BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke menjadi masalah

advertisement
 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stroke menjadi masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian khusus.
Penyakit serebrovaskular ini merupakan salah satu penyebab utama kecacatan
fisik dan kematian di dunia. Berdasarkan data World Health Organization (WHO)
tahun 2011, stroke menjadi penyebab kematian ke dua di dunia setelah penyakit
jantung iskemik. Setiap tahun terdapat sekitar 795.000 orang mengalami serangan
stroke. Enam ratus sepuluh ribu diantaranya adalah stroke serangan pertama,
sedangkan 185.000 lainnya merupakan stroke serangan berulang. Pada tahun
2008, angka kematian akibat stroke di Amerika Serikat mencapai 134.148 jiwa.
Rata-rata dalam waktu 4 menit, satu orang meninggal akibat stroke (Roger et al.,
2012).
Prevalensi stroke di Indonesia sekitar 8,3 per 1000 penduduk, namun
kasus stroke yang telah didiagnosa oleh tenaga kesehatan hanya sekitar 72.3%
(Riset Kesehatan Dasar, 2007). Berdasarkan hasil studi pendahuluan di poliklinik
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wates, pada tahun 2011 ditemukan 39 kasus
baru stroke. Jumlah kunjungan pasien stroke ke poliklinik pada bulan Januari
2011 sampai Desember 2011 mencapai 258 orang.
Pasien stroke yang dapat bertahan hidup beresiko mengalami kecacatan
fisik, seperti paralisis pada satu bagian tubuh, hilangnya kemampuan berbicara
atau memahami pembicaraan orang lain, kehilangan memori, dan perubahan
tingkah laku (Robbins et al., 2011). Selain itu, pasien stroke juga akan dibayangi
1 2 masalah kesehatan yang serius selama hidupnya, yaitu serangan stroke berulang.
Stroke berulang memiliki resiko kematian dan kecacatan lebih tinggi dibanding
stroke serangan pertama, karena sel-sel otak yang telah rusak oleh stroke
sebelumnya sulit untuk disembuhkan kembali (National Stroke Association,
2012). Insidensi stroke berulang pada 4 minggu pertama setelah stroke iskemik
akut, sekitar 0.6% hingga 2.2% per minggu (Black dan Hawks, 2005).
Stroke berulang timbul karena disebabkan oleh beberapa faktor resiko.
Penelitian Rahman (2010), pada pasien stroke di RSUP Dr. Sardjito tahun 2008
menunjukkan bahwa, faktor resiko utama stroke berulang adalah hipertensi.
Pasien stroke yang menderita hipertensi memiliki resiko dua kali lebih besar akan
memperparah keadaannya dibanding pasien stroke yang tidak hipertensi
(Syswanda, 2011). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD
Wates, didapatkan data bahwa hampir seluruh pasien stroke menderita hipertensi.
Pengelolaan faktor resiko sebagai pencegahan stroke sekunder menjadi
aspek penting dalam penatalaksanaan stroke (McElvee dan Alway, 2009).
Pengelolaan terhadap faktor resiko hipertensi dapat dilakukan dengan mengurangi
asupan garam, membatasi gula, olah raga secara teratur, manajemen stres yang
baik, berhenti merokok, dan berhenti mengkonsumsi alkohol. Apabila
pengelolaan faktor resiko ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka kejadian
stroke berulang pada pasien juga dapat dicegah (Rahman, 2010).
Penelitian Martin et al., (2008) terhadap pasien hipertensi menunjukkan
bahwa self-efficacy merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku
perawatan diri dalam menangani pasien dengan penyakit kronik. Self-efficacy
3 dapat membantu pasien stroke untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan
kegiatan sehari-hari (Hellstrom et al., 2003). Individu yang memiliki self-efficacy
tinggi akan mampu mengelola gejala, pengobatan, perubahan fisik, psikososial,
dan gaya hidup, sehingga dapat beradaptasi terhadap kondisinya (Lee et al.,
2010). Sebaliknya, individu yang memiliki self-efficacy rendah, cenderung
mengalami frustasi dan putus asa pada keadaannya (Hergenhahn dan Olson,
1997). Pada pasien stroke terjadi gangguan keseimbangan self-efficacy, sehingga
perlu adanya upaya untuk meningkatkan self-efficacy pasien stroke (Salbach et
al.,2006)
Penelitian Al-Khawaldeh et al., (2012), pada pasien Diabetes Melitus Tipe
2 menjelaskan bahwa self-efficacy dapat ditingkatkan melalui program
pendidikan. Pendidikan dalam keperawatan tidak hanya terdiri dari pelatihan
dalam
praktik
keperawatan,
namun
juga
memerlukan
pengembangan
pengetahuan, sikap positif, dan pemantauan terhadap perawatan diri. Supportive
educative adalah salah satu teori sistem keperawatan Orem et al., (2001) yang
merupakan kombinasi dari dukungan, bimbingan, penyediaan lingkungan, dan
pengajaran pada pasien yang membutuhkan bantuan dalam pengambilan
keputusan, mengontrol perilaku, serta untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilan perawatan diri. Supportive educative pernah dilaksanakan di
Thailand dalam bentuk work shop oleh Keeratiyutong et al., (2005) pada pasien
Diabetes Melitus Tipe 2. Hasilnya sangat efektif dalam mengontrol penyakit
Diabetes Melitus Tipe 2 dan meningkatkan efikasi perawatan diri. Pelatihan
sejenis ini belum pernah dilakukan di Indonesia, terutama pada pasien stroke.
4 Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat di poli saraf RSUD Wates,
pasien stroke yang datang tidak mendapatkan edukasi tentang stroke dari perawat.
Perawat beranggapan bahwa, pemberian edukasi tentang stroke kepada pasien
merupakan tugas dokter. Oleh sebab itu, peneliti tertarik melakukan penelitian
dalam bentuk pendidikan kesehatan dengan menggunakan metode supportive
educative untuk meningkatkan self efficacy pasien stroke.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian
adalah: Bagaimana pengaruh pendidikan kesehatan supportive educative terhadap
self-efficacy pasien stroke ?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan supportive educative terhadap
self-efficacy pasien stroke.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat ilmiah
Penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai
pengelolaan faktor resiko hipertensi dalam mencegah stroke berulang dan
dapat menjadi rujukan atau acuan bagi peneliti lain.
5 2. Manfaat untuk masyarakat
Penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai cara
mengendalikan tekanan darah untuk mengelola faktor resiko hipertensi dalam
mencegah stroke berulang.
3. Manfaat bagi instasi yang diteliti
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi RSUD Wates dalam mencegah
kejadian stroke berulang melalui pendidikan kesehatan supportive educative.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang pengaruh pengaruh pendidikan kesehatan supportive
educative terhadap self-efficacy pasien stroke, sepengetahuan peneliti belum
pernah dilakukan. Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini,
antara lain:
1.
Keeratiyutawong et al.,(2005), Effectiveness of a Supportive-Educative
Program on Diabetic Control, Perceived Self-Care Efficacy, and Body Mass
Index in Persons with Type 2 Diabetes Mellitus. Penelitian ini dilakukan di
Thailand untuk melihat keefektifan program supportive educative terhadap
pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan
purposive sampling pada 3 rumah sakit berbeda. Program ini berupa satu hari
workshop dan pertemuan dalam 3 kelompok kecil. Hasilnya terbukti efektif
untuk meningkatkan kontrol terhadap diabetes, perceived self-care efficacy,
dan indeks massa tubuh pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Perbedaan dengan
6 penelitian ini, supportive educative digunakan untuk meningkatkan selfefficacy pasien stroke melalui pendidikan kesehatan di RSUD Wates,
Yogyakarta. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada teknik pengambilan
sampel yang menggunakan purposive sampling dan metode yang digunakan
adalah supportive educative.
2.
Kaur et al.,(2009), Evaluation of a ‘Supportive Educative Intervention’ on
Self Care in Patients with Bronchial Asthma. Penelitian ini dilakukan di India
untuk mengevaluasi program supportive educative terhadap pasien Asma
Bronkial. Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimental dengan
menggunakan kelompok kontrol. Teknik pengambilan sampel dilakukan
dengan random sampling. Perlakuan pada penelitian ini diberikan secara
manual dengan menggunakan booklet sebanyak 26 halaman. Hasilnya,
program ini bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan perawatan diri
pasien asma. Perbedaan dengan penelitian ini, supportive educative digunakan
untuk meningkatkan self-efficacy pasien stroke melalui pendidikan kesehatan
di RSUD Wates, Yogyakarta. Jenis penelitan yang akan peneliti gunakan
adalah pre-experimental design dengan model one group pretest-posttest tanpa
kelompok kontrol. Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling.
Persamaan dengan penelitian ini terletak pada metode yang digunakan adalah
supportive educative.
3.
Kauric-Klein (2011), Improving Blood Pressure Control in End Stage Renal
Disease (ESRD) Through a Supportive Educative Nursing Intervention.
Penelitian ini dilakukan pada 6 unit hemodialisis untuk meningkatkan kontrol
7 terhadap tekanan darah pada pasien hemodialisa. Jenis penelitian yang
digunakan adalah quasi eksperimental. Teknik pengambilan sampel dilakukan
dengan random sampling. Perlakuan pada penelitian ini diberikan dalam 2
tahap, yaitu tahap edukasi dan tahap dukungan pada setiap kunjungan
mingguan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara signifikan
supportive educative dapat menurunkan tekanan sistolik dan diastolik pasien
hemodialisa. Perbedaan dengan penelitian ini, supportive educative digunakan
untuk meningkatkan self-efficacy pasien stroke melalui pendidikan kesehatan
di RSUD Wates, Yogyakarta. Jenis penelitan yang akan peneliti gunakan
adalah pre-experimental design dengan model one group pretest-posttest.
Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling. Persamaan dengan
penelitian ini terletak pada metode yang digunakan, yaitu dengan
menggunakan supportive educative.
Download