BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otitis Media Supuratif Kronis 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Otitis Media Supuratif Kronis
2.1.1 Definisi
Otitis media supuratif kronis adalah peradangan kronis mukosa telinga
tengah disertai perforasi membran timpani yang telah berlangsung 2 bulan atau
lebih. Keluarnya cairan pada otitis media supuratif kronis dapat berlangsung terus
menerus atau hilang timbul, dapat berupa mukoid, encer, atau berupa nanah.
Penyakit ini umumnya dimulai pada masa kanak-kanak sebagai perforasi
membran timpani spontan akibat infeksi akut telinga tengah, yang dikenal sebagai
otitis media akut (WHO, 2004).
2.1.2 Klasifikasi
Otitis media supuratif kronis dibagi atas otitis media supuratif kronis tipe
bahaya atau otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma dan otitis media
supuratif kronis tipe aman atau otitis media supuratif kronis tanpa kolesteatoma.
Otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma disebut juga sebagai otitis
media supuratif kronis tipe tulang, sedangkan otitis media supuratif kronis tanpa
kolesteatoma disebut juga tipe mukosa. Di Indonesia otitis media supuratif kronis
dengan kolesteatoma dikenal juga sebagai tipe bahaya, sedangkan otitis media
supuratif kronis tanpa kolesteatoma disebut dengan tipe benigna (Djaafar, 2008).
Berdasarkan aktivitas cairan yang keluar juga dikenal istilah otitis media
supuratif kronis aktif dan otitis media supuratif kronis tenang. Otitis media
9
Universitas Sumatera Utara
supuratif kronis aktif adalah otitis media supuratif kronis dengan cairan telinga
yang keluar secara aktif, sedangkan otitis media supuratif kronis tenang adalah
otitis media supuratif kronis dengan kavum timpani kering ataupun basah tapi
cairan tidak keluar dengan aktif. Otitis media supuratif kronis aktif menandakan
bahwa adanya suatu proses yang aktif dan potensial untuk menjadi progresif.
Otitis media supuratif kronis tenang menandakan suatu keadaan yang stabil dan
non-progresif pada proses patologis yang terjadi di membran timpani maupun
kavum mastoid (Djaafar, 2008).
2.1.3 Kekerapan
Penelitian di India menunjukkan dari 55 anak dengan otitis media supuratif
kronis, 11 diantaranya adalah otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma.
Lima puluh persen dari orang tua anak-anak dengan kolesteatoma tidak pernah
membawa anaknya ke dokter (Rupa et al., 1999). Prevalensi pasti kolesteatoma
belum diketahui secara pasti. Insidensi tahunan dari kolesteatoma berkisar antara
3-12 kasus per 100.000 populasi (Chole & Nason, 2009).
Hasil survei Departemen Kesehatan RI, pada tahun 1993-1996 di 7
provinsi di Indonesia, menemukan prevalensi otitis media supuratif kronis
sebanyak 3.1% (Depkes, 1998). Angka prevalensi ini tergolong tinggi. Jumlah ini
tidak jauh berbeda dengan angka prevalensi dari Angola, Nigeria, Mozambique,
Korea,
Thailand,
Filipina,
Malaysia,
Vietnam,
Micronesia,
dan
suku
Eskimo.WHO merekomendasikan untuk melakukan upaya mengatasi kecacatan
dan komplikasi (WHO, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Otitis media supuratif kronis merupakan salah satu penyakit infeksi kronis
bidang THT di Indonesia yang masih sering menimbulkan ketulian dan kematian
(Djaafar, 2008). Sesuai kriteria WHO Indonesia termasuk negara dengan
prevalensi tinggi untuk penyakit otitis media supuratif kronis (WHO, 2004).
Secara umum prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia adalah 3.8%
dan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 25% pasien yang berobat di
poliklinik THT rumah sakit di Indonesia. Berdasarkan survei kesehatan indera
penglihatan dan pendengaran yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan
Republik Indonesia pada tahun 1993-1996, prevalensi otitis media supuratif
kronis sebesar 3.1%. Pada tahun 2002 prevalensi otitis media supuratif kronis di
Indonesia berkisar 2.1 – 5.2%. Edward & Mulyani (2011) menjumpai kejadian
otitis media supuratif kronis di RSUP M. Jamil Padang pada tahun 2009-2010
sejumlah 7.67%.
Data poliklinik THT RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2006
menunjukkan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 26% dari seluruh
kunjungan pasien, sedangkan pada tahun 2007 dan 2008 diperkirakan sebesar 28
dan 29% (Aboet, 2007). Didapatkan 130 kasus otitis media supuratif kronis dan
65 diantaranya adalah kasus dengan kolesteatoma, dan 35 kasus dengan
komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2009 (Rambe, 2009).
Data serupa juga dijumpai Nungki & Zahara ditempat yang sama pada tahun
2011-2012 dengan otitis media supuratif kronis tipe aman sebanyak 16 subyek
(69.6%), sedangkan tipe bahaya sebanyak 7 subyek (30.4%).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Faktor risiko
Beberapa faktor penyebab dan yang mempermudah terjadinya otitis media
supuratif kronis, antara lain:
a. Lingkungan
Sebagaimana telah disebutkan, prevalensi otitis media supuratif kronis
lebih tinggi pada kelompok sosial ekonomi rendah dimana penyebabnya
multifaktorial. Dalam sebuah studi kohort pada 12.000 anak-anak, dengan telinga
berair (meskipun tidak selalu otitis media supuratif kronis ) dipengaruhi oleh
kesehatan umum, ibu perokok dan pelayanan kesehatan. Penurunan prevalensi
otitis media kronis pada anak Maori di Selandia Baru sejak 1978-1987 disebabkan
karena perbaikan pada perawatan kesehatan dan kondisi perumahan (Kelly, 2008).
Kumar menyebutkan kejadian penyakit otitis media supuratif kronis lebih
tinggi pada negara berkembang, terutama masyarakat sosial ekonomi menengah
kebawah (dimana perbandingan angka kejadian antara perkotaan dan pedesaan
adalah 1:2) disebabkan gizi buruk, kurangnya kebersihan dan pengetahuan
kesehatan (Kumar & Seth, 2011).
b. Sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi mempengaruhi kejadian otitis media supuratif
kronis dimana kelompok sosial ekonomi rendah memiliki insiden yang lebih
tinggi. Beberapa faktor seperti kepadatan penduduk, rendahnya pengetahuan
mengenai kesehatan dan kesehatan perorangan, serta sulitnya akses untuk
memperoleh pelayanan kesehatan (Dhingra, 2009; Browning et al, 2008).
Akinpelu et al (2008) mendapatkan faktor malnutrisi, tempat tinggal kumuh dan
Universitas Sumatera Utara
imunisasi yang tidak lengkap sebanyak 41.3% yang mempengaruhi kejadian otitis
media supuratif kronis.
c. Gangguan fungsi tuba
Kelainan fungsi tuba Eustachius lebih banyak dijumpai pada penderita
otitis media supuratif kronis dibandingkan orang normal. Hal ini tidak diketahui
secara pasti apakah gangguan fungsi tuba Eustachius merupakan faktor terjadinya
otitis media supuratif kronis
atau apakah merupakan hasil dari otitis media
supuratif kronis (Browning et al, 2008). Berkurangnya fungsi silia telinga tengah
dan mukosa tuba Eustachius menyebabkan terganggunya pembersihan sekresi
yang menyebabkan terjadinya otitis media supuratif kronis (Verhoeff et al. 2006).
d. Otitis media sebelumnya
Anak yang mengalami otitis media akut dan otitis media efusi dalam
waktu panjang dapat menyebabkan perubahan membran timpani berupa
berkurangnya elastisitas membran timpani menyebabkan perforasi yang menetap
atau retraksi (Browning et al, 2008).
e. Infeksi saluran pernafasan atas
Banyak pasien otitis media supuratif kronis dilaporkan bersamaan dengan
infeksi saluran nafas atas, walaupun hal ini belum terbukti secara ilmiah. Infeksi
saluran nafas atas menyebabkan terganggunya fungsi dan mukosa tuba Eustachius
dan dapat berlanjut kepada telinga tengah (Kelly, 2008).
f. Infeksi
Bakteri yang dominan dan sensitifitas antibiotika yang berubah dari waktu
ke waktu, sehingga diperlukan penelitian yang terus menerus agar diperoleh hasil
Universitas Sumatera Utara
pengobatan antibakteri yang sesuai. Pengetahuan tentang spesies dan tingkat
resistensi kuman saat ini adalah penting untuk menentukan antibiotika yang tepat
untuk pasien dengan otitis media supuratif kronis (Yeo et al. 2007).
g. Genetik
Insiden otitis media supuratif kronis bervariasi dalam populasi yang
berbeda, di negara maju, tertinggi di Eskimo, penduduk asli Amerika, Maori
Selandia Baru dan Aborigin Australia. Dalam salah satu penelitian terhadap anakanak di Selandia Baru, prevalensi otitis media supuratif kronis menurun secara
signifikan dari 9% pada tahun 1978 menjadi 3% pada tahun 1987 (p <0.02). Sulit
untuk menjawab pertanyaan mengenai faktor genetik yang mempengaruhi otitis
media supuratif kronis, karena adanya variabel pengganggu seperti kelompok
sosio-ekonomi rendah dari beberapa kelompok genetik yang insidennya tinggi
mengalami otitis media supuratif kronis. Pada suku asli Amerika didapati insiden
otitis media supuratif kronis yang tinggi dengan angka kejadian bervariasi di
antara suku-suku asli tersebut (Kelly, 2008).
Faktor genetik untuk otitis media supuratif kronis sampai saat ini masih
menjadi perdebatan. Penelitian terhadap kembar yang mengalami otitis media
menunjukkan peningkatan tingkat kecocokan pada kembar monozygotic daripada
kembar dizygotic (Verhoeff et al. 2006).
h.
Alergi
Penderita alergi memiliki risiko tinggi gangguan pada tuba Eustachius dan
sumbatan hidung yang dapat menimbulkan terbentuknya cairan pada telinga
tengah (Chole & Nason, 2009). Susilo (2010) di Medan memeriksa 54 penderita
Universitas Sumatera Utara
dan mendapatkan reaksi alergi pada penderita otitis media supuratif kronis lebih
besar dibandingkan dengan reaksi alergi pada penderita tanpa otitis media
supuratif kronis, yaitu sebesar 74.1% pada kelompok penderita otitis media
supuratif kronis dan 40.7% pada kelompok tanpa otitis media supuratif kronis.
2.1.5 Patogenesis
Ada dua mekanisme perforasi kronis yang dapat menyebabkan infeksi
telinga tengah yang berlanjut atau berulang: (1) bakteri dapat mengkontaminasi
telinga tengah secara langsung dari telinga luar karena efek proteksi barier fisikal
membran timpani telah hilang. (2) membran timpani yang utuh secara normal
menghasilkan bantalan gas, yang menolong untuk mencegah refluks sekresi
nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Hilangnya
mekanisme protektif ini menyebabkan terpaparnya telinga tengah terhadap bakteri
patogen dari nasofaring (Yates & Anari, 2008).
Otitis media supuratif kronis ditandai dengan keadaan patologis yaitu
inflamasi yang ireversibel di telinga tengah dan mastoid. Disfungsi tuba
Eustachius memegang peranan penting pada otitis media akut dan otitis media
kronis. Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba Eustachius membuka
selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu, mengalirkan sekret
dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari nasofaring refluks ke
telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga tengah dengan
lingkungan luar (Chole & Nason, 2009).
Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau defek
membran timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini diikuti
Universitas Sumatera Utara
oleh pelepasan mediator inflamasi dan imun ke dalam ruang telinga tengah.
Hiperemia dan leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase inflamasi akut
memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan mononuklear selular mediator
(makrofag, sel plasma, limfosit), edema persisten dan jaringan granulasi.
Selanjutnya dapat terjadi metaplasia epitel telinga tengah, dimana terjadi
perubahan epitel kuboidal menjadi epitel kolumnar pseudostratified yang mampu
meningkatkan sekret mukoid. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrotik, kadangkadang membentuk adhesi terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal ini
akan mengganggu aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang antara
osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis
menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan mukosa (Chole & Nason,
2009).
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis yang tepat memerlukan beberapa alat pemeriksaan antara lain
lampu kepala yang baik, corong telinga, alat pembersih cairan
telinga, alat
penghisap cairan, otoskopi atau mikroskop/endoskop. Cairan telinga dibersihkan
dengan alat pembersih cairan atau alat penghisap cairan, selanjutnya digunakan
otoskop, mikroskop atau endoskop untuk melihat lebih jelas lokasi perforasi,
kondisi sisa membran timpani dan kavum timpani (Djaafar, 2008).
a. Anamnesis
Terdapatnya riwayat otorea kronis lebih dari dua bulan. Harus
diperhatikan sifat cairan yang keluar mengenai kekentalan, warna cairan, dan
baunya. Cairan
berwarna hijau kebiruan menandakan pseudomonas sebagai
Universitas Sumatera Utara
bakteri
penyebab,
cairan
kuning
pekat
seringkali
disebabkan
oleh
Staphylococcus. Selain itu pasien juga biasanya mengeluh gangguan pendengaran
dan telinga berdengung (Djaafar, 2008).
Pada otitis media supuratif kronis
tipe bahaya juga harus disingkirkan adanya kemungkinan komplikasi intrakranial.
Kecurigaan adanya komplikasi intrakranial harus dipikirkan apabila terdapat
riwayat sakit kepala hebat, demam tinggi, muntah, kejang, dan penurunan
kesadaran (Djaafar, 2008).
b. Pemeriksaan fisik
Diagnosis otitis media supuratif kronis
ditegakkan bila ditemukan
perforasi membran timpani dengan riwayat otorea menetap atau berulang lebih
dari 2 bulan. Otitis media supuratif kronis tipe aman ditandai dengan perforasi
sentral, sedangkan otitis media supuratif kronis tipe bahaya biasanya disertai
dengan perforasi atik, marginal atau total. Mukosa disekitar perforasi diganti oleh
epitel gepeng berlapis. Debris kolesteatoma dapat ditemukan pada tepi perforasi,
terutama di daerah atik. Seperti halnya otitis media supuratif kronis
tanpa
kolesteatoma, otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma dapat disertai
dan tanpa disertai infeksi aktif atau tenang. Gambaran patologis yang dapat
ditemukan adalah jaringan granulasi. Jaringan granulasi di liang telinga
merupakan petanda adanya kolesteatoma, walaupun diagnosis pasti adanya
kolesteatoma ditentukan saat dilakukan operasi (Djaafar, 2008).
c. Pemeriksaan penunjang
Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran dapat
dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri tutur (speech
Universitas Sumatera Utara
audiometry) dan pemeriksaan BERA (brainstem evoked response audiometry)
bagi pasien/anak yang tidak kooperatif dengan pemeriksaan audiometri nada
murni. Pemeriksaan penunjang lain berupa foto polos mastoid, tomografi
komputer temporal (jika perlu dan memungkinkan), serta kultur dan uji resistensi
kuman dari cairan telinga (Dhingra, 2009).
Rontgen mastoid dapat menilai tingkat perkembangan pneumatisasi
mastoid dan perluasan penyakit. Posisi foto polos yang masih dipakai dewasa ini
untuk menilai keadaan tulang temporal adalah posisi Schuller dan Stenvers. Posisi
Schuller menggambarkan tingkat dan luasnya pneumatisasi mastoid, keadaan
lempeng tegmen dan lempeng sinus, daerah epitimpanum serta kaput mandibula
dan temporomandibuler. Posisi Stenvers digunakan untuk menilai penjalaran
peradangan ke pars piramid os petrosus (Dhingra, 2009).
Tomografi komputer baru dilakukan apabila dicurigai terdapat komplikasi
intrakranial. Tomografi komputer juga digunakan pada otitis media supuratif
kronis tipe bahaya untuk mendapatkan informasi tentang ada tidaknya erosi dan
destruksi dinding lateral atik (skutum), displasi dan erosi osikel, fistula labirin,
erosi kanalis fasialis, destruksi sel mastoid, erosi lempeng tegmen, sinus, dan
dinding posterior liang telinga (Dhingra, 2009).
2.1.5 Tatalaksana
Tujuan utama tatalaksana otitis media supuratif kronis adalah eradikasi
infeksi, menutup perforasi, dan mencegah komplikasi. Eradikasi bakteri patologis
di telinga tengah dan rongga mastoid akan mengurangi morbiditas dan mortalitas
akibat otitis media supuratif kronis, sedangkan menetapnya perforasi membran
Universitas Sumatera Utara
timpani menggambarkan menetapnya gangguan pendengaran dan ancaman
berulangnya infeksi (Djaafar, 2008).
Terapi otitis media supuratif kronis tidak jarang memerlukan waktu lama,
serta harus berulang-ulang. Cairan yang keluar tidak cepat kering atau selalu
kambuh lagi. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan,
yaitu (1) adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga
tengah berhubungan dengan dunia luar, (2) terdapat sumber infeksi di faring,
nasofaring, hidung dan sinus paranasal, (3) sudah terbentuk jaringan patologik
yang irreversibel dalam rongga mastoid, dan (4) gizi dan higiene yang kurang
(Djaafar, 2008).
Prinsip terapi otitis media supuratif kronis tipe aman ialah konservatif
atau dengan medikamentosa. Bila cairan
yang keluar terus menerus, maka
diberikan obat pencuci telinga berupa larutan H2O2 3%, dilanjutkan dengan
memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid.
Obat tetes telinga tidak dianjurkan diberikan secara terus menerus lebih dari 1
atau 2 minggu pada otitis media supuratif kronis yang sudah tenang. Pemberian
antibiotika per oral dapat direncanakan (Merchant et al, 2008).
Bila cairan
telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah observasi
selama 2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti.
Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki
membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan
pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran (Merchant et al,
2008).
Universitas Sumatera Utara
Prinsip terapi otitis media supuratif kronis tipe bahaya adalah
pembedahan, yaitu mastoidektomi. Jika dijumpai otitis media supuratif kronis
tipe bahaya, maka terapi yang tepat adalah melakukan mastoidektomi dengan atau
tanpa timpanoplasti (Dhingra, 2009).
Algoritma penatalaksanaan OMSK Benigna (Helmi, 2005)
Algoritma penatalaksanaan OMSK dengan komplikasi (Helmi, 2005)
Universitas Sumatera Utara
2.2 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran
2.2.1 Anatomi telinga tengah
Kavum timpani merupakan rongga di sebelah lateral dibatasi oleh
membran timpani, di sebelah medial oleh promontorium, di sebelah superior
dengan tegmen timpani, di sebelah inferior oleh bulbus vena jugularis dan saraf
fasialis. Pada bagian antero-inferior terdapat saluran yang menghubungkan kavum
timpani dengan nasofaring, yaitu tuba Eustachius (Dhingra, 2009).
Berdasarkan ketinggian batas superior dan inferior membran timpani,
kavum timpani dibagi atas epitimpanum merupakan bagian kavum timpani yang
lebih tinggi dari membran timpani, mesotimpanum, dan hipotimpanum yaitu
kavum timpani yang terletak lebih rendah dari batas bawah membran timpani. Di
dalam kavum timpani terdapat tiga buah tulang pendengaran (osikel), dari luar ke
dalam maleus, inkus, dan stapes. Selain itu juga terdapat korda timpani, muskulus
tensor timpani dan ligamentum muskulus stapedius (Moller, 2006).
Telinga
tengah
berfungsi
mengkopling
(menghantarkan
sambil
menguatkan atau melemahkan) energi suara dari media udara di liang telinga luar
ke medium cairan di koklea. Merchant et al (2008) mengemukakan bahwa
transmisi suara di telinga tengah terjadi melalui kopling osikular dan akustik,
serta input impedansi stapes koklea. Selain itu aerasi telinga tengah juga
diperlukan untuk berlangsungnya konduksi oleh telinga tengah (Merchant et al,
2008).
Telinga tengah terdiri dari : membran timpani, kavum timpani, prosesus
mastoideus & selula mastoideus dan tuba Eustachius.
Universitas Sumatera Utara
d. Membran timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani yang
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Tinggi 9-10 mm, lebar 8-9
mm dan ketebalannya rata-rata 0,1 mm. Letak membran timpani tidak tegak lurus
terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar kemuka
dalam dan membuat sudut 45o dari dataran sagital dan horizontal. Dari umbo
kemuka bawah tampak refleks cahaya/ cone of light (Dhingra, 2009).
Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu :
1). Stratum kutaneum (lapisan epitel) berasal dari liang telinga.
2). Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.
3). Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan
mukosum pada pars tensa (Dhingra, 2009).
Sebagaimana dijelaskan pada gambar 2.1, secara anatomis membran
timpani dibagi dalam 2 bagian, yaitu pars tensa dan pars flaksida atau membran
Shrapnell yang letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Antara
pars tensa dan pars flaksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu : plika maleolaris
anterior/ lipatan muka) dan plika maleolaris posterior/ lipatan belakang (Dhingra,
2009).
Membran timpani mendapat aliran darah dari cabang arteri yang
menyuplai liang telinga dan telinga tengah. Dua sumber ini beranastomosis di
lamina propria. Aliran darah ke lapisan epidermal berasal dari cabang aurikula a.
maksilaris yang berasal dari liang telinga sedang lapisan mukosal mendapat aliran
darah dari cabang timpanik anterior a. maksilaris, cabang stilomastoid arteri
Universitas Sumatera Utara
aurikula
posterior.
n.aurikulotemporal,
Persarafan
cabang
membran
aurikula
timpani
n.vagus
berasal
dan
dari
cabang
cabang
timpanik
n.glossopharingeus (Clark, 2003).
Gambar 2.1. Membran timpani (Dhingra, 2009).
Bagian dari membran timpani secara anatomi yang meliputi cone of light, pars tensa dan
pars flaksida atau membran shrapnell (atas muka, tipis), plika maleolaris anterior
(lipatan muka) dan plika maleolaris posterior (lipatan belakang) sebagai pembatas pars
tensa dan flaksida.
e. Kavum timpani
Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal. Kavum
timpani diumpamakan sebuah kotak dengan 6 sisi yaitu : bagian atap, lantai,
dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dinding posterior.
Gambar 2.2 Kavum timpani (Dhingra, 2009)
(1) kanalis tensor tympani;(2) muara tuba eustachius; (3) foramen ovale;(4)
foramen rotundum;(5) processus cochleariformis; (6) kanalis horizontal; (7)
nervus fasialis; (8) pyramid; (9) aditus; (10) chorda tympani; (11) carotid artery;
(12) bulbus jugularis.
Universitas Sumatera Utara
Atap kavum timpani, dibentuk oleh lempeng tulang tipis yang disebut
tegmen timpani. Daerah ini memanjang ke belakang membentuk atap aditus dan
antrum. Bagian atap ini memisahkan kavum timpani dari fossa kranii media.
Lantai kavum timpani, juga merupakan lempeng tulang tipis yang memisahkan
kavum timpani dari bulbus jugularis. Kadang-kadang secara kongenital tidak
sempurna dan bulbus jugularis bisa menonjol ke telinga tengah dan hanya
dipisahkan oleh mukosa. Dinding anterior merupakan lempeng tulang yang tipis
yang memisahkan kavum timpani dengan arteri karotis. Juga terdapat tuba
eustachius dibagian bawah dan kanalis muskulus tensor timpani dibaguan atas.
Dinding posterior berbatasan dengan sel-sel mastoid, muncul sebagai penonjolan
tulang yang disebut pyramid. Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu
saluran disebut aditus, yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum
mastoid melalui epitimpanum. Dibelakang dinding posterior kavum timpani
adalah fosa kranii posterior dan sinus sigmoid. Dinding medial, berbatasan
dengan labirin. Tampak tonjolan promontorium yang merupakan dasar koklea.
Foramen ovale terfiksasi pada kaki stapes. Diatas foramen ovale terdapat kanalis
saraf fasialis. Tulang penutupnya kadang secara kongenital mengalami dehisensi
dan saraf fasialis lebih terekspos yang membuat lebih mudah terserang infeksi.
Dinding lateral, berbatasan dengan membran timpani dan liang telinga luar
seperti dijelaskan pada gambar 2.2 diatas (Dhingra, 2009).
Kavum timpani terdiri dari : tulang-tulang pendengaran ( maleus, inkus,
stapes), dua otot yaitu muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius juga saraf
korda timpani, saraf pleksus timpanikus (gambar 2.3). Saraf
korda timpani
Universitas Sumatera Utara
merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani dari kanalikulus
posterior. Korda timpani juga mengandung jaringan sekresi parasimpatetik yang
berhubungan dengan kelenjar ludah sublingual dan submandibula melalui
ganglion submandibular. Korda timpani memberikan serabut perasa pada 2/3
depan lidah bagian anterior (Dhingra, 2009).
Gambar 2.3 Rangkaian tulang pendengaran (Dhingra, 2009)
Terdiri dari maleus, inkus dan stapes yang secara normal bekerja
menghantarkan bunyi melalui sistem pengungkit.
f. Prosessus mastoideus dan selula mastoideus
Antrum mastoid merupakan rongga berisi udara di bagian atas mastoid dan
memiliki hubungan dengan attik melalui aditus ad antrum. Dasar dari antrum
dibentuk oleh tegmen antrum yang merupakan kelanjutan dari tegmen timpani.
Dinding lateral antrum dibentuk oleh lempengan tulang yang pada orang dewasa
memiliki ketebalan 1,5 cm. Kearah superfisial, antrum ini ditandai oleh segitiga
macewen. Mastoid terdiri dari korteks tulang yang memiliki sel-sel udara seperti
sarang tawon (selula mastoideus). Prosessus mastoid merupakan penonjolan dari
tulang mastoid. Berdasarkan perkembangan pneumatisasi sel-sel mastoid ini
dibagi menjadi 3 tipe, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1) Pneumatisasi baik/ sellular (sel-sel mastoid berkembang baik dan
seaudiometri nada murni pembatas tipis)
2) Diploetik (mastoid terdiri dari rongga-rongga sumsum dan sedikit
sel-sel udara)
3) Sklerotik/ asellular/ tidak memiliki sel-sel (Dhingra, 2009).
g. Tuba Eustachius
Tuba Eustachius merupakan saluran antara telinga tengah dan
nasofaring. Tuba ini bertanggung jawab untuk memberi aliran udara ke
telinga tengah dan mastoid dan untuk mempertahankan tekanan yang
normal antara telinga tengah dengan atmosfir. Tuba Eustachius disebut
juga tuba auditori atau tuba faringotimpani. Bentuknya seperti huruf S.
Ashley et al (2009) membagi tuba menjadi 2 bagian yaitu :
1) Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3
bagian)
2) Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3
bagian).
h. Tulang temporal
Tulang temporal terdiri dari tulang timpani, processus mastoid, tulang
squamous dan tulang petrosa. Lapisan jaringan lunak di daerah temporo parietal
meliputi : kutis, subkutis, fasia temporo parietal, jaringan areolar longgar, fasia
muskulo temporal, muskulus temporalis, periosteum dan tulang (Helmi, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Scalp regio temporalis (Helmi, 2009)
Gambar 2.5 Permukaan luar tulang temporal (Helmi, 2009)
2.2.2 Fisiologi pendengaran
Untuk memahami fisiologi pendengaran perlu diketahui tentang bunyi.
Bunyi terjadi disebabkan oleh adanya sumber bunyi, media penghantar
gelombang suara serta adanya reseptor penerima informasi tersebut. Sumber
bunyi akan menghasilkan tekanan gelombang suara (Soetirto et al, 2006).
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga, dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Daun telinga berfungsi untuk menangkap serta menghimpun gelombang
bunyi yang datang dari luar untuk kemudian diarahkan ke liang telinga dan
selanjutnya bersama liang telinga tersebut menyebabkan naiknya tekanan akustik
Universitas Sumatera Utara
sebesar 10 – 15 dB pada membran timpani. Setelah sampai di membran timpani,
getaran diteruskan ke telinga tengah (Dhingra, 2009).
Fungsi organ dalam telinga tengah selain untuk meneruskan gelombang
bunyi, juga memproses energi bunyi tersebut sebelum memasuki koklea. Dalam
telinga tengah, energi bunyi mengalami amplifikasi melalui sistem rangkaian
tulang pendengaran. Setelah diamplifikasi, energi tersebut akan diteruskan ke
stapes, yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala
vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran reissner, yang
mendorong endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran
basilaris dan membran tektoria (Liston & Duvel, 1997). Proses ini merupakan
rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel – sel
rambut, sehingga terjadi pelepasan ion – ion bermuatan listrik. Keadaan ini
menimbulkan
proses
depolarisasi
sel
rambut
sehingga
melepaskan
neurotransmiter ke dalam sinaps dan menghasilkan potensial aksi yang kemudian
diteruskan ke serabut – serabut n.viii menuju nukleus koklearis sampai ke korteks
pendengaran (Soetirto et al, 2006). Cabang koklearis dari n.viii (n. koklearis)
dibentuk oleh neuron bipolar dari ganglion spiral koklea. Kemudian saraf ini
berjalan melalui liang telinga dalam, bergabung dengan cabang vestibularis,
kemudian menyeberangi sudut cerebellopontin, dan masuk ke batang otak pada
bagian terbawah dari pons, pada titik inilah sistem pendengaran sentral dimulai.
Kemudian n. koklearis menuju ke kompleks nukleus koklearis, yang terdiri atas
nukleus koklearis ventral dan dorsal. Serabut yang berasal dari nukleus koklearis
ventral dan dorsal mengirimkan impuls ke kompleks olivarius superior dan
Universitas Sumatera Utara
kemudian ke lemniskus lateral. Impuls kemudian berlanjut ke kolikulus inferior,
yang terletak pada otak bagian tengah. Kemudian serabut saraf bersinaps ke
korpus genikulatum medial yang terletak di thalamus dan akhirnya mencapai
korteks pendengaran. Pada manusia, letak korteks pendengaran primer terdapat
pada area 41 brodmann, yang terletak pada girus temporalis superior (Liston &
Duval,1997).
2.3 Timpanoplasti
Istilah timpanoplasti pertama kali digunakan pada tahun 1953 oleh
Wullstein untuk menjelaskan teknik pembedahan rekonstruksi mekanisme
pendengaran pada telinga tengah yang telah mengalami kerusakan akibat penyakit
telinga kronis. Timpanoplasti merupakan langkah akhir dalam penatalaksanaan
terhadap penyakit tuli konduktif dan merupakan kulminasi lebih dari 100 tahun
perkembangan prosedur pembedahan telinga tengah dalam upaya meningkatkan
pendengaran (Sismanis, 2010).
The
American
Academy
of
Ophthalmology
and
Otolaryngology
Subcomittee on Conversation of Hearing menetapkan definisi timpanoplasti
sebagai sebuah prosedur yang dilakukan untuk eradikasi penyakit pada telinga
tengah dan rekonstruksi mekanisme pendengaran dengan atau tanpa graft pada
membran timpani (Sismanis, 2010).
Tindakan timpanoplasti ini dapat terdiri dari beberapa tindakan seperti:
a. Kanaloplasti
Tindakan ini merupakan usaha untuk melebarkan sebagian atau seluruh
bagian tulang dari liang telinga dengan tujuan agar anulus timpani
Universitas Sumatera Utara
tervisualisasi dengan baik terutama pada membran timpani dengan perforasi
anterior dan subtotal (Harris & Linder, 2012).
b. Meatoplasti
Merupakan usaha untuk melebarkan dinding lateral bagian kartilago
dariliang telinga (Harris & Linder, 2012).
c. Miringoplasti
Miringoplasti merupakan suatu prosedur rekonstruksi yang terbatas hanya
pada usaha untuk memperbaiki perforasi yang terjadi pada membran timpani
(Chole & Nason, 2009).
d. Osikulopasti
Merupakan tindakan rekonstruksi dari tulang-tulang pendengaran baik
menggunakan graft autolog atau prostesa (Harris & Linder, 2012).
Timpanoplasti yang ideal adalah untuk mengembalikan fungsi proteksi
suara bagi round window dengan cara mengkonstruksi telinga tengah sehingga
tertutup dan tetap mengandung udara dan mencari kembali mekanisme
transformasi tekanan suara bagi oval window yaitu dengan menghubungkan
membran timpani dengan footplate stapes baik melalui tulang-tulang pendengaran
yang intak maupun hasil rekonstruksi (Sismanis, 2010).
Prinsip utama timpanoplasti adalah untuk menjadikan membran timpani
yang intak, mencegah rekurensi telinga berair dan mengembalikan fungsi
pendengaran
(Albirmawy,
2010;
Kakigi
et
al.,
2009).
Wullstein
mengklasifikasikan operasi timpanoplasti menjadi 5 tipe, yaitu berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
konsep transformasi suara pada oval window dan proteksi suara pada round
window (Merchant et al, 2005; Chole & Nason, 2009):
a) Tipe I
Tipe I bertujuan untuk memperbaiki membran timpani baik sebagian atau
seluruhnya dengan jaringan graft menggunakan fasia temporalis, perikondrium
ataupun dengan jaringan adiposa lobulus telinga tanpa merubah sistem tulangtulang pendengaran. Indikasi timpanoplasti tipe i adalah apabila dijumpai
perforasi membran timpani dengan tulang-tulang pendengaran yang masih intak
dan mobile.
b) Tipe II
Tipe II bertujuan untuk memperbaiki membran timpani dan tulang-tulang
pendengaran disertai dengan restorasi mekanisme ungkit yang merupakan fungsi
normal dari maleus dan inkus. Kondisi yang paling sering dijumpai dimana tipe II
perlu dilakukan yaitu pada resorpsi osteitik prosesus lentikuler inkus atau kepala
stapes yang diatasi dengan pemasangan graft tulang, protesa sintetik atau semen
otologik.
c) Tipe III
Tipe III bertujuan untuk mengembalikan konduksi suara ke oval window
dengan 3 cara rekonstruksi kolumela, yaitu: (1) kolumela minor sesuai untuk
merekonstruksi telinga dengan dinding posterior liang telinga yang intak dan
struktur stapes yang masih mobile, (2) kolumela mayor diletakkan diantara
footplate stapes dan membran timpani atau manubrium dimana dilakukan apabila
krura dari stapes sudah tidak dijumpai lagi dan footplate masih intak dan mobile,
Universitas Sumatera Utara
(3) kolumela stapes yaitu terdiri dari tindakan meletakkan membran timpani atau
tandur pada kepala stapes yang intak.
d) Tipe IV
Prosedur
mastoidectomy
timpanoplasti
tipe
IV
sesuai
untuk
canal
wall-down
dimana membran timpani, inkus, dan struktur stapes tidak
dijumpai lagi. Prinsip tipe IV ini adalah agar footplate dari stapes terpapar
langsung dengan suara yang datang dari luar dan memisahkan oval window
dengan round window, dimana tandur diletakkan untuk melindungi membran
round window dari suara akustik.
e) Tipe V
Tipe V digunakan untuk bypass footplate stapes yang mengalami ankilosa
dan dilakukan sebagai prosedur tahap kedua setelah eradikasi penyakit telinga
kronis. Terdapat dua subtipe yaitu:
a)
Timpanoplasti Va merupakan prosedur Wullstein tipe V yang asli dimana
tindakan ini terdiri dari fenestrasi kanalis semisirkularis lateral untuk
bypass footplate stapes yang mengalami ankilosa.
b)
Timpanoplasti Vb menyerupai tipe IV, tetapi footplate stapes dibuang dan
oval window ditutup dengan tandur jaringan adiposa. Kavum mastoid dan
epitimpani biasanya diobliterasi dengan tandur pedikel atau fasia-bebas
otot dan disokong dengan tempelan tulang. Tipe Vb ini dapat dilakukan
sebagai langkah kedua setelah canal wall-down timpanomastoidektomi
tipe III atau IV.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Tes Garputala
Tes pendengaran bermacam-macam, mulai dari yang paling sederhana
seperti tes bisik dan tes garpu tala yang tergolong non elektronik sampai yang
elektronik seperti audiometri dan timpanometri (Soetirto et al., 2010). Garpu tala
yang diapakai berfrekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz dan 4096
Hz (Soetirto et al., 2010).
a. Tes weber
Menggunakan garpu tala 256 atau 512. Ditekankan pada dahi atau gigi
insisivus (di garis median). Prinsipnya adalah membandingkan hantaran tulang
telinga kiri dan kanan. Bila sama kuat, tergolong pendengaran normal. Bila
terdengar hanya pada 1 telinga maka disebut lateralisasi. Dikatakan tuli konduktif
jika lateralisasi kearah telinga yang sakit. Dikatakan tuli sensorineural jika
lateralisasi ke arah yang sehat
(John & Turner, 1990; Soetirto et al., 2010;
Davidson, 2012).
b. Tes rinne
Prinsipnya adalah membandingkan durasi terdengarnya garpu tala antara
hantaran tulang dan hantaran udara. Rinne positif berarti hantaran udara lebih
panjang dari hantaran tulang, terjadi pada telinga normal atau tuli sensorineural.
Rinne negatif berarti hantaran tulang lebih panjang dari hantaran udara, terdapat
pada tuli konduktif (John & Turner, 1990; Davidson, 2012).
c. Tes schwabach
Membandingkan durasi pendengaran hantaran tulang antara pasien dan
dokter. Scwabach memendek berarti hantaran tulang pasien lebih pendek dari
Universitas Sumatera Utara
hantaran tulang dokter (sensorineural hearing loss). Scwabach memanjang berarti
hantaran tulang pasien lebih panjang daripada hantaran tulang dokter (conductive
hearing loss). Normalnya hantaran tulang pasien sama panjang dengan hantaran
tulang dokter, dengan catatan pendengaran dokternya normal (Soetirto et al.,
2010; Hain, 2012).
Tabel 2.1 Hasil tes penala (Soetirto et al., 2010)
Diagnosis
Normal
Tes
rinne
Positif
Tes schwabach
Tidak ada lateralisasi
Sama
dengan
pemeriksa
telinga Memanjang
Lateralisasi ke
yang sakit
Positif
Lateralisasi ke telinga Memendek
Tuli
yang sehat
sensorineural
Catatan: pada tuli konduktif < 30 dB, rinne bisa masih positif
Tuli konduktif
Negatif
Tes weber
2.5 Audiometri Nada Murni
Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur
sensitivitas pendengaran dengan alat audiometer yang mengunakan nada muni
(pure tone) yaitu bunyi yang hanya mampunyai satu frekuensi, dinyatakan dalam
jumlah getaran per detik (Feldman & Grimes, 1997).
Walaupun pemeriksaan audiometri nada murni tidak sepenuhnya
objektif, tetapi sampai sekarang masih merupakan yang paling banyak dipakai
untuk keperluan klinis oleh karena prosedurnya yang sederhana namun dapat
banyak memberi informasi tentang keadaan sistem pendengaran (Feldman &
Grimes, 1997). Audiometer yang tersedia di pasaran umumnya terdiri dari enam
komponen utama, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Oskilator, yang menghasilkan berbagai nada murni
b. Amplifier, untuk menaikkan intensitas nada murni sampai dapat
terdengar
c. Pemutus (interrupter), yang memungkinkan pemeriksa menekan dan
mematikan tombol nada murni secara halus tanpa terdengar bunyi lain
(klik)
d. Attenuator, agar pemeriksa dapat menaikkan atau menurunkan intensitas
ke tingkat yang dikehendaki
e. Earphone, yang mengubah gelombang listrik yang dihasilkan oleh
audiometer menjadi bunyi yang dapat didengar
f. Sumber suara penganggu (masking), yang sering diperlukan untuk
meniadakan bunyi ke telinga yang tidak diperiksa (Feldman & Grimes,
1997).
Pada pemeriksaan audiometri nada murni perlu dipahami hal-hal berikut
ini :
Nada murni (pure tone) : merupakan bunyi yang hanya mempunyai satu
frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per detik.
Bising : merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari narrow
band (spektrum terbatas) dan white noise (spektrum luas).
Frekuensi : nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang sifatnya
harmonis sederhana (simple harmonic motion). Jumlah getaran per detik
dinyatakan dalam hertz.
Universitas Sumatera Utara
Intensitas bunyi : dinyatakan dalam dB (decibel), dikenal dB hearing level, dB
sensation level dan dB spl (sound pressure level).
Ambang dengar : bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang
masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar menurut
konduksi udara (ac) dan menurut konduksi tulang (bc). Bila ambang dengar ini
dihubung-hubungkan dengan garis, baik ac maupun bc, maka akan didapatkan
audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian.
Nilai nol audiometrik: dalam dB hearing less dan dB sensation level, yaitu
intensitas nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu yang masih dapat
didengar oleh telinga rata-rata orang dewasa muda yang normal (18-30 tahun).
Notasi pada audiogram : untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik ac, yaitu
dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 hz)
dan grafik bc yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (intensitas yang diperiksa
antara 250-4000 hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan untuk
telinga kanan dipakai warna merah (Soetirto et al., 2004).
2.5.1. Prosedur pelaksanaan audiometri nada murni:
Untuk pemeriksaan audiometri nada murni, perlu diperhatikan beberapa
syarat antara lain: alat audiometer yang telah distandardisasi oleh American
National Standards Institute, suasana yang tenang bila perlu ruangan kedap suara,
pemeriksa yang sabar dan teliti. Pada pengukuran audiologi, fungsi pendengaran
diukur terpisah untuk masing-masing telinga dengan menggunakan earphone
(hantaran udara). Saat ini yang sering digunakan adalah insert-earphone yang
langsung dimasukkan dalam meatus akustikus eksternus karena memiliki
Universitas Sumatera Utara
beberapa kelebihan dibanding earphone supraaural antara lain kontak dengan
tulang temporal yang minimal sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya
cross hearing. Audiometri nada murni juga dapat dilakukan dengan menggunakan
osilator atau vibrator yang diletakkan pada tulang mastoid untuk mengukur
hantaran tulang, yaitu antara 250-4000 Hz (Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L.,
2008).
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik maka prosedur yang
perlu diperhatikan antara lain (American Speech-Language-Hearing Association,
2005; Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L., 2015):
a. Tanyakan kepada pasien keadaan berat ringannya keluhan diantara
kedua telinga, yang lebih ringan lebih dulu diperiksa.
b. Atur posisi duduk pasien kearah sudut 300 membelakangi pemeriksa.
c. Putar switch power untuk menghidupkan audiometer. Atur tombol
pengoperasian alat. Pasang headphone tepat didepan liang telinga.
d. Berikan perintah sederhana, jelas pada pasien untuk memencet tombol
respon bila mendengar nada/bunyi sekecil apapun. Lakukan pada
telinga yang keluhannya ringan dahulu.
e. Dilakukan pemeriksaan hantaran udara (AC) dimulai dari frekuensi
1000 Hz dengan memberi sinyal diintensitas 40 dB, kemudian
dinaikantiap 5 dB atau diturunkan tiap 10 dB sampai memperoleh
ambang dengar. Berikan secara ireguler pada setiap pemberian nada
Universitas Sumatera Utara
sebanyak 2-3 kali rangsangan. Selanjutnya lakukan di frekuensi 2kHz,
4 kHz, 8kHz kemudian kembali ke 1kHz lalu 500 Hz dan 250 Hz.
f. Bila ada perbedaan 20 dB atau lebih antara 2 frekuensi, cek frekuensi
½ oktaf untuk menghindari standing wave.
g. Lakukan hal yang sama pada telinga yang lain. Catat hasil pada kertas
audiogram menggunakan spidol merah dengan simbol (O) untuk
telinga kanan dan simbol (X) menggunakan warna biru untuk telinga
kiri. Hubungkan dengan garis tegas hingga membentuk grafik.
h. Lakukan pemeriksaan hantaran tulang (BC) bila ambang dengar
hantaran udara meningkat dengan cara, ganti headphone dengan
bonefibrator. Kemudian pasang pada os mastoid dengan sedikit
penekanan. Kemudian lakukan pemeriksaan yang sama seperti pada
hantaran udara akan tetapi hanya dilakukan pada frekuensi dan
intensitas terbatas yaitu 500 Hz, 1 kHz, 2 kHz dan 4 kHz dan
intensitasnya hanya sampai 60-85 dB.
i. Catat hasil pada kertas audiogram menggunakan simbol (<) untuk
telinga kiri dan simbol (>) untuk telinga kiri. Hubungkan dengan garis
putus –putus hingga membentuk grafik.
2.5.2. Cross hearing dan masking
Bila suatu nada disajikan pada telinga yang mengalami gangguan, kadangkadang dapat pula didengar oleh telinga yang tidak sedang diperiksa (Keith &
Pensak, 2003; Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L., 2008). Jika stimulus nada
Universitas Sumatera Utara
yang diberikan lebih besar dari 40 dB dan menggunakan earphone supraaural
dimana bantalannya berada di luar telinga, maka energi akustik dapat menjalar ke
telinga pada sisi yang berlawanan yang disebut sebagai fenomena cross hearing.
Jumlah intensitas suara yang dibutuhkan untuk terjadinya cross hearing disebut
atenuasi interaural. Atuenasi interaural untuk frekuensi yang rendah biasanya 50
dB dan 60 dB untuk frekuensi tinggi, sedangkan untuk insert-earphone memiliki
atenuasi yang lebih tinggi. Sementara atenuasi interaural untuk tes hantaran tulang
berkisar antara 10 sampai 0 dB (Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L., 2008).
Oleh karena itu, salah satu unsur penting pada audiometri nada murni
adalah masking. Sebagai salah satu syarat utama, masking harus dilakukan apabila
terjadi kemungkinan untuk terjadinya penjalaran stimulus dari telinga yang sedang
diperiksa melalui tulang kepala ke tulang telinga yang berlawanan (stimulasi
hantaran udara maupun tulang melewati batas atenuasi interaural). Masking harus
dilakukan dengan memberikan suara tambahan pada telinga yang diperiksa
bersamaan dengan diberikannya stimulus pada telinga yang sedang diperiksa. Jika
suara tambahan yang diberikan adekuat, maka suara stimulus yang menjalar ke
sisi yang berlawanan dapat tertutupi (masked) oleh suara tersebut. Yang sering
digunakan untuk masking adalah suara dengan gelombang sempit yang terdengar
seperti suara gemuruh (Kolegium Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L., 2008).
Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (n) atau tuli.
Jenis ketulian yaitu tuli konduktif, sensorineural atau tuli campur juga dapat
ditentukan (Soetirto et al., 2004).
Universitas Sumatera Utara
Menurut
kepustakaan
frekuensi
4kHz
berperan
penting
untuk
pendengaran, sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga derajat ketulian
dihitung dengan menambahkan ambang dengar 4 kHz dengan ketiga ambang
dengar di atas, kemudian dibagi 4 (Soetirto et al., 2004).
Ambang Dengar (AD) = Ad 500 Hz + Ad 1000 Hz + Ad 2000 Hz + Ad 4000 Hz
4
Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar
hantaran udara (AC) saja (Soetirto et al., 2004).
Derajat ketulian ISO (International Standard Organization) :
0 – 25 dB : normal
26 – 40 dB : tuli ringan
41 – 60 dB : tuli sedang
61 – 90 dB : tuli berat
>90 dB
: sangat berat (Soetirto et al., 2004).
Manfaat audiometri nada murni :
a.
Keadaan fungsi pendengaran masing-masing telinga secara kualitatif
(pendengaran normal, tuli konduktif, tuli sensorineural dan tuli campur)
b.
Derajat gangguan pendengaran (kuantitatif) yaitu normal, tuli ringan, tuli
sedang dan tuli berat (Feldman & Grimes, 1997).
Universitas Sumatera Utara
2.6 Kerangka Teori
FAKTOR RISIKO
-
Infeksi saluran nafas atas
Gangguan fungsi tuba
Trauma membran timpani
Sosio-ekonomi rendah
- Alergi
- Barotrauma
- Tumor hidung
GANGGUAN
PENDENGARAN
OMSK
- Usia
- Jenis kelamin
Jinak
Ganas
operasi
Audiometri nada murni
Medikamentosa + operasi
2.7 Kerangka Konsep
OMSK
Pre op
Ambang
dengar
Pasca op
Timpanoplasti
Ambang
dengar
2.8 Hipotesa Penelitian
(H1) adalah terdapat perubahan ambang dengar pada penderita otitis media
supuratif kronis setelah timpanoplasti.
Universitas Sumatera Utara
Download