BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Kafein 2.1.1 Struktur Kimia Kafein Kafein merupakan alkaloid putih dengan rumus senyawa kimia C8H10N4O2, dan rumus bangun 1,3,7-trimethylxanthine. Kafein mempunyai kemiripan struktur kimia dengan 3 senyawa alkaloid yaitu xanthin, theophylline, dan theobromine (Daswin, 2013). C8H10N4O2 Gambar 2.1. Struktur kimia kafein 2.1.2 Sumber Kafein Kafein ialah senyawa kimia yang dijumpai secara alami didalam makanan contohnya biji kopi, teh, biji kelapa, buah kola (cola nitide) guarana, dan mate. Teh adalah sumber kafein yang lain, dan mengandung setengah dari kafein yang dikandung kopi. Beberapa tipe teh yaitu teh hitam mengandung lebih banyak kafein dibandingkan jenis teh yang lain. Teh mengandung sedikit jumlah teobromine dan sedikit lebih tinggi theophyline dari kopi (Daswin, 2013). Kafein juga merupakan bahan yang dipakai untuk ramuan minuman non alkohol seperti cola, yang semula dibuat dari kacang kola. Soft drinks khususnya terdiri dari 10-50 miligram kafein. Coklat terbuat dari kokoa mengandung sedikit kafein seperti terlihat pada tabel 2.1. Efek stimulan yang lemah dari coklat dapat merupakan kombinasi dari theobromine dan theophyline sebagai kafein (Casal et al, 2000 dalam Purba, 2011). Tabel 2.1 Kadar Kafein dalam Berbagai Produk Coffee, cup = 125 ml Caffeine (mg) Filtered, percolated 60-100 Drip 44 Instant 35-50 Pads, dark regular 90-95 Pads, milk 75-80 Cappucino 60 Espresso, cup = 50 ml 50-60 Decaffeinated coffe cup = 125 ml 2-4 Tea, cup = 125 ml 20-45 Soft drinks per 100 ml Cola’s general 3-11 Cola’s light 0-15 Ice tea 3-12 Energy drinks per 100 ml 30 Chocolate containing drinks per 100 ml 2-4 Chocolate/50 gr Milk 2-25 Dark 8-60 Extra dark 30-210 Chocolate candy, bars, ice cream 2-10 Alcoholic drinks or shooters per 100 ml 50-120 Prescription and non predescription medication 25-200 Sumber : Snel & Lorist, 2011 2.1.3 Manfaat dan Kegunaan Kafein Kafein memiliki manfaat dan kegunaan yang cukup banyak dalam dunia medis. Kafein sering digunakan dalam terapi kombinasi pengobatan migrain. Menurut American Headache Society, kombinasi pemberian oral antara kafein bersama-sama dengan obat penghilang rasa sakit seperti aspirin dan acetaminophen, efektif untuk mengobati migrain. Hal ini dikarenakan kafein dalam dosis kecil dapat membantu penyerapan obat-obatan penghilang rasa sakit terutama pada paracetamol. Kafein telah disetujui FDA untuk digunakan dengan obat penghilang rasa sakit untuk mengobati sakit kepala migrain. Kafein juga dapat digunakan pada penderita tension type headache dan nyeri kepala paska operasi. Pemberian kafein dalam dilakukan per oral maupun intravena (Shapiro & Cowan, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Smith & Roger (2000), kafein dapat meningkatkan kewaspadaan mental seseorang. Penelitian menunjukkan bahwa minum minuman berkafein sepanjang hari dapat meningkatkan kewaspadaan pikiran. Sehingga kafein sering dikombinasikan dalam minuman berenergi untuk meningkatkan kinerja mental lebih baik (Smith & Roger, 2000). Menurut American College of Sport Medicine, kafein dapat meningkatkan kekuatan fisik dan daya tahan, dan mungkin menunda kelelahan. Penggunaan kafein juga dapat mengurangi perasaan lelah dan meningkatkan kinerja selama kegiatan seperti bersepeda, berjalan, bermain sepak bola, dan golf. Namun kafein tampaknya tidak meningkatkan kinerja selama jangka pendek, intensitas tinggi latihan seperti berlari dan mengangkat (American College of Sport Medicine, 2008). Manfaat lain dari kafein adalah dapat meningkatkan tekanan darah, sehingga kafein berguna pada penderita hipotensi. Namun untuk kafein terhadap tekanan darah secara jangka panjang belum ada penelitian lebih lanjut (AHA, 2000). Kafein juga dapat menurunkan resiko dari timbulnya batu empedu, hal ini dilakukan oleh Leitzmann et al (1999) dengan menggunakan studi prospektif pada 46.000 responden (Leitzman, 1999). 2.1.4 Dosis Harian Kafein Kafein memiliki fungsi dan manfaat bagi tubuh dalam dosis tertentu. Penggunaan kafein dalam jumlah besar dan jangka panjang akan menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Konsumsi kafein yang aman untuk orang dewasa yang sehat berkisar antara 400-450 mg/hari, tapi kebanyakan orang dewasa mengkonsumsi antara 106-170 mg/hari; secara luas dianggap sebagai kisaran aman (Lesher, 2014). Menurut Greeden et al. (1978), mengkonsumsi 500 mg kafein per hari dapat menyebabkan gangguan berbagai manifestasi perilaku, dan psikofisiologis. Dalam penggunaan pada sakit kepala atau meningkatkan kewaspadaan mental dapat digunakan sebanyak 250 mg per hari, dengan dosis untuk kelelahan paska aktivitas yaitu 150-600 mg. Kafein juga sering digunakan untuk meningkatkan kinerja atletik, dengan dosis 2-10 mg/kg atau lebih dapat digunakan. Namun, dosis lebih dari 800 mg per hari dapat menghasilkan efek diuresis lebih besar dari 15 mcg/mL diizinkan oleh National Collegiate Athletic Association. Kafein juga dapat menurunkan sakit kepala paska operasi dengan penggunaan anestesi epidural dengan dosis 300 mg. Untuk mencegah penyakit batu empedu, asupan 400 mg atau lebih kafein per hari. Kafein dapat diperoleh dengan meminum satu cangkir kopi diseduh memberikan 95-200 mg kafein. Sebuah porsi 8-ons teh hitam memberikan 40-120 mg kafein. Sebuah porsi 8-ons teh hijau menyediakan 15-60 mg kafein. Minuman ringan seperti cola menyediakan 20-80 mg kafein per 12 ons porsi. Olahraga atau minuman energi biasanya memberikan 48-300 mg kafein per porsi. Sumber lain dari kafein dapat diperoleh dari penggunaan suplemen kafein secara langsung, dengan sediaan 100200 mg, dengan pemakaian 100 hingga 200 mg setiap 3 sampai 4 jam selama dibutuhkan, dengan tidak mengkonsumsi suplemen 6 jam sebelum tidur (WebMD, 2014). Menurut James et al. (1968), pengguna kopi/teh berat adalah seseorang yang mengkomsumsi setidaknya 8 gelas teh atau kopi per hari atau setara dengan mengkonsumsi rata-rata 720-2250 mg per hari. 2.1.5 Farmakodinamik Kafein Kafein mempunyai efek relaksasi otot polos , terutama otot polos bronkus, merangsang susunan saraf pusat, otot jantung, dan meningkatkan diuresis (Purba, 2011) : a. Jantung Kadar rendah kafein dalam plasma akan menurunkan denyut jantung, sebaliknya kadar kafein dan teofilin yang lebih tinggi menyebabkan tachycardia, bahkan pada individu yang sensitif mungkin menyebabkan aritmia yang berdampak kepada kontraksi ventrikel yang prematur. b. Pembuluh darah Kafein menyebabkan dilatasi pembuluh darah termasuk pembuluh darah koroner dan pulmonal, karena efek langsung pada otot pembuluh darah c. Sirkulasi Otak Resistensi pembuluh darah otak naik disertai pengurangan aliran darah dan O2 di otak, ini diduga merupakan refleksi adanya blokade adenosine oleh Xantin. d. Susunan Saraf Pusat Kafein merupakan perangsang SSP yang kuat. Orang yang mengkonsumsi kafein tidak terlalu merasa kantuk, tidak terlalu lelah, dan daya pikirnya lebih cepat serta lebih jernih. Tetapi, kemampuannya berkurang dalam pekerjaan yang memerlukan koordinasi otot halus (kerapian), ketepatan waktu atau ketepatan berhitung. Efek diatas timbul pada pemberian kafein 82-250 mg (1-3 cangkir kopi). e. Diuresis Kafein dapat menyebabkan diuresis dengan cara meninggikan produksi urin atau menghambat reabsorbsi elektrolit di tubulus proksimal. Akan tetapi efek yang ditimbulkan sangat lemah. 2.1.6 Farmakokinetik Kafein Kafein diabsorbsi dengan cepat dan mendekati sempurna melalui saluran gastrointestinal dalam waktu 30-60 menit. Kafein didistribusikan secara merata ke seluruh jaringan tubuh, Konsentrasi maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 1 jam dengan rentang 0,5-1,5 jam. Waktu paruh eliminasi sangat bervariasi rata-rata 5 jam dengan rentang 2-12 jam (Donovan & Devane, 2001 dalam Dalimunthe, 2011). Telah dilaporkan bahwa waktu paruh kafein pada wanita lebih singkat dibandingkan dengan laki-laki (Nawrot et al, 2003 dalam Daswin, 2013). Eliminasi kafein dari tubuh terjadi melalui metabolisme. Metabolisme kafein sangat kompleks, paling sedikit ada 25 metabolit yang dihasilkan. Kafein diekskresikan melalui urin dalam bentuk tidak berubah yaitu hanya 1-4% setelah pemberian oral. Jalur utama eliminasi kafein melalui reaksi demetilasi yang dikatalisis oleh enzim sitokrom P450 (CYP1A2) menghasilkan paraxantin (1,7dimetilxantin) sebanyak 80%, teobromin 10%, dan teofilin 4% (Dalimunthe, 2011). 2.2 Tidur 2.2.1 Definisi Tidur Tidur adalah suatu proses aktif yang terdiri dari periode-periode tidur gelombang-lambat dan paradoksikal yang berselang-seling (Sherwood, 2001). Tidur merupakan periode istirahat untuk tubuh dan pikiran. Selama masa ini berlangsung, kemauan dan kesadaran ditangguhkan sebagian atau keseluruhannya dan fungsi-fungsi tubuh sebagian dihentikan. Tidur juga dideskripsikan sebagai status tingkah laku yang ditandai dengan posisi tak bergerak yang khas dan sensivitas reversibel yang menurun, tapi siaga terhadap rangsangan dari luar (Dorland, 2008). 2.2.2 Fisiologi Tidur Saat malam hari, seseorang melalui dua stadium tidur yang saling bergantian, yaitu paradoksisal atau tidur Rapid Eye Movement (REM) dan tidur gelombang lambat atau tidur Non Rapid Eye Movement (NREM). Keseluruhan tidur yang terjadi ialah tidur gelombang lambat yang dialami pada jam pertama tidur setelah bangun selama berjam-jam sedangkan tidur paradoksikal terjadi pada 25% dari waktu tidur yang berulang secara periodik setiap 90 menit. Tipe tidur ini umumnya disertai dengan mimpi (Guyton, 2006). Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-7 kali siklus semalam. Bayi baru lahir total tidur 16-20 jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada orang dewasa (Ganong, 2003). Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu : 1. Tidur stadium satu Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola mata kekanan dan kekiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan. Gambaran EEG biasanya terdiri dari gelombang campuran alfa, betha dan kadang gelombang theta dengan amplitudo yang rendah. Tidak didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan kompleks K. 2. Tidur stadium dua Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama. Gambaran EEG terdiri dari gelombang theta simetris. Terlihat adanya gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan komplek K. 3. Tidur stadium tiga Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%-50% serta tampak gelombang sleep spindle. 4. Tidur stadium empat Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle. Fase tidur NREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau bangun. Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat rendah, apabila dibangunkan hampir semua organ akan dapat menceritakan mimpinya, denyut nadi bertambah dan pada laki-laki terjadi ereksi penis, tonus otot menunjukkan relaksasi yang dalam. Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang seperti periode neonatal bahwa tidur REM mewakili 50% dari waktu total tidur. Periode neonatal ini pada EEG-nya masuk ke fase REM tanpa melalui stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola berubah sehingga presentasi total tidur REM berkurang sampai 40% hal ini sesuai dengan kematangan sel-sel otak, kemudian akan masuk ke periode awal tidur yang didahului oleh fase NREM kemudian fase REM pada dewasa muda dengan distribusi fase tidur sebagai berikut : - NREM (75%) yaitu stadium 1 : 5%; stadium 2 : 45%; stadium 3 : 12%; stadium 4 : 13% - REM 25% 2.2.3 Kualitas Tidur Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur seperti lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur (Buysse et al, 1998 dalam Putri, 2013). Kualitas tidur yang baik akan ditandai dengan tidur yang tenang, merasa segar pada pagi hari dan merasa semangat untuk melakukan aktivitas (Agustin, 2012). Busyee et al, (1989) melakukan penelitian tentang pengukuran kualitas dan pola tidur dengan menggunakan The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). PSQI membedakan antara tidur yang baik dan tidur yang buruk dengan pemeriksaan 7 komponen: latensi tidur, durasi tidur, kualitas tidur, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur dan gangguan fungsi tubuh di siang hari (Agustin, 2012). 2.2.4 Gangguan Tidur Menurut International Classification of Sleep Disorders, gangguan tidur terbagi atas: 1 Dissomnia Adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesukaran menjadi jatuh tidur, mengalami gangguan selama tidur bangun terlalu dini atau kombinasi di antaranya: A. Gangguan Tidur Spesifik 1) Narkolepsi Ditandai oleh serangan mendadak tidur yang tidak dapat dihindari pada siang hari, biasanya hanya berlangsung 10-20 menit atau selalu kurang dari 1 jam, setelah itu pasien akan segar kembali dan terulang kembali 2-3 jam berikutnya. Gambaran tidurnya menunjukkan penurunan fase REM 3070%. Pada serangan tidur dimulai dengan fase REM. Berbagai bentuk narkolepsi diantaranya narkolepsi kataplesia adalah kehilangan tonus otot yang sementara baik sebagian atau seluruh otot tubuh seperti jaw drop dan head drop. Bentuk lain yaitu hypnagogic halusinasi auditorik/visual berupa halusinasi pada saat jatuh tidur sehingga pasien dalam keadaan jaga, kemudian ke kerangka pikiran normal dan terakhir sleep paralisis adalah otot volunter mengalami paralisis pada saat masuk tidur sehingga pasien sadar ia tidak mampu menggerakkan ototnya. 2) Gangguan gerakan anggota gerak badan secara periodik (periodic limb movement disorders) / mioklonus nortuknal Ditandai adanya gerakan anggota gerak badan secara streotipik, berulang selama tidur. Paling sering terjadi pada anggota gerak kaki baik satu atau kedua kaki. Bentuknya berupa esktensi ibu jari kaki dan fleksi sebagian pada sendi lutut dan tumit. Gerak itu berlangsung antara 0,5 - 5 detik, berulang dalam waktu 20 - 60 detik atau mungkin berlangsung terus menerus dalam beberapa menit atau jam. Bentuk tonik lebih sering dari pada mioklonus. Sering timbul pada fase NREM atau saat onset tidur sehingga menyebabkan gangguan tidur kronik yang terputus. Lesi pada pusat kontrol pacemaker batang otak. Insidensi 5% dari orang normal antara usia 30-50 tahun dan 29% pada usia lebih dari 50 tahun. Berat ringan gangguan ini sangat tergantung dari jumlah gerakan yang terjadi selama tidur, bila 5-25 gerakan/jam dapat dikategorikan ringan, apabila 25-50 gerakan/jam dikategorikan sedang, dan lebih dari 50 kali/jam dikategorikan berat. Didapatkan pada penyakit seperti mielopati kronik, neuropati, gangguan ginjal kronik, PPOK, rhematoid arteritis, sleep apnea, ketergantungan obat dan anemia. 3) Sindroma kaki gelisah (Restless legs syndrome) / Ekboms syndrome Ditandai oleh rasa sensasi pada kaki/kaku, yang terjadi sebelum onset tidur. Gangguan ini sangat berhubungan dengan mioklonus nokturnal. Pergerakan kaki secara periodik disertai dengan rasa nyeri akibat kejang musculus tibialis kiri dan kanan sehingga penderita selalu mendorong-dorong kakinya. Ditemukan pada penyakit gangguan ginjal stadium akut, parkinson, wanita hamil. Lokasi kelainan ini diduga diantara lesi batang otak hipotalamus. 4) Gangguan bernafas saat tidur (sleep apnea) Terdapat tiga jenis gangguan bernafas saat tidur (sleep apnea) yaitu central sleep apnea, upper airway obstructive apnea dan bentuk campuran dari keduanya. Apnea tidur adalah gangguan pernafasan yang terjadi saat tidur, yang berlangsung selama lebih dari 10 detik. Dikatakan apnea tidur patologis jika penderita mengalami episode apnea sekurang kurang lima kali dalam satu jam atau 30 episode apnea selama semalam. Selama periodik ini gerakan dada dan dinding perut sangat dominan. Apnea sentral sering terjadi pada usia lanjut, yang ditandai dengan intermiten penurunan kemampuan respirasi akibat penurunan saturasi oksigen. Apnea sentral ditandai oleh terhentinya aliran udara dan usaha pernafasan secara periodik selama tidur, sehingga pergerakan dada dan dinding perut menghilang. Hal ini kemungkinan kerusakan pada batang otak atau hiperkapnia. Gangguan saluran nafas (upper airway obstructive) pada saat tidur ditandai dengan peningkatan pernafasan selama apnea, peningkatan usaha otot dada dan dinding perut dengan tujuan memaksa udara masuk melalui obstruksi. Gangguan ini semakin berat bila memasuki fase REM. Gangguan saluran nafas ini ditandai dengan nafas megap-megap atau mendengkur pada saat tidur. Mendengkur ini berlangsung 3-6 kali bersuara kemudian menghilang dan berulang setiap 20-50 detik. Serangan apnea pada saat pasien tidak mendengkur. Akibat hipoksia atau hipercapnea, menyebabkan respirasi lebih aktif yang diaktifkan oleh formasi retikularis dan pusat respirasi medula, dengan akibat pasien terjaga dan respirasi kembali normal secara reflek. Baik pada sentral atau obstruksi apnea, pasien sering terbangun berulang kali dimalam hari, yang kadang-kadang sulit kembali untuk jatuh tidur. Gangguan ini sering ditandai dengan nyeri kepala atau tidak enak perasaan pada pagi hari. Pada anak-anak sering berhubungan dengan gangguan kongenital saluran nafas, dysotonomi syndrome dan adenotonsilar hypertropi. Pada orang dewasa obstruksi saluran nafas, septal defek, hipotiroid, atau bradikardi, gangguan jantung, PPOK, hipertensi, stroke, guillan-barre syndrome dan arnold chiari malformation. 5) Paska trauma kepala Sebagian besar pasien dengan paska trauma kepala sering mengeluh gangguan tidur. Jarak waktu antara trauma kepala dengan timbulnya keluhan gangguan tidur setelah 2-3 tahun kemudian. Pada gambaran polysomnography tampak penurunan fase REM dan peningkatan sejumlah fase jaga. Hal ini juga menunjukkan bahwa fase koma (trauma kepala) sangat berperan dalam penentuan kelainan tidur. Pada penelitian terakhir menunjukkan pasien tampak selalu mengantuk berlebih sepanjang hari tanpa diikuti oleh fase onset REM. Penanganan dengan proses program rehabilitasi seperti sleep hygine. Penggunaan lithium carbonate dapat menurunkan angka frekuensi gangguan tidur akibat trauma kepala. B. Gangguan Tidur Irama Sirkadian Sleep wake schedule disorders (gangguan jadwal tidur) yaitu gangguan dimana penderita tidak dapat tidur dan bangun pada waktu yang dikehendaki, walaupun jumlah tidurnya tetap. Gangguan ini sangat berhubungan dengan irama tidur sirkardian normal. Bagianbagian yang berfungsi dalam pengaturan sirkadian antara lain temperatur badan, plasma darah, urin, fungsi ginjal dan psikologi. Dalam keadan normal fungsi irama sirkadian mengatur siklus biologi irama tidur-bangun, dimana sepertiga waktu untuk tidur dan dua pertiga untuk bangun/aktivitas. Siklus irama sirkadian ini dapat mengalami gangguan, apabila irama tersebut mengalami pergeseran. Menurut beberapa penelitian terjadi pergeseran irama sirkadian antara onset waktu tidur reguler dengan waktu tidur yang irreguler (bringing irama sirkadian). Perubahan yang jelas secara organik yang mengalami gangguan irama sirkadian adalah tumor pineal. Gangguan irama sirkadian dapat dikategorikan dua bagian yaitu pada sementara (acute work shift, Jet lag) dan menetap (shift worker) Keduanya dapat mengganggu irama tidur sirkadian sehingga terjadi perubahan pemendekan waktu onset tidur dan perubahan pada fase REM Berbagai macam gangguan tidur gangguan irama sirkadian adalah sebagai berikut : 1) Tipe fase tidur terlambat (delayed sleep phase type). 2) Tipe Jet lag 3) Tipe pergeseran kerja (shift work type). 4) Tipe fase terlalu cepat tidur (advanced sleep phase syndrome). 5) Tipe bangun-tidur beraturan 6) Tipe tidak tidur-bangun dalam 24 jam. C. Lesi Susunan Saraf Pusat (Neurologis) Meski sangat jarang, lesi batang otak atau bulbar dapat mengganggu awal atau mempertahankan proses tidur, ini merupakan gangguan tidur organik. Feldman dan wilkus et al menemukan fase tidur pada lesi atau trauma daerah 8 ventral pons, yang mana fase 1 dan 2 menetap, tetapi fase REM berkurang atau tidak ada sama sekali. Penderita chorea ditandai dengan gangguan tidur yang berat, yang diakibatkan kerusakan pada raphe batang otak. Penyakit seperti Gilles de la Tourettes syndrome, parkinson, khorea, distonia, gerakan-gerakan penyakit lebih sering timbul pada saat pasien tidur. Gerakan ini lebih sering terjadi pada fase awal dan fase 1 dan jarang terjadi pada fase dalam. Pada demensia senilis dapat menyebabkan gangguan tidur pada malam hari, hal ini mungkin akibat disorganisasi siklus sirkadian, terutama perubahan suhu tubuh. Pada penderita stroke dapat mengalami gangguan tidur bila terjadi gangguan vaskuler didaerah batang otak, epilepsi seringkali terjadi pada saat tidur terutama pada fase NREM (stadium ½) jarang terjadi pada fase REM. D. Gangguan Kesehatan, Toksik Contohnya adalah seperti neuritis, carpal tunnel sindroma, distessia, miopati distropi, low back pain, gangguan metabolik seperti hipotiroid dan hipertiroid, gangguan ginjal akut maupun kronik, asma, penyakit, ulkus peptikus, gangguan saluran nafas tipe obstruksi sering menyebabkan gangguan tidur seperti yang ditunjukkan mioklonus nortuknal. E. Obat-obatan Gangguan tidur dapat disebabkan oleh obat-obatan seperti penggunaan obat stimulan yang kronik (amphetamine, kaffein, nikotine), antihipertensi, antidepresan, antiparkinson, antihistamin, antikholinergik. Obat ini dapat menimbulkan terputus-putus fase tidur REM. 2. Parasomnia Parasomnia merupakan kelompok heterogen yang terdiri dari kejadiankejadian episode yang berlangsung pada malam hari pada saat tidur atau pada waktu antara bangun dan tidur. Kasus ini sering berhubungan dengan gangguan perubahan tingkah laku dan aksi motorik potensial, sehingga sangat potensial menimbulkan angka kesakitan dan kematian. Insidensi ini sering ditemukan pada usia anak berumur 3-5 tahun (15%) dan mengalami perbaikan atau penurunan insidensi pada usia dewasa (3%). Ada 3 faktor utama presipitasi terjadinya parasomnia yaitu pada peminum alkohol, orang-orang yang kurang tidur dan pada penderita stress psikososial. Kelainan ini terletak pada aurosal yang sering terjadi pada stadium transmisi antara bangun dan tidur. Gambaran berupa aktivitas otot skeletal dan perubahan sistem otonom. Gejala khasnya berupa penurunan kesadaran (confuse), dan diikuti arousal dan amnesia episode. Hal ini seringkali terjadi pada stadium 3 dan 4. Jenis gangguan yang terjadi diantaranya gangguan tidur berjalan (sleep walking)/somnabulisme), gangguan teror tidur (sleep terror) dan gangguan tidur berhubungan dengan fase REM. 2.2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Tidur Kualitas dan kuantitas tidur dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kualitas tersebut dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya adalah : 1. Penyakit Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit yang dapat memperbesar kebutuhan tidur seperti penyakit yang disebabkan oleh infeksi, terutama infeksi limpa. Infeksi limpa berkaitan dengan keletihan, sehingga penderitanya membutuhkan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasinya. Banyak juga keadaan sakit yang menjadikan pasien kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur. 2. Latihan dan kelelahan Keletihan akibat aktivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal tersebut terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan. Maka, orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur karena tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek. 3. Stress psikologis Kondisi stres psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa. Seseorang yang memiliki masalah psikologis akan mengalami kegelisahan sehingga sulit untuk tidur. 4. Obat-obatan Obat-obatan dapat juga memengaruhi proses tidur. Beberapa jenis obat yang mempengaruhi proses tidur jenis golongan obat diuretik dapat menyebabkan insomnia, antidepresan dapat menekan, kafein dapat meningkatkan saraf simpatis yang menyebabkan kesulitan untuk tidur, golongan beta bloker dapat berefek pada timbulnya insomnia dan golongan narkotik dapat menekan REM sehingga mudah mengantuk. 5. Nutrisi Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses tidur. Konsumsi protein yang tinggi maka sescorang tersebut akan mempercepat proses tcrjadinya tidur, karena dihasilkan triptofan yang merupakan asam amino hasil pencernaan protein yang dicerna dapat membantu mudah tidur. Demikian sebaliknya, kebutuhan gizi yang kurang dapat juga memengaruhi proses tidur, bahkan terkadang sulit untuk tidur. 6. Lingkungan Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang dapat mempercepat proses terjadinya tidur. Sebaliknya lingkungan yang tidak aman dan nyaman bagi seseorang dapat menyebabkan hilangnya ketenangan sehingga mempengaruhi proses tidur. 2.2.6 Pengaruh kafein terhadap kualitas tidur Kafein merupakan bahan kimia yang secara umum dapat ditemukan pada berbagai makanan dan minuman seperti kopi, cokelat, teh dan bahan makanan lain. Kafein tidak diakumulasi didalam tubuh, melainkan secara normal akan di ekskresi dalam bebrapa jam stelah konsumsi. Kafein dapat menyebabkan rasa cemas, peningkatan denyut jantung, peningkatan produksi urin, diare, efek gastrointestinal dan insomnia (Wadlaw-Smith, 2009). Berdasarkan penelitian, konsumsi kafein dapar mengganggu tidur, baik menurunkan waktu tidur dan kualitas tidur. Penelitian yang dilakukan Brezinova (1974), mengkonsumsi kafein sebelum tidur dapat menurunkan waktu tidur, meningkatkan jam tidur dan bangun tidur lebih awal (Lesher, 2014). Kafein dihubungkan dengan penurunan frekuensi dari gelombang alpha, beta dan theta selama tidur (Lesher, 2014). Alasan yang mungkin untuk efek kafein pada tidur berasal dari peran adenosin. Hal ini berkaitan dengan mekanisme kerja utama kafein yaitu menghambat reseptor adenosin. Adenosin merupakan neurotransmiter yang efeknya mengurangkan aktivitas sel terutama sel saraf. Oleh sebab itu, apabila reseptor adenosin berikatan dengan kafein, efek yang berlawanan dihasilkan, lantas menjelaskan efek stimulan kafein (Allsbrok, 2008 dalam Nurdiana, 2009). Sebuah studi harvard menunjukkan bahwa adenosin adalah homeostatis faktor tidur, yang berarti bahwa ia berperan dalam mempertahankan siklus tidur alami tubuh. Hal ini mungkin dicapai dikarenakan terjadi peningkatan kadar adenosin pada orang yang terjaga berkepanjangan (Huang, 2014). Struktur yang paling penting untuk proses siklus tidur adalah basal kolinergik pada otak depan, yang berfungsi sebagai pusat mediasi adenosin untuk mengendalikan tingkat kadar adenosin. Reseptor A2A ditemukan dibawah rostal otak depan juga mungkin memiliki peran penting, terutama dalam efek adenosin yang melibatkan reseptor prostaglandin D2 (PGD2), sekelompok lipid reseptor peraturan. Ini adalah sangat menarik karena reseptor PGD2 ditemukan di dua lokasi; otak, seperti yang diharapkan, tetapi juga dalam sel mast. Sel mast memiliki peran dalam alergi karena mengandung histamin. Bagaimanapun, peran penting dari sel mast adalah untuk memperbaiki luka dan pertahanan tubuh terhadap patogen (Prussin, 2003). Hubungan ini meski belum sepenuhnya dipahami, mungkin menujukkan hubungan antar menghambat adenosine dan perbaikan sel imun yang menurun dan sisterm kekebalan tubuh yang lemah. Penelitian telah menunjukkan bahwa kafein terkait dengan produksi yang lebih rendah pada antibodi, efek anti-inflamasi, dan penekanan fungsi limfosit. Temuan ini menunjukkan dampak kafein pada masalah kesehatan dengan menghambat fungsi kekebalan tubuh yang tepat saat tidur (Lesher, 2014). 2.2.7 Adenosin dan Tidur Dalam tubuh manusia terdapat protein yang berhubungan dengan tidur yaitu adenosine. Adenosine memegang peranan yang penting dalam mengontrol tidur. Adenosine merupakan zat kimia yang dihasilkan manusia dalam keadaan jaga, lalu terakumulasi terutama pada cairan serebro spinal, sehingga merangsang tidur jika kadarnya tinggi. Selanjutnya akan mengakibatkan peningkatan aktivitas gelombang delta selama tidur. Jika siaga atau terjaga yang berkepanjangan akan meningkatkan adenosine, yang mengakibatkan aktivitas perilaku abnormal dari sistem saraf. Hal ini dapat mengganggu kognisi dan emosi, sehingga dapat membuat seseorang menjadi mudah tersinggung dan selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan psikotik (Adeleyna, 2008). Pengikatan reseptor adenosine secara kompetitif akan menyebabkan peningkatan kadar adenosine dalam plasma dan stimulasi kemoreseptor sirkulasi yang bersifat simpatetik. Simulasi ini ditandai dengan peningkatan katekolamin, peningkatan resistensi perifer vaskuler, dan sekresi renin. Pada individu yang sensitif, dapat timbul aritmia sehingga konsumsi kafein pada individu yang memiliki kelainan jantung perlu diperhatikan. Pelepasan norepinefrin akibat blokade resptor adenosine 1 (A1) dan peningkatan aktivitas dopaminergik akibat blokade reseptor A2a memberikan efek stimulan yang ditandai oleh kesulitan tidur setelah konsumsi kafein (Liveina & Artini, 2014). 2.3 Kerangka Teori Faktor yang mempengaruhi kualitas tidur: 1. Penyakit 2. Kelelahan 3. Stres psikologis 4. Obat-obatan 5. Nutrisi Gangguan tidur: 1. Dissomnia - Nakolepsi - Sleep Apnea 2. Parasomnia - Sleep walking - Sleep terror Kualitas tidur terganggu Menghambat reseptor adenosine A1 dan A2A Pelepasan Norepinefrin dan peningkatan aktivasi doparminergik Kafein Gambar 2.2. Kerangka Teori Sulit tidur