BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Salah satu penelitian terdahulu yang dijadikan bahan referensi dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Rahelyna Mairing alumni Universitas Bina Nusantara, Jakarta, dengan judul “Analisis Penilaian Kewajaran Harga Saham dan Evaluasi Bisnis pada P.T. Myoh Technology, Tbk saat disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia tahun 2011” pada tahun 2012. Dalam penelitiannya, penilaian dilakukan pada dua sisi, yang pertama adalah dari sisi keuangan dan kedua dari sisi non-keuangan. Dari sisi keuangan yaitu menggunakan metode pendekatan Free Cash Flow to the Firm (FCFF) dan analisis kebangkrutan. Dari sisi non-keuangan yaitu menggunakan analisis SWOT dan analisis Porter. Analisis SWOT dan Porter memberikan beberapa pertimbangan dalam melakukan estimasi. Hasil yang didapat oleh Rahelyna Mairing adalah harga saham Myoh Technology Tbk mengalami overvalued sehingga kurang baik untuk investasi dan dari segi analisis kebangkrutan, menunjukan pada tahun 2009 – 2011, Myoh Technology berada di zona kondisi bangkrut. Penelitian terdahulu lainnya yang dijadikan sebagai bahan referensi adalah penelitian oleh Rena Saputra alumni Binus University, dengan judul “Penilaian Harga Wajar Saham PT Astra Internatinal Tbk” pada tahun 2010. Dalam penelitian Rena Saputra, penilaian dilakukan dengan pendekatan Free Cash Flow to Firm, namun dalam prosesnya menggunakan scenario growth 7 8 untuk mendapatkan estimasi-estimasi input yang lebih sesuai dengan keadaan perusahaan saat itu. Hasil estimasi nilai wajar adalah berkisar antara Rp 18.900 – Rp. 20.900. Hasil yang berupa interval dikarenakan, dalam prosesnya, Rena Saputra melakukan simulasi terhadap beberapa kemungkinan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan perusahaan. Walaupun Blackberry Ltd bukan berada di bidang teknologi piranti lunak seperti PT Myoh Technology maupun juga di bidang kendaraan seperti PT Astra Intenasional. Namun kedua perusahaan ini memiliki sebagian karakteristik yang dimiliki Blackberry Ltd. Untuk PT Myoh Technology yaitu sama-sama berada di sektor teknologi, walaupun berada di industri yang berbeda yakni PT Myoh technology di industri piranti lunak (khusus jasa sistem teknologi informasi bisnis) sedangkan Blackberry Ltd di industri piranti keras (khususnya peralatan komunikasi). Kedua perusahaan tersebut sama-sama rentan terhadap perubahan dan perkembangan teknologi yang relatif cepat. Untuk PT Astra Internasional, walaupun berada si sektor usaha yang sama sekali tidak berkaitan, namun produknya bersifat kategori mewah, yang mana pertumbuhan dipengaruhi oleh trend, selera masyarakat dan kemampuan finansial konsumen (mempunyai sisa dana untuk kebutuhan tersier). Dengan pertimbangan tersebut, diharapkan kedua penelitian tersebut mampu memberi pertimbangan-pertimbangan dalam melaksanakan penelitian ini. Selain perbedaan karakteristik subjek penelitian, metode yang digunakan pada penelitian ini juga akan sedikit berbeda, dimana penelitian ini hanya menggunakan pendekatan Free Cash Flow to the Firm (FCFF) dan beberapa input akan diestimasi dengan cara yang sedikit berbeda. 9 2.2. Pengertian Saham Dikutip dari situs remis Indonesia Stock Exchange (IDX) www.idx.co.id, “saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan modal seseorang atau pihak (badan usaha) dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas”. Dengan memiliki saham, maka seseorang dapat dikatakan bahwa ia juga merupakan pemilik perusahaan (bila hanya ia seorang yang memegang saham perusahaan tersebut) atau salah satu pemilik perusahaan (bila terdapat lebih dari satu pemegang saham). Dalam dunia investasi, saham juga dikenal dengan nama ekuitas. Jika dalam hal jenis-jenis saham, maka kata „sahamβ mengacu pada maksud dari kata „saham biasaβ (common stock). 2.3. Jenis Saham Saham dibagi menjadi beberapa jenis. Umumnya terbagi menjadi 2 jenis yaitu: 1. Saham biasa (common stock) Saham biasa atau juga disingkat menjadi „sahamβ atau juga disebut ekuitas. Menyatakan kepemilikan atas perusahaan. Setiap pemilik dari selembar saham, mempunyai satu suara (hak pilih) dalam segala hal yang diangkat ke rapat umum pemegang saham (RUPS) tahunan. Saham biasa (common stock) memiliki 2 ciri-ciri penting yaitu residual claim dan limited liability. Residual claim, artinya pemegang saham mempunyai hak klaim atas aset perusahaan ketika dilikuidasi. Limited liability, artinya pemegang saham hanya dapat merugi sebanyak jumlah modal yang ditanamkan keperusahaan (Bodie, Kane, dan Marcus, 2011:42). 2. Saham preferen (preferred stock) Saham yang menawarkan pemegangnya dividen tetap dan prioritas klaim terhadap aset tapi tidak mempunyai hak suara. Saham preferen adalah saham 10 hybrid, memiliki sifat gabungan dari saham biasa dan hutang. Saham preferen memiliki sifat surat hutang/obligasi (bond), yang menjanjikan pemegangnya dibayar sejumlah pendapatan (dividen) yang tetap setiap tahunnya dan masa maturity-nya tak terbatas. Sifat saham preferen juga hampir sama dengan sifat saham biasa, yaitu memiliki hak klaim atas aset yang dilikuidasi dan memiliki kewajiban terbatas atas kepemilikannya (residual claim dan limited liability), hanya saja pemegang saham preferen tidak mendapat suara (hak pilih) dalam RUPS. Bedanya dengan saham biasa dalam hal pembagian dividen, pemegang saham preferen mendapat dividen yang tetap setiap tahun namun mendapat prioritas terlebih dahulu sebelum pemegang saham biasa. Perusahaan yang gagal memenuhi kewajiban terhadap pemegang saham preferen, dapat terancam risiko kebangkrutan. Dengan kata lain, dengan membeli saham preferen, maka pemegangnya adalah pemilik perusahaan dan sekaligus juga pemberi pinjaman. (Bodie, Kane, dan Marcus, 2011:43) Selain pembagian kedua jenis saham diatas, pada praktik dalam mengumpulkan modal, saham biasa dapat dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yang dimana jumlah dan nama kelas saham biasa bebas ditentukan oleh perusahaan yang menerbitkan. Contoh, Kelas A, dijual dengan syarat pemegang saham tidak mendapat suara (hak pilih) selama 5 tahun tapi mendapat dividen, Kelas B, dijual dengan syarat tidak mendapat dividen sampai kemampuan finansial perusahaan cukup kuat tapi mendapat suara (hak pilih) selama 5 tahun. (Brigham dan Ehrhardt, 2011:269-270) Persamaan saham biasa dan saham preferen sebagai berikut : 1. Residual claim, artinya pemegang saham biasa maupun preferen, sama-sama memiliki hak mengklaim hasil sisa likuidasi aset perusahaan. 11 2. Limited liability, artinya pemegang saham biasa maupun preferen, sama-sama hanya bertanggungjawab sampai sejauh modal yang ditanamkan, tidak melibatkan aset pribadi investor. Perbedaan saham biasa dan saham preferen sebagai berikut : 1. Pemegang saham biasa mendapat dividen hanya bila perusahaan memutuskan membagikan dividen dan jumlahnya tidak tetap dari periode ke periode, sedangkan pemegang saham preferen mendapat dividen yang tetap setiap periode. 2. Pemegang saham preferen mendapat prioritas terlebih dahulu dibanding pemegang saham biasa dalam hal pembagian sisa hasil likuidasi aset. 3. Umumnya, pemegang saham biasa mendapat hak suara dalam rapat umum pemegang saham, sedangkan pemegang saham preferen tidak mendapat hak suara. 2.4. Nilai Intrinsik dan Harga Pasar Sebuah Saham Harga pasar sebuah saham, secara teknis, adalah harga terakhir sebuah saham diperdagangkan di pasar. Menurut Fama yang dikutip Manurung (2011:14) “harga saham di pasar merupakan refleksi seluruh informasi yang ada pada perusahaan”. Namun karena harga pasar juga dipengaruhi oleh faktor penawaran dan permintan dan faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh psikologis para pelaku di pasar, maka harga pasar sebuah saham, selain mencerminkan semua informasi yang ada pada perusahaan, juga mencerminkan persepsi (atau bahkan harapan) para pelaku di pasar terhadap sebuah saham. Nilai intrinsik saham adalah nilai sebenarnya dari sebuah saham, yang tidak memperhitungkan faktor penawaran dan permintaaan maupun faktor psikologis 12 pelaku di pasar. Sehingga harga pasar dapat saja lebih tinggi atau bahkan lebih rendah dari nilai sebenarnya (nilai intrinsik). Dan ketika nilai intrinsik saham sama dengan harga pasar, kesetimbangan pasar tercapai. Menurut Brigham dan Ehrhardt (2011:217) nilai intrinsik mewakili tingkat pengembalian dan risiko yang sebenarnya. Namun nilai intrinsik tidak dapat diamati secara langsung, melainkan hanya dapat diestimasi/diperkirakan. Karena hal terpenting bagi investor dari memiliki saham adalah pendapatan yang akan diperoleh di kemudian hari, maka nilai intrinsik selalu berkaitan dengan besar arus kas di kemudian hari, seperti yang jelaskan oleh Bodie, Kane, dan Marcus (2011:586) “the intrinsic value, denoted V0, is defined as the present value of all cash payments to the investor in the stock, including dividends as well as the proceeds from the ultimate sale of the stock, discounted at the appropriate risk-adjusted interest rate, k” Artinya nilai intrinsik adalah nilai sekarang (present value) dari semua pemasukan ke investor termasuk dividen dan harga jual di kemudian hari, lalu didiskontokan dengan risk-adjusted interest rate. Dari penjelasan itu didapati bahwa nilai intrinsik diestimasi dengan cara memprediksi besarnya arus kas dan besar risiko di kemudian hari. Untuk metode estimasi akan dibahas dibahas pada subbab 2.11. Penilaian Saham. Satu istilah yang tidak kalah penting, bila berbicara tentang harga pasar dan nilai intrinsik, yaitu pasar yang efisien (eficient market). Bila pasar dikatakan cukup „efisienβ maka yang dimaksud adalah jeda/selisih (gaps) antara nilai intrinsik dan harga pasar seharusnya tidak besar (dengan kata lain dapat dianggap sama/equal). Dalam kasus kondisi pasar yang efisien, walaupun terdapat kasus tertentu terdapat jeda/gap yang besar, jeda/gap besar tersebut cenderung terus mengecil seiring berjalannya waktu dan jeda/gap yang besar tidak akan bertahan untuk waktu yang 13 lama. (Brigham dan Ehrhardt, 2011:271). Oleh karena itu, dalam pasar yang efisien, investor selalu mencari saham yang harga pasarnya lebih rendah dari nilai intrinsik untuk dibeli dan mencari saham yang harga pasarnya lebih tinggi dari nilai intrinsik untuk dijual. 2.5. Efficient Market Hypothesis (EMH) Dalam subbab 2.4 sudah diberi gambaran kondisi seperti apa, bila pasar dalam kondisi efisien, yaitu selisih harga pasar dengan nilai intrinsik tidak besar dan kalaupun besar tidak akan bertahan lama. Namun pengertian eficient market (pasar yang efisien) (dalam Martalena dan Malinda, menggunakan terjemahan “Pasar Modal Efisien”), adalah, seperti yang dikutip dari Martalena dan Malinda (2011:41), “secara formal, pasar modal efisien didefinisikan sebagai pasar modal dengan harga sekuritas telah mencerminkan semua informasi yang relevan.” Jadi topik yang membahas tentang eficient market dikenal sebagai Efficient Market Hypothesis (EMH). Dalam Efficient Market Hypothesis (EMH), menyatakan bahwa harga saham sudah mencerminkan semua informasi yang tersedia baik itu diketahui publik atau tidak. Menurut hipotesis ini saham selalu diperdagangkan pada harga yang wajar, sehingga usaha untuk membeli saham dangan harga murah atau menjual dengan harga mahal adalah tidak mungkin dapat terjadi. Dengan kata lain, bila hipotesis ini benar maka pasar dalam kondisi efisien, dalam pasar yang efisien harga pasar dan nilai intrinsik sama, bila sama, maka tidak ada yang namanya harga murah untuk beli maupun mahal untuk jual (Brigham dan Ehrhardt, 2011:290). 14 Namun dari pernyataan hipotesis Efficient Market Hypothesis (EMH) diatas muncul 3 versi umum, ketiga versi ini muncul dari perbedaan pengartian klausa “semua informasi yang tersedia”. Berikut adalah 3 versi tersebut: a. Weak-form hypothesis menekankan bahwa harga saham sudah mencerminkan semua informasi yang dapat diperoleh dengan menganalisa data perdagangan di pasar, seperti histori harga yang telah berlalu, volum perdagangan, atau pola pergerakan harga. b. Semistrong-form hypothesis menyatakan bahwa harga saham sudah mencerminkan semua informasi –selain data perdagangan juga- mengenai prospek masa depan perusahaan yang tersedia bagi publik, seperti data fundamental tentang lini produksi, manajemen kualitas, laporan keuangan, ataupun ramalan pendapatan. c. Strong-form hypothesis menyatakan bahwa harga saham sudah mencerminkan semua informasi mengenai perusahaan baik itu diketahui oleh orang umum atau diketahui hanya oleh orang dalam perusahaan. Bila weak-form berlaku maka usaha memprediksi harga pasar masa depan menggunakan data masa lalu adalah sia-sia. Ini dikarenakan data masa lalu sangat mudah didapatkan dan sinyal-sinyal yang muncul dari data masa lalu juga dengan mudah terbaca oleh banyak orang. Sehingga banyak orang akan segera mengambil tindakan segera dan tindakan yang cepat itu akan mengubah harga pasar dengan segera. Bila semistrong-form berlaku maka usaha memprediksi harga saham masa depan menggunakan data masa lalu dan berita-berita yang dipublikasikan seperti laporan keuangan, atau isu-isu ekspansi adalah sia-sia. Ini dikarenakan harga pasar 15 akan segera berubah menyesuaikan diri dengan berita-berita yang dipublikasikan baik itu berita baik maupun berita buruk. Bila strong-form berlaku, bahkan orang dalam perusahaan pun tidak mampu mengambil keuntungan berlebih secara terus-menerus. Karena informasi yang dimiliki oleh orang dalam telah termasuk kedalam harga pasar, sehingga informasi yang dimiliki tidak memberi prediksi harga masa depan. Hasil penelitian empiris menunjukan bahwa pertama, pasar saham sangat efisien dalam pengertian weak-form. Artinya harga pasar sekarang sangat mencerminkan data perdagangan masa lalu. Kedua, pasar saham cukup efisien dalam pengertian semistrong-form, setidaknya untuk saham-saham yang umum dan banyak diperdagangkan. Artinya harga pasar sekarang agak/cukup mencerminkan data perdagangan masa lalu dan berita-berita yang dipublikasikan. Ketiga, pasar saham tidaklah efisien dalam pengertian strong-form, atau dengan kata lain pengertian strong-form tidak berlaku. Artinya, harga pasar sekarang masih belum mencerminkan informasi orang dalam, sehingga orang-orang yang mampu mendapatkan informasi orang dalam dapat mengambil keuntungan berlebih dari pasar saham (Brigham dan Ehrhardt, 2011:291). 2.6. Capital Asset Pricing Model (CAPM) Capital Asset Pricing Model (CAPM) adalah suatu sekumpulan prediksi mengenai kesetimbangan antara pengembalian yang diharapkan (expected return) dengan risiko atas aset. Harry Markowitz adalah yang melandasi dasar manajemen portofolio modern. CAPM saat ini adalah model terbaik dibidang finansial dalam hal memprediksi tingkat pengembalian terhadap risiko aset/portofolio. 16 CAPM dibangun atas beberapa asumsi, asumsi tersebut adalah: 1. Tindakan seorang investor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga pasar. 2. Semua investor menganalisa dan merencanakan untuk satu periode yang identik. 3. Investasi yang dapat dilakukan terbatas pada jumlah seluruh aset finansial yang diperdagangkan. 4. Investor tidak dikenai pajak dan biaya-biaya transaksi. 5. Semua investor menggunakan analisa Markowitz dalam memilih aset. 6. Semua investor menganalisa menggunakan sumber dan cara yang sama. (Bodie, Kane, dan Marcus, 2011:281) CAPM memberi gambaran atau prediksi kepada perusahaan bagaimana menghitung tingkat pengembalian terhadap risiko investasi. Dari CAPM dihasilkan alat finansial yang sekarang sangat berpengaruh pada dunia finansial. Alat tersebut adalah beta coefficient. Beta (β) adalah suatu koefisien yang menunjukan tingkat risiko sistematik suatu saham. Juga adalah kecenderungan pergerakan naik turunnya tingkat pengembalian sebuah saham di dalam pasar. Semakin besar nilai beta secara tidak langsung memberi arti bahwa sebuah saham menjadi semakin berisiko. Beta yang bernilai 1 (satu) berarti bahwa saham mempunyai besar risiko sama seperti besar risiko jika memegang market portfolio. Market Portfolio adalah portofolio dimana portofolio ini mengandung setiap aset saham yang ada di pasar dan jumlah nilai dari setiap saham dalam portofolio ini proposional terhadap total kapitalisasi yang ada di pasar. Beta secara matematis adalah ratio kovariance suatu saham dengan varians market portfolio. Berikut adalah formula beta : 17 β= Dimana : Cov (ππ , ππ ) σ2 π ................................. 2.6.1 β rs rM Cov(rs,rM) = koefisien beta = rate of return suatu saham = market portfolio’s rate of return = kovarians antara rate of return saham dan market rate of σ2M = market portfolioβs variance (besar risiko market portfolio) return Dengan adanya koefisien beta ini, CAPM menjadi model yang populer dalam memprediksi tingkat pengembalian terhadap risiko. Formula hubungan tingkat pengembalian suatu saham, beta dan market risk premium berikut: πΈ(ππ ) = ππ + π½π [πΈ(ππ ) − ππ ] Dimana : βs rs E(rs) rf rM E(rM) ..................... 2.6.2 = koefisien beta suatu saham = rate of return suatu saham = expected rate of return suatu saham = rate of return of risk free asset = market portfolio’s rate of return = expected market portfolio’s rate of return Formula 2.6.2 jika digambar menjadi grafik sering disebut sebagai Security Market Line (SML). Grafik SML menunjukan hubungan tingkat pengembalian (sumbu y) yang diharapkan dengan koefisien beta (sumbu x). Suatu saham yang titik nya berada di atas garis SML dikatakan bahwa saham tersebut underpriced (dihargai murah). Dan juga sebaliknya, bila di bawah garis SML dikatakan bahwa saham tersebut overpriced (dihargai mahal). (Bodie, Kane, dan Marcus, 2011:290) 2.6.1. Mengestimasi Koefisien Beta Dalam mengestimasi koefisien beta, cara yang paling umum dan sederhana adalah meregresi tingkat pengembalian suatu saham terhadap tingkat pengembalian pasar. Pasar yang dijadikan acuan dapat beragam, untuk Amerika Serikat dapat 18 berupa S&P500 atau NYSE Composite. Jangka waktu tingkat pengembalian yang dapat digunakan dapat berbasis harian, mingguan, bulanan, ataupun bulanan. Setiap pilihan akan menghasilkan koefisien yang berbeda. Hasil regresi antara tingkat pengembalian suatu saham terhadap tingkat pengembalian pasar, menghasilkan Rs = a + b(Rm) , dimana Rs tingkat pengembalian suatu saham, Rm tingkat pengembalian pasar, b adalah koefisien beta yang dicari. Namun terdapat hal yang perlu diperhatikan, seperti semua alat statistik, hasil yang didapat pasti rentan terhadap kesalahan estimasi (estimation error). Jadi koefisien beta yang sebenarnya berada dalam suatu interval, alih alih satu angka pasti. Untuk tingkat kepercayaan sebesar 67% maka nilai beta yang sebenarnya berada dalam interval b − 1σ ≤ b ≤ b + 1σ, untuk tingkat kepercayaan sebesar 95% maka diantara b − 2σ ≤ b ≤ b + 2σ. Karena koefisien beta adalah input yang sangat berpengaruh dalam penilaian ekuitas, adalah kurang baik bila membiarkan probabilitas statistik menentukan hasil akhir. Jadi, Damodaran (2012:176-177) memperkenalkan cara estimasi yang lebih baik, yang lebih tidak bergantung pada probabilitas statistik dan pada data historis. Damodaran menyebutnya fundamental betas. Terdapat 3 variabel yang menentukan beta sebuah perusahaan, yaitu: 1. Jenis perusahaan atau bidang usaha yang digeluti perusahaan 2. Degree of operation leverage 3. Degree of financial leverage Jenis perusahaan atau bidang usaha yang digeluti perusahaan. Bidang usaha yang lebih sensitif terhadap keadaan ekonomi akan memiliki beta yng lebih tinggi, jadi perusahaan dibidang properti dan kendaraan pribadi, akan memiliki beta yang lebih tinggi dibanding perusahaan manufaktur makanan dan tembakau. Perusahaan 19 yang mengeluti di bidang usaha kebutuhan dasar akan lebih memiliki beta yang lebih rendah. Procter&Gamble yang menjual popok dan kebutuhan rumahtangga harian, akan memiliki beta yang lebih rendah daripada Gucci yang menjual produk-produk mewah. (Damodaran, 2012:176-177). Degree of operating leverage, berbicara tentang struktur biaya sebuah perusahaan, yang biasanya menghubungkan antara biaya tetap dan biaya keseluruhan. Semakin tinggi operating leverage, semakin tinggi beta yang dimiliki perusahaan. Degree of operating leverage dapat diestimasi dengan formula berikut, Degree of operating leverage = % change in operating profit / % change in sales. (Damodaran, 2012:176-177). Degree of financial leverage. Perusahaan yang mempunyai financial leverage yang lebih tinggi akan memiliki beta yang lebih tinggi. Atau dengan kata lain, perusahaan yang menggunakan hutang lebih banyak akan lebih rentan pada risiko, dan beta perusahaan tersbeut akan lebih tinggi. Jadi bila perusahaan mendapat pembiayaan dari hutang dan ekuitas maka beta perusahaan tersebut perlu disesuaikan, beta yang telah disesuaikan disebut Levered Beta. Formula untuk levered beta adalah, βL = βU [ 1 + (1 – t) (D/E) ] ................................. 2.6.3 Dimana : βL βU t D/E = = = = levered beta unlevered beta besar pajak pendaptan perusahaan rasio hutang terhadap ekuitas (menggunakan nilai pasar bukan nilai buku). (Damodaran, 2012:176-177). Perlu juga dipahami bahwa unlevered beta ditentukan oleh sifat bidang usaha (bersiklus atau tidak, bidang kebutuhan dasar atau tersier) dan juga operating leverage. Sedangkan levered beta ditentukan oleh tingkat risiko bisnis yang digeluti dan besar risiko financial leverage yang digunakan. (Damodaran, 2012:176-177). 20 Dari tiga variabel penentu diatas, memungkinkan alternatif lain dalam mengestimasi koefisien beta, disebut Bottom-Up Betas, yang dimana tidak bergantung pada harga historis perusahaan. Langkah untuk mengestimasi beta menggunakan Bottom-Up Betas adalah sebagai berikut : (Damodaran, 2012:178-179). 1. Identifikasi bidang usaha apa saja yang digeluti perusahaan. 2. Temukan perusahaan lain yang juga berada dibidang tersebut, dan hitung beta regresinya (ini akan digunakan untuk menghitung rata-rata beta untuk sektor usaha tersebut) 3. Mengestimasi rata-rata unlevered beta untuk sektor usaha tersebut. Unlevered betabusiness = Betacomparable firms / [ 1 + (1 – t) (D/E ratiocomparable firms) 4. ] Mengestimasi unlevered beta dari perusahaan yang sedang dianalisa, dengan rata-rata timbang (bila bidang yang digeluti perusahaan lebih dari satu). = U v r t r = ∑(U v r t V u W t) = Dimana perusahaan memiliki k bidang usaha yang digeluti 5. Terakhir, Mengestimasi rasio hutang terhadap ekuitas perusahaan (rasio menggunakan nilai pasar bukan nilai buku), dan menggunakan rasio ini untuk mengestimasi levered beta. 2.7. Market Risk Premium Risk premium, adalah imbalan tambahan yang diinginkan oleh investor atas risiko yang emban, dan nilainya tergantung seberapa besar tingkat keengganan risiko (degree of risk aversion) yang dimiliki oleh investor. Jadi market risk premium adalah imbalan tambahan yang diinginkan investor atas risiko bila dia memegang 21 sebuah market portfolio. Market Portfolio adalah portofolio dimana portofolio ini mengandung setiap aset saham yang ada di pasar dan jumlah nilai dari setiap saham dalam portofolio ini proposional terhadap total kapitalisasi yang ada di pasar. Ilustrasi pemahaman risk premium adalah sebagai berikut seorang investor dihadapkan pada 2 pilihan investasi, yang pertama investasi berisiko sangat rendah (dianggap bebas risiko) dan kedua investasi berisiko tinggi. Tingkat pengembalian untuk investasi berisiko sangat rendah tentunya lebih rendah daripada investasi berisiko tinggi. Jadi agar investor mau berinvestasi pada investasi yang berisiko lebih tinggi, investor ingin adanya tambahan tingkat pengembalian yang lebih tinggi daripada tingkat pengembalian untuk investasi berisiko lebih rendah. Tambahan tingkat pengembalian itulah yang disebut risk premium. Secara umum persamaan untuk risk premium adalah sebagai berikut. π ππ π ππππππ’π = πΈ(ππ ) − ππ ππππππ‘ π ππ π ππππππ’π = πΈ(ππ ) − ππ Dimana : rs E(rs) E(rM) rf ............ 2.7.1 = rate of return suatu saham = expected rate of return suatu saham = expected market portfolio’s rate of return = rate of return of risk free asset Acuan risk free asset umumnya adalah obligasi pemerintah. Dalam mengestimasi market risk premium, secara umum terdapat 3 kategori pendekatan, yaitu pendekatan historis, pendekatan forward-looking, dan terakhir dengan melakukan survei terhadap para pelaku di pasar. 2.7.1. Pendekatan Historis Yaitu suatu pendekatan estimasi masa depan yang berdasarkan risk premium yang terealisasi sebelumnya (menggunakan data-data masa lalu). Market risk premium diestimasi dengan cara merata-ratakan risk premium setiap tahun dengan 22 rentang waktu tertentu. Risk premium didapat dengan membandingkan tingkat pengembalian terealisasi atas saham selama rentang waktu tertentu dengan tingkat pengembalian terealisasi atas aset bebas risiko (biasanya obligasi pemerintah). Selisih tingkat pengembalian dari kedua aset tersebut menghasilkan risk premium. Dalam merata-ratakan risk premium terdapat dua cara yaitu rata-rata aritmetik dan rata-rata geometrik. Pilihan antara kedua cara tersebut tergantung dari apa yang diinginkan analis. Karena yang dibahas adalah risk premium dalam satuan persentase, maka terdapat efek asimmetris antara nilai positif dengan nilai negatif. Asimmetris artinya penambahan 1% kemudian dikurangi 1% tidak sama dengan pengurangan 1% kemudian ditambah 1%. Dan hasil rata-rata geometrik pasti lebih rendah dibanding rata-rata aritmetik. Pendekatan historis, walaupun data historis sama, hasil analisa antara analis yang satu dengan yang lain dapat berbeda, hal ini disebabkan perbedaan rentang waktu, tingkat pengembalian aset bebas risiko dan cara rata-rata yang digunakan (aritmetik atau geometrik). Contoh, katakanlah terdapat data 10 tahun terakhir untuk tingkat pengembalian pasar saham S&P500 dan tingkat pengembalian Obligasi 10 tahun Pemerintah AS (Treasury Bond) seperti berikut ini. Tabel 2.1 Contoh Data Tingkat Pengembalian Tahunan S&P500 dan T-Bond Tingkat Pengembalian Tahunan Tahun S&P500 10 Year T-Bond 2004 10.74% 1.23% 2005 4.83% 3.01% 2006 15.61% 4.68% 2007 5.48% 4.64% 2008 -36.55% 1.59% 2009 25.94% 0.14% 2010 14.82% 0.13% 2011 2.10% 0.03% 23 2012 15.89% 2013 32.15% Sumber :S&P500 dan Federal Reserve 0.05% 0.07% Dari data diatas maka didapatkan bahwa rata-rata aritmetrik untuk tingkat pengembalian S&P500 adalah 9.10% sedangkan rata-rata aritmetik untuk tingkat pengembalian 10-year T-Bond adalah 4.69%. Jadi risk premium menggunakan ratarata aritmetrik adalah selisih antara 9.10% dan 4.69%, yaitu 4.41%. Bila menggunakan rata-rata geometrik maka rata-rata geometrik untuk tingkat pengembalian S&P500 adalah 7.34% sedangkan rata-rata geometrik untuk tingkat pengembalian 10-year T-Bond adalah 4.27%. Jadi risk premium menggunakan rata-rata aritmetrik adalah selisih antara 7.34% dan 4.27%, yaitu 3.07%. 2.7.2. Pendekatan Forward-Looking Pendekatan forward-looking, atau juga dikenal implied risk premium. Dalam pendekatan ini variabel-variabel tidak lagi diisi dengan data-data masa lalu, melainkan diisi dengan estimasi-estimasi ke masa depan. Untuk mendapatkan market risk premium dengan pendekatan forward looking, caranya adalah nilai E(rM) dan rf di formula 2.7.1 menggunakan hasil estimasi ke masa depan. Dalam melakukan estimasi menggunakan pendekatan forward-looking, Brigham dan Ehrhardt mengasumsikan bahwa pasar dalam keadaan setimbang dimana tingkat pengembalian minimum, rM, sama dengan tingkat pengembalian yang diharapkan, E(rM). Pendekatan yang paling umum digunakan menurut Brigham dan Ehrhardt adalah menggunakan model Discounted Cash Flow (DCF) untuk mengestimasi tingkat mengembalian pasar yang diharapkan (expected market rate of return). Bila menggunakan DCF, Brigham dan Ehrhardt juga mengasumsikan bahwa dividen tumbuh dengan kecepatan konstant dan perusahaan menggunakan semua 24 dana yang tersedia untuk didistribusikan sebagai pembayaran dividen (dengan kata lain perusahaan-perusahaan tidak melakukan pembelian kembali saham yang diterbitkan (stock repurchase) atau pun melakukan pembelian investasi jangka pendek). Jadi tingkat pengembalian minimun didapatkan dengan menggunakan formula berikut : (Brigham dan Ehrhardt, 2011:348) rM = E(rM )= Dimana : rM E(rM) D1/P0 g D + P0 ........................................... 2.7.2 = market required rate of return = market expected rate of return = estimasi market dividend yield pada periode berikut = tingkat pertumbuhan dividen Untuk estimasi market dividend yield, memang tidak ada cara jitu, namun estimasi dapat diperoleh dari laporan Standard&Poorβs. Untuk estimasi tingkat pertumbuhan dividen, Brigham dan Ehrhardt, menyatakan bahwa dalam jangka panjang, pertumbuhan dividen yang konstan dipengaruhi oleh pertumbuhan pendapatan (revenues) yang konstan, yang dimana pendapatan dipengaruhi oleh pertumbuhan penjualan yang konstan. Jadi menurut Brigham dan Ehrhardt, adalah masuk akal bila estimasi terhadap tingkat pertumbuhan penjualan jangka panjang pada pasar (market’s long-term growth rate of sales) dijadikan sebagai acuan untuk tingkat pertumbuhan dividen. (Brigham dan Ehrhardt, 2011:348) Pertumbuhan pendapatan dari penjualan di tentukan oleh harga dan jumlah unit yang terjual. Harga, dalam jangka panjang mengikuti tingkat inflasi. Ekspektasi inflasi oleh para investor dapat diestimasi dengan cara menselisihkan yield untuk 10 year treasury bond dengan yield untuk 10 year inflation-protected tresury bond (dikenal dengan sebutan TIPS). Sedangkan, jumlah unit yang terjual, dalam jangka panjang mengikuti pertumbuhan penduduk. Terakhir, estimasi pertumbuhan dividen 25 adalah jumlah dari estimasi kenaikan harga (estimasi inflasi di masa depan) dan estimasi pertumbuhan jumlah unit yang terjual (estimasi pertumbuhan penduduk). (Brigham dan Ehrhardt, 2011:348). Diatas disebutkan bahwa asumsi yang digunakan adalah tidak adanya pembelian kembali saham yang telah diterbitkan (stock repurchase). Untuk memperhitungkan adanya stock repurchase maka diperlukan adanya komponen baru pada formula 2.7.2. (Brigham dan Ehrhardt, 2011:349) rM = E(rM )=( +R p/D v) rM = E(rM )= Dimana : Rep Rep1 D R p + + P0 P0 D + P0 = Amount of stock repurchase = Expected stock repurchase pada periode berikutnya Berbeda dengan Brigham dan Ehrhardt, Koller, Goedhart, dan Wessels (2010:261) menggunakan persamaan Fisher untuk mengestimasi tingkat inflasi. Exp ct I to = ( +No ( +R r t ) − r t ) 2.7.3. Survei Terhadap Pelaku di Pasar Yaitu melakukan survei kepada para pelaku di pasar, para ahli baik praktisi maupun akademis, pengamat ekonomi atau CFO dan manajer keuangan, menanyakan pendapat mereka akan market risk premium. Survey banyak dilakukan oleh institusi-institusi keuangan seperti Merrill Lynch, ValueLine, Bloomberg (institusi), sehingga relatif mudah untuk didapatkan. Damodaran (2012:159) dalam ilustrasinya, tingkat pertumbuhan, g, didapatkan dengan menggunakan estimasi-estimasi para ekonom, baik itu merata- 26 ratakan setiap estimasi untuk setiap perusahaan ataupun estimasi para ekonom terhadap keseluruhan pasar. 2.8. Weighted Average Cost of Capital (WACC) Secara umum perusahaan didanai oleh investor melalui dua jenis sumber dana yaitu penyetoran modal oleh pemilik dan pemberian pinjaman. Baik penyetor modal maupun pemberi pinjaman, kedua-duanya tentunya menginginkan tingkat pengembalian yang lebih baik di masa depan. Oleh karena itu perusahaan yang didanai dapat dikatakan memiliki kewajiban untuk memberi „imbalanβ. Kewajiban itulah seakan-akan menjadi suatu beban biaya dan disebut Biaya Modal (Cost of Capital). Perlu diingat, walaupun namanya Cost of Capital, kewajiban-yangdiperlakukan-seperti-beban-biaya, bukan biaya seperti definisi biaya dalam prinsip akuntansi. Cost of Capital sering dijadikan acuan bagi investor dalam melakukan investasi, dimana Cost of Capital diperlakukan sebagai tingkat pengembalian minimum (required rate of return) yang harus dapat dicapai oleh perusahaan. Perusahaan yang tidak dapat memberikan tingkat pengembalian minimal sebesar Cost of Capital tidak pantas mendapatkan investasi dari investor. Pendapat ini didukung oleh Brealey, Myers dan Allen, (2011:216) “we defined the company cost of capital as ‘the expected return on a portfolio of all the company’s existing securities’.” Brealey, Myers dan Allen menyatakan bahwa cost of capital adalah imbal hasil yang diharapkan (expected return) dari sebuah portofolio yang didalamnya mengandung semua sekuritas yang dimiliki oleh perusahaan. Brealy, Myers dan Allen menggunakan expected return dengan sudut pandang, bahwa investor (yang berinvestasi di perusahaan tersebut) mengharapkan perusahaan 27 mampu memberi imbal hasil sebesar cost of capital. Di sisi lain artinya juga, perusahaan perlu memberi imbal hasil minimal sebesar cost of capital agar memenuhi harapan investor. Dengan cost of capital sebagai tingkat pengembalian minimum maka dalam penilaian nilai perusahaan, cost of capital digunakan sebagai discount rate atas arus kas masa depan. Cost of Capital dinyatakan dengan persentase. Karena sumber dana perusahaan dapat berupa campuran dari pinjaman dan setoran modal, dan besar beban kewajiban imbalannya bervariasi (tergantung jenis sumber dana) maka secara keseluruhan biaya modal perusahaan dinyatakan dengan rata-rata tertimbang dan disebut Weighted Average Cost of Capital dan formula umum dari Weighted Average Cost of Capital (WACC) sebagai berikut: WACC= w r ( -T)+wps rps +ws rs Dimana : wd = wps = ws = rd(1-T) rps rs = = = ............................ 2.8.1 rasio jumlah dana dari pinjaman terhadap seluruh sumber dana. rasio jumlah dana dari saham preferen terhadap seluruh sumber dana. rasio jumlah dana dari saham biasa terhadap seluruh sumber dana. after tax cost of debt cost of preferred stock cost of common stock wd, wps, ws umumnya telah di tentukan dalam perusahaan sebagai kebijakan finansial perusahaan. Kebijakan tersebut dikenal dengan sebutan Structure of Capital, yang artinya perusahaan membuat kebijakan terhadap seberapa besar/persentase dari setiap jenis sumber dana, yang perusahaan akan ambil untuk mendanai kegiatannya. Misalnya perusahaan A berskala kecil menengah menetapkan bahwa sumber dananya berupa 100% dari setoran modal pemilik perusahaan (100% dari saham 28 biasa). Perusahaan B internasional mungkin menetapkan bahwa sumber dananya 70% dari pinjaman jangka panjang, 20% dari saham biasa dan sisanya dari saham preferen. Perlu diingat bahwa wd, wps, ws didapat bukan berdasarkan dari book (accounting) value melainkan dari market value. Market value dari ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan sering kali lebih tinggi dibanding book value. (Brealey, Myers, dan Allen, 2011:216). 2.8.1. Cost of Debt Pinjaman yang termasuk dalam perhitungan WACC hanya pinjaman yang berasal dari luar aktivitas operasional. Atau bisa juga dengan pemahaman bahwa pinjaman yang termasuk cost of debt adalah pinjaman yang berasal dari pihak luar (eksternal) baik itu bank, institusi finansial maupun perusahaan lain. Karena cost of debt adalah seberapa besar perusahaan berkewajiban memberi pengembalian kepada pemegang surat hutang, maka adalah logis apabila cost of debt sama besar dengan tingkat pengembalian yang akan diterima pemegang surat hutang. Jadi, untuk mengestimasi cost of debt, wd, dapat dengan cara menghitung Yield to Maturity (YTM) suatu hutang/pinjaman. Bila suatu perusahaan memiliki lebih dari satu pinjaman yang sedang berjalan, maka untuk estimasi cost of debt adalah dengan merata-ratakan semua Yield to Maturity dari setiap pinjaman. Formula Yield to Maturity adalah sebagai berikut. (Brigham dan Ehrhardt, 2011:340) Bo Dimana : Pr c =INT -( -YTM)-N M + YTM ( +YTM)N ..................... 2.8.2 Bond Price = harga obligasi INT = nominal kupon yang dibayarkan YTM = Yield to Maturity, persen imbal hasil yang diperoleh sampai jatuh tempo 29 N M = jumlah tahun sebelum jatuh tempo = par value Bila menggunakan formula 2.8.2, maka YTM tidak dapat dihitung secara langsung, melainkan butuh mencoba satu per satu nilai YTM sampai dapat. Oleh karena itu jauh lebih gampang menggunakan kalkulator finansial atau peranti lunak Microsoft Excel. Bila menggunakan Microsoft Excel, maka menggunakan fungsi RATE. Karena bunga pinjaman dibayar dari pendapatan perusahaan sebelum dikenakan pajak, maka secara logis pembayaran bunga mengurangi pendapatan sebelum pajak, yang berakibatkan berkurangnya pembayaran pajak pendapatan bersih perusahaan. Dengan demikian di satu sisi perusahaan kehilangan uang (bayar bunga pinjaman) di sisi lain perusahaan menghemat uang (pajak pendapatan berkurang). Bila suatu perusahaan, katakanlah mempunyai pinjaman $100.000 dengan bunga 10% per tahun (membayar bunga pinjaman tahunan sebesar $10.000). Sebenarnya perusahaan tidak sepenuhnya mengeluarkan 100% bunga pinjaman tersebut. Misalkan pajak pendapatan perusahaan sebesar 30%, maka dengan membayar bunga, perusahaan menghemat pengeluaran dari sisi pajak pendapatan sebesar $3.000. Jadi net akhir pengeluaran adalah $10.000 (bunga) dikurangi $3.000 (hemat pajak) menjadi $7.000. Cost of debt yang setelah dipengaruhi pajak pendapatan perusahaan disebut After Tax Cost of Debt. Formula untuk mendapatkan After Tax Cost of Debt adalah r ( -T) , dimana rd adalah cost of debt sebelum dipengaruhi pajak pendapatan perusahaan dan T adalah persentase pajak pendapatan perusahaan. (Brigham dan Ehrhardt, 2011:341) 30 Namun perlu dipahami juga bahwa, dengan menggunakan Yield to Maturity sebagai discount rate dapat dinyatakan sebagai sebuah inkonsistensi secara teori, karena seharusnya penilaian dilakukan dengan menggunakan tingkat pengembalian yang diharapkan, bukan menggunakan tingkat pengembalian yang dijanjikan. Walaupun begitu, bila dalam praktiknya, untuk perusahaan yang rating hutang nya baik, dengan risiko gagal bayar hutang yang sangat kecil, maka tingkat pengembalian atas yang dijanjikan mendekati tingkat pengembalian yang diharapkan. Sebagai acuan, untuk perusahaan yang surat hutangnya di-rating grade BBB keatas, dapat menggunakan yield to maturity sebagai estimator cost of debt. Untuk yang dibawah grade BBB sebaiknya penilaian nilai perusahaan menggunakan adjusted present value (APV) dengan mengacu pada unlevered cost of equity, alih alih menggunakan WACC. (Koller, Goedhart, dan Wessels, 2010:261) 2.8.2. Cost of Preferred Stock Untuk mendapatkan cost of preferred stock hampir sama caranya dengan cost of debt, hanya saja pada cost of preferred stock tidak dipengaruhi oleh pajak pendapatan perusahaan, karena dividen dibayar dari pendapatan perusahan setelah dikenakan pajak, sedangkan bunga dibayar dari pendapatan perusahaan sebelum dikenakan pajak. Untuk saham preferen yang mempunyai maturity date yang pasti (berarti saham preferen tersebut sama seperti obligasi/surat hutang) maka cost of preferred stock untuk saham preferen tersebut dihitung dengan cara yang sama dengan cost of debt, yaitu menggunakan formula Yield To Maturity (dimana bunga diisi dengan besar dividen, par value diisi dengan harga jual saham preferen pada saat mature). Untuk saham preferen yang tidak mempunyai maturity date maka formula untuk mendapatkan cost of preferred stock adalah rps = Dps / Pps , dimana rps adalah 31 cost of preferred stock, Dps adalah besar dividen yang dibagikan, dan Pps adalah harga jual saham preferen. (Brigham dan Ehrhardt, 2011:343) 2.8.3. Cost of Common Stock Cost of common stock lebih sulit untuk didapatkan secara pasti karena sifat saham yang tidak ada maturity date, besar dividen yang tidak tetap dan tidak pasti, serta harga jual di kemudian hari yang tidak tentu. Sehingga cost of common stock hanya dapat diestimasi, dan semua cara estimasinya pun sedikit banyaknya mengandung penilaian subjektif. Cost of common stock intinya adalah mencari required rate of return yang harus dicapai oleh perusahaan agar investor tertarik untuk berinvestasi pada saham perusahaan tersebut. Cara estimasi cost of common stock terdapat tiga cara yaitu: (Brigham dan Ehrhardt, 2011:345) 1. dengan Capital Asset Pricing Model 2. dengan Discounted Cash Flow 3. dengan Over-Own-Bond-Yield-Plus-Judgemental-Risk-Premium Keputusan untuk menggunakan cara yang mana diantara ketiga cara yang disajikan, bergantung pada ketersediaan input dan keandalan input tersebut. Selain ketiga cara diatas, masih ada cara lain, yaitu : (Koller, Goedhart, dan Wessels, 2010:238) 1. Fama-French three-factor model 2. Arbitrage pricing theory (APT) 2.8.3.1. Cost of Common Stock using CAPM Bila menggunakan CAPM maka intinya adalah mencari tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of return) dengan melibatkan tingkat pengembalian untuk aset bebas risiko (risk-free rate of return), koefisien beta, dan market risk premium. Tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of 32 return) dapat dijadi estimasi untuk cost of common stock. Formula yang digunakan adalah formula 2.6.2. Untuk nilai risk-free rate dapat di estimasi menggunakan rate of return obligasi pemerintah, dalam penelitian ini adalah obligasi pemerintah AS. Rate obligasi pemerintah yang dijadikan acuan adalah rate dari Treasury Bond 10 tahun. Untuk nilai market risk premium terdapat beberapa cara dan dapat dilihat di subbab 2.7. Untuk nilai koefisien beta, dapat dihitung sendiri, lihat subbab 2.6.1. Koefisien beta juga dapat diperoleh dari beberapa sumber baik itu yang gratis maupun tidak, seperti dari situs www.Nasdaq.com, ataupun terbitan Ibbotson Associates. Setelah semua nilai telah lengkap maka selanjutnya yang tersisa adalah masukan ke persamaan dan hitung. 2.8.3.2. Cost of Common Stock using DCF Bila menggunakan DCF maka yang diperlukan adalah harga saham saat sekarang, besar dividen saat sekarang dan tingkat pertumbuhan dividen yang diharapkan (expected dividend growth rate). Formulanya adalah sebagai berikut rs = D + Exp ct P0 ........................................ 2.8.3 Harga dan besarnya dividen dapat diperoleh dari berbagai sumber online maupun dari laporan tahunan perusahaan. Untuk nilai tingkat pertumbuhan dividen, g, yang diharapkan tidak dapat diamati atau diperoleh langsung melainkan hanya dapat diestimasi. Untuk mengestimasi g terdapat 3 cara yaitu: (Brigham dan Ehrhardt, 2011:354) 1. dengan tingkat pertumbuhan historis (yang telah terealisasi) 33 penggunaan tingkat pertumbuhan pada masa lalu dapat dengan cara merataratakan untuk selang waktu tertentu (contoh : 10 tahun, 20 tahun, dst). Bila tingkat pertumbuhan pada masa lalu mempunyai trend naik atau turun secara konsisten selama selang waktu tertentu, maka bisa juga diestimasi bahwa untuk kedepannya trend tersebut tetap bertahan. 2. dengan Retention Growth Model perusahaan membayarkan dividen dari sebagian pemasukan bersih perusahaaan, dan sisanya diinvestasikan kembali sebagai laba ditahan (retain profit). Semakin banyak yang ditahan untuk diinvestasi ulang kembali, secara umum, semakin cepat pertumbuhan perusahaan tersebut. Jadi retention growth didapat dengan mengkalikan retention ratio dengan return on equity (ROE), dimana retention ratio adalah ratio antara pemasukan yang ditahan dengan keseluruhan pemasukan bersih. = 3. dengan prediksi pada analis profesional dengan mereview berbagai hasil analisa para ahli dan professional untuk mendapatkan estimasi tingkat pertumbuhan. 2.8.3.3. Cost of Common Stock using Over-Own-Bond-Yield-Plus-JudgementalRisk-Premium Brigham menyatakan bahwa perusahaan yang berisiko serta berperingkat rendah, yang sehingga memiliki suku bunga hutang yang tinggi, pastilah ekuitasnya berisiko untuk dimiliki. Jadi tingkat pengembalian minimal yang diperlukan, agar ada investor yang mau memegang ekuitas perusahaan tersebut, menjadi lebih tinggi daripada tingkat pengembalian dengan memegang obligasi. Jadi untuk mengestimasi 34 cost of common stock, hanya dengan cara menambahkan tingkat pengembalian obligasi perusahaan tersebut dengan risk premium. Risk premium yang digunakan, ditentukan secara subjektif, dapat berdasarkan risk premium yang telah terealisasi di masa lalu atau risk premium yang sering digunakan oleh para analis. Berdasarkan survey pada manajer portofolio, didapati bahwa kebanyakan manajer menggunakan risk premium sebesar antara 3% sampai 5%. (Brigham dan Houston, 2007:339) Karena pendekatan ini menggunakan nilai yang bersifat subjektif, maka pendekatan ini sebaiknya digunakan hanya apabila pendekatan lainnya agaknya tidak memungkinkan untuk digunakan, entah karena kekurangan data yang cukup untuk melakukan estimasi dengan tingkat kesalahan yang dapat diterima ataupun salah satu input tidak/kurang dapat diandalkan. 2.8.3.4. Fama-French Three Factor Theory Eugene Fama dan Kenneth French dalam penelitian mereka, gagal menunjukan bahwa koefisen beta milik CAPM berkorelasi positif terhadap rata-rata tingkat pengembalian saham. Jadi Fama dan French mengambil kesimpulan dalam hasil studi empiris mereka bahwa, (Koller, Goedhart, dan Wessels, 2010:258) “equity return are inversely related to the size of a company (as measured by market capitalization) and positively related to ratio of a company’s book value to its markte value of equity.” – imbal hasil ekuitas berhubungan terbalik dengan ukuran perusahaan (yang diukur dari nilai kapilatisasi) dan berhubungan lurus terhadap rasio perusahaan antara nilai buku ekuitas dan nilai pasar ekuitas. Jadi Fama-French memperkenalkan model yang mirip dengan CAPM namun lebih luas. 35 π π − ππ = πΌ + π½1 (π π − ππ ) + π½2 (π π − π π ) + π½3 (π β − π π ) + π Dimana : Ri rf α ε β1, β2, β3 Rm Rs−Rb R −Rl ....... 2.8.4 = = = = = = = Historical (realized rate of return on stock i Historical (realized rate of return on risk-free rate Vertical axis intercept term of stock i Random error Slope coefficient for stock i Historical (realized rate of return on the market) Historical (realized rate of return on small-size portfolio minus the big-size portfolio) = Historical (realized rate of return on the high-B/M (ratio of book to market value) portfolio minus the low-B/M portfolio) Cara penggunaan formula 2.8.4 adalah sama dengan CAPM. Koefisen beta formula 2.8.4 didapat dengan cara yang sama seperti cara estimasi beta milik CAPM, yaitu dengan menggunakan data historis kemudian diregresi. Namun yang menjadi permasalahaan dengan aplikasi model tiga faktor Fama-French adalah rentang waktu data historis yang digunakan, basis periode (harian, bulanan, atau tahunan), ketersediaan data yang handal dan akurat, dan serta kurangnya kemampuan data historis untuk memprediksi masa depan. Oleh karena itu, banyak praktisi, manajer perusahaan, tetap menggunakan CAPM, yang relatif mudah digunakan dan tingkat kesalahan input yang lebih mudah diperkecil. 2.8.3.5. Arbitrage Pricing Theory (APT) Teori menyerupai versi tiga faktor Fama-French yang digeneralisasi. Teori ini menyatakan bahwa imbal hasil sebuah sekuritas dipengaruhi sekian k faktor dan random noise. π π = πΌ + π½1 πΉ2 + π½2 πΉ2 + β― + π½π πΉπ + π Dimana : Fk = return on factor k 36 Secara teori, APT adalah teori yang tanpa celah dalam menentukan imbal hasil sebuah sekuritas. Namun dalam aplikasinya sulit untuk diterapkan karena beberapa alasan seperti jumlah faktor yang memperngaruhi, bagaimana mengukur faktor-faktor tersebut serta kehandalan-keakuratan sumber data untuk faktor yang dipertimbangkan. Sehingga APT hampir tidak mungkin diterapkan dunia nyata. 2.9. Terminal Value Terminal value atau horizon value adalah present value dari mulai horizon date sampai seterusnya. Terminal date atau horizon date adalah satu tanggal (satu titik waktu) dimana ramalan atau prediksi terhadap nilai perusahaan tidak dilakukan lagi setelah melewati tanggal tersebut. Secara singkat (Manurung, 2011:93) “terminal value adalah nilai perusahaan pada periode ke-n dan selanjutnya.”. Terminal value juga dapat dipahami sebagai (Damodaran, 2012:275) nilai yang mencerminkan nilai suatu perusahaan pada suatu titik waktu di masa depan. Ilustrasi pemahamannya sebagai berikut, seorang analis menilai harga saham perusahaan X. Dengan menggunakan data-data masa lalu, sang analis berusaha memprediksi nilai perusahaan di masa depan. Namun, alih-alih sang analis memprediksi nilai perusahaan setiap tahun sampai tahun ke-tak hingga, sang analis hanya memprediksi 3 tahun kedepan dan tahun setelahnya sang analis menganggap nilai perusahaan tumbuh konstan. Hasil prediksi analis tersebut menghasilkan 4 angka yaitu X1 (untuk tahun ke-1), X2 (tahun ke-2), X3 (tahun ke-3) dan X4 (tahun ke-4 dan seterusnya). Nilai X4 disebut terminal value, present value dari suatu titik waktu sampai waktu tak hingga. Dan tahun ke-3 adalah terminal date. Menurut Damodaran (2012:275) terdapat 3 cara untuk mengestimasi terminal value, yaitu : 37 1. Nilai likuidasi. 2. Pendekatan perkalian (multiple approach) 3. Model pertumbuhan stabil (stable groth model) 2.9.1. Nilai Likuidasi (Liquidation Value) Cara ini mengasumsikan bahwa perusahaan akan berhenti beroperasi dan menjual seluruh aset kepada penawar tertinggi. Terdapat dua cara untuk mengestimasi nilai likuidasi. Pertama, menggunakan nilai buku (book value) dan menyesuaikan dengan tingkat inflasi. Misalkan nilai buku sebuah aset selama 10 tahun ke depan dari sekarang diperkirakan sebesar dua miliar dolar AS, rata-rata usia aset pada saat itu adalah 5 tahun dan tingkat inflasi diperkirakan sebesar 3%, maka nilai likuidasi diestimasi menggunakan formula berikut. Expected Inflation Average life of assets Liquidation Value = Book Value of AssetsTerm yr (1+ Rate ) 2.9.1 5 = $ 2 Miliar (1.03) = $ 2.319 Miliar Keterbatasan dari cara pertama adalah estimasi dilakukan berdasarkan nilai buku, dimana nilai likuidasi seharusnya mencerminkan nilai sekarang (bukan nilai historis yaitu nilai buku), selain itu juga tidak mencerminkan kemampuan aset-aset menghasilkan pendapatan. Kedua, mengestimasi berdasarkan kemampuan menghasilkan pendaptan (earning power) dari aset yang dimiliki. Cara estimasi ini memerlukan estimasi arus kas dari aset yang dimiliki dan kemudian didiskontokan ke present value menggunakan tingkat diskonto (discount rate) yang sesuai. Menggunankan contoh sebelumnya, katakanlah aset pada contoh sebelumnya mampu menghasilkan arus kas sebesar 400 juta dolar AS per tahun (setelah dipotong pajak) untuk selama 15 tahun 38 (setelah melewati terminal year) dan biaya modal (cost of capital) sebesar 10%, maka estimasi menggunakan formula berikut. Expected Expected Liquidation Value = CashFlow −( +r)y r ..................... 2.9.2 Dimana : r = discount rate (menggunakan biaya modal sebagai discount rate) y = waktu jadi nilai likuidasi yang diperoleh adalah 3.042 miliar dolar AS dengan mensubstitusikan r dengan nilai 0.1 (biaya modal = 10%) dan y dengan nilai 15 (terdapat arus kas selama 15 tahun). Rumus 2.8.2 sebenarnya juga adalah rumus untuk mencari nilai sekarang dari anuitas biasa (present value of an ordinary annuity), dan dapat dilihat pada buku Brealey, Myers, dan Allen, 2011, pada halaman 29. Bila dalam hal melakukan penilaian terhadap ekuitas, maka nilai likuidasi yang didapat diatas harus dikurangi dengan nilai hutang (dan sekali lagi nilai yang digunakan adalah nilai pasar) pada saat terminal date. 2.9.2. Pendekatan Perkalian (Multiple Approach) Pendekatan ini, nilai perusahaan pada masa mendatang diestimasi dengan menerapkan angka pengkali pada pendapatan perusahaan di masa mendatang tersebut. Sebagai contoh, sebuah perusahaan diperkirakan mencatat pendapatan sebesar 6 miliar dolar AS pada saat 10 tahun dari sekarang, akan mendapat estimasi terminal value sebesar 12 miliar dolar AS jika angka pengkali yang digunakan adalah 2. Jika dalam hal penilaian ekuitas, angka pengkali yang digunakan, biasanya, adalah P/E Ratio (Price-Earning Ratio). Walaupun pendekatan ini cukup sederhana, namun efek angka pengali yang digunakan sangat berpengaruh. Oleh karena itu penentuan angka pengali harus hati- 39 hati. Agar angka pengali yang digunakan tetap realistis, maka dapat dilakukan perbandingan terhadap perusahaan serupa pada bidang yang sama. 2.9.3. Model Pertumbuhan Stabil (Stable Growth Model) Pada pendekatan menggunakna nilai likuidasi, dianggap bahwa umur perusahaan adalah terbatas dan akan dilikuidasi pada akhir hidup perusahaan. Namun sebenarnya, perusahaan dapat saja menginvestasikan sebagian pendapatannya pada aset baru dan memperpanjang usia perusahaan. Jika diasumsikan bahwa aruskas setelah terminal date tumbuh dengan konstan maka formula untuk mengestimasi terminal value adalah sebagai berikut: T r Dimana : lainnya) V u = πΆπΉπ+1 π + ππ π‘ππππ ................................. 2.9.3 CF = CashFlow (dapat berupa dividen, bunga atau arus kas T r = Terminal date = rate yang digunakna untuk men-discount semua arus kas (dapat berupa required rate of return, WACC, atau lainnya) = tingkat pertumbuhan arus kas g Dalam hal penilaian ekuitas (equity valuation), maka CF (CashFlow) pada formula diatas berupa dividen (seperti pada dividend discount model) atau arus kas bebas pada ekuitas (free cash flow to equity), sedangkan r berupa biaya ekuitas (cost of equity). Dalam hal penilaian perusahaan (firm valuation), maka CF (CashFlow) berupa free cash flow to firm sedangkan r berupa biaya modal (cost of capital). 40 2.10. Estimasi Pertumbuhan Dalam penilaian nilai perusahaan yang menjadi salah kunci penting adalah pertumbuhan yang dapat dicapai. Pertumbuhan dapat diestimasi dengan tiga cara : (Damodaran, 2012: 246) 1. dengan tingkat pertumbuhan historis 2. dengan mengacu pada hasil analisa para analis 3. dengan berdasarkan fundamental perusahaan Pertumbuhan dalam subbab ini adalah pertumbuhan pendapatan. Hanya saja pertumbuhan pendapatan dapat dilihat dari beberapa sisi seperti laba bersih per saham (EPS), laba bersih (net income), atau laba usaha (operating profit) 2.10.1. Pertumbuhan Historis Seperti semua nilai yang diestimasi dengan pencapaian terealisasi (masa lalu), selalu terdapat keterbatasan yang sama, yaitu bahwa masa lalu tidak mendikte masa depan. Dan permasalahan seperti jumlah data yang digunakan, basis periode (mingguan, bulanan, tahunan) yang digunakan, dan cara merata-ratakan, semuanya itu menghasilkan angka yang berbeda. Walaupun begitu menurut Damodaran, data masa lalu sedikit banyaknya mengandung informasi yang berguna dalam mengestimasi ke masa depan. Dalam estimasi pertumbuhan menggunakan data masa lalu dapat dilakukan dengan merata-ratakan data masa lalu. Cara merata-ratakan terbagi menjadi dua yaitu aritmetik dan geometrik. Dimana : gt = tingkat pertumbuhan pada tahun t R t -r t G o tr = E r E r s0 s- ( ) − 41 Dimana : Earningt = pendapatan pada tahun t Earning diatas dapat berupa EPS, laba penjualan (revenues), EBITDA, laba usaha (operating profit), atau laba bersih, tergantung dari kebutuhan. Namun karena sekarang sedang membahas tentang pertumbuhan, tentu kurang masuk akal apabila, pertama, dalam rata-rata aritmetik, pertumbuhan pendapatan setiap tahunnya dianggap sama dan mengabaikan efek pelipatan (compounding effect), kedua, dalam rata-rata geometrik, hanya pertumbuhan awal dan akhir yang di perhitungkan dan mengabaikan proses diantaranya. Oleh karena itu, Damodaran mengusulkan bahwa teknik berikut dapat sedikit menutupi kekurangan dari rata-rata aritmetik dan geometrik. Teknik tersebut adalah regresi ordinary least squares (OLS) terhadap waktu. Dalam teknik regresi pun terbagi menjadi dua yaitu regresi linear (mirip aritmetik) dan log-linear (mirip geometrik). (Damodaran, 2012: 248) 1. L r : EPSt = + t 2. Lo -L r : (EPSt ) = + t Dimana : EPSt = Earning per Share pada periode t t = periode t ln(EPSt) = Natural logaritma EPS pada periode t Dalam versi linear (nomor 1) koefisien kemiringan (koefisien b) dalam bentuk satuan EPS. Masalah dalam bentuk satuan EPS adalah kurang sesuai untuk digunakan (input pertumbuhan yang umum digunakan pada formula adalah bentuk persentase, bukan satuan). Sedangkan pada versi log-linear koefisien b dalam bentuk persentase. (Damodaran, 2012: 248) Dalam menggunakan data masa lalu, dalam hal estimasi pertumbuhan, Damodaran juga menunujukan satu permasalah yang dapat membuat estimasi dengan data masa lalu menjadi tidak berguna. Masalahnya ada terletak pada data tersebut, 42 apabila ada pertumbuhan yang negatif maka nilai dapat bias secara signifikan. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian apabila mengestimasi pertumbuhan perusahaan yang belum stabil. 2.10.2. Estimasi Pertumbuhan oleh Analis Para analis umumnya mempunyai akses informasi yang lebih baik, dan juga analis umumnya selalu mengikuti perkembangan yang terbaru, sehingga para analis sering memperbaharui estimasi-estimasi mereka terhadap informasi terbaru. Selain itu analis juga mungkin mempunyai model yang lebih baik untuk perusahaan yang diikutinya. Oleh karena itu cukup masuk akal untuk menggunakan hasil estimasi para analis dalam penilaian kita. Agar mengurangi faktor subjektif perorangan, maka adalah praktik yang baik, untuk merata-ratakan sejumlah estimasi para analis dan memperhatikan standar deviasinya. 2.10.3. Pertumbuhan berdasarkan Fundamental Perusahaan Estimasi dengan berdasarkan keadaan perusahaan sekarang dan berdasarkan fundamental perusahaan adalah secara logika yang paling akurat, namun untuk mencapai keakuratan tersebut tidaklah semudah seperti menggunakan data masa lalu atau estimasi para analis. Hubungan antara pertumbuhan dengan fundamental perusahaan tergantung pada pertumbuhan apa yang diestimasi. Estimasi pertumbuhan EPS berdasarkan return on equity (ROE) dan retention ratio. Estimasi pertumbuhan laba bersih berdasarkan return on equity dan equity reinvestment rate. Estimasi operating income berdasarkan return on capital dan reinvestment rate. Pertumbuhan EPS. Damodaran menyatakan bahwa hubungan paling sederhana dalam menentukan pertumbuhan adalah berdasarkan retention ratio 43 (persentase laba yang ditahan oleh perusahaan) dan return on equity. Perusahaan yang memiliki retention ratio dan return on equity yang tinggi seharusnya menikmati pertumbuhan EPS yang tinggi daripada perusahaan yang tidak mempunyai karakteristik ini. (Damodaran, 2012:258). R t E r tROE N t I co t............................... 2.10.1 ROE EPS = r t t o r t o EPS Dimana : gEPS ROE = = pertumbuhan EPS = return on equity (laba bersih pada tahun terakhir dibagi dengan nilai buku modal/shareholder’s equity pada akhir periode tahun sebelumnya) Pertumbuhan laba bersih (net income). Apabila sumber modal tidak hanya terbatas pada laba ditahan, maka pertumbuhan laba bersih dapat saja berbeda dengan pertumbuhan EPS. Perlu diingat, bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh banyaknya investasi kembali yang dilakukan oleh perusahaan. Karena sumber investasi tersebut tidak terbatas pada laba ditahan, maka diperlukan pengukuran investasi yang lebih luas daripada hanya sebatas laba ditahan. (Damodaran, 2012:259). NI = Equ ty R v st t R t ROE Equ ty r v st ROE NI = N t co C pEx − D pr c t o +βNWC − (N w D NI = N t co t Issu −D tR p ) ROE 2.10.2 Dimana : gNI CapEx ΔNWC ROE Debt = pertumbuhan laba bersih (net income) = Capital Expenditure = Change in Net Working Capital = Return on Equity = Long-term debt issued (paid) Pertumbuhan laba usaha (operating profit). Pertumbuhan laba usaha dapat dihubungan dengan total investasi kembali yang dilakukan dan return on capital. Ketika perusahaan mempunyai return on capital yang stabil, pertumbuhan laba usaha 44 diestimasi dengan mengkalikan reinvestment rate dan return on capital. (Damodaran, 2012:261-262). EBIT = R t R t ROC (C pEx − D pr c t o +βNo C s WC) R v st tr t = EBIT( − T x r t ) EBIT( − T x r t ) ROC= (BV o Equ ty + BV o D t − C s M r t S cur t s) ... 2.10.3 Dimana : v st gEBIT = pertumbuhan EBIT (operating income/laba usaha) ROC = Return on capital CapEx = Capital Expenditure ΔNoncashWC = Change in Noncash working capital BV = Book value Formula 2.10.3 diasumsikan bahwa retun on capital tetap stabil seiring berjalannya waktu. Bila return on capital ternyata berubah-ubah dari waktu ke waktu (namun tetap bernilai positif), maka ada penambahan komponen. (Damodaran, 2012:264) EBIT = (R Dimana : ROCt ROCt-1 v st tR t ROCt )+ (ROCt − ROCt- ) ROCt ............ 2.10.4 = return on capital pada periode t = return on capital pada satu periode sebelum periode t Apabila perusahaan mengalami return on capital yang negatif (sering terjadi pada perusahaan yang baru berkembang atau yang sedang mengalami restukturisasi) maka formula 2.10.3 dan 2.10.4 tidak benar digunakan, karena dapat menghasilkan angka yang tidak realistis. Oleh karena itu untuk mengestimasi pertumbuhan untuk perusahaan semacam ini, maka kita gunakan pertumbuhan pendapatan penjualan (revenues), operating margin, sales-to-capital ratio. Tentu saja estimasi pertumbuhan tidak dilakukan pada tahun dimana ROC negatif, namun apabila 45 ekspektasi beberapa tahun kedepan ROC bernilai positif, maka penilaian dilakukan pada tahun tersebut. Sales-to-capital ratio diartikan seberapa banyak penjualan yang dapat dihasilkan dari setiap satu dolar model yang ditanamkan. Semakin tinggi rasionya, berarti semakin baik perusahaan mampu memanfaatkan modal yang ada untuk menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Modal yang ditanamkan senilai dengan jumlah shareholder’s equity ditambah hutang jangka panjang (tidak termasuk hutang operasional). Dalam kasus tertentu, apabila uang tunai tidak termasuk dalam kebutuhan operasional maka perhitungan modal ditanam sebaiknya dikurangi dengan nilai uang tunai yang ada. Pengurangan uang tunai, membuta pengartian dari rasio menjadi lebih spesifik, yaitu seberapa banyak pendapatan yang dapat dihasilkan dari setiap dolar modal yang ditanamkan sepenuhnya untuk operasional perusahaan. Bagi perusahaan yang memiliki cadangan uang tunai yang banyak namun tidak dimanfaatkan untuk menghasilkan pendapatan, apabila perhitungan modal ditanam tidak dikurangi dengan uang tunai, maka akan didapat rasio yang rendah dan membuat perusahaan terkesan tidak efisien padahal mungkin saja perusahan belum memanfaatkan seluruh sumber daya. Jadi, Formula untuk sales-to-capital ratio adalah sebagai berikut s s to c p t r t o = (tot s sr v u qu ty+ o t r t−c s ) .......... 2.10.5 Sales-to-capital ratio dapat juga digunakan untuk mendapatkan angka reinvestment, untuk tujuan memperoleh reinvestment rate. Sesuai arti rasio, rasio tersebut dapat digunakan dengan arti sebagai berikut, seberapa banyak tambahan pendapatan yang akan didapat sari setiap tambahan modal yang ditanamkan. Jadi 46 besar reinvestment yang dibutuhkan untuk menambah pendapatan dapat diperoleh dengan formula berikut. R v st t= s sr v u t−s sr v u s s to c p t r t o t- Dimana : sales revenuet = sales revenue pada periode ke-t sales revenuet-1 = sales revenue pada satu periode sebelum periode ke-t 2.11. Penilaian Saham Sesuai yang dikutip oleh yang dikutip Manurung (2011:14), Myer (1977) menyatakan bahwa harga saham sebuah perusahaan adalah adalah “Present value of its predictable cashflow, plus the value of rights or options embeded in the firm” – “Nilai saat sekarang dari arus kas masa depan ditambah nilai hak atau opsi yang melekat pada perusahaan”. Jadi saham dapat dinilai dari, pertama, ekspektasi arus kas yang didapat di masa mendatang, dan kedua, dari nilai opsi yang ada pada perusahaan. Manurung menyatakan bahwa komponen kedua, yaitu nilai opsi, adalah nilai yang tersembunyi (hidden) dan hanya diketahui oleh orang dalam. Oleh karena itu adalah masuk akal bila saham dapat dinilai dari arus kas. Damodaran (2012:14) menyatakan bahwa, “financial asset are acquired for the cashflow expected on them”, artinya aset finansial dimiliki dengan tujuan untuk mendapatkan aruskas masuk, sehingga adalah masuk akal bila sebuah aset dinilai dari kemampuan aset tersebut untuk menghasilkan arus kas masuk. Jadi, bila dalam hal saham, maka saham dinilai dari kemampuan saham tersebut untuk memberikan arus kas (dividen dan capital gain) di masa mendatang. Damodaran juga menyatakan juga bahwa persepsi atas „valueβ harus realistis, sehingga harga yang dibayar untuk aset apapun seharusnya mencerminkan aruskas sesuai seperti yang diharapkan. 47 Secara singkat, sesuai dengan Brigham dan Ehrhardt (2011:273) saham dinilai dari “present value of its expected future cash flow stream”, - nilai sekarang atas (ekspektasi) arus kas masa depan. Jika dilihat dari sisi perpektif investor (pemegang saham), maka saham dinilai dari ekspektasi arus kas masuk ke investor. Semakin besar ekspektasi investor akan arus kas masuk ke investor, semakin bernilai saham tersebut. Jika dilihat dari sisi perspektif perusahaan, semakin besar kemampuan keperusahaan menghasilkan arus kas positif (yang berarti semakin besar kapasitas perusahaan memberi imbalan ke investor), semakin berharga saham perusahaan tersebut. Penjelasan tentang penilaian saham diatas, menurut Damodaran (2012:25) hanyalah satu diantara tiga pendekatan yang dapat dilakukan, namun juga merupakan dasar dari dua pendekatan lainnya. Penilaian saham dengan berfokus pada present value atas arus kas masa mendatang disebut juga discounted cash flow valuation. Terdapat banyak cara yang berlandasan dari pendekatan ini, diantaranya Dividend Discount Model, Free Cash Flow to Firm, Free Cash Flow to Equity. 2.11.1. Dividend Discount Model Secara singkat, model ini didasari atas ekspektasi pertumbuhan dividen yang dibagikan perusahaan tiap tahun dan harga jual dimasa depan. Pemahaman dari model ini adalah pertama, investor memegang saham dengan tujuan mendapatkan dividen dan keuntungan dari harga jual saham dimasa depan. Kedua, karena tujuan tersebutlah maka bila perusahaan dapat membagikan dividen yang lebih besar, maka nilai saham perusahaan tersebut lebih bernilai dimata investor karena tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Model ini menilai harga saham dengan mencari present value dari jumlah arus kas masa depan yang diterima investor untuk masa maturity yang tak tentu 48 (saham dapat dipegang untuk waktu yang tak terbatas). Berikut formula umum untuk Dividend Discount Model. π0 = Dimana : depan) V0 π·1 π·1 π·1 + + + .. 2 ( + π) ( + π) ( + π)3 ...................... 2.11.1 = Nilai intrinsik saham saat ini (present value dari arus kas masa D0 = Besar dividen pada tahun berjala (sekarang) Dn = Besar dividen ekspektasi tahun berikut ke-n (n = 1, 2, 3,…) k = market required rate of return Tampaknya formula diatas tidak memperhitungkan keuntungan dari harga jual saham di masa depan. Namun sebenarnya sudah diperhitungkan, karena harga dimasa mendatang dipengaruhi dividen yang akan dibagikan. Formula dasar Dividend Discount Model diatas kurang praktis untuk diterapkan karena untuk mendapat nilai intrinsik saham, perlu memprediksi dividen setiap tahun. Agar lebih mudah digunakan maka diasumsikan menjadi lebih sederhana, yaitu dividen setiap tahunnya bertambah secara konstan. Untuk kasus dividen yang bertambah secara konstan (pertumbuhan/pertambahan konstant), juga dikenal dengan nama Gordon Growth Model, rumus 2.10.1 dapat ditulis ulang menjadi : π0 = Dimana : depan) π·1 (π − π) atau π0 = π·0 ( + π) (π − π) V0 ................... 2.11.2 = Nilai intrinsik saham saat ini (present value dari arus kas masa D0 D1 g k = Besar dividen pada tahun berjalan (sekarang) = Besar dividen pada tahun berikutnya = tingkat pertumbuhan dividen = market required rate of return Formula 2.11.2 hanya bisa digunakan bila pertumbuhan dividen tidak melebihi pertumbuhan pasar. Bila tingkat pertumbuhan pasar melebihi pertumbuhan 49 pasar maka digunakan Multistage Dividend Discount Model. Pada kenyataannya pertumbuhan perusahaan yang melebihi pertumbuhan pasar biasanya tidak akan bertahan lama. Maka penilaian dilakukan secara bertahap, dimana salah satu tahap adalah untuk menilai pada saat pertumbuhan diatas pertumbuhan pasar, dan tahap satunya lagi adalah untuk menilai pada saat pertumbuhan dibawah pertumbuhan pasar. Oleh karena itu disebut Multistage Dividend Discount Model. 2.11.2. Pendekatam Free Cash Flow Model ini didasari atas ekspektasi pertumbuhan arus kas bebas (free cash flow) perusahaan. Free Cash Flow adalah arus kas yang tersedia untuk didistribusikan kepada semua investor perusahaan, baik itu pemegang surat hutang maupun pemegang saham. Free cash flow yang lebih besar memberikan 2 arti, pertama, investor berkemungkinan mendapatkan pendapatan yang lebih besar, kedua, perusahaan memiliki kinerja yang lebih baik. Model Dividen Discount Model akan sulit diterapkan bagi perusahaan yang tidak/belum atau tidak konsisten dalam membagikan dividen. Sehingga untuk menilai saham perusahaan tersebut dapat menggunakan pendekatan Free Cash Flow. Dalam pendekatan Free Cash Flow terbagi menjadi dua pendekatan lagi : a. Free Cash Flow to the Firm (FCFF) b. Free Cash Flow to Equity (FCFE) Pendekatan FCFF adalah men-discount Free Cash Flow untuk perusahaan, secara keseluruhan, (FCFF) dengan menggunakan Weighted Average Cost of Capital (WACC) untuk mendapatkan nilai perusahaan dan lalu mengurangi nilai perusahaan tersebut dengan nilai hutang (debt) untuk mendapatkan nilai ekuitas (Bodie, Kane, dan Marcus, 2011: 609). 50 Pendekatan FCFE adalah berfokus pada Free Cash Flow untuk pemegang ekuitas (equityholder) kemudian men-discount langsung Free Cash Flow to Equity (FCFE) dengan cost of equity untuk mendapatkan nilai ekuitas (Bodie, Kane, dan Marcus, 2011: 609). Formula Free Cash Flow to the Firm (FCFF) : FCFF = EBIT ( − π‘π ) + Depreciation − Capital expenditure − Increase in NWC 2.11.3 Dimana : EBIT = Earning before Interest and Taxes tc = pajak perusahaan NWC= net working capital Formula Free Cash Flow to Equity (FCFE) : FCFE = FCFF − interest expense × (1 − π‘π) + Increase in net debt 2.11.4 Setelah didapati nilai Free Cash Flow to Firm, untuk mendapatkan nilai perusahaan (firm’s value), berkut formulanya : π FCFFπ‘ ππ + π‘ (1+WACC) (1+WACC)π ................. 2.11.5 π‘=1 Firm Value = ∑ ππ = FCFF π+1 WACC − g ...................................... 2.11.6 Bila menggunakna Free Cash Flow to Equity maka, untuk mendapatkan nilai ekuitas (equityβs value), berikut formulanya: π FCFEπ‘ ππ + (1+ππΈ )π‘ (1+ππΈ )π ............... 2.11.7 π‘=1 Market Value of Equity = ∑ ππ = Dimana : kE PT = cost of equity = terminal value FCFE π+1 ππΈ − g ......................................... 2.11.8 51 T t g = terminal date (jika memakai basis tahunan, terminal year) = tahun ke-t = tingkat pertumbuhan 2.12. Kerangka Pikir Gambar 2.1 Kerangka Pikir Sumber : Brigham dan Ehrhardt, 2011