Bab I Pendahuluan

advertisement
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)1
Bab I
Pendahuluan
Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai dengan kerusakan saraf optik, biasanya
dikarenakan tekanan intraocular (intraocular pressure, IOP) yang terlalu tinggi (1).
Penyakit ini disoroti karena merupakan penyebab kebutaan nomor dua terbanyak di seluruh
dunia. (4) Glaukoma dapat menyerang berbagai kalangan usia; dari anak hingga lansia.
Pasien sering kali tidak merasakan gejala yang nyata. Gejala hanya akan terasa pada saat
sudah terjadi gangguan lapang pandang. Oleh karena itu, glaukoma sering kali didapati pada
saat pasien sudah menderita kerusakan saraf optik yang tidak dapat diterapi, namun hanya
dapat dikendalikan progresivitasnya.
Pemahaman yang memadai diperlukan untuk dapat memberikan terapi yang sesuai pada
pasien dengan glaukoma, terutama penatalaksanaan medikamentosa yang harus dilakukan
dalam jangka waktu lama. Dan terlebih dari menangani, pemahaman akan penyakit glaukoma
ini diharapkan agar kita dapat mengidentifikasi mereka dengan risiko tinggi glaukoma,
sehingga dapat dilakukan deteksi dini terjadinya kecenderungan yang mengarah kepada
neuropati saraf optik glaukomatus.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)2
Bab II
Glaukoma
A. Definisi
Kamus Kedokteran Gale mendefinisikan glaukoma sebagai sekelompok penyakit mata yang
ditandai dengan kerusakan saraf optik, biasanya dikarenakan tekanan intraocular (intraocular
pressure, IOP) yang terlalu tinggi. Peningkatan tekanan dalam mata ini jika tidak diterapi
dapat menyebabkan kerusakan saraf optik yang menyebabkan kehilangan penglihatan yang
progresif dan permanen, dimulai dengan titik buta yang tidak disadari pada ujung-ujung
lapang pandang, berkembang menjadi tunnel vision, dan kemudian menjadi kebutaan. (1)
Mosby memberikan definisi glaukoma sebagai suatu kondisi abnormal peningkatan tekanan
pada satu mata yang terjadi ketika produksi aqueous humor (AH) melebihi aliran keluarnya,
menyebabkan kerusakan terhadap saraf optik. (2)
Vaughan dan Asbury mendefinisikan glaukoma sebagai suatu neuropati optik kronik yang
didapat yang ditandai dengan cupping pada optik disk dan kehilangan lapang pandang,
biasanya berhubungan dengan peingkatan IOP. (3)
B.
Epidemiologi
Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2004, glaukoma adalah penyebab
kebutaan secara global nomor dua setelah katarak. Tanpa menyebutkan jumlah penderita
glukoma, publikasi tersebut menerangkan temuannya bahwa orang keturunan Asia lebih
cenderung menderita glaukoma sudut tertutup, sementara orang keturunan Afrika atau Eropa
lebih cenderung mengalami glaukoma primer sudut tertutup (primary open-angle glaucoma,
POAG) (4)
Cook dan Foster (2012) menyatakan bahwa diperkirakan saat ini enam puluh juta orang di
seluruh dunia memiliki neuropati optik glaukomatus, dan 8,4 juta yang menjadi buta akibat
glaukoma. Sumber yang sama juga memperkirakan bahwa angka ini akan meningkat menjadi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)3
delapan puluh juta dan 11,2 juta pada tahun 2020, dan tetap menjadi penyebab kedua yang
terutama yang menyebabkan kebutaan secara global. (5)
Quigley dan Broman pada tahun 2006 memprediksikan bahwa pada tahun 2010, sejumlah
60,5 juta orang di dunia menderita glaukoma, dan diperkirakan angka ini akan naik menjadi
79,6 juta pada tahun 2020, di mana 74% dari angka ini menderita OAG (open-angle
glaucoma). Orang keturuanan Asia akan merepresentasikan 47% dari perkiraan jumlah
glaukoma dan 87% orang dengan OAG. Kebutaan bilateral akan terjadi pada 4,5 juta orang
dengan OAG dan 3,9 juta orang dengan ACG pada 2010, dan meningkat menjadi 5,9 dan 5,3
juta orang di seluruh dunia pada 2012.
Penulis yang sama juga memperkirakan bahwa pada tahun 2010, akan ada 2.116.035 orang di
Asia Tenggara yang akan didiagnosis dengan OAG (4,7% dari jumlah penduduk dunia
dengan OAG), dan 2.141.584 orang lainnya di Asia Tenggara akan didiagnosis dengan ACG
(13,6% dari jumlah penduduk dunia dengan ACG).
Pada tahun 2020, diperkirakan akan ada 2.966.334 orang (14,1% penduduk dunia dengan
ACG) di Asia Tenggara yang didiagnosis dengan ACG pada 2020. (6)
Hasil riset kesehatan dasar pada 2007 menunjukkan angka kebutaan Indonesia sebesar 0,9
persen dengan angka tertinggi berada di Sulawesi Selatan (2,6 persen) dan terendah di
Kalimantan Timur (0,3 persen). (7)
C. Klasifikasi
Vaughan dan Asbury mengklasifikasikan glaukoma menurut dua hal, yaitu etiologi dan
mekanisme peningkatan IOP (3).
Klasifikasi Glaukoma menurut Etiologi
A. Glaukoma primer
1. Glaukoma sudut terbuka
a. Glaukoma sudut terbuka primer (POAG)
3. Karena lensa (fakogenik)
a. Dislokasi
b. Intumesen
(glaukoma sudut terbuka kronik, glaukoma
sederhana kronik)
b. Glaukoma tensi normal (glaukoma tensi
rendah)
2. Glaukoma sudut tertutup
a. Akut
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
c. fakolitik
4. Karena perubahan traktus uvea
a. Uveitis
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)4
b. Subakut
c. Kronik
d. Plateau iris
B. Glaukoma congenital
1. Glaukoma congenital primer
2. Glaukoma yang berhubungan dengan
b. Posterior sinekia (seclusio pupillae)
c. Tumor
d. Pembengkakan badan siliaris
5. Sindrom iridocorneoendothelial (ICE)
6. Trauma
a. Hifema
abnormalitas perkembangan okular lainnnya
a. Anterior chamber cleavage syndromes
Sindrom Axenfeld
Sindrom Reiger
Sindrom Peter
b. Kontusi/resesi sudut
c. Sinekia anterior perifer
7. Postoperasi
a. Glaukoma blok siliaris (glaukoma
b. Aniridia
3. Glaukoma yang berhubungan dengan
malignan)
b. Sinekia anterior perifer
c. Epithelial downgrowth
abnormalitas perkembangan ekstraokular
lainnnya
a. Sindrom Sturge-Weber
b. Sindrom Marfan
c. Neurofibromatosis 1
d. Sindrom Lowe
e. Rubella kongenital
C. Glaukoma sekunder
1. Glaucoma pigmentasi
2. Sindrom eksfoliasi
d. Pasca pembedahan graft kornea
e. Pasca pembedahan ablasi retina
8. Glaukoma neovaskular
a. Diabetes mellitus
b. Oklusi vena sentral retina
c. Tumor intraokular
9. Peningkatan tekanan vena episklera
a. Fistula karotid-kavernous
b. sindrom Sturge-Weber
10. Yang dicetuskan steroid
D. Glaukoma absolut: hasil akhir dari
glaukoma manapun yang tidak terkontrol
berupa mata yang keras, tidak dapat melihat,
seringkali nyeri.
Klasifikasi Glaukoma menurut Mekanisme Peningkatan IOP
A. Glaukoma sudut terbuka
B. Glaukoma sudut tertutup
1. Membran pretrabekular: semua dari
1. Blokir pupil (iris bombe)
berikut ini dapat berkembang menjadi
glaukoma sudut tertutup karena kontraksi
membrane pretrabekular.
a. Glaukoma neovaskular
b. Epithelial downgrowth
c. sindrom ICE
2. Abnormalitas trabekular
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
a. Glaukoma sudut tertutup primer
b. Seclusio pupillae (sinekia posterior)
c. Lens intumesen
d. Dislokasi lensa anterior
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)5
a. POAG
b. Glaukoma kongenital
c. Glaukoma pigmentasi
d. Sindrom eksfoliasi
e. Yang dicetuskan oleh steroid
f. Hifema
g. Kontusi/resesi sudut
h. Iridosiklitis (uveitis)
i. Glaukoma fakolitik
3. Abnormalitas postrabekular
a. Peningkatan tekanan vena episkleral
e. Hifema
2. Terlepasnya lensa anterior
a. Glaukoma blok siliaris
b. Oklusi vena sentral retina
c. Skleritis posterior
d. Pasca pembedahan ablasi retina
3. Angle crowding
a. Plateau iris
b. Lens intumesen
c. midriasis atau pemeriksaan fundus
4. Sinekia anterior peripheral
a. Sudut tertutup kronik
b. Akibat datarnya ruang anterior
c. Akibat iris bombe
d. Kontraksi membrane pretrabekular
D. Faktor Risiko
Glaukoma dapat terjadi sendiri (primer) atau merupakan hasil dari gangguan lain (sekunder).
Sebagian besar penelitian yang mencari hubungan glaukoma dengan faktor risiko ditujukan
untuk meneliti hubungan faktor-faktor terntentu dengan kemunculan atau perkembangan
glaukoma primer.
I.
POAG
Demografik
 Ras
Studi populasi menunjukkkan bahwa POAG lebih sering terjadi pada ras kulit hitam Afrika
dan keturunan Afrika yang tinggal di Karibia dan Amerika Serikat. 7% Afro-Karibia yang
berusia di atas 40 tahun yang tinggal di Barbados memiliki POAG. Hal ini juga didukung
oleh studi yang menemukan bahwa keturnan Afrika-Amerika yang tinggal di Baltimore
berpravelensi POAG sekitar empat kali lebih tinggi di bandingkan dengan orang keturunan
Eropa yang hidup di daerah yang sama. POAG juga lebih sering ditemukan di antara
kalangan Hispanik dibandingkan dengan orang kulit putih, terutama pada usia di atas 60
tahun. POAG lebih sering tejadi pada orang China dan India daripada yang
didokumentasikan sebelumnya, dengan rata-rata yang sedikit di bawah orang kulit putih.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)6
 Usia
Prevalensi POAG meingkat secara signifikan seiring dengan usia terutama pada orang
Hispanik, yang memiliki prevalensi tertinggi dari kalangan ras lainnya. Studi populasi di
Baltimore menunjukkan sepuluh kali peningkatan prevalensi POAG antara orang kulit putiyh
dan Afrika Amerika di antara usia kehidupan decade kelima dan kesembilan.
 Riwayat keluarga
Orang-orang di Baltimore yang memiliki riwayat keluarga dengan glaukoma memiliki
peningkatan risiko dua hingga empat kali lipat memiliki glaukoma. Pada suatu populasi Afro
Karibia yang berisiko tinggi, hampir 30% kerabat derajat pertama dengan POAG memiliki
entah POAG, suspek POAG, hipertensi ocular dengan median usia empat puluh tujuh.
Dasar genetis transmisi familial ini masih belum diketahui secara pasti. Dua gen yang
bertanggung jawab untuk POAG dominan autosom adalah myocilin dan optineurin, telah
diidentifikasi, walaupun POAG dengan mutasi pada kedua gen ini hanya ditemukan pada
sebagaian kecil persentase pasien dengan POAG.
Okular
 Tekanan Intraokular
IOP memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan glaukoma dan menjadi salah
satu faktor risiko yang kuat. Banyak studi yang menujukkan bahwa akan terjadi peningkatan
insiden dan prevaklensi glaukoma seiring peningkatan IOP. Akan tetapi, studi populasi
menunjukkan bahwa risiko glaukoma tetp meningkat seiring peningkatan IOP, walaupun
diawali dengan IOP 12 mmHg.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)7
Sebaliknya, studi menunjukikan bahwa penurunan IOP pada subjek-subjek yang
berpredisposisi terhadap glaukoma atau dengan glaukoma manifestasi awal, akan
menurunkan rata-rata kehilangan lapang pandang.
 Myopi
Studi populasi di berbagai kelompok etnis menunjukkan bahwa angka rata-rata kejadian
POAG dua sampai empat kali lebih tinggi pada orang dengan myopi. Risiko glaukoma
terbesar dengan orang ynag nmemiliki derajat myopia yang lebih tinggi.
Sistemik
 Hipertensi
Tekanan darah sistolik dan diastolic yang lebih tinggi berhubungan dengan peningkatan IOP.
Pada studi di Baltimortem IOP 1,5 mmHg lebih tinggi pada pasien dengan tekanan darah
sistolik di atas 160 mmHg dibandingkan dengan kelompok dengan tekanan darah sistolik di
bawah 110 mmHg. Studi yang sama tidak menemukan hubungan yang signifikan antara
hipertensi dan glaukoma.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)8
Ide bahwa insufisiensi perfusi saraf optik berkontribusi pada glaukoma mendorong kelompok
stuydi Baltimore untuk menginvestigasi hubungan antara POAG dan tekanan perfusi diastolic
(yang didefinisikan sebagai perbedaan antara tekanan darah diastolic dan IOP). Mereka
menemukan peningkatan yang signifikan pada rata-rata POAG untuk tekanan perfusi
diastolic di bawah 50, dengan lebih besar lebih dari enam kalui lipat tidak memiliki POAG
[ketika tekanan perfusi diastolic di bawah 30.
II.
PACG
Demografik
 Ras
Prevalensi PACG ynag tertinggi ditemukan pada kelompok Eskimo. Banyak studi yang
menunjukkan bahwa prevalensi PACG lebih tinggi pada paupulasi Asia Timur dibandingkan
dengan orang kulit hitam dan kulit putih. Prevalensi PACG juga meningkat seiring usia,
terutama pada keturunan China.
 Riwayat keluarga
Peningkatan risiko PACG terhjadi pada orang ndegan riwayat keluarga PACG. Studi di
populasi Eskimo menunjukkan bahwa adanya determinasi keluarga yang kuat akan
kedalaman ruang anterior. Gen-gen yang bertanggung jawab pada asosiasi keluarga ini belum
diketahui secara jelas. Di samping gen yang berhubungan dengan nanoftalmus, belum ada
gen yang teridentifikasi sebagai predisposisi PACG. Mutasi myocilin yang bertanggung
jawab untuk 2-4% POAG, tidak signifikan sama sekali dalam PACG.
Fakotr ocular
 Kedalaman ruang anterior
Kedalaman ruang anterior paling sering diukur dengan menggunakan pakimetri optik atau
ultrasound. Banyak studi yang menunjukkan bahwa kedalaman ruang anterior pada sudt mata
yang teroklusi atau PACG adalah 0,3-1,0 mm lebih dangkal daripada mata normal.
Kedalaman ruang anterior yang lebih dangkal terkait dengan distribusi jenis kelamin, usia,
dan ras. Studi pada beberapa kelompok multietnik menujukkan bahwa perempuan memiliki k
edalaman ruang anterior 0,1-2,0 mm lebih dangkal dari laki-laki. Studi populasi juga
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)9
menunjukkan bahwa k edalaman ruang anterior menurun seiring dengan usia, setidaknya
hingga decade kesembilan kehidupan. Orang Eskimo menujukkan k edalaman ruang anterior
yang paling dangkal di antara semua ras, walaupun k edalaman ruang anterior yang mirip
dengan itu juga ditemukan pada ras kulit hitam dan ras China.
 k edalaman ruang anterior limbal
Van Herick menunjukan bahwa k edalaman ruang anterior limbal ndapat diperkirakan dengan
menggunakan slit lamp dengan mengarahkan cahaya slit lamp pada limbus temporal dengan
sumber cahaya 60% dari aksis mikroskop dan membandingkan kedalaman ruang anterior
dengan ketebalam kornea. Studi di Mongolia dan Singapur menenujukkan bahwa k edalaman
ruang anterior limbal sama dengan 15% ketebalan kornea digunakan sebagai cut-off, sudut
yang dapat teroklusi (diperiksa dengan gonioskopi) dapat diidenfikasikan dengan cut-off
25% pada hampir semua orang dengan PACG.
 Hiperopia
Studi dari berbagai kelompok etnis menunjukkan bahw apanhang aksial mata dengan PACG
0,5-1,0 mm lebih pendek daripada populasi control. Panjang aksial yang lebih pendek ini
kemudian diterjemahkan ke dalam refraksi hiperopik dengan mata PACG memiliki rata-rata
kesalahan refraksi sebesar 1 D lebih hiperopia daripada orang normal. Hiperopia adalah
salah satu faktor risiko PACG, dan populasi Indoa selatan dengan hiperopia yang lebih dari 2
D memiliki risiko PACG 3,7 kali lebih besar dibanduinghkan dengan merekja yang kesalahan
refraksinya 2 D.
 ketebalan lensa
Studi mengkonfirmasikan bahwa mata dengan PACG atau AAC (acute angle-closure),
sebagaimana mata yang lainnya dengan AAC unilateral, mmiliki lensa yang 0,2-0,6 mm lebih
tebal dari pada kontrol, walaupun studi di India selatan menujukkan ketebalan lensa yang
sangat mirip antara mata normal, mata PACG, dan mata dengan sudut yang teroklusi.
Kelompok yang lebih rentan terhadap PACG cendernung memiliki lensa yang lenih tebal.
Populasi Eskomo 0,3-0,4 mm lebih tebal di bandingkan dengan orang kulit hitam dan kulit
putih, dan ketebalan lensa orang keturunan China 0,1-0,2 mm lebih tebal dibandingkan
dengan orang kulitb putih dan kulit hitam.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)10
 kurvatura kornal yang beradius kecil
Kurvatura kornea dengan radius yang lebih kecil menyebabkan ruang anterior yang lebih
padat, yang berhubungan dengan peningkatan risiko sudut tertutup. Kebanyakan studi
menemukan bahwa PACG. Perbedaan rasial tidak bermakna pada hal in, walaupun
perempuan pada semua ras memiliki radius kurvatura kornea yang lebih kecil dibandingkan
dengan laki-laki.
Sistemik
Belum diketahui adanya hubungan penyakit sistemik dengan munculnya PACG. Studi
populasi di India Selatan menemukan bahwa tidak ada hunungan antara PACG dengan
diabetes mellitus ataupun hipertensi. (8)
E. Fisiologi
AH adalah cairan transparan yang terdapat pada ruang anterior dan posterior. AH dibentuk
oleh epitel siliaris (CE) pada prosesus siliaris yang terproyeksi dari badan siliaris (CB). AH
dibentuk oleh transfer selektif dari zat terlarut (ion, glukosa, askorbat, asam amino, dan lainlain) dan air dari darah yang menyeberang menuju CE. Cairan ini secara berkesinambungan
disekresi oleh CE dan mula-mula memasuki ruang posterior, kemudian bergerak ke depan
melalui ruang sempit antara lensa dan iris dan memasuki ruang anterior melalui pupil.
Komposisi
AH memiliki komposisi unik yang berbeda dari komposisi plasma. AH terdiri dari ion-ion
(Na+, K+, Ca2+, Mg2+, Cl-, HCO3-), kristaloid atau zat-zat berberat molekul rendah
(glukosa, askorbat, laktat, piruvat, urea, H2O2, asam amino), koloid atau zat berberat
molekul itnggi, seperti protein-protein, lemak, dan zat-zat yang aktif secara biologis
(katekolamin, eikosanoid, hormone), juga zat-zat lainnya seperti asam hyaluronik,
hlayuronidase. Komponen-komponen ini berasal dari plasma (dengan difusi pasif) dan CE
(dengan sekresi aktif), juga berasal dengan difusi atau sekresi dari jairngan sekitarnya, seperti
epitel kornea, lensa kristalin, TM, iris, dan vitreus. Jaringan-jaringan ini menggunakan
banyak nutrien yang ada di AH, misalkan sumber utama glukosa untuk kornea dan lensa
adalah AH. Jadi, komposisi AH tergantung dari hakikat cairan yang disekresikan dari CE
ditambah dengan pertukaran aktif dan pasif yang terjadi di janringan-jaringan sekitar.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)11
Perubahan komposisi AH terjadi secara berkesinambungan. Misalkan lensa mengubah AH
dengan menggunakan glukosa, asam amino, dan zat-zat terlarut lainnya dan melepaskan zatzat metabolic, seperti asam laktat. Komposisi AH yang normal mencerminkan kenormalan
fungsi struktur yang berperan dalam produksi dan drainase AH.
Komposisi AH dimodulasi oleh banyak faktor. Ketidakseimbangan dalam komposisi AH
diperkirakan menjadi penyebab ataupun konsekuensi kondisi patologis di ruang anterior.
Analisis biokimia AH menunjukkan bahwa protein lensa dengan berat molekuler tinggi
sebagai penyebab peningkatan IOP pada glaukoma fakolitik, yaitu onset akut glaukoma sudut
terbuka yang disebabkan oleh perembesan katarak matur atau hipermatur dan konsentrasi
asam askorbat pada AH yang berbeda pada subjek normal dan pada pasien dengan glaukoma
kronik sudut terbuka. Beberapa studi menunjukkan bahwa AH mendukung proliferasi sel-sel
pada jaringan yang dikultur, karena kemungkinan AH sebagai modulator pertumbuhan yang
disebabkan adanya faktor-faktor pertumbuhan yang ada di AH. AH diperkirakan sebagai
medium pertumbuhan yang di dalamnya terdapat faktor-faktor stimulan dan siototoksik yang
memperngaruhi peruubahan pada jumlah, morfologi, dan fungsi sel. Pemahaman akan fungsi
modulator pertumbuhan ini memunculkan kemungkinan bahwa abnormalitas sistem
modulasi dalam AH dapat menyebabkan perubahan kapasitas proliferasi, komponen
biosintetik, dan kemampuan bertahan dari TM yang menyebabkan meningkatnya resistensi
terhadap aliran keluar.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)12
Fungsi AH
AH adalah cairan nutrisi yang berfungsi sebagai pengganti darah bagi kornea dan lensa yang
avaskuler, vitreous anterior dan juga bagi TM yang berada pada jalur keluarnya. AH
menyuplai zat gizi dan aksigen bagi jairngan-jaringan avaskuler ini melalui proses difusi. AH
juga mengeliminasi zat sisi metabolic dari jaringan-jaringan avaskuler ini melalui
pembentukannya yang berkesinambungan dan drainasenya dari mata menuju pembuluh darah
vena. Tekanan hidrostatik AH menghasilkan TIO, yang menyebabkan mata untuk
mempertahankan struktur optic. AH juga berfungsi untuk mentransportasikan askorbat,
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)13
sebuah agen antioksidan di ruang anterior. Adanya immunoglobulin pada AH menunjukan
peran Ah dalam respon imun sebagai pertahanan terhadap serangan patogen.
Anatomi dan struktur CB
CB adalah sebuh struktur muskoloepitelial, yang terdiri dari otot siliaris dan prosesus siliaris.
Otot siliaris bertanggung jawab untuk akomodasi dan prosesus siliaris bertanggung jawab
terhadap produksi AH.
Ada tiga bagian otot siliaris, yaitu otot longitudinal, radial, dan sirkular. CB melekat pada
lensa dengan jaringan ikat yang disebut zonula Zinn atau zonula siliaris. Otot siliaris, dengan
relaksasi atau kontraksi, meningkatkan atau menurunkan ketebalan lensa kristalin untuk
memfokuskan cahaya pada retina untuk menghasilkan pangdan dekat atau jauh (akomodasi).
Bagian permukaan dalam CB, seperti bagian yang berhada[an dengan ruang posterior,
ditutupi dengan epitel berlapis ganda. AH dibentuk oleh epitel ini. Ada dua region yang
berbeda: sepertiga anterior depan terdiri dari permukaan yang undulated dan disebut pars
plicata, sementara dua pertiga posterior dinamakan pars plana.
Sekitar 70 radial ridges (prosesus siliaris) muncul ke arah dalam dari region pars plicata.
Setiap prosesus bertinggi 1 mm, 2 mm panjang anteroposterior, dan 0,5 mm lebarnya.
Prosesus siliaris memiliki banyak pembuluh darah, dan kemungkinan adalah bagian dengan
vaskularisasi terbanyak di mata.
CE terdiri dari lapisan dalam epitel nonpigmen (NPE) dan lapisan luar epitel berpigmen (PE).
Endotel kapiler siliaris sangat terfenestrasi, sehingga ultrafiltrasi darah mengisi stroma, yang
mengandung semua komponen plasma, kecuali sel darah.
AH terbentuk sebagian besar dari transport ion aktif dan zat terlaut yang menyeberangi CE.
Transport selektif zat terlaut terjadi dari cairan melewati bilayer menuju ruang posterior dan
hal ini menyebabkan aliran osmotic air, menghasilkan AH. Ion dan zat terlarut lainnya ditarik
dari darah oleh sel PE melalui gap junction ke dalam sel NPE. Dari NPE, ion dan zat terlarut
kemudian disekresikan menyeberangi membran basolateral ke dalam ruang posterior. Sel
NPE juga menyerap beberapa zat terlarut dan air dari AH kembali menuju stroma. Proses
sekresi dan reabsorpsi menentukan net rerata sekresi AH ke dalam ruang posterior.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)14
Bilayer CE terdiri dari sel-sel non-pigmen (NPE) kolumnar dan sel-sel epitel berpigmen (PE)
kuboid. Permukaan basal sel-sel NPE berbatasan dengan ruang posterior, dan permukaan
basal sel-sel PE berada di atas stroma CB. Apeks sel-sel PE dan NPE terhubung melalui gap
junction. Proses sekretorik diarahkan dari apeks menuju dasar sel-sel NPE sepanjang kanal
interselular lateral, yang ‘ditutup’ pada ujung apical oleh kompleks junctional yang padat,
tight junction. PE adalah kesinambungan ke arah depan dari epitel pigmen retina, sedangkan
lapisan NPE adalah kesinambungan neuroepitelium yang darinya berasal sel-sel retinal
berasal.
Epitel CB adalah barier yang sangat penting untuk membatasi perpindahan zat dari darah
menuju mata. Tight junction antara sel-sel NPE bertindak sebagai barier permeabilitas dan
mencegah difusi dari makromolekul yang ada di dalam darah (seperti protein) ke dalam AH.
Tight junction menghambat makromolekul dari AH.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)15
Perbedaan jelas antara komposisi plasma dan AH menunjukkan bahwa zat-zat mengalami
hambatan dari satu cairan ke cairan lainnya.
Tiga tahapan pembentukan AH:
1. ultrafiltrasi melewati kapiler-kapiler terfenesterasi dari prosesus siliaris menuji stroma
siliaris.Ultrafiltrat ini mengandung protein plasma dalam persentasi tinggi. Dinding kapiler
merupakan barier bagi beberapa protein plasma. Studi dinamik protein plasma ekstravaskular
dalam prosesus siliaris mengindikasikan bahwa net filtrat dari kapiler mengandung sekitar
4% albumin dan 3% gammaglobulin dalam plasma. Konsentrasi protein yang tinggi di stroma
siliaris mengurangi perbedaan tekanan onkotik transkapiler, yang penting dalam proses
filtrasi dari kapiler-kapiler.
2. sejumlah zat terlarut ditransportasikan dari ultrafiltrat ke ruang posterior menyeberangi
bilayer CE. Proses ini adalah ektraksi material (elektrolit-elektrolit dan zat lainnya, seperti
glukosa, asam amino, askorbat) oleh bilayer CE, terhadap gradien konsentrasi, dengan cara
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)16
difusi, atif atau yang diperantarai karier. Molekul-molekul besar yang terbawa dalam darah,
seperti protein-protein, tidak dapat melewati barier darah-aqueous.
3. gradien osmotik ditentukan oleh transfer aktif dan akumulasi ion dan zat terlarut lainnya ke
dalam ruang posterior memfasilitasi aliran pasif air ke dalam ruang posterior oleh osmosis.
Regulasi Sekresi AH
Aliran AH berfluktuasi menurut irama sirkadian dengan perbedaan rerata aliran selama siang
dan malam hari. Studi pada manusia menunjukkan bahwa pada malam hari, aliram AH, aliran
keluar flurofotometrik, dan IOP berkurang 49, 45, dan 16%. Aliran AH pada malam hari
dapat ditingkatkan dengan administrasi epinefrin eksogen, namun tak dapat dikurangi dengan
administrasi timolol. Hal ini menunjukkan bahwa aliran AH berada di bawah kendali
adrenergic. Prinsip utama dari farmakoterapi glaukoma didasarkan pada proses
neurohormonal yang mengontrol dinamika AH. Hormone sistemik atau local, dan mediator
sistem saraf otonom terlibat dalam proses pembektukan AH dan drainasenya.
Adanya reseptor B-adrenergik didominasi oleh subtype B2. Administrasi timolol, baik secara
sistemik ataupun topical, mengurangi pembentukan AH dan menurunkan IOP.
Drainase AH
AH memasuki ruang posterior dari prosesus siliaris dan mengalir di sekitar lensa dan melalui
pupil menuju ruang anterior. Dari ruang anterior, AH meninggalkan mata dan masuk ke
sirkulasi vena dengan dua jalur keluar.
1. jalur konvensional, anterior, trabekular
Pada jalur ini, AH melalui TM dengan menyeberangi dinding dalam kanal Schlem dan
jemudian masuk ke kanal pengumpul, vena aqueous dan vena siliaris anterior. Kanal Schlem
atau sinus vena sclera adalah jaringan sirkular. Kanal ini adalah ruangan sirkular yang dilapisi
endotel, membentuk pembuluh limfatik dan berada di limbus. Bagian dalam kanal dibentuk
oleh tiga lapisan TM. Lapisan pertama adalah uveal meshwork, yang merupakan ekstensi dari
otot siliaris. Lapisan kedua terdiri dari beberapa lapisan jaringan ikat yang memanjang
diantara skleral spur dan kornea perifer. Lapisan ketiga adalah jaringan juxtakanalikular,
adalah meshwork endothelial dan dinding dalam kanal Schlemm.Jaringan ini terdiri dari
kolagen dan serat elastic, jaringan dasar dan beberapa lapisan endotel yang terangkai dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)17
matriks glikosaminoglikan, proteoglikan, dan makromolekul lainnya. Tempat resistensi aliran
keluar yang terutama adalah aringan juxtakanalikular (plexus kribriform) dan dinding dalam
kanal Schlemm.
2. jalur unkonvensional, posterior, uveoskleral
Aliran AH dari sudut ruang menyeberangi dasar iris dan permukaan anterior otot siliaris,
melalui jaringan ikat di antara muscle bundle otot siliaris. Ruang-ruang ini terbuka into
suprakoroid yang darinya cairan dapat melalui sclera atau ruang perivaskular ke dalam
jaringan episklera dan kemudian ke sirkulasi vena. Tekanan di ruang suprakoroid lebih
rendah daripada di ruang anterior setidaknya beberapa mmHg di bawah kondisi normal,
sehingga menguntungkan aliran ini.
Sebagian kecilAH mengalir ke dalam vitreus dan kemudian diabsorbsi ke dalam bagian
posterior mata, beberapa AH diserap oleh otot siliaris.
Persamaan tersebut menjelaskan aliran aqueous (F) untuk memfasilitasi aliran keluar ( C),
dan delta P, yaitu perbedaan antara IOP (P) dan tekanan vena episkleral (Pe), yaitu tekanan
dalam pembuluh darah yang ke dalamnya AH mengalir. Rerata nilai normal untuk fasilitas
al8iran keluar pada manusia diperkirakan 0.25 l.min-1.mmHg-1.
TEKANAN INTRAOKULAR
IOP adalah tekanan hidrostatik yang ditimbulkan oleh AH. Rerata IOP pada manusia adalah
15 mmHf dengan nilai tertinggi dan terendah yang diterima adalah 21 mmHg dan 10,5
mmHg. IOP dapat berbeda antar individu bahkan antara mata pada individu yang sama.
Tekanan ini tiatur oleh beberapa faktor, seperti rerata sekresi AH, resistensi aliran keluar dan
tekanan vena episkleral. (9)
Pengukuran IOP memiliki peran sentral dalam pemeriksaan pasien glaukoma.
Perbedaan rasial ditemukan di antara ras Afrika-Karibia dan Afrika Amerika yang memiliki
IOP yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lain. Fluktuasi diurnal IOP hingga 5
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)18
mmHg terjadi pada orang normal dan berfluktuasi dari 10 hingga 30 mmHg pada pasien
glaukoma yang tidak diterapi.
Fluktuasi IOP ini membenarkan penggunaan kurva IOP diurnal pada pasien-pasien glaukoma
yang terpilih. IOP pada pasien glaukoma meningkat karena adanya perubahan ultrastruktural
dalam TM yang menyebabkan penurunan fasilitasi aliran keluar AH dan bukan dikarenakan
produksi berlebih AH yang terjadi seiring usia. Pasien dengan riwayat glaukoma pada
keluarga juga cenderung memiliki IOP yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa
riwayat keluarga dengan glaukoma.
Faktor yang berhubungan dengan peningkatan IOP termasuk perubahan postural, maneuver
valsava, kedipan keras penggunaan anestesis umum (ketamin, suksinilkolin), tembakau,
peningkatakn tekanan vena episklera, penyakit Grave, penggunaan antikolinergik, dan
steroid. Faktor yang berhubungan dengan penurunan IOP termasuk aktivitas fisik yang
berlebih, asupan alcohol, marijuana, kehamilan, asidosis metabolic, dan anestesi umum selain
ketamin dan suksinilkolin.
IOP diketahui sebagai satu-satunya faktor yang dapat dimodifikasi untuk memperlambat
progresi pada pasien hipertensi ocular dan glaukoma. Oleh karena itu, sebagian besar
intervensi terapi (obat-obatan, laser, bedah) untuk glaukoma ditujukan untuk menurunkan
IOP.
Pengukuran klinis IOP telah mengalami perkembangan dari pengukuran tekanan dengan
digital tonometri indentasi, hingga tonometri aplanasi dan tonometri non-kontak. (8)
F. Patogenesis
Glaukoma adalah penyebab terutama kebutaan yang ireversibel, yang ditandai dengan
hilangnya sel ganglion retina (retinal ganglion cells, RCG) dan akson-aksonnya. Neuropati
optic glaukomatus ditandai dengan perubahan di optic disc dan defek lapang pandang.
Perubahan morfologik pada optic disc adalah penipisan rim neuroretinal, palor dan cupping
progresif yang terjadi pada optic disc. Pendarahan yang berhubungan dengan defek lapisan
serat saraf retina mendahului adanya perubahan-perubahan kongfigurasi di optic disc. Defek
lapang pandang pada glaukoma sering terdeteksi hanya setelah 40% akson-akson telah rusak.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)19
Patofisiologi neuropati optic glaukomatus belum dipahami sepenuhnya; lokasi kerusakan
yang primer adalah badan sel ganglion atau akson-aksonnya. Di manapun letak kerusakan
awalnya, akan menghasilkan kerusakan RGC dan akson-aksonnya yang mengakibatkan
kehilangan penglihatan yang ireversibel.
Glaukoma adalah kelompok penyakit yang heterogen dan penyebabnya multifaktorial.
Banyak faktor yang terjadi baik pada badan sel atau pada akson-aksonnya dipercaya
menyebabkan kematian RGC. Menurut beberapa teori, faktor-faktor seperti peningkatan IOP
dan disregulasi vaskular secara primer berkontribusi pada gangguan awal selama atrofi
glaukomatus dalam bentuk obstruksi aliran aksoplasmik dalam akson RGC pada lamina
cribrosa, perubahan mikrosirkulasi saraf optic pada tingkatan lamina dan perubana pada glial
di lamina dan jaringan ikat. Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan sekunder termasuk
kerusakan eksitotoksik yang disebabkan oleh glutamate atau glisin yang dilepaskan dari
neuron-neoron yang mengalami kerusakan dan kerusakan oksidatif akibat produksi berlebih
dari NO dan ROS lainnya.
Kehilangan neuronal akibat apoptosis
Perubahan karakteristik pada kepala saraf optic adalah cupping optic disc, di ,mana aksonakson sel ganglion sudah hilang. Kematian akson-akson berhubungan dengan kehilangan
badan-badan sel ganglion di retina dan terminal-terimnal akson sel ganglion di badan
genikulata bagian dorsal dan lateral. Kematian RGC pada mata manusia yang glaukomatus
terjadi oleh apoptosis.
Caspase, keluarga protease sistein yang spesifik aspartil adalah regulator sentral dari
apoptosis. Enzim-enzim ini ada dalam bentik zimogen yang tidak aktif, dan ketika diaktifkan
akan menginisiasi kaskade yang menyababkan proteolisis yang menyebabkan kehancruan sel.
Aktivasi caspase melibatkan jalur ekstrinsik dan intrinsic. Jalur ekstrinsik melibatkan interaki
antara ligan-ligan spesifik seperti TNF-a dengan reseptor-reseptor permukaan sel
proapoptosis, sementara jalur intrinsic diatur oleh molekul-molekul yang dilepaskan dari
mitokondria,
Peningkatan IOP
Hingga kini, diyakini bahwa peningkatan IOP memiliki peran utama dana apoptosis RGC dan
memang benar bahwa penurunan IOP yang sebelumnya meninggi membantu perlambatan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)20
perubahan degenerative pada glaukoma. Akan tetapi, antara pasien-pasien glauka hanya
sepertiga hingga setengahnya yang mengalami peningkatan IOP pada stadium-stadium awal.
Rata-rata 30-40% pasien dengan defek lapang pandang glaukomatus didagnosis dengan
glaukoma jenis tensi normal. Oleh karena itu, peningkatan IOP kini diyakini sebagai faktor
yang penting, namun bukan faktor satu-satunya yang bertanggung jawab dan kerusakan saraf
optic.
Peningkatan IOP sering diakibatkan oleh perubahan dinamika AH karena perubahan TM
yang menyebabkan gangguan drainase AH. TM menunjukkan perubahan-perubahan
sitokeletal, perubahan selularitasm dan perubahan matriks ekstraselular. Ditemukan korelasi
positif yang signifikan antara IOP dan kematian RGC pada tikus yang kataral. Korelasi
positif juga ditemukan antara tingkat dan durasi peningkatan IOP dan kehilangan akson RGC.
Kehilangan setengah sel ganglion terjadi selama dua-tiga bulan pertama setelah pengingkatan
IOP. Kematian RGC dalam eksperimen, berlangsung karena proses apoptosis dan
peningkatan IOP dapat secara langsung menginduksi kematian RGC dengan apoptosis.
Kematian RGC setelah paparan IOP yang meingkat terjadi dalam dua fase. Fase pertama
terjaid sekitar tiga minggu, dengan kehilangan sekitar 12% RGC per minggu. Fase ini
kemudian diikuti oleh fase kehilangan neuronal kedua yang lebih lambat.mekanisme utama
dalam kehilangan neuroal pada fase pertama adalah apoptosis, sedangkan difase kedua,
diakibatkan oleh efek toksik dari neuron-neoron yang berdegenerasi.
Mekanisme molecular apoptosis RGC akibat peningkatan IOP
Kemungkinan mekanisme apoiptosis RGC diperkirakan berhubungan dengan perubahan
komponen matriks ekstraselular di retina. Matriks ekstraselular memiliki kolagen I dan IV,
transforming growth factor B2, dan matriks metalloproteinase (MMP)-1. Matriks
ekstraselular bertanggung jawab dalam menyediakan signal-signal dengan mengontrol fungsi
sel dan keberlangsungan sel,. Oleh karena itu, perubahan-erpubahan spesifik di matriks
ekstraselular dapat menganggu interaksi antara sel-sel dan sel-matriks ekstraselular, yang
menyebabkan terpicunya apoptosis.
MMPs adalah enzim-enzim pendegradasi matrik yang utama. Peningkatan aktivitas MMP-9
dideteksi pada apoptosis RGC yang apoptosis bersamaan dengan penurunan deposisi laminin
di lapisan RGC menunjukkan adanya peningkatan degradaso di matriks ekstraselular di retina
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)21
akibat peningkatan IOP. Laminin adalah komponen matriks ekstraselular yang penting, yang
memfasilitasi perlekatan sel dan keberlangsungan sel dengan berinteraksi dengan ointegrin
selular. Disintegrasi dan kehilangan laminin sebafai akibat peningkatan protease-protease,
seperti MMp-9 menyebabkan defisiensi komunikasi sel-matriks ekstraselularm sehingga
mendorong terjadinya apoptosis.
Menurut penjelasan lain, peningkatan IOP menyebabkan kerusakan mekanis terhadap aksonakson RGC di region kepala saraf optic yang berkembang kepada kerusakan retrograde badan
RGC. Kerusakan badan RGC menyebabkan peningkatan sekresi MMPs, yang kemudian
menyabbakan perubahan matriks ekstraselular dan apoptosis.
Teori alternative lainnya menjelaskan bahwa peningkatan ekspresi MMP sebagai akibat
peningkatan IOP dapat dimediasi secara tidak langsung oleh neurotransmitter eksitasi,
glutamate. Peningkatan regulasi reseptopr glutamate di sel-sel retina berhubungan dengabn
peningkatan ekspresi MMP-9. Juga ditemukan bahwa paparan peningkatan IOP
menyebabkan aktoivasi astrosit di retina, yang menyebabkan pelepasan MMPs.
Faktor-faktor pertumbuhan dan reseptor-reseptornya diketahui untuk meregulasi fungsi
selular, organisasi sitoskeletal dan komponen matriks ekstraselular di jaringan ocular. TM,
anstrosit saraf optic, sel-sel lamina cribrosa mengekspresikan berbagai faktor-faktor
pertumbuhan, seperti faktor neurotropin dan TGF-B2. Faktor-faktor pertumbuhan ini
berperan penting dalam mempengaruhi perkembangan normnal dan fungsi seluler di TM
sebagaimana di retina. Peningkatan IOP dapat memperburuk suplai brain-derived neutrophin
factor (BDNF) pada RGC, yang penting untuk regulasi metabolisme sel dan kelangsungan
sel. Defisiensi BDNF lebih jauh dapat mengakibatkan progresi apoptosis RGC. Efek-efek ini
dimodulasi oleh peningkatan pelepasan TGF-B2 yang duiaktifkan oleh astrosit sebagai
respon peningkatan IOP.
Studi menunjukkan bahwa peningkatan regulasi TNF-A yang segera pada tikus dengan
peningkatan IOP yang diinduksi secara eksperimental diikuti oleh aktivasi mikroglial,
kehilangan saraf optic oligodendrosit, dan penundaan (delayed) kehilangan RGC.
Peningkatan regulasi TNF-A pada astrosit uga dideteksi pada kepala saraf optic manusia yang
glaukomatus dan ekspresi ini paralel dengan progresi neurodegenerasi. Stimulasi TNF-A
berkontribusi pada kerusakan neuronal dengan memberikan efek langsung pada akson-akson
RGC dan dengan menginduksi NO sintase-2 di astrosit.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)22
Insufisiensi vaskular
Peningkatan IOP berperan penitng terhadap keusakan RGC pada mata yang glaukomatus,
namun terapi control IOP pada banyak pasien tidak cukup untuk meningkatkan fungsi visual
dan menghentikan perkembangan proses penyakit. Di samping itu, perubahan glaukomatus
ditemukan pada individual dengan IOP yang normal, yang menunjukkan bahwa ada faktorfaktor lainnya yang berperan dalam inisiasi dan perkembangan perubahan glaukomatus.
Asosiasi positif ditemukan pada glaukoma dan migraine dan abnormalitas vaskular perifer,
yang melibatkan disregulasi serebral dan perdarahan perifer. Peningkatan sensitivitas
terhadap vasokonstriksi yang dimediasi endotelin-1 diimplikasikan dalam anormalitasabnormalitas vaskular ini. kemungkinan peran vasokonstriktor hjuga diduga dalam
pathogenesis glaukoma, sebagaimana kadar endothelin-1 dideteksi dalam AH dan plasma
pasien glaukoma. Bukti selanjutnya menunjukkan hubungan yang positif antara glaukoma
dan insufisiensi vaskular ditemukan dengan MRI pasien glaukoma yang menunjukkan
iskemia pan serebral dan peningkatan insidensi infark serebral. Penuaan juga dianggap
sebagai faktor ririko penting untuk glaukoma dan telah didokukemtasikan adanya
penurunanperfusi serebral dan ocular yang progresif yang terjadi seriiring bertambahnya usia.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)23
Pada mata yang sehat, aliran darah yang konstan diperlukan retina dan kepala saraf optik
untuk memenuhi kebutuhan metabolic mata yang tinggi. Untuk menjaga aliran darah yang
konstan, ada sebuah mekanisme autoregulasi yang efisien yang terjadi di arteri, arteriol, dan
kapiler yang dependen terhadap tekanan darah dan IOP. Mekanisme autoregulasi pada pasien
lanjut usia tidak sebaik pada pasien muda. Hipotesisi ini didukung oleh salah satu studi ynag
menunjukkan bahwa pada tikur muda yang diinduksi dengan hipertensi ocular, terjadi
hiperfusi koroid, namun hiperfusi ini tidak ditemukan pada tikus yang lebih tua. Defisiensi
mekanisme autoregulasi menyebabkan iskemia yang berkontribusi dalam perkembangan
keruskana neuronal glaukomatus yang terjadi seiring usia. Pasien POAG dan NTG juga
menunjukkan penurunan kronik dari aliran darah kepala saraf optik dan retina, terutama
dengan orang-orang dengan tekanan darah sistemik yang rendah yang menyebabkan
penurunan tekanan perfusi ocular. Penurunan tekannan perfusi diastolic kini dikenal sebagai
salah satu faktor ririko pointing untuk POAG.
Mekanisme molecular yang menyebabkan kematian RGC karena disregulasi vaskular belum
dipahami sepenuhnya. Insufiensi vaskular dapat secara langsung merusak dan menyebabkan
apoptosis RGC. Peningkatan ruglasi ekspresi MMP-9 dalam leukosit yang bersirkulasi
ditemukan pada pasien dengan NTG vasospastik. Peningkatan regulasi MMP dapat
merupakan respon langsung terhadap cedera iskemik atau dapat merukana respon sekunder
dari peningkatan kadar endothelin dan TNF-A. MMP yang dihasilkan leukosit yang
bersirkulasi mungkin terlibat dalam pemecahan barier sebagian atau kerusakan RGC.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)24
Peran glutamate dalam kematian RGC
Kematian apoptotic RGC disebabkan oleh toksisitas yang dimediasi glutamate dank arena
paparan kondisi hipoksia RGC yang akan menyebabkan pelepasan glutamate. Asam amino
glutamate adalah neurotransmitter esensial di SSP dan retina. Konsentrasi glutamate lebih
rendah daripada konsentrasi fisologis bersifat toksik terhadap neuron tergantung dari durasi
dan seberapa besar peningkatan ko nsentrasinya. toksisitas glutamaty ini pertama kali
diutarakan oleh Lucas dan Newhouse pada 1957 yang mengamati adanya kersakan yang
parah dari RGC setelah injeksi subkutan glutamate pada tikus yang muda.
Neurotransmisi yang diperantarai glutamate terjadi melalui reseptor ionitropik dan
metabotropik.reseptor ionoitropik mencakup reseptor-reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA), kianate (KA) and alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid
receptor (AMPA). Reseptor metabotropik (mGluR0 adalah reseptor-reseptor G protein-linked
dan dibagi dalam tiga kelompok. Eksitotoksik yang diinduksi glutamate terurama diperantarai
oleh reseptor subtype NMDA. Aktivasi reseptor NMDA menyebabkan pembukaan kanal ion
dan masuknya Ca dan Na ekstraselular ke dalam neuron. Toksisitas neuronal yang dimediasi
glutamate dependen terhadap influx Ca ekstraselular, yang kemudian menjadi second
messager untuk mengaktifkan jalur penyignallan yang pada akghirnya menyebabkan
kematian sel. Administrasi antagonis NMDA pada eksperimen dapat mencegah
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)25
eksitotoksisitas yang diindduksi glutamate. Sebagai tambahan, tissue plasminogen activator
(tPa) yang ada di neuron retina diperkirakan merupakan faktor endogen penting yang
memfasilitasi eksitotoksisit yang diperantarai NMDA. Walaupun mekanisme ini belum jelas,
diperkirakan tidak berhubungan dengan konversi plasminogen menjadi plasmin. Aktivasi
reseptor metabotropik non-NMDA dapat bersifat protektif terhadap toksisitas glutamate yang
dimediasi oleh NMDA.
Konsentrasi glutamate yang rendah dapat mengaktifkan reseptor AMPA-KA yang permeable
Ca pada kultur RGC yang menyebabkan peningkatan Ca dan penurunan survival RGC. Pada
konsentrasi kainat yang rendah, konsentasi Ca internal meningkan secara signifikan tanpa
terjadi depolarisasi yang signifikan. Konsentrasi kainat yang rendah ini menyebabkan
kemtian sel ganglion, yang dapat diinhibisi oleh antagonis reseptor kainat. Toksisitas yang
berhubungan dengan kainat yang berasal dari influx Ca yang berlebihan juga dapat dihambat
oleh poliamin dan kalsium fosfatase yang menekan influx kalsium. Jadi, aktivasi reseptor
glutamate ionotropik dapat menghasikan neurotoksisitas terlepas dari neuroeksitasi.
Untuk menjaga konsentrasi fisiologis dan melindugi sel ganglion darfi kematian sel
eksitotoksik, diperlukan pembuangan glutamate sinaptik. Sel glial, terutama sel Muller dan
astrosit, yang ada di sekitar sinaps adalah transporter glutamate yang menolong dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)26
memindahkan glutamate ekstraselular dengan memindahkannya ke interior sel glial. Dalam
sel glial, glutamate diubah menjadi glutamine dengan bantuan glutamine sintetase. Glutamine
bersifat non toksik dan dilepaskan oleh sel glial yang kemudian akan diangkut oleh sel
nouron untuk diubah lagi menjadi glutamate dengan bantuan glutaminase.
Penyimpangan dari siklus glutamate-glutamin pada retina ini ditemukan dalam model-model
glaukoma pada eksperimen. Pada tikus yang glaukoa, dilaporkan adanya penurunan ambilan
glutamate pada retina dan peningkatan glutaminase yang signifikan. Pada salah satu studi
manusia, ditemukan penurunan kdasar transporter glutamate, ttransporter asam amino
eksitatorik (EAAT)-1, dan subtype NMDAR1 yang menunjukkan bahwa kehilangan EAAT-1
pada glaukoma dapat menyebabkan peningkatan kadar glutamate pada vitreus glaukomatus
dan menyebabkan pada penurunan regulasi kompensatorik dari NMDAR-1. Pada studi yang
sama juga ditunjukkan bahwa injeksi intravitreal faktor neutropik yang berasal dari glial
(GDNF) menyebabkan peningkatan EAAT- dan NMDAR-1. Akan tgetapi, tidak ada
perbedaan kadar glumatat vitreal yang signifikan antara mata normal dan mata glaukomatus.
Akan tetapi, masih belum jelas apakah eksitotoksisitas glumatat merupakan respon awal
terhadap peningkatan IOP dan iskemia atau sebagai respon sekunder dari pelepasan sel-sel
glial yang mati.
Peran NO
NO memiliki peran yang penting dan bermanfaat bagi tub uh jika disekresikan dalam
kuantitas yang fisiologis, akan tetapi, kelebihan produksi NO berhubungan dengan beragam
kondisi neurologis dan non-neurologis, termasuk glaukoma. NOS menghasilkan NO dengan
oksidasi L-arginin dan dideteksi memiliki tiga isoform.
Pada mata manusia normal, adanya NOS-1 dideteksi pada astrosit yang menyebar di kepala
saraf optik yang mengindikasikan NOS-1 adalah enzim konstitutif pada glia tertentu dan NO
berperan sebagai mediator fisiologis antar astrosit atau antara astrosit dan akson. Pada pasien
dengan glaukoma, banyak sel menunjukkan positivitas NOS-1 p[ada permukaan vitreal, sel
glial remnant dan pada sel di lamina cribrosa pada jaringan glaukomatus. Peningkatam
ekspresi gen mRNA dan sintesis isoform NOS-1 di astrosit lamina cribrosa ditemukam. NOS3 adalah enzim konstitutif yang ada di sel endotel vaskular di region prelaminar kepala saraf
optik dan berfungsi sebagai vasodilator. Pada mata galaukomatus, dengan menyebabkan
vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah, induksi NOS-3 dapat memberikan efek
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)27
neuroprotektif. Peran NOS-3 pada astrosit di kepala saraf optik glaukomatus belum diketahui
dengan jelas.
NOS-2 adalah bentuk enzim yang dapat diinduksi, yang menghasilkan kuantitas NO yang
berlebihan dalam kondisi yang beraga, seperti paparan terhadap sitokin. Kuantitas NOS-2
yang signifikan dideteksi dalam astrosit dan microglia pada kepala saraf optik pasien
glaukoma. Peningkatan kadar NO ditemukan pada AH pasien glaukoma. Eksperimen hewan
menunjukkan hubungan positif antara peningkatan NO ocular dengan kematian
RGC.Dideteksi juga adanya abnormalitas sel-sel yang mengandung NO di TM, kanal
Schlemm dan badan siliaris pada pasien dengan POAG, namun belum diketahui apakah
abnormalitas ini adalah manifestasi glaukoma dan terapinya atau mendahului perkembangan
penyakit.
Paparan astrosit saraf optik terhadai interferon-g dan interleukin-1b pada kultur menstimulasi
produksi NOS-2 dalam waktu 24 jam. TNF-A merupakan sitokin yang paling dapat
menginduksi NOS-2 jika dipaparkan pada astrosit.. jadi, paparan sitokin mengubah astrosit
saraf optik manusia ke dalam bentuk reaktif, yang mengandung NOS-2 dan memiliki
kemampuan untuk memproduksi kuantitas NO yang neurotaksik. Di samping peran sitokin,
juga ditemukan bahwa astrosit saraf optik manusia ketika dipaparkan terhadap peningkatan
hidrostatik pada kukltur, mengekspresikan peningkatan NOS-2 yang mengindikasikan efek
langsung dari peningkatakn tekanan untuk induksi NOS-2 di astrosit. Efek neurotoksik
langsung dari NO pada RGC di saraf optik lebih lanjut dibuktikan oleh efek neuroprotektif
aminoguanide, sebuah inhibitor yang spesifik NOS-2 pada tikus dengan peningkatan IOP
yang kronis.
Jadi, ada banyak penelitian yang membuktikan bahwa kelebihan kuantitas NO yang
diproduksi astrosit dan microglia di kepala saraf optik memiliki peran krusial dalam
perkembangan neuropati optik yang berhubgungan dengan glaukoma. Kelebihan NO
kemudian dengan bebas masuk ke dalam sel setelah difusi. Kelebihan NO ini adalah radikal
bebas bereaktivitas sedang dan setelah masuk ke dalam sel, menyebabkanproduksi radikal
bebas yang bereaktif tinggi seperti peroxinitrit setelah berkombinasi dengan superoksida
(sebuah produk metabolisme mitokondia). Radikal bebas yang bereaktif tinggi ini mampu
menyebabkan komponen sel dan makromolekul yang massif.
Stress oksidatif
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)28
Jaringan okulr dilengkapi dengan mekanisme antioksidan yang sangat efisien, yang termasuk
glutathione (GSH) yang direduksi dan sistem superoksida dismutase-katalase. Asam askorbik
juga berperan protektif penting dan konsentasinya yang tinggi dideteksi pada VH, kornea,
sistem lakrimal, epitel kornea sentral, dan AH. Pembentukan berlebih dari radikal bebas dan
stress oksidatif dikenal sebagai faktor etiopatogenetik dalam banyak penyakit ocular, seperti
katarak, ARMD, dan glaukoma. Pasien-pasien glaukma menunjukkan potensi antioksidan di
AH yang sangat menurun, peningkatan antibody serum terhadap glutathione-S-transferase,
penurunan kadar glutathiuone plasma, dan peningkatan produk peroksidasi lipid di plasma.
Disregulasi vaskular dengan menyebabkan iskemia dan reperfusi dapat merupakan proses
patogenik yang fundamental dalam menginduksi stress oksidatif. Di bawah stress oksodatif,
fungsi endotel berubah, terutama produksi endotelin-1 dan NO. endotelin-1 telah
diidentifikasi sebagai efektor yang memungkinkan dalam POAG, karena dapat menyebabkan
perubahan pada sel-sel di TM dengan menyebabkan vasokontriksi dan dengan demikian,
mengubah IOP. Peningkatan kadar endotelin-1 yang signifikan telah dideteksi dalam AH
pasien glaukoma dibandingkan dengan control normal. NO, di samping menyebabkan
pelepasan glutamate dan toksisitas neuronal, juga bereaksi dengan anion superoksida untuk
membentuk radikan peroxinitrit, yang menambah kerusakan yang diinduksi oleh stress
oksidatif. Stress oksidatif adalah hasil dari akumulasi radikal bebas entah dari metabolisme
aerobic atau disregulasi vaskular. Akibatnya, perubahan adhesi TM dengan protein ECM
menyebabkan rearrangement sitoskeleton dan meningkatkan resistensi aliran keluar yang
menyebabkan peningkatan IOP. Studi manusia menun jukkan perubahan drainase AH akibat
paparan hidrogenperoksida. Perubahan yang lebih ekstensif pada sel-sel trabekular dideteksi
pada lapisan TM yang dekat ruang anterior, mengindikasikan bahwa paparan terhadap
substansi toksik seperti radikal bebas, pada ruang anterior memiliki peran krusial sebagai
faktor patogenetik.
Hasil dari beberapa penelitian hewan menyarankan kemungkinan keuntungan dari
antioksidan dalam neuropati optik glaukomatus. Pada model glaukoma pada tikus,
administrasi topical radical scavenger dengan golongan kelator yang teresterifikasi ion pada
rangka metoxipolietilen glikol dapat menurutnkan IOP hingga 29,6%. Pada studi yang sama,
kehilangan RGC pada tikus sebegai respon terhadap NMDA intravitreal, menurun ketika
NMDA diadministrasikan bersama denganb scavenger radikal. BDNF dikombinasikan
dengan scavenger radikal bebas dapat mebnolong RGC dari kematian pada marta tikus
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)29
dengan peningkatan IOP. Studi-studi ini mengindikasikan asosiasi stress oksidatif dan
perkembangan glaukoma dan kemungkinan keuntungan antioksidan pada neuropati optik
glaukomatus. (10)
G. Pemeriksaan Penunjang
 Tonometri
Tonometri adalah pengukuran tekanan intraokular. Instrument yang paling banyak digunakan
adalah tonometer aplanasi Goldmann, yang disambungkan ke slitlamp dan mengukur
kekuatan yang dibutuhkan untuk mendatarkan area tertentu di kornea. (3)
Saat ini, baku emas untuk mengukur IOP adalah dengan tonometer aplanasi Goldmann.
Tonometer aplanasi Goldmann berkerja berdasarkan prinsip Imbert-Fick, yang menyatakan
bahwa tekanan tekanan untuk mengaplanasi lapisan yang tipis dan kering dibagi oleh daerah
yang diratakan (P=F/A) sama dengan tekanan yang ada dalam daerah itu. karena permukaan
kornea tidak kering karena adanya lapisan tear film, diameter kepala tonometer yang
mengaplanasi kornea diatur pada 3,06 mm. ketika kornea diindentasi dengan diameter kepala
ini, efek tarikan kapiler dari mebniskus dari tear film ditiadakan. Kepala tonometer dibuat
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)30
dari plastic dan pada ujungnya terdapat biprisma transparan yang membagi gambar yang
terlihat menjadi dua bagian semi lingkaran. Kornea dianestesi dan fluoresen diteteskan pada
forniks inferior konjungtiva untuk meningkatkan visualisasi dua semi lingkaran itu. Kepala
tonometer ditempelkan pada permukaan kornea.
Pemeriksa harus berhati-hati agar tidak terjadi abrasi kornea dan dekompensasi kornea yang
terjadi karena penggunaan anestesi topical. Ujung tonometer harus selalu diusap dengan
larutan hydrogen peroksida atau dengan alcohol isopropyl 70% untuk mencegah infeksi dan
dikeringkan sebelum digunkana unruk mencegah lepuhan kimiawi pada kornea. Instrument
ini harus dikalibrasoi 2 kali per tahun. Pengukuran IOP dengan tonometer aplanasi Goldmann
terbatas pada astigmatisme kornea yang lebih dari 3 D.
Kemungkinan didapatkannya nilai yang melebihi IOP sebenarnya (overestimation):


terlalu banyak fluoresen
kornea yang terlalu tebal.
Kemungkinan didapatkannya nilai yang kurang dari IOP sebenarnya (underestimation):




Terlalu sedikit fluoresen
Edema kornea
Kornea yang tipis
Waktu kontak yang berlebihan (8)
Tonometer aplanasi lainnya adalah tonometer Perkins dan Tonopen, yang keduanya portabel,
dan pneumototonometer, yang dapat digumalam demhamn lensa kontak yang digunakan pada
kornea yang memiliki permukaan yang tidak teratur. Tonomneter Schiotz dapat bersifat
portable dan mengukur indentasi kornea yang dihasilkan oleh beban tertentu.(3)
Tonometri nonkontak meratakan korena dengan menggunakan hembusan udara. Waktu yang
dibutuhkan untuk meatakan kornea (dihitung dalam milisekon) kemudian dikorelasikan
dengan IOP. Pengukuran onometri nonkontak memiliki tingkat keslaahan perkiraan IOP
berkisar dari 1-3 mmHg.(8)
Tekanan IOP normal berkisar antara 10-21 mmHg. Pada orang tua, tekanan IOIP lebih tinggi,
memberikan batas atas 24 mmHg. Pada POAG, 32-50% individu yang terkena akan memiliki
IOP yang normal pada saat pertama kali diukur. Sebaliknya, peningkatan IOP tidak berarti
bahwa pasien memiliki POAG, karena masih perlu dilakukan pemeriksaan optik disk atau
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)31
perubahan lapang pandang untuk diagnosisnya. Jika IOP secara konsisten meningkat dengan
optik disk dan lapang pandang yang normal (hipertensi ocular), pasien dapat diobservasi
secara periodic sebagai suspek glaukoma. (3)
 Gonioskopi
Sudut ruang depan dibentuk oleh hubungan antara kornea perifer dan iris, yang di antaranya
terdapat TM. Konfigurasi sudut ini penting dalam regulasi aliran keluar aqueous. Lebarnya
sudut ruang depan dapat diperkirakan dengan iluminasi oblik dengan pen loight atau dengan
observasi slitlamp akan kedalaman ryuang anterior perifer, tapi paling baik ditentukan dengan
gonioskopi, yang dapat memberikan visualisasi lain dari struktur sudut. Jika dapat
memvisualisasikan keseluruhan TM, spur skleral, dan prosesus iris, maka itu berarti sudutnya
terbuka. Namun, jika hanya dapat melihat garis Schwalbe atau sebagian kecil dari TM, itu
berarti sudutnya sempit. Jika tidak dapat melihat garis Schwalbe, berarti sudutnya tertutup.
Mata dengan myopi yang besar memiliki sudut yang lebar, dan mata yang hiperopik kecil
memiliki sudut yang sempit. Pembesaran lensa seiring usia menyempitkan sudut dan
berperan bagi beberapa lasus glaukoma sudut tertutup.
 Evaluasi optik disk
Optik disk yang normal memiliki depresi senttral (cup fisiologik) yang ukurannya tergantung
dari kumpulan serat-serat yang membentuk saraf optik relative terhadap ukuran pembukaan
sclera yang harus dilaluinya. Pada mata hiperopik, pembukaan sclera kecil, sehingga optik
cup kecil; pada mata myopi terjadi sebaliknya. Atrofi optik glaukomatus menghasilkan
perubahan disk spesifik yang ditandai dengan hilangnya substansi disk, yang ddapat
dideteksi sebagai pembesaran optik disk cup, berhubungan dengan pucatnya disk di aera
cupping. Bentuk lainnya dari atrofi optik menyebabkan penyebaran kepucatan tanpa
peningkatan cupping disk.
Rasio cup-disk berguna untuk mengukur ukuran optik disk, merupakan rasio ukuran cup
terhadap diameter disk, misalkan cup yang kecil adalah 0,1 dan cup yang besar adalah 0,9.
Pada keadaan adanya kehilangan lapang pandang atau peningkatan IOP, rasio cup-disk lebih
besar dari 0,5 atau asimetris antar kedua mata yang signifikan menandakan adanya atrofi
glaukomatus.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)32
Pemeriksaan klinis optik disk dapat dilakukan dengan oftalmoskopi langsung atau dengan
pemeriksaan lensa 78 diopter atau dengan lensa kointak kornea khusus yang memberikan
gambaran 3 dimensi. (3)
Pemeriksaan saraf optik mungkin merepresentasikan elemen terpenting dalam evaluasi klinis
glaukoma karena perubahan structural pada optik disk dapat mendahului kehilangan lapang
pandang yang dapat dideteksi pada kasus glaukoma. Saraf optik pada glaukoma biasnaya
dideskripsikan dengan menggunakan rasio cup-disk yang diperkenalkan oleh Armaly pada
1967, yang digunakan secara luas di klinis. Rasio cup-disk berdasarkan dari tiga studi
populasi, yang menyimpulkan bahwa rasio cup-disk diturunkan secara genetic, simetris pada
kedua mata, dan tidak dipengaruhi usia. Rasio cup-disk juga memiliki variasi antar pengamat
yang besar yang dikarenakan kurangnya cara terstandart untuk mendefinisikan parameter ini.
Keterbatasan rasio cup-disk:
1. Hanya berfokus pada ukuran cup
2. Ukuran disk tidak dipertimbangkan
3. Disk dengan rasio cup-disk yang normal mungkin saja terdapat penipisan atau
notching fokal
4. Perubahan fokal yang terjadi di neuroretinal rim tidak dideskripsikan
Ukuran disk harus selau dipertimbangkan ketika mengevaluasi pasien dengan glaukma. Disk
yang besar memiliki cup yang lebih besar dan neuroretinal rim yang lebih sempit tanpa
dianggap patologis, sebaliknya disk kecil dengan cup besar biasanya patologis. Lebih lanjutm
disk dengan rasio cup-disk normal dapat memiliki cup eksentrik dengan notch neuroretinal
rim yang terlokalisasi.
Beberapa studi telah menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara morfologi
neuroretinal rim dan hubungannya dengan defek lapang pandang. Evaluasi neuroretinal rim
ditunjukkan sebagai evaluasi yang lebih superior daripada rasio cup-disk dalam hubungannya
dengan fungsi visual dan mampu mejmbedakan anatar disk normal dan glaukomatus.
Berdasarkan ketrbatasan yang dimiliki rasio cup-disk, Spaeth mengembangkan Disc Damage
Likelihood Scale (DDLS) untuk mendapatkan evaluasi yang lebih lengkap tentang saraf optik
pada pasien glaukoma. Derajat keruskaan saraf optik glaukomatus DDLS berdasarkan tiga
variable: diameter disk vertical (diukur pada sliplamp dengan lansa indirek 60, 66, atau 90
D), lebar radial tersempit, dan luas sirkumferensial kehilangan neuroretinal rim (diukur
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)33
dengan menggunakan oftalmoskop direk dan indirek). Disk digradasikan menggunakan
sistem scoring dari 1-10, di mana 1 dianggap sebagai disk normal dan 10 dianggap sebagai
keusakan disk yang parah. (8)
Berikut adalah interpretasi DDLS (11):
 Pemeriksaan lapang pandang
Tes ketajaman pandangan adalah bagian yang penting dari evaluasi pasien glaukoma karena
memberikan informasi kepada klinisi tentgang status fungsional pasien. pada stadium awal
glaukoma, ketajaman pandangan masih terpelihara dan lebih tepatnya bagian tengah
pandangan tetap intak hingga stadium akhir dari penyakit. Oleh karena itu, ketajaman
penglihatan sendiri tidak selalu dpaat memberikan informasi yang cukup untuk mengevaluasi
keparahan glaukoma. Pada glaukoma yang sangat lanjung, ketajaman pandangan dapat
menjadi faktor penting dalam pemilihan terapi. (8)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)34
Pemeriksaan lapang pandang secara rutin penting untuk diagnosis dan pemantauan glaukoma.
Kehilangan lapang pandang glaukomatus sendiri tidak spesifik, karena terdiri dari defek
kumpulan serat saraf yang dapat ditemukan pada penyakit saraf optik lainnya, namun pola
kehilangan pandangan, hakikat progresinya, dan korelasinya dengan perubahan optik disk
adalah karakteristik penyakit ini.
Kehilangan lapang pandnag glaukomatus secara melibatkan 30 derajat sentral dari
pandangan. Perubahan yang paling awal adalah titik buta. Ekstensi ke area lapang pandang
Bjerrum (15 derajat dari fiksasi) menghasilkan skotoma Bjerrum dan kemudian skotoma
arkuata. Area fokal yang menbgakibatkan kehilangan pandangan yang lebih jauh jauh terjadi
di dalam area Bjerrum kenal dengan skotoma Seidel. Skotoba arkuata ganda (di atas dan
bawah meridian horizontal), sering disertai dengan nasal step Roenne karebna perbedaan
ukuran dari dua deferk arkuata tersebut menyebabkan terobosan perifer. Lapang pandang
perifer temporal dan 15 derajat sentral terjadi pada akhir penyakit ini. ketajaman penglihatan
visual bukanlah indeks yang dapat dipercaya untuk memantau perkembangan penyakit ini.
pada stadium akhir, mungkin terdapat ketajaman penglihatan sentral yang normal namun
hanya lapang pandang 5 derajat pda setiap mata.
Beberapa cara untuk mengukur lapang pandang glaukoma termasuk perimeter otomatis
(seperti Humphrey, Octopus, Henson), perimeter Goldmann, analsisi lapang Friedman, dan
layar tangent. Defek lapang pandang tidak terdeteksi hingga terjadi kehilangan 40% sel
ganglion retina.
 Respon Pupil
Salah satu metode untuk mengevaluasi glaukoma adalah dengan mengidentifikasi adanya
relative afferent pupilary defect (RAPD). Hal ini disadarkan dari hakikat neuropati optik
glaukomatus asimetrik, RAPD diharapkan dapat menentukan tingkat keparahan kondisi ini.
RAPD diperiksa dengan menggunakan tes swinging flashlight (SFM). Selain itu juga dapat
digunakan infrared pupilografi untuk mengidentifikasi adanya RAPD. Metode yang lebih
baru, yaitu magnifier-assisted SFM (MAM), menggunakan lensa 20 D yang ditempatkan di
depan mata yang diuji, menunjukka n hasil yang lebih spesifik dan sensitive daripada SFM
untuk deteksi RAPD. (8)
H. Terapi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)35
Terapi penanganan glaukoma dilakukan dengan terapi pengobatan dan terapi pembedahan
dan laser.
I.
Terapi pengobatan
 Beta blocker
Ada dua kelas beta bloker topical.
A. Non selektif, yang berikatan dengan rseptor B1 dan B2, misalkan timolol maleat dan
hemihidrat, levobunolol, metipranolol, dan carteolol.
B. Selektif reseptor B1, yaitu betaxolol, namun kurang efektif dibandingkan dengan beta
bloker non selektif, karena kebanyakan reseptor B yang ada di mata bersubtoipe B2.
Namun, karena reseptor B1 juga terdapat di jantung, dan reseptor B2 terdapat di paru, maka
betaxolol lebih jarang menyebabkan kesulitan napas. Di mata, jaringan target adalah epitel
badan siliaris dan pembuluh darah, di mana reseptor B2 mencapai 75-90% total reseptor B.
masih belum jelas bagaimana blockade reseptor B dapay menyebabkan penurunan produksi
AH dan penurunan IOP. Produksi AH nampaknya diaktivasi oleh jalur siklik AMP-PKA
yang dimediasi reseptor B.blokade B melumpuhkan aktivasi adrenergic pada jalur ini dengan
mencegah stimulasi katekolamin oleh reseptor B, dengan demikian menurunkan siklik AMP
intraselular. Hipotesis lain menyatakan bahwa B belaoker menurunkan aliran dalah ocular,
sejiongga menurunkan ultrafiltasi yang diperlukan untuk prduksi AH
Larutan timolol maleat 0,25% dan 0,5%, betaxolol 0,25% dan 0,5%, levobunolol 0,25% dan
0,5%, metripranolol 0,3%, dan carteolol 1% digunakan dua kali sehari dan gel timolol maleat
0,1%, 0,25%, dan 0,5% digunakan sekali sehari pada pagi hari. Kontra indikasi utama dari
penggunaan beta bloker non selektif adalah penyakit jalan napas obrstruktif kronik, seperti
asma, dan gangguan konduksi jantung.
Ketika ada kontra indikasi medis terhadap pnggunaan analog PG atau antagonis B bloker,
maka sebagai terapi lini pertama, dapat digunakan agonis reseptor adrenergic B2 atau
penghambat karbonik anhidrase (CAI) topical. Agonis adrenergic B2 meningkatkan profil
farmakologi dari agen simpatomimetik non selektif epinefrin dan derivatnya, dipiverin.
Epinefrin merangkng reseptor adrenergic A dan B. obat ini menurunkan IOP dengan
meningkatkan aliran keluar konvensional (melalui mekanisme reseptor B2) dan uveoskleral
(melalui produksi PG). walaupun efektif, nanum epinefrin ditoleransi dengan buruk, terutama
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)36
karena iritasi yang terlokalisasi dan hiperemis. Dipevrin adalah prodrug epinefrin yang
diubah menjadi epinefrin noleh esterase di kornea. Dipiverin ditoleransi dengan lebih baik,
namun masih rentan untuk menyebabkan efek samping seperti yang ditimbulkan oleh
epinefrin. Agonis adrenergic B2 klonidin efektif dalam nmenurunkan IOP namun dapat
melewati sawar darah otak dan menyebabkan hipotensi sistemik, sehingga tidak lagi
digunakan untuk terapi glaukoma. Apraclonidin adalah agonis adrenergic B2 yang relatif
selektif yang tidak melewati sawar darah otak.
 Agonis adrenergic A2
Brimonidin juga agonis adrenergic A2 selektif namun bersifat lipofilik, yang
memampukannya melakukan penetrasi ke kornea dengan mudah. Apraklonidin dan
brimonidin menurunkan produksi AH dan meningkatkan aliran keluar uveoskleral. Keduanya
berikatan dengan reseptor A2 pada pre dan post sinaptik. Dengan berikatan ke reseptor
presinaptik, obat ini menurunkan jumlah neurotransmitter yang dilepaskan oleh stimulasi
saraf simpatis dan dengan demikian, menurunkan IOP. Dengan berikatan ke reseptor A2
postreseptor obat ini merangsang jalur Gi, mengurangi produksi siklik AMP, sehingga
menurunkan produksi AH. (12) Namun sumber lain mengatakan bahwa brimonidin, bukan
apraklonidin , yang mempengaruhi aliran keluar.
Apraklonidin tersedia dalam 0,5% larutan yang digunakan tiga kali sehari, dan 1% larutan
yang digunakan sebelum dan sesuadah terapi laser. Apraklonidin tidak cocok untuk
p[penggunaan dalam jangka waktu lama karena dapat menyebabkan takifilaksis dan insiden
terjadinya reaksi alergi yang tinggi. Brimonidin tersedia dalam larutan 0,2% dan digunakan
dua kali sehari, dapat digunakan sebagai terapi lini terpata atau sebagai agen tambahan. (3)
 CAI
Perkembangan CAI topical didorong oleh karena profil efek samping dari CAI oral.
Dorzalamid dan bronzolamid bekerja dengan menghambat karbonik anhidrasi (isoenzim II),
yang ditemukan pada epitel badan siliaris, sehingga menurunkan pembentukan ion
bikarbonat, yang menrunkan transport cairan, dengan demikian, IOP. (12) Namun demikian,
potensi dari sediaan topical memberikan kurang kuat jika dibandingkan dengan administrasi
sistemik.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)37
Dorzalamid tersedia dalam sediaan larutan 2% dan brinzolamid tersedia dalam larutan 1%
yang digunakan dua hingga tiga kali sehari. Efek samping terutama adalah rasa pahit
sementara dan blefarokonjungtivoitis alergi.
Acetalozamid adalah penghambat karbonik anhidrase sistemik yang paling banyak
digunakan, selain diklorfenamid dan mertazolamid, yang digunakan pada glaukoma kronik
ketika terapi topical tidak cukup efektif dan pada glaukoma akut ketika IOP sangat tinggi
sehingga harus dikontrol secepatnya. Acetalozamid dapat menekan produksi AH hingga 4060%. Acetalozamid diberikan per oral dengan dosis 125-250 mg hingga empat kali sehari,
atau secara intravena (500 mg). (3)
 Analog PG
Karena administrasinya yang satu kali sehari, rendahnya insiden efek samping sistemik, dan
efek menurunkan IOP yang poten, analog PG telah banyak digunakan untuk menggantikan
antagonis reseptor adrenergic B sebagai terapi lini pertama glaukoma. Analog PG misalkan
latannoprost, travoprost, dan bimatoprost.
PGF2A menurunkan IOP namun memunculkan efek samping local yang tak dapat ditoleransi.
Mpdifikasi struktur kimia PGF2A menunculkan anaog dengan profil efek samping yang lebih
dapat diterima. Analog PGF2A menurunkan IOP dengan memfasilitasi aliran keluar AH
melalui jalur aliran keluar uveoskleral.PGF2A dan analognya (prodrug yang dihidrolisis
menjadi PGF2A) berikatan ke reseptor FP yang berhubngan dengan Gq11 dan kemudian ke
jalur PLC-IP3-Ca2+, yang aktif pada sel otot siliaris. Sel-sel lain di mata juga
mengekspresikan FP reseptor. Teori lain mengatyakan bahwa PGF2A menurunkan IOP
dengan menrubah tensi otot siliaris sheingga sel-sel TM melepaskan metaloproteinasie
matrix dan materi matriks eksltraselular kemudian dicerna, sehinga meningkatkan aliran
keluar. (12)
Bimatoprost 0,003%, latanoprost 0,005%, dan travoprost 0,004% digunakan sekali setiap
malam, dan unoproston 0,15% digunakan dua kali sehari. Semua analog PG menyebabkan
hiperemis konjungtiva, hiperpigmentasi kulit periorbital, pertumbuhan bulu mata, dan iris
yang berwarna lebih gelap. Analog PG juga jarang berhubungan dengan reaktivasi uveitis
dan keratitis herpes dan dapat menyebabkan edema macula pada orang-orang yang
terpredisposisi.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)38
 Agen parasimpatomimetik
Golongan ini meningkatkan aliran keluar AH dengan kerjanya pada TM melalui kontraksi
badan siliar. Pilocarpin tidak digunakan secara umum sejak penemuan analog PG, namun
dpaat berguna pada beberapa p[asien. Pilocarpin digunakan dalam larutan 0,5-6% yang
diberikan empat kali sehari atau gel 4% pada saat sebelum tidur. Karbakol 0,75-3% adalah
agen kolienergik alternative. Agen parasimpatomimetik menyebabkan miosis dengan
pandangan kaburm terutama pasien dengan karak, dan spasme akomodasi yang akan sanghat
mengganggu bagi pasien yang lebih musa. Ablasi retina adalah efek samping yang serius,
namun jarang terjadi.
 Agen hiperosmotik
Agen hiperosmotik menyebabkan darah menjadi hipertonik, sehingga menarik air dari
vitreous dan menyebabkannya menciut dan menurunkan produksi AH. Penurunan volume
vitreous membantu terapi glaukoma sudut tertutup akut dan glaukoma malignan ketika terjadi
dislokasi anterior dari lensa kristalin menyebabkan penutupan sudut (glaukoma sekunder
sudut tertutup). Gliserin oral, 1 cc/kgBB dalam 50% larutan dingin dicampurkan dengan jus
lemon, adalah agen yang paling sering digunakan, namun harus digunakan hati-hati pada
pasien dengan diabetes mellitus. Sebagai alternative, dapat digunakan isosorbid oral dan urea
atau manitol intravena (3)
Toksisitas dalam terapi glaukoma
Spasme badan siliaris adlah efek kolinergik muskarinik yang dapat menyebabkan myiopa dan
perubahan refraksi karena kontraksi itris dan badan siliaris. Sakit kepala dapa tejadi karena
kontraksi iris dan badan siliaris. Zat-zat ynag berkaitan dengan epinefrin, efektif dalam
penurunan IOP, dapat menyebabkan fenomena vasokontriksi-vasodilatasi yang menyebabkan
mata merah. Alergi ocular dfan kulit karena epinefrin topical, maupun prodrugnya,
apraclonidine dan brimonidine sering terjadi. Nrimonidin lebih jarang menyebabkan alergi
ocular, sehuingga lebih sering digunakan. Obat-obatan ini dapat menyebabkan depresi SSP
dan apnea pada neonates dan dikontraindikasikan pada anak berusoia di bawah 2 tahun. (12)
Absorpsi sistemik dari obat yang berkaitan dengan epinefrin dan antagonis reseptor B dapat
menyebabkan semua efek samping seperti yang ditimbulkan pada adminsitrasi sistemik.
Penggunaan CAI memberikan efek samping lemas, lelah, depresi, parastesia, dan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)39
nefrolitiasis; CAI topical menurunkan efek-efek samping ini. Strategi medis untuk menangani
glaukoma bertujuan untuk memperlampat progresi penyakit ini, sambil memperhatikan efekefek samping yang dikarenakan oleh terapi.
II.
Terapi pembedahan dan laser
 Iridotomi perifer, iridektomi, dan iridoplasti
Glaukoma sudut tertutup paling memuaskan diatasi dengan membentuk komunikasi
langsungh antara ruang posterior dan anterior yang memindahjab tekanan antara keduanya.
Iridotomi laser perifer paling baik dilakukan dengan neodymium:YAG laser. Pembedahan
ridektomi perifer dilakukan bila iridotomi laser YAG tidak efektif. Iridotomy laser YAG
adalah usaha pencegahan pada pasien dengan sudut yang sempit sebelum terjhadi serangan
sudut tertutup.
Pada beberapa kasus sudut tertutup akut ketika tidak memungkinkan mengontrol IOP dengan
obat-obatan atau iridotomi laser YAG tak dapat dialkukan, iridoplasti laser argon perifer
(ALPI) dapat dilakukan. Cincin bakaran laser pada iris perifer mengkontraksikan stroma iris,
secara mekanis menariknya membuka sudut ruang anterior. Ada 30% risiko sinekia anterior
dan peningkatan IOP secara kronik.
 Trabekuloplasti laser
Aplikasi laser (biasanya argon) melalui goniolens ke TM memfasilitasi aliran keluar AH
karena efeknya tyerhadap AH dank anal Schlemm atau proses selular tyang meningkatkan
fungsi selular. Teknik ini dapat diaplikasikan pada banyak bentuk glaukoma sudut terbuka,
dengan hasil yang beragam tergantung penyebab yang mendasari. Penurtunan tekanan
biasanya menurunkan terapi obat-obatan dan penundaan pembedahan glaukoma.
Trabekulopalasi dapat digunakan pada terapi awal POAG. Pada kebanyakan kasus, IOP
secara perlahan kembali ke keadaan seperti sebelum teapi pada 2-5 tahun kemudian.
 Trabekulektomi
Trabekuloktomi adalah prosedur yang paling banyak dilakukan untuk bypass kanal drainase
normal, sehingga ada akses langsung dari ruang anterior ke jaringan subkonjungtiva dan
orbital. Komplikasi mayornya adalah fibrosis di jaringan episkleral, menyebabkan penutupan
jalur drainase yang baru. hal ini cenderfung terjadi pada pasien muda, berkulit hitam, pada
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)40
pasien dengan glaukoma yang sekunder terhadap uveitism dan pada mereka yang sebelumnya
sudah menjalani pembedahan drainasi glaukma atau pembehdana lainnya yang melibatkan
jaringan peisklera. Terapi perioperatif atau postoperative tambahan dengan antimetabolit,
seperti 5-fluorouracil dan mitimicin C menurunkan risiko kegagalan bleb dan berhubungan
dengan control IOP yang baik namun dapat menyebabkan komplikasi yang berhubungan
dengan bleb seperti ketidaknyamanan ocular persisten, infeksi bleb, atau makulopari dari
hipotonus ocular persisten. Trabekulektomi secara signifikan mempercepat pembentukan
katarak.
Implantasi silicon tube untuk membentuk aliran keluar AH yang permanen adlah prosedur
alternatif pada mata yang tidak berespon terhadap trabekulektomi, termasuk maya dengan
glaukoma sekunder (biasanya glaukoma neovaskular) dan glaukoma yang terjadi setelah
pembedahan graft kornea.
 Viscoanalostomi dan sklerektomi
Viscoanalostomi dan sklerektomi dengan implant kolagen menghindarkan mata dari insisi
yang tebal. Penurunana IOP tidak sebaik seperti yang didapat dengan prosedur
trabekulektomi, namun potensi komplikasi yang didapat lebih sedikit.
 Goniotomi
Goniotomi dan trabekulektomi adalah teknik yang berguna untuk menangani glaukoma
congenital primer, di mana ada obstruksi drainase AH di bagian dalam TM.
 Siklodestruktif
Pada kasus kegagalan terapi obat dan pembedahan pada glaukoma lanjut, dapat
dipertimbangkan penggunaan laser atau pembehdana untuk menghancurkan badan siliaris
untuk mengontrol IOP. Krioterapi, diatermi, mode termal neodymium:laser YAG, atau laser
diode dapat digunakan untuk menghandurkan badan siliaris. (3)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)41
I.Komplikasi
Jika diterapi, glaukoma akan menyebabkan kehilangan pandangan secara prgresif, dimulai
dari titik buta di penglihatan perifer, tunnel vision, hingga kebutaan total. (13) Komplikasi
ini adalah penyebab dari 15% kebutaan di seluruh dunia (14), dengan glaukoma sudut
tertutup yang lebih cenderung mengalami kebutaan daripada glaukoma sudut terbuka. (15)
J. Prognosis
Prognosis pasien dengan POAG secara umum baik. Dengan evaluasi yang seksama dan
ketaan terhadap terapi, kebanyakan pasien dengan POAG dapat mempertahankan penglihatan
hingga seumur hidup mereka. (16) Prognosis pasien dengan glaukoma sust tertutup yang
knronin tergantung dari kemampuan untuk mengendalikan tekanan IOP. (17) Prognosis
pasien dengan glaukoma akut sudut tertutup tergantung dari kecepatan untuk deteksi awal
dan awal diberikannya terapi. (18)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)42
Bab III
Kesimpulan
Glaukoma adalah penyakit global yang saat ini diderita oleh enam puluh juta orang, dan 8,4
juta yang menjadi buta karenanya. Jumlah penderita penyakit ini akan terus meningkat,
hingga diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi delapan puluh juta penderita, dan 11,2
juta orang yang buta karena glaukoma. (5)
Glaukoma dapat diklasifikasikan menurut etiologinya, menjadi primer, sekunder, kongenital,
dan absolut. Menurut mekanisme peningkatan IOP, glaukoma dapat dibedakan menjadi dua
kelompok besar: sudut terbuka dan sudut tertutup (3).
Faktor risiko yang berperan pada glaukoma adalah ras, usia, riwayat keluarga dengan
glaukoma, serta faktor risiko okular, seperti IOP, myopi atau hiperopia, juga faktor risiko
sistemik, seperti hipertensi (8).
AH adalah cairan yang terisi di ruang anterior dan posterior mata yang berguna untuk
menutrisi jaringan-jaringan avaskuler pada media refraksi dan mengeliminasi zat hasil
metabolik pada jaringan-jaringan tersebut. Gangguan sirkulasi AH menyebabkan peningkatan
IOP, yang dikarenakan oleh peningkatan produksi AH atau gangguan pada aliran keluar AH.
Hal ini menyebabkan terjadinya glaukoma (3).
Hal ini kemudian akan menyebabkan neuropati glaukomatus pada retina yang terjadi dengan
penurunan faktor pertumbuhan, peningkatan aktivitas MMP, peningkatan stres oksidatif, yang
kemudian akan berujung pada mekanisme apoptosis. (10)
Pemeriksaan penunjang pada glaukoma dapat dilakukan terutama dengan tonometri aplanasi
Goldmann sebagai baku emas.
Terapi dalam glakoma berupa terapi pengobatan dan terapi pembedahan dan laser. Agen yang
digunakan dalam terapi pengobatan adalah beta bloker, agonis adrenergic A2, karbonik
inhidrase inhibitor, analog prostaglandin, agen parasimpatomimetik, dan agen hiperosmotik.
Terapi pembedahan dan laser dapat dilakukan misalkan dengan irtidotomi periferm
iridektomi, iridoplasti, dan trabekulektomi. (3)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)43
Jika tidak diterapi atau terapi tidak adekuat, glaukoma akan menyebabkan gangguan
penglihatan secara progresif hingga kebutaan total (13). Prognosis pasien tergantung dari
terapi yang diberikan dan responsivitasnya (16).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)44
Daftar Pustaka
1. Longe JL (2006) The Gale Encyclopedia of Medicine, 3rd edn., USA: Gale.
2. Mosby (2008) Mosby's Medical Dictionary, 8th edn., USA: Elsevier.
3. Eva PR, Whitcher J (2007) Vaughan & Asbury's General Ophthalmology, 17th edn.,
USA: McGraw-Hill Medical.
4. Kingman S (2004) Glaucoma is second leading cause of blindness globally, Available
at: http://www.who.int/bulletin/volumes/82/11/feature1104/en/index1.html (Accessed:
22nd November 2012).
5. Cook C, Foster P (2012) 'Epidemiology of glaucoma: what's new?', Can J
Ophthalmol, 47(3), pp. 223-6 [Online]. Available at:
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22687296 (Accessed: 22nd November 2012).
6. Quigley HA, Broman AT (2006) 'The number of people with glaucoma worldwide in
2010 and 2020', Br J Ophthalmol , 90(), pp. 262–267 [Online]. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1856963/pdf/262.pdf (Accessed: 22nd
November 2012).
7. Tempo (2010) Hanya 30 Persen Layanan Kesehatan Punya Detektor Dini
Glaukoma , Available at:
http://www.tempo.co/read/news/2010/03/11/079231794/Hanya-30-Persen-LayananKesehatan-Punya-Detektor-Dini-Glaukoma (Accessed: 22nd November 2012).
8. Yanoff M, Duker JS (2008) Ophthalmology, 3rd edn., USA: Mosby.
9. Rumelt S (2011) Glaucoma - Basic and Clinical Concepts, 1st edn., Kroasia: Intech.
10. Agarwal R, Gupta SK, Agarwal P, et al (2009) 'Current concepts in the
pathophysiology of glaucoma', Indian J Ophthalmol, 57(4), pp. 257–266 [Online].
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2712693/ (Accessed:
22nd November 2012).
11. Thieme (2009) Klinische Monatsblätter für Augenheilkunde, Available at:
https://www.thieme-connect.de/ejournals/html/10.1055/s-0028-1109288 (Accessed:
22nd November 2012).
12. Brunton L, Chabner B, Knollman B (2010) Goodman and Gilman's The
Pharmacological Basis of Therapeutics, 12nd edn., USA: McGraw-Hill Professional.
13. Mayo Clinic (2012) Glaucoma Complications, Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/glaucoma/DS00283/DSECTION=complications
(Accessed: 22nd November 2012).
14. Spry PGD, Sparrow JM (2001) An evaluation of open angle glaucoma against the
NSC criteria for screening viability, effectiveness and appropriateness, Available at:
www.screening.nhs.uk/policydb_download.php?doc=8 (Accessed: 22nd November
2012).
15. Burr JM, Mowatt G, Hernández R, et al (2007) 'The clinical effectiveness and costeffectiveness of screening for open angle glaucoma: a systematic review and
economic evaluation.', Health Technol Assess, 11(41), pp. iii-iv, ix-x, 1-190 [Online].
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17927922 (Accessed: 22nd
November 2012).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Glaukoma – Kristian Wongso G. (406107066)45
16. Bell J (2012) Primary Open-Angle Glaucoma Follow-up, Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1206147-followup#a2650 (Accessed: 22nd
November 2012).
17. Sihota R, Sood A, Gupta V, et al (2004) 'A prospective longterm study of primary
chronic angle closure glaucoma.', Acta Ophthalmol Scand, 82(2), pp. 209-13 [Online].
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15043543 (Accessed: 22nd
November 2012).
18. Noecker RJ (2011) Glaucoma, Angle Closure, Acute Follow-up, Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1206956-followup#a2650 (Accessed: 22nd
November 2012).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata
RSUD Kota Semarang
Download