebas melalui pemecahan molekul trigliserida dengan penambahan air. Pada
reaksi hidrolisis trigliserida, satu molekul trigliserida bereaksi dengan tiga
molekul air untuk memproduksi satu molekul gliserol dan tiga molekul asam
lemak bebas.
Selama ini, proses produksi asam lemak dilakukan dengan metode kimia
atau fisik. Kamarudin et al. (2008) menyatakan, industri yang telah ada
menghidrolisis minyak/lemak menjadi asam lemak dan gliserol pada suhu 250oC
dan tekanan 50 bar. Pada kondisi ini, polimerisasi lemak akan terjadi. Dengan
demikian asam lemak akan berwarna gelap dan terjadi pemucatan larutan
gliserol. Selain itu, penerapan proses ini untuk aplikasi industri memerlukan
biaya yang cukup besar dan investasi peralatan yang mahal.
Reaksi hidrolisis dapat dikatalisasi oleh asam, basa, dan enzim.
Pemilihan katalis enzim pada reaksi hidrolisis lebih diutamakan untuk industri
35
pangan karena aman, membutuhkan peralatan yang sederhana, dan hanya
mengkonsumsi energi yang relatif rendah (Kamarudin et al., 2008). Reaksi
hidrolisis minyak atau lemak dapat menggunakan katalis enzim lipase.
Mekanisme pengikatan enzim terhadap substrat minyak diawali dengan
pembentukan kompleks substrat-enzim. Hal ini dikemukakan oleh Michaelis
Menten (Lehninger, 1982). Enzim bergabung dengan molekul substrat sebagai
tahap yang harus dilalui dalam katalitik enzim. Enzim pertama-tama bergabung
dengan molekul substrat dalam reaksi yang reversibel membentuk kompleks
enzim-substrat (ES) dimana reaksi ini berlangsung dengan cepat. Kompleks ES
kemudian terurai dalam reaksi reversibel kedua menghasilkan produk dan enzim
dibebaskan. Mekanisme tersebut ditunjukkan pada Gambar 15.
E +S
ES
P + E
ES
Gambar 10. Mekanisme pembentukan kompleks substrat-enzim (Lehninger,
1982)
Aktivitas enzim dapat dilihat dari tinggi rendahnya tingkat hidrolisis
enzim terhadap substrat minyak ikan untuk menghasilkan asam lemak bebas.
Aktivitas enzim lipase dipengaruhi oleh faktor suhu dan derajat keasaman atau
pH (Handayani, 2005). Faktor pengaruh suhu dan pH tersebut akan dibahas lebih
lanjut karena berpengaruh pada tingkat hidrolisis enzim lipase terhadap minyak
ikan.
1. Hubungan Derajat Keasaman (pH) dengan Tingkat Hidrolisis
Data hubungan derajat keasaman dengan tingkat hidrolisis minyak
ikan dapat dilihat pada Gambar 11. Pola pembentukan kurva seperti pada
Gambar 11 membuktikan bahwa terdapat adanya pengaruh pH terhadap
aktivitas hidrolisis enzim lipase terhadap substrat minyak ikan. Pada substrat
minyak ikan, enzim lipase Aspergillus niger menunjukkan aktivitas katalisis
optimum di pH 5. Hal ini menunjukkan bahwa, lingkungan asam sesuai
untuk aktivitas enzim lipase Aspergillus niger. Enzim lipase dari kapang
Aspergillus niger memiliki titik isoelektrik 4,3 (Saxena et al., 2009). Pada
titik isoelektrik, kelarutan enzim dalam air sangat kecil. Hal ini
menyebabkan aktivitas katalitiknya rendah, karena enzim dalam melakukan
36
aktivitas katalitik, membutuhkan air secukupnya. Air yang dibutuhkan
digunakan sebagai pembentuk fleksibilitas struktur tiga dimensinya.
%
H
I
D
R
O
L
I
S
I
S
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
4
5
6
KONTROL HIDROLISIS
7
pH
8
9
10
HIDROLISIS ENZIMATIS
Gambar 11. Kurva hubungan tingkat hidrolisis dengan pH pada reaksi
hidrolisis enzimatik, minyak ikan (4 gram), enzim (0,1 gram
atau 800U), suhu reaksi (45oC), waktu reaksi (48 jam), buffer
fosfat (0,1M)
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini dimana enzim lipase
Aspergillus niger memiliki aktivitas katalitik tertinggi pada pH asam
didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya. Menurut Saxena et al.
(2009), optimasi produksi enzim lipase secara ekstraseluler oleh kapang
Aspergillus niger pada substrat minyak sawit adalah pada kondisi pH 5,6
dan suhu 25oC. Pada kondisi tersebut enzim lipase yang dihasilkan memiliki
aktivitas spesifik 19 Unit/mg. Menurut Shahidi dan Wanasundara. (1998),
enzim lipase Aspergillus niger melakukan katalitik pada pH optimum 5-7
pada substrat minyak sawit. Pada penelitian dengan substrat minyak ikan,
enzim lipase melakukan katalitik optimal pada pH 5.
Pada penelitian ini, dimana reaksi hidrolisis dilakukan pada kondisi
asam dan pada suhu 45 oC, menunjukkan aktivitas katalitis yang rendah. Hal
ini dikarenakan enzim mengalami denaturasi. Denaturasi sisi aktif enzim
dikarenakan ion H+ berikatan dengan
NH3+ pada struktur asam amino
protein membentuk –NH4. Proses pengikatan tersebut menyebabkan ikatan
antara atom nitrogen dengan atom hidrogen lainnya terputus, sehingga
37
enzim terdenaturasi. Disisi lain, pada kondisi basa atau mendekati basa,
enzim juga akan inaktif. Rusaknya struktur enzim ini dikarenakan pada
kondisi tersebut gugus OH- dari lingkungan akan berikatan dengan ion H
dari gugus COO- sisi aktif enzim membentuk H2O. Hal ini akan
menyebabkan struktur enzim mengalami kerusakan.
2. Hubungan Suhu dengan Tingkat Hidrolisis
Data hubungan suhu reaksi dengan tingkat hidrolisis minyak ikan
dapat dilihat pada Gambar 12.
%
8,000
7,000
H
I
D
R
O
L
I
S
I
S
6,000
5,000
4,000
3,000
2,000
1,000
0,000
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
SUHU OC
HIDROLISIS ENZIMATIS MINYAK IKAN
KONTROL HIDROLISIS
Gambar 12. Kurva hubungan tingkat hidrolisis dengan suhu reaksi pada
reaksi hidrolisis enzimatik, minyak ikan (4 gram), enzim (0,1
gram atau 800U), waktu reaksi (48 jam), buffer fosfat (0,1M)
pH 7
Berdasarkan pola pembentukan kurva pada Gambar 12 membuktikan
bahwa enzim lipase dapat melakukan katalitik optimum pada suhu 45oC.
Semakin rendah suhu reaksi, semakin kecil asam lemak yang dihasilkan
yang berdampak pada semakin rendahnya tingkat hidrolisis. Hal ini
dikarenakan reaksi yang terjadi tidak berjalan optimal. Semakin tinggi suhu
reaksi, asam lemak bebas yang dihasilkan setelah reaksi semakin kecil juga.
Hal ini berakibat semakin rendah tingkat hidrolisis enzim lipase tersebut
terhadap minyak ikan.
38
Suhu dapat berpengaruh positif terhadap reaksi hidrolisis maupun
sebaliknya. Kenaikan suhu akan meningkatkan laju reaksi. Pada reaksi
hidrolisis enzimatik, menurut
Kamarudin et al. (2008), pada reaksi
menggunakan suhu tinggi struktur tersier enzim terganggu akibat terjadi
denaturasi. Padahal struktur tersier, sekunder, dan struktur primer enzim
mempengaruhi aktivitas katalitiknya. Berdasarkan data, pada suhu 55oC dan
65oC nilai tingkat konversinya berubah menjadi lebih rendah, sedangkan
suhu 45oC merupakan suhu dimana tingkat hidrolisis tertinggi enzim lipase
terhadap ikatan ester terjadi. Pada suhu diatas 45oC tingkat konversi minyak
menjadi asam lemak turun secara tiba-tiba dikarenakan enzim mengalami
denaturasi.
Suhu berpengaruh terhadap kecepatan reaksi pembentukan produk
(asam lemak bebas) dalam reaksi hidrolisis. Peningkatan suhu reaksi pada
reaksi hidrolisis akan mempercepat kenaikan konsentrasi asam lemak bebas,
memperbesar penurunan konsentrasi air, atau dengan kata lain menaikan
hasil konversi. Hal ini disebabkan karena dengan naiknya suhu reaksi, maka
suplai energi untuk mengaktifkan katalis dan tumbukan antar pereaksi untuk
menghasilkan reaksi juga akan bertambah, sehingga produk yang dihasilkan
menjadi lebih banyak. Nilai konstanta kecepatan reaksi (k) meningkat
dengan kenaikan suhu reaksi. Hal ini sesuai dengan teori Arrhenius bahwa
kenaikan suhu akan menaikkan nilai konstanta kecepatan reaksi, di mana
kenaikan 10°C suhu reaksi menaikan konstanta kecepatan reaksi sebanyak 2
kali dari nilai awal.
Pada penelitian hidrolisis minyak ikan, setiap peningkatan suhu 10oC
akan meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas. Apabila suhu reaksi yang
digunakan terlalu rendah maka laju reaksi berjalan lambat akibatnya
tumbukan antar pereaksi rendah dan minyak tidak terhidrolisis secara
sempurna. Dengan demikian, asam lemak bebas yang terbentuk juga rendah.
Peningkatan suhu dari 25oC menjadi 35oC, akan meningkatkan nilai
persentase hidrolisis sebesar 1,37%. Nilai persentase kenaikan tersebut
adalah sebesar 49% dari persentase hidrolisis pada kondisi suhu 25oC. Pada
peningkatan suhu dari 35oC menjadi 45oC akan meningkatkan nilai
39
persentase hidrolisis sebesar 2,64%. Nilai persentase kenaikan tersebut
sebesar 63,7% terhadap nilai persentase hidrolisis pada kondisi suhu 35oC.
Peningkatan persentase hidrolisis terjadi pada setiap kenaikan suhu.
Persentase hidrolisis tersebut mencapai titik maksimum pada suhu 45oC
reaksi. Pada hidrolisis enzimatik dengan substrat minyak ikan, suhu reaksi
45oC merupakan suhu optimal.
Pada suhu diatas suhu optimal, tingkat konversi asam lemak menjadi
lebih rendah. Semakin tinggi suhu reaksi, semakin rendah pula tingkat
konversi asam lemak yang terjadi. Pada kenaikan 10oC diatas suhu optimum
yaitu pada suhu 55oC, tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan turun sebesar
2,1%. Persentase penurunan tersebut sebesar 45% dari nilai persentase
hidrolisis pada suhu optimum. Pada kenaikan 10oC berikutnya yaitu suhu
65oC, tingkat hidrolisis enzimatik minyak ikan turun menjadi 1,54%.
Persentase penurunan tersebut sebesar 49% dari nilai persentase hidrolisis
pada kondisi suhu 55oC. Semakin rendahnya tingkat hidrolisis disebabkan
karena terjadi denaturasi enzim pada suhu tinggi.
Enzim merupakan polipetida yang tersusun dari asam amino melalui
ikatan kovalen membentuk struktur tiga dimensi. Suhu yang tinggi akan
merusak struktur tiga dimensi dari enzim tersebut melalui pemutusan ikatan
peptida yang membentuk struktur tiga dimensinya. Sementara, aktivitas
katalitik enzim dipengaruhi oleh bentuk primer, sekunder, dan tersier dari
enzim. Pada penelitian reaksi hidrolisis enzimatik pada suhu 55oC dan suhu
65oC, penurunan tingkat hidrolisis disebabkan karena denaturasi enzim oleh
panas. Denaturasi ini dikarenakan berubahnya struktur tersier atau struktur
tiga dimensi dari enzim lipase Aspergillus niger. Perubahan ini semakin
berlanjut dengan semakin tingginya suhu reaksi hidrolisis. Oleh sebab itu,
aktivitas katalitiknya semakin rendah pada setiap peningkatan suhu.
40
D. HUBUNGAN PENAMBAHAN AIR, DERAJAT KEASAMAN, DAN
SUHU, TERHADAP TINGKAT HIDROLISIS ENZIMATIK MINYAK
IKAN PADA MEDIA YANG DITAMBAHKAN HEPTANA
Enzim tersusun dari protein dimana pada suhu tinggi akan terdenaturasi.
Termostabilitas enzim merupakan faktor utama dalam aplikasi enzim di Industri
karena sifat thermo degradation yang dimiliki oleh enzim. Penelitian mengenai
penggunaan enzim sebagai biokatalis berkembang, terutama dalam rangka
peningkatan aktivitas atau stabilitas serta kemudahannya dalam hal pemisahan.
Hal ini berhubungan dengan penurunan biaya produksi pada penggunaan enzim
di industri. Oleh karena itu, dikembangkan rekayasa enzim untuk peningkatan
aktivitas atau stabilitasnya dengan penambahan pelarut hidrofobik. Menurut
Kim et al. (2004) penggunaan pelarut akan meningkatkan migrasi alkil pada
sistem reaksi sekitar 18% selama selang waktu 24 jam. Penggunaan pelarut juga
akan memudahkan proses pemisahan konsentrat dengan by productnya. Migrasi
alkil ini terjadi dengan katalis enzim lipase dan dipengaruhi oleh banyaknya air,
suhu, waktu reaksi, jumlah enzim, sistem reaksi, dan jenis reaktor. Menurut
Zaverucke dan Wimmer (2008), hidrolisis enzimatik dipengaruhi oleh suhu, pH,
konsentrasi subsrat, dan adanya senyawa penghambat, dan penambahan air.
1. Hubungan Penambahan Air dengan Tingkat Hidrolisis
Data hubungan penambahan air dengan tingkat hidrolisis minyak
ikan pada media yang ditambahkan pelarut heptana dapat dilihat pada
Gambar 13.
Berdasarkan pola pembentukan kurva pada Gambar 13 membuktikan
bahwa enzim lipase dapat melakukan katalitik optimum pada penambahan
air 1% terhadap volume larutan. Jumlah air tersebut menunjukkan banyakya
air yang dibutuhkan untuk melapisi satu layer molekul enzim. Dengan
demikian, air yang dapat melapisi secara optimum membentuk satu layer
melingkupi molekul enzim sebesar 1%.
41
%
H
I
D
R
O
L
I
S
I
S
28,00
26,00
24,00
22,00
20,00
18,00
16,00
14,00
12,00
10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
0
1
2
3
4
PENAMBAHAN AIR (%)
HIDROLISIS MINYAK IKAN
6
5
KONTROL HIDROLISIS
Gambar 13. Kurva hubungan tingkat hidrolisis enzimatik dengan persentase
penambahan air pada media yang ditambahkan pelarut heptana,
minyak ikan (4 gram), enzim (0,1 gram atau
atau 800U), waktu
reaksi (48 jam), buffer fosfat (0,1M) pH 7,
7, suhu reaksi (45oC)
OO
CH2-O-C-R
CH2-O-C-R
O
CH-O-C-R
O
CH2-O-C-R
+
LIPASEOH
OH
O
CH-O-C-R
O
CH2-O-C-R
CH2-OH
O
CH-O-C-R
O
CH2-O-C-R
DIGLISERID
A
H2 O
RCOOH + LIPASEOH
Aspergillus
Gambar 14. Mekanisme katalisis enzim lipase regioselektif
niger pada media organik
42
Schneider dan Berger (1991) menyatakan bahwa monoasilgliserol
dan diasilgliserol cukup stabil terhadap migrasi alkil pada media organik
dengan kadar air kurang dari 2%. Mekanisme katalitik enzim lipase
regioselektif Aspergillus niger pada reaksi hidrolisis ditunjukkan oleh
Gambar 14.
2. Hubungan Derajat Keasaman (pH) dengan Tingkat Hidrolisis
Data hubungan derajat keasaman dengan tingkat hidrolisis minyak
ikan pada media yang ditambahkan pelarut heptana dapat dilihat pada
Gambar 15.
%
H
I
D
R
O
L
I
S
I
S
30,00
28,00
26,00
24,00
22,00
20,00
18,00
16,00
14,00
12,00
10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
4
5
6
7
8
9
pH
HIDROLISIS ENZIMATIS DENGAN PENAMBAHAN HEPTANA
10
HIDROLISIS ENZIMATIS TANPA PENAMBAHAN HEPTANA
Gambar 15. Kurva hubungan tingkat hidrolisis dengan pH pada reaksi
hidrolisis enzimatik tanpa penambahan heptana dan reaksi
hidrolisis enzimatik pada media yang ditambahkan heptana,
minyak ikan (4 gram), enzim (0,1 gram atau 800U), waktu
reaksi (48 jam), buffer fosfat (0,1M), suhu reaksi (45oC), kadar
air (1%)
Berdasarkan pola pembentukan kurva pada Gambar 15, titik pH yang
menghasilkan tingkat hidrolisis tertinggi pada reaksi hidrolisis enzimatik
pada media yang ditambahkan heptana adalah pH 5. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Saxena et al. (2009) yang menyebutkan bahwa aktivitas katalitik
enzim Aspergillus niger adalah pada kondisi asam pada substrat minyak.
43
Lingkungan asam sesuai untuk siklus hidup kapang Aspergillus niger serta
sesuai untuk aktivitas katalitiknya. Terlihat juga pada percobaan Saxena et
al. (2009) dimana enzim lipase ekstraseluler dihasilkan pada kondisi asam
pada suhu mendekati suhu ruang. Pada pH 7, enzim mengalami peningkatan
aktivitas. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kestabilan sisi
katalitik enzim lipase pada pH 7 apabila media reaksi ditambah heptana.
Stauffer, E.D (1989) menyatakan bahwa perubahan pH akan mempengaruhi
enzim. Perubahan ini dikarenakan protonasi atau deprotonasi grup ion pada
sisi aktif atau pada kompleks substrat-enzim.
Data pada Gambar 15 membandingkan aktivitas enzim lipase
Aspergillus niger yang direpresentasikan melalui tingkat hidrolisis antara
hidrolisis enzimatik dengan hidrolisis enzimatik pada media yang
ditambahkan heptana. Berdasarkan pola pembentukan kurva, pada setiap
perlakuan pH yaitu pada pH 5, 6, 8, dan 9, aktivitas katalitik enzim lipase
mengalami penurunan. Namun, pada pH 7, aktivitas katalitik enzim pada
reaksi hidrolisis enzimatik minyak ikan yang ditambahkan heptana tidak
mengalami perubahan dari hidrolisis enzimatik tanpa penambahan heptana.
Penurunan tingkat hidrolisis ini disebabkan karena terjadi perubahan status
ionisasi ketika heptana ditambahkan. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan pelarut heptana yang cenderung hidrofobik akan menghambat
sisi aktif enzim untuk melakukan katalitik ikatan ester pada triasilgliserol.
Penghambatan terjadi karena perubahan status ionisasi enzim yang membuat
salah satu asam amino enzim inaktivasi.
Tingginya kepolaran suatu pelarut organik tidak mempengaruhi
tingginya aktivitas katalitik enzim. Hal ini terlihat pada data percobaan
hidrolisis enzimatik pada substrat minyak ikan, penggunaan heptana sebagai
media akan menurunkan tingkat hidrolisis dimana tingkat hidrolisis ini
merepresentasikan aktivitas katalitik enzim terhadap substrat minyak ikan.
Semakin tingginya kepolaran suatu media tidak berpengaruh nyata terhadap
aktivitas katalitik enzim. Hal ini didukung oleh percobaan Kim et al. (2000)
yang menyatakan bahwa pada reaksi esterifikasi trikaprilat dengan asam
linoleat dengan menggunakan enzim lipase Rhizomucor miehei sebagai
44
katalis menghasilkan tingkat esterifikasi 57% pada media n-heksana dan
52% pada media isooktana. Padahal, kepolaran isooktana lebih tinggi
daripada n-heksana. Isooktana memiliki nilai kepolaran 4,2 sedangkan nheksana memiliki nilai kepolaran 3,5.
Kurva diatas juga menunjukkan tidak adanya perubahan aktivitas
katalisis enzim pada media yang ditambahkan pelarut heptana pada pH 7
bila dibandingkan dengan hidrolisis enzimatik tanpa penambahan pelarut
heptana. Dengan demikian, pada pH netral, enzim tidak akan mengalami
penurunan aktivitas karena tidak terjadi perubahan status ionisasi pada
struktur enzim. Hal ini sesuai dengan Medina et al. (2003) yang
menyebutkan bahwa penambahan pelarut organik tidak mengubah stabilitas
enzim terhadap berbagai pH.
3. Hubungan Suhu dengan Tingkat Hidrolisis
Data hubungan suhu dengan tingkat hidrolisis minyak ikan pada
media yang ditambahkan pelarut heptana dapat dilihat pada Gambar 16.
26,00
% 24,00
22,00
H 20,00
I 18,00
D 16,00
R 14,00
O 12,00
L 10,00
8,00
I
6,00
S
4,00
I
2,00
S
0,00
15
25
35
45
55
65
75
SUHU (oC)
HIDROLISIS ENZIM DENGAN PENAMBAHAN HEPTANA
HIDROLISIS ENZIM TANPA PENAMBAHAN HEPTANA
Gambar 16. Kurva hubungan tingkat hidrolisis dengan suhu pada reaksi
hidrolisis enzimatik dengan penambahan heptana dan pada
reaksi hidrolisis enzimatik tanpa penambahan pelarut heptana,
minyak ikan (4 gram), enzim (0,1 gram atau 800U), waktu
reaksi (48 jam), buffer fosfat (0,1M) pH 7, kadar air (1%)
45
Berdasarkan data pada Gambar 16, diperoleh tingkat hidrolisis
minyak ikan tertinggi untuk enzim lipase Aspergillus niger terhadap substrat
minyak ikan dengan penambahan pelarut heptana adalah pada suhu 25oC.
Pada suhu reaksi hidrolisis yang semakin meningkat, asam lemak bebas
yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
hidrolisis enzimatik minyak ikan pada pelarut organik semakin rendah
seiring dengan peningkatan suhu reaksi.
Pelarut organik khususnya pelarut dengan nilai hidrofobitas yang
tinggi (Log p>4) dapat mempertahankan konformitas bentuk enzim
khususnya pada media non akueous. Penambahan pelarut organik
merupakan salah satu cara dalam merekayasa enzim. Rekayasa enzim
meliputi mengubah aktivitas dan stabilitasnya. Rekayasa enzim melalui
media reaksi dapat meningkatkan termostabilitas enzim lipase. Hal ini
terbukti dari perubahan sifat enzim lipase Candida cylindracea dari
mesofilik menjadi termofilik (Gubicza, 2000). Penggunaan pelarut organik
juga dapat mengubah aktivitas katalitik dari enzim lipase karena akan
meningkatkan migrasi alkil. Migrasi alkil akan meningkat dengan
penggunaan pelarut organik sebagai media (Kim et al., 2004)
Berdasarkan pembentukan pola kurva hidrolisis pada Gambar 16,
terlihat bahwa penambahan pelarut heptana dapat meningkatkan stabilitas
enzim dan
meningkatkan aktivitas enzim. Aktivitas enzim lipase
Aspergillus niger pada reaksi hidrolisis enzimatik pada media tanpa
penambahan pelarut heptana memiliki tingkat hidrolisis tertinggi pada suhu
45oC. Namun, pada penambahan pelarut heptana sebagai media reaksi, suhu
yang menghasilkan tingkat hidrolisis tertinggi berubah menjadi 25oC. Hal
ini membuktikan bahwa dengan penambahan pelarut organik, terjadi
pergeseran stabilitas enzim. Hal ini sesuai dengan Medina et al.,2003 yang
menunjukkan bahwa stabilitas suhu meningkat dengan penambahan pelarut
organik sebagai media reaksi. Pada penelitian hidrolisis enzimatik minyak
ikan, penambahan heptana sebagai media reaksi meningkatkan stabilitas
enzim terhadap suhu rendah.
46
Berdasarkan pola pembentukan kurva dan dengan membandingkan
antara kurva hidrolisis enzimatik dengan kurva hidrolisis enzimatik dengan
penambahan pelarut heptana, diketahui bahwa tingkat hidrolisis enzim pada
media yang ditambahkan pelarut heptana memiliki aktivitas yang lebih
tinggi. Hal ini diketahui dari tingkat hidrolisis yang lebih tinggi pada setiap
perlakuan suhu. Pada perlakuan suhu 25oC, aktivitas enzim pada media yang
ditambahkan pelarut heptana mengalami peningkatan 80% terhadap aktivitas
enzim pada reaksi hidrolisis tanpa penambahan pelarut. Pada perlakuan suhu
35oC, penambahan pelarut heptana meningkatkan aktivitas sebesar 30%.
Pada suhu 45oC dan 55oC, hidrolisis enzimatik dengan penambahan pelarut
heptana meningkatkan aktivitas enzim sebesar 17% dan 16%. Namun, pada
suhu 65oC, penambahan pelarut heptana tidak mengubah aktivitas. Hal ini
dikarenakan pada suhu 65oC enzim telah terdenaturasi. Denaturasi enzim
disebabkan suhu yang semakin tinggi akan menyebabkan terputusnya ikatan
antar asam amino yang membentuk molekul tiga dimensi. Oleh sebab itu,
dengan terputusnya ikatan tersebut, membuat struktur tiga dimensi enzim
berubah. Berubahnya struktur tiga dimensi akan menyebabkan perubahan
pada aktivitas katalitiknya. Berdasarkan fenomena ini, dapat dikatakan
bahwa enzim lipase yang diproduksi oleh kapang Aspergillus niger mampu
melakukan katalitik dan meningkatkan aktivitas katalitiknya dengan
toleransi suhu hingga 65oC pada media reaksi yang ditambahkan pelarut
heptana.
E. HUBUNGAN TINGKAT HIDROLISIS DENGAN KANDUNGAN TOTAL
OMEGA-3
Asam lemak omega-3 merupakan asam lemak jenuh rantai panjang
dengan ikatan rangkap pada atom karbon ketiga dan keempat dari gugus metil
omega. Asam lemak omega-3 terdiri dari asam eikosapentanoat, asam
eikosatetranoat,
asam
eikosatrienoat,
asam
dokosaheksanoat,
asam
heksadekatrienoat, asam oktadekatetranoat, asam oktadekatrienoat, asam
dokosapentanoat, asam tetrakosanoat, asam tetrakosapentanoat.
47
Pengkayaan asam lemak omega-3 dapat dilakukan dengan hidrolisis
enzimatik. Enzim lipase yang diproduksi dari kapang Aspergillus niger
merupakan enzim yang selektif terhadap ikatan ester sn-1 atau sn-33 gliserol. Pada
reaksi hidrolisis, enzim lipase akan memotong ikatan ester triasilgliserol pada
posisi tersebut secara parsial menjadi monoasilgliserol,
monoasilgliserol, diasilgliserol, dan asam
lemak. Penggunaan enzim yang bersifat regioselektif terhadap sn-1 dan sn-3
dikarenakan menurut Roberto et al. (2007), asam lemak jenuh berada pada posisi
sn-1 dan sn-3 gliserol. Oleh sebab itu, digunakan enzim lipase tersebut untuk
mengkatalitik ikatan ester pada sn-1 dan sn-3 gliserol yang mengandung asam
lemak jenuh sehingga diperoleh asilgliserol yang kaya asam lemak tidak jenuh
omega-3 pada sn-2 gliserol. Kemampuan enzim dalam memecah triasilgliserol
menjadi monoasilgliserol,
monoasilgliserol, diasilgliserol dan asam lemak dinyatakan dalam
tingkat hidrolisis.
Pada pembahasan ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai hubungan
tingkat hidrolisis dengan persentase total omega-3 hasil reaksi hidrolisis.
Hubungan tingkat hidrolisis enzimatik
enzimatik minyak ikan dengan persentase total
Omega-3 dibuat berdasarkan data pada Gambar 17.
P
E
R
S
E
N
T
A
S
E
30
28
26
24
22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
28,07
22,56
23,94
12,68
10,37
10,23
7,14
6,79
0
1,81
minyak
awal
H1 pH 7 T
45
H1 pH 5 T
45
H2 pH 5 T
45
H2 pH 5 T
25
PERLAKUAN
TINGKAT HIDROLISIS ENZIMATIS MINYAK IKAN
EPA
Gambar 17. Kurva hubungan tingkat hidrolisis dan asam eikosapentanoat pada
reaksi hidrolisis enzimatik terhadap setiap perlakuan pada kondisi
optimum faktor reaksi, minyak ikan (4 gram), enzim (0,1 gram atau
800U), waktu reaksi (48 jam), buffer fosfat (0,1M)
48
Analisa GC MS dilakukan pada kondisi optimum pada reaksi hidrolisis
enzimatik pada media yang ditambahkan pelarut heptana dan pada reaksi
hidrolisis enzimatik pada media tanpa penambahan pelarut heptana. Pada
penelitian ini diambil titik optimum faktor reaksi dari hasil reaksi hidrolisis
dengan parameter optimum adalah tingkat hidrolisis yang tertinggi. Pada reaksi
hidrolisis enzimatik tanpa penambahan pelarut heptana, titik optimum tersebut
yaitu titik pH 5 dan suhu 45oC yang diperoleh dari perlakuan pH pada reaksi
hidrolisis enzimatik dan pH 7 dan suhu 45oC yang diperoleh dari perlakuan suhu
pada reaksi hidrolisis enzimatik. Kode H1 pH5 T45 menunjukkan perlakuan pH
5 dan suhu 45oC, sedangkan kode H1pH7 T45menunjukkan perlakuan pH 7 dan
suhu 45oC. Analisa GC-MS untuk reaksi hidrolisis enzimatik pada media yang
ditambahkan pelarut heptana juga mengambil titik optimum faktor reaksi dengan
parameter optimum adalah tingkat hidrolisis. Titik optimum tersebut yaitu titik
pH 5, penambahan air 1%, dan suhu 25oC yang diperoleh dari perlakuan suhu
pada reaksi hidrolisis enzimatik serta pH 5, penambahan air 1%, dan suhu 45oC
yang diperoleh dari perlakuan pH pada reaksi hidrolisis enzimatik tersebut. Kode
H2 pH5 T45 menunjukkan perlakuan pH 5, penambahan air 1%, dan suhu 45oC,
sedangkan kode H2 pH5 T25 menunjukkan perlakuan pH 5, penambahan air 1%,
dan suhu 25oC.
Berdasarkan data Gambar 17, diketahui minyak awal telah mengandung
EPA sebesar 1,81%. Reaksi hidrolisis sebagai salah satu upaya pengkayaan
komponen omega-3 telah
terbukti meningkatkan kandungan EPA pada
konsentrat hasil reaksi. Hal ini dapat dilihat dari data pada Gambar 22, bahwa
perlakuan suhu 45oC dan pH 5 dengan tingkat hidrolisis enzimatik 28,07%,
kandungan EPA meningkat menjadi 12,68%. Peningkatan EPA pada perlakuan
ini sebesar 10,87% dari kandungan asam eikosapentanoat minyak awal.
Sementara itu, pada perlakuan suhu 45oC dan pH 7 dengan tingkat hidrolisis
sebesar 6,79%, kandungan EPA sebesar 10,37%. Pada perlakuan ini,
peningkatan omega-3 yang terjadi sebesar 8,56% dari kandungan minyak awal.
Hal ini membuktikan bahwa, pada reaksi hidrolisis enzimatik, semakin tinggi
tingkat hidrolisis, tidak menunjukkan peningkatan total asam eikosapentanoat
49
yang dihasilkan. Dengan demikian, berdasarkan hasil hidrolisis enzimatik tanpa
penambahan pelarut heptana, pengkayaan EPA lebih baik dilakukan pada pH 5.
P
E
R
S
E
N
T
A
S
E
30
28
26
24
22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
28,07
23,94
22,56
6,79
3,06
0
0
minyak awal
0,85
H1 pH 7 T
45
1,87
0
H1 pH 5 T
45
H2 pH 5 T
45
H2 pH 5 T
25
PERLAKUAN
TINGKAT HIDROLISIS ENZIMATIS MINYAK IKAN
DHA
Gambar 18. Kurva hubungan tingkat hidrolisis dan asam dokosaheksanoat pada
reaksi hidrolisis enzimatik terhadap setiap perlakuan pada kondisi
optimum faktor reaksi,
reaksi, minyak ikan (4 gram), enzim (0,1 gram atau
800U), waktu reaksi (48 jam), buffer fosfat (0,1M)
Berdasarkan data Gambar 18, diketahui minyak awal tidak mengandung
DHA. Peningkatan kandungan DHA terjadi setelah minyak ikan dihidrolisis. Hal
ini dapat dilihat dari data pada Gambar 18, bahwa perlakuan suhu 45oC dan pH 5
dengan tingkat hidrolisis enzimatik 28,07%, kandungan DHA meningkat
menjadi 3,06%. Sementara itu, pada perlakuan suhu 45oC dan pH 7 dengan
tingkat hidrolisis sebesar 6,79%, kandungan DHA sebesar 0,85%.
50
P
E
R
S
E
N
T
A
S
E
30
28
26
24
22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
28,07
22,56
16,89
23,94
17,51
10,48
7,14
6,79
0
1,81
minyak
awal
H1 pH 7 T
45
H1 pH 5 T
45
H2 pH 5 T
45
H2 pH 5 T
25
PERLAKUAN
TINGKAT HIDROLISIS ENZIMATIS MINYAK IKAN
TOTAL OMEGA 3
Gambar 19. Kurva hubungan tingkat hidrolisis dan total omega-3 pada reaksi
hidrolisis enzimatik terhadap setiap perlakuan pada kondisi
optimum faktor reaksi, minyak ikan (4 gram), enzim (0,1 gram atau
800U), waktu reaksi (48 jam), buffer fosfat (0,1M)
Berdasarkan data Gambar 19, diketahui minyak awal dengan tingkat
hidrolisis 0% telah mengandung komponen omega-3 sebesar 1,81%. Reaksi
hidrolisis sebagai salah satu upaya pengkayaan omega-3 telah terbukti
meningkatkan kandungan total omega-3 pada konsentrat hasil reaksi. Hal ini
dapat dilihat dari data pada Gambar 19, bahwa perlakuan suhu 45oC dan pH 5,
kandungan omega-3
-3 meningkat menjadi 17,51% dengan tingkat hidrolisis
sebesar 28,07%. Peningkatan omega-3 pada perlakuan ini sebesar 15,7% dari
kandungan omega-3 minyak awal. Sementara itu, pada perlakuan suhu 45oC dan
pH 7, kandungan omega-3 sebesar 16,89% dengan tingkat hidrolisis 6,79%. Pada
perlakuan ini, peningkatan omega-3 sebesar 15,08% dari kandungan omega-3
minyak awal. Hal ini membuktikan bahwa, pada reaksi hidrolisis enzimatik,
semakin tinggi tingkat hidrolisis, semakin besar pula pengkayaan omega-3 yang
terjadi.
Pada data yang ditunjukkan oleh Lampiran
Lampiran 7 yaitu pada data hasil analisa
konsentrat hasil reaksi hidrolisis enzimatik pada kondisi optimum faktor reaksi
51
menggunakan GC-MS, terlihat asam lemak omega-3 yang terkandung dalam
minyak awal adalah asam eikosapentanoat. Namun, pada hasil reaksi hidrolisis
enzimatik asam lemak omega-3 meliputi metil heksadekatrienoat, metil
dokosaheksanoat, metil eikosapentanoat, metil eikosatetranoat, dan metil
oktadekatrienoat. Senyawa asam lemak tersebut merupakan bentuk turunan dari
asam linoleat. Menurut Zaverucke dan Wimmer (2008), asam linoleat dapat
berubah menjadi asam lemak C18 ω3 dan ω6, asam α-linolenat (ALA), asam γlinolenat, sampai C20 (asam arachidonat, AA) dan asam dihomo-γ-linolenat
melalui biosintetis pathway. Asam α-linolenat sendiri dapat berubah menjadi
asam lemak omega-3 seperti asam eikosapentanoat (EPA) dan asam
dokosaheksanoat (DHA). Mekanisme pathway metabolisme Polyunsaturated
Fatty Acids ditunjukkan oleh Gambar 20.
Gambar 20. Pathway metabolisme polyunsaturated fatty acid (Zaverucke dan
Wimmer, 2008)
Berdasarkan data pada Gambar 17, diketahui bahwa pada hasil reaksi
hidrolisis enzimatik pada media yang ditambahkan pelarut heptana pada
perlakuan suhu 45oC dan pH 5, kandungan EPA sebesar 7,14% dari total jumlah
asam lemak dalam konsentrat, dengan tingkat hidrolisis pada perlakuan ini
sebesar 22,56%. Peningkatan EPA pada perlakuan ini sebesar 5,33% dari
52
kandungan EPA minyak awal. Sementara itu, pada perlakuan suhu 25oC dan pH
5, kandungan EPA sebesar 10,23% pada tingkat hidrolisis 23,94%. Pada
perlakuan ini, peningkatan EPA sebesar 8,42% dari kandungan EPA minyak
awal. Reaksi hidrolisis enzimatik dengan penambahan heptana terbukti mampu
memperkaya kandungan asam eikosapentanoat.
Berdasarkan data pada Gambar 18, diketahui bahwa pada hasil reaksi
hidrolisis enzimatik pada media yang ditambahkan pelarut heptana pada
perlakuan suhu 45oC dan pH 5 dengan tingkat hidrolisis 22,56%, konsentrat hasil
reaksi tidak mengandung DHA. Sementara itu, pada perlakuan suhu 25oC dan
pH 5, dengan tingkat hidrolisis 23,94%, konsentrat mengandung DHA sebesar
1,87%.
Berdasarkan data pada Gambar 19, diketahui bahwa pada hasil reaksi
hidrolisis enzimatik pada media yang ditambahkan pelarut heptana pada
perlakuan suhu 45oC dan pH 5, kandungan omega-3 sebesar 7,14%, dengan
tingkat hidrolisis pada perlakuan ini sebesar 22,56%. Peningkatan omega-3 pada
perlakuan ini sebesar 5,33% dari kandungan omega-3 minyak awal. Sementara
itu, pada perlakuan suhu 25oC dan pH 5, kandungan omega-3 sebesar 10,48%
pada tingkat hidrolisis 23,94%. Pada perlakuan ini, peningkatan omega-3 sebesar
8,42% dari kandungan omega-3 minyak awal. Reaksi hidrolisis enzimatik
dengan penambahan heptana terbukti mampu memperkaya kandungan omega-3.
Namun, penambahan heptana sebagai media reaksi untuk reaksi hidrolisis
enzimatik tidak meningkatkan persentase hidrolisis dan kandungan total omega3 pada konsentrat hasil reaksi bila dibandingkan pada reaksi hidrolisis tanpa
penambahan pelarut heptana.
Berdasarkan data pada Lampiran 7 yaitu pada data hasil analisa
konsentrat hasil reaksi hidrolisis enzimatik pada kondisi optimum faktor reaksi
menggunakan GC-MS, dan dengan membandingkan kandungan omega-3 hasil
reaksi hidrolisis pada kondisi yang sama yaitu suhu 45oC dan pH 5 antara reaksi
dengan penambahan pelarut heptana dan tanpa penambahan pelarut heptana,
diperoleh konsentrat hasil hidrolisis untuk konsentrat hasil reaksi hidrolisis
enzimatik tanpa penambahan pelarut heptana memiliki kandungan omega-3 yang
lebih rendah daripada konsentrat hasil reaksi hidrolisis enzimatik pada media
53
yang ditambahkan pelarut heptana. Perbedaan kandungan total omega-3 pada
kondisi pH 5 dan suhu 45oC tersebut sebesar 10,37%. Tingginya kandungan
omega-3 pada konsentrat hasil reaksi hidrolisis tanpa penambahan pelarut
heptana disebabkan karena tingkat hidrolisis yang lebih tinggi pula. Penambahan
pelarut heptana pada reaksi hidrolisis enzimatik tidak meningkatkan aktivitas
katalitik enzim. Hal ini kemungkinan dikarenakan kepolaran heptana yang terlalu
besar (log p=4) tidak mendukung stabilitas enzim lipase tersebut pada reaksi
hidrolisis. Pelarut heptana membuat struktur tiga dimensi enzim lipase berubah.
Namun perubahan yang terjadi membuat aktivitas katalitik enzim lipase
menurun. Semakin tinggi kepolaran media hidrofobik yang digunakan untuk
media reaksi secara enzimatik tidak menentukan tingginya aktivitas lipolitik
yang terjadi. Hal ini juga didukung oleh penelitian Kim et al. (2000) yang
menunjukkan bahwa aktivitas lipolitik pada media n-heksana ternyata lebih
tinggi daripada pada media isooktana. Padahal kepolaran isooktana lebih tinggi
daripada n-heksana.
54
Download