www.parlemen.net PENGURUS PUSAT LEMBAGA PENYULUHAN DAN BANTUAN HUKUM NAHDLATUL ULAMA Gedung PBNU Lt. 4, Jl. Kramat Raya No. 164 Jakarta 10430 TeIp. 021-3925708-3908424 Fax. 021 - 3908425 e-mail : [email protected] PENDAPAT PB NAHDLATUL ULAMA YANG DIWAKILI OLEH LEMBAGA PENYULUHAN DAN BANTUAN HUKUM (LPBH NU) TERHADAP RUU TENTANG PEMERINTAHAN ACEH I. PENGANTAR Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa pada perkembangan Propinsi Aceh sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak Indonesia merdeka telah mengalami dinamika yang begitu intens, sehingga pada masa-masa yang lalu telah menimbulkan ketidakpuasan pada sebagian masyarakat Aceh terhadap pola penyelenggaraan kehidupan kemasyarakatan yang diterapkan. Eskalasi dinamika yang begitu tinggi dilain pihak telah melahirkan kekahawatiran terjadinya ancaman disintegrasi yang disebabkan oleh belum terakomodasinya kepentingan sebagian masyarakat di satu sisi dan belum terlaksananya system penyelenggaran pemerintahan dan kemasyarakatan yang berlandaskan syariat Islam di sisi yang lain. Musibah tsunami telah membuka babak baru sejarah Aceh, yang mendekonstruksi kembali kesadaran masyarakat Aceh akan pentingnya kebersamaan membangun kembali "Nangro Aceh". Momentum ini telah juga melahirkan "kesepakatan Helsinky" yang telah mengakhiri permusuhan yang cukup mengorbankan waktu, jiwa, harta benda serta kerugiankerugian yang seharusnya tidak terjadi. Dalam konteks ini hal yang teramat penting bagi Aceh hari ini dan kedepan adalah upaya untuk menghargai eksistensi keistimewaan Aceh sekaligus tetap mempertahankan Aceh sebagai bagian dari NKRI. Sebab itu Aceh merupakan pertaruhan sejarah bangsa dan negara Indonesia, sehingga keberadaan Aceh sebagai bagian dari NKRI dalam instrument legal (ic: UUPA) adalah hal yang tak dapat ditawar-tawar. Penerapan Syariat Islam (syar'iyah) melalui instrument legal di Propinsi Aceh hendaknya terhindar dari tindakan yang bersifat "lip service” saja, hal yang signifikan untuk diperhatikan adalah infra struktur yang harus dipersiapkan sedemikian rupa, sehingga ketika sampai pada tahap pelaksanaan, dapat dihindarkan kesulitan-kesulitan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Infra struktur disini meliputi sumberdaya manusia para penegak syari'ah Islamiyah, sosialisasi dan penyuluhan materi syari'ah, yang meliputi muamalah, jinayah serta ketentuan-ketrentuan pelaksanannya dalam bentuk Qonunn yang ditetapkan oleh regulator ditingkat propinsi maupun ditingkat kabupaten don kota, disamping infra struktur dalam arti sporting phisik, seperti gedung Mahkamah Syariah dan semacamnya. Dalam era demokratisasi yang essensinya apresiasi terhadap keberagaman, hendaknya kelahiran instrument legal yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan di Aceh justru akan memperkuat konteks social budaya masyarakat aceh. Signifikansi perhatian terhadap hal ini akan menghindarkan jebakan tafsiran "Pemerintahan Aceh" merupakan "proyek" atau boneka Negara-negara asing. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net www.parlemen.net II. TENTANG MAHKAMAH SYAR'IYAH (MS) Tentang Masalah Kompetensi Mahkamah Syar'iyah yang disebutkan dalam RUU tentang Pemerintahan Aceh dalam Ps 101 ayat 2 jo 107 ayat 2 yang kompetensinya hanya mencakup kalangan muslim. Usulan: Warga non muslim diusulkan agar menundukkan diri kepada MS. bengan demikian kompetensi MS mencakup dan berlaku juga bagi warga non muslim. Hal ini didasari dengan argumentasi sebagai berikut: a b III. Asas Teritorial : Berlakunya suatu peraturan peundang-undangan, utamanya hukum pidana, dari suatu Negara didasarkan pada tempat suatu perbuatan dilakukan dan di tempat yang termasuk wilayah berlakunya suatu undangundang. Karenanya tidak. logis adanya pembedaan perlakuan hukum bagi orang-orang yang melakukan suatu kejahatan atau perbuatan melawan hukum lainnya harus diadili berdasarkan hukum yang berbeda dengan yang lainnya. Asas Efisiensi: bengan perlakuan yang soma pada setiop orang yang bertempat tinggal di Aceh tanpa membedakan SARA akan melahirkan effisiensi dalam penyelenggaraan peradilan (efficient judicial system) yang juga merupakan wujud dari prinsip keadilan. Menjadi tidak efisien jika ada pembedaan, kareno jumlah non-muslim di Aceh sangat sedikit jika dibuat peradilan khusus bagi non muslim. TENTANG KEJAHATAN MILITER/KEJAHATAN YANG DILAKUKAN OLEH MILITER Usulan: untuk kejohatan militer atau yang dilakukan oleh kalangan militer agar masuk dalam jurisdiksi MS Argumentasinya adalah untuk mewujudkan system peradildn yang efisien. IV. TENTANG QONUN Qonun adalah peraturan pelaksana dari UU Pemerintahan Aceh atau yang kedudukannya sejajar dengan Peraturan Pemerintah, yang dibagi menjadi dua level yakni ditingkat Propinsi dan Kabupaten yang tidaksama dengan Perda. V. TENTANG PASAL 104 SOAL HUKUM ACARA Ketentuan hukum acara di MS agar tunduk kepada hukum acara yang berlaku dalam system hukum nasional yang berlaku di Indonesia. VI. TENTANG MPU MPU adalah mitra pemerintah daerah dan DPRD yang kedudukannya sejajar dan setara. Tugas dan kewenangan MPU: VII. TENTANG PENDIDIKAN Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net www.parlemen.net Diusulkan agar penyelenggaraan pendidikan di ACEH pembiayaannya dialokasikan bukan hanya dari APBD tetapi juga dari APBN sesuai dengan UU No 44/1999 tentang Keistimewaan Aceh Demikian atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk memberikan/menyampaikan pokok-pokok pikiran terhadap RUU tentang Pemerintahan Aceh, kami mengucapkan terima kasih. Jakarta, 2 Maret 2006 Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net