APBD KOTA BANDAR LAMPUNG: MILIK LELAKI ATAU MILIK PEREMPUAN? Alamsyah Staf Pengajar Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Lampung Simon S. Hutagalung Staf Pengajar Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Lampung ABSTRACT Public budget (APBD) is one of the public policy instrument which posses by state to alocating, distributing, and stabilizing resources among peoples. Through fiscal policy, state is continuing to determined who is get what and how every year. It is very interesting to analyze public budget from gender budgeting analysis point of view. Based on this approache, this project want to analyze public budget in Bandar Lampung Municipality, specifically in education sector. We find that APBD is still discriminatif towards gender issues. There is not gender mainstreaming issues in policy education. Keywords: public budget, gender-budgeting analysis, education policy PENDAHULUAN pendidikan, ada beberapa hasil kajian yang dapat memperkuat argumen ini, misalnya Filmer (1999), Glick, Saha, dan Younger (204), Demer, et.al (1995). Di Indonesia, warga negara yang berjenis kelamin perempuan juga nampaknya menjadi warga negara kelas dua. Mengacu kepada temuan Human Development Report 2006 (UNDP, 2006:365), meskipun angka harapan hidup perempuan (69.2) lebih tinggi daripada laki-laki (65.3), tetapi proporsi perempuan (86.8) yang dapat membaca dan menulis lebih rendah daripada lakilaki (94.0). Kecenderungan ini juga terjadi pada jumlah laki-laki (70) dan perempuan (69) yang menyelesaikan pendidikan dasar (SD, SMP, dan SMU). Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan ketika dijelaskan melalui variabel pendapatan. Pendapatan rata-rata warga negara yang berjenis kelamin laki-laki mencapai US$4,963 sedangkan warga negara yang berjenis kelamin perempuan hanya mencapai US$2,257. Padahal proporsi Negara memiliki fungsi alokasi, distibusi dan stabilisasi yang diarahkan bagi kepentingan seluruh warga negaranya. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, negara wajib memperlakukan seluruh warga negaranya secara sama dan tidak diskriminatif dengan alasan apapun. Namun yang terjadi pada masa lalu adalah berkembanganya praktikpraktik diskriminatif yang berlaku dalam berbagai sektor pelayanan publik. Diskriminasi yang paling tradisional adalah diskriminasi gender. Praktik-praktik diskriminatif tersebut terserap secara struktural dan kultural. Dalam konteks struktural artinya praktik-praktik tersebut sudah menjadi bagian dari mekanisme, pola dan produk yang dihasilkan oleh pengelolaan negara. Sementara secara kultural artinya praktik-praktik tersebut sudah menjadi acuan pikir, sikap dan tindakan pihak-pihak yang terlibat dalam bernegara. Di sektor 537 538 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.6, Januari-Juni 2009 perempuan yang terlibat dalam aktivitas ekonomi produktif nonpertanian lebih tinggi, yakni 57.7 persen atau 60 persen dari total lakilaki yang bekerja di sektor nonpertanian. Bahkan jam kerja perempuan (6 jam 38 menit) lebih tinggi daripada jam kerja laki-laki (6 jam 6 menit). Pada sektor politik, proporsi perempuan yang menduduki kursi parlemen pada tahun 2005 hanya berjumlah 11.3 persen dan perempuan yang menduduki jabatan setingkat menteri hanya berjumlah 10.8 persen. Meskipun keterlibatan perempuan dalam politik sudah ada sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tetapi baru pada tahun 1950 warga negara berjenis kelamin perempuan diangkat sebagai anggota parlemen (periode Demokrasi Terpimpin). Uraian di atas sebetulnya hanya menggambarkan isu-isu besar persoalan gender secara umum dan secara khusus di Indonesia. Di balik angka-angka itu, ada banyak persoalan mikro perempuan yang belum terselesaikan. Mulai dari persoalan hak reproduksi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, persoalan tenaga kerja wanita, akses terhadap pendidikan dan kesehatan, dan sebagainya. Oleh karena itu, konsepsi Millenium Development Goals (MDGs) yang meletak isu keadilan gender dan pemberdayaan perempuan (goals 3: promote gender equality and empower women) sangat relevan dengan situasi dan kondisi yang terjadi di Tanah Air. Persoalannya adalah bagaimana mewujudkan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan tersebut sehingga konsep ini tidak hanya mengambang di awang-awang, tetapi dirasakan manfaatnya oleh kaum perempuan yang tinggal di desa-desa, kaum perempuan yang bekerja sebagai buruh pertanian, kaum ADMINISTRATIO perempuan yang memiliki beragam keterbatasan. Salah satu instrumen kebijakan politik yang sangat vital dan strategis dalam rangka mendorong isu keadilan gender dan pemberdayaan perempuan adalah Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Melalui instrumen anggaran, institusi pemerintah mengalokasikan dan mendistribusikan sumberdaya ke setiap sektor pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan warga negaranya, baik warga negara berjenis kelamin perempuan maupun warga negara berjenis kelamin perempuan. Anggaran publik diformulasikan melalui interaksi politik antara legislatif dan eksekutif plus birokrasi publik. Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana sesungguhnya wajah anggaran publik ketika ia diformulasikan oleh mayoritas kaum laki-laki dan hanya 11.3 persen (data parlemen nasional) perempuan yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran. Adakah anggaran publik tersebut berpihak dengan kepentingan dan kebutuhan kaum perempuan? Apakah kebiasaan kaum laki-laki di lembaga legislatif yang selalu berinteraksi dengan kaum perempuan (ibu, isteri, anak, teman, saudara) memiliki kontribusi positif terhadap anggaran publik yang berpihak kepada kaum perempuan?. Persoalan-persoalan inilah yang ingin dijawab penelitian ini. Pilihan terhadap sektor pendidikan didasari atas pertimbangan bahwa (a) sektor pendidikan merupakan sektor yang diprioritaskan dalam MDG’s karena bersentuhan dengan hak sosialekonomi (ecosoc right) warga negara; (b) sektor pendidikan paling banyak mempekerjakan kaum perempuan, terutama guru, dan melibatkan perempuan sebagai siswa; (c) sektor pendidikan bersentuhan langsung ISSN : 1410-8429 Alamsyah & Simon S, Apbd Kota Bandar Lampung: Milik Lelaki Atau Milik Perempuan? dengan persoalan-persoalan krusial kaum perempuan (misalnya isu angka putus sekolah); (d) secara normatif, konstitusi mengamanahkan agar APBD daerah menganggarkan minimal 20 persen dari total dana APBD untuk penyelenggaraan desentralisasi pendidikan di daerah. Dengan mengambil Kota Bandar Lampung sebagai situs analisa maka penelitian ini direncanakan akan membahas beberapa permasalahan tersebut. Kota Bandar Lampung dipilih karena beberapa hal, diantaranya; (1). Secara demografis kota Bandar Lampung memiliki komposisi penduduk berdasarkan gender yang tidak timpang. Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan masih dalam jumlah yang tidak terlalu jauh berbeda. (2). Secara sosial ekonomi Kota Bandar Lampung memiliki tingkat kesejahteraan sosial yang lebih baik dibandingkan daerah lainnya di Propinsi Lampung. Konsekuensinya adalah tingkat kemampuan masyarakatnya untuk mengakses sekolah akan nampak lebih variatif. (3). Berdasarkan distribusi infrastruktur, kota Bandar Lampung memiliki cakupan infrastruktur pendidikan yang lebih baik. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat di rumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut; (a) bagaimana pola penerimaan dan pengeluaran (alokasi dan distribusi) APBD Kota Bandar Lampung di sektor pendidikan?; (b) bagaimana pola kebijakan dan program Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam rangka mempromosikan keadilan gender di sektor pendidikan? (c) bagaimana dampak kebijakan dan program Pemerintah Kota Bandar Lampung tersebut terhadap keadilan gender di sektor pendidikan?; (d) faktor-faktor apa yang mempengaruhi proses formulasi anggaran publik yang ADMINISTRATIO 539 berperspektif gender pada sektor pendidikan? Penelitian ini bertujuan untuk: (a) menganalisa pola penerimaan dan pengeluaran (alokasi dan distribusi) APBD Kota Bandar Lampung di sektor pendidikan; (b) mendeskripsikan pola kebijakan dan program Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam rangka mempromosikan keadilan gender di sektor pendidikan; (c) menganalisa dampak kebijakan dan program Pemerintah Kota Bandar Lampung tersebut terhadap keadilan gender di sektor pendidikan; (d) menganalisa faktor-faktor apa yang mempengaruhi proses formulasi anggaran publik yang berperspektif gender pada sektor pendidikan; METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif. Data primer penelitian berasal dari penyebaran instrumen penelitian terhadap informan dan data Susenas Kota Bandar Lampung terbaru yang dimiliki BPS Kota Bandar Lampung. Data sekunder penelitian berasal dari publikasi yang diterbitkan lembaga pemerintah, kliping koran, berita majalah, informasi di situs web, dan sebagainya. Jumlah sampel penelitian adalah sebagai berikut: Walikota Bandar Lampung, Panitia Anggaran Eksekutif, Panitia Anggaran Legislatif, Kepala Dinas Pendidikan, 2 (dua) orang kepala sekolah SD, SMP, dan SMU 1 (satu) orang Ketua Komite Sekolah SD, SMP, SMU, 1 (satu) organisasi kepemudaan perempuan, 1 (satu) organisasi kemasyarakatan perempuan, 1 (satu) LSM yang concern dengan isu gender. Data akan dianalisa dengan teknik analisis yang biasa digunakan dalam khazanah anggaran berbasis gender seperti gender-spesific expenditure, equal employment ISSN : 1410-8429 540 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.6, Januari-Juni 2009 opportunities in the public sector, public expenditure incidence analysis, gender mainstreaming, gender-aware policy appraisal, women’s budget statement (Elson, 1999) juga akan digunakan untuk mempertajam analisis penelitian. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah individu. HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Keadilan Gender di Sektor Pendidikan Sektor pendidikan di Kota Bandar Lampung sedang menuju proses berkeadilan gender. Indikasinya, distribusi guru pada jenjang SD, SMP, SMA menurut kualifikasi pendidikan belum merata (lihat, Tabel 1). Hal ini tentu saja akan mempengaruhi proses belajar mengajar di sekolah. Meskipun jumlah kepala sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di Kota Bandar Lampung lebih banyak memiliki latar belakang jenis kelamin perempuan mencapai 60,9% (lihat, Tabel 2), keterlibatan perempuan dalam komite sekolah belum maksimal. Hal ini disebabkan karena faktor kelembagaan yang memiliki kepentingan spesifik dan juga dikarenakan inisiatif dari perempuan itu sendiri terhadap orientasi partisipatif dalam kegiatan-kegiatan seperti dalam Komite Sekolah tersebut. Sementara itu, dari sisi partisipasi laki-laki dan perempuan dalam pendidikan dasar (lihat, Tabel 3), keduanya cenderung sama. Untuk tingkat SD, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk bersekolah pada jenjang ini. Di SMP dan SMA, partisipasi siswa perempuan lebih tinggi ketimbang siswa laki-laki. Hal ini disebabkan, menurut phak Dinas Pendidikan Pemkota Bandar Lampung, karena jumlah penduduk usia sekolah lebih ADMINISTRATIO banyak berjenis kelamin perempuan. Sehingga pada tingkat pendidikan dasar, jumlah siswa perempuan relatif lebih banyak dibandingkan siswa laki-laki. Jika dilihat dari peruntukan dana BOS di Kota Bandar Lampung terkategori ke dalam tiga pola. Pertama, Dana BOS digunakan secara tepat dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dalam panduan program tersebut. Kedua, Dana BOS digunakan sebagai dana pengganti dari kegiatan-kegiatan sekolah yang bersumber dari dana BOS yang belum turun pada saat kegiatan-kegiatan BOS dilaksanakan. Ketiga, Dana BOS digunakan secara terfokus pada suatu peruntukkan tertentu berdasarkan prioritas yang dirumuskan pada tingkat sekolah. Tidak diketemukan fakta bahwa implementasi dana BOS ini bias gender. Meskipun begitu, ini juga tidak berarti bahwa dana BOS sudah sejalan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender. Indikasi lain adalah soal jam mengajar guru laki-laki dan perempuan. Secara menyeluruh, jumlah jam mengajar guru baik itu laki-laki atau perempuan di Kota Bandar Lampung belum terdistribusi secara merata. Ini didasari oleh latar belakang profesionalisme guru yang muncul berbeda pada masing-masing guru, bukan karena latar belakang gender. Dalam beberapa kasus, perbedaan tersebut bisa terjadi akibat kondisi guru perempuan itu sendiri yang memang memiliki peran dalam keluarganya masing-masing. Peran perempuan sebagai bagian dari rumah tangga adalah sesuatu yang tidak bisa dikompromikan sekaligus menjadi faktor yang sangat mempengaruhi pertimbangan dalam aktivitas kerja masing-masing guru tersebut. Dengan latar yang demikian, maka sering kali dipahami ketika adanya permintaan akan jam mengajar yang berbeda antara guru ISSN : 1410-8429 Alamsyah & Simon S, Apbd Kota Bandar Lampung: Milik Lelaki Atau Milik Perempuan? laki-laki dan guru perempuan di sekolah-sekolah. Tidak hanya itu, aturan-aturan yang dibuat pihak juga sudah mengakomodir kepentingan khusus jenis kelamin. Berdasarkan Tabel 4, hasil identifikasi terhadap beberapa sekolah seperti SMKN 3 Bandar Lampung, SMPN 4 Bandar Lampung dan SMAN 3 Bandar Lampung diketahui bahwa tata tertib yang dimiliki oleh mereka tidak menunjukkan adanya diskriminasi terhadap siswa perempuan, bahkan antara siswa perempuan yang berjilbab dan tidak berjilbab memiliki aturan yang mengakomodasi kondisi dan kebutuhan keduanya. Tidak hanya dalam hal tata tertib, kebijakan khusus yang juga akomodatif terhadap perempuan dapat dilihat dari penyediaan fasilitas yang baik bagi siswi di sekolah, misalnya dengan penyediaan toilet/ WC yang terpisah peruntukkannya dengan siswa laki-laki. Hampir seluruh sekolah telah memiliki perhatian yang baik dalam penyediaan fasilitas ini. Adanya pendanaan yang baik mendorong pihak sekolah menyediakan fasilitas kebersihan yang lebih baik, termasuk adanya fasilitas kebersihan khusus untuk siswa perempuan. Kondisi di atas juga ditopang oleh proses keputusan di sekolah telah demikian terbuka dan memberikan ruang tumbuhnya demokrasi dan partisipasi, termasuk juga adalah suasana dinamis dan konflik yang menyertainya. Kondisi sekolah yang demikian, menghasilkan proses keputusan yang mengedepankan keterwakilan peran dari elemen-elemen penyelenggara sekolah, sehingga tiap keputusan yang dihasilkan akan memiliki tingkat akomodasi yang baik. Pengarusutamaan Gender dalam Proses Formulasi Anggaran Publik ADMINISTRATIO 541 Pengarusutamaan gender dalam proses formulasi anggaran publik masih sangat rendah. Ini disebabkan fakta bahwa panitia anggaran legislatif hanya mengakomodir 1 (satu) orang perempuan sebagai anggota panitia anggaran. Masuknya satu orang perempuan ini bukan disebabkan karena anggota DPRD mempertimbangkan keterwakilan perempuan, tetapi dipaksa oleh faktor pertimbangan perwakilan kursi. Indikasi lainnya adalah minimnya political will pihak DPRD Kota Bandar Lampung untuk melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam prose penyusunan APBD. Beberapa lembaga yang concern dengan isu gender semisal DAMAR, Lembaga Advokasi Anak (LADA), Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Lembaga Studi Advokasi Perempuan dan Anak (ELSAPA) jarang dilibatkan dalam penyusunan anggaran publik. Tidak adanya aturan formal yang mewajibkan pihak panitia anggaran untuk melibatkan masyarakat sipil menjadi latar belakang yang selalu digunakan secara politis untuk meminimalkan intervensi aktif dari kelompok masyarakat dalam proses penganggaran. Fakta ini kemudian berimbas pada total anggaran publik yang dialokasikan untuk kebutuhan kaum perempuan. Berdasarkan Tabel 6, dari 95 kegiatan dan program yang merumuskan perempuan sebagai target sasarannya banyak dimiliki oleh instansi yang menangani masalah kebutuhan dasar dan sosial. Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan merupakan dua instansi yang menangani kebutuhan dasar masyarakat, dengan demikian cakupan luas yang termasuk di dalamnya adalah pada kelompok perempuan merupakan manifestasi dari kebutuhan-kebutuhan yang memang juga diperlukan oleh ISSN : 1410-8429 542 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.6, Januari-Juni 2009 kelompok tersebut. Demikian juga dengan Dinas Sosial dan PP serta Kantor Keluarga Berencana yang juga melaksanakan kegiatan-kegiatan yang memang berhubungan dengan fenomena-fenomena yang muncul sebagai bagian dari interaksi sosial antara sesama anggota masyarakat. Pola Kebijakan dan Program Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Kota Bandar Lampung di Sektor Pendidikan Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Bandar Lampung, pemberdayaan perempuan termasuk ke dalam bagian isu penegakan hukum dan perlindungan sosial yang memiliki misi menegakan supremasi hukum berdasarkan rasa keadilan yang demokratis. Sebagai sebuah rumusan tujuan, isu tersebut masuk ke dalam point ketiga, yaitu meningkatkan pengarusutamaan gender, kualitas hidup perempuan dan perlindungan anak (lihat, Tabel 6). Sementara itu, sebagai uraian masalah isu tersebut mencakup tiga hal, yaitu (1). masih rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan dalm pembangunan. (2). tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan (3). masih rendahnya partisipasi masyarakat terhadap pengarusutamaan gender dan perlindungan anak. Sementara itu sebagai rumusan strategi terhadap masalah tersebut, terumuskan tiga hal, yaitu: (1). meningkatkan kualitas hidup, peran dan kedudukan perempuan diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan. (2). melindungi anak terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. (3). memperkuat kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak di berbagai bidang pembangunan. Untuk lebih rincinya dapat dilihat ke dalam Tabel 7. ADMINISTRATIO Sejujurnya, isu pemberdayaan perempuan dalam RPJMD Kota Bandar Lampung itu belum mengerucut dan fokus sebagai sebuah isu yang berdiri sendiri dan dilihat dari berbagai sudut pandang, tidak hanya sekedar pencegahan sosial atau penegakan melalui tindakan hukum bagi yang mencederai para perempuan. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa urusan wajib pemberdayaan perempuan di Kota Bandar Lampung pada tahun 2007 memiliki alokasi anggaran sebesar Rp282.000.000 atau 0,14 persen dari Total APBD Kota Bandar Lampung. Hal ini tentu saja dipengaruhi kelembagaan satuan perangkat yang menangani isu perempuan yang setingkat bagian (eselon III), bukan dinas/badan (eselon II). Hal ini menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan belum menjadi salah satu sektor prioritas Pemerintah Kota Bandar Lampung. Pola Penerimaan dan Pengeluaran APBD Kota Bandar Lampung di Sektor Pendidikan DAU Banyak mendominasi porsi masukan (input) anggaran daerah, termasuk juga bagi sektor pendidikan. Pada tahun 2007, dari jumlah dana DAU Kota Bandar Lampung sebesar Rp464,191,000,000, hampir 89.7 persen terserap untuk sektor pendidikan. Tidak ada dana DAK yang dialokasikan pada tahun 2007. Sektor Pendidikan merupakan prioritas utama dalam alokasi anggaran belanja. Jika dibandingkan dengan jumlah total anggaran Pemerintah Kota Bandar Lampung Tahun 2007 yang sebesar Rp. 651.487.547.706, maka proporsi antara alokasi untuk sektor sendidikan dengan keseluruhan alokasi anggaran yang sebesar ISSN : 1410-8429 Alamsyah & Simon S, Apbd Kota Bandar Lampung: Milik Lelaki Atau Milik Perempuan? 39,06%. Jumlah proporsi yang besar itu nampak besar bagi pengelolaan sektor pendidikan. Sementara itu, jumlah pengeluaran dalam bentuk program dan kegiatan dalam sektor pendidikan memiliki jumlah plafon anggaran sebesar Rp. 47.500.000.000. Anggaran dengan jumlah demikian digunakan untuk membiayai enam program yang menjadi prioritas dalam tahun anggaran 2007. Dengan melihat komposisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sektor Pendidikan masih menjadi prioritas utama dalam alokasi anggaran belanja di Kota Bandar Lampung tersebut. Pola Kebijakan dan Program Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam Mempromosikan Keadilan Gender di Sektor Pendidikan Program-program yang mempromosikan keadilan gender tidak terintegrasi dalam kebijakan di sektor pendidikan. Hal ini disebabkan karena persoalan keadilan gender masih dipersepsikan secara konvensional dalam wujud upaya perlindungan hukum dan sosialisasi regulatif. Apabila dicermati, program pertama Peningkatan Kualitas hidup dan Perlindungan perempuan yang memiliki dua jenis kegiatan yaitu; (1) sosialisasi dan advokasi kelayakan penghapusan Buta aksara Perempuan dengan anggaran Rp. 78,365,000 dan (2) fasilitasi upaya perlindungan perempuan terhadap tindak kekerasan dengan anggaran 113,566,150, maka tipe dan alokasi anggaran tersebut memang lebih diarahkan kepada upaya kelembagaan dalam aspek preventif dan fasilitatif. Khusus pada kegiatan pertama dalam program ini, diarahkan pada upaya penghapusan buta aksara perempuan. Kegiatan ini dirumuskan ADMINISTRATIO 543 sebagai respon terhadap tingginya tingkat buta aksara di Kota Bandar Lampung. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung, dari jumlah 1.538 penyandang buta aksara, sekitar 60% nya adalah kelompok perempuan. Pada program kedua, yaitu peningkatan peran serta dan kesetaraan gender dalam pembangunan, memiliki dua kegiatan berupa; (1) pendidikan dan pelatihan peningkatan peran serta dan kesetaraan gender dengan anggaran Rp. 75,000,000 dan (2) peningkatan peran perempuan menuju keluarga sehat dan sejahtera dengan anggaran Rp. 124,980,000. Khusus pada program yang pertama kegiatan dilakukan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan yang berupa untuk memberikan stimulasi peningkatan peran serta perempuan. Meski dilakukan dalam bentuk kegiatan seperti itu, wujud implementasi dengan alokasi anggaran yang terumuskan itu, hanya memunculkan jenis kegiatan periodik yang belum tentu dapat dikontrol keluaran dan implikasinya. Bentuk tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kegiatan dalam upaya pemberdayaan perempuan masih dipersepsikan secara konservatif dan belum terwujudkan dalam bentuk bentuk kegiatan inovatif yang mampu memberikan keluaran dan implikasi secara penuh kepada kelompok perempuan di Kota Bandar Lampung. Dampak Kebijakan dan Program Pemerintah Kota Bandar Lampung terhadap Keadilan Gender di Sektor Pendidikan. Dalam RPJMD Kota Bandar Lampung ada enam kebijakan yang dijabarkan dalam rangka mewujudkan keadilan gender, yaitu: peningkatan kesadaran hukum, peningkatan supremasi hukum, ISSN : 1410-8429 544 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.6, Januari-Juni 2009 peningkatan kehidupan politik dan bermasyarakat yang demokratis, peningkatan pengarusutamaan gender, peningkatan perlindungan perempuan dan anak, dan peningkatan kualitas hidup anak. Dari enam kebijakan umum tersebut, terdapat dua kebijakan umum yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan, yaitu kebijakan peningkatan pengarusutamaan gender dan peningkatan perlindungan perempuan dan anak. Kedua kebijakan tersebut memiliki fokus terhadap pemecahan permasalahan perempuan secara khusus. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa isu pemberdayaan perempuan merupakan masih diidentifikasi sebagai upaya pencegahan (preventif) dan sebagai usaha represif (penegakan hukum) yang dilakukan melalui program bersifat kelembagaan. Isu pemberdayaan perempuan dalam RPJMD Kota Bandar Lampung itu belum mengerucut secara terfokus sebagai sebuah isu yang berdiri sendiri dan dilihat dari berbagai sudut pandang, tidak hanya sekedar pencegahan sosial atau penegakan melalui tindakan hukum bagi yang mencederai para perempuan. Kondisi di atas menyebabkan persoalan gender yang bersembunyi di setiap sektor tak tersentuh perubahan. kepentingan perempuan di lembaga pengambil keputusan, khususnya dalam kasus penganggaran. Kepentingan yang lebih menjadi pertimbangan adalah keterwakilan kursi atau suara di dalam DPRD tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa orientasi yang terwujud dalam anggaran publik belum merefleksikan kondisi/ kebutuhan perempuan yang berkembang dalam dinamika masyarakat. Kondisi ini ditopang oleh lemahnya keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam proses formal penganggaran publik akibat struktur formal pengangaran yang tidak secara tegas memberi ruang bagi organisasi masyarakat untuk mempengaruhi proses atau hasil dari penganggaran yang dilakukan oleh DPRD Kota Bandar lampung. Akibatnya, partisipasi organisasi masyarakat sipil bersifat fluktuatif dan hanya muncul dalam tahap-tahap tertentu dalam proses penganggaran APBD Kota Bandar Lampung. Faktor kedua berkaitan dengan persoalan kemampuan struktural untuk mengagregasi dan mengakomodasi masukan-masukan yang berbeda guna dimajukan sebagai kebutuhan anggaran yang prioritas. Persoalan kemampuan dari masing-masing instansi untuk membuka ruang partisipasi publik belum dilihat sebagai potensi untuk menguatkan daya dukung instansi tersebut. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Formulasi Anggaran Publik yang Berperspektif Gender pada Sektor Pendidikan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ada dua faktor yang mempengaruhi proses formulasi anggaran publik yang berperspektif gender di sektor pendidikan, yakni: faktor struktural penganggaran dan faktor interaksi dalam partisipasi. Faktor pertama merujuk kepada minimnya persepsi tentang Ada beberapa kesimpulan yang dihasilkan penelitian ini, yaitu: (1) Pola penerimaan dan pengeluaran (alokasi dan distribusi) APBD Kota Bandar Lampung di sektor pendidikan, adalah; (a) DAU banyak mendominasi masukan (input) anggaran daerah, termasuk juga bagi ADMINISTRATIO ISSN : 1410-8429 Alamsyah & Simon S, Apbd Kota Bandar Lampung: Milik Lelaki Atau Milik Perempuan? sektor pendidikan; (b) sektor pendidikan merupakan prioritas utama dalam alokasi anggaran belanja; (c) anggaran terbesar dalam sektor ini adalah untuk pembiayaan struktur; (2) Pola kebijakan dan program Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam rangka mempromosikan keadilan gender di sektor pendidikan, adalah; (a) program-program yang mempromosikan keadilan gender tidak menjadi bagian implementatif dari sektor pendidikan, namun termasuk secara kelembagaan dalam sektor tersendiri; (b) persoalan keadilan gender masih dipersepsikan secara konvensional dalam wujud upaya perlindungan hukum dan sosialiasi regulatif; (3) Dampak kebijakan dan program Pemerintah Kota Bandar Lampung tersebut terhadap keadilan gender di sektor pendidikan, adalah; (a) keadilan gender tidak menjadi bagian integral dalam sektor pendidikan; (b) persoalan gender masih menjadi sesuatu yang kabur dalam aktivitas sektor pendidikan; dan (4) Faktorfaktor yang mempengaruhi proses formulasi anggaran publik yang berperspektif gender pada sektor pendidikan, adalah (a) faktor struktural penganggaran dan (b) faktor interaksi dalam partisipasi. Saran Penelitian ini menyarakan agar: (1) Dalam substansi kebijakan penganggaran yang dilakukan pada Pemerintah Kota Bandar Lampung perlu disinergikan antara sektor Pendidikan dan Sektor Pemberdayaan Perempuan. Rancangan programprogram yang memiliki substansi dalam kedua aspek tersebut dapat lebih mengembangkan implementasi substansi keseimbangan gender dalam sektor pendidikan; (2) Diperlukan adanya orientasi yang ADMINISTRATIO 545 lebih bervariasi dalam penanganan masalah keseimbangan gender, wujud program-program dan kegiatan yang lebih bersifat konservatif perlu diarahkan kepada inovasi-inovasi program dan kegiatan yang lebih melingkupi substansi dan kontekstual kesetaraan dan pemberdayaan dalam anggaran yang peduli terhadap gender; (3) Perlu adanya inisiatif lokal dalam wujud kebijakan yang memberikan ruang partisipatif secara formal dalam proses penganggaran, sehingga akomodasi kepentingan perempuan dapat tersalurkan secara utuh dan berkelanjutan. Daftar Pustaka Balmori, Helena Hofbauer., 2003. Gender and Budgets: Overview Reports. London, Institute of Development Studies. Best, Deborah L., 2001. Gender Concepts: Convergence in Cross-Cultural Research and Methodologies, dalam CrossCultural Research, Vol. 35, No. 1, hal. 23-43. Budlender, Debbie., & Hewitt, Guy., 2003. Engendering Budgets: A Practitioners’ Guide toUnderstanding and Implementing GenderResponsive Budgets. London, the Commonwealth Secretariat. Elson, Diane., 1999. Integrating Gender Issues into National Budgetary Policies and Procedures within the Context of Economic Reform: Some Policy Options. London, the Commonwealth Secretariat. Elson, Diane., 2001. Gender Responsive Budget Initiatives: Some Key Dimensions and Practical Examples. Makalah disampaikan dalam UNIFEMOECD-NORDIC Council ISSN : 1410-8429 546 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.3, No.6, Januari-Juni 2009 Conference Responsive dilaksanakan di Brussels, 2001. tentang Gender Budgeting yang Pemerintah Belgia 16 – 17 Oktober Mosse, Julia Cleves., 1996. Gender dan Pembangunan. Jogjakarta, Pustaka Pelajar dan Rifka Annisa Women’s Crisis Center. Risman, Barbara J., 2004. Gender As A Social Structure: Theory Wrestling with Activism, dalam Gender & Society, Vol. 18, No. 4, hal. 429 – 450. Sharp, Rhonda., 2003. Budgeting for Equity: Gender Budget Initiatives within a Framework of Performance Oriented Budgeting. New York, UNIFEM. Sugiyama, Natasha Borges., 2002. Gendered Budget Work in the Americas: Selected Country Experiences. Texas, University Texas at Austin. ADMINISTRATIO Suparmoko, M., 2000. Keuangan Negara: Teori dan Praktek. Jogjakarta, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM. The Economist, 2004. Guide to Economic Indicators: Making Sense of Economics. London, Hamish Hamilton, Ltd. UNDP, 2003. Gender Responsive Budgeting Initiative Project in Pakistan. Islamabad, UNDP. UNDP, 2006. Human Development Report 2006. Washington, D.C., UNDP. Wehner, Joachim., dan Byanyima, Winnie MP., 2004. Parliament, the Budget and Gender. New York, Inter-Parliamentary Union (IPU), United Nations Development Programme (UNDP), World Bank Institute (WBI), dan United Nations Fund for Women (UNFW). ISSN : 1410-8429