APBD KOTA BANDAR LAMPUNG: MILIK LELAKI

advertisement
APBD KOTA BANDAR LAMPUNG:
MILIK LELAKI ATAU MILIK PEREMPUAN?
Alamsyah
Staf Pengajar Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Lampung
Simon S. Hutagalung
Staf Pengajar Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Lampung
ABSTRACT
Public budget (APBD) is one of the public policy instrument which posses by state
to alocating, distributing, and stabilizing resources among peoples. Through fiscal
policy, state is continuing to determined who is get what and how every year. It
is very interesting to analyze public budget from gender budgeting analysis point
of view. Based on this approache, this project want to analyze public budget in
Bandar Lampung Municipality, specifically in education sector. We find that APBD
is still discriminatif towards gender issues. There is not gender mainstreaming
issues in policy education.
Keywords: public budget, gender-budgeting analysis, education policy
PENDAHULUAN
pendidikan, ada beberapa hasil
kajian yang dapat memperkuat
argumen ini, misalnya Filmer (1999),
Glick, Saha, dan Younger (204),
Demer, et.al (1995).
Di Indonesia, warga negara
yang berjenis kelamin perempuan
juga nampaknya menjadi warga
negara kelas dua. Mengacu kepada
temuan Human Development Report
2006 (UNDP, 2006:365), meskipun
angka harapan hidup perempuan
(69.2) lebih tinggi daripada laki-laki
(65.3), tetapi proporsi perempuan
(86.8) yang dapat membaca dan
menulis lebih rendah daripada lakilaki (94.0). Kecenderungan ini juga
terjadi pada jumlah laki-laki (70) dan
perempuan (69) yang menyelesaikan
pendidikan dasar (SD, SMP, dan SMU).
Kesenjangan antara laki-laki dan
perempuan ketika dijelaskan melalui
variabel pendapatan. Pendapatan
rata-rata warga negara yang berjenis
kelamin laki-laki mencapai US$4,963
sedangkan
warga
negara
yang
berjenis kelamin perempuan hanya
mencapai US$2,257. Padahal proporsi
Negara memiliki fungsi alokasi,
distibusi
dan
stabilisasi
yang
diarahkan bagi kepentingan seluruh
warga
negaranya.
Dalam
melaksanakan fungsi tersebut, negara
wajib memperlakukan seluruh warga
negaranya secara sama dan tidak
diskriminatif dengan alasan apapun.
Namun yang terjadi pada masa lalu
adalah berkembanganya praktikpraktik diskriminatif yang berlaku
dalam berbagai sektor pelayanan
publik. Diskriminasi yang paling
tradisional
adalah
diskriminasi
gender. Praktik-praktik diskriminatif
tersebut terserap secara struktural
dan
kultural.
Dalam
konteks
struktural artinya praktik-praktik
tersebut sudah menjadi bagian dari
mekanisme, pola dan produk yang
dihasilkan oleh pengelolaan negara.
Sementara secara kultural artinya
praktik-praktik
tersebut
sudah
menjadi acuan pikir, sikap dan
tindakan pihak-pihak yang terlibat
dalam
bernegara.
Di
sektor
537
538
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.6, Januari-Juni 2009
perempuan yang terlibat dalam
aktivitas ekonomi produktif nonpertanian lebih tinggi, yakni 57.7
persen atau 60 persen dari total lakilaki yang bekerja di sektor nonpertanian.
Bahkan
jam
kerja
perempuan (6 jam 38 menit) lebih
tinggi daripada jam kerja laki-laki (6
jam 6 menit).
Pada sektor politik, proporsi
perempuan yang menduduki kursi
parlemen pada tahun 2005 hanya
berjumlah
11.3
persen
dan
perempuan yang menduduki jabatan
setingkat menteri hanya berjumlah
10.8 persen. Meskipun keterlibatan
perempuan dalam politik sudah ada
sejak
Proklamasi
Kemerdekaan
Republik Indonesia Tetapi baru pada
tahun 1950 warga negara berjenis
kelamin perempuan diangkat sebagai
anggota
parlemen
(periode
Demokrasi Terpimpin).
Uraian di atas sebetulnya hanya
menggambarkan
isu-isu
besar
persoalan gender secara umum dan
secara khusus di Indonesia. Di balik
angka-angka
itu,
ada
banyak
persoalan mikro perempuan yang
belum terselesaikan. Mulai dari
persoalan hak reproduksi, kekerasan
terhadap perempuan dan anak,
persoalan tenaga kerja wanita, akses
terhadap pendidikan dan kesehatan,
dan sebagainya. Oleh karena itu,
konsepsi Millenium Development
Goals (MDGs) yang meletak isu
keadilan gender dan pemberdayaan
perempuan (goals 3: promote gender
equality and empower women)
sangat relevan dengan situasi dan
kondisi yang terjadi di Tanah Air.
Persoalannya
adalah
bagaimana
mewujudkan keadilan gender dan
pemberdayaan perempuan tersebut
sehingga konsep ini tidak hanya
mengambang di awang-awang, tetapi
dirasakan manfaatnya oleh kaum
perempuan yang tinggal di desa-desa,
kaum perempuan yang bekerja
sebagai buruh pertanian, kaum
ADMINISTRATIO
perempuan yang memiliki beragam
keterbatasan.
Salah satu instrumen kebijakan
politik yang sangat vital dan strategis
dalam rangka mendorong isu keadilan
gender
dan
pemberdayaan
perempuan
adalah
Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN)
dan/atau
Anggaran
Pendapatan
Belanja Daerah (APBD). Melalui
instrumen
anggaran,
institusi
pemerintah
mengalokasikan
dan
mendistribusikan sumberdaya ke
setiap sektor pembangunan yang
diharapkan
dapat
meningkatkan
kesejahteraan warga negaranya, baik
warga negara berjenis kelamin
perempuan maupun warga negara
berjenis
kelamin
perempuan.
Anggaran
publik
diformulasikan
melalui interaksi politik antara
legislatif dan eksekutif plus birokrasi
publik. Persoalan yang muncul
kemudian
adalah
bagaimana
sesungguhnya wajah anggaran publik
ketika
ia
diformulasikan
oleh
mayoritas kaum laki-laki dan hanya
11.3 persen (data parlemen nasional)
perempuan yang terlibat dalam
proses penyusunan anggaran. Adakah
anggaran publik tersebut berpihak
dengan kepentingan dan kebutuhan
kaum perempuan? Apakah kebiasaan
kaum laki-laki di lembaga legislatif
yang selalu berinteraksi dengan kaum
perempuan (ibu, isteri, anak, teman,
saudara) memiliki kontribusi positif
terhadap anggaran publik yang
berpihak kepada kaum perempuan?.
Persoalan-persoalan inilah yang
ingin dijawab penelitian ini. Pilihan
terhadap sektor pendidikan didasari
atas pertimbangan bahwa (a) sektor
pendidikan merupakan sektor yang
diprioritaskan dalam MDG’s karena
bersentuhan dengan hak sosialekonomi (ecosoc right) warga negara;
(b) sektor pendidikan paling banyak
mempekerjakan kaum perempuan,
terutama guru, dan melibatkan
perempuan sebagai siswa; (c) sektor
pendidikan bersentuhan langsung
ISSN : 1410-8429
Alamsyah & Simon S, Apbd Kota Bandar Lampung: Milik Lelaki Atau Milik Perempuan?
dengan persoalan-persoalan krusial
kaum perempuan (misalnya isu angka
putus sekolah); (d) secara normatif,
konstitusi mengamanahkan agar APBD
daerah menganggarkan minimal 20
persen dari total dana APBD untuk
penyelenggaraan
desentralisasi
pendidikan di daerah.
Dengan mengambil Kota Bandar
Lampung sebagai situs analisa maka
penelitian ini direncanakan akan
membahas beberapa permasalahan
tersebut. Kota Bandar Lampung
dipilih
karena
beberapa
hal,
diantaranya; (1). Secara demografis
kota Bandar Lampung memiliki
komposisi penduduk berdasarkan
gender yang tidak timpang. Jumlah
penduduk laki-laki dan perempuan
masih dalam jumlah yang tidak
terlalu jauh berbeda. (2). Secara
sosial ekonomi Kota Bandar Lampung
memiliki tingkat kesejahteraan sosial
yang lebih baik dibandingkan daerah
lainnya
di
Propinsi
Lampung.
Konsekuensinya
adalah
tingkat
kemampuan masyarakatnya untuk
mengakses sekolah akan nampak
lebih variatif. (3). Berdasarkan
distribusi infrastruktur, kota Bandar
Lampung
memiliki
cakupan
infrastruktur pendidikan yang lebih
baik.
Berdasarkan latar belakang
masalah di atas, maka dapat di
rumuskan masalah penelitian ini
sebagai berikut; (a) bagaimana pola
penerimaan dan pengeluaran (alokasi
dan distribusi) APBD Kota Bandar
Lampung di sektor pendidikan?; (b)
bagaimana pola kebijakan dan
program Pemerintah Kota Bandar
Lampung
dalam
rangka
mempromosikan keadilan gender di
sektor pendidikan? (c) bagaimana
dampak kebijakan dan program
Pemerintah Kota Bandar Lampung
tersebut terhadap keadilan gender di
sektor pendidikan?; (d) faktor-faktor
apa yang mempengaruhi proses
formulasi anggaran publik yang
ADMINISTRATIO
539
berperspektif gender pada sektor
pendidikan?
Penelitian ini bertujuan untuk:
(a) menganalisa pola penerimaan dan
pengeluaran (alokasi dan distribusi)
APBD Kota Bandar Lampung di sektor
pendidikan; (b) mendeskripsikan pola
kebijakan dan program Pemerintah
Kota Bandar Lampung dalam rangka
mempromosikan keadilan gender di
sektor pendidikan; (c) menganalisa
dampak kebijakan dan program
Pemerintah Kota Bandar Lampung
tersebut terhadap keadilan gender di
sektor pendidikan; (d) menganalisa
faktor-faktor apa yang mempengaruhi
proses formulasi anggaran publik
yang berperspektif gender pada
sektor pendidikan;
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
bersifat
deskriptif-kualitatif. Data primer
penelitian berasal dari penyebaran
instrumen
penelitian
terhadap
informan dan data Susenas Kota
Bandar
Lampung terbaru yang
dimiliki BPS Kota Bandar Lampung.
Data sekunder penelitian berasal dari
publikasi yang diterbitkan lembaga
pemerintah, kliping koran, berita
majalah, informasi di situs web, dan
sebagainya.
Jumlah
sampel
penelitian
adalah sebagai berikut: Walikota
Bandar Lampung, Panitia Anggaran
Eksekutif,
Panitia
Anggaran
Legislatif, Kepala Dinas Pendidikan, 2
(dua) orang kepala sekolah SD, SMP,
dan SMU 1 (satu) orang Ketua Komite
Sekolah SD, SMP, SMU, 1 (satu)
organisasi kepemudaan perempuan, 1
(satu) organisasi kemasyarakatan
perempuan, 1 (satu) LSM yang
concern dengan isu gender.
Data akan dianalisa dengan
teknik analisis yang biasa digunakan
dalam khazanah anggaran berbasis
gender
seperti
gender-spesific
expenditure,
equal
employment
ISSN : 1410-8429
540
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.6, Januari-Juni 2009
opportunities in the public sector,
public
expenditure
incidence
analysis,
gender mainstreaming,
gender-aware
policy
appraisal,
women’s budget statement (Elson,
1999) juga akan digunakan untuk
mempertajam analisis penelitian.
Unit analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah individu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Keadilan Gender di Sektor
Pendidikan
Sektor pendidikan di Kota
Bandar Lampung sedang menuju
proses
berkeadilan
gender.
Indikasinya, distribusi guru pada
jenjang SD, SMP, SMA menurut
kualifikasi pendidikan belum merata
(lihat, Tabel 1). Hal ini tentu saja
akan mempengaruhi proses belajar
mengajar di sekolah. Meskipun
jumlah kepala sekolah pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah di
Kota Bandar Lampung lebih banyak
memiliki latar belakang jenis kelamin
perempuan mencapai 60,9% (lihat,
Tabel 2), keterlibatan perempuan
dalam
komite
sekolah
belum
maksimal. Hal ini disebabkan karena
faktor kelembagaan yang memiliki
kepentingan
spesifik
dan
juga
dikarenakan inisiatif dari perempuan
itu
sendiri
terhadap
orientasi
partisipatif dalam kegiatan-kegiatan
seperti
dalam
Komite
Sekolah
tersebut.
Sementara
itu,
dari
sisi
partisipasi laki-laki dan perempuan
dalam pendidikan dasar (lihat, Tabel
3), keduanya cenderung sama. Untuk
tingkat SD, perempuan dan laki-laki
memiliki kesempatan yang sama
untuk bersekolah pada jenjang ini. Di
SMP dan SMA, partisipasi siswa
perempuan lebih tinggi ketimbang
siswa laki-laki. Hal ini disebabkan,
menurut phak Dinas Pendidikan
Pemkota Bandar Lampung, karena
jumlah penduduk usia sekolah lebih
ADMINISTRATIO
banyak berjenis kelamin perempuan.
Sehingga pada tingkat pendidikan
dasar, jumlah siswa perempuan
relatif lebih banyak dibandingkan
siswa laki-laki.
Jika dilihat dari peruntukan
dana BOS di Kota Bandar Lampung
terkategori ke dalam tiga pola.
Pertama, Dana BOS digunakan secara
tepat dan sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan dalam panduan
program tersebut. Kedua, Dana BOS
digunakan sebagai dana pengganti
dari kegiatan-kegiatan sekolah yang
bersumber dari dana BOS yang belum
turun pada saat kegiatan-kegiatan
BOS dilaksanakan. Ketiga, Dana BOS
digunakan secara terfokus pada suatu
peruntukkan tertentu berdasarkan
prioritas yang dirumuskan pada
tingkat sekolah. Tidak diketemukan
fakta bahwa implementasi dana BOS
ini bias gender. Meskipun begitu, ini
juga tidak berarti bahwa dana BOS
sudah
sejalan
prinsip-prinsip
kesetaraan dan keadilan gender.
Indikasi lain adalah soal jam
mengajar
guru
laki-laki
dan
perempuan.
Secara menyeluruh,
jumlah jam mengajar guru baik itu
laki-laki atau perempuan di Kota
Bandar Lampung belum terdistribusi
secara merata. Ini didasari oleh latar
belakang profesionalisme guru yang
muncul berbeda pada masing-masing
guru, bukan karena latar belakang
gender.
Dalam
beberapa
kasus,
perbedaan tersebut bisa terjadi
akibat kondisi guru perempuan itu
sendiri yang memang memiliki peran
dalam keluarganya masing-masing.
Peran perempuan sebagai bagian dari
rumah tangga adalah sesuatu yang
tidak bisa dikompromikan sekaligus
menjadi
faktor
yang
sangat
mempengaruhi pertimbangan dalam
aktivitas kerja masing-masing guru
tersebut.
Dengan
latar
yang
demikian, maka sering kali dipahami
ketika adanya permintaan akan jam
mengajar yang berbeda antara guru
ISSN : 1410-8429
Alamsyah & Simon S, Apbd Kota Bandar Lampung: Milik Lelaki Atau Milik Perempuan?
laki-laki dan guru perempuan di
sekolah-sekolah.
Tidak hanya itu, aturan-aturan
yang dibuat pihak juga sudah
mengakomodir kepentingan khusus
jenis kelamin. Berdasarkan Tabel 4,
hasil identifikasi terhadap beberapa
sekolah seperti SMKN 3 Bandar
Lampung, SMPN 4 Bandar Lampung
dan SMAN 3 Bandar Lampung
diketahui bahwa tata tertib yang
dimiliki
oleh
mereka
tidak
menunjukkan adanya diskriminasi
terhadap siswa perempuan, bahkan
antara
siswa
perempuan
yang
berjilbab
dan
tidak
berjilbab
memiliki aturan yang mengakomodasi
kondisi dan kebutuhan keduanya.
Tidak hanya dalam hal tata
tertib, kebijakan khusus yang juga
akomodatif terhadap perempuan
dapat dilihat dari penyediaan fasilitas
yang baik bagi siswi di sekolah,
misalnya dengan penyediaan toilet/
WC yang terpisah peruntukkannya
dengan siswa laki-laki. Hampir
seluruh sekolah telah memiliki
perhatian
yang
baik
dalam
penyediaan fasilitas ini. Adanya
pendanaan yang baik mendorong
pihak sekolah menyediakan fasilitas
kebersihan yang lebih baik, termasuk
adanya fasilitas kebersihan khusus
untuk siswa perempuan.
Kondisi di atas juga ditopang
oleh proses keputusan di sekolah
telah
demikian
terbuka
dan
memberikan
ruang
tumbuhnya
demokrasi dan partisipasi, termasuk
juga adalah suasana dinamis dan
konflik yang menyertainya. Kondisi
sekolah yang demikian, menghasilkan
proses
keputusan
yang
mengedepankan keterwakilan peran
dari elemen-elemen penyelenggara
sekolah, sehingga tiap keputusan
yang dihasilkan akan memiliki tingkat
akomodasi yang baik.
Pengarusutamaan Gender dalam
Proses Formulasi Anggaran Publik
ADMINISTRATIO
541
Pengarusutamaan gender dalam
proses formulasi anggaran publik
masih sangat rendah. Ini disebabkan
fakta
bahwa
panitia
anggaran
legislatif hanya mengakomodir 1
(satu) orang perempuan sebagai
anggota panitia anggaran. Masuknya
satu orang perempuan ini bukan
disebabkan karena anggota DPRD
mempertimbangkan
keterwakilan
perempuan, tetapi dipaksa oleh
faktor
pertimbangan
perwakilan
kursi.
Indikasi
lainnya
adalah
minimnya political will pihak DPRD
Kota
Bandar
Lampung
untuk
melibatkan organisasi masyarakat
sipil dalam prose penyusunan APBD.
Beberapa lembaga yang concern
dengan isu gender semisal DAMAR,
Lembaga Advokasi Anak (LADA),
Perhimpunan Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI), Lembaga Studi
Advokasi Perempuan dan Anak
(ELSAPA) jarang dilibatkan dalam
penyusunan anggaran publik. Tidak
adanya
aturan
formal
yang
mewajibkan pihak panitia anggaran
untuk melibatkan masyarakat sipil
menjadi latar belakang yang selalu
digunakan secara politis untuk
meminimalkan intervensi aktif dari
kelompok masyarakat dalam proses
penganggaran.
Fakta ini kemudian berimbas
pada total anggaran publik yang
dialokasikan untuk kebutuhan kaum
perempuan. Berdasarkan Tabel 6,
dari 95 kegiatan dan program yang
merumuskan perempuan sebagai
target sasarannya banyak dimiliki
oleh
instansi
yang
menangani
masalah kebutuhan dasar dan sosial.
Dinas
Pendidikan
dan
Dinas
Kesehatan merupakan dua instansi
yang menangani kebutuhan dasar
masyarakat,
dengan
demikian
cakupan luas yang termasuk di
dalamnya adalah pada kelompok
perempuan merupakan manifestasi
dari
kebutuhan-kebutuhan
yang
memang
juga
diperlukan
oleh
ISSN : 1410-8429
542
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.6, Januari-Juni 2009
kelompok tersebut. Demikian juga
dengan Dinas Sosial dan PP serta
Kantor Keluarga Berencana yang juga
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang
memang
berhubungan
dengan
fenomena-fenomena yang muncul
sebagai bagian dari interaksi sosial
antara sesama anggota masyarakat.
Pola
Kebijakan
dan
Program
Pemberdayaan
Perempuan
Pemerintah Kota Bandar Lampung
di Sektor Pendidikan
Dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah Kota Bandar
Lampung, pemberdayaan perempuan
termasuk ke dalam bagian isu
penegakan hukum dan perlindungan
sosial yang memiliki misi menegakan
supremasi hukum berdasarkan rasa
keadilan yang demokratis. Sebagai
sebuah rumusan tujuan, isu tersebut
masuk ke dalam point ketiga, yaitu
meningkatkan
pengarusutamaan
gender, kualitas hidup perempuan
dan perlindungan anak (lihat, Tabel
6). Sementara itu, sebagai uraian
masalah isu tersebut mencakup tiga
hal, yaitu (1). masih rendahnya
kualitas hidup dan peran perempuan
dalm pembangunan. (2). tingginya
tindak
kekerasan
terhadap
perempuan dan anak, dan (3). masih
rendahnya partisipasi masyarakat
terhadap pengarusutamaan gender
dan perlindungan anak.
Sementara itu sebagai rumusan
strategi terhadap masalah tersebut,
terumuskan tiga hal, yaitu: (1).
meningkatkan kualitas hidup, peran
dan
kedudukan
perempuan
diberbagai bidang kehidupan dan
pembangunan. (2). melindungi anak
terhadap berbagai bentuk kekerasan,
eksploitasi dan diskriminasi. (3).
memperkuat
kelembagaan
dan
jaringan pengarusutamaan gender
dan anak di berbagai bidang
pembangunan. Untuk lebih rincinya
dapat dilihat ke dalam Tabel 7.
ADMINISTRATIO
Sejujurnya, isu pemberdayaan
perempuan dalam RPJMD Kota
Bandar
Lampung
itu
belum
mengerucut dan fokus sebagai sebuah
isu yang berdiri sendiri dan dilihat
dari berbagai sudut pandang, tidak
hanya sekedar pencegahan sosial
atau penegakan melalui tindakan
hukum bagi yang mencederai para
perempuan.
Berdasarkan
data
yang
diperoleh, dapat diketahui bahwa
urusan
wajib
pemberdayaan
perempuan di Kota Bandar Lampung
pada tahun 2007 memiliki alokasi
anggaran sebesar Rp282.000.000 atau
0,14 persen dari Total APBD Kota
Bandar Lampung. Hal ini tentu saja
dipengaruhi kelembagaan satuan
perangkat yang menangani isu
perempuan yang setingkat bagian
(eselon III), bukan dinas/badan
(eselon II). Hal ini menunjukkan
bahwa pemberdayaan perempuan
belum menjadi salah satu sektor
prioritas Pemerintah Kota Bandar
Lampung.
Pola Penerimaan dan Pengeluaran
APBD Kota Bandar Lampung di
Sektor Pendidikan
DAU Banyak mendominasi porsi
masukan (input) anggaran daerah,
termasuk
juga
bagi
sektor
pendidikan. Pada tahun 2007, dari
jumlah dana DAU Kota Bandar
Lampung sebesar Rp464,191,000,000,
hampir 89.7 persen terserap untuk
sektor pendidikan. Tidak ada dana
DAK yang dialokasikan pada tahun
2007.
Sektor Pendidikan merupakan
prioritas
utama
dalam
alokasi
anggaran belanja. Jika dibandingkan
dengan jumlah total
anggaran
Pemerintah Kota Bandar Lampung
Tahun 2007 yang sebesar Rp.
651.487.547.706,
maka
proporsi
antara
alokasi
untuk
sektor
sendidikan
dengan
keseluruhan
alokasi anggaran yang sebesar
ISSN : 1410-8429
Alamsyah & Simon S, Apbd Kota Bandar Lampung: Milik Lelaki Atau Milik Perempuan?
39,06%. Jumlah proporsi yang besar
itu nampak besar bagi pengelolaan
sektor pendidikan.
Sementara
itu,
jumlah
pengeluaran dalam bentuk program
dan
kegiatan
dalam
sektor
pendidikan memiliki jumlah plafon
anggaran
sebesar
Rp.
47.500.000.000. Anggaran dengan
jumlah demikian digunakan untuk
membiayai enam program yang
menjadi prioritas dalam tahun
anggaran 2007. Dengan melihat
komposisi
tersebut,
dapat
disimpulkan bahwa sektor Pendidikan
masih menjadi prioritas utama dalam
alokasi anggaran belanja di Kota
Bandar Lampung tersebut.
Pola
Kebijakan
dan
Program
Pemerintah Kota Bandar Lampung
dalam Mempromosikan Keadilan
Gender di Sektor Pendidikan
Program-program
yang
mempromosikan keadilan gender
tidak terintegrasi dalam kebijakan di
sektor pendidikan. Hal ini disebabkan
karena persoalan keadilan gender
masih
dipersepsikan
secara
konvensional dalam wujud upaya
perlindungan hukum dan sosialisasi
regulatif. Apabila dicermati, program
pertama Peningkatan Kualitas hidup
dan Perlindungan perempuan yang
memiliki dua jenis kegiatan yaitu; (1)
sosialisasi dan advokasi kelayakan
penghapusan Buta aksara Perempuan
dengan anggaran Rp. 78,365,000 dan
(2) fasilitasi upaya perlindungan
perempuan
terhadap
tindak
kekerasan
dengan
anggaran
113,566,150, maka tipe dan alokasi
anggaran tersebut memang lebih
diarahkan
kepada
upaya
kelembagaan dalam aspek preventif
dan fasilitatif.
Khusus pada kegiatan pertama
dalam program ini, diarahkan pada
upaya penghapusan buta aksara
perempuan. Kegiatan ini dirumuskan
ADMINISTRATIO
543
sebagai respon terhadap tingginya
tingkat buta aksara di Kota Bandar
Lampung. Berdasarkan data Dinas
Pendidikan Kota Bandar Lampung,
dari jumlah 1.538 penyandang buta
aksara, sekitar 60% nya adalah
kelompok perempuan.
Pada program kedua, yaitu
peningkatan
peran
serta
dan
kesetaraan
gender
dalam
pembangunan, memiliki dua kegiatan
berupa; (1) pendidikan dan pelatihan
peningkatan
peran
serta
dan
kesetaraan gender dengan anggaran
Rp. 75,000,000 dan (2) peningkatan
peran perempuan menuju keluarga
sehat dan sejahtera dengan anggaran
Rp.
124,980,000.
Khusus pada
program yang pertama kegiatan
dilakukan dalam bentuk pendidikan
dan pelatihan yang berupa untuk
memberikan stimulasi peningkatan
peran serta perempuan.
Meski dilakukan dalam bentuk
kegiatan
seperti
itu,
wujud
implementasi
dengan
alokasi
anggaran yang terumuskan itu, hanya
memunculkan jenis kegiatan periodik
yang belum tentu dapat dikontrol
keluaran dan implikasinya. Bentuk
tersebut
sekaligus
menunjukkan
bahwa
kegiatan
dalam
upaya
pemberdayaan perempuan masih
dipersepsikan secara konservatif dan
belum terwujudkan dalam bentuk
bentuk kegiatan inovatif yang mampu
memberikan keluaran dan implikasi
secara penuh kepada kelompok
perempuan di Kota Bandar Lampung.
Dampak Kebijakan dan Program
Pemerintah Kota Bandar Lampung
terhadap Keadilan Gender di Sektor
Pendidikan.
Dalam RPJMD Kota Bandar
Lampung ada enam kebijakan yang
dijabarkan
dalam
rangka
mewujudkan keadilan gender, yaitu:
peningkatan
kesadaran
hukum,
peningkatan
supremasi
hukum,
ISSN : 1410-8429
544
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.6, Januari-Juni 2009
peningkatan kehidupan politik dan
bermasyarakat yang demokratis,
peningkatan
pengarusutamaan
gender, peningkatan perlindungan
perempuan
dan
anak,
dan
peningkatan kualitas hidup anak. Dari
enam kebijakan umum tersebut,
terdapat dua kebijakan umum yang
berkaitan dengan pemberdayaan
perempuan,
yaitu
kebijakan
peningkatan
pengarusutamaan
gender dan peningkatan perlindungan
perempuan
dan
anak.
Kedua
kebijakan tersebut memiliki fokus
terhadap pemecahan permasalahan
perempuan secara khusus.
Berkaitan dengan hal tersebut,
dapat
dikatakan
bahwa
isu
pemberdayaan
perempuan
merupakan
masih
diidentifikasi
sebagai
upaya
pencegahan
(preventif)
dan
sebagai
usaha
represif (penegakan hukum) yang
dilakukan melalui program bersifat
kelembagaan. Isu pemberdayaan
perempuan dalam RPJMD Kota
Bandar
Lampung
itu
belum
mengerucut secara terfokus sebagai
sebuah isu yang berdiri sendiri dan
dilihat dari berbagai sudut pandang,
tidak hanya sekedar pencegahan
sosial atau penegakan melalui
tindakan
hukum
bagi
yang
mencederai para perempuan. Kondisi
di atas menyebabkan persoalan
gender yang bersembunyi di setiap
sektor tak tersentuh perubahan.
kepentingan perempuan di lembaga
pengambil keputusan, khususnya
dalam
kasus
penganggaran.
Kepentingan yang lebih menjadi
pertimbangan adalah keterwakilan
kursi atau suara di dalam DPRD
tersebut. Sehingga dapat dipahami
bahwa orientasi yang terwujud dalam
anggaran publik belum merefleksikan
kondisi/ kebutuhan perempuan yang
berkembang
dalam
dinamika
masyarakat.
Kondisi ini ditopang oleh
lemahnya keterlibatan organisasi
masyarakat sipil dalam proses formal
penganggaran publik akibat struktur
formal pengangaran yang tidak
secara tegas memberi ruang bagi
organisasi
masyarakat
untuk
mempengaruhi proses atau hasil dari
penganggaran yang dilakukan oleh
DPRD
Kota
Bandar
lampung.
Akibatnya,
partisipasi
organisasi
masyarakat sipil bersifat fluktuatif
dan hanya muncul dalam tahap-tahap
tertentu dalam proses penganggaran
APBD Kota Bandar Lampung.
Faktor kedua berkaitan dengan
persoalan kemampuan struktural
untuk
mengagregasi
dan
mengakomodasi
masukan-masukan
yang berbeda guna dimajukan
sebagai kebutuhan anggaran yang
prioritas. Persoalan kemampuan dari
masing-masing
instansi
untuk
membuka ruang partisipasi publik
belum dilihat sebagai potensi untuk
menguatkan daya dukung instansi
tersebut.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Proses Formulasi Anggaran Publik
yang Berperspektif Gender pada
Sektor Pendidikan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ada
dua
faktor
yang
mempengaruhi
proses
formulasi
anggaran publik yang berperspektif
gender di sektor pendidikan, yakni:
faktor struktural penganggaran dan
faktor interaksi dalam partisipasi.
Faktor pertama merujuk kepada
minimnya
persepsi
tentang
Ada beberapa kesimpulan yang
dihasilkan penelitian ini, yaitu: (1)
Pola penerimaan dan pengeluaran
(alokasi dan distribusi) APBD Kota
Bandar
Lampung
di
sektor
pendidikan, adalah; (a) DAU banyak
mendominasi
masukan
(input)
anggaran daerah, termasuk juga bagi
ADMINISTRATIO
ISSN : 1410-8429
Alamsyah & Simon S, Apbd Kota Bandar Lampung: Milik Lelaki Atau Milik Perempuan?
sektor
pendidikan;
(b)
sektor
pendidikan
merupakan
prioritas
utama dalam alokasi anggaran
belanja; (c) anggaran terbesar dalam
sektor ini adalah untuk pembiayaan
struktur; (2) Pola kebijakan dan
program Pemerintah Kota Bandar
Lampung
dalam
rangka
mempromosikan keadilan gender di
sektor pendidikan, adalah; (a)
program-program
yang
mempromosikan keadilan gender
tidak menjadi bagian implementatif
dari sektor pendidikan, namun
termasuk secara kelembagaan dalam
sektor tersendiri; (b) persoalan
keadilan gender masih dipersepsikan
secara konvensional dalam wujud
upaya perlindungan hukum dan
sosialiasi regulatif; (3) Dampak
kebijakan dan program Pemerintah
Kota Bandar Lampung tersebut
terhadap keadilan gender di sektor
pendidikan, adalah; (a) keadilan
gender tidak menjadi bagian integral
dalam
sektor
pendidikan;
(b)
persoalan gender masih menjadi
sesuatu yang kabur dalam aktivitas
sektor pendidikan; dan (4) Faktorfaktor yang mempengaruhi proses
formulasi anggaran publik yang
berperspektif gender pada sektor
pendidikan,
adalah
(a)
faktor
struktural penganggaran dan (b)
faktor interaksi dalam partisipasi.
Saran
Penelitian ini menyarakan agar:
(1)
Dalam
substansi
kebijakan
penganggaran yang dilakukan pada
Pemerintah Kota Bandar Lampung
perlu disinergikan antara sektor
Pendidikan dan Sektor Pemberdayaan
Perempuan. Rancangan programprogram yang memiliki substansi
dalam kedua aspek tersebut dapat
lebih mengembangkan implementasi
substansi
keseimbangan
gender
dalam
sektor
pendidikan;
(2)
Diperlukan adanya orientasi yang
ADMINISTRATIO
545
lebih bervariasi dalam penanganan
masalah
keseimbangan
gender,
wujud program-program dan kegiatan
yang lebih bersifat konservatif perlu
diarahkan kepada inovasi-inovasi
program dan kegiatan yang lebih
melingkupi substansi dan kontekstual
kesetaraan dan pemberdayaan dalam
anggaran yang peduli terhadap
gender; (3) Perlu adanya inisiatif
lokal dalam wujud kebijakan yang
memberikan ruang partisipatif secara
formal dalam proses penganggaran,
sehingga akomodasi kepentingan
perempuan dapat tersalurkan secara
utuh dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Balmori, Helena Hofbauer., 2003.
Gender and Budgets: Overview
Reports. London, Institute of
Development Studies.
Best,
Deborah L., 2001. Gender
Concepts:
Convergence
in
Cross-Cultural Research and
Methodologies, dalam CrossCultural Research, Vol. 35, No.
1, hal. 23-43.
Budlender, Debbie., & Hewitt, Guy.,
2003. Engendering Budgets: A
Practitioners’
Guide
toUnderstanding
and
Implementing
GenderResponsive Budgets. London,
the Commonwealth Secretariat.
Elson, Diane., 1999. Integrating
Gender Issues into National
Budgetary
Policies
and
Procedures within the Context
of Economic Reform: Some
Policy Options. London, the
Commonwealth Secretariat.
Elson,
Diane.,
2001.
Gender
Responsive Budget Initiatives:
Some Key Dimensions and
Practical Examples. Makalah
disampaikan dalam UNIFEMOECD-NORDIC
Council
ISSN : 1410-8429
546
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.6, Januari-Juni 2009
Conference
Responsive
dilaksanakan
di Brussels,
2001.
tentang Gender
Budgeting
yang
Pemerintah Belgia
16 – 17 Oktober
Mosse, Julia Cleves., 1996. Gender
dan Pembangunan. Jogjakarta,
Pustaka Pelajar dan Rifka
Annisa Women’s Crisis Center.
Risman, Barbara J., 2004. Gender As
A Social Structure: Theory
Wrestling with Activism, dalam
Gender & Society, Vol. 18, No.
4, hal. 429 – 450.
Sharp, Rhonda., 2003. Budgeting for
Equity:
Gender
Budget
Initiatives within a Framework
of
Performance
Oriented
Budgeting. New York, UNIFEM.
Sugiyama, Natasha Borges., 2002.
Gendered Budget Work in the
Americas: Selected Country
Experiences. Texas, University
Texas at Austin.
ADMINISTRATIO
Suparmoko, M., 2000. Keuangan
Negara: Teori dan Praktek.
Jogjakarta, Badan Penerbit
Fakultas Ekonomi UGM.
The
Economist, 2004. Guide to
Economic Indicators: Making
Sense of Economics. London,
Hamish Hamilton, Ltd.
UNDP, 2003. Gender Responsive
Budgeting Initiative Project in
Pakistan. Islamabad, UNDP.
UNDP, 2006. Human Development
Report 2006. Washington, D.C.,
UNDP.
Wehner, Joachim., dan Byanyima,
Winnie MP., 2004. Parliament,
the Budget and Gender. New
York, Inter-Parliamentary Union
(IPU), United Nations
Development Programme
(UNDP), World Bank Institute
(WBI), dan United Nations Fund
for Women (UNFW).
ISSN : 1410-8429
Download