anak usia sekolah adalah perio

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anak Usia Sekolah
2.1.1 Defenisi Anak Usia Sekolah
Menurut Wong (2013) anak usia sekolah adalah periode kehidupan antara
usia 6 tahun-12 tahun memiliki berbagai macam label, dimana masing-masing
label menggambarkan karakter penting pada setiap periode.
Menurut Gunarsa (2006) anak usia sekolah dasar adalah anak yang berusia 612 tahun, memiliki fisik lebih kuat mempunyai sifat individual serta aktif dan
tidak bergantung dengan orang tua. Banyak ahli menganggap masa ini sebagai
masa tenang atau masa latent, di mana apa yang telah terjadi dan dipupuk pada
masa-masa sebelumnya akan berlangsung terus untuk masa-masa selanjutnya.
2.1.2 Pertumbuhan Anak Usia Sekolah
Pertumbuhan pada anak usia 6 tahun meliputi: 1) Tinggi dan kenaikan berat
badannya lambat; 2) Berat 16-26,3 kg (35,5-58 pound); 3) Tinggi 106,7-122 cm
(42-48 inci); 4) gigi seri rahang bawah tengah tanggal; 5) lepasnya gigi pertama;
6) peningkatan ketrampilan secara bertahap; 7) aktivitas konstan; 8) sering
kembali menghisap jari; 9) lebih sadar tangan sebagai alat; dan 10) suka
menggambar, membentuk, mewarnai, dan penglihatan semakin matur.
Pertumbuhan pada anak usia 7 tahun meliputi: 1) tinggi mulai tumbuh
minimal 5 cm (2 inci) per tahun; 2) berat 17,7-30 kg (39-66,5 pon); 3) memiliki
tinggi rata-rata 112-130 cm (44-51 inci); 4) gigi seri tengah pada rahang atas dan
lateral gigi seri rahang bawah tanggal; 5) lebih berhati-hati dalam memilih
5
Universitas Sumatera Utara
penampilan; dan 6)
rahang mulai membesar untuk mengakomodasi gigi
permanen.
Pertumbuhan pada anak usia 8-9 tahun meliputi: 1) pertambahan tinggi 5 cm
(2 inci) per tahun; 2) berat badan 19,5-39,5 kg (43-87 pon); 3) tinggi badan 117142 cm (46-56 inci); 4) gigi seri lateral (rahang atas) dan gigi taring pada rahang
bawah tanggal; 5) selalu aktif bergerak, melompat, dan mengejar; 6) lancar dan
cepat dalam kontrol motorik halus; 7) menggunakan penulisan sambung; 8) sudah
bisa menggunakan pakaian dengan baik; 9) cenderung berlebihan, sulit untuk
tenang setelah bermain, lebih lentur; dan 10) pertumbuhan tulang lebih cepat dari
pada pertumbuhan ligamen.
Pertumbuhan pada anak usia 10-12 tahun meliputi: 1) berat badan 24,5-58 kg
(54-128 pounds); tinggi badan 127-162,5 cm (50-64 inci); 2) postur lebih mirip
dengan orang dewasa; 3) gigi akan tanggal dan cenderung perkembangan menjadi
baik (Kecuali gigi bungsu); 4) pada remaja putri, yang mengalami pubertas bentuk
tubuh sudah mulai terlihat; dan 5) pada remaja putra, pertumbuhan tinggi lambat;
dan berat badan cepat meningkat sehingga memungkinkan menjadi obesitas pada
periode ini.
2.1.3 Perkembangan Anak Usia Sekolah
2.1.3.1 Perkembangan Mental
Perkembangan mental pada anak usia 6 tahun meliputi: 1)
mengembangkan konsep bilangan; 2) dapat menghitung 13 uang receh; 3) dapat
membedakan pagi atau sore; 4) dapat mendefinisikan kegunaan objek umum
seperti garpu dan kursi; 5) mampu menaati beberapa perintah yang diberikan
secara bersamaan; 6) mampu membedakan tangan kanan dan kiri; 7) mampu
6
Universitas Sumatera Utara
membedakan yang cantik dan yang jelek dalam serangkaian gambar wajah; 8)
mampu menjelaskan objek dalam gambar bukan sekedar menyebutkan; dan 9)
mengikuti sekolah pertama kali.
Perkembangan mental pada anak usia 7 tahun meliputi: 1) dapat
memberitahu beberapa item yang hilang dari gambar; 2) peniru yang baik; 3)
dapat mengulangi 3 bilangan secara mundur; 4) mengetahui waktu, membaca
waktu hampir tepat;
5) menggunakan waktu untuk tujuan yang tepat; 6) bersekolah di kelas dua; 7)
lebih mekanik dalam membaca; dan 8) sering tidak berhenti di akhir kalimat,
melewati kata-kata seperti "itu", dan "dia".
Perkembangan mental pada anak usia 8-9 tahun meliputi: 1)
memberikan persamaan dan perbedaan antara dua hal dari ingatannya; 2) dapat
menghitung mundur dari 20 sampai 1; 3) memahami konsep reversibilitas; 4)
dapat mengulangi hari dalam minggu dan bulan sesuai urutan, mengetahui
tanggal; 5) menjelaskan benda-benda umum secara detail tidak hanya benda yang
mereka gunakan; 6) bersekolah di kelas tiga dan empat; 7) lebih sering membaca;
8) berencana untuk bangun pagi hanya untuk membaca; 9) membaca buku-buku
klasik tapi juga menikmati komik; 10) lebih sadar waktu, dapat diandalkan untuk
sampai ke sekolah tepat waktu; 11) dapat memahami konsep-konsep dari bagian
dan keseluruhan; 12) Memahami konsep ruang, sebab dan akibat; 13)
menggolongkan objek dengan lebih dari satu fungsi; menghasilkan lukisan atau
gambar yang sederhana.
Perkembangan mental pada anak usia 10-12 tahun meliputi: 1) dapat
menulis laporan singkat suatu kejadian; 2) bersekolah dikelas 5 hingga kelas 7; 3)
7
Universitas Sumatera Utara
menulis surat-surat pendek sesekali ke teman atau kerabat atas inisiatif sendiri; 4)
menggunakan telepon untuk tujuan praktis; 5) merespon majalah, radio, atau iklan
lainnya; dan 6) membaca cerita atau buku perpustakaan, misalnya tentang
petualangan, cerita romantis atau cerita binatang untuk informasi praktis atau
untuk kesenangan sendiri.
2.1.3.2 Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif pada anak usia 6 tahun meliputi: 1) Di meja,
menggunakan pisau untuk mengoleskan mentega atau selai pada roti; 2) Bermain,
menggunting, melipat, menempel kertas; 3) mampu menjahit secara kasar; 4)
mampu mandi secara mandiri; 5) tidur sendirian; 6) dapat mengulang kembali
informasi dari memori; 7) menyukai papan permainan, seperti catur dan
permainan kartu sederhana; 8) sering cekikikan, kadang-kadang mencuri uang
atau benda-benda menarik; 9) sering tidak mengakui kesulitan kelakuan buruk;
dan 10) melakukan sesuatu diluar kemampuannya.
Perkembangan kognitif pada anak usia 7 tahun meliputi: 1)
menggunakan pisau untuk memotong daging, membutuhkan bantuan untuk
pekerjaan susah; dan 2) bisa menyisir rambut tanpa bantuan; suka membantu;
keras kepala.
Perkembangan kognitif pada anak usia 8-9 tahun meliputi: 1) bisa
menggunakan alat-alat umum seperti palu, gergaji, obeng; 2) menggunakan
peralatan rumah tangga dan memperbaiki perabot; 3) membantu
tugas rutin
rumah tangga seperti membersihkan debu, menyapu; 4) bertanggung jawab dalam
pekerjaan rumah tangga; 5) membeli yang berguna, latihan beberapa pilihan
dalam melakukan pembelian; 6) mengerjakan tugas yang berguna; 7) menyukai
8
Universitas Sumatera Utara
majalah bergambar; 8) menyukai sekolah, ingin menjawab semua pertanyaan; 9)
takut tidak naik kelas, malu memiliki nilai buruk; 10) lebih kritis kepada diri
sendiri; dan 11) mengikuti pelajaran musik dan olah raga.
Perkembangan kognitif pada anak usia 10-12 tahun seperti: 1) membuat
alat yang berguna dan mempermudah pekerjaan; 2) memasak sesuatu yang
sederhana; 3) memelihara hewan peliharaan; 4) mencuci dan mengeringkan
rambut sendiri; 5) bertanggung jawab dalam melakukan suatu pekerjaan, seperti
mencuci rambut sendiri, tetapi masih perlu diingatkan untuk melakukannya; 6)
kadang-kadang ditinggalkan sendirian di rumah untuk satu jam atau lebih; 7)
berhasil dalam menjaga kebutuhan diri sendiri atau beberapa anak lain yang
dipercayakan padanya untuk dijaga.
2.1.3.3 Perkembangan Psikososial
Perkembangan psikososial pada anak usia 6 tahun meliputi: 1) dapat
berbagi dan bekerja sama lebih baik; 2) memiliki kebutuhan besar sesuai anak; 3)
akan menipu untuk menang; 4) sering bermain kasar; 5) sering cemburu pada
adik atau saudara; 6) melakukan apa yang dilihatnya dari orang dewasa; 7)
memiliki temperamen lebih membanggakan; 8) lebih mandiri, mungkin
merupakan pengaruh sekolah; dan 9) memiliki cara sendiri dalam melakukan
sesuatu meningkatkan sosialisasi.
Perkembangan psikososial pada anak usia 7 tahun meliputi: 1) menjadi
anggota keluarga yang baik; 2) mengambil bagian dalam kelompok bermain; 3)
anak laki-laki lebih suka bermain dengan anak laki-laki, anak perempuan lebih
suka bermain dengan anak perempuan; 4) menghabiskan banyak waktu sendirian;
dan 5) tidak memerlukan banyak persahabatan.
9
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan psikososial pada anak usia 8-9 tahun meliputi: 1) betah
berada di rumah; 2) suka diberi imbalan untuk sesuatu yang telah dilakukan ; 3)
suka melebih-lebihkan;
4) lebih ramah; 5) lebih baik dalam berperilaku; 6)
tertarik pada lawan jenis tapi tidak menjalani hubungan serius; 7) sering keluar
rumah sendiri atau dengan teman-temannya; 8) suka bersaing dan bermain game;
9) menunjukkan kehebatan pada teman-teman dan kelompok; 10) bermain dengan
teman sesama jenis, tetapi mulai bermain dengan teman lawan jenis; 11)
membandingkan diri dengan orang lain; dan 12) menikmati organisasi, klub, dan
kelompok olahraga.
Perkembangan psikososial pada anak usia 10-12 tahun meliputi: 1)
mencintai teman; 2) sering berbicara tentang mereka; 3) lebih selektif dalam
memilih teman; 4) kemungkinan memiliki sahabat menikmati percakapan
ketertarikan terhadap lawan jenis mulai berkembang; 5) lebih pandai, keluarga
sangat berarti menyukai ibu dan ingin menyenangkannya dengan berbagai cara
menunjukkan kasih sayang; 6) menyukai, mengagumi dan mengidolakan ayah;
dan 7) menghormati orangtua.
2.2 Penyakit Kronis pada Anak Usia Sekolah
2.2.1 Defenisi penyakit kronis
Menurut Vickers (2008), penyakit kronis didefenisikan sebagai suatu keadaan
sakit, atau ketidakmampuan baik itu psikis, kognitif dan emosi, dan berlangsung
minimal 6 bulan yang memerlukan intervensi medis terus-menerus untuk merawat
episode akut atau masalah kesehatan yang timbul berulang. Menurut Boyse et al.,
(2008) penyakit kronis adalah masalah kesehatan yang berlangsung selama lebih
dari 3 bulan, yang memengaruhi aktifitas normal anak, sering mengalami
10
Universitas Sumatera Utara
hospitalisasi, dan memerlukan tindakan medis yang lebih luas serta memerlukan
peralatan di rumah.
Penyakit kronis terbagi 2 yaitu penyakit kronis infeksi dan non infeksi.
Penyakit kronis non infeksi adalah suatu keadaan sakit yang tidak menular dan
berlangsung minimal 6 bulan yang memerlukan intervensi medis terus menerus
(Vickers, 2008). Contoh penyakit kronis non infeksi adalah penyakit jantung
bawaan, kegagalan jantung kongestif, distrimia jantung, hyperlipidemia, diabetes,
hiperplasia adrenal kongenital, short bowel syndrome, atresia bilier, celiac
disease, sickle cell anemia, thalassemia, aplastic anemia, hereditary anemias,
hemophilia, defisiensi imun, penyakit ginjal, cerebral palsy, ataxia telangiectasia,
distrofi otot, seizure disorder, traumatic brain injury, tumor otak, leukemia,
limfoma, solid tumors, bone tumors, rare tumors, dan asma.
2.2.2 Masalah yang terjadi pada anak dengan penyakit kronis
Peyakit kronis adalah suatu kondisi yang berlangsung lama atau perlahanlahan, menunjukkan perubahan yang sedikit, dan sering mengganggu fungsi
sehari-hari. Setiap jenis penyakit kronis membutuhkan manajemen yang berbeda
sesuai dengan proses penyakit dan kemampuan anak dan keluarga untuk
memahami dan mematuhi aturan dalam pengobatan. Semua masalah kesehatan
kronis menyebabkan masalah bagi anak dan keluarga, antara lain: 1)
Kekhawatiran keuangan, seperti biaya untuk perawatan, biaya hidup di fasilitas
pelayanan kesehatan yang jauh, pengasuh yang menjaga anak kehilangan
pekerjaan karena tidak bekerja akibat harus menemani anak di pelayanan
kesehatan, 2) Mengurus perawatan dan obat-obatan di rumah, 3) Menganggu
kehidupan keluarga, seperti liburan, tujuan keluarga, karir, 4) Mengganggu
11
Universitas Sumatera Utara
pendidikan anak, 5) Isolasi sosial karena kondisi anak, 6) Adaptasi keluarga
karena akibat penyakit kronis, 7) Reaksi saudara kandung, 8) Stres antara
pengasuh, 9) Rasa bersalah dan penerimaan kondisi penyakit kronis, dan 10)
Pengganti pengasuh anak ketika anggota keluarga yang biasa mengasuh anak
tidak dapat lagi memberikan perawatan.
2.2.3 Dampak yang terjadi pada anak akibat penyakit kronis
Anak dengan penyakit kronis mungkin menghadapi banyak masalah yang
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan normal. Misalnya, anak usia
sekolah yang harus immobilisasi selama tahap pengobatan merasa rendah diri
karena tidak dapat menyelesaikan tugas-tugasnya, seperti membantu pekerjaan
rumah tangga atau kegiatan lain dengan saudara atau teman sebaya. Sikap anak
terhadap kondisi adalah elemen penting dalam pengelolaan jangka panjang dan
penyesuaian keluarga. Tanggapan anak dengan kondisi kronis dipengaruhi oleh
respon dari anggota keluarga keluarga. Beberapa tanggapan yang khas telah
diidentifikasi: perlindungan berlebihan, penolakan, dan penerimaan secara
bertahap (Hatfield et al., 2007).
Anggota keluarga yang bereaksi dengan memberikan perlindungan yang
berlebihan mencoba untuk melindungi anak di semua hal: mereka membatasi,
sehingga mencegah anak dari belajar keterampilan baru; mereka gagal untuk
menggunakan disiplin; dan mereka menggunakan segala cara untuk mencegah
anak mengalami frustrasi apapun. Anggota keluarga yang berada dalam tahap
penolakan menjauhkan diri secara emosional dari anak. Meskipun mereka
memberikan perawatan fisik, mereka cenderung memarahi dan mengkoreksi anak
terus menerus. Anggota keluarga yang berada dalam tahap penolakan merasa
12
Universitas Sumatera Utara
seolah-olah kondisi kritis tidak ada, dan mereka mendorong anak untuk
mengkompensasi segala ketidakmampuan secara berlebihan. Anggota keluarga
yang berada pada tahap penerimaan berekasi biasa terhadap kondisi anak, mereka
membantu anak untuk menentukan tujuan yang realistis untuk perawatan diri dan
kemandirian, daan mendorong anak untuk mencapai keterampilan sosial dan fisik
sesuai kemampuannya (Hatfield et al., 2007).
Anak-anak sering menganggap penyakit yang dialaminya sebagai hukuman
karena memiliki pikiran atau tindakan yang buruk. Persepsi anak tentang penyakit
kronis yang dialaminya
tergantung pada tahap perkembangan anak saat
didiagnosis. Persepsi ini juga dipengaruhi oleh sikap orang tua dan teman sebaya
dan bagian tubuh mana yang mengalami disfungsi yang terlihat. Masalah seperti
asma, alergi, dan epilepsi sulit dimengerti oleh anak-anak karena masalahnya
berada di dalam tubuh, bukan di luar (Hatfield et al., 2007).
Keluarga, teman sebaya, dan teman sekolah anak merupakan pemberi
dukungan yang dapat mempengaruhi anak dalam beradaptasi. Kadang-kadang,
akibat upaya dan waktu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan fisik anak
begitu besar, anggota keluarga dan system pendukung lainnya mengalami
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan emosional anak. Anak yang lebih tua
dengan penyakit kronis juga telah mengalami perkembangan kebutuhan seksual
yang tidak boleh diabaikan tetapi harus diakui dan disediakan. Tekanan tambahan
terus terjadi selama proses penyakit berlangsung. Misalnya, penyakit Hodgkin
dapat berhasil diobati dengan kemoterapi dan terapi radiasi, tetapi hal ini
menimbulkan efek samping dari pengobatan (steroid-induced acne, edema, dan
alopecia) seperti berkeringat malam, kelelahan kronis, pruritus, dan perdarahan
13
Universitas Sumatera Utara
gastrointerstinal. Anak dengan Duchenne muscular dystrophy mengalami
kelemahan secara bertahap, sehingga pada masa remaja anak harus menggunakan
kursi
roda,
ketika
teman-teman
yang
aktif
melakukan
olahraga
dan
mengeksplorasi hubungan seksual (Hatfield et al., 2007).
Beberapa perawatan akan membuat anak-anak takut atau merasa kesakitan
sehingga menimbulkan trauma pada dirinya. Oleh karena itu, diperlukan perhatian
lebih besar dari keluarga untuk mengatasinya (Boyse et al., 2012). Anak usia
sekolah dapat merasa khawatir karena pembatasan, kebutuhan pengobatan dan
disabilitas yang terlihat nyata yang berhubungan dengan kondisi mereka yang
dapat membuat mereka berbeda dari teman sebayanya. Keterbatasan yang dibawa
kondisi kronis tersebut dapat bertentangan dengan kebutuhan meningkatkan
kemandirian dan hal ini dapat mengganggu hubungan dengan teman sebaya
(Rudolph, 1999).
Kesulitan penyesuaian dan perilaku diantara anak yang menderita penyakit
kronis adalah sekitar dua kali lebih sering dibandingkan pada anak sehat semua
usia. Berdasarkan penelitian pada anak dengan kondisi kronis adalah anak yang
paling mungkin menunjukkan keadaan rendah diri, ansietas, depresi serta
penarikan diri secara sosial (Rudolph, 1999). Diskriminasi dapat dialami oleh
anak dan keluarga dengan penyakit kronis. Diskriminasi dapat terjadi dalam
hubungan antara anak-anak, dan pengucilan sosial pada anak dengan penyakit
kronis biasa terjadi. Hambatan fisik dapat menimbulkan masalah dan keluarga
harus berjuang dalam membantu anak untuk mengatasinya. Kadang-kadang
diskriminasi menyakitkan adalah hal sederhana seperti ditatap banyak orang di
tempat umum (Hatfield et al., 2007).
14
Universitas Sumatera Utara
2.3 Hospitalisasi pada Anak Usia Sekolah
2.3.1 Defenisi Hospitalisasi
Hospitalisasi anak merupakan suatu proses yang karena suatu alasan tertentu
mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan
sampai pemulangannya kembali kerumah (Supartini, 2004). Menurut Wong
(2013) hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan
dirawat di rumah sakit. Hospitalisasi juga dapat diartikan adanya beberapa
perubahan psikis yang dapat menjadi sebab anak dirawat di rumah sakit (Stevens,
1999).
Hospitalisasi hampir secara universal mengakibatkan stress karena berbagai
faktor yang berkaitan dengan stress perpisahan, perubahan rutinitas, kondisi tidak
familiar dengan orang dan lingkungan, ketakutan dengan nyeri yang berhubungan
dengan keadaan sakit dan pengobatannya (Rudolph, 1999).
2.3.2 Perilaku Maladaptif Anak Usia Sekolah selama Hospitalisasi
Salah satu bentuk kecemasan anak usia sekolah akibat hospitalisasi adalah
perpisahan dengan orang tua dan teman sebaya. Hal-hal yang menunjukkan
kecemasan akibat perpisahan, serta rasa takut lainnya yaitu dengan anak merasa
kesepian, bosan, isolasi, menarik diri, depresi, marah, frustasi dan bermusuhan.
Sedangkan mekanisme pertahanan diri yang digunakan yaitu regresi mengacu
pada kecenderungan untuk kembali pada tahap perilaku yang lebih dini dan lebih
primitif (Wong, 2013).
Anak usia sekolah mengalami stress selama hospitalisasi akan menunjukkan
ciri-ciri yang maladaptif yaitu anak menjadi tidak kooperatif, tidur tidak nyenyak,
15
Universitas Sumatera Utara
tidak mau makan serta mungkin ditunjukkan dengan reaksi regresi yang
diekspresikan secara verbal maupun non verbal (Wong, 2013).
Biasanya anak juga menanggapi perawatan dirumah sakit dengan reaksi
misalnya menjerit-jerit, mengompol atau perilaku lain yang lebih pantas untuk
tahap usia yang lebih awal. Namun bentuk perilaku ini menunjukkan bukannya
kerewelan yang harus ditangani dengan tegas tetapi kecemasan yang
membutuhkan kesabaran dan pengertian (Mc Gie, 2003). Karena perawat
biasanya terlibat sejak tahap awal diagnosis, dan anak serta keluarga
membutuhkannya secara berkelanjutan dalam jangka waktu lama, maka perawat
memiliki peran penting dalam membantu keluarga menyesuaikan diri dengan
kondisi yang sedang terjadi (Hatfield et al., 2007).
2.4 Studi Fenomenologi
Riset fenomenologi didasarkan pada falsafah fenomenologi yang didukung
oleh Edmen Husserl. Husserl menyatakan bahwa “makna” merupakan
pengalaman pribadi yang dapat dibagikan atau disampaikan kepada orang lain
secara objektif dan diambil intinya saja agar orang lain lebih dapat memahami.
Seorang fenomenolog memiliki keyakinan bahwa kebenaran utama tentang
realitas didasarkan pada pengalaman hidup seseorang. Penelitian fenomenologi
berusaha untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu hal atau
sejumlah situasi (Polit & Beck, 2012).
Fenomenologi adalah suatu ilmu yang memiliki tujuan untuk menjelaskan
fenomena dalam bentuk pengalaman hidup. Penggunaan desain penelitian
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi bertujuan untuk memperoleh data
yang lebih komprehensif, mendalam, credible dan bermakna. Selain itu,
16
Universitas Sumatera Utara
pendekatan fenomenologi ini bertujuan untuk memahami respon seluruh manusia
terhadap suatu atau sejumlah peristiwa dan memberikan gambaran terhadap
makna sebuah pengalaman yang dialami beberapa individu dalam situasi yang
dialami. Pendekatan fenomenologi digunakan ketika sedikit sekali definisi atau
konsep terhadap suatu fenomena yang akan diteliti. Fenomenologi berfokus pada
apa yang dialami oleh manusia pada beberapa fenomena dan bagaimana mereka
menafsirkan pengalaman tersebut. Penelitian dalam pandangan fenomenologis
berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang
berada dalam situasi tertentu. Tujuan penelitian fenomenologi sepenuhnya adalah
untuk menggambarkan pengalaman hidup dan persepsi yang muncul (Polit &
Beck, 2012).
Didalam studi fenomenologi ini, hal-hal yang akan ditanyakan telah
terstruktur, telah ditetapkan sebelumnya secara rinci (structured interview) antara
peneliti
dan
partisipan
dimana
peneliti
membantu
partisipan
untuk
menggambarkan pengalaman hidupnya tanpa adanya suatu diskusi. Melalui
perbincangan yang cukup dalam peneliti berusaha untuk menggali informasi
sebanyak mungkin dari partisipan (Polit & Beck, 2012).
Dalam studi fenomenologi, jumlah partisipan yang terlibat tidaklah banyak.
Jumlah partisipan dari penelitian ini adalah 10 orang atau lebih sedikit (Polit &
Beck, 2012). Partisipan yang terlibat dalam penelitian akan dipilih dengan
menggunakan teknik purposive sampling. Dalam hal ini, partisipan harus
memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti (Polit & Beck,
2012).
17
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian dalam studi fenomenologi diperoleh melalui proses analisis
data. Fenomenologist dalam proses analisis data yang terkenal adalah Collaizi,
Giorgi dan Van Kaam. Ketiga tokoh tersebut berpedoman pada filosofi Husserl
yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena (Polit
& Beck, 2012). Colaizzi (1978, dalam Polit & Beck 2012) menyatakan bahwa ada
tujuh langkah yang harus dilalui untuk menganalisa data. Proses analisa tersebut
meliputi: 1) membaca semua transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan
mereka, 2) meninjau setiap transkrip dan menarik pernyataan yang signifikan, 3)
menguraikan arti dari setiap pernyataan yang signifikan, 4) mengelompokkan
makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema, 5) mengintegrasikan
hasil kedalam bentuk deskripsi, 6) memformulasikan deskripsi lengkap dari
fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan setegas mungkin, dan 7)
memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai tahap validasi
akhir .
Menurut Lincoln & Guba (1985, dalam Polit & Beck 2012) untuk
memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya (trustworthiness) maka data
divalidasi
dengan
beberapa
kriteria,
seperti
Credibility,
Confirmability,
Dependability, dan. Transferability.
Credibility (uji tingkat kepercayaan) merupakan kriteria untuk memenuhi
nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan dengan melakukan
member checking dan prolonged engangement.
Confirmability pada penelitian ini dilakukan dengan memeriksa seluruh
transkrip wawancara dan tabel analisis tema kepada ahli di kualitatif. Dalam hal
ini dilakukan oleh pembimbing yang merupakan pakar penelitian kualitatif.
18
Universitas Sumatera Utara
Kemudian peneliti menentukan tema dari hasil penelitian dalam bentuk matriks
tema.
Dependability merupakan kriteria yang digunakan untuk menilai kualitas
dari proses yang peneliti lakukan. Dalam penelitian ini, beberapa catatan yang
dapat digunakan untuk menilai kualitas dari proses penelitian adalah data mentah
yang diperoleh melalui pengumpulan transkrip-transkrip wawancara, hasil analisa
data, membuat koding-koding (pengkodean), dan draft hasil laporan penelitian
untuk menunjukkan adanya kesimpulan yang ditarik pada akhir penelitian.
Transferability mengacu pada sejauh mana hasil penelitian dapat
diterapkan dalam situasi atau kelompok yang lain. Kriteria ini digunakan untuk
melihat bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks (setting) tertentu
dapat ditransfer ke subjek lain yang memiliki karakteristik yang sama.
19
Universitas Sumatera Utara
Download