tuntunan

advertisement
REPUBLIKA
tuntunan
JUMAT, 25 FEBRUARI 2011
4
Indahnya Persahabatan Sejati
Tak masuk
surga orang
yang memutuskan
silaturahim.
Oleh Yusuf Assidiq
M
erajut tali silaturahim
adalah kewajiban setiap Muslim. Hal ini
terkait dengan tuntunan untuk menjalin hubungan baik dengan
sesama manusia. Maka itu, agama Islam
sangat menjunjung tinggi terjalinnya persaudaraan atau pertemanan. Kemuliaan
menjadi milik mereka yang mampu membina
pertemanan, persaudaraan, dan persahabatan sejati.
Dalam persahabatan sejati, masingmasing merasa saling membutuhkan, bersedia memberi bantuan, dan senantiasa menasihati satu sama lain. Relasi semacam ini
diyakini menjadi pintu gerbang bagi terwujudnya akhlak yang baik. Dalam konteks ini,
Allah SWT dalam Surah al-Hujurat ayat 1012 menetapkan jenis persahabatan.
Yakni, meliputi saudara seagama serta
saudara sesama manusia. Cendekiawan Muslim, Imam al-Ghazali, lantas menekankan
pada persahabatan yang berlandaskan
agama. Menurut ulama besar ini, persahabatan semacam itu terjadi karena memang
diinginkan dan dimaksudkan.
“Pahala hanya terdapat pada perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja serta atas
dasar keinginan,” paparnya pada buku
Terampil Bersahabat dengan Siapa Saja.
Menurut Nabi Muhammad, seseorang yang
bersahabat karena Allah maka dia akan
masuk ke dalam golongan yang dinaungi
Allah pada hari tiada naungan selain
naungan-Nya.
Oleh karena itu, tujuan dari persahabatan
jenis ini tidak lagi sebatas dunia, tetapi menjangkau akhirat. Sehingga tak salah jika
ulama kontemporer Syekh Yusuf al-Qaradhawi mengingatkan agar seseorang jangan
mudah merusak hubungan persahabatan dan
persaudaraan tersebut.
Masing-masing Muslim diminta menjaga
sikap, perilaku, atau perkataan yang bisa
menyinggung perasaan dan berujung pertikaian. Ia bahkan menegaskan, haram hukumnya seorang Muslim berlaku kasar terhadap teman dan saudaranya. Atau lebih
jauh lagi, memutuskan hubungan persaudaraan itu hingga ia menjauhi saudaranya
KUMORO DEWATA SARI/REPUBLIKA
itu.
Dalam bukunya yang berjudul Halal dan
Haram, al-Qaradhawi mengutip sebuah
hadis Rasulullah, “Tidak masuk surga orang
yang memutuskan.” (HR Bukhari). Sebagian
ulama termasuk al-Qaradhawi menafsirkan
kata memutus itu bermakna memutuskan
silaturahim. Inilah yang harus dihindari.
Sebaliknya, seorang Muslim dituntut
untuk bersatu dan tidak berselisih. Meski
diakui dalam pergaulan sehari-hari seringkali muncul dinamika yang membuat hubungan persahabatan dan persaudaraan
menjadi renggang. Kemarahan atau rasa
kesal bisa tak terhindarkan. Islam menyadari
masalah ini dan sekaligus memberi panduan.
Al-Qaradhawi mengungkapkan, pada
dasarya Islam tak memperkenankan seorang
Muslim menjauhi sahabatnya, kecuali dalam
batas tiga hari. Maksudnya, agar dalam
kurun waktu itu kemarahan kedua pihak
sudah mereda. Begitu selesai masa tiga hari
itu, masing-masing pihak wajib berusaha
memperbaiki hubungan dan menjernihkan
suasana.
“Kedua Muslim ini hendaknya segera
mengatasi perasaan-perasaan congkak,
benci, ataupun permusuhan agar hubungan
baik kembali terjalin,” kata al-Qaradhawi.
Ini sesuai sabda Rasulullah, tidak halal bagi
seorang Muslim menjauhi kawannya lebih
dari tiga hari.
Jika telah lewat waktu tiga hari itu, Muslim didorong untuk berbicara dengan sahabatnya dan memberi salam. Dalam hadis
yang diriwayatkan Abu Daud, Rasulullah
menyatakan jika sahabatnya itu sudah menjawab salam, kedua orang tersebut mendapatkan pahala.
Sementara itu, bagi mereka yang sengaja
memutuskan hubungan, akan terhalang
memperoleh pengampunan dosa serta rah-
mat Allah. Hadis riwayat Muslim menyebutkan, ampunan kepada mereka bakal ditangguhkan sebelum keduanya berdamai. Lantas
bagaimana jika sahabat yang diberi salam
tak membalasnya?
Lebih jauh, Rasul mengatakan bahwa
orang itu akan menanggung dosa. Sedangkan
orang yang memberi salam, telah keluar dari
dosa. Menjauhi sahabat, pernah dilakukan
Rasulullah, namun itu demi meneguhkan
kecintaan kepada Allah. Beliau menjauhi
tiga orang sahabatnya yang tidak mau ikut
dalam Perang Tabuk selama 50 hari.
Mereka merasa kebingungan dan tak
seorang pun yang mau bergaul dengannya.
Sampai kemudian turun ayat yang menerima tobat mereka. Adapun menjauhi sahabat
hanya karena kepentingan duniawi, sambung Mahmud al-Mishri dalam buku
Ensiklopedi Akhlak Muhammad tentu tidak
dibenarkan. n ed: ferry kisihandi
ensiklopedi
Hadis dan Periode
Perkembangannya
ejumlah definisi dinisbahkan
pada hadis. Ahli hadis mengatakan, hadis adalah segala
ucapan, perbuatan, dan
keadaan Nabi Muhammad SAW atau
segala berita dari Muhammad berupa
ucapan, perbuatan, taqrir (peneguhan
kebenaran dengan alasan) maupun
deskripsi sifat-sifat nabi.
Sedangkan, ahli usul fikih menyebutkan bahwa hadis merupakan segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Rasulullah
yang bersangkut paut dengan hukum.
Menurut Ensiklopedi Islam, perkembangan hadis melalui beberapa periode.
Periode pertama adalah masa wahyu dan
pembentukan hukum serta dasardasarnya. Pada masa ini, Muhammad
hidup di tengah masyarakat.
Ketika itu Muhammad memerintahkan
sahabatnya menuliskan setiap wahyu
yang turun. Secara bersamaan, ia
melarang menulis hadis. Tujuannya agar
semua potensi diarahkan pada Alquran.
Namun, keinginan para sahabat mencatat hadis tak bisa dibendung. Hal ini
disebutkan oleh Anas bin Malik.
Lalu, ada yang disebut periode kedua.
Dikenal pula dengan periode membatasi
hadis dan menyedikitkan riwayat, yaitu
pada masa empat khalifah, Abu Bakar
as-Sidiq, Umar bin Khattab, Usman bin
Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Permasalahan yang sangat menarik perhatian di masa itu adalah soal ketatanegaraan dan kepemimpinan umat. Dua soal
selain penyebaran Islam. Situasi politik
dan perpecahan berimbas pada penyebaran hadis. Maka itu, Abu Bakar dan Umar
mengingatkan kepada umat Islam untuk
mencermati hadis yang mereka terima.
Sedangkan, periode ketiga disebut
juga penyebaran riwayat ke kota-kota
yang berlangsung pada era sahabat kecil
dan tabiin besar. Ini terkait dengan
penaklukan tentara Islam terhadap
Suriah, Irak, Mesir, Persia, Samarkand,
serta Spanyol yang menyebabkan mere-
S
ka menyebar ke wilayah baru itu untuk
mengajarkan Islam.
Pada perkembangan selanjutnya, seorang sahabat yang mendengar sebuah
riwayat yang belum pernah didengarnya,
akan berkunjung ke wilayah seorang sahabat yang disebut meriwayatkan hadis itu.
Periode keempat dinamakan periode
penulisan dan kodifikasi secara resmi
yang berlangsung dari masa Khalifah
Umar bin Abdul Aziz (717-720 Masehi).
Semuanya bermula dari keprihatinan
Khalifah karena semakin berkurangnya
penghafal hadis karena meninggal dunia.
Dia mengirimkan surat kepada gubernur-gubernurnya untuk menuliskan hadis
yang berasal dari penghafal dan ulama di
tempatnya masing-masing. Kebijakan ini
tercatat sebagai kodifikasi pertama
hadis secara resmi.
Periode kelima adalah pemurnian,
penyehatan, dan penyempurnaan. Hal ini
berhubungan dengan upaya membedakan antara hadis dan fatwa para sahabat serta adanya fenomena pemalsuan
hadis. Periode keenam dinamakan
pemeliharaan, penertiban, penambahan,
dan penghimpunan.
Para ulama hadis pada masa ini,
berlomba menghafal sebanyak-banyaknya
hadis yang sudah dikodifikasi. Hingga
kemudian muncul bermacam-macam
gelar keahlian dalam ilmu hadis, seperti
al-Hakim dan al-Hafiz. Mereka juga fokus
pada perbaikan susunan kitab hadis dan
mengumpulkan hadis pada kitab sebelumnya ke dalam kitab yang lebih besar.
Pada periode ketujuh, aktivitasnya melanjutkan periode sebelumnya. Penghancuran Baghdad, Irak, sebagai pusat pemerintahan Abbasiyah oleh Hulagu Khan
menggeser kegiatan di bidang hadis ke
Mesir dan India. Cara penyampaian hadis
pun berbeda. Kadang-kadang berupa
pemberian izin oleh seorang guru kepada
murid untuk meriwayatkan hadis dari
guru itu yang dinamakan dengan ijazah.
n ferry kisihandi
HARGA:
HA
RGA: R
Rp.
p. 110.000,110.0
000,-
Download