BAB V PENUTUP I. KESIMPULAN Pada bagian awal penelitian ini

advertisement
BAB V
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Pada bagian awal penelitian ini peneliti sudah menjelaskan bahwa melalui
penelitian ini peneliti ingin mencari tahu bagaimana komunikasi resolusi
konflik yang dilakukan oleh Humas Pemerintah Kabupaten Kulonprogo dalam
menangani konflik dengan warga Kecamatan Temon yang menolak proyek
bandara baru di daerah tersebut.
Konflik ini menarik untuk dijadikan sebuah objek penelitian karena ada
begitu banyak kepentingan dan isu-isu besar didalamnya, seperti kemunculan
Perda Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 yang bertolak belakang dengan
peraturan-peraturan yang tingkatannya lebih tinggi, isu-isu politik tentang
pihak yang menunggangi WTT, serta intrik keputusan hasil persidangan di
PTUN soal gugatan warga terhadap IPL bandara.
Sudah menjadi tugas seorang Humas untuk menyelesaikan masalah yang
terjadi antara pihak instansi dengan pihak luar tanpa mencederai salah satu
pihak. Sebuah tantangan besar bagi Humas Pemerintah Kulonprogo untuk
menemukan titik terang dari konflik yang terjadi ini. Jika tidak menggunakan
cara yang tepat bukan tidak mungkin konflik akan semakin berlarut dan proyek
yang besar ini akan berjalan di tempat, bahkan dapat menjadi konflik yang
lebih besar lagi dikemudian hari yang akan menimbulkan kerugian besar secara
materil maupun imateril.
Melalui penelitian lapangan yang sudah peneliti lakukan, serta analisis
data yang dilakukan, peneliti dapat menarik sebuah kesimpulan untuk
menjawab pertanyaan awal penelitian ini yaitu bagaimana komunikasi dan
resolusi konflik yang dilakukan oleh Humas Pemerintah Kulonprogo terhadap
warga Kecamatan Temon yang menolak proyek pembangunan New
Yogyakarta International Airport.
86
Peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa pertanyaan tersebut sudah
terjawab melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Humas Pemkab
Kulonprogo seperti negosiasi, sosialisasi, konsultasi publik, open house,
maupun release media massa. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan sesuai
dengan yang tertulis dalam Undang-Undang dan kegiatan-kegiatan reaktif yang
sesuai dengan kondisi permasalahan yang ada.
Sosialisasi secara formal dilakukan karena memang sudah tertulis dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum, sehingga hal tersebut wajib dilakukan bagi penyelenggara
proyek setiap sebelum melakukan kegiatan proses apapun dalam proyek
Lalu konsultasi publik yang merupakan kegiatan formal yang wajib
dilakukan untuk menentukan apakah proyek diterima atau tidak oleh warga.
Tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, dalam konsultasi
publik dilakukan musyawarah untuk proses pelaksanaan proyek antara
penyelenggara dan warga calon lokasi.
Selain sosialisasi secara formal, terdapat beberapa sosialisasi yang
dilakukan secara informal oleh Humas Pemerintah Kabupaten Kulonprogo.
Sosialisasi tersebut biasanya dilakukan dengan dibalut kegiatan sosial atau
keagamaan bersama warga Kecamatan Temon. Hal ini dilakukan agar warga
dapat menerima dan terbuka terhadap pihak Pemerintah. Walaupun kegiatan
yang dilaksanakan merupakan kegiatan sosial atau keagamaan, didalamnya
tetap terdapat sesi sosialisasi soal proyek bandara.
Open house merupakan sebuah cara untuk memberikan fasilitas serta
sarana bagi warga untuk menyampaikan pendapat, aspirasi, ataupun protes
mengenai proyek bandara. Hal ini berawal dari pengamatan lapangan bahwa
warga cenderung diam jika dikumpulkan, tidak semua aspirasi dikeluarkan
dalam kegiatan formal. Maka dari itu dibuatlah open house di media center
Pemerintah Kabupaten Kulonprogo. Rumah dinas Bupati Kulonprogo pun
dibuka untuk open house, hanya saja ada jadwal dan protokoler tertentu yang
harus dipatuhi bagi warga yang ingin datang.
87
Selanjutnya dilakukan juga berbagai kegiatan negosiasi. Negosiasi yang
dilakukan oleh Pemkab Kulonprogo kebanyakan berkutat pada kesepakatan
mengenai harga tanah dan nasib warga setelah lahan diambil, seperti relokasi
ataupun mata pencaharian warga. Negosiasi juga pernah dilakukan untuk
mengambil hati warga yang menolak tanpa sebab, namun hal tersebut
seringnya berjalan sia-sia tanpa hasil yang diinginkan oleh Pemkab. Negosiasi
dilakukan dengan pihak negosiator atau pihak Pemkab datang dengan suasana
santai, tanpa atribut atau kelengkapan instansi. Hal tersebut dilakukan agar
warga tidak segan atau sentimen dengan tim yang datang, sehingga proses
diskusi diharapkan dapat lebih mengalir tanpa ada pembatas warga dan
pamongnya, serta win-win solution dapat tercapai.
Selain pertemuan-pertemuan secara tatap muka langsung, release lewat
media cetak juga dilakukan oleh Humas Pemerintah Kulonprogo sebagai
bentuk “perlawanan” atas gerakan WTT yang memunculkan isu melalui media
pula. Ketika isu muncul, Humas akan langsung menganalisis isu tersebut, lalu
hasil analisa akan diserahkan kepada tingkat atasan untuk menjadi bahan
pertimbangan. Lalu instruksi atau jawaban akan muncul, Humas tinggal
menyerahkan release tersebut kepada awak media untuk mengeluarkan
beritanya.
Dari seluruh kegiatan yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik
tersebut, pihak narasumber tidak menyiapkan strategi tertentu. Semua kegiatan
tersebut bersifat spontan tanpa adanya sebuah perencanaan ataupun strategi
yang telah ditentukan sebelumnya (Bapak Isman, Staff Bagian TI dan Humas
Pemerintah Kabupaten Kulonprogo). Namun justru peneliti melihat adanya
unsur-unsur yang terdapat dalam strategi komunikasi dan resolusi konflik,
seperti analisis sasaran, pemilihan pesan, dan pemilihan media yang secara
tidak sadar dilakukan oleh pihak Humas Pemkab Kulonprogo.
Analisis sasaran terlihat jelas dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh
Humas Pemkab Kulonprogo bahwa mereka mengenal sikap serta sifat dari
warganya. Hal ini ditunjukkan melalui beberapa kegiatan yang menyesuaikan
dengan kebiasaan yang dapat diterima oleh warga itu sendiri. Contohnya
88
melalui kegiatan yang dibalut dengan kegiatan keagamaan maupun sosial.
Melalui kegiatan tersebut warga akan lebih terbuka dengan pemerintah,
berbeda jika dilakukan dalam jalur formal.
Selain itu juga mendekati warga melalui figur-figur tertentu seperti Bupati
Kulonprogo yang turun langsung untuk berdialog dengan warga menjadi
pilihan karena pihak Pemkab merasa warga akan lebih terbuka jika bisa
langsung berdialog dengan Kepala Daerah atau pemimpin yang mereka pilih.
Selain itu juga setiap kegiatan negosiasi yang dilakukan diperintahkan
untuk datang dengan pakaian santai tanpa ada atribut pemerintah apapun,
sehingga warga tidak merasa segan dan dapat lebih mudah serta terbuka
dengan negosiasi yang dilaksanakan.
Strategi pemilihan pesan pun dilakukan oleh Pemkab Kulonprogo dengan
menginstruksikan agar pesan-pesan yang disampaikan tidak menimbulkan
kesan mengintimidasi warga ataupun mengancam warga. Pesan-pesan
persuasif pun menjadi pilihan yang dilancarkan dalam setiap negosiasi. Hal ini
ditujukan agar tidak ada satu pihak pun yang merasa dirugikan oleh proyek
pembangunan bandara ini.
Strategi pemilihan penggunaan media dilakukan oleh Pemkab Kulonprogo
dengan memilih komunikasi tatap muka atau face to face communication
sebagai pilihan utama Pemkab dalam menyelesaikan konflik yang ada.
Komunikasi yang dilakukan secara tatap muka dan berdiskusi duduk bersama
dalam satu atap dinilai dapat lebih efektif untuk mencapai win-win solution
yang diharapkan oleh pihak Pemkab.
Selain tatap muka langsung, jalur penggunaan media pun dilakukan
melalui media cetak sebagai bantuannya. Hal ini dilakukan hanya untuk
mempublikasikan proses serta visi-misi proyek pembangunan bandara baru
supaya lebih luas, cepat, dan masif jangkauannya.
Setelah strategi analisis sasaran, pemilihan pesan, serta penggunaan media
dilakukan, maka peneliti berhasil memetakan pendekatan, model komunikasi,
orientasi komunikasi yang digunakan, serta bentuk penyelesaian konflik yang
digunakan oleh Humas Pemkab Kulonprogo.
89
Pendekatan resolusi konflik yang dipakai merupakan alternative dispute
resolution yang ditunjukan dengan tidak adanya pemaksaan maupun kecaman
yang dipakai dalam setiap kegaitan yang dilaksanakan oleh Pemkab
Kulonprogo. Mengedepankan jalur diskusi dan negosiasi merupakan jalur khas
dari pendekatan ini, sama seperti yang dilakukan oleh Pemkab Kulonprogo.
Model komunikasi transaksional digunakan oleh Pemkab Kulonprogo
dalam berdiskusi dengan warganya demi mencapai sebuah resolusi konflik. Hal
ini terlihat dalam setiap kegiatan Pemkab yang berusaha mencari jalan tengah
yang terbaik tanpa melukai salah satu pihak demi tercapainya sebuah
kesepakan dan resolusi.
Pemkab Kulonprogo menganggap kepentingan mereka sama pentingnya
dengan kepentingan para warga terdampak dan keduanya harus terwujud
dengan seimbang. Win-win solution menjadi sebuah harga mati bagi Pemkab
supaya tidak ada satu pihak pun yang mengalami kerugian. Hal ini
menunjukkan bahwa orientasi Pemkab dalam menyelesaikan konflik ini
berorientasi pada hubungan , atau relationship-centered orientation. Orientasi
yang memang mengedepankan kompromi, akomodasi, ataupun negosiasi,
seperti yang digunakan oleh pihak Pemkab Kulonprogo.
Negosiasi, diskusi, dialog, kompromi, akomodasi, untuk mencapai sebuah
win-win solution menjadi pilihan utama Pemkab Kulonprogo dalam
menyelesaikan konflik ini. Komitmen untuk tidak melukai salah satu pihak
serta tidak ada kerugian diantara kedua pihak menunjukkan bahwa bentukbentuk penyelesaian konflik yang dilakukan merupakan sebuah problem
solving. Sebuah win-win solution yang lahir dari sebuah negosiasi merupakan
tujuan utama Pemkab dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.
II. SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka peneliti dapat
memberikan beberapa saran ataupun rekomendasi sebagai berikut:
1. Bagi Humas Pemerintah Kabupaten Kulonprogo, strategi komunikasi
resolusi konflik merupakan sebuah hal esensial dalam menyelesaikan
90
konflik. Hal tersebut digunakan agar taktik maupun langkah-langkah yang
digunakan tepat sasaran, efektif serta efisien pelaksanaan serta efeknya.
Karena konflik yang terjadi bukan lagi merupakan konflik yang tidak
tampak dibawah permukaan, namun sudah menjadi konflik permukaan
yang berpotensi menjadi konflik yang lebih besar. Proyek pembangunan
bandara baru ini sudah mundur dari perencanaan awal proyek
pembangunan akan berjalan pada tahun 2013 karena konflik yang terjadi
ini. Bukan tidak mungkin nanti akan muncul konflik-konflik yang lebih
besar intensitas ataupun efek yang ditimbulkannya. Maka dari itu, sebuah
perencanaan serta pengelolaan komunikasi resolusi konflik yang matang
peneliti rasa sangat direkomendasikan dalam konflik seperti ini.
2. Bagi praktisi dalam bidang kehumasan, untuk lebih mengoptimalkan
fungsi Humas dalam kasus konflik seperti ini, karena bagaimanapun
komunikasi merupakan hal penting dalam penyelesaian konflik. Sering
kali bidang komunikasi dianggap sebelah mata dalam berbagai kasus,
padahal bidang komunikasi menjadi sebuah hal yang menentukan dalam
penyelesaian masalah apapun. Tanpa komunikasi yang baik, sebuah
masalah yang kecil bahkan bisa menjadi lebih besar lagi.
3. Bagi akademisi dalam bidang kehumasan, lebih meningkatkan kontribusi
dalam bentuk riset-rise dalam bidang komunikasi resolusi konflik melalui
kehumasan.
4. Bagi penelitian selanjutnya, penelitian ini tentunya masih banyak celah
serta kekurangannya. Sedikitnya contoh kasus serta literasi mengenai
peran humas dalam menyelesaikan konflik pertanahan menjadi salah satu
hambatan dalam penelitian ini. Karena kebanyakan kasus diselesaikan
melalui jalur hukum, maupun pemaksaan kehendak oleh salah satu pihak.
Maka dari itu penelitan selanjutnya diharapkan dapat lebih memperbanyak
91
referensi kasus maupun literasi untuk memperkaya sudut pandang serta
pola pemikiran peneliti.
92
Download