BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Kafein 2.1.1 Struktur Kimia Kafein

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Kafein
2.1.1
Struktur Kimia Kafein
Kafein merupakan alkaloid putih dengan rumus senyawa kimia
C8H10N4O2, dan rumus bangun 1,3,7-trimethylxanthine. Kafein mempunyai
kemiripan struktur kimia dengan 3 senyawa alkaloid yaitu xanthin, theophylline,
dan theobromine (Daswin, 2013).
C8H10N4O2
Gambar 2.1. Struktur kimia kafein
2.1.2 Sumber Kafein
Kafein ialah senyawa kimia yang dijumpai secara alami didalam makanan
contohnya biji kopi, teh, biji kelapa, buah kola (cola nitide) guarana, dan mate.
Teh adalah sumber kafein yang lain, dan mengandung setengah dari kafein yang
dikandung kopi. Beberapa tipe teh yaitu teh hitam mengandung lebih banyak
kafein dibandingkan jenis teh yang lain. Teh mengandung sedikit jumlah
teobromine dan sedikit lebih tinggi theophyline dari kopi (Daswin, 2013).
Kafein juga merupakan bahan yang dipakai untuk ramuan minuman non
alkohol seperti cola, yang semula dibuat dari kacang kola. Soft drinks khususnya
terdiri dari 10-50 miligram kafein. Coklat terbuat dari kokoa mengandung sedikit
kafein seperti terlihat pada tabel 2.1. Efek stimulan yang lemah dari coklat dapat
merupakan kombinasi dari theobromine dan theophyline sebagai kafein (Casal et
al, 2000 dalam Purba, 2011).
Tabel 2.1
Kadar Kafein dalam Berbagai Produk
Coffee, cup = 125 ml
Caffeine (mg)
Filtered, percolated
60-100
Drip
44
Instant
35-50
Pads, dark regular
90-95
Pads, milk
75-80
Cappucino
60
Espresso, cup = 50 ml
50-60
Decaffeinated coffe cup = 125 ml
2-4
Tea, cup = 125 ml
20-45
Soft drinks per 100 ml
Cola’s general
3-11
Cola’s light
0-15
Ice tea
3-12
Energy drinks per 100 ml
30
Chocolate containing drinks per 100 ml
2-4
Chocolate/50 gr
Milk
2-25
Dark
8-60
Extra dark
30-210
Chocolate candy, bars, ice cream
2-10
Alcoholic drinks or shooters per 100 ml
50-120
Prescription and non predescription medication
25-200
Sumber : Snel & Lorist, 2011
2.1.3
Manfaat dan Kegunaan Kafein
Kafein memiliki manfaat dan kegunaan yang cukup banyak dalam dunia
medis. Kafein sering digunakan dalam terapi kombinasi pengobatan migrain.
Menurut American Headache Society, kombinasi pemberian oral antara kafein
bersama-sama
dengan obat penghilang rasa
sakit
seperti aspirin dan
acetaminophen, efektif untuk mengobati migrain. Hal ini dikarenakan kafein
dalam dosis kecil dapat membantu penyerapan obat-obatan penghilang rasa sakit
terutama pada paracetamol. Kafein telah disetujui FDA untuk digunakan dengan
obat penghilang rasa sakit untuk mengobati sakit kepala migrain. Kafein juga
dapat digunakan pada penderita tension type headache dan nyeri kepala paska
operasi. Pemberian kafein dalam dilakukan per oral maupun intravena (Shapiro &
Cowan, 2006).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Smith & Roger (2000), kafein
dapat meningkatkan kewaspadaan mental seseorang. Penelitian menunjukkan
bahwa minum minuman berkafein sepanjang hari dapat meningkatkan
kewaspadaan pikiran. Sehingga kafein sering dikombinasikan dalam minuman
berenergi untuk meningkatkan kinerja mental lebih baik (Smith & Roger, 2000).
Menurut
American
College
of
Sport
Medicine,
kafein
dapat
meningkatkan kekuatan fisik dan daya tahan, dan mungkin menunda kelelahan.
Penggunaan kafein juga dapat mengurangi perasaan lelah dan meningkatkan
kinerja selama kegiatan seperti bersepeda, berjalan, bermain sepak bola, dan golf.
Namun kafein tampaknya tidak meningkatkan kinerja selama jangka pendek,
intensitas tinggi latihan seperti berlari dan mengangkat (American College of
Sport Medicine, 2008).
Manfaat lain dari kafein adalah dapat meningkatkan tekanan darah,
sehingga kafein berguna pada penderita hipotensi. Namun untuk kafein terhadap
tekanan darah secara jangka panjang belum ada penelitian lebih lanjut (AHA,
2000). Kafein juga dapat menurunkan resiko dari timbulnya batu empedu, hal ini
dilakukan oleh Leitzmann et al (1999) dengan menggunakan studi prospektif pada
46.000 responden (Leitzman, 1999).
2.1.4
Dosis Harian Kafein
Kafein memiliki fungsi dan manfaat bagi tubuh dalam dosis tertentu.
Penggunaan kafein dalam jumlah besar dan jangka panjang akan menimbulkan
efek yang tidak diinginkan. Konsumsi kafein yang aman untuk orang dewasa yang
sehat berkisar antara 400-450 mg/hari, tapi kebanyakan orang dewasa
mengkonsumsi antara 106-170 mg/hari; secara luas dianggap sebagai kisaran
aman (Lesher, 2014). Menurut Greeden et al. (1978), mengkonsumsi 500 mg
kafein per hari dapat menyebabkan gangguan berbagai manifestasi perilaku, dan
psikofisiologis.
Dalam penggunaan pada sakit kepala atau meningkatkan kewaspadaan
mental dapat digunakan sebanyak 250 mg per hari, dengan dosis untuk kelelahan
paska aktivitas yaitu 150-600 mg. Kafein juga sering digunakan untuk
meningkatkan kinerja atletik, dengan dosis 2-10 mg/kg atau lebih dapat
digunakan. Namun, dosis lebih dari 800 mg per hari dapat menghasilkan efek
diuresis lebih besar dari 15 mcg/mL diizinkan oleh National Collegiate Athletic
Association. Kafein juga dapat menurunkan sakit kepala paska operasi dengan
penggunaan anestesi epidural dengan dosis 300 mg. Untuk mencegah penyakit
batu empedu, asupan 400 mg atau lebih kafein per hari. Kafein dapat diperoleh
dengan meminum satu cangkir kopi diseduh memberikan 95-200 mg kafein.
Sebuah porsi 8-ons teh hitam memberikan 40-120 mg kafein. Sebuah porsi 8-ons
teh hijau menyediakan 15-60 mg kafein. Minuman ringan seperti cola
menyediakan 20-80 mg kafein per 12 ons porsi. Olahraga atau minuman energi
biasanya memberikan 48-300 mg kafein per porsi. Sumber lain dari kafein dapat
diperoleh dari penggunaan suplemen kafein secara langsung, dengan sediaan 100200 mg, dengan pemakaian 100 hingga 200 mg setiap 3 sampai 4 jam selama
dibutuhkan, dengan tidak mengkonsumsi suplemen 6 jam sebelum tidur
(WebMD, 2014).
Menurut James et al. (1968), pengguna kopi/teh berat adalah seseorang
yang mengkomsumsi setidaknya 8 gelas teh atau kopi per hari atau setara dengan
mengkonsumsi rata-rata 720-2250 mg per hari.
2.1.5
Farmakodinamik Kafein
Kafein mempunyai efek relaksasi otot polos , terutama otot polos
bronkus, merangsang susunan saraf pusat, otot jantung, dan meningkatkan diuresis
(Purba, 2011) :
a. Jantung
Kadar rendah kafein dalam plasma akan menurunkan denyut jantung,
sebaliknya kadar kafein dan teofilin yang lebih tinggi menyebabkan
tachycardia,
bahkan
pada
individu
yang
sensitif
mungkin
menyebabkan aritmia yang berdampak kepada kontraksi ventrikel
yang prematur.
b. Pembuluh darah
Kafein menyebabkan dilatasi pembuluh darah termasuk pembuluh
darah koroner dan pulmonal, karena efek langsung pada otot
pembuluh darah
c. Sirkulasi Otak
Resistensi pembuluh darah otak naik disertai pengurangan aliran darah
dan O2 di otak, ini diduga merupakan refleksi adanya blokade
adenosine oleh Xantin.
d. Susunan Saraf Pusat
Kafein merupakan perangsang SSP yang kuat. Orang yang
mengkonsumsi kafein tidak terlalu merasa kantuk, tidak terlalu lelah,
dan
daya
pikirnya
lebih
cepat
serta
lebih
jernih.
Tetapi,
kemampuannya berkurang dalam pekerjaan yang memerlukan
koordinasi otot halus (kerapian), ketepatan waktu atau ketepatan
berhitung. Efek diatas timbul pada pemberian kafein 82-250 mg (1-3
cangkir kopi).
e. Diuresis
Kafein dapat menyebabkan diuresis dengan cara meninggikan
produksi urin atau menghambat reabsorbsi elektrolit di tubulus
proksimal. Akan tetapi efek yang ditimbulkan sangat lemah.
2.1.6
Farmakokinetik Kafein
Kafein diabsorbsi dengan cepat dan mendekati sempurna melalui saluran
gastrointestinal dalam waktu 30-60 menit. Kafein didistribusikan secara merata ke
seluruh jaringan tubuh, Konsentrasi maksimum dalam plasma dicapai dalam
waktu 1 jam dengan rentang 0,5-1,5 jam. Waktu paruh eliminasi sangat bervariasi
rata-rata 5 jam dengan rentang 2-12 jam (Donovan & Devane, 2001 dalam
Dalimunthe, 2011). Telah dilaporkan bahwa waktu paruh kafein pada wanita lebih
singkat dibandingkan dengan laki-laki (Nawrot et al, 2003 dalam Daswin, 2013).
Eliminasi kafein dari tubuh terjadi melalui metabolisme. Metabolisme
kafein sangat kompleks, paling sedikit ada 25 metabolit yang dihasilkan. Kafein
diekskresikan melalui urin dalam bentuk tidak berubah yaitu hanya 1-4% setelah
pemberian oral. Jalur utama eliminasi kafein melalui reaksi demetilasi yang
dikatalisis oleh enzim sitokrom P450 (CYP1A2) menghasilkan paraxantin (1,7dimetilxantin) sebanyak 80%, teobromin 10%, dan teofilin 4% (Dalimunthe,
2011).
2.2
Tidur
2.2.1 Definisi Tidur
Tidur adalah suatu proses aktif yang terdiri dari periode-periode tidur
gelombang-lambat dan paradoksikal yang berselang-seling (Sherwood, 2001).
Tidur merupakan periode istirahat untuk tubuh dan pikiran. Selama masa ini
berlangsung, kemauan dan kesadaran ditangguhkan sebagian atau keseluruhannya
dan fungsi-fungsi tubuh sebagian dihentikan. Tidur juga dideskripsikan sebagai
status tingkah laku yang ditandai dengan posisi tak bergerak yang khas dan
sensivitas reversibel yang menurun, tapi siaga terhadap rangsangan dari luar
(Dorland, 2008).
2.2.2
Fisiologi Tidur
Saat malam hari, seseorang melalui dua stadium tidur yang saling
bergantian, yaitu paradoksisal atau tidur Rapid Eye Movement (REM) dan tidur
gelombang lambat atau tidur Non Rapid Eye Movement (NREM). Keseluruhan
tidur yang terjadi ialah tidur gelombang lambat yang dialami pada jam pertama
tidur setelah bangun selama berjam-jam sedangkan tidur paradoksikal terjadi pada
25% dari waktu tidur yang berulang secara periodik setiap 90 menit. Tipe tidur ini
umumnya disertai dengan mimpi (Guyton, 2006).
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu
diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi
secara bergantian antara 4-7 kali siklus semalam. Bayi baru lahir total tidur 16-20
jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada umur
diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada orang dewasa (Ganong, 2003).
Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu :
1.
Tidur stadium satu
Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini
didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak
gerakan bola mata kekanan dan kekiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5
menit dan mudah sekali dibangunkan. Gambaran EEG biasanya terdiri
dari gelombang campuran alfa, betha dan kadang gelombang theta
dengan amplitudo yang rendah. Tidak didapatkan adanya gelombang
sleep spindle dan kompleks K.
2.
Tidur stadium dua
Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih
berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama. Gambaran EEG
terdiri dari gelombang theta simetris. Terlihat adanya gelombang sleep
spindle, gelombang verteks dan komplek K.
3.
Tidur stadium tiga
Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG
terdapat lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%-50% serta
tampak gelombang sleep spindle.
4.
Tidur stadium empat
Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran
EEG didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak
gelombang sleep spindle. Fase tidur NREM, ini biasanya berlangsung
antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase
REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih
cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau
bangun. Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang
cepat, tonus otot yang sangat rendah, apabila dibangunkan hampir
semua organ akan dapat menceritakan mimpinya, denyut nadi
bertambah dan pada laki-laki terjadi ereksi penis, tonus otot
menunjukkan relaksasi yang dalam.
Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang seperti periode
neonatal bahwa tidur REM mewakili 50% dari waktu total tidur. Periode neonatal
ini pada EEG-nya masuk ke fase REM tanpa melalui stadium 1 sampai 4. Pada
usia 4 bulan pola berubah sehingga presentasi total tidur REM berkurang sampai
40% hal ini sesuai dengan kematangan sel-sel otak, kemudian akan masuk ke
periode awal tidur yang didahului oleh fase NREM kemudian fase REM pada
dewasa muda dengan distribusi fase tidur sebagai berikut :
- NREM (75%) yaitu stadium 1 : 5%; stadium 2 : 45%; stadium 3 : 12%;
stadium 4 : 13%
- REM 25%
2.2.3
Kualitas Tidur
Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur seperti
lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan
aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur (Buysse et al, 1998 dalam
Putri, 2013). Kualitas tidur yang baik akan ditandai dengan tidur yang tenang,
merasa segar pada pagi hari dan merasa semangat untuk melakukan aktivitas
(Agustin, 2012). Busyee et al, (1989) melakukan penelitian tentang pengukuran
kualitas dan pola tidur dengan menggunakan The Pittsburgh Sleep Quality Index
(PSQI). PSQI membedakan antara tidur yang baik dan tidur yang buruk dengan
pemeriksaan 7 komponen: latensi tidur, durasi tidur, kualitas tidur, efisiensi
kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur dan gangguan fungsi
tubuh di siang hari (Agustin, 2012).
2.2.4
Gangguan Tidur
Menurut International Classification of Sleep Disorders, gangguan tidur
terbagi atas:
1 Dissomnia
Adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesukaran menjadi
jatuh tidur, mengalami gangguan selama tidur bangun terlalu dini atau
kombinasi di antaranya:
A. Gangguan Tidur Spesifik
1) Narkolepsi
Ditandai oleh serangan mendadak tidur yang tidak dapat
dihindari pada siang hari, biasanya hanya berlangsung 10-20
menit atau selalu kurang dari 1 jam, setelah itu pasien akan
segar kembali dan terulang kembali 2-3 jam berikutnya.
Gambaran tidurnya menunjukkan penurunan fase REM 3070%. Pada serangan tidur dimulai dengan fase REM. Berbagai
bentuk narkolepsi diantaranya narkolepsi kataplesia adalah
kehilangan tonus otot yang sementara baik sebagian atau
seluruh otot tubuh seperti jaw drop dan head drop. Bentuk lain
yaitu hypnagogic halusinasi auditorik/visual berupa halusinasi
pada saat jatuh tidur sehingga pasien dalam keadaan jaga,
kemudian ke kerangka pikiran normal dan terakhir sleep
paralisis adalah otot volunter mengalami paralisis pada saat
masuk tidur sehingga
pasien sadar
ia tidak mampu
menggerakkan ototnya.
2) Gangguan gerakan anggota gerak badan secara periodik
(periodic limb movement disorders) / mioklonus nortuknal
Ditandai adanya gerakan anggota gerak badan secara
streotipik, berulang selama tidur. Paling sering terjadi pada
anggota gerak kaki baik satu atau kedua kaki. Bentuknya
berupa esktensi ibu jari kaki dan fleksi sebagian pada sendi
lutut dan tumit. Gerak itu berlangsung antara 0,5 - 5 detik,
berulang dalam waktu 20 - 60 detik atau mungkin berlangsung
terus menerus dalam beberapa menit atau jam. Bentuk tonik
lebih sering dari pada mioklonus.
Sering timbul pada fase NREM atau saat onset tidur sehingga
menyebabkan gangguan tidur kronik yang terputus. Lesi pada
pusat kontrol pacemaker batang otak. Insidensi 5% dari orang
normal antara usia 30-50 tahun dan 29% pada usia lebih dari
50 tahun. Berat ringan gangguan ini sangat tergantung dari
jumlah gerakan yang terjadi selama tidur, bila 5-25
gerakan/jam dapat dikategorikan ringan, apabila 25-50
gerakan/jam dikategorikan sedang, dan lebih dari 50 kali/jam
dikategorikan berat.
Didapatkan
pada
penyakit
seperti
mielopati kronik, neuropati, gangguan ginjal kronik, PPOK,
rhematoid arteritis, sleep apnea, ketergantungan obat dan
anemia.
3) Sindroma kaki gelisah (Restless legs syndrome) / Ekboms
syndrome
Ditandai oleh rasa sensasi pada kaki/kaku, yang terjadi
sebelum onset tidur. Gangguan ini sangat berhubungan dengan
mioklonus nokturnal. Pergerakan kaki secara periodik disertai
dengan rasa nyeri akibat kejang musculus tibialis kiri dan
kanan sehingga penderita selalu mendorong-dorong kakinya.
Ditemukan pada penyakit gangguan ginjal stadium akut,
parkinson, wanita hamil. Lokasi kelainan ini diduga diantara
lesi batang otak hipotalamus.
4) Gangguan bernafas saat tidur (sleep apnea)
Terdapat tiga jenis gangguan bernafas saat tidur (sleep apnea)
yaitu central sleep apnea, upper airway obstructive apnea dan
bentuk campuran dari keduanya. Apnea tidur adalah gangguan
pernafasan yang terjadi saat tidur, yang berlangsung selama
lebih dari 10 detik. Dikatakan apnea tidur patologis jika
penderita mengalami episode apnea sekurang kurang lima kali
dalam satu jam atau 30 episode apnea selama semalam. Selama
periodik ini gerakan dada dan dinding perut sangat dominan.
Apnea sentral sering terjadi pada usia lanjut, yang ditandai
dengan intermiten penurunan kemampuan respirasi akibat
penurunan saturasi oksigen. Apnea sentral ditandai oleh
terhentinya aliran udara dan usaha pernafasan secara periodik
selama tidur, sehingga pergerakan dada dan dinding perut
menghilang. Hal ini kemungkinan kerusakan pada batang otak
atau hiperkapnia.
Gangguan saluran nafas (upper airway obstructive) pada saat
tidur ditandai dengan peningkatan pernafasan selama apnea,
peningkatan usaha otot dada dan dinding perut dengan tujuan
memaksa udara masuk melalui obstruksi. Gangguan ini
semakin berat bila memasuki fase REM. Gangguan saluran
nafas
ini
ditandai
dengan
nafas
megap-megap
atau
mendengkur pada saat tidur. Mendengkur ini berlangsung 3-6
kali bersuara kemudian menghilang dan berulang setiap 20-50
detik. Serangan apnea pada saat pasien tidak mendengkur.
Akibat hipoksia atau hipercapnea, menyebabkan respirasi lebih
aktif yang diaktifkan oleh formasi retikularis dan pusat
respirasi medula, dengan akibat pasien terjaga dan respirasi
kembali normal secara reflek.
Baik pada sentral atau obstruksi apnea, pasien sering terbangun
berulang kali dimalam hari, yang kadang-kadang sulit kembali
untuk jatuh tidur. Gangguan ini sering ditandai dengan nyeri
kepala atau tidak enak perasaan pada pagi hari. Pada anak-anak
sering berhubungan dengan gangguan kongenital saluran
nafas, dysotonomi syndrome dan adenotonsilar hypertropi.
Pada orang dewasa obstruksi saluran nafas, septal defek,
hipotiroid,
atau
bradikardi,
gangguan
jantung,
PPOK,
hipertensi, stroke, guillan-barre syndrome dan arnold chiari
malformation.
5) Paska trauma kepala
Sebagian besar pasien dengan paska trauma kepala sering
mengeluh gangguan tidur. Jarak waktu antara trauma kepala
dengan timbulnya keluhan gangguan tidur setelah 2-3 tahun
kemudian.
Pada
gambaran
polysomnography
tampak
penurunan fase REM dan peningkatan sejumlah fase jaga. Hal
ini juga menunjukkan bahwa fase koma (trauma kepala) sangat
berperan dalam penentuan kelainan tidur. Pada penelitian
terakhir menunjukkan pasien tampak selalu mengantuk
berlebih sepanjang hari tanpa diikuti oleh fase onset REM.
Penanganan dengan proses program rehabilitasi seperti sleep
hygine. Penggunaan
lithium carbonate dapat menurunkan
angka frekuensi gangguan tidur akibat trauma kepala.
B. Gangguan Tidur Irama Sirkadian
Sleep wake schedule disorders (gangguan jadwal tidur) yaitu
gangguan dimana penderita tidak dapat tidur dan bangun pada waktu
yang dikehendaki, walaupun jumlah tidurnya tetap. Gangguan ini
sangat berhubungan dengan irama tidur sirkardian normal. Bagianbagian yang berfungsi dalam pengaturan sirkadian antara lain
temperatur badan, plasma darah, urin, fungsi ginjal dan psikologi.
Dalam keadan normal fungsi irama sirkadian mengatur siklus biologi
irama tidur-bangun, dimana sepertiga waktu untuk tidur dan dua pertiga
untuk bangun/aktivitas. Siklus irama sirkadian ini dapat mengalami
gangguan, apabila irama tersebut mengalami pergeseran. Menurut
beberapa penelitian terjadi pergeseran irama sirkadian antara onset
waktu tidur reguler dengan waktu tidur yang irreguler (bringing irama
sirkadian). Perubahan yang jelas secara organik yang mengalami
gangguan irama sirkadian adalah tumor pineal.
Gangguan irama sirkadian dapat dikategorikan dua bagian yaitu
pada sementara (acute work shift, Jet lag) dan menetap (shift worker)
Keduanya dapat mengganggu irama tidur sirkadian sehingga terjadi
perubahan pemendekan waktu onset tidur dan perubahan pada fase
REM Berbagai macam gangguan tidur gangguan irama
sirkadian adalah sebagai berikut :
1) Tipe fase tidur terlambat (delayed sleep phase type).
2)
Tipe Jet lag
3) Tipe pergeseran kerja (shift work type).
4) Tipe fase terlalu cepat tidur (advanced sleep phase
syndrome).
5) Tipe bangun-tidur beraturan
6) Tipe tidak tidur-bangun dalam 24 jam.
C. Lesi Susunan Saraf Pusat (Neurologis)
Meski sangat jarang, lesi batang otak atau bulbar dapat
mengganggu awal atau mempertahankan proses tidur, ini merupakan
gangguan tidur organik. Feldman dan wilkus et al menemukan fase
tidur pada lesi atau trauma daerah 8 ventral pons, yang mana fase 1 dan
2 menetap, tetapi fase REM berkurang atau tidak ada sama sekali.
Penderita chorea ditandai dengan gangguan tidur yang berat, yang
diakibatkan kerusakan pada raphe batang otak. Penyakit seperti Gilles
de la Tourettes syndrome, parkinson, khorea, distonia, gerakan-gerakan
penyakit lebih sering timbul pada saat pasien tidur. Gerakan ini lebih
sering terjadi pada fase awal dan fase 1 dan jarang terjadi pada fase
dalam. Pada demensia senilis dapat menyebabkan gangguan tidur pada
malam hari, hal ini mungkin akibat disorganisasi siklus sirkadian,
terutama perubahan suhu tubuh. Pada penderita stroke dapat mengalami
gangguan tidur bila terjadi gangguan vaskuler didaerah batang otak,
epilepsi seringkali terjadi pada saat tidur terutama pada fase NREM
(stadium ½) jarang terjadi pada fase REM.
D. Gangguan Kesehatan, Toksik
Contohnya adalah seperti neuritis, carpal tunnel sindroma,
distessia, miopati distropi, low back pain, gangguan metabolik seperti
hipotiroid dan hipertiroid, gangguan ginjal akut maupun kronik, asma,
penyakit, ulkus peptikus, gangguan saluran nafas tipe obstruksi sering
menyebabkan gangguan tidur seperti yang ditunjukkan mioklonus
nortuknal.
E. Obat-obatan
Gangguan tidur dapat disebabkan oleh obat-obatan seperti
penggunaan obat stimulan yang kronik (amphetamine, kaffein,
nikotine), antihipertensi, antidepresan, antiparkinson, antihistamin,
antikholinergik. Obat ini dapat menimbulkan terputus-putus fase tidur
REM.
2. Parasomnia
Parasomnia merupakan kelompok heterogen yang terdiri dari kejadiankejadian episode yang berlangsung pada malam hari pada saat tidur atau
pada waktu antara bangun dan tidur. Kasus ini sering berhubungan
dengan gangguan perubahan tingkah laku dan aksi motorik potensial,
sehingga sangat potensial menimbulkan angka kesakitan dan kematian.
Insidensi ini sering ditemukan pada usia anak berumur 3-5 tahun (15%)
dan mengalami perbaikan atau penurunan insidensi pada usia dewasa
(3%). Ada 3 faktor utama presipitasi terjadinya parasomnia yaitu pada
peminum alkohol, orang-orang yang kurang tidur dan pada penderita
stress psikososial. Kelainan ini terletak pada aurosal yang sering terjadi
pada stadium transmisi antara bangun dan tidur. Gambaran berupa
aktivitas otot skeletal dan perubahan sistem otonom. Gejala khasnya
berupa penurunan kesadaran (confuse), dan diikuti arousal dan amnesia
episode. Hal ini seringkali terjadi pada stadium 3 dan 4. Jenis gangguan
yang
terjadi
diantaranya
gangguan
tidur
berjalan
(sleep
walking)/somnabulisme), gangguan teror tidur (sleep terror) dan
gangguan tidur berhubungan dengan fase REM.
2.2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Tidur
Kualitas dan kuantitas tidur dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kualitas
tersebut dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan
memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya adalah :
1. Penyakit
Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit
yang dapat memperbesar kebutuhan tidur seperti penyakit yang
disebabkan oleh infeksi, terutama infeksi limpa. Infeksi limpa berkaitan
dengan keletihan, sehingga penderitanya membutuhkan lebih banyak
waktu tidur untuk mengatasinya. Banyak juga keadaan sakit yang
menjadikan pasien kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur.
2. Latihan dan kelelahan
Keletihan akibat aktivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak
tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal
tersebut terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan
mencapai kelelahan. Maka, orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat
tidur karena tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek.
3. Stress psikologis
Kondisi stres psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan
jiwa. Seseorang yang memiliki masalah psikologis akan mengalami
kegelisahan sehingga sulit untuk tidur.
4. Obat-obatan
Obat-obatan dapat juga memengaruhi proses tidur. Beberapa jenis obat
yang mempengaruhi proses tidur jenis golongan obat diuretik dapat
menyebabkan insomnia, antidepresan dapat menekan, kafein dapat
meningkatkan saraf simpatis yang menyebabkan kesulitan untuk tidur,
golongan beta bloker dapat berefek pada timbulnya insomnia dan
golongan narkotik dapat menekan REM sehingga mudah mengantuk.
5. Nutrisi
Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses
tidur. Konsumsi protein yang tinggi maka sescorang tersebut akan
mempercepat proses tcrjadinya tidur, karena dihasilkan triptofan yang
merupakan asam amino hasil pencernaan protein yang dicerna dapat
membantu mudah tidur. Demikian sebaliknya, kebutuhan gizi yang
kurang dapat juga memengaruhi proses tidur, bahkan terkadang sulit
untuk tidur.
6. Lingkungan
Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang dapat
mempercepat proses terjadinya tidur. Sebaliknya lingkungan yang tidak
aman dan nyaman bagi seseorang dapat menyebabkan hilangnya
ketenangan sehingga mempengaruhi proses tidur.
2.2.6 Pengaruh kafein terhadap kualitas tidur
Kafein merupakan bahan kimia yang secara umum dapat ditemukan pada
berbagai makanan dan minuman seperti kopi, cokelat, teh dan bahan makanan
lain. Kafein tidak diakumulasi didalam tubuh, melainkan secara normal akan di
ekskresi dalam bebrapa jam stelah konsumsi. Kafein dapat menyebabkan rasa
cemas, peningkatan denyut jantung, peningkatan produksi urin, diare, efek
gastrointestinal dan insomnia (Wadlaw-Smith, 2009). Berdasarkan penelitian,
konsumsi kafein dapar mengganggu tidur, baik menurunkan waktu tidur dan
kualitas tidur. Penelitian yang dilakukan Brezinova (1974), mengkonsumsi kafein
sebelum tidur dapat menurunkan waktu tidur, meningkatkan jam tidur dan bangun
tidur lebih awal (Lesher, 2014).
Kafein dihubungkan dengan penurunan frekuensi dari gelombang alpha,
beta dan theta selama tidur (Lesher, 2014). Alasan yang mungkin untuk efek
kafein pada tidur berasal dari peran adenosin. Hal ini berkaitan dengan
mekanisme kerja utama kafein yaitu menghambat reseptor adenosin. Adenosin
merupakan neurotransmiter yang efeknya mengurangkan aktivitas sel terutama sel
saraf. Oleh sebab itu, apabila reseptor adenosin berikatan dengan kafein, efek
yang berlawanan dihasilkan, lantas menjelaskan efek stimulan kafein (Allsbrok,
2008 dalam Nurdiana, 2009).
Sebuah studi harvard menunjukkan bahwa adenosin adalah homeostatis
faktor tidur, yang berarti bahwa ia berperan dalam mempertahankan siklus tidur
alami tubuh. Hal ini mungkin dicapai dikarenakan terjadi peningkatan kadar
adenosin pada orang yang terjaga berkepanjangan (Huang, 2014).
Struktur yang paling penting untuk proses siklus tidur adalah basal
kolinergik pada otak depan, yang berfungsi sebagai pusat mediasi adenosin untuk
mengendalikan tingkat kadar adenosin. Reseptor A2A ditemukan dibawah rostal
otak depan juga mungkin memiliki peran penting, terutama dalam efek adenosin
yang melibatkan reseptor prostaglandin D2 (PGD2), sekelompok lipid reseptor
peraturan. Ini adalah sangat menarik karena reseptor PGD2 ditemukan di dua
lokasi; otak, seperti yang diharapkan, tetapi juga dalam sel mast. Sel mast
memiliki peran dalam alergi karena mengandung histamin. Bagaimanapun, peran
penting dari sel mast adalah untuk memperbaiki luka dan pertahanan tubuh
terhadap patogen (Prussin, 2003). Hubungan ini meski belum sepenuhnya
dipahami, mungkin menujukkan hubungan antar menghambat adenosine dan
perbaikan sel imun yang menurun dan sisterm kekebalan tubuh yang lemah.
Penelitian telah menunjukkan bahwa kafein terkait dengan produksi yang lebih
rendah pada antibodi, efek anti-inflamasi, dan penekanan fungsi limfosit. Temuan
ini menunjukkan dampak kafein pada masalah kesehatan dengan menghambat
fungsi kekebalan tubuh yang tepat saat tidur (Lesher, 2014).
2.2.7 Adenosin dan Tidur
Dalam tubuh manusia terdapat protein yang berhubungan dengan tidur
yaitu adenosine. Adenosine memegang peranan yang penting dalam mengontrol
tidur. Adenosine merupakan zat kimia yang dihasilkan manusia dalam keadaan
jaga, lalu terakumulasi terutama pada cairan serebro spinal, sehingga merangsang
tidur jika kadarnya tinggi. Selanjutnya akan mengakibatkan peningkatan aktivitas
gelombang delta selama tidur. Jika siaga atau terjaga yang berkepanjangan akan
meningkatkan adenosine, yang mengakibatkan aktivitas perilaku abnormal dari
sistem saraf. Hal ini dapat mengganggu kognisi dan emosi, sehingga dapat
membuat seseorang menjadi mudah tersinggung dan selanjutnya dapat
mengakibatkan gangguan psikotik (Adeleyna, 2008).
Pengikatan reseptor adenosine secara kompetitif akan menyebabkan
peningkatan kadar adenosine dalam plasma dan stimulasi kemoreseptor sirkulasi
yang bersifat simpatetik. Simulasi ini ditandai dengan peningkatan katekolamin,
peningkatan resistensi perifer vaskuler, dan sekresi renin. Pada individu yang
sensitif, dapat timbul aritmia sehingga konsumsi kafein pada individu yang
memiliki kelainan jantung perlu diperhatikan. Pelepasan norepinefrin akibat
blokade resptor adenosine 1 (A1) dan peningkatan aktivitas dopaminergik akibat
blokade reseptor A2a memberikan efek stimulan yang ditandai oleh kesulitan tidur
setelah konsumsi kafein (Liveina & Artini, 2014).
2.3
Kerangka Teori
Faktor yang mempengaruhi
kualitas tidur:
1. Penyakit
2. Kelelahan
3. Stres psikologis
4. Obat-obatan
5. Nutrisi
Gangguan tidur:
1. Dissomnia
- Nakolepsi
- Sleep Apnea
2. Parasomnia
- Sleep walking
- Sleep terror
Kualitas tidur terganggu
Menghambat
reseptor
adenosine A1
dan A2A
Pelepasan
Norepinefrin dan
peningkatan
aktivasi
doparminergik
Kafein
Gambar 2.2. Kerangka Teori
Sulit tidur
Download