Templat tesis dan disertasi

advertisement
FLEKSIBILITAS NILAI TUKAR DAN PENYESUAIAN
TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA: ANALISIS
THRESHOLD VAR
FARHANA ZAHROTUNNISA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fleksibilitas nilai tukar
dan penyesuaian transaksi berjalan di Indonesia:Analisis Threshold VAR adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Farhana Zahrotunnisa
NIM H151130456
RINGKASAN
FARHANA ZAHROTUNNISA. Fleksibilitas Nilai Tukar dan Penyesuaian
Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia: Analisis Threshold VAR. Dibimbing oleh
IMAN SUGEMA dan TONI BAKHTIAR.
Estimasi mengenai hubungan antara fleksibilitas nilai tukar dan
penyesuaian neraca transaksi berjalan akan melalui tiga tahap, di mana pada tahap
pertama yaitu adanya analisis korelasi antara variabilitas nilai tukar (yang
diproksikan oleh REER dan NEER) dan klasifikasi rezim nilai tukar. Langkah
kedua yaitu mengestimasi hubungan antara nilai tukar dan neraca transaksi
berjalan menggunakan model VAR sebagai model acuang. Langkah ketiga yaitu
menerapkan estimasi non linear dengan Threshold VAR dengan dua variabel
threshold yang berbeda yaitu REER dan klasifikasi nilai tukar RR . Hasil analisis
menunjukkan bahwa klasifikasi rezim nilai tukar secara de facto terutama
klasifikasi RR dapat merefleksikan nilai tukar aktual Indonesia dengan korelasi
sebesar 0.71. Di Indonesia adanya fleksibilitas nilai tukar berpengaruh terhadap
penyesuaian neraca transaksi berjalan hanya jika 1) perubahan nilai tukar ada
dikisaran kurang dari 27.7059, sedangkan di kondisi high regime, adanya
fleksibilitas nilai tukar tidak akan berdampak pada neraca transaksi berjalan
karena responnya persisten meningkat sehingga membuat sistem menjadi tidak
stabil. 2) Indonesia menganut rezim nilai tukar dengan kode 3 – 6 pada klasifikasi
RR atau nilai tukar yang termasuk kategori intermediate regime atau flexible
regime. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter harus menjaga perubahan nilai
tukar kurang dari 27.7059 karena dalam rentang tersebut nilai tukar dapat
membantu penyesuaian neraca transaksi berjalan. Sehingga dapat membantu
perbaikan kondisi apabila Indonesia sedang mengalami neraca transaksi berjalan.
Kata Kunci: Fleksibilitas Nilai Tukar, Penyesuaian Neraca Transaksi Berjalan,
Klasifikasi Rezim Nilai Tukar, Threshold VAR
SUMMARY
FARHANA ZAHROTUNNISA. Exchange Rate Flexibility and Current Account
Adjustment in Indonesia: Threshold VAR Analysis. Supervised by IMAN
SUGEMA and TONI BAKHTIAR
Estimation study about the relationship between exchange rate flexibility
and current account adjustment has been conducted through three stages, the first
stage was analysis of correlation among exchange rates variability (proxied by
REER and NEER) and exchange rate regimes classification. The second step was
estimating the relationship that the former was mentioned with VAR as
benchmark model. The third step was applying the nonlinear estimation using
Threshold VAR with two different threshold variables. Namely REER and RR
Classification which formed by Reinhart and Rogoff . The results of analysis
showed that exchange rate regime classification may capture actual exchange rate
variability, which of 0.71 correlation value. Flexibility exchange rate can
accelerate current account adjustment in Indonesia if 1) the changes of Indonesia
exchange rate less than 27.7059 whereas in high regime exchange rate is
persistently increasing so that the system between exchange rate and current
account becomes unstable. 2) Indonesia is applying exchange rate regime with
code 3 – 6 from RR classification or exchange rate classification that categorized
in intermediate regime or flexible regime. Bank Indonesia as monetary authorities
must keep the changes of exchange rate less than 27.7059, due to exchange rate
can affect current account adjustment, so can anticipate if there is current account
deficit in Indonesia economy.
Keywords: Exchange Rate Flexibility, Current Account Adjustment, Exchange
Rate Regime Classification, Threshold VAR
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
FLEKSIBILITAS NILAI TUKAR DAN PENYESUAIAN
TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA: ANALISIS
THRESHOLD VAR
FARHANA ZAHROTUNNISA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Judul Penelitian
Nama
NIM
: Fleksibilitas Nilai Tukar dan Penyesuaian Transaksi
Berjalan di Indonesia: Analisis Threshold VAR
: Farhana Zahrotunnisa
: H151130456
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Iman Sugema, MEc
Ketua
Dr Toni Bakhtiar, SSi, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi
Dr Lukytawati Anggraeni, SP, MSi
Tanggal Ujian : 3 Juli 2015
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian
ini adalah fleksibilitas nilai tukar dan penyesuaian neraca transaksi berjalan di
Indonesia: Analisis Threshold VAR. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak
Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec dan Dr. Toni Bakhtiar, S.Si, M.Sc selaku dosen
pembimbing yang selalu memberikan baik arahan dan motivasi kepada penulis,
kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku dosen penguji luar komisi
dan Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku komisi pendidikan, atas kritik dan
saran yang membangun dan bermanfaat yang diberikan kepada penulis.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu serta adik
tercinta atas segala doa dan kasih sayangnya sehingga penulis tetap semangat
dalam mengerjakan tesis ini. Terakhir penulis sampaikan terima kasih kepada para
sahabat terdekat Maria Utari, Friska Zehan, Nadya Astrid, Nina Hanifa, Rezka
Farah, Puspita Mega Lestari, Meiyora Averiana, Widy Purnama, Ardhi Harry,
Adrian Prama, Bronson Marpaung, Jajang Arif, Bram Agustian Zahro, Fauzi
Mauludin Fahmi, Taufik Imandana, Gun Gumelar, I Made Sanjaya atas segala
dukungan yang telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015
Farhana Zahrotunnisa
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PRAKATA
v
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
3
5
5
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Tinjauan Empiris
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
6
6
14
16
17
3 METODE
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Perumusan Model Penelitian
17
17
18
22
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
24
Kondisi Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia
24
Klasifikasi Rezim Nilai Tukar dan Fleksibilitas Nilai Tukar
28
Data Generating Process
29
Hubungan Fleksibilitas Nilai Tukar dengan Penyesuaian Neraca Transaksi
Berjalan
30
SIMPULAN
45
SARAN
45
DAFTAR PUSTAKA
46
LAMPIRAN
48
RIWAYAT HIDUP
55
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
Variabel dan sumber data penelitian
Cara perhitungan nilai kriteria model
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian
Statistik deskriptif variabel penelitian
Hasil uji korelasi semua proksi variabilitas dan klasifikasi rezim
nilai tukar
6. Hasil uji stasioneritas variabel penelitian di level dengan
menggunakan Augmented Dicky Fuller (ADF)
7. Hasil uji stasioneritas variabel penelitian di level dengan
menggunakan Phillips Peron (PP)
8. Hasil Uji Korelasi antara |∆%REER| dengan Empat Klasifikasi
Rezim Nilai Tukar
9. Hasil Uji Threshold
10. Hasil Uji Threshold dengan Klasifikasi RR
11. Perbedaan hasil TVAR pada masing-masing variabel threshold
12. Keterangan mengenai klasifikasi nilai tukar RR
13. Data variabel threshold REER
17
21
23
27
28
29
30
34
35
39
42
43
44
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Transaksi Berjalan 1993Q1 s.d 2013Q3 (83 periode)
Internal and External Balances
Hubungan Transaksi Berjalan dengan Nilai Tukar
Kurva J (J-Curve)
Kerangka Pemikiran
Ringkasan Prosedur Analisis
Share neraca transaksi berjalan terhadap GDP di Indonesia
REER, NEER, dan Inflasi
Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap
Neraca Transaksi Berjalan pada Model VAR
10. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar pada
Model VAR
11. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi
Berjalan pada Model VAR
12. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi
Berjalan pada Model VAR
13. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap
Neraca Transakasi Berjalan pada Model TVAR
14. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar pada
Model TVAR
15. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi
Berjalan pada Model TVAR
16. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap Nilai
Tukar pada Model TVAR
4
10
12
14
16
18
25
27
31
32
32
33
36
36
37
38
17. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap
Neraca Transaksi Berjalan pada Model TVAR dengan Variabel
Threshold Klasifikasi RR
18. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar pada
Model TVAR dengan Variabel Threshold Klasifikasi RR
19. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi
Berjalan pada Model TVAR dengan Variabel Threshold
Klasifikasi RR
20. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap Nilai
Tukar pada Model TVAR dengan Variabel Threshold Klasifikasi
RR
40
40
41
42
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pemilihan Lag pada Analisis VAR
2. Hasil Pemilihan Nilai Threshold dengan REER sebagai Threshold
Indicator
3. Hasil Estimasi Threshold VAR
4. Hasil Pemilihan Nilai Threshold dengan Klasifikasi RR sebagai
Threshold Indicator
5. Hasil Estimasi Threshold VAR dengan Klasifikasi RR sebagai
Threshold Indicator
48
48
51
51
54
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kinerja sektor eksternal sebuah perekonomian pada umumnya tercermin
pada perkembangan neraca pembayaran yang selanjutnya akan berpengaruh pada
nilai tukar. Komponen utama dalam neraca pembayaran adalah transaksi berjalan
atau current account, transaksi modal atau capital and financial account dan
perubahan cadangan devisa (Nugroho et al. 2012). Memburuknya kinerja
transaksi modal sering dikaitkan dengan menurunnya aliran modal asing
sedangkan memburuknya kinerja transaksi berjalan sering dikaitkan secara
langsung dengan kinerja dan daya saing ekspor yang menurun atau peningkatan
impor karena permintaan domestik yang meningkat.
Pada tahun 2008 terjadi krisis finansial global yang melanda Amerika
Serikat (AS) kemudian merambat hampir ke seluruh dunia termasuk Indonesia.
Salah satu penyebab utama krisis keuangan global adalah ketidakseimbangan
global
(global
imbalance)
yang
terjadi
secara
berkepanjangan.
Ketidakseimbangan global merupakan suatu kondisi di mana suatu atau
sekelompok negara mengalami defisit transaksi berjalan (current account deficit)
sementara sekelompok negara lainnya mengalami surplus dalam skala yang sangat
besar dan dalam waktu yang cukup lama (Ecthink 2009), sedangkan pada tahun
2010 terjadi krisis di kawasan Eropa yang dipicu oleh besarnya hutang
pemerintah. Kedua krisis yang terjadi dalam waktu yang berdekatan berdampak
pada menurunnya kinerja ekpor Indonesia di mana impor tetap tumbuh tinggi
akibat permintaan domestik yang cukup kuat menyebabkan defisit transaksi
berjalan sejak triwulan IV/2011.
Belum pulihnya krisis AS dan Eropa serta melemahnya perekonomian
Jepang mengakibatkan pada tahun 2013 triwulan II Indonesia mengalami defisit
transaksi berjalan terbesar sepanjang sejarah yaitu US$ 9,8 miliar atau sekitar 4,4
persen dari GDP Indonesia. Menurut Milesi-Ferreti dan Razin (1996) suatu negara
harus menjaga agar defisit transaksi berjalan tidak berlangsung lama, karena
adanya defisit transaksi berjalan sebesar 5 persen dari GDP dapat memicu
terjadinya currency crisis. Keberlanjutan defisit transaksi berjalan merefleksikan
tingginya pengeluaran untuk konsumsi yang dibiayai oleh hutang jangka pendek
atau cadangan devisa luar negeri. Sejarah mencatat bahwa ada beberapa negara
yang mampu bertahan dalam kondisi defisit transaksi berjalan dalam beberapa
tahun yaitu Australia, Irlandia, Israel, Malaysia, dan Korea Selatan. Kondisi
tersebut berbanding terbalik dengan Cile dan Meksiko yang harus mengalami
krisis akibat tidak dapat bertahan dalam kondisi defisit transaksi berjalan.
Menurut Friedman Hyphotesis (Friedman1953) adanya penyesuaian yang
baik dalam menghadapi ketidakseimbangan pada transaksi berjalan memerlukan
adanya fleksibilitas pada nilai tukar dimana adanya depresiasi terhadap nilai tukar
riil akan meningkatkan kinerja neraca transaksi berjalan (Marshall-Lerner
Condition). Semakin besar fleksibilitas nilai tukar maka akan semakin besar
kemampuan transaksi berjalan pada suatu negara dalam penyesuaian terhadap
perubahan kondisi yang terjadi menuju sustainable level yang nantinya akan
2
mengefisienkan penyesuaian nilai tukar nominal dibandingkan penyesuaian pada
harga barang. Fleksibilitas nilai tukar sangat bergantung pada rezim nilai tukar
yang dianut suatu negara. Sejarah perekonomian Indonesia mencatat bahwa
Indonesia mengalami pergantian rezim nilai tukar bahkan sebelum Indonesia
merdeka. Studi Adiningsih et al. (2008) menyatakan bahwa pada tahun 1997
rezim nilai tukar yang dianut oleh Indonesia berubah dari rezim nilai tukar tetap
menjadi rezim nilai tukar mengambang. Hal ini sesuai dengan pengklasifikasian
rezim nilai tukar secara de jure (deklarasi dari pemerintah/otoritas moneter) yang
dilakukan oleh IMF. Menurut Duttagupta et al (2005) negara dengan fixed
exchange rate (nilai tukar tetap) akan lebih rentan terhadap krisis keuangan dan
krisis perbankan dibandingkan dengan negara yang menganut rezim flexible
exchange rate (nilai tukar yang fleksibel). Hal ini dikarenakan rezim flexible
exchange rate akan memiliki independensi kebijakan moneter yang lebih besar
sehingga mampu memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap guncangan
yang terjadi pada perekonomian suatu negara.
Klasifikasi rezim nilai tukar yang ditetapkan secara de jure memiliki
perbedaan/inkonsistensi dengan nilai tukar secara de facto (variasi nilai tukar yang
terjadi/aktual) (Reinhart et al. 2004). Banyak negara yang menyatakan menganut
rezim floating exchange rate (nilai tukar mengambang) namun tetap melakukan
intervensi dalam implementasi kebijakan dalam mengatur nilai tukar. Hal ini yang
melatarbelakangi terbentuknya pengklasifikasian nilai tukar secara de facto
sebagai alternatif dari nilai tukar secara de jure. Alternatif pengklasifikasian nilai
tukar ini bertujuan untuk menyempurnakan kelemahan yang ada pada sistem nilai
tukar secara de jure. Pengklasifikasian rezim nilai tukar secara de facto telah
dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Levy-Yeyati dan Sturzenegger (LY-S),
Reinhart, dan Rogoff (RR) serta Klein dan Shambaugh (KS). Ketiga kelompok
peneliti di atas mengklasifikasikan nilai tukar dengan cara yang berbeda-beda
namun sama-sama menggunakan nilai tukar bilateral sebagai basis nilai tukar.
Menurut studi yang dilakukan oleh Kim dan You (2013), pengklasifikasian nilai
tukar dengan basis nilai tukar bilateral akan menimbulkan masalah karena tidak
akan dapat menangkap variabilitas nilai tukar sebagai proksi nilai tukar aktual.
Adanya perbedaan pada klasifikasi secara de jure dan de facto serta adanya
permasalahan pada klasifikasi de facto akan menyulitkan dalam pemilihan serta
penggunaan klasifikasi yang tepat dalam melihat hubungan antara fleksibilitas
nilai tukar dengan penyesuaian neraca transaksi berjalan.
Permasalahan yang telah disebutkan di atas dapat diatasi dengan
melakukan pengujian awal untuk mengidentifikasi klasifikasi nilai tukar mana
yang dapat merefleksikan nilai tukar aktual Indonesia. Pengujian awal ini
dilakukan dengan cara menguji korelasi klasifikasi nilai tukar yang ada dengan
perhitungan variabilitas nilai tukar yang diproksikan dengan presentase perubahan
bulanan dan standar deviasi dari nilai tukar efektif 1. Hubungan fleksibilitas nilai
tukar dengan penyesuaian neraca transaksi berjalan dilakukan analisis secara
asimetris mengingat adanya perbedaan rezim nilai tukar yang terjadi di Indonesia
yang diduga dapat memberikan pengaruh yang berbeda pada penyesuaian neraca
transaksi berjalan.
1
Standar deviasi umum digunakan dalam mengukur fleksibilitas nilai tukar seperti pada
Rose (2003), Devereux dan Lane (2003)
3
Banyak penelitian yang mengkaji hubungan antara fleksibilitas nilai tukar
dengan transaksi berjalan dengan hasil yang berbeda. Herrmann (2009),
melakukan penelitian di negara Central and Eastren Europe (CEE) dari tahun
1994 sampai dengan tahun 2007, diperoleh hasil bahwa bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara rezim nilai tukar dengan penyesuaian neraca transaksi
berjalan. Adanya rezim nilai tukar dengan fleksibilitas yang tinggi akan membuat
ekspektasi dari para pembuat kebijakan meningkat mengenai proses penyesuaian
transaksi berjalan. Namun penelitian yang dilakukan Hermann tidak sejalan
dengan penelitan Chinn dan Wei (2013) yang melakukan penelitian terhadap 170
negara dari tahun 1971 sampai dengan tahun 2005. Dari hasil penelitian tersebut
disimpulkan bahwa tidak ditemukannya hubungan antara rezim nilai tukar yang
fleksibel dengan penyesuaian dari transaksi berjalan
Perumusan Masalah
Dalam konteks perencanaan pembangunan ekonomi secara makro maka
perekonomian dikelompokkan menjadi ke dalam empat sektor yaitu sektor riil,
sektor eksternal, sektor pemerintah (fiskal), dan sektor moneter. Keempat sektor
tersebut mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi atau interdependensi
(Pohan, 2008). Krisis finansial global yang terjadi pada kisaran tahun 2008
berawal dari krisis kredit macet perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage)
di Amerika serikat. Hal ini mengakibatkan adanya perlambatan pertumbuhan
ekonomi dunia salah satunya Indonesia. Adanya krisis global akan berdampak
secara signifkan pada sektor eksternal Indonesia yang terdiri dari neraca transaksi
berjalan dan neraca modal.
Neraca transaksi berjalan merupakan komposisi dari sektor eksternal yang
terdiri dari ekspor, impor, dan pendapatan luar negeri (pendapatan tenaga kerja
dan modal serta transfer dari luar negeri). Adanya krisis finansial global yang
bermula karena adanya perlambatan aktivitas ekonomi yang terjadi di negara maju
berimbas ke negara-negara berkembang terutama negara yang memiliki
keterkaitan perdagangan yang erat dengan negara maju. Ancaman perlambatan
pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih signifikan terjadi di negara-negara
Asia yang mengandalkan ekspor, seperti Singapura, Taiwan, Korea dan
Hongkong. Di tengah terjadinya penurunan tajam di perekonomian global,
perekonomian Indonesia masih menunjukkan kinerja yang baik dengan
pertumbuhan sebesar 6,1 persen pada tahun 2008, namun di akhir 2008 dampak
krisis keuangan global berimbas ke perekonomian Indonesia salah satu nya
tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang hanya tercatat sebesar 5,2 persen. Hal
ini juga berimbas pada kinerja ekspor Indonesia yang rentan terhadap krisis
global.
Menurut Bank Indonesia (2009), transmisi dampak krisis global ke
perekonomian Indonesia pada dasarnya melewati dua jalur yaitu jalur finansial
dan jalur perdagangan. Dampak krisis melalui jalur perdagangan diperkirakan
akan cukup signifikan, karena akan diikuti oleh rambatan ke seluruh sektor
ekonomi. Pada triwulan ketiga tahun 2008, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)
mengalami defisit sekitar USD89 juta. Defisit pada NPI didorong oleh
memburuknya kinerja neraca transaksi berjalan sekitar USD0.6 miliar yang dipicu
4
oleh menurunnya kinerja ekspor. Pada grafik di bawah ini terlihat juga bahwa
pada tahun 2010 hingga 2013 neraca transaksi berjalan mengalami defisit
dikarenakan nilai ekpor Indonesia yang menurun. Kinerja ekspor Indonesia dinilai
rentan terhadap shock kondisi eksternal karena kurang terdiversifikasinya
komoditas ekpor Indonesia serta negara tujuan utama komoditas ekspor Indonesia
cenderung terkosentrasi. Jika kondisi ini dibiarkan maka defisit transaksi berjalan
akan semakin besar dan dapat menjadi pemicu terjadinya currency crisis.
CA (Juta US$)
Ratio CA to GDP
6000
14%
4000
12%
2000
10%
8%
0
-2000
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82 6%
4%
-4000
2%
-6000
0%
-8000
-2%
-10000
-4%
-12000
-6%
Sumber: SEKI BI, berbagai tahun (diolah)
Gambar 1 Transaksi Berjalan 1993Q1 s.d 2013Q3 (83 periode)
Berdasarkan Friedman Hyphotesis, fleksibilitas nilai tukar dapat
digunakan sebagai sarana dalam memfasilitasi penyesuaian pada
ketidakseimbangan neraca transaksi berjalan. Fleksibilitas nilai tukar bergantung
kepada rezim nilai tukar yang dianut oleh suatu negara. Kim dan You (2013)
menambahkan bahwa peran fleksibilitas dalam penyesuaian transaksi berjalan
merupakan salah satu isu penting dalam kondisi makroekonomi internasional.
Pemilihan rezim nilai tukar pada suatu negara sering kali memunculkan
pertanyaan apakah fleksibilitas nilai tukar yang bergantung pada rezim yang di
anut akan menyebabkan penyesuaian secara otomatis pada transaksi berjalan.
Untuk itu perlu adanya pengkajian mengenai hubungan fleksibilitas nilai tukar
dan neraca transaksi berjalan yang bergantung pada rezim nilai tukar sehingga
dalam penelitian ini diaplikasikan model Threshold VAR untuk menggabungkan
perubahan dalam rezim nilai tukar berdasarkan perpindahan nilai tukar aktual.
Proksi dari fleksibilitas nilai tukar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
variabilitas nilai tukar yang dihitung dari presentase bulanan serta standar deviasi
dari nilai tukar efektif serta pengklasifikasian rezim nilai tukar yang ada.
Secara keseluruhan penelitian yang dilakukan mengenai hubungan nilai
tukar dan transaksi berjalan tidak menyertakan Indonesia ke dalam sampel
penelitian, hal ini dikarenakan karena terbatasnya data Indonesia yang tercantum
pada database internasional. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang dan
rumusan masalah di atas, maka pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian
ini adalah:
5
1. Di antara klasifikasi rezim nilai tukar yang ada baik klasifikasi secara de
jure dan de facto klasifikasi rezim nilai tukar manakah yang dapat
memproyeksikan nilai tukar aktual di Indonesia?
2. Apakah Friedman Hyphotesis berlaku di Indonesia?
3. Bagaimana pengaruh fleksibilitas nilai tukar yang mencerminkan perubahan
rezim nilai tukar terhadap penyesuaian transaksi berjalan di Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan,
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi klasifikasi rezim nilai tukar mana antara de facto dan de
jure yang dapat memproyeksikan nilai tukar aktual di Indonesia.
2. Mengidentifikasi apakah Friedman Hyphotesis berlaku di Indonesia atau
tidak.
3. Mengidentifikasi pengaruh fleksibilitas nilai tukar terhadap penyesuaian
transaksi berjalan di Indonesia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengayaan literatur kepada
akademisi, praktisi bank sentral, dan pemerintah, terutama yang terkait dengan
upaya menjaga kondisi transaksi berjalan. Bagi penulis, semoga penelitian ini
dapat menjadi sarana peningkatan wawasan ekonomi sekaligus media aplikasi
konsep dan metode yang telah di dapat di jenjang pendidikan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memiliki empat ruang lingkup. Pertama, penelitian ini
mencoba memberikan gambaran mengenai dinamika perubahan transaksi berjalan
serta nilai tukar dalam kurun waktu tahun 1993-2013 di Indonesia. Kedua, melihat
hubungan korelasi dari proksi nilai tukar aktual dan klasifikasi rezim nilai tukar
yang ada sehingga dari hasil estimasi dapat terpilih klasifikasi nilai tukar yang
mana yang dapat merepresentasikan nilai tukar aktual Indonesia. Ketiga,
menggunakan analisis ekonometrika dengan Threshold VAR untuk menguji
hubungan dan mencari nilai threshold antara fleksibilitas nilai tukar dengan
penyesuaian transaksi berjalan. Keempat¸ dari hasil estimasi model ekonometrika
yang diperoleh, selanjutnya akan diberikan beberapa telaah dan analisis untuk
kemudian diberikan kesimpulan serta saran berupa implikasi kebijakan yang
applicable di Indonesia.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Rezim Nilai Tukar
Nilai tukar merupakan harga mata uang dengan mata uang negara lain.
Fungsi nilai tukar pada suatu negara yaitu sebagai salah satu alat transmisi dari
kebijakan moneter dalam pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Pengaruh
atau kontribusi nilai tukar terhadap perekonomian suatu negara tergantung pada
rezim nilai tukar yang dianut. Oleh karena itu, setiap negara harus menentukan
rezim nilai tukar apa yang dianut. Menurut Sozovska (2004), dalam berbagai
diskusi akademik, pemilihan rezim nilai tukar sering tertuju antara fixed dan
flexible exchange rate. Namun pada kenyataannya, terdapat variasi alternatif
rezim nilai tukar yang berbeda dengan fixed dan flexible exchange rate dengan
implikasi yang berbeda pula.
Berdasarkan derajat fleksibilitas, rezim nilai tukar dibagi menjadi tiga
kategori yaitu
1. Fixed rate regimes terdiri atas currency unions (monetary union), dollarized
regimes, currency board, dan conventional fixed peg.
2. Intermediate regimes terdiri dari horizontal bands, crawling pegs, dan
crawling bands.
3. Flexible regimes terdiri dari managed, dan independent floats.
Penjelasan dari kategori rezim nilai tukar yang telah disebutkan di atas
adalah:
a. Monetary Union
Merupakan zona di mana berlakunya kebijakan moneter tunggal
dengan mata uang tunggal yang memiliki substitusi sempurna. Secara
umum, monetary union memiliki kebijakan moneter dan fiskal untuk
mengatur penciptaan high-powered money dan peningkatan hutang
pemerintah, serta memiliki manajemen sentral mengenai cadangan
devisa, hutang luar negeri, dan kebijakan nilai tukar.
b. Dollarization/Euroization.
Situasi di mana penduduk suatu negara secara resmi atau tidak resmi
menggunakan mata uang luar negeri sebagai legal tender (alat tukar)
dalam melakukan transaksi. Alasan utama dalam melakukan
dollarization karena besarnya stabilitas nilai tukar luar negeri terhadap
nilai tukar domestik. Adanya dollarization dapat menyebabkan efek
negatif yaitu suatu negara akan sengaja menghilangkan pengendalian
kebijakan moneter di negara tersebut, adanya perpindahan nilai tukar
tidak dapat mengatasi adanya guncangan dari luar.
c. Currency board
Merupakan rezim moneter yang diadopsi oleh negara yang bertujuan
untuk mendisiplinkan bank sentral mereka, serta memecahkan masalah
kredibilitas eksternal dengan pengaturan kelembagaan yang mengikat.
7
d.
e.
f.
g.
h.
Currency board mengkombinasikan tiga elemen yaitu fixed exchange rate
sebagai mata uang acuan, konvertibilitas yang dilakukan secara otomatis
(hak untuk menukarkan mata uang domestik pada tingkat yang tetap) dan
sistem jangka panjang. Currency board mensyaratkan adanya cadangan
devisa luar negeri sebanyak jumlah uang yang beredar, adanya perpindahan
nilai tukar tidak dapat mengatasi adanya guncangan dari luar.
Conventional fixed peg
Negara mematok atau menetapkan (peg) mata uang pada tingkat yang tetap
ke mata uang negara lain atau kepada mata uang negara perdagangan
utama. Pada sistem fixed peg devaluasi merupakan pilihan untuk mengatasi
guncangan yang terjadi. Kelemahan sistem ini adalah adanya ruang untuk
berspekulasi, usaha untuk mencegah terjadinya volatilitas nilai tukar tidak
dibarengi dengan adanya pengurangan misalignment.
Crawling peg
Merupakan sebuah sistem penyesuaian nilai tukar di mana mata uang
dengan nilai tukar tetap diperbolehkan untuk berfluktuasi dalam sebuah
rentang yang telah disepakati pada suatu negara. Rezim crawling peg
awalnya digunakan pada negara dengan tingkat inflasi yang tinggi yang
mematok atau menentapkan nilai tukar pada negara dengan tingkat inflasi
yang rendah. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya apresiasi mata
uang.
Horizontal bands
Mata uang di pertahankan di dalam fluktuasi margin minimal ± 1 persen
dengan suku bunga acuan. Suku bunga acuan atau margin disesuaikan
secara berkala pada nilai tertentu atau sesuai dengan respon perubahan pada
indikator terpilih. Di bawah sistem nilai tukar dengan bands, akan
menyebabkan berkurangnya independensi pada kebijakan moneter, karena
peran kebijakan moneter lebih terfokus pada fluktuasi margin yang telah
ditetapkan.
Independent floating
Pada rezim nilai tukar independent floating tidak ada komitmen suatu
negara dalam menentukan target nilai tukar. Adanya penawaran dan
permintaan di pasarlah yang akan menentukan nilai tukar. Otoritas moneter
tidak dapat mengintervensi pasar nilai tukar, serta tidak dapat menentukan
atau mengatur tingkat suku bunga untuk tujuan mempengaruhi level nilai
tukar.
Managed floating
Pada rezim nilai tukar ini, meskipun tidak ada target dalam nilai tukar,
namun otoritas moneter di suatu negara dapat mengintervensi pasar nilai
tukar atau menentukan tingkat suku bunga yang dapat mempengaruhi nilai
tukar. Dengan tujuan untuk memperkecil volatilitas dari nilai tukar, adanya
volatilitas yang tinggi dapat menyebabkan pasar nilai tukar menjadi tidak
likuid.
Pada bulan Maret 1973, Amerika Serikat mengganti rezim nilai tukar yang
dianut dari rezim nilai tetap menjadi nilai tukar mengambang terhadap mata uang
negara lain (leading currencies). Adanya pergeseran rezim nilai tukar ini menjadi
8
pertimbangan negara lain untuk mengganti rezim nilai tukar yang dianut.
Menurut Duttagupta et al (2005) negara dengan fixed exchange rate akan lebih
rentan terhadap krisis keuangan dan krisis perbankan dibandingkan dengan negara
yang menganut regim flexible exchange rate. Hal ini dikarenakan regim flexible
exchange rate akan memiliki independensi kebijakan moneter yang lebih besar
sehingga mampu memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap guncangan
yang terjadi pada perekonomian suatu negara.
Untuk memudahkan dalam mengidentifikasi rezim nilai tukar yang dianut
oleh sebuah negara maka dibentuklah klasifikasi rezim nilai tukar dengan bentuk
kode angka untuk kelompok rezim nilai tukar tertentu. Menurut Gemberg dan
Swoboda (2004) Pengklasifikasian nilai tukar dengan pengkodean secara cepat
telah menjadi standar dalam penelitian mengenai nilai tukar. Menurut (Donald
2007) sampai dengan tahun 1997, IMF meminta negara anggotanya untuk
membuat deklarasi atas rezim nilai tukar yang dianut ke dalam empat kategori
yaitu fixed exchange rate, limited flexibility, managed floating, dan independently
floating. Klasifikasi rezim nilai tukar IMF ini ditetapkan sebagai rezim nilai tukar
de jure yaitu klasifikasi rezim nilai tukar yang sesuai dengan deklarasi dari
pemerintah/otoritas moneter suatu negara.
Menurut Rose (2003), klasifikasi rezim nilai tukar IMF sebagai klasifikasi
de jure tidak memiliki kedekatan dengan perilaku nilai tukar secara de facto
(rezim nilai tukar aktual). Sebagai contoh suatu negara yang mendeklarasikan
fixed exchange rate, namun pada kenyataannya malah menganut atau melakukan
kebijakan flexible exchange rate melalui sistem nilai tukar ganda. Pendapat dari
Rose (2003) sejalan dengan Calvo dan Reinhart (2002), Levi-Yeyati dan
Sturzeneger (2003) serta Reinhart dan Rogoff (2004) yang menemukan adanya
perbedaan antara klasifikasi rezim nilai tukar yang telah dideklarasikan oleh suatu
negara dengan rezim nilai aktual yang terjadi. Hal ini lah yang mendasari
munculnya klasifikasi rezim nilai tukar secara de facto, seperti rezim nilai tukar de
facto yang dibuat oleh Levy-Yeyati dan Sturzenegger (LY-S), Reinhart dan
Rogoff (RR) serta Klein dan Shambaugh (KS).
Levy-Yeyati dan Sturzenegger (2005) dalam melakukan pengklasifikasian
menggunakan metodologi statistik berdasarkan perilaku dari nilai tukar nominal
dan cadangan devisa. Pengklasifikasian rezim nilai tukar float (peg) dikaitkan
dengan tingginya (rendahnya) volatilitas nilai tukar dan rendahnya (tingginya)
volatilitas dari devisa. Klein dan Shambaugh (2006) pendekatan nilai tukar
nominal dan melakukan pengkodean dengan rezim nilai tukar pegged atau nonpegged. Nilai tukar nominal harus berada pada rentang 2 persen dalam satu tahun
atau tidak mengalami perpindahan untuk sebelas bulan dalam waktu satu tahun.
Sedangkan Reinhart dan Rogoff (2004) dalam melakukan pengklasifikasian
menggunakan perilaku statistik dari nilai tukar pararel dibandingkan dengan nilai
tukar nominal. Ketiga pengklasifikasian nilai tukar ini sama-sama menggunakan
klasifikasi nilai tukar bilateral.
9
Variabilitas Nilai Tukar
Variabilitas nilai tukar merupakan isu utama dalam konteks
memperdebatkan kemampuan rezim nilai tukar. Konsekuensi akan variabilitas
nilai tukar untuk aktivitas ekonomi telah menjadi fokus para pembuat kebijakan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penggunaan klasifikasi rezim
nilai tukar dalam kajian mengenai penyesuaian transaksi berjalan berguna untuk
menangkap adanya fleksibilitas dalam nilai tukar. Variabilitas nilai tukar
didefinisikan sebagai fluktuasi nilai tukar di sekitar tingkat keseimbangannya
(Sekkat, 1997).
Menurut McCallum (1989) fluktuasi nilai tukar semakin besar terlihat pada
kisaran tahun 1973 dimulai ketika Amerika Serikat mengalami pergeseran rezim
nilai tukar dari fixed exchange rate ke free float. Hal ini menyebabkan negaranegara di dunia termasuk Indonesia mengikuti perubahan rezim nilai tukar
dikarenakan Indonesia masih mem-peg official rate ke Amerika Serikat. Berikut
merupakan proksi dari fleksibilitas nilai tukar (Kim dan You 2013) yaitu
variabilitas nilai tukar dengan empat pengukuran sebagai berikut yaitu
│% ∆neer│, │%∆nber│, SD(%∆neer) dan SD(%∆nber) di mana:
a. │%∆neer│, │%∆nber│
b.
SD(%∆neer), SD(%∆nber)
: Nilai absolut dari perubahan presentase
tahunan pada nilai tukar nominal efektif
(nominal effective exchange rate/NEER), dan
nilai tukar nominal bilateral (nominal
bilateral exchange rate/NBER)
: Standar deviasi dari perubahan presentase
bulanan pada nilai tukar nominal efektif dan
nilai tukar nominal bilateral.
Model Mundell-Fleming
Teori dasar terkait open economy adalah Model Mundell-Fleming yang
memadukan antara internal dan external balances. Internal balance adalah
keseimbangan kurva IS dan LM. IS merupakan expenditure curve (Y=C + I + G
+ NX) dan LM merupakan kurva money riil (M/P), sedangkan external balance
ditunjukkan oleh keseimbangan balance of payment di mana total current dan
capital account = 0.
Model Mundell-Fleming dapat ditulis dalam bentuk logaritma sebagai
berikut:
(2.1)
(
)
(2.2)
(
)
(2.3)
Persamaan 2.1 merupakan persamaan yang menjelaskan kurva IS (kondisi
keseimbangan pasar komoditas), di sisi kanan pada persamaan 2.1 meringkas
komponen AD. Sebagai contoh, suku bunga domestik ( ) memberikan dampak
negatif terhadap investasi dan konsumsi, dan nilai tukar (e) dan pendapatan luar
10
negeri ( ) berdampak positif terhadap net export. Persamaan 2.2 merupakan
persamaan yang menjelaskan kurva LM (kondisi keseimbangan pasar uang), pada
sisi kanan persamaan 2.2 menjelaskan bahwa permintaan akan uang dipengaruhi
oleh nilai tukar dengan hubungan yang negatif sedangkan akan dipengaruhi secara
positif dengan pendapatan dalam negeri ( ).
Sisi kiri pada persamaan 2.2 menjelaskan bahwa penawaran uang atau
money supply terdiri dari dua komponen yaitu komponen eksogen ( ) yang
(
) yang
ditentukan oleh otoritas moneter dan komponen induksi
merespon perbedaan diantara nilai tukar aktual dan nilai tukar yang ditargetkan
Jika nilai
maka penawaran uang ditentukan secara eksogen dan berada
pada suatu negara dengan rezim flexible exchange rate atau pada rezim nilai tukar
tetap dengan sterilisasi secara penuh. Jika nilai
tak terhingga maka suatu
negara tersebut menganut regim nilai tukar tetap di mana kebijakan moneter
digunakan sebagai alat untuk mencapai nilai tukar yang telah ditarget. Negara
yang mengadopsi regim nilai tukar antara fixed exchange rate dan managed
floating, maka nilai
akan berkisar antara nol dan tak hingga.
Persamaan 2.3 menjelaskan secara keseluruhan Balance of Payment (BOP)
terhadap nilai ekspor awal , di mana pada sisi kanan persamaan 2.3 variabel
pertama merupakan penentu dari keseimbangan transaksi berjalan dan variabel
terakhir dari sisi kanan persamaan 2.3 merupakan penentu dari keseimbangan
transaksi modal. Kurva BOP akan bernilai = 0 untuk variasi kombinasi dari
pendapatan dalam negeri atau domestik dan suku bunga dalam negeri atau
domestik.
Gambar 2 berikut merupakan kurva keseimbangan internal dan eksternal
yang terdiri atas kurva IS,LM dan BOP.
rd
LM
Ydd < Yds
d
s
Ydd < Yds
M <M
BOP > 0
d
Ydd > Yds
d
s
M <M
BOP > 0
s
M >M
BOP > 0
BOP
E
Ydd < Yds
d
Ydd > Yds
d
s
M <M
BOP < 0
Ydd > Yds
d
s
M >M
BOP < 0
s
M >M
BOP < 0
IS
Yd
Sumber: Chowdury & Hossain, 2001
Gambar 2 Internal and External Balances
11
Keseimbangan model Mundell-Fleming dinyatakan dengan perpotongan
pada kurva IS, LM, dan BOP pada satu titik (titik E). Bagian di sebelah kanan
(kiri) kurva IS menunjukan adanya kelebihan penawaran (Yds) (permintaan (Ydd)).
Hal ini dikarenakan untuk suku bunga yang telah ditentukan, penawaran output
akan lebih besar (kecil) daripada yang diminta pada keseimbangan pasar barang.
Bagian di sebelah kanan (kiri) dari kurva LM menggambarkan kelebihan
d
s
permintaan (M ) (penawaran (M )) akan uang. Hal ini dikarenakan untuk suku
bunga yang ditentukan, tingkat pendapatan akan lebih tinggi (rendah)
dibandingkan kebutuhan yang diperlukan untuk keseimbangan pasar uang.
Sedangkan bagian kanan (kiri) dari kurva BOP menggambarkan BOP yang defisit
(BOP<0) (surplus (BOP>0)). Hal ini dikarenakan untuk suku bunga yang telah
ditentukan aliran modal yang masuk tidak akan berubah, tetapi lebih tinggi
(rendah) tingkat pendapatan dalam negeri menandakan adanya defisit (surplus)
perdagangan yang besar (Chowdury & Hossain, 2001).
Hubungan Transaksi berjalan dengan Nilai Tukar
Berbagai teori ekonomi yang membahas mengenai konsep makroekonomi
dalam prespektif perekonomian terbuka telah banyak membahas mengenai
hubungan antara transaksi berjalan dan nilai tukar. Berdasarkan kerangka
keseimbangan makroekonomi yang fokus dalam memperoleh keseimbangan
internal dan eksternal secara bersamaan. Kerangka keseimbangan makroekonomi
memiliki tiga komponen dasar yaitu keseimbangan transaksi berjalan, nilai tukar
riil yang independen, hubungan antara transaksi berjalan, nilai tukar riil dan gap
antara output domestik dan luar negeri. Pada pertengahan 1990 kerangka
keseimbangan makroekonomi berdasarkan pada Balance of Payment.
Balance of Payment mencacat secara keseluruhan transaksi yang dilakukan
suatu negara dengan negara lain. Secara definisi Balance of Payment akan selalu
memiliki nilai yang seimbang di mana transaksi berjalan akan sama dengan neraca
modal (Current Account = Capital Account). Hal ini menjelaskan bahwa adanya
defisit (surplus) pada transaksi berjalan akan diseimbangkan dengan surplus
(defisit) di neraca modal. Banyaknya modal yang masuk dapat menyeimbangkan
defisit yang terjadi pada transaksi berjalan dengan meningkatkan suku bunga
dalam negeri terhadap suku bunga luar negeri. Akan tetapi jika arus modal yang
masuk tidak cukup untuk menutupi atau menyeimbangkan defisit transaksi
berjalan, maka proses penyesuaian terjadi melalui perubahan pada nilai tukar.
Sebagai contoh jika defisit di transaksi berjalan melebihi surplus di neraca
modal, nilai tukar akan terdepresiasi yang mengakibatkan ekspor meningkat dan
impor akan mengalami penurunan. Namun jika suatu negara menganut fixed
exchange rate atau managed floating, maka ketidaksesuaian transaksi berjalan
dengan neraca modal akan disesuaikan dengan merubah cadangan devisa dengan
mata uang luar negeri (Chowdury & Hossain, 2001).
Kerangka keseimbangan makroekonomi selain dilihat dari Balanced of
Payment dapat juga dilihat melalui orientasi pada pendapatan nasional yang
menghubungkan posisi transaksi berjalan dengan kelebihan pada tabungan
domestik (S) terhadap investasi domestik (I).
12
Hubungan ini dapat di rumuskan sebagai berikut:
di mana
= Keseimbangan transaksi berjalan (Current Account Balance)
= Tabungan domestik
= Investasi domestik
Keseimbangan transaksi berjalan secara ekplisit bergantung pada nilai
tukar riil, yang mempengaruhi volume dan harga dari ekspor dan impor. Adanya
efek perubahan nilai tukar terhadap keseimbangan transaksi berjalan
membutuhkan lag dalam penyesuaiannya. Keseimbangan neraca berjalan juga
bergantung ada permintaan agregat domestik maupun luar negeri dan bermacammacam faktor lainnya.
Gambar 3 di bawah merupakan grafik yang menggambarkan hubungan
transaksi berjalan dengan nilai tukar. Hubungan pada kedua variabel ekonomi
tersebut merupakan perspektif jangka menengah. Grafik UCUR yang merupakan
kepanjangan dari Underlying Current Account yang didefinisikan sebagai nilai
dari keseimbangan transaksi berjalan (CUR) yang akan muncul pada nilai tukar
yang berlaku jika seluruh negara berproduksi pada tingkat output yang potensial
(internal balance) dan efek lag pada perubahan nilai tukar masa lalu telah
sepenuhnya terealisasi. Terlihat pada grafik slope negatif menunjukkan adanya
hubungan transaksi berjalan berbanding terbalik dengan nilai tukar yang
diproksikan dengan REER. REER (Real Efective Exchange Rate) merupakan
salah satu proksi nilai tukar yang merupakan ukuran dari nilai tukar nominal yang
disesuaikan dengan perbedaan tingkat harga dengan suatu negara terhadap negara
patner dagangnya atau biasa disebut dengan nilai tukar multilateral (Opuku-Afari,
2011).
REER
S-I
Equilibrium Saving –
Investment balance
R1
Underlying current
account balance
R*
UCUR
UCUR1
Surplus
Current
Account
0
Gambar 3 Hubungan Transaksi Berjalan dengan Nilai Tukar
Deficit
Nilai tukar yang terdepresiasi akan memperbaiki posisi transaksi berjalan
(UCUR). Jika nilai tukar riil berubah ke posisi R1, maka keseimbangan
makroekonomi menjadi UCUR1. Garis vertikal
yang merupakan
13
keseimbangan posisi tabungan dan investasi diasumsikan independen terhadap
nilai tukar riil. Perpotongan antara grafik UCUR dan
menentukan nilai
keseimbangan pada nilai tukar (R*). Perhitungan terhadap R* di mulai dari (i)
posisi nilai transaksi berjalan yang terkait dengan nilai tukar yang berlaku (R1)
kemudian (ii) gap antara keseimbangan pada
dan UCUR1. Slope pada garis
UCUR kemudian di gunakan untuk mengestimasi seberapa besar R akan berubah
untuk memperkecil gap ceteris paribus. Model transaksi berjalan diperlukan
untuk mengestimasi keseimbangan kondisi transaksi berjalan yang berlaku.
Banyak negara yang telah membangun model transaksi berjalan. Spesifikasi dan
kalibrasi cenderung mengikuti spesifikasi pada tiap negara yang merefleksikan
faktor-faktor seperti ukuran negara dan komposisi dari ekpor dan impornya.
Marshall-Lerner Condition
Teori Marshall-Lerner Condition menyatakan bahwa depresiasi nilai tukar
riil akan meningkatkan kinerja neraca transaksi berjalan dimana adanya depresiasi
mata uang domestik akan mengakibatkan barang yang di ekspor suatu negara akan
menjadi lebih murah bagi konsumen luar negeri sedangkan barang impor akan
menjadi lebih mahal bagi konsumen dalam negeri.
Dalam Marshall-Lerner Condition terdapat beberapa asumsi yaitu :
1. Tidak adanya aliran modal (KA=0), sehingga neraca pembayaran dan
neraca transaksi berjalan sama dengan neraca perdagangan (trade balance).
2. Pendapatan konstan atau berada dalam kondisi full employment.
3. Konsumen memiliki ketertarikan hanya pada harga barang baik ekspor atau
impor di dalam negeri.
4. Penawaran pada barang domestik maupun luar negeri yaitu elastis (lebih
besar dari 1), sehingga harga barang ekspor dalam mata uang domestik dan
harga barang impor dalam mata uang luar negeri konstan. Output ditentukan
hanya berdasarkan permintaan.
Namun dari penjelasan singkat mengenai Marshall-Lerner Condition akan
timbul pertanyaan mengenai apakah pada suatu negara adanya perubahan yang
terjadi akibat adanya depresiasi mata uang domestik akan selalu memperbaiki
kondisi neraca perdagangan atau neraca transaksi berjalan?. Jawaban atas
pertanyaan tersebut banyak dikenal dengan istilah Marshall-Lerner Condition
Paradox. Adanya efek akibat depresiasi mata uang terhadap neraca perdagangan
akan sangat bergantung pada nilai elastisitas, dimana elastisitas akan sangat
bergantung pada periode waktu. Pada jangka pendek dimana kondisi nilai
elastisitas kecil, adanya depresiasi nilai tukar akan mengakibatkan neraca
perdagangan defisit sehingga Marshall-Lerner Condition tidak terpenuhi.
Sedangkan pada jangka panjang dimana kondisi nilai elastisitas besar, adanya
depresiasi nilai tukar akan mengakibatkan neraca perdagangan surplus. Hubungan
antara periode waktu dan perilaku dari neraca perdagangan ini dapat dirangkum
kedalam kurva J (J-curve).
14
Current
Account
Surplus (+)
+5
T3
Time
T1
T2
Ket :
T1
T2
T3
-2
Current
Account
Deficit (-)
= Posisi Defisit
= Posisi Defisit
= Posisi Surplus
Sumber : Hady (2004)
Gambar 4 Kurva J (J-Curve)
Tinjauan Empiris
Penelitian atau literatur mengenai penyesuaian transaksi berjalan dengan
keterkaitannya dengan kondisi perekonomian terbuka dan pendekatan
intertemporal sudah dimulai sejak tahun 1982, namun menurut Hermann (2009)
penelitian yang melihat hubungan antara rezim nilai tukar dan penyesuaian
transaksi berjalan pertama kali dilakukan oleh Chinn dan Wei (2008).
Chinn dan Wei (2008) melakukan penelitian pada 170 negara yang terdiri
dari negara maju dan berkembang (menurut klasifikasi IMF) selama tahun19712005. Penelitian yang dilakukan menggunakan dua rezim tukar de facto yaitu
klasifikasi nilai tukar Levy-Yeyati, dan Sturzenegger serta Reinhart, dan Rogoff.
Penggunaan dua klasifikasi bertujuan untuk melakukan perbandingan karena
menurut pendapat Frankel (2007) yang menyebutkan bahwa dua klasifikasi
tersebut hanya memiliki korelasi 0,4. Hal ini menandakan adanya konsep yang
berbeda jauh dalam melakukan pengklasifikasian rezim nilai tukar. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa dengan menggunakan rezim nilai tukar LevyYeyati dan Sturznegger derajat persistensi dari transaksi berjalan sebesar 0.63 di
bawah rezim flexible exchange rate, kemudian derajat persisten akan mengalami
kenaikan hingga 0.76 dan 0.79 di bawah rezim fixed exchange rate. Ketika
klasifikasi rezim nilai tukar Reinhart dan Rogoff (2004) digunakan hasilnya tidak
jauh berbeda dengan penggunaan rezim nilai tukar Levy-Yeyati, dan Sturznegger,
derajat persistensi di bawah flexible exchange rate memiliki nilai 0.663 sedangkan
di bawah rezim flexible exchange rate memiliki nilai derajat persisten sebesar
0.719. Dari kedua hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak diperoleh hasil
yang robust dalam mengestimasi hubungan fleksibilitas nilai tukar dengan
penyesuaian transaksi berjalan.
15
Hermann (2009) dengan mengadopsi cara kerja Chinn dan Wei (2008)
dalam mengestimasi hubungan antara nilai tukar dan transaksi berjalan
memperoleh hasil yang berbeda, di mana fleksibilitas nilai tukar ternyata
mempengaruhi penyesuaian pada transaksi berjalan. Perbedaan yang terjadi
menurut Hermann (2009) disebabkan karena pertama Chinn dan Wei (2008)
menggunakan rezim nilai tukar Levy-Yeyati dan Sturznegger yang diubah
menjadi dummy sebagai proksi dari fleksibilitas nilai tukar sedangkan nilai tukar
Reinhart dan Rogoff (2004) tidak diubah menjadi variabel dummy. Adanya
pengubahan pada rezim nilai tukar tersebut diindikasi tidak dapat menangkap nilai
tukar aktual. Kedua, data yang digunakan oleh Chinn dan Wei (2008) memiliki
heterogenitas yang besar dan standard error nya memiliki perilaku yang berbeda
di setiap sub-sampel. Adanya permasalahan di atas dapat diperbaiki oleh Hermann
(2009) dengan cara menggunakan z-scores sebagai proksi dalam mengukur
volatilitas nilai tukar, kemudian sampel yang digunakan homogen. Estimasi
dilakukan di emerging market dikarenakan adanya permasalah ini lebih terfokus
pada negara berkembang.
Decressin dan Stavrev (2009) mengestimasi hubungan antara
keseimbangan transaksi berjalan dengan nilai tukar mata uang di European
Economic and Monetary Union (EMU) pada masa sebelum dan sesudah monetary
union terbentuk pada tahun 1999. Penelitian ini dilatarbelakangi adanya
kekhawatiran mengenai tidak adanya mata uang nasional pada negara di kawasan
Eropa, sehingga ketika adanya guncangan tertentu pada suatu negara dikawasan
tersebut akan mengakibatkan besar dan lamanya ketidakseimbangan transaksi
berjalan antara negara anggota, serta akan merusak independensi dari kebijakan
moneter. Pada penelitian ini nilai tukar diproksikan oleh real effective exchange
rate (nilai tukar riil efektif), diperoleh hasil bahwa pada negara di EMU pada
kedua kurun waktu yang berbeda tidak terdapat hubungan timbal balik antara
perbedaan transaksi berjalan pada negara EMU dengan nilai tukar. Pada penelitian
ini diestimasi juga mengenai faktor-faktor apa yang menyebabkan perbedaan pada
transaksi berjalan di negara EMU, yaitu pendapatan dan keadaan demografi
negara masing-masing.
Kim dan You (2013) menganalisis hubungan nilai tukar dengan
penyesuaian transaksi berjalan dengan menggunakan Threshold VAR. Dalam
estimasinya Kim dan You (2013) menggunakan nilai tukar de facto dan de jure
serta standar deviasi dari nilai tukar efektif sebagai proksi untuk fleksibilitas nilai
tukar. Penelitian dilakukan dengan kurun waktu 1980-2010 di 90 negara. Adanya
nilai threshold sebesar 7,41 kemudian akan membagi keseluruhan sampel ke
dalam dua bagian berdasarkan variabilitas nilai tukar rendah dan tinggi. Di bawah
variabilitas nilai tukar yang rendah koefisien lag satu dan dua yaitu 0,82 dan
0,15, sedangkan di bawah variabilitas nilai tukar yang tinggi diperoleh koefisien
lag satu dan dua sebesar 0,64 dan 0,1. Kedua estimasi tersebut signifikan di
level 1 persen. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa keseimbangan
transaksi berjalan kurang persisten di bawah regim nilai tukar dengan variabilitas
yang tinggi. Dengan kata lain, keseimbangan transaksi berjalan akan melakukan
penyesuaian lebih cepat pada rezim nilai tukar yang lebih fleksibel. Hal ini sesuai
dengan Friedman Hyphotesis.
16
Kerangka Pemikiran
Mengacu pada tujuan penelitian yang sebelumnya telah dijabarkan terdapat
dua tahapan analisis yang akan dilakukan. Tahap pertama yang akan dilakukan
adalah mengestimasi korelasi antara proksi nilai tukar aktual dengan klasifikasi
rezim nilai tukar yang telah ada baik de facto maupun de jure. Tahap analisis
kedua adalah menganalisis hubungan antara fleksibilitas nilai tukar dengan
penyesuaian transaksi berjalan di Indonesia. Berbagai teori ekonomi dan temuan
empiris menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara fleksibilitas nilai
tukar dengan penyesuaian transaksi berjalan, walaupun hubungan dari kedua
variabel tersebut masih mengalami perdebatan menjadi pertimbangan bagi penulis
untuk melakukan penelitian ini di Indonesia. Mengingat banyaknya penelitian
mengenai estimasi hubungan nilai tukar dengan penyesuaian transaksi berjalan
tidak memasukan Indonesia sebagai negara yang diestimasi dikarenakan
terbatasnya data Indonesia yang ada di database internasional. Kerangka
pemikiran teori dalam penelitian ini terangkum dalam Gambar 4.
Jalur Finansial
Krisis Global 2008
Jalur
Perdagangan
Pelemahan permintaan
ekspor Indonesia
Friedman Hyphotesis
Adanya defisit transaksi
berjalan hingga 4,4%
dari GDP pada 2013Q2
Potensi
Currency Crisis
Nilai tukar
Respon kebijakan dalam
penanggulangan krisis:
1. Moneter
2. Perbankan
3. Sektor riil
Ket
:
: Ruang Lingkup Penelitian
: Hubungan Tidak Langsung
Implikasi Kebijakan
Gambar 5 Kerangka Pemikiran
17
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan tinjauan pustaka, maka
hipotesis yang diuji melalui penelitian ini adalah
1. Klasifikasi rezim nilai tukar de facto tidak dapat merefleksikan nilai
tukar aktual di Indonesia.
2. Friedman Hyphotesis berlaku di Indonesia.
3. Fleksibilitas nilai tukar berpengaruh positif terhadap penyesuaian
transaksi berjalan di Indonesia dimana semakin fleksibel nilai tukar pada
suatu negara maka proses penyesuaian neraca transaksi berjalan akan
semakin baik.
3 METODE
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder agregat
untuk Indonesia dalam bentuk deret waktu triwulanan (quarterly time series)
periode 1993Q1 sampai dengan 2013Q3. Data diperoleh melalui SEKI BI
(Statistik Ekonomi dan Keuangan Bank Indonesia), Badan Pusat Statistik, IFS
(International Financial Statistic) serta web terkait. Selain itu, penulis juga
melakukan studi pustaka dengan membaca jurnal, artikel internet, dan berbagai
literatur lainnya yang berkaitan dan relevan dengan permasaahan yang diteliti.
Secara rinci, sumber data dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini
dicantumkan dalam tabel berikut:
Tabel 1 Variabel dan sumber data penelitian
No.
1.
Variabel
Nilai Tukar Efektif
3.
Standar Deviasi
4.
7.
Keseimbangan
Transaksi Berjalan
Keterbukaan Sektor
Perdagangan
Pembangunan Sektor
Keuangan
Pendapatan Relatif
8.
Klasifikasi Rezim
5.
6.
Keterangan
Nilai tukar nominal
efektif (NEER)
b. Nilai tukar riil efektif
(REER)
a. Standar deviasi dari
persentase
bulanan
NEER SD(%∆NEER)
b. Standar deviasi dari
persentase
bulanan
NBER
(Rp/US$)
SD(%∆NBER)
Rasio transaksi berjalan
dengan GDP
Rasio Ekpor dan Impor
dengan GDP
Rasio outstanding credit
dengan GDP
Rasio GDP Indonesia
dengan GDP AS (PPP)
a. Rezim IMF
b. Rezim R-R
c. Rezim LY-S
d. Rezim K-S
a.
Sumber
Olah data oleh penulis
Olah data oleh penulis
SEKI BI
BPS
SEKI
IFS
http://www.carmenreinhart.com
http://www.carmenreinhart.com
http://graduateinstitute.ch
http://www.dartmouth.edu/~jshambau/
18
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian terdiri
dari analisis deskriptif dan analisis ekonometrika berupa uji korelasi dan TVAR
(Threshold Vector Autoregression). Prosedur analisis secara ringkas dapat dilihat
pada gambar berikut:
Prosedur
Analisis
Gambaran transaksi
berjalan dan fleksibilitas
nilai tukar di Indonesia
a. Penentuan klasifikasi
rezim nilai tukar yang
sesuai di Indonesia
b. Estimasi hubungan
fleksibilitas nilai tukar
dengan transaksi berjalan
Analisis Deskriptif
Analisis Trend
Uji Korelasi
Threshold
VAR
Proksi
variabilitas
nilai tukar
Implikasi
Kebijakan
Gambar 6 Ringkasan Prosedur Analisis
Klasifikasi
terpilih
19
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan metode analisis sederhana yang digunakan
untuk menggambarkan kondisi suatu objek observasi dengan mendeskripsikan
data menjadi informasi yang lebih jelas dapat disajikan dalam bentuk tabel, grafik
maupun narasi yang berhubungan dengan penelitian. Analisis deskriptif dalam
penelitian ini berupa gambaran umum mengenai kondisi transaksi berjalan dan
rezim nilai tukar di Indonesia, mulai tahun 1993 hingga 2013.
Analisis Ekonometrika
Metode analisis ekonometrika yang digunakan pada penelitian ini adalah
metode TVAR (Threshold Vector Autoregression). Proses analisis data dilakukan
oleh peneliti dengan menggunakan bantuan software atau perangkat lunak
TrickyTreex (Excel Based) dan Eviews 8.
Metode Threshold Vector Autoregression (TVAR) merupakan model dari
Vector Autoregression (VAR) yang membedakan antara TVAR dan VAR yaitu
adanya variabel threshold pada TVAR sedangkan pada VAR tidak, untuk itu
tahapan estimasi pada TVAR hampir menyerupai VAR, di mana perlu adanya uji
akar unit atau ketakstasioneran data. Sebelum memulai tahapan dalam
mengestimasi model menggunakan metode TVAR maka perlu dilakukannya uji
akar unit atau ketakstasioneran data .
Uji Akar unit atau Non-stasioneritas Data
Menurut Gujarati (2004) asumsi yang mendasari dalam penggunaan data
time series yaitu stasioneritas di mana nilai rata-rata dan varian konstan sepanjang
waktu. Metode yang digunakan dalam menguji stasioneritas data pada penelitian
kali ini adalah Augmented Dickey Fuller-Test (ADF-Test) dengan taraf nyata
sepuluh persen. Uji stastioneritas data dengan menggunakan ADF-Test dimulai
dari proses autoregresi order pertama AR(1) yaitu
di mana adala white noise error term dengan mean nol dan varians konstan.
Persamaan di atas merupakan random walk without drift. Jika nilai
maka
persamaan di atas mengandung akar unit atau tidak stasioner. Mengatasi
ketidakstasioneran pada persamaan tersebut dapat dilakukan memodifikasi
persamaan di atas dengan dengan mengurangi
pada kedua sisi persamaan,
sehingga persamaan menjadi:
(
)
20
Persamaan di atas dapat ditulis sebagai berikut:
di mana δ = (ρ=1) dan ∆ merupakan penanda dari adanya first difference.
Hipotesis pada persamaan di atas yaitu
, persamaan tersebut tidak stasioner
, persamaan tersebut stasioner
sehingga apabila probabilitas (taraf nyata 1 persen, 5 persen, atau 10
persen) menyatakan menolak H0 artinya data time series tersebut stasioner, begitu
juga sebaliknya.
ADF Test merupakan uji stasioneritas data yang mengasumsikan bahwa
(error term) memiliki korelasi. Dalam uji ini dilakukan adanya penambahan nilai
lag pada variabel dependen
. Persamaan pada ADF Test dapat ditulis sebagai
berikut:
∑
(
di mana merupakan pure white noise error term dan
),
(
) dan seterusnya. Sedangkan Phillips Perron
test menggunakan metode statistik nonparametrik untuk menghilangkan adanya
autokorelasi pada error term tanpa menambahkan lag yang berbeda (Gujarati,
2004). DF Test dan PP Test memiliki hipotesis yang sama di mana
persamaan tersebut tidak stasioner dan hipotesis alternatifnya
persamaan tersebut stasioner.
Pada uji stasioner ini digunakan automatic lag selection berdasarkan criteria
Schwarz Information Criterion (SIC) dengan maksimum lag berjumlah 12. Jika
nilai statistik ADF atau nilai statistik PP lebih kecil daripada critical value
MacKinnon, maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan bersifat
stasioner (tidak mengandung akar unit). Pengujian data pada penelitian ini
dilakukan pada orde I(0) atau dilakukan pada data level dan I(1) atau data first
difference dengan menambahkan exogenous regressor individual intercept,
individual intercept dan trend serta no intercept dan trend.
Penetapan Lag Optimal
Penetapan lag optimal merupakan tahapan selanjutnya setelah melakukan
uji akar unit atau non-stasioneritas data dalam estimasi menggunaka VAR dan
TVAR. Lag optimal dipilih berdasarkan basis Akaike Information Criterion
(AIC), Schwarz Bayesian Criterion (SC), serta Hannan Quinn Criterion (HQ).
Kriteria informasi ini telah digunakan secara luas dalam proses analisis data time
seires untuk mengetahui ketepatan lag yang akan digunakan dalam model. Dalam
penelitian ini untuk menggunakan lag optimal, maka akan digunakan kriteria SIC
dengan nilai terkecil. Perhitungan nilai kriteria dalam model dapat dijabarkan
dalam tabel sebagai berikut
21
Tabel 2 Cara perhitungan nilai kriteria model
Information Criterion
Definition
(
Akaike (AIC)
(
Schwarz (SIC)
Hannan-Quinn (HQ)
di mana
l
k
T
(
)
)
)
( )
(
( ))
= nilai log dari fungsi likelihood
= parameter yang diestimasi
= banyaknya pengamatan.
Pengujian Stabilitas VAR
Pengujian stabilitas VAR dilakukan sebelum melakukan analisis Impulse
Response Function (IRF) dan analisis Forecast Error Variance Decomposition
(FEVD). Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi
polinominal atau dikenal dengan istilah roots of characteristic polinomial. Jika
semua akar dari fungsi polinomial tersebut memiliki nilai absolut lebih kecil dari
satu, maka model VAR telah stabil sehingga IRF dan FEVD yang dihasilkan
dianggap valid.
Impulse Response Function (IRF)
Sims dalam Thomas (1997) menyatakan cara yang paling baik untuk dapat
mencirikan struktur dinamis dalam model adalah dengan menganalisis respon dari
model terhadap guncangan. IRF dapat melakukan hal ini dengan menunjukkan
bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap
guncangan dalam variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya.
Menurut Brooks (2002), IRF melacak respon dari variabel tak bebas dalam
VAR untuk guncangan pada setiap sistem variabel. Jadi, untuk masing-masing
variabel dari masing-masing pesamaan yang terpisah, suatu guncangan
diaplikasikan pada error dan efeknya terhadap sistem VAR untuk beberapa waktu
tercatat. Karenanya, apabila terdapat g variabel dalam sistem, total dari g impulse
response dapat diketahui.
Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
FEVD menawarkan metode yang sedikit berbeda untuk menganalisis
dinamika sistem VAR. FEVD memberi proporsi pergerakan dalam variabel tak
bebas yang terkait dengan guncangannya sendiri, versus guncangan terhadap
variabel-variabel lainnya. Suatu guncangan terhadap variabel ke-i tentunya akan
berpengaruh langsung terhadap variabel tersebut, namun juga akan ditransmisikan
kepada semua variabel lainnya dalam sistem melalui struktur dinamis dari VAR.
FEVD menentukan seberapa besar dari s - langkah ke depan peramalan varians
22
error dari variabel untuk s = 1,2,... Dalam prakteknya, biasanya dalam
pengamatan rangkaian guncangan sendirinya menjelaskan sebagian besar
(peramalan) varians error dari deret dalam VAR (Brooks, 2002).
Analisis Threshold Vector Autoregression (TVAR)
Metode Threshold Vector Autoregression (TVAR) merupakan model dari
Vector Autoregression (VAR) yang secara umum bertujuan untuk menangkap
adanya ketaklinearan pada sistem karena adanya perpindahan periodik secara
asimetri , perubahan rezim dan lain lain. Secara umum, model yang digunakan
dalam analisis threshold VAR adalah sebagai berikut:
( )
(
( )
)
(3.1)
di mana
adalah vektor variabel endogen,
variabel yang memiliki
nilai 1 ketika lag variabel threshold lebih rendah dibandingkan dengan critical
value threshold sedangkan 0 lainnya. Model mengidentifikasikan dua rezim
yang terpisah berdasarkan
di mana d merupakan time lag, relatif terhadap
yang secara endogen ditentukan pada sistem.
Terlihat pada persamaan 3.1 model linear VAR , ketika nilai
bernilai 0 maka hasil estimasi akan diperoleh
,
dan ( ) sedangkan jika
bernilai 1 maka hasil estimasi akan diperoleh
,
dan
( )
( ) . Dengan demikian adanya asimetri pada model dapat ditangkap
oleh variabel threshold dengan vector constant term D, koefisien matriks A, dan
B(L) yang berbeda pada setiap rezim.
Variabel threshold
digunakan untuk pembeda pada rezim yang
dimodelkan sebagai variabel di vektor
. Hal ini mengakibatkan adanya
pergantiaan rezim yang di tentukan secara endogen pada sistem itu sendiri.
Permodelan pada VAR mempertimbangkan semua variabel pada sistem sebagai
endogenous shocks pada setiap variabel di , sehingga adanya dampak pada
variabel akan mengakibatkan pergeseran pada rezim yang berbeda.
Adanya keberadaan variabel threshold pada model Threshold VAR harus
( )
di uji validitasnya terlebih dahulu di mana
. Perlu
diperhatikan jika critical value threshold hanya berlaku pada model Threshold
VAR dan tidak berlaku secara umum. Setelah model terbentuk dan koefisien di
estimasi, maka model akan dievaluasi dengan nonlinear impulse respons analysis.
Perumusan Model Penelitian
Spesifikasi model dalam penelitian ini mengacu pada model yang
digunakan pada Kim dan You (2013) dengan variabel utama yaitu proksi dari
variabilitas nilai tukar pada estimasi menggunakan Threshold VAR yaitu Riil
Effective Exchange Rate (REER) dan Rasio transaksi berjalan dengan GDP (CA)
ditambah dengan tiga variable kontrol yaitu rasio ekspor dan impor dengan GDP,
rasio outstanding credit dengan GDP, dan rasio pendapatan Indonesia dengan
Amerika Serikat. Pada uji korelasi dengan klasifikasi rezim nilai tukar, proksi
variabilitas nilai tukar menggunakan Nominal Effective Exchange Rate (NEER).
23
Hal ini dilakukan karena klasifikasian rezim nilai tukar secara de facto dan de jure
menggunakan nilai tukar nominal sebagai dasar dari pengklasifikasian yang telah
dilakukan. Menurut Musa (1986), dalam kondisi suatu negara dengan nilai inflasi
yang rendah, maka korelasi REER dan NEER akan tinggi dan memiliki
pergerakan yang searah. Untuk kasus Indonesia pergerakan REER dan NEER
dapat dilihat pada bagian tinjauan pustaka pada Bab 4. Berikut adalah model
Threshold VAR yang digunakan dalam penelitian ini:
( )
( ( )
)
di mana:
= Vektor variabel endogen (CA dan REER)
= Vektor variabel eksogen termasuk variabel kontrol (OPENC,
FIN_DVP, R_INC)
= Matriks koefisien variabel eksogen
= Variabel threshold
= Time lag
I
= Fungsi indikator yang memiliki nilai 1 ketika lag variabel
threshold lebih rendah dibandingkan dengan critical value
threshold sedangkan 0 lainnya
( ) ( ) = Lag matriks polinomial
= Error
Tabel 3 memuat mengenai variabel-variabel yang digunakan secara
keseluruhan di dalam penelitian ini. Variabel tersebut akan dikelompokan ke
dalam dua kategori yaitu kategori pertama variabel yang masuk dalam model dan
kategori kedua yaitu variabel yang masuk dalam uji korelasi yang akan dilakukan
sebelum estimasi Threshold VAR. Uji korelasi bertujuan untuk menentukan proksi
dari variabel
Tabel 3 Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian
No.
1..
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Notasi
Kategori 1
CA
OPENC
FIN_DVP
R_INC
REER
U
t
Kategori 2
NEER
REER
SD(%∆NEER)
SD(%∆NBER)
IMF
R-R
LY-S
K-S
Variabel
Model
Keseimbangan Transaksi Berjalan (Current Account Balance)
Keterbukaan Sektor Perdagangan (Trade Openness)
Pembangunan Sektor Keuangan (Financial Development)
Pendapatan Relatif (Relative Income)
Nilai tukar riil efektif
Nilai Threshold
Error term
Periode
Korelasi
Nilai tukar nominal efektif
Nilai tukar riil efektif
Standar deviasi dari persentase bulanan NEER
Standar deviasi dari persentase bulanan NBER
Klasifikasi rezim IMF
Klasifikasi rezim R-R
Klasifikasi rezim LY-S
Klasifikasi rezim K-S
24
Definisi Variabel Operasional
Definisi variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Nilai tukar nominal efektif merupakan rata-rata terbobot nilai tukar
nominal mata uang suatu negara yang tidak memasukan adanya perubahan
harga pada negara tersebut dengan perubahan harga pada mitra dagangnya.
2. Nilai tukar riil efektif merupakan nilai tukar nominal efektif yang
disesuaikan dengan perubahan level harga yang relatif dengan perubahan
harga negara mitra dagang.
3. Keseimbangan transaksi berjalan merupakan perbedaan antara nilai ekspor
dan impor pada suatu negara dikurang dengan jasa dan pendapatan bersih
ditambah dengan transfer bersih sebagai share dari GDP pada suatu
negara.
4. Keterbukaan sektor perdagangan merupakan perbedaan antara nilai ekspor
dan impor pada suatu negara sebagai share dari GDP pada suatu negara.
5. Pembangunan sektor keuangan merupakan rasio dari total kredit rupiah
dan valas yang diberikan Bank Umum dan BPR di Indonesia sebagai
share dari GDP pada suatu negara.
6. Pendapatan relatif merupakan rasio dari GDP Indonesia dengan Amerika
Serikat dalam konteks Purchasing Power Parity (PPP).
7. Klasifikasi rezim nilai tukar merupakan pengklasifikasian rezim nilai tukar
yang dilakukan berdasarkan pada perhitungan tertentu.
a. Levy-Yeyati dan Sturzenegger (2005) menggunakan metodologi
statistik berdasarkan perilaku dari nilai tukar nominal dan cadangan
devisa.
b. Klein dan Shambaugh (2006) pendekatan nilai tukar nominal dan
melakukan pengkodean dengan rezim nilai tukar pegged atau nonpegged.
c. Reinhart dan Rogoff (2004) dalam melakukan pengklasifikasian
menggunakan perilaku statistik dari nilai tukar pararel dibandingkan
dengan nilai tukar nominal.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia
Neraca transaksi berjalan sebagai indikator dalam melihat kondisi ekternal
Indonesia dalam kurun waktu 1993Q1 hingga 2013Q3 mengalami kondisi defisit
dan surplus yang silih berganti. Dilihat dari presentase defisit yang terbesar dalam
kurun waktu 1993 hingga 2013 terjadi pada tahun 1995Q2 yaitu sebesar -4.8
persen dari GDP Indonesia. Hal ini disebabkan oleh menurunnya volume ekspor
minyak bumi sebesar 4 persen dan LNG (gas alam cair sebesar 0.5 persen akibat
meningkatnya konsumsi dalam negeri, menurunnya harga dan volume ekspor
beberapa komoditas pertanian serta belum pulihnya ekspor beberapa komoditas
25
manufaktur andalan serta adanya kenaikan ongkos angkut dan asuransi impor
nonmigas, pembayaran bunga pinjaman luar negeri yang menyebabkan defisit jasa
semakin besar (Bappenas,1996).
Dalam kurun waktu yang sama presentase surplus terbesar pada neraca
transaksi berjalan terjadi pada tahun 1998Q2 sebesar 11.25 persen. Pada triwulan
kedua, beberapa indikator ekonomi makro mulai menunjukan perkembangan ke
arah perbaikan. Namun krisis ekonomi yang terus berlanjut telah menyebabkan
perekonomian semakin parah. Hal ini ditandai dengan tingkat penggangguran
yang meningkat tajam dan pendapat per kapita yang menurun. Sektor eksternal
juga mengalami penurunan, meskipun memiliki nilai yang surplus, kinerja ekspor
dan impor memburuk. Kondisi ini semakin diperparah dengan disertai
meningkatnya tekanan inflasi dan gejolak nilai tukar yang tajam (LPI,
1999).Pasca krisis global tahun 2008, perekonomian Indonesia mampu tumbuh
tinggi disertai stabilitas yang terjaga. Hal ini disebabkan oleh dua tren global yaitu
pertama kondisi term of trade yang membaik didorong kenaikan harga ekspor
komoditas primer (permintaan dari negara emerging market seperti China dan
India meningkat). Kedua, adanya kebijakan stimulus moneter di negara maju
pasca krisis global yang menyebabkan likuiditas global mengalir ke perekonomian
emerging market termasuk Indonesia yang menyebabkan suku bunga dapat dijaga
dengan nilai yang rendah dan stabil.
CA to GDP
14%
12%
10%
8%
6%
4%
2%
0%
-2%
-4%
-6%
Juta (US$)
GDP
300,000
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
0
GDP
Ratio CA to GDP
Sumber: SEKI BI, berbagai tahun (diolah)
Gambar 7 Share neraca transaksi berjalan terhadap GDP di Indonesia
Namun kondisi tersebut hanya dapat berlangsung sekitar empat tahun.
Pada tahun 2013, didorong bergesernya kedua tren global yang telah disebutkan di
atas; melambatnya pertumbuhan ekonomi negara emerging market, menurunnya
terms of trade Indonesia, kinerja ekspor turun serta berkurangnya stimulus
moneter dari negara maju menyebabkan ketidakseimbangan pada neraca
pembayaran Indonesia yang ditandai dengan melebarnya defisit transaksi berjalan
(Gambar 6). Defisit transaksi berjalan terbesar pada tahun 2013 terjadi pada
triwulan kedua yaitu sebesar -4.38 persen, disebakan karena rupiah terdepresiasi
26
akibat pengurangan stimulus The Fed, ekspektasi inflasi yang meningkat pasca
penerapan pembatasan impor komoditas pangan dan adanya penguran subsidi
BBM yang dilakukan oleh otoritas fiskal Indonesia.
Kondisi Nilai Tukar di Indonesia
Analisis dalam suatu penelitian yang melibatkan nilai tukar dalam variabel
yang diestimasi mensyaratkan sensitivitas pada indeks nilai tukar yang digunakan.
Menurut Opoku-Afari (2011), terdapat beberapa alternatif dalam melakukan
perhitungan pada nilai tukar dan pemilihan indeks nilai tukar yang bergantung
pada objek penelitian. Nilai tukar dibagi menjadi dua yaitu nilai tukar nominal dan
nilai tukar riil, di mana nilai tukar riil memperhitungkan adanya perubahan harga
pada suatu perekonomian.
Secara teori, terdapat dua definisi nilai tukar riil:
1. Dari sisi eksternal, didefinisikan sebagai nilai tukar nominal yang disesuaikan
dengan perbedaan tingkat harga di beberapa negara atau rasio dari tingkat
harga luar negeri secara agregat terhadap agregat tingkat harga dalam negeri
yang diukur berdasarkan nilai tukar secara umum (lebih dari satu negara).
2. Dari sisi internal, didefinisikan sebagai rasio dari harga domestik barang
tradable terhadap barang non-tradable di dalam satu negara.
Penelitian ini, fokus menggunakan nilai tukar dengan definisi secara eksternal
yang umum dikenal dengan nilai tukar riil efektif real effective exchange rate.
Penggunaan nilai tukar ini didasarkan pada tujuan penelitian untuk melihat adanya
hubungan penyesuaian nilai tukar terhadap neraca transaksi berjalan, di mana
neraca transaksi berjalan terdiri dari kegiatan ekspor impor yang melibatkan
interaksi banyak negara, sehingga pemilihan nilai tukar riil efektif dengan
komposisi rasio bobot tingkat harga merupakan pilihan yang tepat dalam
mendukung analisis pada penelitian ini.
Gambar 7 berikut merupakan gambar dari REER dan NEER Indonesia.
Seperti yang dikemukakan oleh Mussa (1986) di lingkungan dengan inflasi yang
rendah, nilai tukar nominal dan riil memiliki pergerakan yang serupa. Inflasi yang
rendah memiliki kisaran nilai antara 2 – 3 persen. Inflasi Indonesia memiliki ratarata dari 1 – 5 persen. Dari gambar terlihat bahwa Indonesia memiliki tingkat
inflasi yang tinggi pada tahun 1997 pada saat terjadinya krisis, tahun 2005 pada
saat harga BBM mengalami kenaikan, dan pada tahun 2013 di mana Indonesia
mengalami dampak pemulihan perekonomian dari negara maju. Jika dilihat dari
pergerakan tren pada REER dan NEER Indonesia mengalami tren yang sama dari
tahun 1993Q2 hingga tahun 2005Q2 di mana nilai REER selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai NEER, sedangkan setelah tahun 2005Q2 NEER
memiliki tren yang terus meningkat sedangkan REER memiliki tren yang
menurun, meskipun tetap dengan pergerakan yang serupa. Meningkatnya indeks
REER dan NEER menandakan bahwa nilai tukar mengalami apresiasi dan
sebaliknya.
27
25.00%
300
20.92%
19.37%
250
20.00%
15.00%
200
10.34%
150
10.00%
8.60%
5.65%5.00%
50
0.00%
0
-5.00%
1993Q2
1993Q4
1994Q2
1994Q4
1995Q2
1995Q4
1996Q2
1996Q4
1997Q2
1997Q4
1998Q2
1998Q4
1999Q2
1999Q4
2000Q2
2000Q4
2001Q2
2001Q4
2002Q2
2002Q4
2003Q2
2003Q4
2004Q2
2004Q4
2005Q2
2005Q4
2006Q2
2006Q4
2007Q2
2007Q4
2008Q2
2008Q4
2009Q2
2009Q4
2010Q2
2010Q4
2011Q2
2011Q4
2012Q2
2012Q4
2013Q2
100
REER
NEER
INFLASI
Sumber: Olah data oleh penulis
Gambar 8 REER, NEER, dan Inflasi
Statistik Deskriptif
Tabel 4 menunjukan statistik deskriptif semua variabel yang digunakan
dalam penelitian. Selama kurun waktu 1993Q2 hingga 2013Q2, rata-rata
presentase neraca transaksi berjalan dengan GDP di Indonesia adalah 1.02 persen
dengan nilai minimum -4.81 persen dan nilai maksimum 11.25 persen. Nilai
minimum dan maksimum ini terjadi pada 1995Q2 dan 1998Q2. Sementara ratarata nilai REER adalah 115.84 dengan nilai minimum 87.55 dan maksimum
278.21, nilai ini terjadi pada 1997Q1 (Krisis ekonomi) dan 1994Q4.
Tabel 4 Statistik deskriptif variabel penelitian
Variabel
CA
T
Rata-Rata
Standar Deviasi
Nilai Minimum
Nilai Maksimum
82
1.026943
3.092769
-4.8171053
11.2547967
REER
82
115.84
33.58
87.55
278.21
NEER
82
86.01
34.65
24.72
133.60
R_INC
82
0.01
0.00
0.01
0.02
OPENC
82
0.58
0.13
0.35
1.11
FIN_DVP
82
1.23
0.51
0.66
2.81
IMF_CLASS
82
3.20
0.40
3
4
KS_CLASS
82
0.09
0.28
0
1
LYS_CLASS
82
4.26
1.00
2
5
RR_CLASS
82
2.87
0.64
2
5
T adalah jumlah observasi
Untuk nilai NEER memiliki rata-rata sebesar 86.01 dengan nilai minimum
34.65 yang terjadi pada 1994Q1 dan nilai maksimum sebesar 133.60 yang terjadi
pada 2009Q1. Pada kurun waktu 1994Q1 terjadi krisis Eropa dan pada kurun
28
waktu 2009Q1 sedang berlangsung recovery perekonomian Amerika Serikat.
Sedangkan rata-rata OPENC, R_INC dan FIN_DVP secara berturut-turut yaitu
0.58, 0.01, dan 1.23. Sedangkan untuk empat klasifikasi regim nilai tukar
memiliki nilai diskret yang berkisar antara 0 hingga 5.
Klasifikasi Rezim Nilai Tukar dan Fleksibilitas Nilai Tukar
Langkah awal yang dilakukan sebelum mengestimasi fleksibilitas nilai tukar
terhadap penyesuaian transaksi berjalan yaitu melakukan uji korelasi antara
klasifikasi rezim nilai tukar dengan variabilitas nilai tukar dengan jumlah observasi
yaitu 79. Hal ini bertujuan untuk mengecek apakah klasifikasi rezim nilai tukar yang
ada dapat merepresentasikan nilai tukar aktual terlepas dari kekurangan dari rezim
nilai tukar yang telah dijelaskan sebelumnya.
Tabel 5 Hasil uji korelasi semua proksi variabilitas dan klasifikasi rezim nilai
tukar
|∆%NEER|
|∆%NBER|
SD
(∆%NEER)
SD
(∆%NBER)
RR_
CLASS
LY_
CLASS
KS_
CLASS
|∆%NEER|
1
|∆%NBER
0.9966
1
SD(∆%NEER)
0.8430
0.8332
1
SD(∆%NBER)
0.8434
0.8344
0.9982
1
RR_CLASS
0.7380
0.7394
0.7282
0.7480
1
LY_CLASS
-0.1109
-0.1080
-0.1918
-0.1649
0.4136
1
KS_CLASS
-0.0318
-0.0616
-0.0708
-0.0860
-0.330
-0.339
1
IMF_CLASS
0.4782
0.4804
0.6465
0.6337
0.2817
-0.326
-0.116
IMF_
CLASS
1
Pada hasil uji korelasi terlihat empat hal yang dapat diperhatikan yaitu
pertama dari empat variabel yang dihitung sebagai proksi variabilitas nilai tukar
yang mencakup nilai tukar bilateral dan multilateral memiliki nilai korelasi yang
tinggi dengan kisaran 0.8 – 0.9. Hal ini mengindikasikan jika penyesuaian rupiah
didominasi atau terpatok oleh mata uang negara yang berpengaruh (Amerika
Serikat).
Kedua, hasil uji korelasi dari keempat klasifikasi rezim nilai tukar
memiliki nilai dengan kisaran 0.11 – 0.41. Nilai korelasi yang negatif terdapat
pada korelasi antara klasifikasi KS dengan klasifikasi rezim nilai tukar yang lain
serta korelasi klasifikasi LYS dengan klasifikasi IMF. Adanya nilai korelasi yang
negatif dan nilai korelasi yang positif tetapi memiliki besaran yang tidak terlalu
besar (0.28 – 0.41) (korelasi yang lemah), mengindikasikan bahwa terdapat
kesulitan dalam pada empat klasifikasi rezim nilai tukar dalam merefleksikan nilai
tukar aktual pada Indonesia.
Ketiga, hasil uji korelasi antara keempat variabel proksi variabilitas nilai
tukar dan keempat klasifikasi rezim nilai tukar memiliki nilai korelasi yang
berkisar antara ( 0.03 – 0.74). Hal ini dapat menjelaskan beberapa fakta bahwa
pertama pengukuran klasifikasi rezim nilai tukar menggunakan data diskrete
sedangkan proksi variabel nilai tukar menggunakan data kontinyu. Kedua yaitu
klasifikasi rezim nilai tukar IMF, LYS, dan KS tidak dapat merefleksikan nilai
29
tukar aktual Indonesia (korelasi lemah). Sedangkan klasifikasi RR dapat lebih
baik merefleksikan nilai tukar karena memiliki nilai korelasi yang paling tinggi
0,74 dibandingkan yang lain.
Hal ini disebabkan karena klasifikasi RR dilakukan berdasarkan suku
bunga pasar dibandingkan dengan suku bunga official yang sejalan dengan
pengukuran empat variabel proksi variabilitas nilai tukar. Fakta yang ketiga yaitu
dengan nilai korelasi yang beragam (korelasi positif dan negatif),
mengindikasikan bahwa beberapa klasifikasi rezim nilai tukar satu sama lain
kurang dapat diperbandingkan karena memiliki dasar pengukuran yang berbeda
contohnya yaitu klasifikasi LYS di mana pengukuran pada klasifikasi ini
berdasarkan cadangan devisa sedangkan klasifikasi yang lain tidak. Dari hasil
keseluruhan uji korelasi yang telah dilakukan maka ditetapkan klasifikasi rezim
nilai tukar RR sebagai variabel threshold dalam melakukan estimasi lanjutan
mengenai hubungan fleksibilitas nilai tukar terhadap penyesuaian neraca transaksi
berjalan.
Data Generating Process
Sebelum menggunakan model VAR untuk mengestimasi hubungan
fleksibilitas nilai tukar dengan penyesuaian neraca transaksi berjalan, perlu
dilakukan Data Generating Procces (DGP). DGP merupakan langkah awal
sebelum masuk pada tahap estimasi dan analisis model yang terdiri dari terdiri
dari pengujian stasioneritas, penetapan lag optimal, uji stabilitas.
Pengujian Stasioneritas
Menurut Gujarati (2004) stasioneritas merupakan asumsi dasar dalam
estimasi penggunaan data time series. Sebuah data dikatakan stasioner jika nilai
rata-rata dan varian konstan sepanjang waktu. Metode pengujian yang digunakan
untuk uji stasioneritasan data adalah Augmented Dickey Fuller-Test(ADF-Test)
dan Phillips-Perron Test (PP). Dalam uji ini digunakan automatic lag selection
berdasarkan criteria Schwarz Information Criterion (SIC) dengan maksimum lag
berjumlah 12. Jika nilai t-ADF lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon, maka
dapat disimpulakn bahwa data yang digunakan bersifat stasioner (tidak
mengandung akar unit). Pengujian data pada penelitian dilakukan pada orde I(0)
dan I(1) dengan menambahkan exogenous regressor yaitu none, constant,
constant & trend, dan trend2
Tabel 6 Hasil uji stasioneritas variabel penelitian di level dengan menggunakan
Augmented Dicky Fuller (ADF)
REER
CA
Constant & Trend
Trend2
None
Constant
0.1907
4.6534***
5.0170***
5.3208***
2.0365**
2.0922
2.0704
3.777*
FIN_DVP
0.7801
1.3867
1.1403
2.4021
OPENC
0.7293
2.4821
2.9068
3.3664
R_INC
Keterangan
-1.7504*
0.9207
0.5272
: *** , **, * nilai kritis untuk α = 1 persen , 5 persen, dan 10 persen
2.8904
30
Uji stasioneritas pada penelitian ini menggunakan Trickytreex hasil dari uji
stasioneritas pada Tabel 6 menunjukan bahwa hanya variabel REER yang
stasioner di level, sedangkan variabel lainnya tidak. Sedangkan uji stasioneritas
pada Tabel 7 menggunakan Phillips Peron (PP) dimana dari kelima variabel
terlihat bahwa hanya variabel REER saja yang stasioner di level, selebihnya
stasioner di first difference.
Tabel 7 Hasil uji stasioneritas variabel penelitian di level dengan menggunakan
Phillips Peron (PP)
REER
CA
Constant & Trend
Trend2
None
Constant
0.1074
4.7044***
5.0207***
5.464***
2.7913***
2.9638**
2.9085
5.0541***
FIN_DVP
0.7423
1.5103
1.4372
2.6041
OPENC
0.7652
2.8321*
3.1611*
3.7555*
R_INC
Keterangan
1.7525*
0.1594
1.2169
4.5329***
: *** , **, * nilai kritis untuk α = 1 persen , 5 persen, dan 10 persen
Estimasi pada model VAR akan dilakukan dengan menggunakan data
dalam bentuk first difference untuk semua variabel kecuali REER. Untuk variabel
yang di ubah kedalam bentuk differencing akan diberi simbol D pada awal nama
variabel sebagai contoh CA menjadi DCA. Untuk data REER dan R_INC
diestimasi dalam bentuk logaritma.
Penetapan Lag Optimal
Estimasi VAR sangat peka terhadap panjang lag yang digunakan. Oleh
karena itu, setelah dilakukan uji stasioneritas data maka langkah berikutnya adalah
menentukan lag maksimum dan optimum. Dari hasil estimasi lag maksimum
untuk model yang digunakan yaitu 22. Hal ini dilakukan karena ketika model
diestimasi dengan lag 23 maka model yang dihasilkan bersifat tidak stabil terlihat
dari adanya nilai Roots of Characteristic Polynomial yang melebihi angka 1.
Namun jika diestimasi pada lag 22 nilai Roots of Characteristic Polynomial akan
kurang dari 1. Sedangkan lag optimum yang digunakan dalam model ini yaitu lag
2. Kriteria yang digunakan dalam pemilihan lag ini yaitu menggunakan FPE
(Final Predictor Error).
Hubungan Fleksibilitas Nilai Tukar dengan Penyesuaian Neraca Transaksi
Berjalan
Analisis Model VAR
Perilaku dinamis di dalam model VAR dapat dilihat dengan menggunakan
Impulse Response Function (IRF) yang bekerja dengan cara melihat bagaimana
variabel endogen bereaksi terhadap sebuah guncangan dalam variabel itu sendiri
ataupun variabel endogen lainnya. Hal ini sesuai dengan Enders (2000) di mana
cara yang paling baik untuk mencirikan struktur dinamis dalam model adalah
dengan menganalisa respon dari model terhadap guncangan. Hasil impulse
response dari permodelan VAR diukur dengan 1-standar deviasi.
31
Sumbu horizontal merupakan waktu dalam periode triwulan ke depan
setelah terjadinya shock, sedangkan sumber vertikal adalah nilai respon. Secara
mendasar dalam analisis ini akan diketahui respon positif atau negatif dari suatu
variabel terhadap variabel lainnya. Respon tersebut dalam jangka pendek biasanya
cukup signifikan dan cenderung berubah. Dalam jangka panjang respon
cenderung konsisten dan terus mengecil. Impulse Response Function memberikan
gambaran bagaimana respon dari suatu variabel di masa mendatang jika terjadi
gangguan pada satu variabel lainnya. Untuk memudahkan interpretasi, dampak
perubahan neraca transaksi berjalan yang diakibatkan oleh shock dari nilai tukar
disajikan dalam bentuk grafik pada gambar-gambar di bawah ini dalam 10 periode
dimana sumbu X (vertikal) merupakan periode dan sumbu Y (horisontal)
merupakan besaran impulse yang diukur dalam 1-standar deviasi.
1. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap Neraca
Transaksi Berjalan
Response of DCA to DCA
0.2
0.1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-0.1
-0.2
-0.3
-0.4
Gambar 9 Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap
Neraca Transaksi Berjalan pada Model VAR
Gambar 9 memperlihatkan hasil dari impulse response neraca transaksi
berjalan terhadap neraca transaksi berjalan itu sendiri. Adanya respon pada neraca
transaksi berjalan akan direspon perlahan-lahan hingga mengalami perubahan
kondisi dari neraca transaksi defisit menjadi surplus. Kondisi neraca transaksi
berjalan akan bertahan hingga periode keempat. Semakin bertambahnya periode
maka respons pada neraca transaksi berjalan berangsur-angsur akan berkurang dan
nilai respons nya akan berada pada kisaran angka 0. Dari respons pada Gambar 9
dapat disimpulkan bahwa adanya guncangan atau shock pada neraca transaksi
berjalan akan memperbaiki kondisi dari neraca transaksi berjalan itu sendiri.
2. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar
Hasil impulse response pada Gambar 10 menjelaskan respons nilai tukar
terhadap nilai tukar itu sendiri. Kondisi sebelum adanya respons, nilai tukar
sedang mengalami apresiasi. Ketika adanya respons nilai tukar berangsur angsur
32
mengalami kenaikan atau nilai tukar mengalami depresiasi. Berbeda dengan
respons pada Gambar 9, adanya guncangan pada nilai tukar akan direspons
dengan kenaikan respons, kisaran nilai antara 0.4 hingga 0.6 kemudian respons
akan berubah menjadi negatif atau nilai tukar akan mengalami apresiasi kembali
pada periode kedua hingga periode ketiga.
Response of REER to REER
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Gambar 10 Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar
pada Model VAR
Semakin bertambahnya periode respons pada nilai tukar itu sendiri akan
berkurang. Jika respons pada Gambar 9, periode kelima sudah menunjukan nilai
yang mendekati 0, maka pada respon Gambar 10 belum. Hingga periode
kesepuluh nilai respon masih berada dikisaran angka 0.3. Hasil respons pada
Gambar 10 menandakan bahwa nilai tukar merupakan variabel eksogen yang
dipengaruhi oleh nilai tukar itu sendiri dan dapat mempengaruhi variabel lain,
hasil ini sesuai dengan McCallum (1989).
3. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi Berjalan
Response of DCA to REER
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
-0.01
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-0.02
-0.03
Gambar 11 Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca
Transaksi Berjalan pada Model VAR
33
Jika dilihat respons nilai tukar terhadap neraca transaksi berjalan pada
Gambar 11 terlihat bahwa adanya guncangan pada nilai tukar (nilai tukar
terdepresiasi), maka kondisi neraca transaksi berjalan akan mengalami perbaikan
kondisi (neraca transaksi berjalan mengalami surplus) (respons neraca transaksi
berjalan masih dikisaran angka positif) hingga periode bertambah dan mendekati
periode kedua maka neraca transaksi berjalan akan mengalami defisit dengan
kisaran nilai respons sebesar 0.02 hingga periode ke 2.5, kemudian akan
mengalami surplus hingga periode keempat. Terlihat bahwa adanya shock
(depresiasi) pada nilai tukar tidak akan direspon dalam jangka waktu yang lama
oleh neraca transaksi berjalan baik di kondisi defisit maupun surplus. Persistensi
pada neraca transaksi berjalan apabila defisit akan menyebabkan currency crisis
krisis sedangkan apabila neraca transaksi berjalan dibiarkan untuk surplus secara
terus menerus maka akan mendorong terciptanya kenaikan harga (inflasi) dan
meningkatnya jumlah hutang luar negeri pemerintah Indonesia.
4. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi Berjalan
Response of REER to DCA
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Gambar 12 Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca
Transaksi Berjalan pada Model VAR
Gambar 12 berikut merupakan hasil impulse respons nilai tukar terhadap
neraca transaksi berjalan. Adanya perbaikan kondisi neraca transaksi berjalan
akan menyebabkan nilai tukar terdepresiasi kemudian pada periode kedua nilai
tukar akan terapresiasi dari besaran respon 0.5 hingga ke 0.2. Jika dilihat dari hasil
impulse response function pada Gambar 11 dan 12, keduanya sesuai dengan teori
yang banyak dibahas di dalam textbook, di mana adanya peningkatan dalam nilai
tukar depresiasi riil akan memperbaiki kondisi neraca transaksi berjalan dan
adanya peningkatan neraca transaksi berjalan akan menyebabkan penurunan
terhadap nilai tukar (depresiasi riil).
Analisis Model Threshold VAR
Salah satu tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengestimasi
hubungan bilateral antara nilai tukar (REER) dan neraca transaksi berjalan (CA)
yang bergantung pada rezim nilai tukar. Pemilihan variabel REER sebagai
threshold didasari oleh dua alasan yang pertama nilai tukar riil bertanggung-jawab
34
pada penyesuaian CA yang kedua pada jangka panjang nilai tukar riil dan nominal
memiliki perilaku yang sama. Tabel 8 di bawah ini menampilkan hasil korelasi
antara |∆ %REER| dan empat klasifikasi rezim nilai tukar yang digunakan.
Tabel 8 Hasil Uji Korelasi antara |∆%REER| dengan Empat Klasifikasi Rezim
Nilai Tukar
|∆ %REER|
|∆%REER|
IMF_CLASS
KS_CLASS
LY_CLASS
RR_CLASS
1
IMF_CLASS
0.514321
1
KS_CLASS
0.06399
0.116383
1
LY_CLASS
0.132783
0.326841
0.339602
1
RR_CLASS
0.713841
0.28173
0.330322
0.413625
1
Hasil uji korelasi memperlihatkan bahwa koefisien uji korelasi memiliki
nilai yang rendah bahkan ada koefisien korelasi yang negatif. Koefisien korelasi
yang paling besar dengan |∆ %REER| yaitu klasifikasi RR dengan nilai 0.71. Hal
ini mengindikasikan bahwa variabel threshold ditentukan berdasarkan nilai tukar
riil sedangkan klasifikasi rezim nilai tukar ditentukan berdasarkan nilai tukar
nominal. Untuk menentukan nilai threshold dapat diperoleh dengan kriteria nilai
loglikelihood yang terbesar. Dari Tabel 9 terlihat bahwa nilai loglikelihood
terbesar terdapat pada threshold indicator dengan nilai 27.7059. Selain
menggunakan nilai loglikelihood. Pemilihan nilai threshold juga dapat didasarkan
dengan berbagai kriteria pemilihan lain seperti AIC, SC dan HQC, di mana nilai
threshold yang terpilih berdasarkan nilai kriteria terkecil.
Uji threshold dilakukan pada data level, karena threshold indicator akan
disortir berdasarkan data aktual. Nilai threshold ini akan membagi data menjadi
dua bagian. Perubahan persentase tahunan REER (|∆ %REER|) yang berada di
bawah 27.7059 persen akan dikelompokan ke dalam low regime sedangkan
perubahan persentase tahunan data REER yang berada di atas nilai threshold akan
dikelompokan ke dalam high regime. Untuk memudahkan dalam pembahasan
maka perubahan persentase tahunan data REER akan disebutkan sebagai data
REER saja. Setelah mendapatkan nilai threshold maka estimasi akan dilanjutkan
menggunakan TVAR, di mana hasil dari TVAR akan tercermin dari hasil impulse
response pada tahap ini akan dibuktikan apakah perbedaan rezim dapat memiliki
pengaruh yang berbeda pada variabel dependen yaitu CA dan REER. Dalam
menganalisis TVAR pada penelitian ini menggunakan data dalam bentuk first
difference di mana seperti yang telah dibahas pada bagian data generating process
bahwa hanya data REER saja yang stasioner di level. Untuk mengkompensasi
adanya uji threshold yang dilakukan di level. Hal ini juga dilakukan pada
penelitian Altissimo dan Violante (2000) yang meneliti mengenai dinamika tak
linear pada output dan tingkat penggangguran di Amerika Serikat menggunakan
Threshold VAR, di mana kedua variabel tersebut tidak stasioner di level.
35
Tabel 9 Hasil Uji Threshold
Threshold
Indicator
Loglikelihood
Value
AIC
SBC
HQC
5.3195
330.4576
7.5669
6.8574
7.2822
6.6435
331.3341
7.5885
6.8790
7.3038
7.5899
331.2697
7.5869
6.8774
7.3023
7.6364
331.3198
7.5881
6.8787
7.3035
11.0585
330.7637
7.5744
6.8649
7.2898
11.6971
327.7045
7.4989
6.7894
7.2142
12.8042
329.8497
7.5518
6.8424
7.2672
17.1749
333.0769
7.6315
6.9221
7.3469
18.4114
333.2063
7.6347
6.9253
7.3501
18.6947
329.2983
7.5382
6.8288
7.2536
27.7059
341.5915
7.8418
7.1323
7.5571
Dalam jurnal penelitian dari mereka dijelaskan bahwa, langkah awal dalam
melakukan spesifikasi model yaitu melakukan pemilihan antara menggunakan
data level atau first difference. Standar pengujian akar unit dapat menjelaskan
adanya autoregressive root di kedua variabel, namun adanya perilaku tak linear
dapat menjadikan adanya teori asimptotik pada pengujian akar unit menjadi tidak
valid. Hasil dari sistem TVAR diringkas ke dalam estimasi impulse response
function di mana pada gambar kondisi low regime akan digabung dengan kondisi
high regime. Kondisi low regime ditandai dengan garis putus-putus dan kondisi
high regime ditandai dengan garis utuh.
1. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap Neraca
Transaksi Berjalan pada Model TVAR
Gambar 13 berikut merupakan hasil dari respon neraca transaksi berjalan
terhadap neraca transaksi berjalan itu sendiri. Pada kondisi low regime respons
neraca transaksi berjalan memiliki bentuk respons yang hampir sama dengan hasil
impulse response tanpa threshold pada Gambar 9, di mana adanya guncangan
pada neraca transaksi berjalan akan menyebabkan kondisi neraca transaksi
berjalan mengalami perbaikan hingga periode keempat kemudian nilai respons
akan berangsur-angsur berkurang dan mendekati nilai nol. Sedangkan pada
kondisi high regime dengan kurva yang meyerupai kurva J, adanya respons pada
neraca transaksi berjalan baru terlihat pada periode keenam dengan nilai yang
persisten terus mengalami peningkatan. Hal ini menandakan jika impulse response
tidak stabil di kondisi high regime. Begitu juga pada respons yang akan dibahas
berikutnya (respon dengan nomer 2 hingga 4). Jika pada kondisi high regime
dengan kondisi perubahan nilai tukar yang lebih dari 27.7059 persen (nilai
threshold), respons yang di hasilkan tidak stabil.
36
Millions
Response of DCA to DCA
30
0.2
25
0.1
0
20
-0.1
15
-0.2
10
-0.3
5
-0.4
0
-0.5
1
2
3
4
5
6
7
HIGH REGIME
8
9
10
LOW REGIME
Gambar 13 Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap
Neraca Transakasi Berjalan pada Model TVAR
2. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar pada Model
TVAR
Millions
Response of REER to REER
1
0.8
0.7
0.8
0.6
0.5
0.6
0.4
0.4
0.3
0.2
0.2
0.1
P
0
0
1
2
3
4
5
HIGH REGIME
6
7
8
9
10
LOW REGIME
Gambar 14 Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar
pada Model TVAR
Hasil impulse response pada Gambar 14 merupakan respons nilai tukar
terhadap nilai tukar itu sendiri, di mana pada low regime hasil impulse terlihat
konsisten naik dan turun dengan besaran yang berbeda, hingga periode ke 5,
kemudian di periode selanjutnya dampak dari adanya guncangan pada nilai tukar
semakin berkurang. Adanya guncangan pada nilai tukar sebesar 1 standar deviasi
akan berpengaruh terhadap depresiasi nilai tukar itu sendiri sebesar 0.7 pada
periode kedua kemudian nilai tukar akan mengalami apresiasi kembali hingga
periode ketiga begitu seterusnya hingga nilai respon mendekati 0.3. Sedangkan
pada kondisi high regime, impulse terlihat membentuk huruf J dengan nilai positif
yang signifikan semakin meningkat pada periode kedelapan. Seperti yang telah
37
dibahas sebelumnya adanya peningkatan nilai respons yang terus menerus
meningkat mendadakan jika hasil respons pada kondisi high regime tidak stabil.
3.
Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi Berjalan
pada Model TVAR
Millions
Response of REER to DCA
140
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
-0.05
-0.1
-0.15
-0.2
120
100
80
60
40
20
0
1
2
3
4
5
HIGH REGIME
6
7
8
9
10
LOW REGIME
Gambar 15 Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca
Transaksi Berjalan pada Model TVAR
Gambar 15 merupakan grafik hasil impulse response di mana guncangan
pada neraca transaksi berjalan akan di respons oleh nilai tukar. Pada kondisi low
regime adanya kenaikan atau shock pada neraca transaksi berjalan akan
menyebabkan nilai tukar mengalami depresiasi ditandai dengan kenaikan nilai
respons kemudian pada periode kedua nilai tukar akan mengalami apresiasi (nilai
respons bergerak turun). Sama halnya dengan penjelasan pada impulse response
pertama dan kedua bahwa untuk kondisi high regime nilai respons akan persisten
meningkat sehingga nilai respons tidak stabil. Dengan kata lain jika adanya
perbaikan pada kondisi neraca transaksi berjalan akan diikuti oleh depresiasi
secara terus menerus. Kondisi ini tidak mungkin terjadi karena akan
membahayakan perekonomian.
4. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap Nilai Tukar
pada Model TVAR
Gambar 16 merupakan hasil impulse response pada neraca transaksi
berjalan terhadap guncangan pada nilai tukar. Terlihat adanya guncangan pada
nilai tukar (depresiasi) akan direspons dengan surplus neraca transaksi berjalan
hingga setengah periode (setara dengan satu setengah bulan). Kemudian periode
berikutnya neraca transaksi berjalan akan mengalami defisit. Defisit neraca
transaksi berjalan juga akan terjadi sekitar satu setengah bulan, kemudian
seterusnya kedua kondisi tersebut akan saling bergantian terjadi, hingga respons
mendekati angka nol (respon tidak persisten).
38
Response of DCA to REER
250000
0.004
200000
0.002
0
150000
-0.002
100000
-0.004
50000
-0.006
0
-0.008
1
2
3
4
5
HIGH REGIME
6
7
8
9
10
LOW REGIME
Gambar 16 Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap
Nilai Tukar pada Model TVAR
Dari hasil impulse response juga terlihat bahwa dampak terbesar dari adanya
guncangan akan pada triwulan pertama.Sedangkan pada kondisi high regime, hasil
impulse response ini tidak stabil mengingat nilai respons persisten terus
mengalami peningkatan. Dari kedua rezim dapat disimpulkan bahwa penyesuaian
terhadap perubahan nilai tukar terjadi lebih cepat pada kondisi low regime dan
bukan terjadi di high regime.
Pada kondisi high regime, respon yang diberikan terhadap guncangan nilai
tukar membutuhkan waktu hingga periode kedelapan dengan nilai respons yang
tidak stabil. Jika hal ini terjadi maka kondisi neraca transaksi berjalan akan
semakin memburuk sebelum terjadinya proses perbaikan. Hal ini sekali
memberikan justifikasi bahwa di Indonesia, Friedman Hyphotesis berlaku hanya
jika perubahan nilai tukar berada dalam kondisi low regime atau perubahan nilai
tukar kurang dari 27.7059 (nilai threshold). Jika perubahan melebihi angka
27.7059 maka setiap kebijakan yang dijalankan berkaitan dengan nilai tukar tidak
akan efektif memberikan hasil perbaikan terhadap sasaran kebijakan.
Analisis Model Threshold VAR dengan Menggunakan Klasifikasi Rezim
Nilai Tukar yang Berbeda
Tahapan yang sama akan dilakukan dalam mengestimasi analisis
Threshold VAR dengan menggunakan klasifikasi rezim nilai tukar yang berbeda
sebagai proksi dari nilai tukar. Dari hasil uji korelasi sebelumnya terpilih bahwa
klasifikasi nilai tukar RR memiliki korelasi yang paling kuat dengan REER yaitu
sebesar 0.71, sehingga klasifikasi RR terpilih sebagai variabel threshold dalam
analisis model Threshold VAR ini. Sebelum ke tahap estimasi, perlu dilakukan
adanya penentuan nilai threshold dari threshold indicator yang telah ditentukan.
Dari hasil uji threshold diperoleh bahwa nilai threshold nya yaitu 3, dengan nilai
loglikelihood 334.646 yang merupakan nilai loglikelihood terbesar.
39
Tabel 10 Hasil Uji Threshold dengan Klasifikasi RR
Threshold
Indicator
Loglikelihood
Value
AIC
SBC
HQC
3
343.646
7.892
7.183
7.608
3
343.646
7.892
7.183
7.608
3
343.646
7.892
7.183
7.608
3
343.646
7.892
7.183
7.608
3
343.646
7.892
7.183
7.608
5
334.319
7.662
6.953
7.378
5
334.319
7.662
6.953
7.378
Setelah melakukan uji threshold kemudian diestimasi untuk memperoleh
estimasi pada low regime dan high regime yang dirangkum dalam hasil impulse
response (Gambar 16 – 19), di mana nilai 3 meliputi nilai tukar dengan kriteria
sebagai berikut :
1. Pre announced crawling band dengan kisaran nilai lebih besar atau sama
dengan +/-2%.
2. De facto crawling band dengan kisaran nilai lebih kecil atau sama dengan
+/-5%
3. Moving band dengan kisaran nilai lebih kecil atau sama dengan +/-2%
4. Managed floating
Nilai threshold 3 akan membagi sampel penelitian ini menjadi dua bagian di
mana klasifikasi nilai tukar di atas 3 mengindikasikan nilai tukar dengan
variabilitas tinggi (high regime/floaters) sedangkan klasifikasi nilai tukar di
bawah 3 mengindikasikan nilai tukar dengan variabilitas yang rendah (low
regime/non-floaters). Perilaku dinamis dari model TVAR dengan variabel
threshold klasifikasi RR akan dirangkum dalam hasil impulse response pada
Gambar 17 – 20 berikut :
1. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap Neraca
Transaksi Berjalan pada Model TVAR dengan Variabel Threshold
Klasifikasi RR
Gambar 17 merupakan hasil impulse response pada neraca transaksi
berjalan terhadap neraca transaksi berjalan itu sendiri. Terlihat pada Gambar 17
bahwa adanya peningkatan terhadap neraca transaksi berjalan akan direspon
secara positif dengan tren yang hampir sama baik pada kondisi low regime
maupun pada high regime dengan besaran yang berbeda, di mana terdapat
pergantian ukuran besaran pada kedua regime tersebut. Misalkan pada periode
pertama pada kondisi high regime memiliki respon yang lebih besar namun pada
periode ketiga respon yang terjadi akan sebaliknya di mana, respon low regime
akan lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi high regime. Namun jika
dilihat dari speed of adjustment, pada kondisi high regime memiliki speed of
adjustment yang lebih cepat dibandingkan di kondisi low regime.
40
Response of DCA to DCA
0.4
0.2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-0.2
-0.4
-0.6
LOW REGIME
HIGH REGIME
Gambar 17 Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap
Neraca Transaksi Berjalan pada Model TVAR dengan
Variabel Threshold Klasifikasi RR
2. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar pada Model
TVAR dengan Variabel Threshold Klasifikasi RR
Response of REER to REER
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
1
2
3
4
LOW REGIME
5
6
7
8
9
10
HIGH REGIME
Gambar 18 Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Nilai Tukar
pada Model TVAR dengan Variabel Threshold Klasifikasi
RR
Gambar 18 merupakan hasil impulse response pada nilai tukar terhadap nilai
tukar itu sendiri di mana baik kondisi low regime dan high regime memiliki tren
yang sama di mana respon akan semakin menurun seiring bertambahnya periode
dan mendekati nol. Ketika nilai tukar mengalami guncangan atau shock maka nilai
tukar akan mengalami depresiasi. Pada kondisi low regime fluktuasi dari respon
lebih terlihat dibandingkan dengan high regime, respons akan mengalami kondisi
naik dan turun dengan besaran yang semakin kecil, sedangkan pada high regime
41
respon neraca transaksi berjalan akan naik dan kemudian konstan mengalami
penurunan.
3. Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca Transaksi Berjalan
pada Model TVAR dengan Variabel Threshold Klasifikasi RR
Response of REER to DCA
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
-0.2
-0.4
1
2
3
4
5
LOW REGIME
6
7
8
9
10
HIGH REGIME
Gambar 19 Hasil Impulse Response Nilai Tukar terhadap Neraca
Transaksi Berjalan pada Model TVAR dengan Variabel
Threshold Klasifikasi RR
Gambar 19 merupakan hasil impulse response di mana guncangan pada
neraca transaksi berjalan akan di respons pada nilai tukar. Terlihat perbedaan
dampak pada gambar di mana bahwa hasil impulse pada kondisi low regime,
adanya perbaikan pada kondisi neraca transaksi berjalan akan di respons dengan
adanya depresiasi nilai tukar dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu hingga
periode ketiga, kemudian nilai tukar akan mengalami apresiasi hanya satu periode
kemudian akan terdepresiasi lagi dalam kurun waktu 2 periode. Sedangkan pada
kondisi high regime, impulse response lebih dapat memperlihatkan penyesuaian
terhadap perubahan nilai tukar dengan proporsi periode yang seimbang, di mana
adanya depresiasi dan apresiasi masing masing sama sama terjadi selama selang
satu periode.
4. Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap Nilai Tukar
pada Model TVAR dengan Variabel Threshold Klasifikasi RR
Gambar 20 merupakan hasil impulse response pada neraca transaksi
berjalan terhadap guncangan pada nilai tukar. Pada kondisi low regime, adanya
guncangan pada nilai tukar (depresiasi) akan direspons dengan nilai neraca
transaksi berjalan yang defisit hingga enam triwulan (waktu yang terbilang cukup
lama untuk mengalami suatu defisit neraca transaksi berjalan/potensi currency
crisis). Sedangkan pada high regime, adanya depresiasi pada nilai tukar akan
menyebabkan neraca transaksi berjalan surplus hingga kira-kira satu bulan setelah
terjadinya shock atau guncangan kemudian neraca transaksi berjalan mengalami
42
defisit, dan kemudian akan direspon secara konstan mendekati nol mulai dari
periode keempat.
Response of DCA to REER
0.04
0.02
0
-0.02
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-0.04
-0.06
-0.08
LOW REGIME
HIGH REGIME
Gambar 20 Hasil Impulse Response Neraca Transaksi Berjalan terhadap
Nilai Tukar pada Model TVAR dengan Variabel Threshold
Klasifikasi RR
Dari hasil impulse dapat terlihat jika penyesuaian neraca transaksi berjalan
lebih baik terjadi di kondisi high regime. Hal ini dapat mendukung adanya
Friedman Hyphothesis, di mana adanya fleksibilitas nilai tukar berpengaruh
positif pada penyesuasian transaksi berjalan.
Jika dibandingkan dari hasil analisis Threshold VAR dengan variabel
threshold REER dan klasifikasi rezim nilai tukar RR memperlihatkan hasil yang
berbeda di mana:
Tabel 11 Perbedaan hasil TVAR pada masing-masing variabel threshold
No.
Variabel Threshold
Hasil
1.
REER
Low regime
2.
Klasifikasi RR
High regime
Hal ini dikarenakan adanya perbedaan konsep antara variabel threshold
REER dan klasifikasi RR. Variabel threshold REER merupakan nilai absolut dari
perubahan real effective exchange rate. Menurut McCallum (1989), fluktuasi
semakin besar (variabilitas nilai tukar) terlihat pada kisaran tahun 1973 dimulai
ketika Amerika Serikat mengalami pergeseran nilai tukar dari fixed menjadi free
float. Sehingga dapat disimpulkan jika perubahan nilai tukar memiliki perubahan
yang cukup besar memperlihatkan adanya perubahan rezim yang cukup drastis.
Dengan estimasi TVAR, nilai threshold dengan variabel REER yaitu 27.7059
terjadi pada periode 1998Q1. Menurut studi yang dilakukan Adiningsih et al.
(2008) menyatakan bahwa pada tahun 1997 rezim nilai tukar yang dianut oleh
Indonesia berubah dari rezim nilai tukar tetap menjadi rezim nilai tukar
mengambang. Jika dilihat pada Tabel 13, adanya nilai REER pada tahun 1998 –
43
2013 secara berfluktuasi memiliki nilai perubahan yang relatif kecil jika
dibandingkan nilai threshold yang diperoleh.
Dalam estimasi yang dilakukan sebelumnya telah dikelompokan
variabilitas nilai tukar dengan nilai threshold sebagai batasan sesuai dengan (Kim
dan You, 2013), di mana variabilitas nilai tukar dengan nilai rendah dikategorikan
ke dalam low regime/non-floaters sedangkan variabilitas dengan nilai yang tinggi
(>27.7059) dikategorikan ke dalam high regime/floaters. Hal ini mengindikasikan
jika tidak serta merta adanya variabilitas dengan nilai yang tinggi merupakan
indikasi bahwa suatu negara menganut rezim nilai tukar yang floater atau flexible.
Nilai variabilitas sangat tergantung pada rezim nilai tukar yang dianut
sebelumnya. Sehingga hasil dari estimasi TVAR dengan variabel threshold
REER, lebih menekankan pada sampai batasan mana nilai tukar di Indonesia
diperbolehkan untuk mengalami perubahan.
Sedangkan jika dilihat dari variabel threshold, klasifikasi RR memiliki
kisaran nilai antara 1 sampai 5 di mana semakin besarnya angka menunjukan
bahwa suatu negara menganut nilai tukar yang semakin fleksibel.
Tabel 12 Keterangan mengenai klasifikasi nilai tukar RR
Kode
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3
3
4
5
6
Keterangan
No separate legal tender
Pre announced peg
Pre announced horizontal band that is narrower than or equal to +/-2%
De facto peg
Pre announced crawling peg
Pre announced crawling band that is narrower than or equal to +/-2%
De factor crawling peg
De facto crawling band that is narrower than or equal to +/-2%
Pre announced crawling band that is wider than or equal to +/-2%
De facto crawling band that is narrower than or equal to +/-5%
Moving band that is narrower than or equal to +/-2% (i.e., allows for
both appreciation and depreciation over time)
Managed floating
Freely floating
Freely falling
Dual market in which parallel market data is missing.
Dengan perolehan nilai threshold 3, maka sampel pada penelitian ini akan
dibagi menjadi dua di mana klasifikasi nilai tukar di atas 3 mengindikasikan nilai
tukar dengan variabilitas tinggi (high regime/floaters) sedangkan klasifikasi nilai
tukar di bawah 3 mengindikasikan nilai tukar dengan variabilitas yang rendah
(low regime/non-floaters). Sehingga estimasi pada Threshold VAR dengan
variabel threshold klasifikasi RR dapat menunjukan bahwa fleksibilitas nilai tukar
dapat membantu penyesuaian neraca transaksi berjalan suatu negara apabila
negara tersebut menganut rezim nilai tukar yang mengarah ke nilai tukar fleksibel
(nilai tukar RR dengan kode 3 – 6/intermediate regimes dan flexible regimes)
lihat halaman 6 pada tinjauan pustaka, serta klasifikasi RR (de facto
classification) (Tabel 12) dapat merefleksikan nilai tukar aktual di Indonesia.
44
Tabel 13 Data variabel threshold REER
No.
1
Periode
1993Q2
|%REER|
0.760795
No.
28
Periode
2000Q1
|%REER|
0.517221
No.
55
Periode
2006Q4
|%REER|
0.383289
2
1993Q3
0.203798
29
2000Q2
3.921052
56
2007Q1
0.782926
3
1993Q4
0.44268
30
2000Q3
1.462603
57
2007Q2
0.015399
4
1994Q1
2.206641
31
2000Q4
0.348669
58
2007Q3
1.564967
5
1994Q2
18.41139
32
2001Q1
0.3026
59
2007Q4
1.01585
6
1994Q3
17.17491
33
2001Q2
4.763906
60
2008Q1
0.546439
7
1994Q4
47.61886
34
2001Q3
7.589924
61
2008Q2
0.034897
8
1995Q1
45.069
35
2001Q4
3.128618
62
2008Q3
2.568532
9
1995Q2
1.289363
36
2002Q1
5.319513
63
2008Q4
4.89134
10
1995Q3
1.616402
37
2002Q2
3.933159
64
2009Q1
2.250321
11
1995Q4
1.451691
38
2002Q3
0.119126
65
2009Q2
3.463979
12
1996Q1
1.848381
39
2002Q4
0.941675
66
2009Q3
1.620763
13
1996Q2
0.388625
40
2003Q1
0.546795
67
2009Q4
1.256102
14
1996Q3
0.149916
41
2003Q2
1.591582
68
2010Q1
1.703173
15
1996Q4
0.400579
42
2003Q3
0.352343
69
2010Q2
1.321843
16
1997Q1
1.352839
43
2003Q4
12.80419
70
2010Q3
0.63332
17
1997Q2
0.61415
44
2004Q1
11.69708
71
2010Q4
1.198538
18
1997Q3
3.279787
45
2004Q2
1.387391
72
2011Q1
0.334771
19
1997Q4
11.05854
46
2004Q3
0.32804
73
2011Q2
0.042491
20
1998Q1
27.70586
47
2004Q4
6.643451
74
2011Q3
0.08078
21
1998Q2
1.917717
48
2005Q1
7.636389
75
2011Q4
0.897965
22
1998Q3
0.751248
49
2005Q2
0.042691
76
2012Q1
0.147189
23
1998Q4
18.69465
50
2005Q3
0.897068
77
2012Q2
0.501206
24
1999Q1
1.362643
51
2005Q4
4.930137
78
2012Q3
0.479768
25
1999Q2
3.842864
52
2006Q1
3.257436
79
2012Q4
0.782624
26
1999Q3
1.064557
53
2006Q2
0.026309
80
2013Q1
1.727821
27
1999Q4
0.780722
54
2006Q3
0.189203
81
2013Q2
0.61573
82
2013Q3
1.539251
45
SIMPULAN
1. Klasifikasi rezim nilai tukar secara de facto yaitu klasifikasi RR dapat
merefleksikan nilai tukar aktual di Indonesia.
2. Dengan menggunakan estimasi tak linear dengan menggunakan variabel
threshold REER maupun klasifikasi RR, diperoleh hasil bahwa
Friedman Hyphotesis berlaku di Indonesia. Dengan syarat, Indonesia
menganut rezim nilai tukar dengan kode 3 – 6 pada klasifikasi RR
(Tabel 12) atau nilai tukar yang termasuk kategori intermediate regime
atau flexible regime, serta perubahan nilai tukar tidak melebihi batas
threshold 27.7059 persen yang merupakan perubahan persentase nilai
tukar riil efektif dalam jangka waktu satu tahun.
SARAN
1. Adanya pengaruh fleksibilitas nilai tukar dapat memperbaiki
penyesuaian neraca transaksi berjalan apabila nilai tukar Indonesia
berada pada perubahan nilai tukar dalam jangka waktu satu tahun tidak
lebih dari 27.7059 persen. Oleh karena itu sebagai otoritas moneter,
Bank Indonesia perlu menjaga agar perubahan nilai tukar dalam jangka
waktu satu tahun berada di rentang kurang dari atau sama dengan
27.7059 persen. Jika perubahan melebihi angka 27.7059 persen maka
setiap kebijakan yang dijalankan berkaitan dengan nilai tukar tidak akan
efektif memberikan hasil perbaikan terhadap sasaran kebijakan. Untuk
dapat membantu sistem transmisi jalur nilai tukar maka pemerintah
dapat melakukan peningkatan kualitas produksi ekspor dengan
memaksimalkan penggunaan bahan baku dalam negeri dan tidak terlalu
memanfaatkan harga produk murah dari adanya depresiasi untuk
memperbaiki kinerja ekspor, mengurangi pengeluaran pemerintah,
melakukan pemotongan pajak serta meningkatkan suku bunga.
2. Struktur foreign asset di Indonesia harus secara dominan terdiri dari
mata uang asing dan struktur domestic liabilities mayoritas harus terdiri
dari mata uang domestik atau rupiah supaya fleksibilitas nilai tukar
dapat mempengaruhi sektor eksternal terutama transaksi berjalan.
Menurut McCallum (1989) nilai tukar merupakan variabel eksogen yang
dapat mempengaruhi variabel lain. Keuntungan dalam menggunakan
nilai tukar sebagai alat transmisi karena adanya kemudahan dalam
mengendalikan nilai tukar.
46
DAFTAR PUSTAKA
Adhiningsih S, Harianto F, Goei SH. 1998. Perangkat Analisis dan Teknik
Analisis Investasi di Pasar Modal Indonesia. Jakarta (ID): PT Bursa Efek
Jakarta.
Altissimo, F, Violante GL. 2000. The Nonlinear Dynamics of Output and
Unemployment in the U.S. Wiley Online Library.
Bank Indonesia. 1999. Laporan Tahunan 1998/1999. Bank Indonesia. Jakarta.
Bank Indonesia. 2009. Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014, Edisi Januari
2009. Bank Indonesia. Jakarta.
Bappenas. 1996. Neraca Pembayaran dan Perdagangan Luar Negeri. Bappenas.
Jakarta
Brooks C. 2002. Introductory Econometrics for Finance. Cambridge (UK):
Cambridge University Press.
Calvo G, Reinhart C. 2002. Fear of floating. Quartely Journal of Economics 177,
no 2: 379-408.
Chinn MD, Wei SJ. 2008. A faith-based initiative mees the evidence: does
flexible exchange rate regime really facilitate current account adjustment?.
Forthcoming, Review of Economics and Statistics.
Chowdury A, Hossain A. 2001. Open Economy: Macro-Economics for
Developing Countries. Massachusetts (US): Edward Elgar Publishing Inc
Decressin J, Stavrev E. 2009. Current account in a currency union. IMF Working
Paper 2009 no 127.
Donald R. 2007. Exchange Rate Economics Theories and Evidence. New York
(US): Routledge Taylor & Francis Group.
Dornbusch, R. (1980). Open Economy Macroconomics. New York: NY. Basic
Books.
Duttagupta R, Fernandez G, Karacadag C. 2005. Moving to a flexible exchange
rate how, when, and how fast?. IMF Economic Issues 38.
Ecthink. 2009. Anomali pemulihan ekonomi global: Ketidakseimbangan Global.
[www.ecthink.net]. [Diunduh 6 Maret 2014].
Enders W. 2004. Applied Econometric Time series Second Edition. New York
(US): University of Alabama.
Frankel, J. 2007. Exchange Rate Regimes:Current Issues in Research and Policy.
Lecture at the IMF Institute.
Friedman M. 1953. The Case for flexible exchange rate. Essay in Positive
Economics (pp. 157-2013). University of Chicago Press.
Genberg H, Swoboda A. 2004. Exchange rate regimes: does what countries say
matter ?. Graduate Institute of International Studies Working paper,
Geneva.
Gujarati D. 2004. Basic Econometrics Fourth Edition. Boston (US): The
McGraw-Hill Companies.
Handy H. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan
Internasional. Jakarta (ID): PT. Galia Indonesia.
Herrmann S. 2009. Do we really know that flexible exchange rates facilitate
current account adjustment? Some new empirical evidence for CEE
countries. Discussion Paper Series 1: Economic Studies No 22/2009.
47
Kim Y, You Y. 2013. Exchange rate flexibility and current account adjustment: a
threshold VAR Analysis.
Klein MW, Shambaugh JC. 2006. The nature of exchange rate. NBER Working
Paper No 12729.
Levy-Yeyati E, Sturzenegger F. 2003. To float or to fix: evidence on the impact of
exchange rate regimes on growth. American Economic Review, 93,11731193.
Levy-Yeyati E, Sturzenegger F. 2005. Classifying exchange rate regimes: deeds
vs words. European Economic Review 49 no 3: 1173-93.
McCallum B. 1989. Monetary Economics Theory and Policy. New York (US):
Macmillan Publishing Company.
Milesi-Ferretti G.M, Razin A. 1996. Current account sustainability. Princeton
Studies in International Finance No. 81 Oktober 1996, Princeton
University, New Jersey.
Nugroho, Ibrahim, Winarno, Ika Permata. 2012. Perilaku dan dampak capital
reversal serta current account threshold terhadap Nilai Tukar Rupiah.
Working Paper WP/05/2012. Bank Indonesia.
Opoku-Afari M. 2011. Measuring Real Effective Exchange Rate (REER) in
Ghana. Credit (Centre for Research in Economic Development and
International Trade University of Nottingham) Research Paper No 04/11.
Pohan A. 2008. Kerangka Kebijakan Moneter dan Implementasinya di Indonesia.
Jakarta (ID): PT Rajawali Grafindo Persada.
Reinhart C, Rogoff K. 2004. The modern history of exchange rate arrangements: a
reinterpretation. Quarterly Journal of Economics, 199,1 -48.
Rose
A.
2003.
Exchange
Rate
Regime.
Power
Point.
[faculty.haas.berkeley.edu/arose/Spill.ppt]. [Diunduh 6 Maret 2014].
Sekkat K. 1997. Exchange rate variability and EU trade. Final Report to the
Commission of the EU, Second Revision.
Sozovska A. 2004. Exchange rate regimes in transition economies. Discussion
Paper USAID Fiscal Reform Project.
Thomas R L. 1997. Modern Econometrics –an Introduction. Manchester (UK):
Manchester Metropolitan University.
48
LAMPIRAN
Lampiran 1 Pemilihan Lag pada Analisis VAR
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
316.2304
NA
9.24E-07
-8.21948
-7.97228
-8.12077
1
327.2407
20.25909
7.66E-07
-8.40642
-8.035622*
-8.258364*
2
332.0438
8.581395
7.51e-07*
-8.427834*
-7.93344
-8.23043
3
332.5079
0.804578
8.26E-07
-8.33355
-7.71555
-8.08679
4
338.9614
10.84180*
7.76E-07
-8.39897
-7.65737
-8.10286
5
341.2931
3.792827
8.14E-07
-8.35448
-7.48929
-8.00902
6
341.4895
0.309148
9.05E-07
-8.25306
-7.26426
-7.85824
7
342.0251
0.814072
9.98E-07
-8.16067
-7.04828
-7.7165
8
343.0276
1.470243
1.09E-06
-8.08074
-6.84474
-7.58722
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5 persen level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 2 Hasil Pemilihan Nilai Threshold dengan REER sebagai
Threshold Indicator
Threshold
Indicator
0.0263
0.0349
0.0425
0.0427
0.0808
0.1191
0.1472
0.1499
0.1892
LLL
AIC
SBC
HQC
277.3882
322.7214
322.7601
322.7913
323.2789
323.3225
322.8511
323.8832
322.8580
-6.2565
-7.3758
-7.3768
-7.3776
-7.3896
-7.3907
-7.3790
-7.4045
-7.3792
-5.5470
-6.6664
-6.6673
-6.6681
-6.6801
-6.6812
-6.6696
-6.6951
-6.6697
-5.9719
-7.0912
-7.0921
-7.0929
-7.1050
-7.1060
-7.0944
-7.1199
-7.0946
49
Lanjutan ( Lampiran 2)
Threshold
Indicator
0.2038
0.3026
0.3280
0.3348
0.3487
0.3523
0.3833
0.3886
0.4006
0.4427
0.4798
0.5012
0.5172
0.5464
0.5468
0.6141
0.6157
0.6333
0.7512
0.7608
0.7807
0.7826
0.7829
0.8971
0.8980
0.9417
1.0158
1.0646
1.1985
1.2561
1.2894
1.3218
1.3528
1.3626
1.3874
1.4517
1.4626
1.5393
LLL
AIC
SBC
HQC
323.0613
324.0733
324.2233
325.2025
325.2887
325.5862
325.7087
325.6426
326.1397
326.7110
326.6744
326.7705
326.1186
326.0810
327.5702
326.7720
326.5431
325.5364
325.5543
325.2864
325.4067
325.2883
324.5350
324.5084
324.8302
324.8231
324.6918
325.3101
324.9340
324.6709
324.6843
327.6927
327.7533
329.4318
328.9097
328.8106
331.0321
331.1773
-7.3842
-7.4092
-7.4129
-7.4371
-7.4392
-7.4466
-7.4496
-7.4480
-7.4602
-7.4743
-7.4734
-7.4758
-7.4597
-7.4588
-7.4956
-7.4759
-7.4702
-7.4453
-7.4458
-7.4392
-7.4421
-7.4392
-7.4206
-7.4200
-7.4279
-7.4277
-7.4245
-7.4398
-7.4305
-7.4240
-7.4243
-7.4986
-7.5001
-7.5415
-7.5286
-7.5262
-7.5810
-7.5846
-6.6748
-6.6997
-6.7035
-6.7276
-6.7298
-6.7371
-6.7401
-6.7385
-6.7508
-6.7649
-6.7640
-6.7663
-6.7503
-6.7493
-6.7861
-6.7664
-6.7607
-6.7359
-6.7363
-6.7297
-6.7327
-6.7298
-6.7112
-6.7105
-6.7184
-6.7183
-6.7150
-6.7303
-6.7210
-6.7145
-6.7148
-6.7891
-6.7906
-6.8321
-6.8192
-6.8167
-6.8716
-6.8752
-7.0996
-7.1246
-7.1283
-7.1525
-7.1546
-7.1619
-7.1650
-7.1633
-7.1756
-7.1897
-7.1888
-7.1912
-7.1751
-7.1741
-7.2109
-7.1912
-7.1856
-7.1607
-7.1611
-7.1545
-7.1575
-7.1546
-7.1360
-7.1353
-7.1433
-7.1431
-7.1398
-7.1551
-7.1458
-7.1393
-7.1397
-7.2139
-7.2154
-7.2569
-7.2440
-7.2415
-7.2964
-7.3000
50
Lanjutan (Lampiran 2)
Threshold
Indicator
1.5650
1.5916
1.6164
1.6208
1.7032
1.7278
1.8484
1.9177
2.2066
2.2503
2.5685
3.1286
3.2574
3.2798
3.4640
3.8429
3.9211
3.9332
4.7639
4.8913
4.9301
5.3195
6.6435
7.5899
7.6364
11.0585
11.6971
12.8042
17.1749
18.4114
18.6947
27.7059
LLL
AIC
SBC
HQC
331.1773
331.2831
330.9506
329.5129
329.5934
329.8740
328.4318
330.5945
330.3982
330.6042
330.2895
329.9840
330.1895
331.1292
329.4122
329.2911
328.7367
328.2172
328.7902
328.7966
328.8110
330.4576
331.3341
331.2697
331.3198
330.7637
327.7045
329.8497
333.0769
333.2063
329.2983
341.5915
-7.5846
-7.5872
-7.5790
-7.5435
-7.5455
-7.5524
-7.5168
-7.5702
-7.5654
-7.5705
-7.5627
-7.5552
-7.5602
-7.5834
-7.5410
-7.5381
-7.5244
-7.5115
-7.5257
-7.5258
-7.5262
-7.5669
-7.5885
-7.5869
-7.5881
-7.5744
-7.4989
-7.5518
-7.6315
-7.6347
-7.5382
-7.8418
-6.8752
-6.8778
-6.8696
-6.8341
-6.8360
-6.8430
-6.8074
-6.8608
-6.8559
-6.8610
-6.8532
-6.8457
-6.8508
-6.8740
-6.8316
-6.8286
-6.8149
-6.8021
-6.8162
-6.8164
-6.8167
-6.8574
-6.8790
-6.8774
-6.8787
-6.8649
-6.7894
-6.8424
-6.9221
-6.9253
-6.8288
-7.1323
-7.3000
-7.3026
-7.2944
-7.2589
-7.2609
-7.2678
-7.2322
-7.2856
-7.2807
-7.2858
-7.2781
-7.2705
-7.2756
-7.2988
-7.2564
-7.2534
-7.2397
-7.2269
-7.2410
-7.2412
-7.2415
-7.2822
-7.3038
-7.3023
-7.3035
-7.2898
-7.2142
-7.2672
-7.3469
-7.3501
-7.2536
-7.5571
51
Lampiran 3 Hasil Estimasi Threshold VAR
D_CA
T-RATIO
T-RATIO
PROB
PROB
D_CA
REER
D_CA
REER
REER
L1_D_CA
5.8552
20.3149
3.5806
3.7383
0.0006
0.0003
L1_REER
0.0407
0.3693
1.4127
3.8572
0.1617
0.0002
L2_D_CA
-2.7221
6.5543
-1.3773
0.9979
0.1723
0.3214
L2_REER
-0.0220
0.6262
-0.7188
6.1608
0.4744
0.0000
Threshold L1_D_CA
-6.2316
-20.4586
-3.7917
-3.7459
0.0003
0.0003
Threshold L1_REER
-0.0381
-0.0740
-3.1613
-1.8478
0.0022
0.0684
Threshold L2_D_CA
2.5144
-6.3729
1.2482
-0.9520
0.2156
0.3440
Threshold L2_REER
0.0154
-0.0319
1.1068
-0.6895
0.2718
0.4926
D_OPENC
-0.0007
0.5055
-0.0220
4.8447
0.9825
0.0000
D_LINC
-0.0288
-0.7234
-0.3141
-2.3771
0.7543
0.0199
D_FIN
0.0131
0.0597
0.5144
0.7031
0.6084
0.4841
CONS
0.0074
0.2325
0.1108
1.0422
0.9121
0.3005
Lampiran 4 Hasil Pemilihan Nilai Threshold dengan Klasifikasi RR sebagai
Threshold Indicator
Threshold
Indicator
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
LLL
AIC
SBC
HQC
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
52
Lanjutan (Lampiran 4)
Threshold
Indicator
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
LLL
AIC
SBC
HQC
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
#VALUE!
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
53
Lanjutan (Lampiran 4)
Threshold
Indicator
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
5
5
LLL
AIC
SBC
HQC
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
343.64567
334.31886
334.31886
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.892486
-7.662194
-7.662194
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-7.183019
-6.952728
-6.952728
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.607839
-7.377547
-7.377547
54
Lampiran 5 Hasil Estimasi Threshold VAR dengan Klasifikasi RR sebagai
Threshold Indicator
D_CA
T-RATIO
T-RATIO
PROB
PROB
D_CA
REER
D_CA
REER
REER
L1_D_CA
-0.488
-0.172
-3.568
-0.337
0.001
0.737
L1_REER
0.034
0.321
1.348
3.408
0.181
0.001
L2_D_CA
-0.179
0.271
-1.456
0.589
0.149
0.558
L2_REER
-0.059
0.403
-2.037
3.761
0.045
0.000
Threshold L1_D_CA
0.165
1.199
0.742
1.446
0.460
0.152
Threshold L1_REER
-0.040
-0.099
-3.587
-2.407
0.001
0.018
Threshold L2_D_CA
-0.297
0.418
-1.340
0.505
0.184
0.615
Threshold L2_REER
0.041
0.097
3.781
2.388
0.000
0.019
D_OPENC
-0.004
0.465
-0.112
3.955
0.911
0.000
D_LINC
-0.087
-0.553
-0.981
-1.678
0.330
0.097
D_FIN
0.015
-0.057
0.724
-0.730
0.471
0.468
CONS
0.048
0.566
0.789
2.468
0.433
0.016
55
RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap Farhana Zahrotunnisa, lahir pada tanggal 3
Januari 1992 di Sragen, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara, dari pasangan Dr Priyanto dan Tertiana. Latar belakang pendidikan
penulis dimulai pada tahun 1997 di SDN Sukmajaya 5 Depok, yang kemudian
dilanjutkan ke SMP Yapemri dan menamatkannya pada tahun 2006. Pada tahun
yang sama penulis diterima di SMAN 4 Depok dan lulus pada tahun 2009.
Setelah lulus SMA penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke
jenjang yang lebih tinggi melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan
diterima sebagai mahasiswi Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi
dan Manajemen kemudian melanjutkan pendidikan master di IPB dengan jurusan
yang sama melalui program sinergi (fastrack). Selama menjadi mahasiswi, penulis
cukup aktif dalam organisasi kampus. Dalam organisasi internal penulis pernah
menjabat sebagai sekretaris divisi Discussion and Analysis HIPOTESA
(Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan) FEM
IPB pada periode 2010-2011 Pada periode selanjutnya 2011-2012 penulis
menjabat sebagai Ketua Divisi Discussion and Analysis HIPOTESA .
Penulis juga aktif mengikuti lomba karya tulis ilmiah tingkat mahasiswa.
Pada tahun 2012 penulis berhasil masuk dalam peserta PIMNAS ke 25 yang
diadakan di Jogjakarta dan pada tahun 2013 lolos dalam Program Kreatifitas
Mahasiswa Bidang Penelitian yang dibiayai oleh Dikti tahun. Saat ini penulis aktif
menjadi salah satu asisten peneliti di lembaga penelitian IPB yaitu International
Centre for Applied Finance and Economics (InterCAFE).
Download