BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Salah satu penelitian terdahulu yang dijadikan bahan referensi dalam
penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Rahelyna Mairing alumni
Universitas Bina Nusantara, Jakarta, dengan judul “Analisis Penilaian Kewajaran
Harga Saham dan Evaluasi Bisnis pada P.T. Myoh Technology, Tbk saat disuspensi
oleh Bursa Efek Indonesia tahun 2011” pada tahun 2012.
Dalam penelitiannya, penilaian dilakukan pada dua sisi, yang pertama
adalah dari sisi keuangan dan kedua dari sisi non-keuangan. Dari sisi keuangan yaitu
menggunakan metode pendekatan Free Cash Flow to the Firm (FCFF) dan analisis
kebangkrutan.
Dari sisi non-keuangan yaitu menggunakan analisis SWOT dan
analisis Porter. Analisis SWOT dan Porter memberikan beberapa pertimbangan
dalam melakukan estimasi.
Hasil yang didapat oleh Rahelyna Mairing adalah harga saham Myoh
Technology Tbk mengalami overvalued sehingga kurang baik untuk investasi dan
dari segi analisis kebangkrutan, menunjukan pada tahun 2009 – 2011, Myoh
Technology berada di zona kondisi bangkrut.
Penelitian terdahulu lainnya yang dijadikan sebagai bahan referensi adalah
penelitian oleh Rena Saputra alumni Binus University, dengan judul “Penilaian
Harga Wajar Saham PT Astra Internatinal Tbk” pada tahun 2010.
Dalam penelitian Rena Saputra, penilaian dilakukan dengan pendekatan
Free Cash Flow to Firm, namun dalam prosesnya menggunakan scenario growth
7
8
untuk mendapatkan estimasi-estimasi input yang lebih sesuai dengan keadaan
perusahaan saat itu.
Hasil estimasi nilai wajar adalah berkisar antara Rp 18.900 – Rp. 20.900.
Hasil yang berupa interval dikarenakan, dalam prosesnya, Rena Saputra melakukan
simulasi terhadap beberapa kemungkinan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan
perusahaan.
Walaupun Blackberry Ltd bukan berada di bidang teknologi piranti lunak
seperti PT Myoh Technology maupun juga di bidang kendaraan seperti PT Astra
Intenasional. Namun kedua perusahaan ini memiliki sebagian karakteristik yang
dimiliki Blackberry Ltd. Untuk PT Myoh Technology yaitu sama-sama berada di
sektor teknologi, walaupun berada di industri yang berbeda yakni PT Myoh
technology di industri piranti lunak (khusus jasa sistem teknologi informasi bisnis)
sedangkan Blackberry Ltd di industri piranti keras (khususnya peralatan komunikasi).
Kedua perusahaan tersebut sama-sama rentan terhadap perubahan dan perkembangan
teknologi yang relatif cepat. Untuk PT Astra Internasional, walaupun berada si sektor
usaha yang sama sekali tidak berkaitan, namun produknya bersifat kategori mewah,
yang mana pertumbuhan dipengaruhi oleh trend, selera masyarakat dan kemampuan
finansial konsumen (mempunyai sisa dana untuk kebutuhan tersier). Dengan
pertimbangan tersebut, diharapkan kedua penelitian tersebut mampu memberi
pertimbangan-pertimbangan dalam melaksanakan penelitian ini.
Selain perbedaan karakteristik subjek penelitian, metode yang digunakan
pada penelitian ini juga akan sedikit berbeda, dimana penelitian ini hanya
menggunakan pendekatan Free Cash Flow to the Firm (FCFF) dan beberapa input
akan diestimasi dengan cara yang sedikit berbeda.
9
2.2. Pengertian Saham
Dikutip dari situs remis Indonesia Stock Exchange (IDX) www.idx.co.id,
“saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan modal seseorang atau pihak
(badan usaha) dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas”. Dengan memiliki
saham, maka seseorang dapat dikatakan bahwa ia juga merupakan pemilik
perusahaan (bila hanya ia seorang yang memegang saham perusahaan tersebut) atau
salah satu pemilik perusahaan (bila terdapat lebih dari satu pemegang saham).
Dalam dunia investasi, saham juga dikenal dengan nama ekuitas. Jika dalam
hal jenis-jenis saham, maka kata „sahamβ€Ÿ mengacu pada maksud dari kata „saham
biasaβ€Ÿ (common stock).
2.3. Jenis Saham
Saham dibagi menjadi beberapa jenis. Umumnya terbagi menjadi 2 jenis yaitu:
1.
Saham biasa (common stock)
Saham biasa atau juga disingkat menjadi „sahamβ€Ÿ atau juga disebut ekuitas.
Menyatakan kepemilikan atas perusahaan. Setiap pemilik dari selembar saham,
mempunyai satu suara (hak pilih) dalam segala hal yang diangkat ke rapat umum
pemegang saham (RUPS) tahunan. Saham biasa (common stock) memiliki 2
ciri-ciri penting yaitu residual claim dan limited liability. Residual claim, artinya
pemegang saham mempunyai hak klaim atas aset perusahaan ketika dilikuidasi.
Limited liability, artinya pemegang saham hanya dapat merugi sebanyak jumlah
modal yang ditanamkan keperusahaan (Bodie, Kane, dan Marcus, 2011:42).
2.
Saham preferen (preferred stock)
Saham yang menawarkan pemegangnya dividen tetap dan prioritas klaim
terhadap aset tapi tidak mempunyai hak suara. Saham preferen adalah saham
10
hybrid, memiliki sifat gabungan dari saham biasa dan hutang. Saham preferen
memiliki sifat surat hutang/obligasi (bond), yang menjanjikan pemegangnya
dibayar sejumlah pendapatan (dividen) yang tetap setiap tahunnya dan masa
maturity-nya tak terbatas. Sifat saham preferen juga hampir sama dengan sifat
saham biasa, yaitu memiliki hak klaim atas aset yang dilikuidasi dan memiliki
kewajiban terbatas atas kepemilikannya (residual claim dan limited liability),
hanya saja pemegang saham preferen tidak mendapat suara (hak pilih) dalam
RUPS. Bedanya dengan saham biasa dalam hal pembagian dividen, pemegang
saham preferen mendapat dividen yang tetap setiap tahun namun mendapat
prioritas terlebih dahulu sebelum pemegang saham biasa. Perusahaan yang gagal
memenuhi kewajiban terhadap pemegang saham preferen, dapat terancam risiko
kebangkrutan. Dengan kata lain, dengan membeli saham preferen, maka
pemegangnya adalah pemilik perusahaan dan sekaligus juga pemberi pinjaman.
(Bodie, Kane, dan Marcus, 2011:43)
Selain pembagian kedua jenis saham diatas, pada praktik dalam
mengumpulkan modal, saham biasa dapat dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yang
dimana jumlah dan nama kelas saham biasa bebas ditentukan oleh perusahaan yang
menerbitkan. Contoh, Kelas A, dijual dengan syarat pemegang saham tidak mendapat
suara (hak pilih) selama 5 tahun tapi mendapat dividen, Kelas B, dijual dengan syarat
tidak mendapat dividen sampai kemampuan finansial perusahaan cukup kuat tapi
mendapat suara (hak pilih) selama 5 tahun. (Brigham dan Ehrhardt, 2011:269-270)
Persamaan saham biasa dan saham preferen sebagai berikut :
1.
Residual claim, artinya pemegang saham biasa maupun preferen, sama-sama
memiliki hak mengklaim hasil sisa likuidasi aset perusahaan.
11
2.
Limited liability, artinya pemegang saham biasa maupun preferen, sama-sama
hanya bertanggungjawab sampai sejauh modal yang ditanamkan, tidak
melibatkan aset pribadi investor.
Perbedaan saham biasa dan saham preferen sebagai berikut :
1.
Pemegang saham biasa mendapat dividen hanya bila perusahaan memutuskan
membagikan dividen dan jumlahnya tidak tetap dari periode ke periode,
sedangkan pemegang saham preferen mendapat dividen yang tetap setiap
periode.
2.
Pemegang saham preferen mendapat prioritas terlebih dahulu dibanding
pemegang saham biasa dalam hal pembagian sisa hasil likuidasi aset.
3.
Umumnya, pemegang saham biasa mendapat hak suara dalam rapat umum
pemegang saham, sedangkan pemegang saham preferen tidak mendapat hak
suara.
2.4. Nilai Intrinsik dan Harga Pasar Sebuah Saham
Harga pasar sebuah saham, secara teknis, adalah harga terakhir sebuah
saham diperdagangkan di pasar. Menurut Fama yang dikutip Manurung (2011:14)
“harga saham di pasar merupakan refleksi seluruh informasi yang ada pada
perusahaan”. Namun karena harga pasar juga dipengaruhi oleh faktor penawaran dan
permintan dan faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh psikologis para pelaku di pasar,
maka harga pasar sebuah saham, selain mencerminkan semua informasi yang ada
pada perusahaan, juga mencerminkan persepsi (atau bahkan harapan) para pelaku di
pasar terhadap sebuah saham.
Nilai intrinsik saham adalah nilai sebenarnya dari sebuah saham, yang tidak
memperhitungkan faktor penawaran dan permintaaan maupun faktor psikologis
12
pelaku di pasar. Sehingga harga pasar dapat saja lebih tinggi atau bahkan lebih
rendah dari nilai sebenarnya (nilai intrinsik). Dan ketika nilai intrinsik saham sama
dengan harga pasar, kesetimbangan pasar tercapai. Menurut Brigham dan Ehrhardt
(2011:217) nilai intrinsik mewakili tingkat pengembalian dan risiko yang sebenarnya.
Namun nilai intrinsik tidak dapat diamati secara langsung, melainkan hanya dapat
diestimasi/diperkirakan.
Karena hal terpenting bagi investor dari memiliki saham adalah pendapatan
yang akan diperoleh di kemudian hari, maka nilai intrinsik selalu berkaitan dengan
besar arus kas di kemudian hari, seperti yang jelaskan oleh Bodie, Kane, dan Marcus
(2011:586) “the intrinsic value, denoted V0, is defined as the present value of all cash
payments to the investor in the stock, including dividends as well as the proceeds
from the ultimate sale of the stock, discounted at the appropriate risk-adjusted
interest rate, k” Artinya nilai intrinsik adalah nilai sekarang (present value) dari
semua pemasukan ke investor termasuk dividen dan harga jual di kemudian hari, lalu
didiskontokan dengan risk-adjusted interest rate. Dari penjelasan itu didapati bahwa
nilai intrinsik diestimasi dengan cara memprediksi besarnya arus kas dan besar risiko
di kemudian hari. Untuk metode estimasi akan dibahas dibahas pada subbab 2.11.
Penilaian Saham.
Satu istilah yang tidak kalah penting, bila berbicara tentang harga pasar dan
nilai intrinsik, yaitu pasar yang efisien (eficient market). Bila pasar dikatakan cukup
„efisienβ€Ÿ maka yang dimaksud adalah jeda/selisih (gaps) antara nilai intrinsik dan
harga pasar seharusnya tidak besar (dengan kata lain dapat dianggap sama/equal).
Dalam kasus kondisi pasar yang efisien, walaupun terdapat kasus tertentu terdapat
jeda/gap yang besar, jeda/gap besar tersebut cenderung terus mengecil seiring
berjalannya waktu dan jeda/gap yang besar tidak akan bertahan untuk waktu yang
13
lama. (Brigham dan Ehrhardt, 2011:271). Oleh karena itu, dalam pasar yang efisien,
investor selalu mencari saham yang harga pasarnya lebih rendah dari nilai intrinsik
untuk dibeli dan mencari saham yang harga pasarnya lebih tinggi dari nilai intrinsik
untuk dijual.
2.5. Efficient Market Hypothesis (EMH)
Dalam subbab 2.4 sudah diberi gambaran kondisi seperti apa, bila pasar
dalam kondisi efisien, yaitu selisih harga pasar dengan nilai intrinsik tidak besar dan
kalaupun besar tidak akan bertahan lama. Namun pengertian eficient market (pasar
yang efisien) (dalam Martalena dan Malinda, menggunakan terjemahan “Pasar
Modal Efisien”), adalah, seperti yang dikutip dari Martalena dan Malinda (2011:41),
“secara formal, pasar modal efisien didefinisikan sebagai pasar modal dengan harga
sekuritas telah mencerminkan semua informasi yang relevan.” Jadi topik yang
membahas tentang eficient market dikenal sebagai Efficient Market Hypothesis
(EMH).
Dalam Efficient Market Hypothesis (EMH), menyatakan bahwa harga
saham sudah mencerminkan semua informasi yang tersedia baik itu diketahui publik
atau tidak. Menurut hipotesis ini saham selalu diperdagangkan pada harga yang
wajar, sehingga usaha untuk membeli saham dangan harga murah atau menjual
dengan harga mahal adalah tidak mungkin dapat terjadi. Dengan kata lain, bila
hipotesis ini benar maka pasar dalam kondisi efisien, dalam pasar yang efisien harga
pasar dan nilai intrinsik sama, bila sama, maka tidak ada yang namanya harga murah
untuk beli maupun mahal untuk jual (Brigham dan Ehrhardt, 2011:290).
14
Namun dari pernyataan hipotesis Efficient Market Hypothesis (EMH) diatas
muncul 3 versi umum, ketiga versi ini muncul dari perbedaan pengartian klausa
“semua informasi yang tersedia”. Berikut adalah 3 versi tersebut:
a.
Weak-form hypothesis menekankan bahwa harga saham sudah mencerminkan
semua informasi yang dapat diperoleh dengan menganalisa data perdagangan di
pasar, seperti histori harga yang telah berlalu, volum perdagangan, atau pola
pergerakan harga.
b.
Semistrong-form
hypothesis
menyatakan
bahwa
harga
saham
sudah
mencerminkan semua informasi –selain data perdagangan juga- mengenai
prospek masa depan perusahaan yang tersedia bagi publik, seperti data
fundamental tentang lini produksi, manajemen kualitas, laporan keuangan,
ataupun ramalan pendapatan.
c.
Strong-form hypothesis menyatakan bahwa harga saham sudah mencerminkan
semua informasi mengenai perusahaan baik itu diketahui oleh orang umum atau
diketahui hanya oleh orang dalam perusahaan.
Bila weak-form berlaku maka usaha memprediksi harga pasar masa depan
menggunakan data masa lalu adalah sia-sia. Ini dikarenakan data masa lalu sangat
mudah didapatkan dan sinyal-sinyal yang muncul dari data masa lalu juga dengan
mudah terbaca oleh banyak orang. Sehingga banyak orang akan segera mengambil
tindakan segera dan tindakan yang cepat itu akan mengubah harga pasar dengan
segera.
Bila semistrong-form berlaku maka usaha memprediksi harga saham masa
depan menggunakan data masa lalu dan berita-berita yang dipublikasikan seperti
laporan keuangan, atau isu-isu ekspansi adalah sia-sia. Ini dikarenakan harga pasar
15
akan segera berubah menyesuaikan diri dengan berita-berita yang dipublikasikan
baik itu berita baik maupun berita buruk.
Bila strong-form berlaku, bahkan orang dalam perusahaan pun tidak mampu
mengambil keuntungan berlebih secara terus-menerus. Karena informasi yang
dimiliki oleh orang dalam telah termasuk kedalam harga pasar, sehingga informasi
yang dimiliki tidak memberi prediksi harga masa depan.
Hasil penelitian empiris menunjukan bahwa pertama, pasar saham sangat
efisien dalam pengertian weak-form. Artinya harga pasar sekarang sangat
mencerminkan data perdagangan masa lalu. Kedua, pasar saham cukup efisien dalam
pengertian semistrong-form, setidaknya untuk saham-saham yang umum dan banyak
diperdagangkan. Artinya harga pasar sekarang agak/cukup mencerminkan data
perdagangan masa lalu dan berita-berita yang dipublikasikan. Ketiga, pasar saham
tidaklah efisien dalam pengertian strong-form, atau dengan kata lain pengertian
strong-form
tidak
berlaku.
Artinya,
harga
pasar
sekarang
masih
belum
mencerminkan informasi orang dalam, sehingga orang-orang yang mampu
mendapatkan informasi orang dalam dapat mengambil keuntungan berlebih dari
pasar saham (Brigham dan Ehrhardt, 2011:291).
2.6. Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Capital Asset Pricing Model (CAPM) adalah suatu sekumpulan prediksi
mengenai kesetimbangan antara pengembalian yang diharapkan (expected return)
dengan risiko atas aset. Harry Markowitz adalah yang melandasi dasar manajemen
portofolio modern. CAPM saat ini adalah model terbaik dibidang finansial dalam hal
memprediksi tingkat pengembalian terhadap risiko aset/portofolio.
16
CAPM dibangun atas beberapa asumsi, asumsi tersebut adalah:
1.
Tindakan seorang investor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga
pasar.
2.
Semua investor menganalisa dan merencanakan untuk satu periode yang identik.
3.
Investasi yang dapat dilakukan terbatas pada jumlah seluruh aset finansial yang
diperdagangkan.
4.
Investor tidak dikenai pajak dan biaya-biaya transaksi.
5.
Semua investor menggunakan analisa Markowitz dalam memilih aset.
6.
Semua investor menganalisa menggunakan sumber dan cara yang sama. (Bodie,
Kane, dan Marcus, 2011:281)
CAPM memberi gambaran atau prediksi kepada perusahaan bagaimana
menghitung tingkat pengembalian terhadap risiko investasi. Dari CAPM dihasilkan
alat finansial yang sekarang sangat berpengaruh pada dunia finansial. Alat tersebut
adalah beta coefficient.
Beta (β) adalah suatu koefisien yang menunjukan tingkat risiko sistematik
suatu saham. Juga adalah kecenderungan pergerakan naik turunnya tingkat
pengembalian sebuah saham di dalam pasar. Semakin besar nilai beta secara tidak
langsung memberi arti bahwa sebuah saham menjadi semakin berisiko. Beta yang
bernilai 1 (satu) berarti bahwa saham mempunyai besar risiko sama seperti besar
risiko jika memegang market portfolio. Market Portfolio adalah portofolio dimana
portofolio ini mengandung setiap aset saham yang ada di pasar dan jumlah nilai dari
setiap saham dalam portofolio ini proposional terhadap total kapitalisasi yang ada di
pasar.
Beta secara matematis adalah ratio kovariance suatu saham dengan varians
market portfolio. Berikut adalah formula beta :
17
β=
Dimana :
Cov (π‘Ÿπ‘  , π‘Ÿπ‘€ )
σ2 𝑀
................................. 2.6.1
β
rs
rM
Cov(rs,rM)
= koefisien beta
= rate of return suatu saham
= market portfolio’s rate of return
= kovarians antara rate of return saham dan market rate of
σ2M
= market portfolioβ€Ÿs variance (besar risiko market portfolio)
return
Dengan adanya koefisien beta ini, CAPM menjadi model yang populer
dalam memprediksi tingkat pengembalian terhadap risiko. Formula hubungan tingkat
pengembalian suatu saham, beta dan market risk premium berikut:
𝐸(π‘Ÿπ‘  ) = π‘Ÿπ‘“ + 𝛽𝑠 [𝐸(π‘Ÿπ‘€ ) − π‘Ÿπ‘“ ]
Dimana :
βs
rs
E(rs)
rf
rM
E(rM)
..................... 2.6.2
= koefisien beta suatu saham
= rate of return suatu saham
= expected rate of return suatu saham
= rate of return of risk free asset
= market portfolio’s rate of return
= expected market portfolio’s rate of return
Formula 2.6.2 jika digambar menjadi grafik sering disebut sebagai Security
Market Line (SML). Grafik
SML menunjukan hubungan tingkat pengembalian
(sumbu y) yang diharapkan dengan koefisien beta (sumbu x).
Suatu saham yang titik nya berada di atas garis SML dikatakan bahwa
saham tersebut underpriced (dihargai murah). Dan juga sebaliknya, bila di bawah
garis SML dikatakan bahwa saham tersebut overpriced (dihargai mahal). (Bodie,
Kane, dan Marcus, 2011:290)
2.6.1. Mengestimasi Koefisien Beta
Dalam mengestimasi koefisien beta, cara yang paling umum dan sederhana
adalah meregresi tingkat pengembalian suatu saham terhadap tingkat pengembalian
pasar. Pasar yang dijadikan acuan dapat beragam, untuk Amerika Serikat dapat
18
berupa S&P500 atau NYSE Composite. Jangka waktu tingkat pengembalian yang
dapat digunakan dapat berbasis harian, mingguan, bulanan, ataupun bulanan. Setiap
pilihan akan menghasilkan koefisien yang berbeda. Hasil regresi antara tingkat
pengembalian suatu saham terhadap tingkat pengembalian pasar, menghasilkan Rs =
a + b(Rm) , dimana Rs tingkat pengembalian suatu saham, Rm tingkat pengembalian
pasar, b adalah koefisien beta yang dicari.
Namun terdapat hal yang perlu diperhatikan, seperti semua alat statistik,
hasil yang didapat pasti rentan terhadap kesalahan estimasi (estimation error). Jadi
koefisien beta yang sebenarnya berada dalam suatu interval, alih alih satu angka pasti.
Untuk tingkat kepercayaan sebesar 67% maka nilai beta yang sebenarnya berada
dalam interval b − 1σ ≤ b ≤ b + 1σ, untuk tingkat kepercayaan sebesar 95% maka
diantara b − 2σ ≤ b ≤ b + 2σ.
Karena koefisien beta adalah input yang sangat berpengaruh dalam
penilaian ekuitas, adalah kurang baik bila membiarkan probabilitas statistik
menentukan hasil akhir. Jadi, Damodaran (2012:176-177) memperkenalkan cara
estimasi yang lebih baik, yang lebih tidak bergantung pada probabilitas statistik dan
pada data historis. Damodaran menyebutnya fundamental betas. Terdapat 3 variabel
yang menentukan beta sebuah perusahaan, yaitu:
1.
Jenis perusahaan atau bidang usaha yang digeluti perusahaan
2.
Degree of operation leverage
3.
Degree of financial leverage
Jenis perusahaan atau bidang usaha yang digeluti perusahaan. Bidang usaha
yang lebih sensitif terhadap keadaan ekonomi akan memiliki beta yng lebih tinggi,
jadi perusahaan dibidang properti dan kendaraan pribadi, akan memiliki beta yang
lebih tinggi dibanding perusahaan manufaktur makanan dan tembakau. Perusahaan
19
yang mengeluti di bidang usaha kebutuhan dasar akan lebih memiliki beta yang lebih
rendah. Procter&Gamble yang menjual popok dan kebutuhan rumahtangga harian,
akan memiliki beta yang lebih rendah daripada Gucci yang menjual produk-produk
mewah. (Damodaran, 2012:176-177).
Degree of operating leverage, berbicara tentang struktur biaya sebuah
perusahaan, yang biasanya menghubungkan antara biaya tetap dan biaya keseluruhan.
Semakin tinggi operating leverage, semakin tinggi beta yang dimiliki perusahaan.
Degree of operating leverage dapat diestimasi dengan formula berikut, Degree of
operating leverage = % change in operating profit / % change in sales.
(Damodaran, 2012:176-177).
Degree of financial leverage. Perusahaan yang mempunyai financial
leverage yang lebih tinggi akan memiliki beta yang lebih tinggi. Atau dengan kata
lain, perusahaan yang menggunakan hutang lebih banyak akan lebih rentan pada
risiko, dan beta perusahaan tersbeut akan lebih tinggi. Jadi bila perusahaan mendapat
pembiayaan dari hutang dan ekuitas maka beta perusahaan tersebut perlu disesuaikan,
beta yang telah disesuaikan disebut Levered Beta. Formula untuk levered beta adalah,
βL = βU [ 1 + (1 – t) (D/E) ]
................................. 2.6.3
Dimana :
βL
βU
t
D/E
=
=
=
=
levered beta
unlevered beta
besar pajak pendaptan perusahaan
rasio hutang terhadap ekuitas (menggunakan nilai pasar
bukan nilai buku). (Damodaran, 2012:176-177).
Perlu juga dipahami bahwa unlevered beta ditentukan oleh sifat bidang
usaha (bersiklus atau tidak, bidang kebutuhan dasar atau tersier) dan juga operating
leverage. Sedangkan levered beta ditentukan oleh tingkat risiko bisnis yang digeluti
dan besar risiko financial leverage yang digunakan. (Damodaran, 2012:176-177).
20
Dari tiga variabel penentu diatas, memungkinkan alternatif lain dalam
mengestimasi koefisien beta, disebut Bottom-Up Betas, yang dimana tidak
bergantung pada harga historis perusahaan. Langkah untuk mengestimasi beta
menggunakan Bottom-Up Betas adalah sebagai berikut : (Damodaran, 2012:178-179).
1.
Identifikasi bidang usaha apa saja yang digeluti perusahaan.
2.
Temukan perusahaan lain yang juga berada dibidang tersebut, dan hitung beta
regresinya (ini akan digunakan untuk menghitung rata-rata beta untuk sektor
usaha tersebut)
3.
Mengestimasi rata-rata unlevered beta untuk sektor usaha tersebut.
Unlevered betabusiness = Betacomparable firms / [ 1 + (1 – t) (D/E ratiocomparable
firms)
4.
]
Mengestimasi unlevered beta dari perusahaan yang sedang dianalisa, dengan
rata-rata timbang (bila bidang yang digeluti perusahaan lebih dari satu).
=
U
v r
t
r
= ∑(U
v r
t
V u W
t)
=
Dimana perusahaan memiliki k bidang usaha yang digeluti
5.
Terakhir, Mengestimasi rasio hutang terhadap ekuitas perusahaan (rasio
menggunakan nilai pasar bukan nilai buku), dan menggunakan rasio ini untuk
mengestimasi levered beta.
2.7. Market Risk Premium
Risk premium, adalah imbalan tambahan yang diinginkan oleh investor atas
risiko yang emban, dan nilainya tergantung seberapa besar tingkat keengganan risiko
(degree of risk aversion) yang dimiliki oleh investor. Jadi market risk premium
adalah imbalan tambahan yang diinginkan investor atas risiko bila dia memegang
21
sebuah market portfolio. Market Portfolio adalah portofolio dimana portofolio ini
mengandung setiap aset saham yang ada di pasar dan jumlah nilai dari setiap saham
dalam portofolio ini proposional terhadap total kapitalisasi yang ada di pasar.
Ilustrasi pemahaman risk premium adalah sebagai berikut seorang investor
dihadapkan pada 2 pilihan investasi, yang pertama investasi berisiko sangat rendah
(dianggap bebas risiko) dan kedua investasi berisiko tinggi. Tingkat pengembalian
untuk investasi berisiko sangat rendah tentunya lebih rendah daripada investasi
berisiko tinggi. Jadi agar investor mau berinvestasi pada investasi yang berisiko lebih
tinggi, investor ingin adanya tambahan tingkat pengembalian yang lebih tinggi
daripada tingkat pengembalian untuk investasi berisiko lebih rendah. Tambahan
tingkat pengembalian itulah yang disebut risk premium. Secara umum persamaan
untuk risk premium adalah sebagai berikut.
π‘…π‘–π‘ π‘˜ π‘ƒπ‘Ÿπ‘’π‘šπ‘–π‘’π‘š = 𝐸(π‘Ÿπ‘  ) − π‘Ÿπ‘“
π‘€π‘Žπ‘Ÿπ‘˜π‘’π‘‘ π‘…π‘–π‘ π‘˜ π‘ƒπ‘Ÿπ‘’π‘šπ‘–π‘’π‘š = 𝐸(π‘Ÿπ‘€ ) − π‘Ÿπ‘“
Dimana :
rs
E(rs)
E(rM)
rf
............ 2.7.1
= rate of return suatu saham
= expected rate of return suatu saham
= expected market portfolio’s rate of return
= rate of return of risk free asset
Acuan risk free asset umumnya adalah obligasi pemerintah.
Dalam mengestimasi market risk premium, secara umum terdapat 3 kategori
pendekatan, yaitu pendekatan historis, pendekatan forward-looking, dan terakhir
dengan melakukan survei terhadap para pelaku di pasar.
2.7.1. Pendekatan Historis
Yaitu suatu pendekatan estimasi masa depan yang berdasarkan risk premium
yang terealisasi sebelumnya (menggunakan data-data masa lalu). Market risk
premium diestimasi dengan cara merata-ratakan risk premium setiap tahun dengan
22
rentang waktu tertentu. Risk premium didapat dengan membandingkan tingkat
pengembalian terealisasi atas saham selama rentang waktu tertentu dengan tingkat
pengembalian terealisasi atas aset bebas risiko (biasanya obligasi pemerintah).
Selisih tingkat pengembalian dari kedua aset tersebut menghasilkan risk premium.
Dalam merata-ratakan risk premium terdapat dua cara yaitu rata-rata
aritmetik dan rata-rata geometrik. Pilihan antara kedua cara tersebut tergantung dari
apa yang diinginkan analis. Karena yang dibahas adalah risk premium dalam satuan
persentase, maka terdapat efek asimmetris antara nilai positif dengan nilai negatif.
Asimmetris artinya penambahan 1% kemudian dikurangi 1% tidak sama dengan
pengurangan 1% kemudian ditambah 1%. Dan hasil rata-rata geometrik pasti lebih
rendah dibanding rata-rata aritmetik.
Pendekatan historis, walaupun data historis sama, hasil analisa antara analis
yang satu dengan yang lain dapat berbeda, hal ini disebabkan perbedaan rentang
waktu, tingkat pengembalian aset bebas risiko dan cara rata-rata yang digunakan
(aritmetik atau geometrik).
Contoh, katakanlah terdapat data 10 tahun terakhir untuk tingkat
pengembalian pasar saham S&P500 dan tingkat pengembalian Obligasi 10 tahun
Pemerintah AS (Treasury Bond) seperti berikut ini.
Tabel 2.1 Contoh Data Tingkat Pengembalian Tahunan S&P500 dan T-Bond
Tingkat Pengembalian Tahunan
Tahun
S&P500
10 Year T-Bond
2004
10.74%
1.23%
2005
4.83%
3.01%
2006
15.61%
4.68%
2007
5.48%
4.64%
2008
-36.55%
1.59%
2009
25.94%
0.14%
2010
14.82%
0.13%
2011
2.10%
0.03%
23
2012
15.89%
2013
32.15%
Sumber :S&P500 dan Federal Reserve
0.05%
0.07%
Dari data diatas maka didapatkan bahwa rata-rata aritmetrik untuk tingkat
pengembalian S&P500 adalah 9.10% sedangkan rata-rata aritmetik untuk tingkat
pengembalian 10-year T-Bond adalah 4.69%. Jadi risk premium menggunakan ratarata aritmetrik adalah selisih antara 9.10% dan 4.69%, yaitu 4.41%.
Bila menggunakan rata-rata geometrik maka rata-rata geometrik untuk
tingkat pengembalian S&P500 adalah 7.34% sedangkan rata-rata geometrik untuk
tingkat pengembalian 10-year T-Bond adalah 4.27%. Jadi risk premium
menggunakan rata-rata aritmetrik adalah selisih antara 7.34% dan 4.27%, yaitu
3.07%.
2.7.2. Pendekatan Forward-Looking
Pendekatan forward-looking, atau juga dikenal implied risk premium.
Dalam pendekatan ini variabel-variabel tidak lagi diisi dengan data-data masa lalu,
melainkan diisi dengan estimasi-estimasi ke masa depan. Untuk mendapatkan market
risk premium dengan pendekatan forward looking, caranya adalah nilai E(rM) dan rf
di formula 2.7.1 menggunakan hasil estimasi ke masa depan.
Dalam melakukan estimasi menggunakan pendekatan forward-looking,
Brigham dan Ehrhardt mengasumsikan bahwa pasar dalam keadaan setimbang
dimana tingkat pengembalian minimum, rM, sama dengan tingkat pengembalian yang
diharapkan, E(rM). Pendekatan yang paling umum digunakan menurut Brigham dan
Ehrhardt adalah menggunakan model Discounted Cash Flow (DCF) untuk
mengestimasi tingkat mengembalian pasar yang diharapkan (expected market rate of
return). Bila menggunakan DCF, Brigham dan Ehrhardt juga mengasumsikan bahwa
dividen tumbuh dengan kecepatan konstant dan perusahaan menggunakan semua
24
dana yang tersedia untuk didistribusikan sebagai pembayaran dividen (dengan kata
lain perusahaan-perusahaan tidak melakukan pembelian kembali saham yang
diterbitkan (stock repurchase) atau pun melakukan pembelian investasi jangka
pendek). Jadi tingkat pengembalian minimun didapatkan dengan menggunakan
formula berikut : (Brigham dan Ehrhardt, 2011:348)
rM = E(rM )=
Dimana :
rM
E(rM)
D1/P0
g
D
+
P0
........................................... 2.7.2
= market required rate of return
= market expected rate of return
= estimasi market dividend yield pada periode berikut
= tingkat pertumbuhan dividen
Untuk estimasi market dividend yield, memang tidak ada cara jitu, namun
estimasi dapat diperoleh dari laporan Standard&Poorβ€Ÿs. Untuk estimasi tingkat
pertumbuhan dividen, Brigham dan Ehrhardt, menyatakan bahwa dalam jangka
panjang, pertumbuhan dividen yang konstan dipengaruhi oleh pertumbuhan
pendapatan (revenues) yang konstan, yang dimana pendapatan dipengaruhi oleh
pertumbuhan penjualan yang konstan. Jadi menurut Brigham dan Ehrhardt, adalah
masuk akal bila estimasi terhadap tingkat pertumbuhan penjualan jangka panjang
pada pasar (market’s long-term growth rate of sales) dijadikan sebagai acuan untuk
tingkat pertumbuhan dividen. (Brigham dan Ehrhardt, 2011:348)
Pertumbuhan pendapatan dari penjualan di tentukan oleh harga dan jumlah
unit yang terjual. Harga, dalam jangka panjang mengikuti tingkat inflasi. Ekspektasi
inflasi oleh para investor dapat diestimasi dengan cara menselisihkan yield untuk 10
year treasury bond dengan yield untuk 10 year inflation-protected tresury bond
(dikenal dengan sebutan TIPS). Sedangkan, jumlah unit yang terjual, dalam jangka
panjang mengikuti pertumbuhan penduduk. Terakhir, estimasi pertumbuhan dividen
25
adalah jumlah dari estimasi kenaikan harga (estimasi inflasi di masa depan) dan
estimasi pertumbuhan jumlah unit yang terjual (estimasi pertumbuhan penduduk).
(Brigham dan Ehrhardt, 2011:348).
Diatas disebutkan bahwa asumsi yang digunakan adalah tidak adanya
pembelian kembali saham yang telah diterbitkan (stock repurchase). Untuk
memperhitungkan adanya stock repurchase maka diperlukan adanya komponen baru
pada formula 2.7.2. (Brigham dan Ehrhardt, 2011:349)
rM = E(rM )=( +R p/D v)
rM = E(rM )=
Dimana :
Rep
Rep1
D
R p
+
+
P0
P0
D
+
P0
= Amount of stock repurchase
= Expected stock repurchase pada periode berikutnya
Berbeda dengan Brigham dan Ehrhardt, Koller, Goedhart, dan Wessels
(2010:261) menggunakan persamaan Fisher untuk mengestimasi tingkat inflasi.
Exp ct
I
to =
( +No
( +R
r t )
−
r t )
2.7.3. Survei Terhadap Pelaku di Pasar
Yaitu melakukan survei kepada para pelaku di pasar, para ahli baik praktisi
maupun akademis, pengamat ekonomi atau CFO dan manajer keuangan,
menanyakan pendapat mereka akan market risk premium. Survey banyak dilakukan
oleh institusi-institusi keuangan seperti Merrill Lynch, ValueLine, Bloomberg
(institusi), sehingga relatif mudah untuk didapatkan.
Damodaran (2012:159) dalam ilustrasinya, tingkat pertumbuhan, g,
didapatkan dengan menggunakan estimasi-estimasi para ekonom, baik itu merata-
26
ratakan setiap estimasi untuk setiap perusahaan ataupun estimasi para ekonom
terhadap keseluruhan pasar.
2.8. Weighted Average Cost of Capital (WACC)
Secara umum perusahaan didanai oleh investor melalui dua jenis sumber
dana yaitu penyetoran modal oleh pemilik dan pemberian pinjaman. Baik penyetor
modal maupun pemberi pinjaman, kedua-duanya tentunya menginginkan tingkat
pengembalian yang lebih baik di masa depan. Oleh karena itu perusahaan yang
didanai dapat dikatakan memiliki kewajiban untuk memberi „imbalanβ€Ÿ. Kewajiban
itulah seakan-akan menjadi suatu beban biaya dan disebut Biaya Modal (Cost of
Capital). Perlu diingat, walaupun namanya Cost of Capital, kewajiban-yangdiperlakukan-seperti-beban-biaya, bukan biaya seperti definisi biaya dalam prinsip
akuntansi.
Cost of Capital sering dijadikan acuan bagi investor dalam melakukan
investasi, dimana Cost of Capital diperlakukan sebagai tingkat pengembalian
minimum (required rate of return) yang harus dapat dicapai oleh perusahaan.
Perusahaan yang tidak dapat memberikan tingkat pengembalian minimal sebesar
Cost of Capital tidak pantas mendapatkan investasi dari investor. Pendapat ini
didukung oleh Brealey, Myers dan Allen, (2011:216) “we defined the company cost
of capital as ‘the expected return on a portfolio of all the company’s existing
securities’.” Brealey, Myers dan Allen menyatakan bahwa cost of capital adalah
imbal hasil yang diharapkan (expected return) dari sebuah portofolio yang
didalamnya mengandung semua sekuritas yang dimiliki oleh perusahaan. Brealy,
Myers dan Allen menggunakan expected return dengan sudut pandang, bahwa
investor (yang berinvestasi di perusahaan tersebut) mengharapkan perusahaan
27
mampu memberi imbal hasil sebesar cost of capital. Di sisi lain artinya juga,
perusahaan perlu memberi imbal hasil minimal sebesar cost of capital agar
memenuhi harapan investor.
Dengan cost of capital sebagai tingkat pengembalian minimum maka dalam
penilaian nilai perusahaan, cost of capital digunakan sebagai discount rate atas arus
kas masa depan.
Cost of Capital dinyatakan dengan persentase. Karena sumber dana
perusahaan dapat berupa campuran dari pinjaman dan setoran modal, dan besar
beban kewajiban imbalannya bervariasi (tergantung jenis sumber dana) maka secara
keseluruhan biaya modal perusahaan dinyatakan dengan rata-rata tertimbang dan
disebut Weighted Average Cost of Capital dan formula umum dari Weighted Average
Cost of Capital (WACC) sebagai berikut:
WACC= w r ( -T)+wps rps +ws rs
Dimana :
wd
=
wps
=
ws
=
rd(1-T)
rps
rs
=
=
=
............................ 2.8.1
rasio jumlah dana dari pinjaman terhadap seluruh sumber
dana.
rasio jumlah dana dari saham preferen terhadap seluruh
sumber dana.
rasio jumlah dana dari saham biasa terhadap seluruh sumber
dana.
after tax cost of debt
cost of preferred stock
cost of common stock
wd, wps, ws umumnya telah di tentukan dalam perusahaan sebagai kebijakan
finansial perusahaan. Kebijakan tersebut dikenal dengan sebutan Structure of Capital,
yang artinya perusahaan membuat kebijakan terhadap seberapa besar/persentase dari
setiap jenis sumber dana, yang perusahaan akan ambil untuk mendanai kegiatannya.
Misalnya perusahaan A berskala kecil menengah menetapkan bahwa sumber
dananya berupa 100% dari setoran modal pemilik perusahaan (100% dari saham
28
biasa). Perusahaan B internasional mungkin menetapkan bahwa sumber dananya
70% dari pinjaman jangka panjang, 20% dari saham biasa dan sisanya dari saham
preferen.
Perlu diingat bahwa wd, wps, ws didapat bukan berdasarkan dari book
(accounting) value melainkan dari market value. Market value dari ekuitas yang
dimiliki oleh perusahaan sering kali lebih tinggi dibanding book value. (Brealey,
Myers, dan Allen, 2011:216).
2.8.1. Cost of Debt
Pinjaman yang termasuk dalam perhitungan WACC hanya pinjaman yang
berasal dari luar aktivitas operasional. Atau bisa juga dengan pemahaman bahwa
pinjaman yang termasuk cost of debt adalah pinjaman yang berasal dari pihak luar
(eksternal) baik itu bank, institusi finansial maupun perusahaan lain.
Karena cost of debt adalah seberapa besar perusahaan berkewajiban
memberi pengembalian kepada pemegang surat hutang, maka adalah logis apabila
cost of debt sama besar dengan tingkat pengembalian yang akan diterima pemegang
surat hutang. Jadi, untuk mengestimasi cost of debt, wd, dapat dengan cara
menghitung Yield to Maturity (YTM) suatu hutang/pinjaman. Bila suatu perusahaan
memiliki lebih dari satu pinjaman yang sedang berjalan, maka untuk estimasi cost of
debt adalah dengan merata-ratakan semua Yield to Maturity dari setiap pinjaman.
Formula Yield to Maturity adalah sebagai berikut. (Brigham dan Ehrhardt, 2011:340)
Bo
Dimana :
Pr c =INT
-( -YTM)-N
M
+
YTM
( +YTM)N
..................... 2.8.2
Bond Price = harga obligasi
INT
= nominal kupon yang dibayarkan
YTM
= Yield to Maturity, persen imbal hasil yang diperoleh
sampai jatuh tempo
29
N
M
= jumlah tahun sebelum jatuh tempo
= par value
Bila menggunakan formula 2.8.2, maka YTM tidak dapat dihitung secara
langsung, melainkan butuh mencoba satu per satu nilai YTM sampai dapat. Oleh
karena itu jauh lebih gampang menggunakan kalkulator finansial atau peranti lunak
Microsoft Excel. Bila menggunakan Microsoft Excel, maka menggunakan fungsi
RATE.
Karena bunga pinjaman dibayar dari pendapatan perusahaan sebelum
dikenakan pajak, maka secara logis pembayaran bunga mengurangi pendapatan
sebelum pajak, yang berakibatkan berkurangnya pembayaran pajak pendapatan
bersih perusahaan. Dengan demikian di satu sisi perusahaan kehilangan uang (bayar
bunga pinjaman) di sisi lain perusahaan menghemat uang (pajak pendapatan
berkurang). Bila suatu perusahaan, katakanlah mempunyai pinjaman $100.000
dengan bunga 10% per tahun (membayar bunga pinjaman tahunan sebesar $10.000).
Sebenarnya perusahaan tidak sepenuhnya mengeluarkan 100% bunga pinjaman
tersebut. Misalkan pajak pendapatan perusahaan sebesar 30%, maka dengan
membayar bunga, perusahaan menghemat pengeluaran dari sisi pajak pendapatan
sebesar $3.000. Jadi net akhir pengeluaran adalah $10.000 (bunga) dikurangi $3.000
(hemat pajak) menjadi $7.000.
Cost of debt yang setelah dipengaruhi pajak pendapatan perusahaan disebut
After Tax Cost of Debt. Formula untuk mendapatkan After Tax Cost of Debt adalah
r ( -T) , dimana rd adalah cost of debt sebelum dipengaruhi pajak pendapatan
perusahaan dan T adalah persentase pajak pendapatan perusahaan. (Brigham dan
Ehrhardt, 2011:341)
30
Namun perlu dipahami juga bahwa, dengan menggunakan Yield to Maturity
sebagai discount rate dapat dinyatakan sebagai sebuah inkonsistensi secara teori,
karena seharusnya penilaian dilakukan dengan menggunakan tingkat pengembalian
yang diharapkan, bukan menggunakan tingkat pengembalian yang dijanjikan.
Walaupun begitu, bila dalam praktiknya, untuk perusahaan yang rating hutang nya
baik, dengan risiko gagal bayar hutang yang sangat kecil, maka tingkat pengembalian
atas yang dijanjikan mendekati tingkat pengembalian yang diharapkan. Sebagai
acuan, untuk perusahaan yang surat hutangnya di-rating grade BBB keatas, dapat
menggunakan yield to maturity sebagai estimator cost of debt. Untuk yang dibawah
grade BBB sebaiknya penilaian nilai perusahaan menggunakan adjusted present
value (APV) dengan mengacu pada unlevered cost of equity, alih alih menggunakan
WACC. (Koller, Goedhart, dan Wessels, 2010:261)
2.8.2. Cost of Preferred Stock
Untuk mendapatkan cost of preferred stock hampir sama caranya dengan
cost of debt, hanya saja pada cost of preferred stock tidak dipengaruhi oleh pajak
pendapatan perusahaan, karena dividen dibayar dari pendapatan perusahan setelah
dikenakan pajak, sedangkan bunga dibayar dari pendapatan perusahaan sebelum
dikenakan pajak.
Untuk saham preferen yang mempunyai maturity date yang pasti (berarti
saham preferen tersebut sama seperti obligasi/surat hutang) maka cost of preferred
stock untuk saham preferen tersebut dihitung dengan cara yang sama dengan cost of
debt, yaitu menggunakan formula Yield To Maturity (dimana bunga diisi dengan
besar dividen, par value diisi dengan harga jual saham preferen pada saat mature).
Untuk saham preferen yang tidak mempunyai maturity date maka formula
untuk mendapatkan cost of preferred stock adalah rps = Dps / Pps , dimana rps adalah
31
cost of preferred stock, Dps adalah besar dividen yang dibagikan, dan Pps adalah
harga jual saham preferen. (Brigham dan Ehrhardt, 2011:343)
2.8.3. Cost of Common Stock
Cost of common stock lebih sulit untuk didapatkan secara pasti karena sifat
saham yang tidak ada maturity date, besar dividen yang tidak tetap dan tidak pasti,
serta harga jual di kemudian hari yang tidak tentu. Sehingga cost of common stock
hanya dapat diestimasi, dan semua cara estimasinya pun sedikit banyaknya
mengandung penilaian subjektif. Cost of common stock intinya adalah mencari
required rate of return yang harus dicapai oleh perusahaan agar investor tertarik
untuk berinvestasi pada saham perusahaan tersebut. Cara estimasi cost of common
stock terdapat tiga cara yaitu: (Brigham dan Ehrhardt, 2011:345)
1.
dengan Capital Asset Pricing Model
2.
dengan Discounted Cash Flow
3.
dengan Over-Own-Bond-Yield-Plus-Judgemental-Risk-Premium
Keputusan untuk menggunakan cara yang mana diantara ketiga cara yang
disajikan, bergantung pada ketersediaan input dan keandalan input tersebut.
Selain ketiga cara diatas, masih ada cara lain, yaitu : (Koller, Goedhart, dan
Wessels, 2010:238)
1.
Fama-French three-factor model
2.
Arbitrage pricing theory (APT)
2.8.3.1. Cost of Common Stock using CAPM
Bila
menggunakan
CAPM
maka
intinya
adalah
mencari
tingkat
pengembalian yang diharapkan (expected rate of return) dengan melibatkan tingkat
pengembalian untuk aset bebas risiko (risk-free rate of return), koefisien beta, dan
market risk premium. Tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of
32
return) dapat dijadi estimasi untuk cost of common stock. Formula yang digunakan
adalah formula 2.6.2.
Untuk nilai risk-free rate dapat di estimasi menggunakan rate of return
obligasi pemerintah, dalam penelitian ini adalah obligasi pemerintah AS. Rate
obligasi pemerintah yang dijadikan acuan adalah rate dari Treasury Bond 10 tahun.
Untuk nilai market risk premium terdapat beberapa cara dan dapat dilihat di
subbab 2.7.
Untuk nilai koefisien beta, dapat dihitung sendiri, lihat subbab 2.6.1.
Koefisien beta juga dapat diperoleh dari beberapa sumber baik itu yang gratis
maupun tidak, seperti dari situs www.Nasdaq.com, ataupun terbitan Ibbotson
Associates.
Setelah semua nilai telah lengkap maka selanjutnya yang tersisa adalah
masukan ke persamaan dan hitung.
2.8.3.2. Cost of Common Stock using DCF
Bila menggunakan DCF maka yang diperlukan adalah harga saham saat
sekarang, besar dividen saat sekarang dan tingkat pertumbuhan dividen yang
diharapkan (expected dividend growth rate). Formulanya adalah sebagai berikut
rs =
D
+ Exp ct
P0
........................................ 2.8.3
Harga dan besarnya dividen dapat diperoleh dari berbagai sumber online
maupun dari laporan tahunan perusahaan. Untuk nilai tingkat pertumbuhan dividen,
g, yang diharapkan tidak dapat diamati atau diperoleh langsung melainkan hanya
dapat diestimasi. Untuk mengestimasi g terdapat 3 cara yaitu: (Brigham dan Ehrhardt,
2011:354)
1.
dengan tingkat pertumbuhan historis (yang telah terealisasi)
33
penggunaan tingkat pertumbuhan pada masa lalu dapat dengan cara merataratakan untuk selang waktu tertentu (contoh : 10 tahun, 20 tahun, dst). Bila
tingkat pertumbuhan pada masa lalu mempunyai trend naik atau turun secara
konsisten selama selang waktu tertentu, maka bisa juga diestimasi bahwa untuk
kedepannya trend tersebut tetap bertahan.
2.
dengan Retention Growth Model
perusahaan membayarkan dividen dari sebagian pemasukan bersih perusahaaan,
dan sisanya diinvestasikan kembali sebagai laba ditahan (retain profit). Semakin
banyak yang ditahan untuk diinvestasi ulang kembali, secara umum, semakin
cepat pertumbuhan perusahaan tersebut. Jadi retention growth didapat dengan
mengkalikan retention ratio dengan return on equity (ROE), dimana retention
ratio adalah ratio antara pemasukan yang ditahan dengan keseluruhan
pemasukan bersih.
=
3.
dengan prediksi pada analis profesional
dengan mereview berbagai hasil analisa para ahli dan professional untuk
mendapatkan estimasi tingkat pertumbuhan.
2.8.3.3. Cost of Common Stock using Over-Own-Bond-Yield-Plus-JudgementalRisk-Premium
Brigham menyatakan bahwa perusahaan yang berisiko serta berperingkat
rendah, yang sehingga memiliki suku bunga hutang yang tinggi, pastilah ekuitasnya
berisiko untuk dimiliki. Jadi tingkat pengembalian minimal yang diperlukan, agar
ada investor yang mau memegang ekuitas perusahaan tersebut, menjadi lebih tinggi
daripada tingkat pengembalian dengan memegang obligasi. Jadi untuk mengestimasi
34
cost of common stock, hanya dengan cara menambahkan tingkat pengembalian
obligasi perusahaan tersebut dengan risk premium.
Risk premium yang digunakan, ditentukan secara subjektif, dapat
berdasarkan risk premium yang telah terealisasi di masa lalu atau risk premium yang
sering digunakan oleh para analis. Berdasarkan survey pada manajer portofolio,
didapati bahwa kebanyakan manajer menggunakan risk premium sebesar antara 3%
sampai 5%. (Brigham dan Houston, 2007:339)
Karena pendekatan ini menggunakan nilai yang bersifat subjektif, maka
pendekatan ini sebaiknya digunakan hanya apabila pendekatan lainnya agaknya tidak
memungkinkan untuk digunakan, entah karena kekurangan data yang cukup untuk
melakukan estimasi dengan tingkat kesalahan yang dapat diterima ataupun salah satu
input tidak/kurang dapat diandalkan.
2.8.3.4. Fama-French Three Factor Theory
Eugene Fama dan Kenneth French dalam penelitian mereka, gagal
menunjukan bahwa koefisen beta milik CAPM berkorelasi positif terhadap rata-rata
tingkat pengembalian saham. Jadi Fama dan French mengambil kesimpulan dalam
hasil studi empiris mereka bahwa, (Koller, Goedhart, dan Wessels, 2010:258) “equity
return are inversely related to the size of a company (as measured by market
capitalization) and positively related to ratio of a company’s book value to its markte
value of equity.” – imbal hasil ekuitas berhubungan terbalik dengan ukuran
perusahaan (yang diukur dari nilai kapilatisasi) dan berhubungan lurus terhadap rasio
perusahaan antara nilai buku ekuitas dan nilai pasar ekuitas.
Jadi Fama-French memperkenalkan model yang mirip dengan CAPM
namun lebih luas.
35
𝑅𝑖 − π‘Ÿπ‘“ = 𝛼 + 𝛽1 (π‘…π‘š − π‘Ÿπ‘“ ) + 𝛽2 (𝑅𝑠 − 𝑅𝑏 ) + 𝛽3 (π‘…β„Ž − 𝑅𝑙 ) + πœ€
Dimana :
Ri
rf
α
ε
β1, β2, β3
Rm
Rs−Rb
R −Rl
....... 2.8.4
=
=
=
=
=
=
=
Historical (realized rate of return on stock i
Historical (realized rate of return on risk-free rate
Vertical axis intercept term of stock i
Random error
Slope coefficient for stock i
Historical (realized rate of return on the market)
Historical (realized rate of return on small-size portfolio
minus the big-size portfolio)
= Historical (realized rate of return on the high-B/M (ratio of
book to market value) portfolio minus the low-B/M
portfolio)
Cara penggunaan formula 2.8.4 adalah sama dengan CAPM. Koefisen beta
formula 2.8.4 didapat dengan cara yang sama seperti cara estimasi beta milik CAPM,
yaitu dengan menggunakan data historis kemudian diregresi.
Namun yang menjadi permasalahaan dengan aplikasi model tiga faktor
Fama-French adalah rentang waktu data historis yang digunakan, basis periode
(harian, bulanan, atau tahunan), ketersediaan data yang handal dan akurat, dan serta
kurangnya kemampuan data historis untuk memprediksi masa depan. Oleh karena itu,
banyak praktisi, manajer perusahaan, tetap menggunakan CAPM, yang relatif mudah
digunakan dan tingkat kesalahan input yang lebih mudah diperkecil.
2.8.3.5. Arbitrage Pricing Theory (APT)
Teori menyerupai versi tiga faktor Fama-French yang digeneralisasi. Teori
ini menyatakan bahwa imbal hasil sebuah sekuritas dipengaruhi sekian k faktor dan
random noise.
𝑅𝑖 = 𝛼 + 𝛽1 𝐹2 + 𝛽2 𝐹2 + β‹― + π›½π‘˜ πΉπ‘˜ + πœ€
Dimana :
Fk = return on factor k
36
Secara teori, APT adalah teori yang tanpa celah dalam menentukan imbal
hasil sebuah sekuritas. Namun dalam aplikasinya sulit untuk diterapkan karena
beberapa alasan seperti jumlah faktor yang memperngaruhi, bagaimana mengukur
faktor-faktor tersebut serta kehandalan-keakuratan sumber data untuk faktor yang
dipertimbangkan. Sehingga APT hampir tidak mungkin diterapkan dunia nyata.
2.9. Terminal Value
Terminal value atau horizon value adalah present value dari mulai horizon
date sampai seterusnya. Terminal date atau horizon date adalah satu tanggal (satu
titik waktu) dimana ramalan atau prediksi terhadap nilai perusahaan tidak dilakukan
lagi setelah melewati tanggal tersebut. Secara singkat (Manurung, 2011:93)
“terminal value adalah nilai perusahaan pada periode ke-n dan selanjutnya.”.
Terminal value juga dapat dipahami sebagai (Damodaran, 2012:275) nilai yang
mencerminkan nilai suatu perusahaan pada suatu titik waktu di masa depan.
Ilustrasi pemahamannya sebagai berikut, seorang analis menilai harga
saham perusahaan X. Dengan menggunakan data-data masa lalu, sang analis
berusaha memprediksi nilai perusahaan di masa depan. Namun, alih-alih sang analis
memprediksi nilai perusahaan setiap tahun sampai tahun ke-tak hingga, sang analis
hanya memprediksi 3 tahun kedepan dan tahun setelahnya sang analis menganggap
nilai perusahaan tumbuh konstan. Hasil prediksi analis tersebut menghasilkan 4
angka yaitu X1 (untuk tahun ke-1), X2 (tahun ke-2), X3 (tahun ke-3) dan X4 (tahun
ke-4 dan seterusnya). Nilai X4 disebut terminal value, present value dari suatu titik
waktu sampai waktu tak hingga. Dan tahun ke-3 adalah terminal date.
Menurut Damodaran (2012:275) terdapat 3 cara untuk mengestimasi
terminal value, yaitu :
37
1.
Nilai likuidasi.
2.
Pendekatan perkalian (multiple approach)
3.
Model pertumbuhan stabil (stable groth model)
2.9.1. Nilai Likuidasi (Liquidation Value)
Cara ini mengasumsikan bahwa perusahaan akan berhenti beroperasi dan
menjual seluruh aset kepada penawar tertinggi. Terdapat dua cara untuk
mengestimasi nilai likuidasi.
Pertama, menggunakan nilai buku (book value) dan menyesuaikan dengan
tingkat inflasi. Misalkan nilai buku sebuah aset selama 10 tahun ke depan dari
sekarang diperkirakan sebesar dua miliar dolar AS, rata-rata usia aset pada saat itu
adalah 5 tahun dan tingkat inflasi diperkirakan sebesar 3%, maka nilai likuidasi
diestimasi menggunakan formula berikut.
Expected
Inflation Average life of assets
Liquidation Value = Book Value of AssetsTerm yr (1+ Rate )
2.9.1
5
= $ 2 Miliar (1.03) = $ 2.319 Miliar
Keterbatasan dari cara pertama adalah estimasi dilakukan berdasarkan nilai buku,
dimana nilai likuidasi seharusnya mencerminkan nilai sekarang (bukan nilai historis
yaitu nilai buku), selain itu juga tidak mencerminkan kemampuan aset-aset
menghasilkan pendapatan.
Kedua, mengestimasi berdasarkan kemampuan menghasilkan pendaptan
(earning power) dari aset yang dimiliki. Cara estimasi ini memerlukan estimasi arus
kas dari aset yang dimiliki dan kemudian didiskontokan ke present value
menggunakan tingkat diskonto (discount rate) yang sesuai. Menggunankan contoh
sebelumnya, katakanlah aset pada contoh sebelumnya mampu menghasilkan arus kas
sebesar 400 juta dolar AS per tahun (setelah dipotong pajak) untuk selama 15 tahun
38
(setelah melewati terminal year) dan biaya modal (cost of capital) sebesar 10%,
maka estimasi menggunakan formula berikut.
Expected
Expected
Liquidation Value = CashFlow
−(
+r)y
r
..................... 2.9.2
Dimana : r
= discount rate (menggunakan biaya modal sebagai discount rate)
y
= waktu
jadi nilai likuidasi yang diperoleh adalah 3.042 miliar dolar AS dengan
mensubstitusikan r dengan nilai 0.1 (biaya modal = 10%) dan y dengan nilai 15
(terdapat arus kas selama 15 tahun).
Rumus 2.8.2 sebenarnya juga adalah rumus untuk mencari nilai sekarang
dari anuitas biasa (present value of an ordinary annuity), dan dapat dilihat pada buku
Brealey, Myers, dan Allen, 2011, pada halaman 29.
Bila dalam hal melakukan penilaian terhadap ekuitas, maka nilai likuidasi
yang didapat diatas harus dikurangi dengan nilai hutang (dan sekali lagi nilai yang
digunakan adalah nilai pasar) pada saat terminal date.
2.9.2. Pendekatan Perkalian (Multiple Approach)
Pendekatan ini, nilai perusahaan pada masa mendatang diestimasi dengan
menerapkan angka pengkali pada pendapatan perusahaan di masa mendatang
tersebut. Sebagai contoh, sebuah perusahaan diperkirakan mencatat pendapatan
sebesar 6 miliar dolar AS pada saat 10 tahun dari sekarang, akan mendapat estimasi
terminal value sebesar 12 miliar dolar AS jika angka pengkali yang digunakan
adalah 2. Jika dalam hal penilaian ekuitas, angka pengkali yang digunakan, biasanya,
adalah P/E Ratio (Price-Earning Ratio).
Walaupun pendekatan ini cukup sederhana, namun efek angka pengali yang
digunakan sangat berpengaruh. Oleh karena itu penentuan angka pengali harus hati-
39
hati. Agar angka pengali yang digunakan tetap realistis, maka dapat dilakukan
perbandingan terhadap perusahaan serupa pada bidang yang sama.
2.9.3. Model Pertumbuhan Stabil (Stable Growth Model)
Pada pendekatan menggunakna nilai likuidasi, dianggap bahwa umur
perusahaan adalah terbatas dan akan dilikuidasi pada akhir hidup perusahaan. Namun
sebenarnya, perusahaan dapat saja menginvestasikan sebagian pendapatannya pada
aset baru dan memperpanjang usia perusahaan. Jika diasumsikan bahwa aruskas
setelah terminal date tumbuh dengan konstan maka formula untuk mengestimasi
terminal value adalah sebagai berikut:
T r
Dimana :
lainnya)
V u =
𝐢𝐹𝑇+1
π‘Ÿ + π‘”π‘ π‘‘π‘Žπ‘π‘™π‘’
................................. 2.9.3
CF
= CashFlow (dapat berupa dividen, bunga atau arus kas
T
r
= Terminal date
= rate yang digunakna untuk men-discount semua arus kas
(dapat berupa required rate of return, WACC, atau
lainnya)
= tingkat pertumbuhan arus kas
g
Dalam hal penilaian ekuitas (equity valuation), maka CF (CashFlow) pada
formula diatas berupa dividen (seperti pada dividend discount model) atau arus kas
bebas pada ekuitas (free cash flow to equity), sedangkan r berupa biaya ekuitas (cost
of equity).
Dalam hal penilaian perusahaan (firm valuation), maka CF (CashFlow)
berupa free cash flow to firm sedangkan r berupa biaya modal (cost of capital).
40
2.10. Estimasi Pertumbuhan
Dalam penilaian nilai perusahaan yang menjadi salah kunci penting adalah
pertumbuhan yang dapat dicapai. Pertumbuhan dapat diestimasi dengan tiga cara :
(Damodaran, 2012: 246)
1.
dengan tingkat pertumbuhan historis
2.
dengan mengacu pada hasil analisa para analis
3.
dengan berdasarkan fundamental perusahaan
Pertumbuhan dalam subbab ini adalah pertumbuhan pendapatan. Hanya saja
pertumbuhan pendapatan dapat dilihat dari beberapa sisi seperti laba bersih per
saham (EPS), laba bersih (net income), atau laba usaha (operating profit)
2.10.1. Pertumbuhan Historis
Seperti semua nilai yang diestimasi dengan pencapaian terealisasi (masa
lalu), selalu terdapat keterbatasan yang sama, yaitu bahwa masa lalu tidak mendikte
masa depan. Dan permasalahan seperti jumlah data yang digunakan, basis periode
(mingguan, bulanan, tahunan) yang digunakan, dan cara merata-ratakan, semuanya
itu menghasilkan angka yang berbeda. Walaupun begitu menurut Damodaran, data
masa lalu sedikit banyaknya mengandung informasi yang berguna dalam
mengestimasi ke masa depan.
Dalam estimasi pertumbuhan menggunakan data masa lalu dapat dilakukan
dengan merata-ratakan data masa lalu. Cara merata-ratakan terbagi menjadi dua yaitu
aritmetik dan geometrik.
Dimana : gt = tingkat pertumbuhan pada tahun t
R t -r t G o
tr =
E r
E r
s0
s-
(
)
−
41
Dimana : Earningt = pendapatan pada tahun t
Earning diatas dapat berupa EPS, laba penjualan (revenues), EBITDA, laba
usaha (operating profit), atau laba bersih, tergantung dari kebutuhan.
Namun karena sekarang sedang membahas tentang pertumbuhan, tentu
kurang masuk akal apabila, pertama, dalam rata-rata aritmetik, pertumbuhan
pendapatan setiap tahunnya dianggap sama dan mengabaikan efek pelipatan
(compounding effect), kedua, dalam rata-rata geometrik, hanya pertumbuhan awal
dan akhir yang di perhitungkan dan mengabaikan proses diantaranya. Oleh karena itu,
Damodaran mengusulkan bahwa teknik berikut dapat sedikit menutupi kekurangan
dari rata-rata aritmetik dan geometrik. Teknik tersebut adalah regresi ordinary least
squares (OLS) terhadap waktu. Dalam teknik regresi pun terbagi menjadi dua yaitu
regresi linear (mirip aritmetik) dan log-linear (mirip geometrik). (Damodaran, 2012:
248)
1. L
r : EPSt = + t
2. Lo -L
r : (EPSt ) = + t
Dimana : EPSt
= Earning per Share pada periode t
t
= periode t
ln(EPSt) = Natural logaritma EPS pada periode t
Dalam versi linear (nomor 1) koefisien kemiringan (koefisien b) dalam
bentuk satuan EPS. Masalah dalam bentuk satuan EPS adalah kurang sesuai untuk
digunakan (input pertumbuhan yang umum digunakan pada formula adalah bentuk
persentase, bukan satuan). Sedangkan pada versi log-linear koefisien b dalam bentuk
persentase. (Damodaran, 2012: 248)
Dalam menggunakan data masa lalu, dalam hal estimasi pertumbuhan,
Damodaran juga menunujukan satu permasalah yang dapat membuat estimasi dengan
data masa lalu menjadi tidak berguna. Masalahnya ada terletak pada data tersebut,
42
apabila ada pertumbuhan yang negatif maka nilai dapat bias secara signifikan. Oleh
karena itu, perlu kehati-hatian apabila mengestimasi pertumbuhan perusahaan yang
belum stabil.
2.10.2. Estimasi Pertumbuhan oleh Analis
Para analis umumnya mempunyai akses informasi yang lebih baik, dan juga
analis umumnya selalu mengikuti perkembangan yang terbaru, sehingga para analis
sering memperbaharui estimasi-estimasi mereka terhadap informasi terbaru. Selain
itu analis juga mungkin mempunyai model yang lebih baik untuk perusahaan yang
diikutinya. Oleh karena itu cukup masuk akal untuk menggunakan hasil estimasi para
analis dalam penilaian kita.
Agar mengurangi faktor subjektif perorangan, maka adalah praktik yang
baik, untuk merata-ratakan sejumlah estimasi para analis dan memperhatikan standar
deviasinya.
2.10.3. Pertumbuhan berdasarkan Fundamental Perusahaan
Estimasi dengan berdasarkan keadaan perusahaan sekarang dan berdasarkan
fundamental perusahaan adalah secara logika yang paling akurat, namun untuk
mencapai keakuratan tersebut tidaklah semudah seperti menggunakan data masa lalu
atau estimasi para analis.
Hubungan antara pertumbuhan dengan fundamental perusahaan tergantung
pada pertumbuhan apa yang diestimasi. Estimasi pertumbuhan EPS berdasarkan
return on equity (ROE) dan retention ratio. Estimasi pertumbuhan laba bersih
berdasarkan return on equity dan equity reinvestment rate. Estimasi operating
income berdasarkan return on capital dan reinvestment rate.
Pertumbuhan EPS. Damodaran
menyatakan bahwa hubungan paling
sederhana dalam menentukan pertumbuhan adalah berdasarkan retention ratio
43
(persentase laba yang ditahan oleh perusahaan) dan return on equity. Perusahaan
yang memiliki retention ratio dan return on equity yang tinggi seharusnya menikmati
pertumbuhan EPS yang tinggi daripada perusahaan yang tidak mempunyai
karakteristik ini. (Damodaran, 2012:258).
R t
E r
tROE
N t I co t............................... 2.10.1
ROE
EPS = r t t o r t o
EPS
Dimana : gEPS
ROE
=
= pertumbuhan EPS
= return on equity (laba bersih pada tahun terakhir dibagi dengan
nilai buku modal/shareholder’s equity pada akhir periode
tahun sebelumnya)
Pertumbuhan laba bersih (net income). Apabila sumber modal tidak hanya
terbatas pada laba ditahan, maka pertumbuhan laba bersih dapat saja berbeda dengan
pertumbuhan EPS. Perlu diingat, bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh banyaknya
investasi kembali yang dilakukan oleh perusahaan. Karena sumber investasi tersebut
tidak terbatas pada laba ditahan, maka diperlukan pengukuran investasi yang lebih
luas daripada hanya sebatas laba ditahan. (Damodaran, 2012:259).
NI = Equ
ty R v st
t R t ROE
Equ ty r v st
ROE
NI =
N t co
C pEx − D pr c t o +βˆ†NWC − (N w D
NI =
N t co
t Issu
−D
tR p
)
ROE
2.10.2
Dimana : gNI
CapEx
ΔNWC
ROE
Debt
= pertumbuhan laba bersih (net income)
= Capital Expenditure
= Change in Net Working Capital
= Return on Equity
= Long-term debt issued (paid)
Pertumbuhan laba usaha (operating profit). Pertumbuhan laba usaha dapat
dihubungan dengan total investasi kembali yang dilakukan dan return on capital.
Ketika perusahaan mempunyai return on capital yang stabil, pertumbuhan laba usaha
44
diestimasi dengan mengkalikan reinvestment rate dan return on capital. (Damodaran,
2012:261-262).
EBIT = R
t R t ROC
(C pEx − D pr c t o +βˆ†No C s WC)
R v st
tr t =
EBIT( − T x r t )
EBIT( − T x r t )
ROC=
(BV o Equ ty + BV o D t − C s
M r t
S cur t s) ... 2.10.3
Dimana :
v st
gEBIT
= pertumbuhan EBIT (operating income/laba usaha)
ROC
= Return on capital
CapEx
= Capital Expenditure
ΔNoncashWC = Change in Noncash working capital
BV
= Book value
Formula 2.10.3 diasumsikan bahwa retun on capital tetap stabil seiring
berjalannya waktu. Bila return on capital ternyata berubah-ubah dari waktu ke waktu
(namun tetap bernilai positif), maka ada penambahan komponen. (Damodaran,
2012:264)
EBIT = (R
Dimana :
ROCt
ROCt-1
v st
tR t
ROCt )+
(ROCt − ROCt- )
ROCt
............ 2.10.4
= return on capital pada periode t
= return on capital pada satu periode sebelum periode t
Apabila perusahaan mengalami return on capital yang negatif (sering terjadi
pada perusahaan yang baru berkembang atau yang sedang mengalami restukturisasi)
maka formula 2.10.3 dan 2.10.4 tidak benar digunakan, karena dapat menghasilkan
angka yang tidak realistis. Oleh karena itu untuk mengestimasi pertumbuhan untuk
perusahaan semacam ini, maka kita gunakan pertumbuhan pendapatan penjualan
(revenues),
operating
margin,
sales-to-capital
ratio.
Tentu
saja
estimasi
pertumbuhan tidak dilakukan pada tahun dimana ROC negatif, namun apabila
45
ekspektasi beberapa tahun kedepan ROC bernilai positif, maka penilaian dilakukan
pada tahun tersebut.
Sales-to-capital ratio diartikan seberapa banyak penjualan yang dapat
dihasilkan dari setiap satu dolar model yang ditanamkan. Semakin tinggi rasionya,
berarti semakin baik perusahaan mampu memanfaatkan modal yang ada untuk
menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Modal yang ditanamkan senilai dengan
jumlah shareholder’s equity ditambah hutang jangka panjang (tidak termasuk hutang
operasional). Dalam kasus tertentu, apabila uang tunai tidak termasuk dalam
kebutuhan operasional maka perhitungan modal ditanam sebaiknya dikurangi dengan
nilai uang tunai yang ada. Pengurangan uang tunai, membuta pengartian dari rasio
menjadi lebih spesifik, yaitu seberapa banyak pendapatan yang dapat dihasilkan dari
setiap dolar modal yang ditanamkan sepenuhnya untuk operasional perusahaan. Bagi
perusahaan yang memiliki cadangan uang tunai yang banyak namun tidak
dimanfaatkan untuk menghasilkan pendapatan, apabila perhitungan modal ditanam
tidak dikurangi dengan uang tunai, maka akan didapat rasio yang rendah dan
membuat perusahaan terkesan tidak efisien padahal mungkin saja perusahan belum
memanfaatkan seluruh sumber daya. Jadi, Formula untuk sales-to-capital ratio
adalah sebagai berikut
s
s to c p t r t o =
(tot
s sr v u
qu ty+ o t r
t−c s )
.......... 2.10.5
Sales-to-capital ratio dapat juga digunakan untuk mendapatkan angka
reinvestment, untuk tujuan memperoleh reinvestment rate. Sesuai arti rasio, rasio
tersebut dapat digunakan dengan arti sebagai berikut, seberapa banyak tambahan
pendapatan yang akan didapat sari setiap tambahan modal yang ditanamkan. Jadi
46
besar reinvestment yang dibutuhkan untuk menambah pendapatan dapat diperoleh
dengan formula berikut.
R
v st
t=
s
sr v u t−s sr v u
s s to c p t r t o
t-
Dimana : sales revenuet = sales revenue pada periode ke-t
sales revenuet-1 = sales revenue pada satu periode sebelum periode ke-t
2.11. Penilaian Saham
Sesuai yang dikutip oleh yang dikutip Manurung (2011:14), Myer (1977)
menyatakan bahwa harga saham sebuah perusahaan adalah adalah “Present value of
its predictable cashflow, plus the value of rights or options embeded in the firm” –
“Nilai saat sekarang dari arus kas masa depan ditambah nilai hak atau opsi yang
melekat pada perusahaan”. Jadi saham dapat dinilai dari, pertama, ekspektasi arus
kas yang didapat di masa mendatang, dan kedua, dari nilai opsi yang ada pada
perusahaan. Manurung menyatakan bahwa komponen kedua, yaitu nilai opsi, adalah
nilai yang tersembunyi (hidden) dan hanya diketahui oleh orang dalam. Oleh karena
itu adalah masuk akal bila saham dapat dinilai dari arus kas.
Damodaran (2012:14) menyatakan bahwa, “financial asset are acquired for
the cashflow expected on them”, artinya aset finansial dimiliki dengan tujuan untuk
mendapatkan aruskas masuk, sehingga adalah masuk akal bila sebuah aset dinilai
dari kemampuan aset tersebut untuk menghasilkan arus kas masuk. Jadi, bila dalam
hal saham, maka saham dinilai dari kemampuan saham tersebut untuk memberikan
arus kas (dividen dan capital gain) di masa mendatang. Damodaran juga menyatakan
juga bahwa persepsi atas „valueβ€Ÿ harus realistis, sehingga harga yang dibayar untuk
aset apapun seharusnya mencerminkan aruskas sesuai seperti yang diharapkan.
47
Secara singkat, sesuai dengan Brigham dan Ehrhardt (2011:273) saham
dinilai dari “present value of its expected future cash flow stream”, - nilai sekarang
atas (ekspektasi) arus kas masa depan. Jika dilihat dari sisi perpektif investor
(pemegang saham), maka saham dinilai dari ekspektasi arus kas masuk ke investor.
Semakin besar ekspektasi investor akan arus kas masuk ke investor, semakin bernilai
saham tersebut. Jika dilihat dari sisi perspektif perusahaan, semakin besar
kemampuan keperusahaan menghasilkan arus kas positif (yang berarti semakin besar
kapasitas perusahaan memberi imbalan ke investor), semakin berharga saham
perusahaan tersebut.
Penjelasan tentang penilaian saham diatas, menurut Damodaran (2012:25)
hanyalah satu diantara tiga pendekatan yang dapat dilakukan, namun juga merupakan
dasar dari dua pendekatan lainnya. Penilaian saham dengan berfokus pada present
value atas arus kas masa mendatang disebut juga discounted cash flow valuation.
Terdapat banyak cara yang berlandasan dari pendekatan ini, diantaranya Dividend
Discount Model, Free Cash Flow to Firm, Free Cash Flow to Equity.
2.11.1. Dividend Discount Model
Secara singkat, model ini didasari atas ekspektasi pertumbuhan dividen yang
dibagikan perusahaan tiap tahun dan harga jual dimasa depan.
Pemahaman dari model ini adalah pertama, investor memegang saham
dengan tujuan mendapatkan dividen dan keuntungan dari harga jual saham dimasa
depan. Kedua, karena tujuan tersebutlah maka bila perusahaan dapat membagikan
dividen yang lebih besar, maka nilai saham perusahaan tersebut lebih bernilai dimata
investor karena tingkat pengembalian yang lebih tinggi.
Model ini menilai harga saham dengan mencari present value dari jumlah
arus kas masa depan yang diterima investor untuk masa maturity yang tak tentu
48
(saham dapat dipegang untuk waktu yang tak terbatas). Berikut formula umum untuk
Dividend Discount Model.
𝑉0 =
Dimana :
depan)
V0
𝐷1
𝐷1
𝐷1
+
+
+ ..
2
( + π‘˜) ( + π‘˜)
( + π‘˜)3
...................... 2.11.1
= Nilai intrinsik saham saat ini (present value dari arus kas masa
D0 = Besar dividen pada tahun berjala (sekarang)
Dn = Besar dividen ekspektasi tahun berikut ke-n (n = 1, 2, 3,…)
k = market required rate of return
Tampaknya formula diatas tidak memperhitungkan keuntungan dari harga
jual saham di masa depan. Namun sebenarnya sudah diperhitungkan, karena harga
dimasa mendatang dipengaruhi dividen yang akan dibagikan.
Formula dasar Dividend Discount Model diatas kurang praktis untuk
diterapkan karena untuk mendapat nilai intrinsik saham, perlu memprediksi dividen
setiap tahun. Agar lebih mudah digunakan maka diasumsikan menjadi lebih
sederhana, yaitu dividen setiap tahunnya bertambah secara konstan.
Untuk
kasus
dividen
yang
bertambah
secara
konstan
(pertumbuhan/pertambahan konstant), juga dikenal dengan nama Gordon Growth
Model, rumus 2.10.1 dapat ditulis ulang menjadi :
𝑉0 =
Dimana :
depan)
𝐷1
(π‘˜ − 𝑔)
atau
𝑉0 =
𝐷0 ( + 𝑔)
(π‘˜ − 𝑔)
V0
................... 2.11.2
= Nilai intrinsik saham saat ini (present value dari arus kas masa
D0
D1
g
k
= Besar dividen pada tahun berjalan (sekarang)
= Besar dividen pada tahun berikutnya
= tingkat pertumbuhan dividen
= market required rate of return
Formula 2.11.2 hanya bisa digunakan bila pertumbuhan dividen tidak
melebihi pertumbuhan pasar. Bila tingkat pertumbuhan pasar melebihi pertumbuhan
49
pasar maka digunakan Multistage Dividend Discount Model. Pada kenyataannya
pertumbuhan perusahaan yang melebihi pertumbuhan pasar biasanya tidak akan
bertahan lama. Maka penilaian dilakukan secara bertahap, dimana salah satu tahap
adalah untuk menilai pada saat pertumbuhan diatas pertumbuhan pasar, dan tahap
satunya lagi adalah untuk menilai pada saat pertumbuhan dibawah pertumbuhan
pasar. Oleh karena itu disebut Multistage Dividend Discount Model.
2.11.2. Pendekatam Free Cash Flow
Model ini didasari atas ekspektasi pertumbuhan arus kas bebas (free cash
flow) perusahaan. Free Cash Flow adalah arus kas yang tersedia untuk
didistribusikan kepada semua investor perusahaan, baik itu pemegang surat hutang
maupun pemegang saham. Free cash flow yang lebih besar memberikan 2 arti,
pertama, investor berkemungkinan mendapatkan pendapatan yang lebih besar, kedua,
perusahaan memiliki kinerja yang lebih baik.
Model Dividen Discount Model akan sulit diterapkan bagi perusahaan yang
tidak/belum atau tidak konsisten dalam membagikan dividen. Sehingga untuk
menilai saham perusahaan tersebut dapat menggunakan pendekatan Free Cash Flow.
Dalam pendekatan Free Cash Flow terbagi menjadi dua pendekatan lagi :
a.
Free Cash Flow to the Firm (FCFF)
b.
Free Cash Flow to Equity (FCFE)
Pendekatan FCFF adalah men-discount Free Cash Flow untuk perusahaan,
secara keseluruhan, (FCFF) dengan menggunakan Weighted Average Cost of Capital
(WACC) untuk mendapatkan nilai perusahaan dan lalu mengurangi nilai perusahaan
tersebut dengan nilai hutang (debt) untuk mendapatkan nilai ekuitas (Bodie, Kane,
dan Marcus, 2011: 609).
50
Pendekatan FCFE adalah berfokus pada Free Cash Flow untuk pemegang
ekuitas (equityholder) kemudian men-discount langsung Free Cash Flow to Equity
(FCFE) dengan cost of equity untuk mendapatkan nilai ekuitas (Bodie, Kane, dan
Marcus, 2011: 609).
Formula Free Cash Flow to the Firm (FCFF) :
FCFF = EBIT ( − 𝑑𝑐 ) + Depreciation − Capital expenditure − Increase in NWC
2.11.3
Dimana :
EBIT = Earning before Interest and Taxes
tc
= pajak perusahaan
NWC= net working capital
Formula Free Cash Flow to Equity (FCFE) :
FCFE = FCFF − interest expense × (1 − 𝑑𝑐) + Increase in net debt
2.11.4
Setelah didapati nilai Free Cash Flow to Firm, untuk mendapatkan nilai perusahaan
(firm’s value), berkut formulanya :
𝑇
FCFF𝑑
𝑃𝑇
+
𝑑
(1+WACC)
(1+WACC)𝑇 ................. 2.11.5
𝑑=1
Firm Value = ∑
𝑃𝑇 =
FCFF 𝑇+1
WACC − g
...................................... 2.11.6
Bila menggunakna Free Cash Flow to Equity maka, untuk mendapatkan nilai ekuitas
(equityβ€Ÿs value), berikut formulanya:
𝑇
FCFE𝑑
𝑃𝑇
+
(1+π‘˜πΈ )𝑑 (1+π‘˜πΈ )𝑇 ............... 2.11.7
𝑑=1
Market Value of Equity = ∑
𝑃𝑇 =
Dimana :
kE
PT
= cost of equity
= terminal value
FCFE 𝑇+1
π‘˜πΈ − g ......................................... 2.11.8
51
T
t
g
= terminal date (jika memakai basis tahunan, terminal year)
= tahun ke-t
= tingkat pertumbuhan
2.12. Kerangka Pikir
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
Sumber : Brigham dan Ehrhardt, 2011
Download