I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri tekstil dan produk tekstil Indonesia (TPT) memainkan peran yang cukup besar dalam menunjang perekonomian nasional. Pada tahun 2006, industri ini memberikan kontribusi sebesar 11,7% terhadap ekspor nasional, 20,2% terhadap surplus perdagangan nasional dan 3,8% terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Disamping itu, Industri ini tekstil mampu menyerap tenaga kerja sekitar 1,84 juta orang (Miranti 2007). Namun, saat ini keberadaan industri tekstil menjadi industri kontroversi karena di samping berkontribusi besar terhadap peningkatan perekonomian nasional pada sisi lain industri tekstil penghasil limbah cair tinggi dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya pencemaran air. Industri TPT di Indonesia sekitar 85% terkonsentrasi di pulau Jawa sedangkan sisanya tersebar di Sumatera dan Bali. Di Bali, sampai saat ini tekstil dan produk tekstil masih menjadi salah satu komoditas ekspor potensial dalam meningkatkan pendapatan daerah. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali periode Januari sampai Desember 2006, komoditas ekspor hasil industri terhadap total nilai ekspor sebesar 35,36%. Dari ekspor hasil industri tersebut, tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan komoditas ekspor terbesar (26,44%) dibandingkan dengan komoditas ekspor hasil industri berupa tas (0,58%), sepatu (1,75%), plastik (4,37%), komponen/rumah jadi ( 0,7%), dan ikan kaleng (1,52%). Observasi terhadap beberapa sentral industri pencelupan tekstil yang ada di Bali, keberadaan industri pencelupan tekstil ini sangat berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan terutama pencemaran air. Hal ini disebabkan lokasi industri sebagian besar letaknya dekat sungai dan kurang dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah yang memadai. Pada umumnya, industri pencelupan tekstil menampung limbahnya dalam bak penampung kemudian dibuang ke badan-badan air atau langsung ke sungai melalui pipa penyalur. Kandungan zat warna dalam air sebesar 1 mg/L sudah menyebabkan air tampak berwarna, sementara kandungan zat warna pada limbah tekstil umumnya berkisar antara 20-200 mg/L sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan yang ekstrim pada beberapa parameter kualitas air (Pandey et al. 2007). 2 Pada proses pencelupan tekstil lebih banyak memakai zat warna sintetik dibandingkan zat warna alam karena zat warna sintetik dapat memenuhi kebutuhan skala besar, warna lebih bervariasi dan pemakaiannya lebih praktis (Montano 2007). Di antara zat warna sintetik yang tersebar di pasaran, zat paling banyak digunakan dalam pencelupan tekstil adalah zat warna reaktif azo. Zat warna reaktif azo merupakan zat warna sintetik yang mengandung paling sedikit satu ikatan ganda N=N dan mempunyai gugus reaktif yang dapat membentuk ikatan kovalen dengan gugus –OH, -NH atau –SH pada serat. Zat warna reaktif azo banyak digunakan dalam pencelupan kain terutama dari serat selulosa, rayon dan wool. Hal ini disebabkan zat warna reaktif azo dapat terikat kuat pada kain, memberikan warna yang baik dan tidak mudah luntur (Blackburn dan Burkinshaw 2002). Zat warna reaktif azo disintesis untuk tidak mudah rusak oleh perlakuan kimia maupun fotolitik. Dengan demikian, bila terbuang ke lingkungan dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama dan mengalami akumulasi dalam lingkungan sampai pada tingkat konsentrasi tertentu dapat menimbulkan dampak negatif terhadap daya dukung lingkungan. Studi yang dilakukan oleh Suganda et al. (2005), tentang evaluasi pencemaran limbah industri tekstil terhadap kelestarian lahan sawah melaporkan bahwa lahan sawah yang tergenang limbah tekstil dapat mengurangi produksi padi. Dalam data penelitian tersebut dinyatakan lahan sawah yang sering terkena aliran limbah industri tekstil menghasilkan produksi gabah sebesar sekitar 3 - 3,5 ton/ha/musim sedangkan yang tidak kena aliran limbah tekstil produksinya mencapai 5 - 5,5 ton/ha/musim. Turunnya produksi gabah pada lahan yang terkena aliran limbah tekstil disebabkan karena air limbah tekstil merusak akar dan batang padi. Toksisitas zat warna reaktif azo menurut kriteria Uni Eopa untuk bahan berbahaya adalah tergolong rendah. Zat warna azo umumnya mempunyai LD50 sebesar 250-2000 mg/kg berat badan dan hanya sedikit yang mempunyai LD50 di bawah 250 mg/kg berat badan (Van der Zee 2002). Walaupun toksisitas akut zat warna azo relatif rendah, akan tetapi keberadaan zat warna dalam air dapat menghambat penetrasi sinar matahari ke dalam air sehingga mengganggu aktivitas fotosintesis mikroalga. Dampak lanjutannya adalah pasokan oksigen dalam air menjadi berkurang dan akhirnya memicu aktivitas mikroorganisme anoksik-anaerob yang menghasilkan produk berbau tak sedap ( Montano 2007). Disamping itu, perombakan zat warna azo secara anaerob pada dasar perairan 3 menghasilkan senyawa amina aromatik yang kemungkinan lebih toksik dibandingkan dengan zat warna azo itu sendiri (Van der Zee 2002). Untuk itu, sistem pengendalian pencemaran limbah tekstil melalui penyediaan instalasi pengolahan air limbah sangat perlu dilakukan. Dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan oleh limbah industri, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah industri cair bagi kegiatan industri dan PP No.82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Kedua perundang-undangan tersebut pada intinya mewajibkan setiap usaha dan atau kegiatan melakukan pengolahan limbah sampai memenuhi persyaratan baku mutu air limbah sebelum dibuang ke lingkungan. Perlindungan terhadap sumber-sumber air saat ini memang harus dilakukan karena air merupakan komponen lingkungan hidup yang sangat penting bagi kelangsungan hidup. Konsekuensi dari perundang-undangan tersebut adalah pelaku industri yang aktivitas industrinya menghasilkan limbah dalam jumlah besar dan berpotensi mencemari lingkungan harus membangun instalasi pengolahan air limbah yang memadai. Sampai saat ini, pembangunan IPAL tekstil masih menjadi masalah terutama bagi industri kelas menengah ke bawah karena keterbatasan biaya untuk pembuatan IPAL. Disamping itu, ketersediaan metode pengolahan limbah yang ada belum banyak bisa diaplikasikan secara langsung pada skala lapang. Kebanyakan metode pengolahan air limbah tekstil menggunakan cara kimia dan fisika. Pelaku industri pencelupan tekstil mengolah limbahnya dengan menambahkan natrium hipoklorit dan alum yang dikombinasikan dengan batu kapur. Pengolahan limbah tekstil cara kimia dan fisika cukup efektif menghilangkan warna, akan tetapi memerlukan biaya yang relatif tinggi dan pemakaian bahan-bahan kimia yang banyak serta menimbulkan sludge yang banyak. Adanya sludge dapat mempercepat pendangkalan bak pengolah bak pengolah limbah sehingga, memerlukan penanganan lanjutan. Mengingat kelemahan-kelemahan pada pengolahan limbah tekstil menggunakan cara kimia dan fisika, maka alternatif pengolahan yang mulai digagas adalah menggunakan cara biologi. Penggunaan mikroorganisme untuk mengolah limbah tekstil sangat potensial untuk dikembangkan karena limbah tekstil mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme tertentu sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhannya. 4 Pengolahan limbah tekstil secara biologi dapat berlangsung pada kondisi anaerob, aerob maupun kombinasi anaerob-aerob, sedangkan proses pengolahannya dibedakan menjadi dua yaitu proses pengolahan dengan pertumbuhan tersuspensi (suspended growth treatment processes) dan proses pengolahan dengan pertumbuhan terlekat (attached growth treatment processes). Pengolahan dengan proses pertumbuhan terlekat dilakukan dengan mengamobilisasi mikrob pada padatan pendukung membentuk lapisan tipis yang disebut dengan biofilm. Mikrob yang teramobil pada padatan menghasilkan densitas populasi lebih tinggi dan stabil, lebih tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan sehingga dalam penggunaannya untuk mengolah limbah mampu menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tersuspensi (HeFang et al. 2004). 1.2. Kerangka Pemikiran Industri pencelupan tekstil dalam proses produksinya menghasilkan produk samping berupa air limbah dalam jumlah yang besar dan mengandung berbagai macam bahan-bahan kimia. Bahan kimia seperti enzim, asam, detergen, sabun, dan soda abu biasanya digunakan pada proses pengkanjian, pengelantangan dan pewarnaan. Pewarnaan kain umumnya dilakukan dengan cara mencelupkan kain yang akan diwarnai ke dalam larutan zat warna tekstil. Air sisa dari pencelupan tekstil ini, apabila dibuang begitu saja ke perairan tanpa adanya proses pengolahan terlebih dahulu, maka dapat berdampak negatif bagi keberlangsungan ekosistem perairan. Sejauh ini, industri tekstil terutama skala kecil dan menengah belum mempunyai IPAL yang memadai karena keterbatasan biaya. Untuk mencegah dampak yang lebih luas akibat limbah tekstil ini, maka penyediaan sistem pengolahan limbah yang murah, efektif dan efisien serta mudah diaplikasikan pada skala lapang saat ini sangat diperlukan. Salah satu metode pengolahan limbah tekstil yang potensial adalah pengolahan limbah menggunakan bakteri karena limbah tekstil kaya bahan organik, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan energi bagi kehidupannya. Mengingat bahan organik terutama zat warna reaktif azo yang terkandung dalam air limbah tekstil sangat tinggi, maka pengolahan limbah yang memenuhi kriteria adalah pengolahan dengan sistem kombinasi anaerob-aerob. Pada tahap pengolahan anaerob, zat warna reaktif azo dirombak menjadi senyawa amina aromatik sehingga warna menjadi hilang. Namun, pada tahap pengolahan anaerob kandungan bahan 5 organik biasanya masih tinggi disertai adanya bau yang tak sedap. Untuk itu, perlu dilakukan pengolahan lanjutan yaitu tahap pengolahan aerob. Pengolahan aerob merupakan pengolahan lanjutan yang ditujukan untuk menurunkan bahanbahan pencemar yang belum sempurna terombak pada tahap anaerob. Kelemahan pengolahan limbah tekstil menggunakan bakteri adalah efisiensi perombakannya masih rendah. Beberapa faktor yang mempengaruhi efisiensi perombakan antara lain jumlah dan jenis bakteri, kondisi lingkungan dan proses yang digunakan dalam mengolah limbah. Untuk itu, pengkajian penggunaan berbagai jenis bakteri, kondisi lingkungan dan proses pengolahan limbah menjadi hal yang sangat menarik untuk diteliti. Salah satu pengembangan teknologi pengolahan limbah tekstil yang dilakukan adalah sistem kombinasi anaerob-aerob dengan proses pertumbuhan terlekat menggunakan potensi sumberdaya lokal. Sumberdaya lokal yang digunakan adalah bakteri yang diisolasi dari lumpur tempat pembuangan limbah tekstil dan media pelekatan bakteri menggunakan batu vulkanik. Berdasarkan uraian di atas, kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Industri tekstil Kondisi sosial, ekonomi, budaya dan perilaku masyarakat Limbah padat dan cair Investasi rendah Jenis mikroorganisme Efektif dan efisien Karakteritik limbah Biaya operasional murah Keasaman (pH) Penambahan kosubstrat Konsentrasi zat warna Lama pengolahan Pencemaran air Pengolahan limbah sistem kombinasi anaerob-aerob Pemilihan teknologi pengolahan limbah Standar baku mutu Tidak memenuhi Gangguan pada kualitas air,organisme perairan, estetika dan kesehatan Memenuhi Dapat dibuang ke lingkungan Menimbulkan kerugian dan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian. 6 1.3. Perumusan Masalah Daerah sentral industri tekstil di Bali seperti Gianyar, Tabanan dan Denpasar umumnya masuk pada katagori usaha skala kecil dan menengah. Industri tekstil skala kecil dan menengah yang ada di Bali, sebagian besar membuang limbahnya begitu saja tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Sedangkan beberapa industri yang sudah dilengkapi dengan IPAL masih diragukan efektivitasnya oleh berbagai pihak. Hal ini disebabkan air limbah yang keluar dari IPAL masih mempunyai warna yang intensitasnya cukup tinggi. Air limbah tekstil yang dibuang secara langsung ke badan air dapat menimbulkan permasalahan estetika karena muculnya bau tak sedap dan mengancam kehidupan organisme akuatik. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah belum tersedianya cara pengolahan limbah tekstil yang efektif, murah dan ramah lingkungan yang bisa diaplikasikan secara langsung pada skala lapang. Penelitian ini mengembangkan cara pengolahan limbah tekstil dengan sistem kombinasi anaerob-aerob menggunakan bakteri yang sudah lama beradaptasi dengan lingkungan limbah tekstil. Beberapa bakteri seperti Aeromonas sp., Pseudomonas sp., Sphingomonas sp. dan Rhizobium radiobacter telah dilaporkan mampu digunakan untuk merombak zat warna tekstil (Cutright 2001). Walaupun demikian, penelusuran bakteri-bakteri dalam pemanfaatannya untuk mengolah limbah tekstil masih perlu diupayakan untuk menghasilkan teknologi pengolahan limbah yang lebih optimal. Pengolahan limbah tekstil menggunakan bakteri sering berlangsung kurang optimal. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penggunaan jenis dan jumlah bakteri yang tidak sesuai, proses pengolahan yang kurang tepat dan kondisi lingkungan seperti pH, waktu tinggal limbah, ada tidaknya kosubstrat dan konsentrasi limbah yang kurang mendukung. Proses pengolahan limbah tekstil dapat dilakukan menggunakan proses pertumbuhan tersuspensi dan proses pertumbuhan terlekat. Hasil penelitian ini, memperlihatkan pengaruh faktor lingkungan terhadap efisiensi perombakan zat warna. Disamping itu, penelitian ini juga memperlihatkan seberapa besar efisiensi pengolahan yang dihasilkan dari proses pertumbuhan tersuspensi dan terlekat serta menggunakan kultur tunggal dan konsorsium bakteri yang terlekat pada batu vulkanik. Menurut Van der Zee (2002), perombakan zat warna azo berlangsung lebih efisien pada kondisi anaerob dibandingkan pada kondisi aerob. Permasalahan pengolahan pada kondisi anaerob adalah hasil pengolahan masih mempunyai 7 nilai COD dan BOD5 yang tinggi dan perombakan zat warna azo menghasilkan amina aromatik yang lebih toksik dibandingkan dengan zat warna azo sendiri. Oleh karena itu, diperlukan pengolahan lanjutan tahap aerob untuk menstabilkan bahan organik dan merombak amina aromatik sampai pada tingkat yang lebih aman sebelum dibuang ke lingkungan. Uji toksisitas terhadap hasil pengolahan dilakukan untuk melihat tingkat toksisitas relatif dari limbah yang akan dibuang ke badan air. Lingkup permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2. Limbah cair industri tekstil Bahan organik dan intensitas warna tinggi Pengolahan secara biologi Glukosa Konsentrasi zat warna Lama pengolahan Kultur tunggal pH Pertumbuhan terlekat Konsorsium Tidak toksik Kultur tunggal Pengolahan tahap anaerob Pertumbuhan tersuspensi Pengolahan tahap aerob Konsorsium Memenuhi Standar Baku Mutu Limbah Industri Gambar 2 Ruang lingkup permasalahan penelitian. 1.4. Tujuan 1. Mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri yang hidup di lingkungan limbah tekstil digunakan untuk mengolah limbah tekstil. 2. Menganalisis faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi aktivitas bakteri dalam merombak zat warna tekstil 3. Mendapatkan sistem kombinasi anaerob-aerob yang lebih efisien dan potensial digunakan untuk mengolah limbah tekstil. 4. Mengetahui toksisitas hasil pengolahan limbah tekstil sistem kombinasi anaerob-aerob. 8 1.5. Hipotesis 1. Beberapa bakteri yang hidup dalam lingkungan air limbah tekstil dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah tekstil dan aktivitas perombakannya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. 2. Pengolahan limbah tekstil menggunakan bakteri yang teramobil pada batu vulkanik pada reaktor sistem kombinasi anaerob dan aerob menghasilkan efisiensi perombakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan mengggunakan sel bebas. 1.6. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi ilmiah tentang pemanfaatan sumberdaya lokal untuk pengolahan limbah cair industri tekstil. 2. Memberikan informasi ilmiah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas bakteri dalam merombak zat warna tekstil 3. Memberikan sumbangan ilmiah terhadap bidang bioteknologi pengendalian limbah cair industri tekstil 1.7. Keterbaruan Perombakan zat warna tekstil telah banyak dikaji untuk memperoleh cara penanganan limbah yang tepat, murah dan mudah serta memungkinkan untuk diaplikasikan pada skala lapang. Kajian yang dilakukan meliputi perombakan dengan cara fisika, kimia dan biologi atau kombinasi dari ketiga cara tersebut. Perombakan cara fisika dan kimia dilakukan dengan menggunakan metode adsorpsi, koagulasi dan oksidasi. Beberapa jenis adsorben yang telah dilaporkan mampu mengadsorpsi zat warna adalah hidrotalcite (Lazaridis et al. 2003), karbon aktif (Reddy et al. 2006) dan filtrasi membran (Lubello and Gori 2004). Metode koagulasi yang telah dikaji di antaranya menggunakan koagulan seperti FeCl3, dan MgCl2 (Bidhendi et al. 2007), poli-silikat-aluminium-feriklorida dan polialuminium-feriklorida (Yuan et al. 2006). Metode elektro-koagulasi menggunakan elektroda aluminium dan elektroda besi (Alinsafi et al. 2005; Kashefialasl et al. 2006). Perombakan dengan metode oksidasi menggunakan oksidator kuat seperti hidrogen peroksida, natrium hipoklorit, kalsium hipoklorit, kalium dikromat dan kalsium dikromat (Aslam et al. 2004). Metode oksidasi yang banyak dikembangkan saat ini adalah advanced oxidation processes (AOP) yang menggunakan oksidator gabungan seperti UV/H2O2, pereaksi fenton, UV/TiO2, 9 H2O2/UV/Fe2+, Ozon/UV, Ozon/H2O2, Ozon/UV/H2O2, dan Ozon/TiO2/H2O2, (Al-Kdasi et al. 2004). Kajian perombakan zat warna tekstil menggunakan cara fisika dan kimia pada umumnya memberikan hasil yang cukup efektif. Namun, pada operasionalnya memerlukan biaya yang relatif tinggi sehingga aplikasinya pada skala lapang masih menjadi kendala terutama bagi industri skala kecil dan menengah. Untuk itu, perlu dilakukan inovasi teknologi perombakan zat warna tekstil ke arah peningkatan efisien dan ramah lingkungan sehingga mampu menghasilkan teknologi potensial untuk digunakan pada industri tekstil. Beberapa metode perombakan zat warna tekstil secara biologi yang telah dilakukan adalah menggunakan jamur, alga dan bakteri. Jamur penghasil enzim lignolitik seperti lignin peroksidase, mangan peroksidase dan laccase dilaporkan potensial digunakan untuk mengolah limbah tekstil. Studi tentang beberapa jenis jamur penghasil enzim lignolitik yang digunakan untuk mengolah limbah tekstil antara lain, jamur Phanerocaete chrysosporium (Capalash and Sharma 1992), Trametes villosa dan Trametes pycnoporus (Machado et al. 2006) dan Aspergillus sp (Ramya et al. 2007). Pemanfaatan alga hijau (green algae) untuk merombak zat warna monoazo dan diazo (Omar 2008). Disamping menggunakan jamur dan alga, kajian penanganan limbah zat warna tekstil menggunakan bakteri saat ini terus dikembangkan karena diyakini sebagai strategi pengendalian pencemaran yang efektif, murah dan ramah lingkungan. Studi pemanfaatan bakteri untuk merombak zat warna tekstil yang telah dilakukan adalah menggunakan teknik batch maupun aliran (flow) yang berlangsung pada kondisi anaerob, aerob dan kombinasi anaerob-aerob. Beberapa jenis bakteri yang digunakan untuk merombak zat warna tekstil dengan teknik batch pada kondisi anaerob adalah (1) konsorsium bakteri dengan bantuan glukosa sebagai sumber karbon (Mendez et al. 2004; Georgiou et al. 2003), (2) bakteri fakultatif Sphingomonas sp. BN6 dengan bantuan enzim flavin reductase (Russ et al. 2000), (3) perombakan menggunakan bakteri Rhizobium radiobacter MTCC 8161 (Telke et al. 2008) dan (4) konsorium bakteri dari lumpur limbah tekstil (Stern et al. 2003). Sedangkan studi perombakan dengan teknik flow yang telah dilakukan adalah Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB) menggunakan riboflavin sebagai mediator redoks (Field and Brady 2003; Somasiri 2006) dan anaerobic granular sludge bed reactor (Yemashova et al. 2004). Disamping bakteri anaerob, bakteri aerob yang digunakan untuk merombak zat warna tekstil dengan teknik batch adalah bakteri Bacillus cereus, 10 Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli (Ajibola et al. 2005; Mona et al. 2008) dan Enterobacter agglomerans (Moutaouakkil et al. 2003). Konsorsium bakteri yang terdiri dari Pseudomonas sp., Bacillus sp., Halomonas sp., dan Micrococcus sp. (Padmavathy et al. 2003). Studi perombakan zat warna tekstil menggunakan sistem kombinasi anaerob-aerob yang telah dilakukan adalah (1) anaerobic-aerobic sequencing batch reactor (Luangdilok and Panswad 2000 ; Liyan et al. 2001; Gonsalves et al. 2005), (2) Sequencing batch biofilm reactor menggunakan konsorsium bakteri dari sungai Lagadar (Wahyuni et al. 2003), (3). Pengolahan dengan kombinasi anaerob-aerob teknik batch menggunakan lumpur aktif (Manurung et al. 2004; Melgoza et al. 2004), dan (4) Squential anoxic-aerobic bioreactor menggunakan konsorsium bakteri Stenotrophomonas sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. yang diamobilkan pada poliuretan. Pada tahap anoksik pengaliran zat warna dilakukan secara up flow fixed-film column reactor sedangkan pada tahap aerob menggunakan metode continously stirred aerobic reactor (Khehra et al. 2006) Berdasarkan kajian perombakan zat warna tekstil secara biologi yang telah dilakukan, pengolahan limbah tekstil menggunakan sistem kombinasi anaerobaerob berlangsung lebih efisien dibandingkan dengan hanya menggunakan sistem anaerob atau aerob saja. Pengembangan pengolahan limbah tekstil sistem kombinasi anaerob-aerob saat ini belum banyak dikembangkan menggunakan bakteri lokal. Bakteri lokal yang sudah lama beradaptasi dengan lingkungan limbah tekstil pasti mempunyai kemampuan untuk merombak limbah tersebut. Apabila bakteri-bakteri lokal yang sudah hidup dan beradaptasi dengan lingkungan limbah tekstil digunakan untuk mengolah limbah tekstil, maka metode pengolahan limbah tekstil berbasis bakteri ini dapat diimplementasikan pada skala lapang secara berkelanjutan. Novelty atau kebaruan dari penelitian ini adalah melakukan pengolahan limbah industri tekstil dengan sistem kombinasi anaerob-aerob menggunakan bakteri lokal yang diisolasi dari tempat-tempat limbah tekstil yang diamobilkan pada batu vulkanik. Batu vulkanik juga belum pernah digunakan sebagai bahan pengamobil bakteri untuk pengolahan limbah tekstil.