BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini terbagi atas dua sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai konsep diri yang terdiri dari definisi konsep diri, faktor-faktor yang memengaruhi konsep diri, dimensi-dimensi konsep diri serta konsep diri positif dan konsep diri negatif. Sub bab kedua membahas mengenai penerimaan kelompok teman sebaya remaja panti asuhan yang terdiri dari definisi penerimaan kelompok teman sebaya, faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan kelompok teman sebaya, karakteristik individu yang diterima dan diabaikan oleh teman sebaya, aspek-aspek penerimaan kelompok teman sebaya serta remaja yang tinggal di panti asuhan. Pada bahasan mengenai remaja yang tinggal di panti asuhan dijabarkan definisi remaja dan ciri-ciri remaja A. Konsep Diri 1. Definisi Konsep Diri Konsep diri merupakan bagaimana cara seseorang memandang dirinya secara keseluruhan (Atwater, 1983). Santrock (2007) mendefinisikan konsep diri sebagai evaluasi seseorang mengenai dirinya pada bidang-bidang tertentu. Self merupakan segala sesuatu yang dapat dikatakan orang lain tentang diri seorang individu, bukan hanya mengenai tubuh dan keadaan fisik individu itu sendiri, melainkan juga mengenai anak, istri atau suami, rumah, pekerjaan, nenek moyang, teman-teman, milik, uang dan lain-lain (William James dalam Hutagalung, 2007). Dalam membahas konsep diri, tidak dapat mengabaikan relasi antar manusia, 12 13 bahwa manusia itu “ada” melalui hubungan yang dijalin dengan individu lain melalui cinta, harapan dan kepercayaan (Gabriel Marcel dalam Hutagalung, 2007). Cooley (dalam Watson, Borlall-Tregerthan, & Frank, 1984) dalam teorinya yang disebut “looking-glass self” mengatakan bahwa konsep diri merupakan refleksi dari penilaian orang lain terhadap diri seseorang. Seseorang akan membayangkan bagaimana dirinya terlihat di mata orang lain dan bagaimana orang lain menilai dirinya. Mead (dalam Burns, 1993) mengatakan bahwa konsep diri merupakan suatu obyek timbul didalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu tersebut mengenai bagaimana orang-orang lain bereaksi kepadanya. Konsep diri dapat dibagi menjadi dua, yaitu konsep diri sebenarnya dan konsep diri ideal. Konsep diri sebenarnya merupakan konsep diri seorang individu yang sebagian besar didapat dari persepsinya mengenai penilaian orang lain terhadap dirinya dan melalui peran dan hubungannya dengan orang lain. Konsep diri ideal merupakan gambaran individu mengenai keterampilan dan kepribadian yang diharapkan atau didambakan (Hurlock, dalam Hutagalung, 2007). Cara seseorang dalam mempersepsi dan memahami konsep diri bisa mengalami perubahan seiring dengan perubahan teknologi dan perubahan sosial. Hal ini dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Louis Zurcher kepada sejumah siswa dengan menggunakan tes 20 pernyataan dari Kuhn dan McPartland. Siswa tersebut diminta untuk menjawab pertanyaan mengenai “siapa aku” sebanyak 20 kali dan jawabannya dinilai menggunakan beberapa kategori dasar. Hasil yang ditemukan pada tahun 1950an adalah bahwa siswa tersebut mendefinisikan dirinya sesuai dengan diri sosialnya, seperti “aku adalah murid”, 14 “aku perempuan”, dan “aku adalah orang Amerika”. Pada tahun 1970an Zurcher kembali menemukan bahwa cara siswa dalam memahami konsep dirinya tidak lagi berdasarkan peran sosial, melainkan lebih kepada pernyataan individual seperti “aku sedang bahagia” dan “aku orang yang frustrasi” (Atwater, 1983). Dari banyak pengertian konsep diri yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan pada masing-masing tokoh dimana tokoh-tokoh tersebut mengungkapkan bahwa konsep diri merupakan cara seseorang menilai dirinya sendiri. Cooley (dalam Watson, Borlall-Tregerthan, & Frank, 1984) juga mengatakan hal yang sama dengan tokoh lainnya, namun penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri tersebut didasarkan pada bagaimana orang lain menilai dirinya. Mead (dalam Burns, 1993) mengatakan bahwa konsep diri timbul didalam interaksi sosial. Pengertian yang dipaparkan oleh Mead (dalam Burns, 1993) juga memiliki kesamaan dengan Cooley (dalam Watson, Borlall-Tregerthan, & Frank, 1984). Kedua tokoh tersebut sama-sama mengatakan bahwa seseorang menilai dirinya sendiri berdasarkan reaksi orang lain kepada dirinya. Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa konsep diri merupakan cara bagaimana individu menilai dirinya sendiri di mata orang lain dan bagaimana orang lain menilai dirinya yang akan dijadikan acuan seorang individu dalam berelasi dengan lingkungannya. 15 2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konsep Diri Menurut Hutagalung (2007), faktor-faktor yang memengaruhi konsep diri antara lain adalah sebagai berikut: a. Orang Lain Tidak semua orang berpengaruh dalam pembentukan konsep diri seseorang, yang paling berpengaruh adalah orang yang sangat penting bagi diri seseorang atau sering disebut significant others. Saat individu kecil, orang yang menjadi significant others adalah orangtua dan saudara, dimana konsep diri seorang anak terbentuk dari orangtua dan saudaranya. Seorang individu menilai dirinya positif ketika individu tersebut mendapatkan pujian, senyuman bahkan penghargaan, sedangkan individu menilai dirinya negatif ketika individu tersebut mendapatkan kecaman, cemoohan atau makian. Significant others bagi seseorang yang beranjak dewasa meliputi semua orang yang memengaruhi pikiran, perilaku dan perasaan seseorang. Pada masa ini juga individu menghimpun semua informasi mengenai penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengan individu tersebut, konsep ini dinamakan generalized others yang merupakan pandangan seseorang mengenai dirinya berdasarkan keseluruhan pandangan orang lain terhadap diri individu tersebut. b. Kelompok Acuan (reference group) Dalam kehidupan seorang individu sebagai masyarakat, tentunya individu tersebut menjadi anggota berbagai kelompok. Dalam sebuah kelompok tentunya ada nilai-nilai tertentu yang kelompok miliki, salah satu dari kelompok tersebutlah yang disebut kelompok acuan. Kelompok acuan ini membuat individu mengarahkan perilakunya sesuai dengan nilai-nilai yang dianut 16 kelompok tersebut. Kelompok acuan inilah yang kemudian memengaruhi konsep diri seseorang. Hurlock (1980) memaparkan kondisi-kondisi yang memengaruhi konsep diri remaja antara lain: a. Usia Kematangan Remaja yang matang lebih awal, yang diperlakukan seperti orang yang hampir dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Remaja yang matang terlambat, yang diperlakukan seperti anak-anak, merasa salah dimengerti dan bernasib kurang baik sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri. b. Penampilan Diri Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri, Sebaliknya daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan sosial. c. Kepatutan Seks Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat, dan perilaku membantu remaja mencapai konsep diri yang baik. Ketidakpatutan seks membuat remaja sadar diri dan hal ini memberi akibat buruk pada perilakunya. d. Nama dan Julukan Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk atau bila teman-teman sekelompoknya memberi nama julukan yang bernada cemoohan. 17 e. Hubungan Keluarga Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang ini dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis, remaja akan tertolong untuk mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis seksnya. f. Teman-teman Sebaya Teman-teman sebaya memengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya dan kedua, remaja berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok. g. Kreativitas Remaja yang semasa kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan dalam tugas-tugas akademis mengembangkan perasaan individualitas dan identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya. Sebaliknya, remaja yang sejak awal masa kanak-kanaknya didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui akan kurang mempunyai perasaan identitas dan individualitas (Hurlock ,1980). h. Cita-cita Bila remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistik, remaja tersebut akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan dimana remaja tersebut menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realistik tentang kemampuannya lebih banyak mengalami keberhasilan daripada kegagalan. Ini akan menimbulkan 18 kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih besar yang memberikan konsep diri yang lebih baik. Pemaparan faktor-faktor yang memengaruhi konsep diri menurut Hurlock (1980) menurut peneliti memiliki hubungan dengan yang disampaikan oleh Hutagalung (2007). Hurlock (1980) menyebutkan bahwa salah satu kondisi yang memengaruhi konsep diri remaja adalah teman-teman sebaya. Hal ini berkaitan dengan faktor yang diungkapkan oleh Hutagalung (2007) yang menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi konsep diri adalah orang lain dan kelompok acuan. Orang lain di sini adalah orang yang penting bagi individu dan bagi remaja orang yang penting adalah teman sebaya yang menurut peneliti merupakan tempat remaja mencari pengalaman dalam berinteraksi, demikian juga dengan kelompok acuan dimana didalam kelompok acuan tentunya juga terdapat teman-teman sebaya. Pramawaty dan Hartati (2012) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pada pola asuh orangtua yang demokratis banyak ditemukan anak dengan konsep diri positif, sedangkan pada pola asuh otoriter dan permisif banyak ditemukan anak dengan konsep diri negatif. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hutagalung (2007) yang menyatakan bahwa faktor orang lain yaitu orangtua memberikan pengaruh pada konsep diri seseorang. Pola asuh yang berbeda dari satu orangtua dengan orangtua lainnya dapat membentuk konsep diri yang berbeda juga pada anaknya. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi konsep diri antara lain adalah orang lain, kelompok acuan, usia kematangan, penampilan diri, kepatutan seks, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman-teman sebaya, kreativitas dan cita-cita. 19 3. Dimensi-Dimensi dalam Konsep Diri Fitts (dalam Burns, 1993) membagi dimensi konsep diri menjadi dua dimensi, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. a. Dimensi Internal Dimensi internal merupakan penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia didalam dirinya. Dimensi ini meliputi: 1. Diri Identitas (identity self) Merupakan aspek paling mendasar dari konsep diri yang mengacu pada pertanyaan “Siapakah saya?”. Didalam pertayaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan kepada diri oleh individu itu sendiri untuk membangun identitasnya. Bertambahnya usia dan interaksi dengan lingkungan menyebabkan pengetahuan individu mengenai dirinya bertambah sehingga dapat melengkapi keterangan dirinya dengan hal-hal yang lebih kompleks. Misalnya saat anak-anak individu hanya bisa mengatakan “Saya Santi”, seiring bertambahnya usia dan pengalaman berinteraksi, maka pengetahuan Santi mengenai dirinya bertambah menjadi “Saya Santi yang pintar melukis, tetapi badan saya pendek”. 2. Diri Pelaku (behavioral self) Diri pelaku ini adalah persepsi individu mengenai tingkah lakunya yang berisi segala kesadaran mengenai apa yang dilakukan oleh dirinya. 3. Diri Penerimaan atau Penilai (judging self) Diri penilai ini berfungsi sebagai pengamat, penentu standar dan evaluator. Diri penilai di sini menjadi jembatan antara diri identitas dan diri 20 pelaku. Diri penilai juga menentukan kepuasan seseorang akan dirinya atau seberapa jauh seseorang menerima dirinya. b. Dimensi Eksternal Dimensi eksternal merupakan bagaimana individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta halhal lain yang berada di luar dirinya. 1. Diri Fisik (physical self) Diri fisik merupakan persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik, antara lain adalah kesehatan dirinya, penampilan dirinya dan keadaan tubuhnya. 2. Diri Etik-moral (moral-ethical self) Diri etik-moral merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya yang meliputi batasan baik dan buruk. 3. Diri Pribadi (personal self) Diri pribadi merupakan persepsi seseorang mengenai keadaan dirinya yang tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana seseorang merasa puas akan dirinya dan sejauh mana seseorang tersebut merasa dirinya merupakan prbadi yang tepat (Fitts dalam Burns, 1993). 21 4. Diri keluarga (family self) Diri keluarga merupakan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini termasuk sejauh mana seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya sebagai anggota keluarga. 5. Diri sosial (social self) Diri sosial merupakan penilaian seseorang terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan sekitarnya. Strang (dalam Burns, 1993) membuatkan dalil bagi empat perspektif yang utama setelah menganalisa komposisi-komposisi yang tidak terstrukturisasikan dari remaja-remaja pada tema-tema tentang diri, yaitu: a. Konsep diri dasar, atau persepsi individu mengenai kemampuan- kemampuannya, statusnya, dan peranan-peranannya di dunia luar. Hal itu adalah konsepnya tentang pribadi yang dia pikirkan sebagaimana apa adanya b. Diri yang fana yang dipegang oleh individu tersebut pada saat sekarang yang dipengaruhi oleh mood pada saat itu c. Diri sosial. Inilah diri sebagaimana yang diyakini individu itu orang-orang lain melihat dan mengevaluasinya d. Diri yang ideal. Inilah macam pribadi yang diharapkan individu tersebut menjadi pribadi semacam itu ataupun akan sepeti itu. Dimensi konsep diri yang dikemukakan kedua tokoh diatas memiliki kemiripan. Pada dimensi eksternal yang dipaparkan Fitts (dalam Burns, 1993) terdapat diri pribadi yang memiliki makna yang sama dengan konsep diri dasar yang dipaparkan oleh Strang (dalam Burns, 1993). Selain itu juga terdapat diri 22 sosial pada dimensi eksternal milik Fitts (dalam Burns, 1993) yang sama dengan Strang (dalam Burns, 1993). Meskipun demikian, peneliti akan menggunakan dimensi konsep diri milik Fitts (dalam Burns, 1993) didalam menyusun skala pengukuran penelitian ini, karena dimensi yang dipaparkan oleh Fitts lebih komprehensif dan lebih detail untuk mengungkap konsep diri individu. 4. Konsep Diri Positif dan Konsep Diri Negatif Burns (dalam Hutagalung, 2007) mengatakan bahwa konsep diri dibagi menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif tercermin pada perilaku sebagai berikut: a. Individu yang “terbuka” b. Individu yang tidak mengalami hambatan untuk berbicara dengan orang lain, bahkan dalam situasi yang masih asing sekalipun c. Individu yang cepat tanggap terhadap situasi sekelilingnya d. Individu yang cenderung menyenangi dan menghargai dirinya sendiri, sebagaimana sikap mereka terhadap orang lain e. Individu yang memiliki rasa aman dan percaya diri yang tinggi, mampu lebih ‘menerima dan memberi’ pada orang lain f. Individu yang memiliki keyakinan dan kepercayaan diri untuk menanggulangi masalah bahkan jika dihadapkan dengan kegagalan sekalipun sanggup menghadapi dengan jiwa besar g. Individu yang menerima dirinya sendiri dan memandang dunia ini sebagai sebuah tempat yang lebih menyenangkan dibandingkan dengan orang yang menolaknya 23 h. Individu yang memiliki kemampuan untuk memodifikasi nilai dan prinsip yang sebelumnya dipegang teguh dengan pengalaman yang baru dan tidak memiliki kekhawatiran terhadap masa lalu dan masa yang akan datang. Konsep diri negatif terlihat dari keadaan diri sebagai berikut: a. Individu yang sangat peka dan mempunyai kecenderungan sulit menerima kritik dari orang lain b. Individu yang mengalami kesulitan dalam berbicara dengan orang lain c. Individu yang sulit mengakui bahwa dirinya salah. Bisa dikatakan bahwa kelemahan pribadi dan kegagalan diri tidak mau diakui sebagai bagian dari dirinya sendiri d. Individu yang kurang mampu mengungkapkan perasaan dengan cara yang wajar e. Individu yang cenderung menunjukkan sikap keterasingan diri, malu-malu dan tidak ada minat pada persaingan f. Individu yang hanya memperhatikan dirinya sendiri sepanjang waktu, tidak pernah merasa puas, selalu takut kehilangan sesuatu, takut tidak diakui dan iri kepada mereka yang mempunyai kelebihan g. Individu yang cenderung tidak dapat mengarahkan kasih sayangnya kepada orang lain karena sepanjang waktu individu tersebut hanya berfokus pada mencintai dirinya sendiri, meskipun kenyataannya mereka tidak menyenangi diri mereka serta memiliki sikap narsisme dan egois sebagai kompensasi diri yang berlebihan (Burns dalam Hutagalung, 2007). Berdasarkan pemaparan diatas, dapat peneliti simpulkan bahwa individu yang memiliki konsep diri yang positif cenderung terbuka, tidak memiliki kesulitan 24 dalam berkomunikasi, memiliki kepercayaan diri yang tinggi, lebih menyukai dirinya dibandingkan orang lain, menghargai orang lain dan mampu memodifikasi perilakunya sesuai pengalaman yang didapatkan. Individu yang memiliki konsep diri negatif cenderung sulit menerima kritik dari orang lain, sulit dalam berbicara dengan orang lain, sulit mengakui bahwa dirinya bersalah, kurang mampu mengungkapkan perasaan, cenderung menunjukkan sikap keterasingan, selalu memperhatikan dirinya sepanjang waktu dan tidak mampu mengarahkan kasih sayangnya kepada orang lain. B. Penerimaan Kelompok Teman Sebaya Remaja Panti Asuhan 1. Definisi Penerimaan Kelompok Teman Sebaya Bagi remaja, teman sebaya adalah segalanya. Teman sebaya merupakan tempat untuk belajar menguasai keterampilan sosial seperti keahlian berbicara, mengorganisasi kegiatan sosial dan lain-lain (Zulkifli, 1999). Teman sebaya memiliki pengaruh yang paling kuat saat tahap remaja awal, sekitar usia 12 – 13 tahun, pengaruh tersebut menurun selama masa remaja pertengahan dan akhir seiring dengan membaiknya hubungan antara remaja dengan orangtua (Feldman, Papalia, & Olds, 2009). Selman dan Selman (dalam Sarlito, 2012) mengatakan bahwa pengaruh teman mencapai puncaknya pada usia 9 – 15 tahun, hubungan pertemanan disini berdasarkan minat dan kepentingan yang sama serta sebagai tempat berbagi perasaan dan saling tolong menolong dalam menyelesaikan masalah. Emosi antar teman sebaya makin kuat saat memasuki usia 12 tahun ke atas dan remaja semakin saling membutuhkan, tetapi mereka juga memberikan kesempatan bagi masing-masing individu untuk mengembangkan dirinya masing-masing. 25 Dalam pertemanan, remaja akan berusaha untuk menjalin kedekatan dengan teman sebayanya. Remaja yang berhasil untuk menjalin pertemanan yang dekat dengan teman sebayanya pada umumnya memiliki pandangan yang baik mengenai dirinya, menjalani pendidikan dengan baik, mampu bergaul dan memiliki kemungkinan yang kecil untuk menjadi kasar, cemas, dan depresi (Feldman, Papalia, & Olds, 2009). Wells (dalam Krapp & Wilson, 2006) sendiri mendefinisikan penerimaan teman sebaya sebagai derajat dimana seseorang diterima secara sosial oleh teman sebayanya. Penerimaan ini mencangkup ketenaran seseorang di kalangan teman sebayanya dan bagaimana seseorang dapat memelihara kepuasan dalam hubungan teman sebaya. Penerimaan teman sebaya ini sangat penting untuk perkembangan sosial dan emosional seseorang yang mencangkup membangun keterampilan sosial serta berpartisipasi dalam pemecahan masalah didalam sebuah kelompok. Penerimaan teman sebaya tentunya menurut peneliti tidak lepas dari proses mencari teman. Dalam berteman, remaja cenderung memilih teman yang serupa dengan dirinya dalam gender, suku bangsa dan dalam hal lain. Teman juga dapat memengaruhi satu sama lain (Brown & Klute dalam Feldman, Papalia, & Olds, 2009). Pemilihan teman yang memiliki hal yang sama tentunya diawali dengan proses pengkategorisasian dari remaja saat pertama kali melihat teman sebayanya, ketika itu remaja sudah langsung dapat mengkategorikan temannya tersebut masuk ke dalam kategori suku, sosial ekonomi, penampilan fisik dan gender yang seperti apa, misalnya adalah kategori orang Jawa, orang Bali, orang kaya, orang miskin. Penilaian ini tentunya dibuat setelah remaja saling berinteraksi satu sama lain. Pengkategorian ini digunakan sebagai dasar bagi remaja untuk memutuskan apakah 26 temannya memiliki kesamaan dengan remaja tersebut atau tidak. Remaja yang merasa memiliki kesamaan dalam hal ras, gender, latar belakang ekonomi dan lainlain kemudian akan saling berkumpul dan membentuk kelompok pertemanan. Anggota kelompok menyebut dirinya sebagai in-group, sedangkan anggota di luar kelompok disebut out-group (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Didalam sebuah kelompok, anggota kelompok cenderung memandang anggota kelompoknya sendiri lebih baik dari anggota kelompok lain. Orang yang berada didalam sebuah kelompok cenderung memandang anggota kelompoknya lebih positif, lebih menghargai perilaku anggota kelompoknya dan memandang anggota dalam kelompoknya lebih menarik dibanding anggota kelompok lain, hal ini dikenal dengan istilah In Group Favoritism Effect (Tajfel, dkk dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti menilai bahwa remaja yang masuk dalam sebuah kelompok akan memandang anggota kelompoknya lebih positif daripada anggota kelompok lain. Hal ini menyebabkan remaja memiliki sikap yang cenderung positif kepada anggota kelompoknya sendiri ketimbang dengan anggota kelompok lain, walaupun anggota kelompok lain juga merupakan teman sebaya remaja tersebut. Kondisi seperti ini menyebabkan adanya proses penerimaan dan penolakan pada teman sebaya. Penolakan kepada remaja yang berada di luar kelompok tidak selalu terjadi. Ini tergantung pada informasi yang dimiliki remaja mengenai kelompok lain. Jika informasi yang dimiliki remaja mengenai anggota kelompok lain sedikit, maka remaja akan bertindak sesuai dengan stereotipe kepada anggota di luar kelompoknya, hal ini berlaku sebaliknya (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Menurut 27 peneliti, jika stereotipe maupun informasi yang dimiliki remaja mengenai anggota kelompok lain positif, makan remaja cederung menerima anggota kelompok lain yang merupakan teman sebaya remaja, sedangkan jika stereotipe maupun informasi yang dimiliki remaja mengenai anggota kelompok lain negatif, remaja cederung menolak teman sebayanya. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa penerimaan kelompok teman sebaya merupakan derajat dimana remaja dapat diterima secara sosial oleh kelompok teman sebayanya yang tercermin dari adanya pandangan yang positif yang diterima remaja dari seseorang yang menjadi tempat remaja belajar mengenai keterampilan sosial, mengorganisasi kegiatan sosial dan sebagainya. Penerimaan kelompok teman sebaya ini juga menurut peneliti mencangkup seberapa puas remaja terhadap teman sebayanya dan terhadap hubungannya dengan teman sebayanya. 2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penerimaan Kelompok Teman Sebaya Wells (dalam Krapp & Wilson, 2006) memaparkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan teman sebaya adalah faktor genetik serta lingkungan. Beberapa faktor yang termasuk didalamnya antara lain adalah sebagai berikut: a. Kualitas kelekatan antara ibu dan anak atau kelekatan antara anak dengan pengasuh yang terjalin selama masa bayi b. Selama masa kanak-kanak, kualitas dan kuantitas dari kesempatan untuk berinteraksi dengan berbagai tipe teman sebaya dalam berbagai lingkungan seperti didalam keluarga, di sekolah, di tempat olah raga atau di lingkungan tetangga 28 c. Gaya pengasuhan, dimana pengasuhan dengan gaya autoritatif akan diasosiasikan dengan tingginya kompetensi sosial pada anak, gaya pengasuhan yang autoritarian diasosiasikan dengan agresivitas anak dan gaya pengasuhan yang permisif diasosiasikan dengan gagalnya anak dalam mengambil tanggung jawab dalam berperilaku. Strickland (2001) mengatakan bahwa faktor yang memengaruhi penerimaan teman sebaya meliputi atraktifitas fisik, cultural traits, ketidakmampuan serta kompetensi sosial. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan kelompok teman sebaya antara lain adalah kualitas kelekatan antara anak dengan ibu atau pengasuh selama masa bayi, kuantitas dan kualitas dari kesempatan untuk berinteraksi dengan berbagai tipe teman sebaya di berbagai lingkungan, gaya pengasuhan, atraktifitas fisik, cultural traits, ketidakmampuan serta kompetensi sosial. Faktor kompetensi sosial yang disampaikan oleh Strickland (2001) menurut peneliti memiliki hubungan dengan kualitas dan kuantitas kesempatan untuk berinteraksi dengan berbagai tipe teman sebaya yang disampaikan oleh Wells (dalam Krapp & Wilson, 2006), karena menurut peneliti dalam berinteraksi dengan teman sebaya tentunya menuntut kompetensi seseorang dalam bidang sosial. 3. Karakteristik Individu yang Diterima dan Diabaikan oleh Teman Sebayanya Karakteristik individu yang diterima oleh teman sebaya menurut Wells (dalam Krapp & Wilson, 2007) antara lain adalah sebagai berikut: a. Menginterpretasikan bahasa tubuh dan nada suara individu lainnya dengan benar. Individu yang disukai akan mampu membedakan ketajaman dari sebuah 29 emosi. Misalnya adalah individu tersebut akan mampu membedakan perasaan senang yang memang ditujukan kepada dirinya atau kepada orang lain b. Merespon pernyataan dan sikap dari individu lain secara cepat dan tepat. Individu yang disukai akan menyebut nama lawan bicaranya, menjaga kontak mata dan menyentuh untuk mendapatkan perhatian dari lawan bicaranya c. Memberikan alasan dari pernyataan dan sikapnya, misalnya adalah individu tersebut akan menjelaskan alasan dibalik sikap yang ditunjukkannya d. Mampu bekerjasama, menunjukkan kebijaksanaan dan mampu berkompromi dengan individu lainnya, menunjukkan kesediaan untuk mengalah dengan memodifikasi perilaku dan pendapatnya untuk kepentingan individu lainnya. Keadaan yang berlawanan ditunjukkan oleh individu yang ditolak oleh teman sebayanya dengan karakteristik sebagai berikut: a. Menunjukkan perilaku yang agresif, antisosial dan depresi b. Tidak mampu mendengarkan orang lain dengan baik, cenderung tidak menjelaskan alasan dibalik perilakunya, tidak menghargai temannya dan memiliki masalah dalam bekerjasama c. Antisosial ditunjukkan dengan menginterupsi orang lain, mendominasi orang lain dan mampu menyerang orang lain secara verbal maupun fisik d. Depresi atau penolakan ditunjukkan dengan terlalu melindungi diri sendiri, submisif, cemas dan menjadi penghambat. Soliha (2010) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa persepsi individu terhadap penerimaan teman sebaya memiliki hubungan signifikan yang negatif terhadap tendesi agresivitas relasional pada siswa SMP Negeri 27 Semarang. Hal ini tentunya sejalan dengan karakteristik yang disampaikan diatas yang 30 mengungkapkan bahwa individu mengalami penolakan dari teman sebayanya menunjukkan perilaku yang agresif. Berdasarkan penjabaran karakteristik diatas, peneliti menyimpulkan bahwa individu yang diterima oleh teman sebayanya mampu menginterpretasikan bahasa tubuh dan nada suara dari orang lain dengan benar, merespon sikap dan perilaku inidividu lain dengan cepat dan tepat, memberikan alasan di balik pernyataan dan sikapnya dan mampu bekerjasama, bijaksana, mampu berkompromi serta mau mengalah demi kepentingan individu lain. Individu yang tidak diterima oleh teman sebayanya cenderung menunjukkan perilaku yang agresif, antisosial dan depresi. Antisosial ditunjukkan dengan menginterupsi orang lain, mendominasi orang lain dan menyerang orang lain secara verbal maupun fisik, sedangkan depresi atau penolakan ditunjukkan dengan terlalu melindungi diri sendiri, submisif, cemas dan menjadi penghambat. Hal lain yang ditunjukkan adalah individu tersebut tidak mau mendengarkan orang lain, tidak mau menjelaskan alasan di balik pernyataan dan sikapnya, tidak menghargai temannya dan tidak mampu bekerjasama. 4. Aspek – Aspek Penerimaan Kelompok Teman Sebaya Parker dan Asher (1993) menguji apakah pertemanan anak-anak yang tidak diterima dengan baik berbeda dengan anak-anak yang diterima dengan baik menggunakan enam aspek, diantaranya adalah: a. Validation and Caring, merupakan sejauh mana hubungan tersebut ditandai dengan kepedulian, dukungan, dan perhatian b. Conflict and Betrayal, merupakan sejauh mana hubungan tersebut ditandai oleh argumen, perselisihan, rasa jengkel, dan ketidakpercayaan 31 c. Companionship and Recreation, merupakan sejauh mana teman-teman menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama-sama didalam atau di luar sekolah d. Help and Guidance, merupakan sejauh mana usaha dari teman-teman untuk membantu satu sama lain saat menghadapi tugas rutin atau menantang e. Intimate Exchange, merupakan sejauh mana hubungan tersebut ditandai dengan pengungkapan informasi dan perasaan pribadi f. Conflict Resolution, merupakan sejauh mana perbedaan pendapat dalam hubungan diselesaikan secara efisien dan adil. Berdasarkan pemaparan mengenai karakteristik individu yang diterima dan diabaikan oleh teman sebaya serta aspek-aspek dari penerimaan teman sebaya, peneliti memilih untuk menggunakan aspek-aspek dari penerimaan teman sebaya dari Parker dan Asher (1993) sebagai skala pengukuran penerimaan teman sebaya. Aspek-aspek ini dipilih karena aspek milik Parker dan Asher (1993) lebih komprehensif dan lebih bisa dikembangkan kedalam bentuk item daripada karakteristik individu yang diterima dan diabaikan oleh teman sebayanya. Aspekaspek penerimaan teman sebaya milik Parker dan Asher (1993) lebih menekankan pada komponen-komponen yang ada dalam sebuah pertemanan dan hal itu sesuai dengan hal yang ingin diketahui peneliti dalam penelitian ini. 5. Remaja yang Tinggal Di Panti Asuhan a. Definisi Remaja Remaja menurut ilmu kedokteran adalah suatu tahap perkembangan fisik dimana saat itu terjadi proses kematangan fungsi alat-alat kelamin. Hal ini sering disebut dengan masa pubertas. Pada perempuan, masa ini ditandai dengan 32 menstruasi dan pada laki-laki ditandai dengan mimpi basah. Perempuan biasanya mengalami menstruasi atau haid pada usia 10 bahkan ada yang 9 tahun. Tetapi ada juga remaja perempuan yang baru mengalami menstruasi pada usia 17 tahun (Sarwono, 2013). Sedangkan laki-laki mengalami perubahan akibat pubertas antara usia 9 – 16 tahun (Feldman, Papalia, & Olds, 2009). Selain perkembangan fisik, masa remaja juga ditandai dengan perubahan pada aspek kognitif dan sosial. Perubahan kognitif yang dialami adalah meningkatnya kemampuan remaja dalam berpikir abstrak, idealistik dan logis. Remaja yang biasanya berada pada transisi ini lebih egosentris, memandang dirinya sebagai orang yang tidak terkalahkan. Perubahan sosial yang dialami pada masa remaja adalah lebih ingin mandiri, sering menimbulkan konflik dengan orangtua dan ingin untuk menghabiskan waktu yang banyak dengan teman sebayanya. Teman sebaya merupakan hal yang penting bagi remaja (Santrock, 2007). b. Tahap-Tahap Perkembangan Remaja Feldman, Papalia, dan Olds, (2009) mengatakan bahwa tahap perkembangan remaja dimulai pada usia 10 – 11 tahun sampai awal duapuluhan, sedangkan Santrock (2007) mengatakan bahwa seseorang memasuki periode remaja sejak 10 – 13 tahun sampai 18 – 22 tahun. dalam masa remaja itu sendiri terdapat juga tahap-tahap perkembangan. Blos (dalam Sarwono, 2013) mengatakan bahwa perkembangan merupakan usaha menyesuaikan diri untuk secara aktif mengatasi stress serta mencari jalan keluar dari setiap masalah. Blos (dalam Sarwono, 2013) juga membagi tahap perkembangan remaja menjadi 3 tahap, yaitu: 33 1. Remaja Awal (early adolescence) Pada tahap ini remaja masih tidak mengerti pada perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Remaja mulai tertarik kepada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan remaja berkurang dan kurang kendali terhadap “ego” membuat remaja susah mengerti dan dimengerti orang dewasa. 2. Remaja Madya (middle adolescence) Remaja yang masuk pada tahap ini sangat mementingkan kehadiran teman dan remaja akan senang jika banyak teman yang menyukainya. Remaja mempunyai kecenderungan untuk mencintai dirinya sendiri atau sering disebut “narcistic”. Remaja juga berada dalam tahap kebingungan dalam memilih kapan harus sendiri dan bersama teman, kapan harus optimis dan kapan harus pesimis, kapan harus idealis dan kapan harus materialis dan sebagainya (Blos dalam Sarwono, 2013). 3. Remaja Akhir (late adolescence) Pada tahap ini remaja mengalami konsolidasi menuju masa dewasa dan ditandai dengan pencapaian 5 hal yaitu: a. Menunjukkan minat terhadap fungsi-fungsi intelek. Minat tersebut kian kuat b. Ego yang dimilikinya mencoba untuk bersatu dengan orang-orang lain dan pengalaman baru c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi d. Sifat egosentrisme yang selalu memusatkan sesuatu pada diri sendiri berubah menuju keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain 34 e. Menumbuhkan “dinding” yang memisahkan antara diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum. Menurut Teori Erikson (dalam Santrock, 2007), pada tahap perkembangan remaja, seseorang mengalami tahap identitas versus kebingungan identitas. Ini terjadi pada usia 10 – 20 tahun. Pada masa ini remaja aktif mencari jati diri dengan mencoba berbagai peran dan menentukan arah mana yang akan dituju nantinya. Jika remaja menjalankan peran dengan sehat dan mampu menentukan arah hidupnya nanti maka remaja akan mencapai identitas yang positif, sedangkan jika remaja tidak cukup berhasil dalam menjalankan berbagai peran dan menentukan arah hidup maka remaja akan mengalami kebingungan identitas. c. Ciri-Ciri Remaja Zulkifli (1999) mengatakan bahwa ciri-ciri remaja antara lain adalah sebagai berikut: a. Pertumbuhan Fisik Pertumbuhan fisik pada masa remaja berkembang dengan sangat pesat. Remaja membutuhkan banyak asupan energi dan juga kebutuhan tidur yang banyak. Pertumbuhan otot-otot tubuh sangat pesat pada tungkai dan tangan, tulang kaki dan tangan, sehingga anak bertumbuh tinggi, tetapi kepalanya masih mirip anak-anak. b. Perkembangan Seksual Tanda perkembangan seksual pada remaja laki-laki adalah mulai berproduksinya alat produksi sperma, mengalami mimpi pertama yang tanpa sadar mengeluarkan sperma, sedangkan pada remaja perempuan perkembangan seksual ditandai dengan matangnya sel telur dan mengalami menstruasi (datang 35 bulan) yang pertama. Ciri-ciri lainnya mengenai perkembangan seksual pada remaja putra adalah tumbuhnya buah jakun pada leher sehingga nada suara menjadi pecah serta tumbuh rambut di sekitar area kelamin remaja. Pada remaja perempuan terjadi penimbunan lemak yang membuat buah dada mulai tumbuh, pinggul mulai melebar dan paha mulai membesar. c. Cara Berpikir Kausalitas Cara berpikir kausalitas tercermin dari kemampuan remaja untuk berpikir mengenai sebab akibat. Remaja sudah mampu berpikir kritis sehingga remaja akan melawan apabila orangtua, guru atau lingkungan masih menganggap remaja tersebut masih anak-anak. d. Emosi yang Meluap-Luap Keadaan emosi remaja masih terbilang labil disebabkan karena pengaruh hormon. Remaja akan dengan cepat merasa senang jika ada yang memuji dan di lain waktu bisa sangat sedih ataupun marah. Remaja masih belum mampu menahan emosi yang meluap-luap. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri remaja daripada pikiran yang realistis (Zulkifli, 1999). e. Mulai Tertarik dengan Lawan Jenisnya Dalam kehidupan sosial remaja, remaja mulai tertarik dengan lawan jenisnya dan mulai berpacaran. Orangtua sebaiknya mengerti dengan keadaan ini dan tidak melarangnya, karena dengan melarang remaja dalam berpacaran maka akan menimbulkan masalah dan remaja menjadi tertutup kepada orangtuanya. Secara biologis perempuan lebih cepat matang daripada laki-laki. Perempuan yang berusia 14 – 18 tahun cenderung untuk tidak merasa puas jika mendapatkan perhatian pemuda yang seusia dengan remaja tersebut, oleh 36 karena itu remaja pada usia ini cederung tertarik pada pemuda yang usianya beberapa tahun diatasnya. f. Menarik Perhatian Lingkungan Pada masa ini remaja akan mulai mencari perhatian dari lingkungannya. Remaja juga berusaha untuk mendapatkan status dan peranan didalam masyarakat. Segala macam cara akan dilakukan remaja untuk menarik perhatian lingkungan, termasuk berkelahi atau kenakalan lainnya. Remaja akan mencari peranan di luar rumah jika di rumah orangtuanya tidak memberi peranan kepada remaja tersebut karena menganggapnya sebagai anak kecil (Zulkifli, 1999). g. Terikat dengan Kelompok Dalam kehidupan sosialnya, remaja sangat tertarik kepada kelompok sebayanya sehingga remaja menjadi menomorsatukan temannya dan menomorduakan orangtuanya. Remaja cenderung ingin berperilaku sama dengan anggota kelompok lainnya. Jika perilaku remaja tidak sama, remaja tersebut akan merasa rendah diri. Apapun akan dilakukan remaja demi kelompoknya. Tentunya masa remaja akan sangat menarik jika individu berhasil dalam melalui tahapan tersebut. Tidak semua remaja memiliki nasib yang sama. Ada remaja yang tidak memiliki orangtua, ada juga remaja yang walaupun memliki orangtua yang utuh tetapi keluarganya tidak bisa membiayai kehidupan remaja tersebut secara layak. Remaja yang memiliki kehidupan seperti inilah yang biasanya tinggal di panti asuhan dimana didalam panti asuhan remaja tersebut mendapatkan apa yang tidak didapatkan di luar sana seperti bersekolah layaknya 37 remaja lainnya dan tercukupi kebutuhan biologis dan psikologisnya. Remaja yang tinggal di panti asuhan menghabiskan seluruh waktunya di panti asuhan dan memiliki intensitas bertemu yang sedikit dengan keluarganya. Panti sosial atau panti asuhan merupakan salah satu institusi atau lembaga, baik yang dikelola oleh masyarakat maupun pemerintah yang menyelenggarakan pelayanan sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (Sunusi, 2010). Chamsyah (2005) mengungkapkan bahwa anak yang ditempatkan di panti asuhan apabila: a. Anak menikmati hak-hak politik dan hak-hak sipil yang sama dengan anakanak lainnya dalam lingkungannya b. Penyatuan kembali keluarga merupakan tujuan organisasi dan tinggalnya anak merupakan hal yang sementara c. Institusi tidak besar dan dikelola berdasarkan kepentingan anak d. Institusi secara geografis dekat dengan komunitas asal anak tersebut. Institusi diintegrasikan ke komunitas setempat e. Institusi memberikan pengasuhan dasar yang cukup dan memenuhi standar minimum berkenaan dengan air, sanitasi, kesehatan dan gizi f. Suasana cukup menarik dengan program pendidikan yang terstruktur, rekreasi, istirahat dan anak-anak diajari keterampilan hidup yang sesuai untuk bertahan hidup dalam komunitas yang lebih luas g. Petugas benar-benar terlatih dan berpengalaman dalam pengasuhan anak-anak. Tentunya anak yang tinggal di panti asuhan akan menghabiskan masa remajanya didalam panti asuhan juga. Berdasarkan uraian di atas, peneliti dapat mengatakan bahwa remaja yang tinggal di panti asuhan merupakan individu yang 38 sedang melewati tahap perkembangan remaja yang tinggal didalam panti asuhan. Remaja tersebut tinggal di panti asuhan karena diterlantarkan oleh orangtuanya atau orangtuanya tidak mampu untuk membiayai kehidupannya secara layak. Berdasarkan pemaparan berbagai topik di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa penerimaan kelompok teman sebaya remaja panti asuhan merupakan intensitas dimana individu yang sedang melewati tahap perkembangan remaja yang tinggal didalam panti asuhan dapat diterima secara sosial oleh kelompok teman sebayanya yang tercermin dari adanya pandangan yang positif yang diterima individu tersebut dari seseorang yang menjadi tempat belajar mengenai keterampilan sosial, mengorganisasi kegiatan sosial dan sebagainya yang mencangkup seberapa puas remaja terhadap teman sebayanya dan terhadap hubungannya dengan teman sebayanya. C. Hubungan Antara Penerimaan Kelompok Teman Sebaya dengan Konsep Diri Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, moral dan agama (Taufikurroham dalam Sarwono, 2013), kognitif dan sosial (Latifah dalam Sarwono, 2013). Masa remaja dimulai dari terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 sampai dengan usia 20 tahun. Remaja tidak mempunyai tempat yang jelas, apakah remaja termasuk pada golongan anak-anak atau golongan dewasa. Pada masa remaja, individu dihadapkan pada dua tugas utama, yaitu mencapai ukuran kebebasan atau kemandirian dari orangtua dan membentuk identitas untuk tercapainya integrasi diri dan kematangan pribadi (Marheni dalam Soetjiningsih, 2004). 39 Masa remaja tidak selalu dilewati oleh individu didalam keluarga yang lengkap, beberapa di antara individu tersebut melewati masa remajanya didalam panti asuhan karena individu tersebut tidak memiliki orangtua, diterlantarkan oleh orangtuanya dan berbagai alasan lain yang mengharuskan remaja tersebut tinggal di panti asuhan. Sunisi (2010) menyatakan bahwa panti asuhan atau panti sosial merupakan salah satu institusi atau lembaga, baik yang dikelola oleh masyarakat maupun pemerintah yang menyelenggarakan pelayanan sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial. Panti asuhan di sini menurut peneliti berfungsi sebagai pengganti orangtua bagi remaja yang tinggal didalamnya dan remaja tersebut juga tumbuh selayaknya remaja yang tidak tinggal di panti asuhan, termasuk juga mengalami proses perkembangan kepribadian menjadi semakin matang. Kematangan pribadi dapat dicapai dengan mengembangkan kepribadian remaja yang terjadi secara berkesinambungan sejak masa kana-kanak. Salah satu cara untuk mengembangkan kepribadian adalah dengan membentuk konsep diri. Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri berkembang dari pengalaman yang terus menerus berdiferensiasi (Agustiani, 2009). Mead (dalam Burns, 1993) mengatakan bahwa konsep diri merupakan suatu obyek timbul didalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu tersebut mengenai bagaimana orang-orang lain bereaksi kepadanya. Charles Cooley (dalam Watson, Borlall-Tregerthan, & Frank, 1984) mengemukakan sebuah konsep yang disebut “looking glass self” yang mengatakan bahwa konsep diri seseorang merupakan refleksi dari penilaian orang lain. Seseorang membayangkan bagaimana dirinya terlihat di mata orang lain dan bagaimana orang lain menilai dirinya. 40 Hutagalung (2007) mengatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi konsep diri seseorang adalah orang lain yang merupakan orang yang dianggap penting oleh individu serta kelompok acuan. Hurlock (1980) memaparkan bahwa kondisi-kondisi yang memengaruhi konsep diri remaja adalah usia kematangan, penampilan diri, kepatutan seks, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman-teman sebaya, kreativitas dan cita-cita. Faktor teman-teman sebaya dan faktor orang lain dan kelompok acuan dari Hutagalung (2007) menurut peneliti memiliki hubungan, dimana orang lain yang berpengaruh bagi remaja adalah teman-teman sebaya dan didalam kelompok acuan tentunya juga terdapat teman-teman sebaya. Menurut Zulkifli (1999), teman sebaya merupakan tempat untuk belajar menguasai keterampilan sosial seperti keahlian berbicara, mengorganisasi kegiatan sosial dan lain-lain. Jika membicarakan teman sebaya, tentunya tidak terlepas dari proses mencari teman. Individu akan cenderung memilih teman yang memiliki kesamaan atau serupa dengan individu tersebut baik dari segi gender, suku bangsa, status sosial ekonomi dan lain-lain (Brown & Klute dalam Feldman, Papalia, & Olds, 2009). Sebelum seseorang memutuskan bahwa individu lain sama dengannya, hal pertama yang dilakukan adalah proses kategorisasi. Begitu juga yang terjadi pada remaja. Remaja sudah langsung melakukan kategorisasi saat pertama kali melihat teman sebayanya apakah temannya tersebut masuk dalam kategori seperti orang Jawa, orang Bali, orang kaya, orang Amerika dan lain-lain. Penilaian tersebut tentunya terjadi setelah remaja tersebut melakukan interaksi dengan teman sebayanya. Pengkategorian inilah yang kemudian digunakan sebagai acuan apakah remaja tersebut memiliki kesamaan dengan teman sebayanya tersebut atau tidak. Remaja yang merasakan memiliki kesamaan dengan teman sebayanya kemudian akan saling berkumpul 41 membentuk sebuah kelompok. Remaja yang menjadi bagian dari suatu kelompok disebut dengan in group dan remaja yang berada di luar kelompok tersebut dinamakan out group (Taylor, Peplau, & Sears 2009). Didalam sebuah kelompok, anggota kelompok cenderung memandang anggota kelompoknya sendiri lebih positif dari anggota kelompok lain, lebih menghargai perilaku anggota kelompoknya dan memandang anggota kelompoknya lebih menarik dibandingkan dengan anggota kelompok lain, hal ini dikenal dengan istilah In Group Favoritism Effect (Tajfel, dkk dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Berdasarkan pemaparan sebelumya, peneliti menganggap bahwa remaja yang tergabung dalam suatu kelompok akan cenderung memandang anggota kelompoknya lebih positif dan memandang anggota kelompok lain lebih negatif, hal inilah yang menurut peneliti menyebabkan adanya proses penerimaan dan penolakan teman sebaya dimana anggota kelompok lain dari remaja tersebut merupakan teman sebaya bagi remaja tersebut. Hal inilah yang menurut peneliti terjadi pada anak panti asuhan, dimana remaja lain yang tidak tinggal di panti asuhan cenderung menganggap remaja yang tinggal di panti asuhan sebagai out group, karena remaja yang tidak tinggal di panti asuhan menurut peneliti menganggap anak yang tinggal di panti asuhan berbeda dengan remaja tersebut, jadi remaja yang tidak tinggal di panti asuhan cenderung memandang remaja yang tinggal di panti asuhan lebih negatif dan inilah yang menurut peneliti membuat remaja yang tinggal di panti asuhan bisa saja mendapatkan penolakan di kalangan teman sebayanya. Anggota di luar kelompok tidak selalu mengalami penolakan, ini tergantung pada informasi yang dimiliki remaja mengenai kelompok lain. Jika informasi yang dimiliki remaja mengenai anggota kelompok lain sedikit, maka remaja akan bertindak 42 sesuai dengan stereotipe kepada anggota di luar kelompoknya, hal ini berlaku sebaliknya (Taylor, Peplau, & Sears 2009). Menurut peneliti, hal ini juga terjadi pada remaja yang tinggal di panti asuhan, jika remaja lainnya yang tidak tinggal di panti asuhan memiliki informasi yang cukup mengenai remaja yang tinggal di panti asuhan, remaja tersebut akan cenderung menerima remaja yang tinggal di panti asuhan dan tidak bertindak sesuai stereotip yang beredar di kalangan masyarakat dimana anak panti asuhan masih mendapatkan label negatif dari masyarakat luas. Pandangan seperti ini tidak akan terjadi jika remaja memiliki banyak informasi mengenai remaja yang tinggal di panti asuhan, dengan memiliki banyak informasi maka remaja tersebut akan memandang remaja yang tinggal di panti asuhan dari sudut pandangnya yang berbeda dari stereotip yang beredar dan menurut peneliti remaja tersebut akan cenderung menerima remaja yang tinggal di panti asuhan sebagai teman sebayanya. Penerimaan atau penolakan teman sebaya ini menurut peneliti akan berdampak pada pembentukan konsep diri remaja dimana salah satu faktor yang memengaruhi pembentukan konsep diri menurut Hutagalung (2007) adalah orang lain yang merupakan orang yang penting bagi kehidupan seseorang dan pada masa remaja teman sebaya adalah orang yang penting. Penelitian yang dilakukan oleh Prabadewi dan Widiasavitri (2014) menemukan hasil bahwa mayoritas konsep diri akademik remaja yang tinggal di panti asuhan di Denpasar adalah positif. Hal ini merupakan salah satu contoh bahwa remaja yang tidak tinggal di panti asuhan memperlakukan remaja yang tinggal di panti asuhan tidak berdasarkan stereotip yang ada. Faktor yang disampaikan oleh Hurlock (1980) yaitu teman-teman sebaya juga dapat memengaruhi konsep diri dimana teman sebaya menurut peneliti merupakan 43 tempat remaja untuk belajar berinteraksi dengan orang lain. Berikut disajikan diagram yang menunjukkan hubungan antara penerimaan teman sebaya dengan konsep diri: Konsep Diri - Orang Lain Kelompok Acuan Usia Kematangan Penampilan Diri Kepatutan Seks Nama dan Julukan Hubungan Keluarga Teman-teman Sebaya Kreativitas Cita-cita Penerimaan Kelompok Teman Sebaya Proses Mencari Teman: - Kategorisasi Kelompok Ingroup Favoritism Effect Stereotipe Gambar 1. Skema Hubungan Antar Variabel Dari uraian diatas maka peneliti menduga terdapat hubungan antara penerimaan teman sebaya dengan konsep diri pada remaja yang tinggal di panti asuhan. Keterangan Gambar: : garis pengaruh yang akan diteliti : garis yang memengaruhi variabel, yang tidak diteliti : variabel yang akan diteliti : variabel yang tidak diteliti 44 D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan diatas maka hipotesis yang diajukan peneliti pada penelitian ini sebagai jawaban sementara atas permasalahan yang diajukan adalah: Ha : Ada hubungan yang positif antara penerimaan teman sebaya dengan konsep diri pada remaja yang tinggal di panti asuhan di Kabupaten Badung, Bali. Ho : Tidak ada hubungan yang positif antara penerimaan teman sebaya dengan konsep diri pada remaja yang tinggal di panti asuhan di Kabupaten Badung, Bali.