SEL Vol. 2 No. 1 Juli 2015: 10-21 PENGARUH PEMBERIAN XANTHONE TERHADAP GAMBARAN NEKROSIS SEL HEPAR TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS) JANTAN YANG DIINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA (CCl4) Meutia Maulina Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh Email: [email protected] ABSTRAK Perhatian dunia kedokteran terhadap antioksidan dan radikal bebas semakin meningkat dewasa ini, terutama setelah diketahui pemberian antioksidan dapat mencegah kerusakan sel akibat paparan radikal bebas, sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan pengaruh pemberian xanthone sebagai antioksidan terhadap gambaran nekrosis sel hepar tikus putih (Rattus norvegicus) jantan yang diinduksi oleh karbon tetraklorida (CCl4) sebagai prototip radikal bebas yang bersifat hepatotoksik. Penelitian ini merupakan eksperimental laboratorik dengan rancangan post test only control group design. Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih jantan spesies Rattus norvegicus galur Wistar yang dibagi menjadi 2 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan. Karbon tetraklorida (CCl4) diberikan pada kelompok kontrol kedua dan semua kelompok perlakuan, sedangkan xanthone diberikan pada kelompok perlakuan dengan dosis bertahap 35, 70 dan 140 mg/KgBB/hari. Sampel hepar dikumpulkan pada hari ke-22. Data dianalisis dengan Anova, dilanjutkan dengan uji LSD. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian xanthone dosis 35, 70 dan 140 mg/KgBB/hari dapat menurunkan nekrosis sel hepar secara signifikan. Efek perlindungan tertinggi terlihat pada kelompok perlakuan kedua yang diberikan xanthone dosis 70 mg/KgBB/hari. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian xanthone dosis 35, 70 dan 140 mg/KgBB/hari dapat menurunkan nekrosis sel hepar pada tikus putih jantan yang diinduksi oleh CCl4. Kata kunci: xanthone, Rattus norvegicus, sel hepar, nekrosis. ABSTRACT The attention of the medical world for antioxidants and free radicals is increasing nowdays, especially after administration of antioxidants known may prevent cell damage caused by exposure of free radicals, which can prevent the onset of the diseases. The purpose of this research studied the effects of xanthone as antioxidant toward the figure of liver cell necrosis in male white rats (Rattus norvegicus) induced by carbon tetrachloride (CCl4) as free radical prototype and hepatotoxic. This research was laboratory experiment by using the post test only control group design. For this purpose, 25 male white rats of species Rattus norvegicus strain Wistar were used which divided into 2 control groups and 3 treatment groups. Carbon tetrachloride (CCl4) was given for second control group and all treatment groups, while xanthone was given for treatment group with gradually dose 35, 70 and 140 mg/KgBW/day. Liver samples were collected on day 10 Pengaruh Pemberian Xanthone Terhadap Gambaran Nekrosis Sel Hepar Tikus… (Meutia Maulina) 22. The data were analysed by Anova, then continued with LSD test. The result of this study indicated that administration of xanthone dose 35, 70 and 140 mg/KgBW/day have significant effects to decrease necrosis of liver cells. The highest protective effect appeared from second treatment group with given dose 70 mg/KgBW/day of xanthone. Conclusion of this study demonstrated that administration of xanthone dose 35, 70 and 140 mg/KgBW/day decreased necrosis of liver cells in male white rats induced by CCl4. Keywords: xanthone, Rattus norvegicus, liver cells, necrosis. PENDAHULUAN Angka prevalensi, morbiditas dan mortalitas penyakit hepar semakin meningkat di beberapa negara dewasa ini, terutama di Asia dan Afrika1. Hal ini mengakibatkan penyakit hepar menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia, termasuk di Indonesia2. Penyakit hepar secara umum didasari oleh mekanisme biokimiawi seluler berupa akumulasi radikal bebas3. Radikal bebas mendasari reaksi selluler pada stres oksidatif sehingga berperan penting dalam patofisiologi berbagai penyakit, termasuk penyakit dan gangguan fungsi hepar4,5. Pada penelitian ini, sebagai model penyakit hepar digunakan zat kimia yang bersifat oksidan dan dapat menyebabkan kerusakan pada hepar hewan coba yaitu karbon tetraklorida (CCl4)6,7. Efek toksisitas CCl4 paling sering terlihat pada jaringan hepar8 dengan onset yang cepat9. Pada pemeriksaan histopatologi, toksisitas CCl4 pada jaringan tampak berupa degenerasi sel, penimbunan lemak dan nekrosis yang dapat merusak struktur sel9,10. Studi eksperimental dan epidemiologi menunjukkan bahwa konsumsi biji-bijian, buah-buahan dan sayuran berkaitan dengan penurunan kejadian penyakit akibat radikal bebas. Makanan ini mengandung berbagai phytonutrient, termasuk antioksidan5. Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu buah yang kaya berbagai sumber senyawa metabolit sekunder berupa komponen fenol, seperti xanthone, benzofenon, flavanoid11, tanin dan antosianin, namun hanya xanthone yang sering diinvestigasi12. Sejumlah peneliti menyatakan bahwa xanthone dapat digunakan sebagai obat, yaitu sebagai 13,14 antikanker , antiinflamasi12,15,16, anti Human Immunodeficiency Virus (HIV)17, antibakteri18,19, antilelah, antiaging, antiparkinson, antialzheimer, antialergi, menurunkan gula darah, mencegah kebutaan serta mencegah infeksi oleh virus dan jamur20,21. Xanthone telah terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Sifat antioksidan xanthone melebihi vitamin E dan vitamin C22,23. Xanthone juga merupakan senyawa polifenol13 yang memiliki hubungan dekat dengan flavanoid22, sehingga diduga xanthone memiliki aktivitas yang sama dengan flavanoid sebagai antioksidan pemecah rantai fase lipid dalam mencegah kerusakan hepar akibat radikal bebas, termasuk CCl4. Tujuan penelitian ini ingin membuktikan bahwa xanthone berpengaruh terhadap gambaran nekrosis sel hepar tikus putih jantan (Rattus norvegicus) yang diinduksi CCl4. Rentang dosis xanthone yang diberikan adalah 35, 70 dan 140 mg/KgBB/hari12. 11 SEL Vol. 2 No. 1 Juli 2015: 10-21 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2013. Tempat penelitian meliputi Unit Hewan Coba Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Anatomi-Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Hewan Percobaan Penelitian ini menggunakan hewan coba berupa tikus putih (Rattus norvegicus) jantan strain Wistar berusia 3 bulan dengan berat badan 200±10 gram sebanyak 25 ekor. Hewan coba diperoleh dari Unit Hewan Coba Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Sebelum dilakukan percobaan, semua hewan coba diaklimatisasi selama 1 minggu untuk proses adaptasi dengan lingkungan. Hewan coba diberikan pakan standar dari PT. Japfa Comfeed dan minum dari air kemasan selama proses aklimatisasi dan penelitian berlangsung. Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: alat suntik 1 cc, 3 cc dan 5 cc, jarum khusus ujung bundar (sonde), alat penimbang berat badan tikus, neraca analitik untuk bahan uji, gunting, pinset chirurgis, kandang tikus beserta alat untuk pemeliharaannya, dan alat-alat laboratorium untuk pemeriksaan nekrosis sel hepar. Penelitian ini menggunakan xanthone yang telah diisolasi sebagai bahan yang diuji. Bahan uji xanthone diperoleh dari Sigma-Aldrich (kode produksi X600) yang memiliki kandungan xanthone sebesar 97%. Penelitian ini juga menggunakan CCl4 bentuk cair sebagai penginduksi nekrosis sel hepar, olive oil, CMC-Na 12 0,25% dan reagen yang akan digunakan untuk pemeriksaan nekrosis sel hepar, berupa: formalin 10%, alkohol 95%, alkohol 100%, xylol, paraffin, larutan hematoxylin, larutan amonia, larutan eosin, larutan egg albumin. Prosedur Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan the post test only control group design. Sebanyak 25 ekor tikus putih jantan dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu 2 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan, tiap kelompok berisi 5 ekor tikus. Kelompok I sebagai kelompok kontrol negatif (K1) dan kelompok II sebagai kelompok kontrol positif (K2) diberikan CMC-Na 0,25% 0,01 ml/gBB secara sonde intragastrik, dosis tunggal setiap hari selama 21 hari. Kelompok III, IV dan V sebagai kelompok perlakuan 1,2 dan 3 (P1, P2 dan P3), diberikan xanthone dengan dosis berturut-turut 35, 70 dan 140 mg/KgBB secara sonde intragastrik yang dilarutkan dalam CMC-Na 0,25% 0,01 ml/gBB, dosis tunggal setiap hari selama 21 hari. Empat jam setelah pemberian CMCNa 0,25% pada hari ke 10, 14, 17 dan 21, kelompok K1 diberi olive oil dosis 1 ml/kgBB secara injeksi subkutan untuk meminimalkan bias hasil penelitian, sedangkan kelompok K2, P1, P2 dan P3 diinduksi kerusakan heparnya dengan CCl4 dosis 1 ml/kgBB secara injeksi subkutan yang dilarutkan dengan olive oil. Pada hari ke 22, yaitu 24 jam setelah pemberian olive oil dan CCl4 yang terakhir, tikus di euthanasia dengan metode dekapitasi, kemudian dilakukan pengambilan hepar untuk pemeriksaan nekrosis sel hepar. Pengamatan preparat histologi memakai mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali. Pengamatan Pengaruh Pemberian Xanthone Terhadap Gambaran Nekrosis Sel Hepar Tikus… (Meutia Maulina) dilakukan pada 2 lobulus, di mana setiap lobulus diamati sebanyak 4 lapangan pandang. Penentuan sel yang mengalami nekrosis dilihat dari struktur inti sel, yaitu apabila terlihat keadaan piknosis, karioreksis dan kariolisis. Data hasil pengamatan nekrosis sel hepar melalui sediaan histologi disajikan dalam bentuk persentase. Analisis Data Analisis menggunakan Anova pada α : 0,05 dan dilanjutkan dengan uji least significant differences (LSD) pada α : 0,05. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 17. HASIL Pada pengamatan histopatologi hepar terlihat adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok K1 dan kelompok K2. Pada kelompok K2 terlihat adanya nekrosis massif yang merata pada seluruh lobulus hepar, sedangkan nekrosis yang terjadi pada kelompok K1 sangat terbatas, hanya ditemukan pada zona sentrilobuler. K2 K1 V V Gambar 1. Lobulus Hepar Kelompok Kontrol. Keterangan: V = vena sentralis. Pewarnaan HE, pembesaran 100x. K2 K1 1 2 V 1 V Gambar 2. Sel Hepar Kelompok Kontrol. Keterangan: V = vena sentralis, 1= sel nekrosis, 2= sel normal. Pewarnaan HE, pembesaran 400x. Perbedaan pola nekrosis yang signifikan juga terlihat antara kelompok K2 yang diinduksi CCl4 dengan semua kelompok perlakuan (P1, P2 dan P3) yang diberikan CCl4 dan xanthone. Nekrosis yang terjadi pada kelompok K2 merata pada setiap lobulus, sedangkan nekrosis yang terjadi pada kelompok P1, P2 dan P3 terbatas pada zona sentrilobular. 13 SEL Vol. 2 No. 1 Juli 2015: 10-21 P2 P1 v v P3 v Gambar 3. Lobulus Hepar Kelompok Perlakuan. Keterangan: V= vena sentralis. Pewarnaan HE, pembesaran 100x. 1 P1 V P2 1 2 2 1 V P3 1 2 V Gambar 4. Sel Hepar Kelompok Perlakuan. Keterangan: V= vena sentralis, 1= sel nekrosis, 2= sel normal. Pewarnaan HE, pembesaran 400x. 14 Pengaruh Pemberian Xanthone Terhadap Gambaran Nekrosis Sel Hepar Tikus… (Meutia Maulina) Berdasarkan data hasil pengamatan nekrosis sel hepar melalui sediaan histologi diperoleh persentase nekrosis sel hepar terendah ditemukan pada kelompok KI dan tertinggi pada kelompok K2. Pada kelompok perlakuan, kelompok P2 menunjukkan persentase nekrosis sel hepar terendah. Nekrosis (%) 64.74 51.69 46.95 37.85 7.18 K1 K2 P1 P2 P3 Gambar 5. Diagram Batang Rerata Persentase Nekrosis Sel Hepar. Tabel 1. Hasil Uji Anova Kelompok K1 K2 P1 P2 P3 N 5 5 5 5 5 Berdasarkan uji anova diperoleh nilai p=0,000, hal ini menunjukan adanya perbedaan yang bermakna di antara kelompok kontrol dan Mean ± SD 7,18 ± 1,20 64,74 ± 4,73 51,69 ± 5,77 37,85 ± 4,07 46,95 ± 9,84 kelompok perlakuan (p<0,05). Untuk mengetahui perbedaan di antara kelompok–kelompok yang bermakna, selanjutnya dilakukan uji LSD. Tabel 2. Nilai Kemaknaan Berdasarkan Uji LSD Kelompok K1 K2 P1 0,000* 0,000* K1 0,005* K2 P1 P2 P3 Keterangan: *= signifikan Uji LSD menunjukkan bahwa pemberian xanthone dosis 35, 70 dan 140 mg/KgBB/hari berpengaruh terhadap nekrosis sel hepar tikus putih jantan yang diinduksi CCl4, yaitu mampu menurunkan nekrosis sel P value 0,000 P2 0,000* 0,000* 0,001* - P3 0,000* 0,000* 0,200 0,020* - hepar tikus putih jantan secara signifikan (p<0,05). Efek protektif tertinggi didapatkan pada kelompok P2 dengan dosis xanthone 70 mg/KgBB/hari. 15 SEL Vol. 2 No. 1 Juli 2015: 10-21 PEMBAHASAN Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase nekrosis sel hepar terendah ditemukan pada kelompok KI dan tertinggi pada kelompok K2. Pada kelompok perlakuan, kelompok P2 menunjukkan persentase nekrosis sel hepar terendah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian CCl4 mampu menyebabkan terjadinya nekrosis pada sel hepar. Mekanisme nekrosis sel hepar akibat CCl4 melibatkan pembentukan radikal bebas24,25 dan penurunan enzim antioksidan8 seperti superoksida dismutase (SOD), katalase, gluthation peroksidase (GPx), gluthation reduktase (GSH) dan gluthation-Stransferase26,27. Efek toksik CCl4 pada hepar disebabkan oleh konversinya menjadi radikal CCl3● dan CCl3O2● yang sangat reaktif oleh sitokrom P450 di hepar. Radikal-radikal ini mengakibatkan auto-oksidasi PUFA yang berada pada fosfolipid membran sehingga mengakibatkan terjadinya peroksidasi lipid, yaitu terbentuknya dekomposisi oksidatif lemak dan peroksida-peroksida organik setelah bereaksi dengan oksigen. Reaksi ini bersifat autokatalitik, sehingga dekomposisi lemak dapat menyebabkan kerusakan yang cepat pada struktur dan fungsi sel3. Nekrosis sel hepar akibat CCl4 dimulai dengan adanya gangguan pada mitokondria sehingga mengakibatkan penurunan kalsium pada mitokondria dan retikulum endoplasma (RE), namun sebaliknya terjadi peningkatan kalsium di dalam sitosol26. Peningkatan konsentrasi kalsium sitosol ini mengakibatkan aktivasi sejumlah enzim katabolik, antara lain enzim protease, endonuklease, dan fosfolipase3,26. Aktivasi enzim protease dapat menyebabkan kerusakan protein membran dan 16 sitoskeleton yang menginduksi pelepasan membran sel dari kerangka sel, sehingga sel rentan mengalami peregangan atau ruptur. Aktivasi fosfolipase akan menurunkan kandungan fosfolipid membran, sehingga dapat menginduksi kerusakan membran sel, sedangkan aktivasi enzim endonuklease akan menyebabkan fragmentasi DNA dan kromatin. Aktivasi ketiga enzim ini dapat menginduksi terjadinya nekrosis sel hepar. Nekrosis sel hepar akibat CCl4 bersifat parah dan memiliki onset yang sangat cepat. Penurunan sintesis protein hepar dapat terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit, pembengkakan RE halus dan pelepasan ribosom dari RE kasar terjadi dalam waktu 2 jam3. Nekrosis sel hepar akibat paparan CCl4 yang melibatkan pembentukan radikal bebas dan stres oksidatif dapat dicegah dengan pemberian antioksidan24. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui mekanisme kerja xanthone sebagai antioksidan. Sejumlah peneliti melaporkan beberapa derivat xanthone mempunyai potensi sebagai antioksidan yang kuat, antara lain mangiferin (1,3,6,7 tetrahidroxyxanthone)27,28,29, αmangostin31 dan garcinone B (parvixanthone)22. Mangiferin merupakan senyawa polifenol derivat xanthone yang memiliki efek sebagai hepatoprotektor terhadap induksi CCl427,28. Mangiferin berfungsi sebagai penangkap radikal sehingga dapat menangkap dan menginaktifkan molekul-molekul radikal. Mangiferin juga menghambat metabolisme enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme obat sehingga dapat memutuskan biotransformasi CCl4 menjadi radikal reaktif sehingga mencegah kerusakan hepatoselluler28. Pemberian Pengaruh Pemberian Xanthone Terhadap Gambaran Nekrosis Sel Hepar Tikus… (Meutia Maulina) mangiferin pada tikus yang diinduksi CCl4 juga mampu mencegah formasi dan elevasi malondialdehida hepatik sebagai produk reaktif yang dihasilkan dari reaksi peroksidasi lipid. Mangiferin juga mampu mencegah deplesi SOD, katalase, GSH, GPx, dan gluthation-S-transferase sebagai enzim-enzim antioksidan hepar27. Mangiferin juga dibuktikan dapat mencegah peningkatan kalsium intraselluler sehingga dapat mencegah terjadinya peroksidasi pada membran lipid mitokondria29. α-mangostin memiliki availabilitas fisiologi yang tinggi sebagai antioksidan dalam tubuh. Pemberian α-mangostin pada manusia dapat meningkatkan kapasitas antioksidan plasma (ORAC) sebesar 16% setelah 1 jam pemberian. Nilai ORAC meningkat sebesar 18% setelah 2 jam dan terus meningkat selama 6 jam. Kemampuan α-mangostin dalam meningkatkan nilai ORAC membuktikan bahwa derivat xanthone ini memiliki potensi yang kuat dalam menetralkan radikal bebas30. Kemampuan xanthone dalam menetralkan radikal bebas juga ditunjukkan oleh derivat lainnya yaitu garcinone B. Garcinone B efektif dalam mengoksidasi ROS, sehingga kerusakan selluler akibat aktivitas ROS dapat dicegah22. Xanthone merupakan salah satu antioksidan alami yang memiliki hubungan dekat dengan flavanoid22, sehingga diduga mempunyai aktivitas antioksidan yang sama dengan flavanoid sebagai antioksidan pemecah rantai fase lipid dalam mencegah kerusakan hepar akibat radikal bebas, termasuk CCl4. Mekanisme kerja xanthone sebagai antioksidan pemecah rantai yaitu dengan menerima sebuah elektron dari radikal bebas atau memberikan sebuah elektron kepada radikal bebas4. Xanthone juga bersifat mudah teroksidasi sehingga radikal bebas akan mengoksidasinya. Hal ini akan mengakibatkan radikal bebas berubah menjadi produk yag stabil22. Sebagai antioksidan pemecah rantai fase lipid, xanthone mampu melawan radikal bebas pada membran dan partikel lipoprotein, sehingga dapat mencegah dan memutuskan reaksi peroksidasi lipid 4. Pemutusan reaksi peroksidasi lipid dapat mencegah terjadinya aktivasi enzim-enzim katabolik seperti endonuklease, protease dan fosfolipase sehingga nekrosis sel dapat dicegah3. Sifat antioksidan xanthone juga dikaitkan dengan komponen alaminya sebagai senyawa polifenol. Senyawa polifenol memiliki potensi dalam mencegah peroksidasi lipid dan perubahan komposisi fosfolipid membran, serta mencegah deplesi gluthation hepar. Senyawa ini juga mampu melindungi hepar dari cedera xenobiotik dan dapat mencegah steatosis dan sirosis hepatis dengan mengendalikan sekresi dan penyerapan lipoprotein plasma di hepar, serta meningkatkan gluthation hepar sebagai penangkap radikal26. Kelompok P2 yang diberikan xanthone dosis 70 mg/KgBB/hari merupakan kelompok yang memiliki persentase nekrosis terendah di antara semua kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa dosis 70 mg/KgBB/hari merupakan dosis xanthone yang paling efektif dalam mencegah terjadinya nekrosis sel hepar. Pemberian xanthone dosis 35 mg/KgBB/hari memberikan perlindungan yang belum optimal pada hepar tikus putih jantan yang diinduksi CCl4, sedangkan pemberian dosis 140 mg/KgBB/hari cenderung bersifat toksik yaitu dapat meningkatkan persentase nekrosis sel hepar bila dibandingkan dengan dosis 70 mg/KgBB/hari. 17 SEL Vol. 2 No. 1 Juli 2015: 10-21 Pemberian xenobiotik dan obat dosis tinggi berpotensi memperberat kerja hepar sebagai organ utama yang memetabolisme dan mendetoksifikasi obat dalam tubuh, sehingga dapat memperparah kerusakan hepar. Perbedaan genetik individual dalam metabolisme xenobiotik oleh hepar melalui jalur pengaktifan dan detoksifikasi berpengaruh terhadap kerentanan individu terhadap hepatotoksik32. Respon yang berbeda akibat variasi genetik ini diduga mengakibatkan xanthone dosis 140 mg/KgBB/hari yang diberikan pada tikus putih jantan cenderung bersifat toksik. Respon individu terhadap penggunaan suatu obat dan efek yang ditimbulkan berhubungan dengan interaksi antara obat dan reseptornya. Sel akan memberikan respon maksimal terhadap obat jika obat tersebut mampu menduduki seluruh tempat reseptor spesifiknya33. Pada penelitian ini kekuatan optimal xanthone untuk menduduki reseptornya diduga berada pada dosis 70 mg/KgBB/hari, sehingga dapat menurunkan nekrosis sel hepar secara maksimal bila dibandingkan dengan dosis 35 dan 140 mg/KgBB/hari. Pemberian obat yang melebihi dosis optimal akan mengakibatkan molekul-molekul obat tersebut tidak sepenuhnya diikat oleh reseptor spesifiknya karena reseptor mempunyai kapasitas maksimal untuk mengikat obat hanya pada dosis optimalnya33. Berdasarkan prinsip farmakodinamika, terdapat hubungan linier antara dosis dan konsentrasi aktif obat di dalam serum dengan respon farmakologi yang ditimbulkan. Peningkatan dosis dan konsentrasi obat di dalam serum akan diikuti dengan peningkatan probabilitas respon farmakologi dan secara 18 simultan diikuti oleh peningkatan efek toksik33. Penggunaan xanthone dengan dosis yang tepat dapat meningkatkan efektivitas xanthone sebagai antioksidan, namun penggunaan xanthone dengan dosis yang berlebihan mungkin dapat memperparah kerusakan jaringan. Efek samping pemberian xanthone belum diketahui secara jelas, sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut. KESIMPULAN DAN SARAN Pemberian xanthone dosis 35, 70 dan 140 mg/KgBB/hari mampu menurunkan nekrosis sel hepar tikus putih jantan yang diinduksi CCl4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui dosis yang tepat melalui uji klinis dan uji toksisitas. DAFTAR PUSTAKA 1. Hall AJ, Wild CP. Liver cancer in low and middle income countries, British Medical Journal 2003; Vol. 326: 994-995. 2. Yenny HE, Marwoto W, Setiabudy R. Efek Schizandrine c terhadap kerusakan hati akibat pemberian parasetamol pada tikus. Universa Medicina 2010; Vol. 24, No. 4:161-166. 3. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Adaptasi, cedera dan kematian sel. Dalam Robbins and Cotran: dasar patologi penyakit, 7 th Ed, trans. BU Pendit. Jakarta: EGC; 2009 :13-37. 4. Young IS, Woodside JV. Antioxidants in health and disease. Journal Clinical Pathology 2001; Vol. 54:176-186. Pengaruh Pemberian Xanthone Terhadap Gambaran Nekrosis Sel Hepar Tikus… (Meutia Maulina) 5. Miller HE, Rigelhof F, Marquart L, Prakash A, Kanter M. Antioxidant content of whole grain breakfast cereals, fruits and vegetables. Journal of The American College of Nutrition 2000; Vol. 19, No. 3: 312S-319S. al. Formation of novel noncyclooxygenase-derived prostanoids (f2-isoprostanes) in carbon tetrachloride hepatotoxicity. An animal model of lipid peroxidation. J.Clin. Invest 1992: Vol. 90: 2502-2507. 6. Lutz WD, Meinrad B, Andreas S. Hepatotoxicity and mechanism of action haloalkanes; carbon tetrachloride as a toxicological model. Critical Reviews in Toxicology, Pro Quest Medical Library 2003; Vol. 33, No.2:105136. 11. Purwaningsih Y, Ersam T. Senyawa santon sebagai antioksidan dari kayu batang Garcinia tetranda pierre. Akta Kimia Indonesia; Vol. 2, No. 2: 103-108. 7. Pandit S, Sur T, Jana U, Debnath PK, Sen S, Bhattacharyya D. Prevention of carbon tetrachloride induced hepatotoxicity in rats by adhatoda vasica leaves. Indian Journal of Pharmacology 2004; Vol. 36, No. 5: 312-313. 8. Lesage GD. Acute carbon tetrachloride feeding induces damage of large but not small cholangiocytes from BDL rat liver. AJP - Gastrointestinal and Liver Physiology 1999; G12891301. 9. Yasuda M, Okabe T, Itoh J, Takekoshi S, Hasegawa H, Nagata H, et al. Differentiation of necrotic cell death with or without lysosomal activation: application of acute liver injury models induced by carbon tetrachloride (CCL4) and dimethylnitrosamine (DMN). The Journal of Histochemistry and Cytochemistry 2000; Vol. 48, No. 10: 1331–1339. 10. Jason DM, Joseph AA, Tetsuko K, Kihito T, Kamal F, Badr L et 12. Adiputro DL, Widodo MA, Romdoni R, Sargowo D. Potential effects of xanthone on inflammation status in atherosclerotic rats. Journal of Intercultural Ethnopharmacology 2013; Vol. 2, No. 1: 53-56. 13. Moongkarndi P, Kosem N, Kastungka S, Luaratana O. Xanthones-powerfull health agents for improved health. Xanthone Research Findings 2004. 14. Johnson JJ, Petiwala SM, Syed DN, Rasmussen JT, Adhami VM, Siddiqui, IA, et al. α-Mangostin, a xanthone from mangosteen fruit, promote cell cycle arrest in prostate cancer and decreases xenograft tumor growth. Carcinogenesis 2012; Vol.33, No.2: 413–419. 15. Chonmawang MT, Surasmo S, Nukolkarn VS, Gritsanapan W. Effects of Garcinia mangostana on inflammation caused by Propionibacterium acnes. Fitoterapia 2007; Vol. 78: 401408. 16. Udani JK, Singh BB, Barret ML, 19 SEL Vol. 2 No. 1 Juli 2015: 10-21 Singh VJ. Evaluation of mangosteen juice blend on biomarkers of inflammation in obese subsjects: a pilot, dose finding study. Nutrition Journal 2009; Vol. 8: 48. 17. Dharmaratne HR, Wanigasekera WM. Xanthones from root bark of Calophylum thwaitesii. Phytochemistry 1996; Vol. 42, No. 1: 249-250. 18. Suksamrar S, Suwannapoch N, Phakhodee W, Thanuhiranietr J, Ratananukul P, Chinmoi N, et al. Antimycobacterial activity of prenylated xanthones from the fruit of Garcinia mangostana. Chem. Pherm. Bull 2003; Vol. 51, No. 7: 857-859. 19. Linuma M, Tosa H. Antibacterial activity of xanthone from guttiferaeous plants againts methicilin-resistant Staphylococcus aureus. Journal of Pharmacy and Pharmacology 1996; Vol.48, No.8: 861-865. 20. Yoshikawa M, Harada E. Antioxidant constituents from the fruit hulls of mangosteen (Garcinia mangostana L.) originating in Vietnam. Yakugaku Zasshi 1994; Vol. 114, No. 2: 129-133. 21. Morita H, Nagashima S. Astins A and B, antitumor cyclic pentapeptides from Aster tataricus. Chemical and Pharmaceutical Bulletin Tokyo 1993; Vol. 41, No. 5: 992-993. 22. Iswari K. Kulit manggis berkhasiat tinggi. Jakarta: APMK Madya Centradifa 2011: 4-69. 20 23. Mardiana L. Ramuan dan khasiat kulit manggis. Jakarta: Penebar Swadaya; 2011: 17-58. 24. Botham KM, Mayes PA. Pengangkutan dan penyimpanan lipid. Dalam Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Biokimia th harper, 27 Ed, trans. BU Pendit. Jakarta: EGC; 2006: 233. 25. Moslen MT. Toxic responses of the liver. Dalam Klaassen CD, Casarett and Doull’s toxicology: the basic science of poisons, 6th Ed. New York: McGraw Hill; 2001:472-481. 26. Khalaf AA, Mekawy ME, Moawad MS and Ahmed AM. Comparative study on the protective effects of some antioxidants againts CCl4 hepatotoxicity in rats. Egyptian Journal of Natural Toxins 2009; Vol. 6, No. 1: 59-82. 27. Rasool M, Sabina EP, Mahinda PS, Gnanaselvi BC. Mangiferin, a natural polyphenol protects the hepatic damage in mice caused by CCl4 intoxication. Comparative Clinical Toxicology 2010; Vol. 21, No. 5: 865-872. 28. Dar A, Faizi S, Naqvi S, Roome T, Rehman SZ, Ali M, et al. Analgesic and antioxidant activity of mangiferin and its derivatives: the structure activity relationship. Biol. Phar. Bull 2005; Vol. 28, No. 4: 596-600. 29. Andreu GL, Delgado R, Velho JA, Curti C, Vercesi AE. Mangiferin, a natural occuring glucosyl xanthone, increases susceptibility of rat liver Pengaruh Pemberian Xanthone Terhadap Gambaran Nekrosis Sel Hepar Tikus… (Meutia Maulina) mitochondria to calcium-induced permeability transition. Archieves of Biochemistry and Biophysics 2005; Vol. 439, No. 2: 184-193. 30. Kondo M, Zhang L, Ji H, Kou Y, Ou B. Bioavailability and antioxidant effects of a xanthone rich mangosteen (Garcinia mangostana) product in humans. Journal of Agricultural and Food Chemistry 2009; Vol. 57, No. 19: 8788-8792. 31. Junquiera LC, Carneiro J. Histologi dasar, trans. A Dharma. Jakarta: EGC; 2007: 318-331. 32. Crawford JM. Hati dan saluran empedu. Dalam Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran: dasar patologi penyakit, 7th Ed, trans. BU Pendit. Jakarta: EGC; 2009: 902-930. 33. Ross EM, Kenakin TP. Farmakodinamika: mekanisme kerja obat dan hubugan antara konsentrasi obat dan efek. Dalam G. Hardman and E. Limbird (eds), Goodman and Gilman: dasar farmakologi terapi, Vol.1, 10th Ed, trans. Tim Farmasi ITB. Jakarta: EGC; 2003: 37-39. 21