ii. tinjauan pustaka

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TEPUNG BERAS
Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar
butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi utama yaitu amilosa
dan amilopektin. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dibagi menjadi empat bagian yaitu
beras ketan (1-2%), beras beramilosa rendah (9-20%), beras beramilosa sedang (20-25%) dan
beras beramilosa tinggi (25-33%) (Winarno 1997).
Beras beramilosa rendah (9-20%) cocok untuk pembuatan makanan bayi, makanan sarapan,
dan makanan selingan, karena sifat gelnya yang lunak. Pembuatan roti dari tepung beras atau
campuran tepung beras dan terigu (30:70) menggunakan beras dengan kadar amilosa rendah, suhu
gelatinisasi rendah, dan viskositas gel yang rendah akan menghasilkan roti yang baik. Beras yang
mengandung kadar amilosa sedang sampai tinggi (20-27%) dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan beras pratanak dalam kaleng dan sup nasi dalam kaleng. Beras beramilosa tinggi dapat
digunakan sebagai bahan bakupembuatan bihun. Beras jenis ini mempunyai stabilitas dan daya
tahan untuk tetap utuh dalam pemanasan tinggi, serta mempunyai sifat retrogradasi yang kuat,
sehingga setelah dingin pasta yang terbentuk menjadi kuat, tidak mudah hancur atau remuk (Siwi
& Damardjati 1986). Tepung beras diperoleh dari penggilingan atau penumbukan beras dari
tanaman padi (Oryza sativa Linn). Spesifikasi persyaratan mutunya dapat dilihat pada Tabel 1.
Penggilingan butir beras ke dalam bentuk tepung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara
kering dan cara basah. Kedua cara ini pada prinsipnya berusaha memisahkan lembaga dari bagian
tepung. Tepung beras diklasifikasikan menjadi empat berdasarkan ukuran partikelnya, yaitu butir
halus (>10 mesh), tepung kasar atau bubuk (40 mesh), tepung agak halus (65-80 mesh), dan
tepung halus (≥ 100 mesh) (Hubeis 1984). Penggilingan beras menjadi bentuk tepung dapat
meningkatkan daya gunanya sebagai penyedia kebutuhan kalori dan protein bagi manusia, serta
bahan baku industri pangan, meskipun kandungan zat gizinya menjadi lebih rendah.
Ukuran partikel tepung beras juga berpengaruh terhadap sifat-sifat fungsionalnya. Tepung
yang mempunyai ukuran lebih halus mempunyai penyerapan air yang lebih tinggi. Kerusakan pati
pada tepung yang berukuran kasar lebih rendah daripada tepung halus. Tepung jenis ini lebih
banyak digunakan untuk pembuatan roti yang menggunakan bahan 100% tepung beras,
sedangkan tepung halus yang mengalami kerusakan pati yang lebih tinggi lebih disukai untuk
tepung campuran yang mengandung 36% tepung beras (Nishita & Bean 1982).
B. TEPUNG BERAS KETAN
Tepung beras ketan berasal dari penggilingan beras ketan putih (Oryza sativa glutinosa)
sampai mencapai ukuran granula yang diinginkan. Spesifikasi persyaratan mutunya dapat dilihat
pada Tabel 2. Komposisi kimia tepung beras ketan hampir sama dengan komposisi kimia beras
ketan utuh (Liu & Luh 1980). Suhu gelatinisasi tepung beras ketan biasanya berkisar antara 6878°C. Tepung beras ketan mempunyai kekentalan puncak pasta yang lebih rendah daripada
beberapa pasta tepung beras biji pendek, kemungkinan karena kegiatan amilolitiknya dan hampir
tidak mempunyai kekentalan balik sama sekali (Haryadi 2008).
3
Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu tepung beras menurut SNI 3549:2009 (BSN 2009)
No.
1.
1.1
1.2
1.3
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
11.1
11.2
11.3
12.
13.
13.1
13.2
13.3
12.3
Jenis Uji
Keadaan:
Bentuk
Bau
Warna
Benda-benda asing
Serangga (dalam bentuk setadia dan
potongan)
Jenis pati lain selain pati ketan
Kehalusan :
Lolos ayakan 80 mesh
Air
Abu
Residu SO2
Silikat
pH
Cemaran logam :
Timbal (Pb)
Kadmium (Cd)
Raksa (Hg)
Cemaran Arsen (As)
Cemaran mikroba:
Angka lempeng total
Escherichia Coli
Bacillus cereus
Kapang
Satuan
Persyaratan
-
Serbuk halus
Normal
Putih, khas tepung beras
Tidak boleh ada
Tidak boleh ada
-
Tidak boleh ada
% b/b
90
% b/b
% b/b
% b/b
-
Maksimum 13
Maksimum 1,0
Tidak boleh ada
Maksimum 0,1
5–7
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maksimum 0,3
Maksimum 0,4
Maksimum 0,05
Maksimum 0,5
Koloni/gram
APM/gram
Koloni/gram
Koloni/gram
Maksimum 1,0 x 106
Maksimum 10
Maksimum 1 x 104
Maksimum 1,0 x 102
Tepung beras ketan berbeda dengan tepung beras lainnya atau pati-pati lainnya dalam hal
ketahanan terhadap pelepasan air dari olahannya yang banyak mengandung air pada saat
pelelehan esnya dari penyimpanan beku (thawing). Tepung beras ketan dan patinya mempunyai
ciri paling baik diantara pati-pati dan tepung padian lainnya karena pastanya lebih tahan pada
perlakuan beku-leleh daripada tepung-tepung ataupun pati-pati lainnya. Perilaku ini kemungkinan
besar karena kandungan amilosanya yang sangat sedikit (Haryadi 2008). Deobald (1972)
menyatakan bahwa selain kandungan amilopektin yang meningkat, kestabilan tepung ketan
sebagai pengental juga disebabkan oleh penyimpangan struktur kimia atau oleh kecilnya ukuran
granula pati. Amilopektin merupakan molekul yang bercabang, sehingga molekul air yang terikat
padanya tidak mudah lepas. Hal ini menyebabkan stabilnya produk selama penyimpanan.
Ketan memiliki suhu gelatinisasi yang tidak jauh berbeda dengan beras. Suhu gelatinisasi
adalah suhu dimana granula pati mulai mengembang dalam air panas bersamaan dengan
hilangnya bentuk kristal dari pati tersebut. Juliano (1972) mengungkapkan bahwa suhu
gelatinisasi ketan berkisar antara 58-78.5ºC, sedangkan suhu gelatinisasi beras berkisar antara 5879ºC. Suhu gelatinisasi pati ketan ini juga berkorelasi dengan sifat konsistensi gelnya. Konsistensi
gel merupakan ukuran kecepatan relatif dari retrogradasi pada gel. Ketan memiliki kandungan
4
amilopektin lebih banyak dibandingkan dengan amilosanya. Kandungan amilosa ketan berkisar
antara 1-2%. Hal inilah yang menyebabkan ketan memiliki sifat lengket, tidak mengembang
dalam pemasakan, dan juga tetap lunak setelah dingin.
Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu tepung beras ketan menurutSNI 01-4447-1998 (BSN 1998)
No.
Jenis Uji
6.
7.
8.
9.
Keadaan:
Bau
Rasa
Warna
Benda-benda asing
Serangga (dalam bentuk setadia
potongan)
Jenis pati lain selain pati ketan
Kehalusan :
Lolos ayakan 60 mesh
Lolos ayakan 80 mesh
Air
Abu
Abu silikat
Serat kasar
10.
11.
Amilosa
Derajat asam
12.
13.
10.
10.1
10.2
10.3
10.4
11.
12.
12.1
12.2
12.3
Pengawet
Residu SO2
Cemaran logam :
Timbal (Pb)
Tembaga (Cu)
Seng (Zn)
Raksa (Hg)
Cemaran Arsen (As)
Cemaran mikroba:
Angka lempeng total
Escherichia Coli
Kapang dan Khamir
1.
1.1
1.2
1.3
2.
3.
4.
5.
dan
Satuan
Persyaratan
-
Normal
Normal, tidak berbau apek
Normal
Tidak boleh ada
Tidak boleh ada
-
Tidak boleh ada
% b/b
% b/b
% b/b
% b/b
% b/b
% b/b
99%
70%
Maksimum 12
Maksimum 1,0
Maksimum 0,2
Maksimum 0,2
% b/b
ml NaOH
1N/100g
-
Maksimum 9
Maksimum 4,0
Sesuai SNI 01-0222-1995
Sesuai SNI 01-0222-1995
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maksimum 1,0
Maksimum 10,0
Maksimum 40,0
Maksimum 0,05
Maksimum 0,5
Koloni/gram
APM/gram
Koloni/gram
Maksimum 1,0 x 106
Maksimum 10
Maksimum 1,0 x 102
C. AMILOSA DAN AMILOPEKTIN
Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama pati yang berperan sebagai rangka
struktur pati. Kedua molekul tersebut tersusun oleh beberapa unit glukosa yang saling berikatan.
Amilosa merupakan molekul linier polisakarida dengan ikatan α-1,4 dengan derajat polimerasi
(DP) beberapa ratus unit glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai struktur amilosa pada rantai
lurus dan juga memiliki konfigurasi bercabang yang terdapat pada setiap 20-25 residu glukosa
dengan ikatan α-1,6 (Whistler & Daniel 1984, diacu dalam Munarso 1998).
5
Amilosa memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen atau mengalami
retrogradasi. Semakin banyak amilosa pada pati akan membatasi pengembangan granula dan
mempertahankan integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat ikatan
intramolekulnya. Viskositas pasta amilosa memiliki hubungan linear dengan konsentrasi. Pada
selang konsentrasi amilosa 0-0.6%, peningkatan konsentrasi amilosa akan meningkatkan
viskositasnya (Ulyarti 1997).
Sifat amilosa yang penting jika dibandingkan dengan amilopektin adalah amilosa lebih
mudah keluar dari granula dan memiliki kemampuan untuk mudah berasosiasi dengan
sesamanya. Seperti pada umumnya polimer linear, amilosa mampu membentuk film dan serat
(fibers) dengan kekuatan mekanik yang tinggi sehingga memungkinkan untuk dipergunakan
sebagai pelapis makanan yang transparan sekaligus dapat dimakan (Ulyarti 1997).
Struktur cabang pada amilopektin merupakan salah satu hasil mekanisme enzim yang
memecah rantai linier yang panjang. Hasil pecahan berupa rantai-rantai pendek dengan 25 unit
glukosa yang kemudian bergabung membentuk struktur yang berantai banyak (Ulyarti 1997).
Derajat polimerasi amilopektin sangat bervariasi. Bila dibandingkan dengan amilosa yang hanya
memiliki derajat polimerisasi sebesar 500-2.000 unit glukosa yang berarti berat molekul
amilopektin ± 107 Dalton. Amilopektin merupakan komponen pati yang membentuk kristalinitas
granula pati. Viskositas pasta amilopektin akan meningkat apabila konsentrasinya dinaikkan (03%). Akan tetapi hubungan ini tidak linier sehingga diperkirakan terjadi interaksi atau pengikatan
secara acak diantara molekul-molekul cabang (Ulyarti 1997).
(a)
(b)
Gambar 1. Struktur kimia (a) amilosa dan (b) amilopektin
Amilopektin yang memiliki rantai cabang lebih panjang memiliki kecendrungan yang kuat
untuk membentuk gel. Adanya amilopektin pada pati akan mengurangi kecendrungan pati dalam
membentuk gel. Karakteristik seperti tekstur, viskositas, dan stabilitas dipengaruhi secara nyata
oleh kadar dan berat molekul amilosa dan amilopektin (Luallen 1988, diacu dalam Munarso
1998). Perbandingan amilosa dan amilopektin dapat menentukan tekstur (Winarno 1981).
6
D. PENGGORENGAN
Menggoreng adalah salah satu unit operasi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas
cerna (eating quality) dari makanan. Menggoreng juga merupakan proses pengawetan yang
diperoleh dari pemusnahan mikroba, perusakan enzim-enzim, dan pengurangan kadar air
(Fellows 2000). Berdasarkan prosesnya, menggoreng adalah perendaman dan pemasakan bahan
pangan dalam minyak panas dengan tujuan untuk memperoleh produk dengan karakteristik
warna, aroma, dan tekstur yang khas (Saguy dan Dana 2003, diacu dalam Juanita 2008). Proses
penggorengan ada dua jenis yaitu proses gangsa (pan frying) dan menggoreng terendam (deep fat
frying).
Pada pan frying, bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam dalam minyak,
sedangkan deep fat frying merupakan teknik menggoreng yang dicirikan dengan terendamnya
seluruh bagian bahan pangan. Energi panas yang dihantarkan menghasilkan perubahan warna dan
flavor yang diinginkan (Fellows 2000). Suhu yang digunakan pada proses penggorengan
umumnya berkisar antara 162-196°C (Orthoefer & Cooper 2004).
Penggorengan ditujukan untuk meningkatkan karakteristik warna, flavor, dan aroma yang
merupakan kombinasi dari reaksi Maillard dan komponen volatil yang diserap dari minyak
(Fellows 2000). Fellows (2000) juga menyatakan bahwa ketika makanan ditaruh dalam minyak
panas, suhu permukaan makanan akan meningkat cepat menuju tingkat panas minyak, sedangkan
suhu bagian dalam makanan meningkat secara perlahan.
Pematangan terhadap bahan pangan merupakan akibat dari terjadinya transfer panas selama
proses penggorengan (Blumenthal 1996). Terdapat delapan hal yang terjadi selama proses
menggoreng terendam, yaitu :
1. Penguapan air dari bahan pangan
Temperatur permukaan produk meningkat. Menggoreng merupakan proses dehidrasi, yaitu
keluarnya air dan udara panas dari produk akibat adanya panas dari minyak
2. Pemanasan produk sesuai suhu yang diinginkan untuk mencapai karakteristik yang diinginkan
3. Meningkatnya suhu permukaan produk untuk mencapai warna kecoklatan dan kerenyahan
4. Perubahan dimensi produk. Produk dapat mengecil, membesar maupun sama dengan ukuran
sebelumnya
5. Terjadi perpindahan lemak dari minyak ke produk. Dalam beberapa kasus terjadi perpindahan
lemak dari produk ke minyak seperti pada ayam
6. Terdapat sistem pergantian minyak yang dipindahkan dari produk atau kelebihan minyak ke
sistem penggorengan oleh produk
7. Tidak hanya perubahan ukuran tetapi juga densitas
8. Perubahan kimia minyak dan kemampuan mentransfer panas yang berakibat terhadap kualitas
produk (penyerapan minyak, tingkat pencoklatan produk, rasa, dan lain-lain)
Beberapa faktor yang memengaruhi masuknya minyak ke dalam produk gorengan selama
penggorengan antara lain (1) suhu dan lama penggorengan, (2) kadar air, khususnya di lapisan
permukaan bahan, (3) tipe, ukuran dan bentuk produk yang digoreng, (4) perlakuan sebelum
penggorengan, misalnya aplikasi batter, serta (5) tipe dan kualitas dari minyak goreng yang
digunakan (Pokorny 1999).
7
Download