LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG BIOLOGI LAUT Identifikasi Biota

advertisement
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG BIOLOGI LAUT
Identifikasi Biota Mangrove
Disusun oleh Kelompok 2 BP-A :
 Ahmad Farid Ary Wardhana (141211131025) , dkk
PROGRAM S-1 BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................... ii
DAFTAR Gambar ................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sungai Muara ........................................................................... 3
2.2 Mangrove dan Keanekaragamannya ........................................ 4
2.3 Struktur, adaptasi dan Penyebaran Bakau ................................ 5
2.4 Kondisi Fisik Bakau dan Zonasi .............................................. 6
2.5 Bakau sebagai sebuah ekosistem dan peranannya dalam dunia
perikanan ................................................................................ 8
2.6 Macrobenthos dan Keragamannya ......................................... 11
2.7 Biologi Hewan Makrobenthos ................................................ 12
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Materi Praktikum Benthos ....................................................... 23
3.2 Materi Praktikum Mangrove .................................................... 23
BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN
4.1 Hasil Data Mangrove ............................................................... 25
4.2 Hasil Data Benthos ................................................................... 25
4.3 Pembahasan Data Mangrove .................................................... 26
4.4 Pembahasan Data Benthos ....................................................... 32
BAB V Kesimpulan dan saran
5.1 Kesimpulan .............................................................................. 36
5.2 Saran......................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 37
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Morfologi Polyvhaeta ............................................................ 17
Gambar 2. Parapodia Polychaeta ............................................................ 18
Gambar 3. Bentuk chaeta yang simpel .................................................... 19
Gambar 4. Bentuk chaeta yang compound ............................................. 20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tumbuh-tumbuhan yang hidup di laut itu beraneka macam, mulai dari
tumbuhan tingkat rendah, yaitu jenis flora yang belum dapat dibedakan struktur akar,
batang dan daunnya atau sering disebut dengan alga, hingga tumbuhan tingkat tinggi
seperti lamun dan mangrove. Tumbuh-tumbuhan tersebut mampu beradaptasi di
lingkungannya masing-,masing sehingga mereka dapat bertahan hidup di lingkungan
laut dengan berbagai macam factor yang mempengaruhinya.
Salah satu tumbuhan tingkat tinggi yang mampu beradaptasi dengan
lingkungan laut adalah Mangrove. Dengan berbagai kelebihannya sehingga
tumbuhan ini berfungsi sangat penting bagi ekosistem laut dan ekosistem darat. Akar
mangrove yang kuat bisa menahan arus, sehingga dapat mencegah erosi sedimen laut
atau bisa disebut juga “benteng laut”.
Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang khas berada di daerah
tropis sepanjang pantai yang terlindung atau berada di muara sungai, sering disebut
sebagai hutan bakau, hutan payau, atau hutan pasang surut dan merupakan suatu
ekosistem antara darat dan laut. Beberapa jenis pohon mangrove yang mampu
tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya
terhadap salinitas, lama tergenang, tipe substrat dan morfologi pantai (Bengen 2001).
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem penting di wilayah
pesisir karena mempunyai nilai ekologis. Nilai ekologi yang penting diantaranya
sebagai penahan abrasi bagi wilayah daratan yang berada dalam ekosistem ini,
meyediakan nutrient, sebagai tempat pemijahan (spawning ground), tempat
pengasuhan (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi biota
laut tertentu.
Mangrove mampu mempertahankan garis pantai dengan cara meneruskan
aksi gelombang dan menerima runoff dari daratan. Mangrove dapat menstabilisasi
substrat dan meningkatkan akresi, sehingga sedimen pada daerah mangrove akan
memiliki karakteristik yang berbeda. Distribusi dan kelimpahan mangrove
dipengaruhi oleh interaksi perubahan air pada saat pasang surut, salinitas tanah, dan
air sehingga produktivitas ekosistem mangrove tergantung paa hubungan factor di
1
atas dan tingkat konsentrasi nutrien yang tinggi yang tergantung di dalam air laut.
Mangrove menunjukan karakteristik zonasi yang jelas dengan adanya jenis-jenis
genus tertentu pada tiap zona, dan zonasi tersebut tergantung pada periode
penggenangan, salinitas, dan karakteristik sedimen ( Ananthakhrisnan, 1982).
Daerah studi terletak di perairan Pantai Gunung Anyar Surabaya, Provinsi
jawa timur. dengan alasan bahwa daerah tersebut merupakan daerah pantai yang
memiliki hutan mangrove yang cukup luas dan belum banyak penelitian yang
dilakukan didaerah tersebut.
TUJUAN
Dalam praktikum biologi laut ini bertujuan agar mahasiswa dapat
mengidentifikasi dan mengklasifikasikan beberapa jenis mangrove yang hidup di
daerah Gununganyar, Surabaya berdasarkan ciri-ciri morfologi yang ada.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sungai Muara
Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan
laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar
(Pickard, 1967 dalam Bengen, 2004). Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar
tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan kondisi
lingkungan yang bervariasi, antara lain :
1. tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut, yang berlawanan
menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air,
dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya.
2. pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika
lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air
laut.
3. perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas
mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya.
4. tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasangsurut air laut,
banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta topografi daerah estuaria
tersebut.
Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting antara lain :
Sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi
pasang surut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan
yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari
makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau
tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan
udang. Perairan estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat
pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, jalur
transportasi, pelabuhan dan kawasan industri (Bengen, 2004).
Aktifitas yang ada dalam rangka memanfaatkan potensi yang terkandung di
wilayah pesisir, seringkali saling tumpang tindih, sehingga tidak jarang
pemanfaatan sumberdaya tersebut justru menurunkan atau merusak potensi yang
3
ada. Hal ini karena aktifitas-aktifitas tersebut, baik secara langsung maupun
tidak langsung, mempengaruhi kehidupan organisme di wilayah pesisir, melalui
perubahan lingkungan di wilayah tersebut. Sebagai contoh, adanya limbah
buangan baik dari pemukiman maupun aktifitas industri, walaupun limbah ini
mungkin tidak mempengaruhi tumbuhan atau hewan utama penyusun ekosistem
pesisir di atas, namun kemungkinan akan mempengaruhi biota penyusun
lainnya. Logam berat, misalnya mungkin tidak berpengaruh terhadap kehidupan
tumbuhan bakau (mangrove), akan tetapi sangat berbahaya bagi kehidupan ikan
dan udangudangnya (krustasea) yang hidup di hutan tersebut (Bryan, 1976
dalam Bengen, 2004).
2.2. Mangrove dan Keanekaragamannya
Mangrove adalah sebutan umum untuk menggambarkan suatu komunitas
pantai tropis yang didominasi oleh beberapa species pohon-pohon yang khas
atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan
asin. Mangrove merupakan tumbuhan daratan berbunga yang mengisi kembali
pinggiran laut. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan,
sedangkan mangal ditujukan untuk seluruh komunitas atau asosiasi yang
didominasi oleh tumbuhan ini. Walsh (1974) melaporkan bahwa sekitar 60-70%
garis pantai di daerah tropis telah ditumbuhi oleh bakau, jadi peranannya sudah
jelas (Geisen et al, 2006).
Hutan bakau di Indonesia menyebar sepanjang pantai, mulai dari pantai
pulau Sumatera sampai pantai pulau Irian Barat dan meliputi luas ratusan ribu
hektar. Hutan bakau ini tumbuh menurut keadaan alami di sepanjang pantai laut
yang kadang-kadang tergenang air laut. Menurut Rakoen (1955) lebarnya hutan
bakau ini umumnya tidak sama, ada yang lebarnya hanya beberapa meter saja,
tetapi ada pula yang lebarnya sampai ratusan meter. Hal ini tergantung pada
adanya pengendapan lumpur dan jarak yang dapat dicapai oleh air pasang laut
ke arah darat. Sebagai contoh, lebar hutan bakau yang berada di sebelah barat
teluk Pampang Besuki berkisar antara 500 – 1000 meter. Jenis-jenis yang
umumnya dan banyak diketemukan di Indonesia adalah jenis Rhizophora,
Bruguiera, Aviceneia, dan Expecaria (Geisen et al, 2006).
Manfaat kayu bakau antara lain sebagai bahan industri kertas, industri
papan (di Malaysia terkenal chipboard), kulit Rhizophora mucronata dan
4
Ceriops dapat dipakai sebagai zat pewarna kulit (tannin), sebagai kayu bakar,
arang (Geisen et al, 2006).
2.2.1. Struktur, Adaptasi dan Penyebaran Bakau
Sebagaimana disinggung di depan, di Indonesia ditemukan 28 jenis
dalam 14 famili bakau, yaitu :
Tabel 1. Jenis tumbuhan hutan bakau
No.
Famili
1. Rhizophoraceae
Jenis
Rhizophora conjugate L, R. mucronata,
R. stylosa, Bruguiera lymnorrhiza L
B. erioptela W et Al, B. carryophylloides Bl,
B. parfivlora, Ceriops candolleana Arm,
C. rexburghiana Arm
2. Sonneratiaceae
Sonneratia acida L.f
S. ovata Backer, S. alba Smith
3. Verbenaceae
Avicennia marina Vierh
A. offinalis L.
4. Combretaceae
Lumnitzera littorea Voigh.
L. racemmosa
5. Meliaceae
Xyparpus grenatum Koen.
X. molluccensis Roem.
6. Mysinaceae
Aegiceros cornoculatum Blance.
7. Rubiaceae
Seyphiphora hydrophylaceae Gaertn.
8. Rutaceae
Limonia litteralis Backer.
9. Euphorbiaceae
Expecaria agallocha L.
10. Sterculiaceae
Heritiera littoralis Bryand.
11. Leguminosae
Pithecolobium umbellatum Bth.
Cnymetra ramiflora L.
12. Bignoniaceae
Delichandone sppataceae Schum.
13. Bombacaceae
Cumingia philippinensis Vidal
14. Apocynaceae
Cerbera manghas L.
Sumber : Becking, et al, 1922.
5
2.2.2. Kondisi Fisik Bakau dan Zonasi
Pada tahun 1931, De Haan telah membagi hutan bakau atas 5 tipe atau
zone vegetasi yang sesuai dengan tempat tumbuhnya, yaitu :
1. Tipe Api-api (Avicennia spp)
Jenis ini merupakan jenis pionir hutan payau yang terdiri dari
Avicennia marina dan A. offinalis, yang tumbuh dekat laut. Sedang
pionir yang tumbuh pada tempat-tempat agak tawar airnya terdiri dari
Sonneratia alba, seperti terdapat pada sepanjang pematang sungai.
Menurut Richards (1952) pohon api-api di Malaysia, umumnya
tumbuh pada lumpur-lumpur yang dalam, yang kaya akan bahan
organik, dan kadang-kadang pada tepi pantai berpasir dan dangkal
(Geisen et al, 2006).
2. Tipe bakau-bakau (Rhizophora spp)
Jenis yang tumbuh paling dekat ke laut adalah bakau gandhul
(Rhizophora mucronata) sedang pada bagian dalamnya sebagian besar
ditumbuhi oleh bakau-bakau putih (R. conjugata). Di daerah bakaubakau kadang-kadang tumbuh Ceriops candolleana dan Bruguiera
parfivlora. Tumbuhan lainnya yang paling sering dijumpai adalah
jeruju (Achanthus ilicifolius). Tanah yang bisa ditumbuhi jenis ini
adalah lumpur berwarna hitam yang kaya akan humus. Menurut
Richards (1952) pada umumnya jenis Rhizophora lebih menyukai
tanah-tanah yang kaya humus, berwarna hitam, dan bercampur sedikit
pasir halus (Geisen et al, 2006).
3. Tipe Kandela (Bruguiera spp)
Kandela (Bruguiera gymnnorhiza Lmk) adalah jenis yang paling
panjang umurnya dibanding jenis-jenis lainn di dalam lingkungan
Rhizophoraceae, dan dapat tumbuh lebih ke darat dari bakau lain.
Pohon ini dapat tumbuh di naungan, buahnya pendek mudah
menyebar. Pada daerah yang tinggi sering bercampur dengan
kelompok besar dari Nyirih (Xylocarpus granatum), Dungun
(Heritiera littoralis) ataupun kelompok kecil
dari buta-buta
(Expecaria agalocha) (Geisen et al, 2006).
6
4. Tipe Nipah (Nipa frutucana Wurmb)
Tumbuh pada tanah-tanah lunak, dan berlumpur sampai tanah-tanah
keras.
Nipah
merupakan
tipe
peralihan
dan
dapat
tumbuh
menyesuaikan diri pada tempat yang airnya agak asin, tergenang
hingga air tawar yang kurang terpengaruh air pasang. Pada tempat
yang agak tinggi, biasanya nipah bercampur dengan nyirih, dungun,
buta-buta, pedada (Sonneratia acida) dan jaran (Dolichandrone
spathaceae) (Geisen et al, 2006).
5. Tipe Hutan Bakau Air Tawar
Tempat ini hany dipebgaruhi oleh air musim. Pada musim barat
tergenang air dan pada musim timur kerting. Pengaruh pasang surut
terhadap daerah ini kurang sekali. Tegakan utamanya sangat banyak
jenisnya. Jenis-jenis yang hidup di daerah ini antara lain bungur
(Langerstoemia spp), nyamplung (Calophyllum inophyllum), ketapang
(Terminalia cattapa), waru (Hibiscus tiliaceus) (Geisen et al, 2006).
De Haan (1931) menyatakan bahwa salinitas bervariasi dari hari ke hari
dan dari musim ke musim. Pada siang hari salinitas lebih (paling) tinggi,
terutama pada saat surut dan akan turun kembali bila pasang tiba, demikian
juga pada musim kemarau salinitas lebih tinggi dibanding musim hujan.
Selanjutnya dikatan bahwa berbagai jenis bakau memiliki kemampuan
toleransi terhadap salinitas yang tidak sama (Geisen et al, 2006), seperti
dijelaskan pada tabel di bawah :
Tabel 2. Hubungan antara salinitas (NaCl) dan jenis bakau (de Haan, 1931)
Jenis tanaman
Rhizophora mucronata L
Kandungan kadar garam
(%)
± 12 – 30
Rhizophora conjugata L
± 12 – 30
Bruguiera gymnyrriphyza
± 10 – 30
Lamk
7
Bruguiera parfivlora W et A
± 10 – 30
Bruguiera erioptela W et A
± 1 – 30
Xylocarpus granatum Koen
± 1 – 30
Nipa fruticana Wurmb
± 1 – 30
Keterangan: Kadar garam diukur pada saat pasang tertinggi pada waktu
musim hujan
Preferensi terhadap periode pasang surut air laut jelas nampak apabila
tanaman hutan bakau diputuskan dari air laut, maka pertumbuhannya menjadi
mundur. Ini jelas pada Rhizophora spp dan Avicennia spp, semakin jauh dari
pantai maka semakin tipis pertumbuhan dari kedua jenis ini (Geisen et al,
2006).
Watson (1928) yang telah mempelajari masalah pasang surut ini di
Malaysia membagi hutan bakau menjadi 5 tipe hutan atas dasar sifat-sifat dari
pasang surut, sebagai berikut :
1. Digenangi oleh semua pasang tinggi
Tak ada yang hidup kecuali Rhizophora mucronata.
2. Digenangi pasang setengah tinggi
Di daerah ini terdapat Avicennia dan Sonneratia spp. Di pinggir sungai
umumnya didominasi oleh Rhizophora mucronata.
3. Digenangi pasang biasa
Dii sini hampir sebagian jenis mangrove dapat hidup tetapi Rhizophora
umumnya dominan.
4. Digenangi pasang lewat (spring tide)
Di sini umumnya hidup Bruguiera spp.
5. Digenangi pasang tak tentu
Di sini biasanya terdapat Bruguiera gymnorriphiza.
2.2.3. Bakau sebagai sebuah ekosistem dan peranannya dalam dunia perikanan
Komunitas mangal (hutan bakau) bersifat unik, disebabkan secara vertikal
organisme daratan menempati bagian atas pohon tersebut, sedangkan hewanhewan laut menempati bagian bawah. Hutan-hutan bakau membentuk
8
percampuran-percampuran yang sangat spesifik, antara organisme darat dan
lautan, dan menggambarkan suatu rangkaian dari darat ke laut dan sebaliknya.
Mollusca diwakili oleh sekelompok siput, yang hidup pada akar dan
batang pohon bakau (Littorinidae) dan sebagian lainnya hidup di dasar akar
sebagai pemakan detritus (Ellobiidae dan Potamididae). Sumbangannya
terhadap hutan bakau, siput-siput ini jarang diketahui. Kelompok kedua dari
mollusca adalah bivalve. Yang dominan dari bivalve adalah tiram. Mereka
melekat pada akar-akar bakau, di sana mereka berbentuk biomasa (Geisen et
al, 2006).
Hutan bakau juga disenangi oleh berbagai jenis kepiting dan berbagai
jenis udang tertentu. Hewan ini membuat lubang di dalam substrat yang lunak
dan termasuk golongan umum seperti Uca, kepiting laga (fiddler crab),
Cardisoma, kepiting darat tropis, dan beberapa kepiting hantu (Dotilla,
Cleistostoma). Kepiting-kepiting ini biasanya khusus memakan dentritus yang
diketemukan dalam lumpur. Umumnya mereka memisahkan dentritus dari
partikel organik dengan menyaring substrat melalui sekumpulan rambut
disekeliling mulutnya (Geisen et al, 2006).
Seperti dijelaskan di depan, hutan bakau hidup di daerah peralihan antara
daratan dan lautan, demikian juga kepiting-kepiting yang ada di dalamnya
adalah memiliki kemampuan untuk beradaptasi. Mereka dilengkapi dengan
vaskularisasi dinding ruang insang sehingga berfungsi semacam paru-paru
(Geisen et al, 2006).
Lubang-lubang yang dibuat oleh kepiting-kepiting ini juga dibuat oleh
udang-udang Upogebia dan Thalassina, mempunyai beberapa fungsi. Pertama,
sebagai tempat berlindung dari predator. Kedua, sebagai tempat berkembang
biak dan ketiga, sebagai bantuan dalam mencari makan. Disamping itu lubanglubang ini berguna juga bagi hutan bakau, yaitu dengan melewatkan oksigen
yang masuk ke dalam substrat yang lebih dalam, jadi memperbaiki kondisi
anoksik (Geisen et al, 2006).
Secara garis besar sumbangan yang diberikan oleh hutan bakau bagi
perikanan adalah sebagai berikut :
1. Tempat berteduh/berlindung
Berdasarkan pengamatan MacNae (1974) semua jenis udang
ekonomis penting dalam daur hidupnya amat bergantung pada hutan
bakau kecuali Penaeus japonicus, P. semisulcatus, dan P. latisulcatus.
Daerah ini merupakan daerah pembesaran (nursery ground) bagi
udang penaeid. Dengan banyaknya akar-akar bakau yang dapat
9
digunakan berlindung dan menempel serta tersedianya detritus yang
cukup banyak disamping jasad renik pemakan dentritus yang
merupakan makanan bagi udang-udang tersebut. Di samping udang,
beberapa jenis ikan seperti belanak juga memanfaatkan hutan bakau
ini sebagai tempat pembesaran sebelum mereka cukup kuat untuk
kembali ke laut, disamping ikan gelodok (Periopthalmus) yang
memang habitatnya di hutan bakau (Geisen et al, 2006).
2. Tempat mencari makan
Rantai makanan dalam proses kehidupan dalam air dimulai dari
fitoplankton yang dengan bantuan sinar matahari membentuk senyawa
organik dalam tubuhnya. Fitoplankton ini akan dimakan oleh hewan
yang lebih tinggi dan berakhir pada manusia. Untuk daerah di sekitar
hutan bakau (canal dan lagoon) termasuk estuarin, jenis dan jumlah
fitoplaknton relatif lebih sedikit dibanding dengan perairan laut
(Barnes, 1974). Salah satu kemungkinannya adalah karena keruhnya
air sehingga proses fotosintesis tidak dapat berjalan lancar sejalan
dengan terhambatnya sinar matahari masuk ke dalam perairan
tersebut. Dalam keadaan demikian, peranan fitoplakton ternyata
disubstitusi oleh hutan bakau tersebut, yakni daun-daun bakau. Daundaun bakau yang runtuh dan jatuh ke dalam air di samping akan
menjadi tempat berkumpul bakteri dan fungi yang merupakan
makanan protozoa dalam waktu tertentu akn mengalami pembusukan,
dan dentritus-dentritus yang dihasilkan akan menjadi makanan
binatang-binatang (dentritus feeder) seperti Amphipoda, Mycidacea,
dll. Selanjutnya binatang-binatang tersebut disamping dentritusnya
akan menjadi makanan bagi larva-larva udang, udang muda maupun
larva ikan. Heald & Odum (1972) mengamati proses perpindahan
energi mulai dari daun bakau sampai dengan hewan-hewan yang
hidup di hutan bakau, menemukan bahwa 80 - 90% makanan ikan dan
udang di daerah itu terdiri dari dentritus. Dari sini jelas bahwa hutan
bakau memberikan kontribusi penting dalam penyediaan makanan
dalam proses kehidupan (Geisen et al, 2006).
3. Merupakan habitat bagi beberapa jenis ikan maupun hewan lainnya.
Sebagaimana disinggung di depan, ikan gelodok hidup di daerah
bakau. Ikan ini biasanya membuat lubang sebagai tempat persem-
10
bunyiannya dari bahaya. Mereka dapat meloncat-loncat seperti katak.
Berbeda dengan jenis ikan lain, ikan gelodok mempunyai modifikasi
mata yang terletak tinggi di kepala dan tersusun sedemikian rupa
sehingga membentuk fokus yang baik di udara tetapi tidak di air.
Beberapa jenis burung, ular, dan serangga yang berasal dari darat juga
banyak menghuni daerah hutan ini, di samping hewan-hewan laut
yang telah disinggung di depan seperti kepiting, bivalve, siput, dan
sebagainya(Geisen et al, 2006).
2.3. Macrobenthos dan Keanekaragamannya
Hewan makrobenthos adalah organisme yang hidup atau berada pada dasar
perairan, baik dasar perairan yang dangkal maupun pada perairan yang dalam
(Welch, 1952 dalam Setyobudiandi 1999). Sedangkan menurut Cole (1979)
menyatakan bahwa hewan makrobenthos adalah hewan yang hidup di dasar,
yang ditangkap dengan alat penyaring atau pengayak dengan diameter sama atau
lebih besar dari ukuran 0,14 mm (Setyobudiandi, 1999).
Menurut Eltringham (1977 dalam Setyobudiandi 1999) fauna yang hidup
di perairan, baik yang berhabitat lumpur maupun pasir dibagi dalam :
1. Epifauna (Episammic spp)
Organisme yang di dalam hidupnya menghabiskan waktu jangka panjangnya
bergerak pada permukaan dasar tetapi mungkin sewaktu-waktu mereka
membenamkan dirinya.
Misalnya : Polychaeta, Mollusca, dan Crustaceae
2. Infauna
Organisme yang menghabiskan seluruh atau kebanyakan waktu hidupnya di
bawah dasar perairan.
a. Makrofauna (Endopsammic spp)
Organisme yang hidupnya bergerak atau menetap dengan berpindah
tempat dan kembali ke tempat semula.
Misalnya : Polychaeta, Mollusca, dan Crustaceae
b. Miofauna (Mesosammic spp)
Organisme yang hidupnya menetap atau tinggal pada daerah interstitial.
Misalnya : Nematoda, Copepoda,dll.
Berdasarkan ukurannya, hewan makrobenthos dibagi :
1. Meiofauna
11
Organisme yang tidak lolos dengan saringan ukuran 0,062 mm.
2. Makrofauna
Organisme yang tidak lolos dengan ukuran saringan 0,5 mm.
2.3.1 Biologi Hewan Macrobenthos
a. Morfologi Hewan Makrobenthos
Pada umumnya hewan makrobenthos yang mendominir pada suatu
perairan adalah kelompok organisme polychaeta, mollusca, dan crustaceae.

Kelompok Polychaeta
Menurut Day (1967 a & b) secara garis besar, bentuk morfologi
polychaeta dibagi menjadi 2 kelompok yaitu Errantia dan Sedentaria.
Kelompok Errantia, pada umumnya tiap segmennya mempunyai
sepasang kaki jalan yang disebut parapodia. Parapodia dilengkapi
dengan sejumlah chaeta atau rambut yang didukung oleh acicula,
rambut dari cacing errantia ini mempunyai 27 bentuk, baik dari bentuk
sederhana maupun yang bersambungan, (arti polychaeta; poly = banyak,
chaeta = rambut, jadi organisme/cacing laut yang mempunyai rambut
banyak pada tiap-tiap kaki jalannya). Pada bagian kepala terdiri dari
prostomium yang dilengkapi dengan sepasang atau empat pasang mata,
satu atau lima tentakel, sepasang palp atau sama sekali tidak ada palp
pada prostomiumnya dan tentakular cirri sepasang sampai delapan
pasang. Di bawah dari prostomium disebut peristomium kemudian
anchetous segment pada segmen berikutnya kemudian baru segmensegmen yang dilengkapi dengan chaeta. Bagian thorax dan abdomen
pada umumnya dilengkapi oleh insang atau sisik yang transparan.
Sedangkan pada bagian ekor pada umumnya disebut sebagai pygidium
yang dilengkapi dengan sepasang anal cirri (Setyobudiandi, 1999).
Kelompok Sedentaria, cacing laut sedentaria ini termasuk kelompok
orgaisme yang menetap pada tabungnya. Tabung-tabung dari organisme
terbuat dari bahan-bahan pasir dengan lendir atau terdiri dari zat tanduk
atau juga material lumpur dengan lendir. Cacing sedentaria, bentuk
morfologinya mengalami reduksi baik pada bagian kepala, parapodia
dan bagian ekornya. Pada bagian kepala pada umumnya tidak terdapat
mata, tentakular cirri dan palp tetapi terdapat tentakel berbentuk seperti
mahkota atau berbentuk seperti bunga lili, fungsi dari tentakel ini adalah
menangkap mangsanya. Tidak terdapat parapodia dan pada umumnya
chaeta [rambut] dari kelompok organisme sedentaria ini berbentuk
12
sederhana tidak pernah terdapat bentuk chaeta yang bersambungan.
Ekor tidak terdapat pada organisme sedentaria ini (Setyobudiandi,
1999)..
Reproduksi Polychaeta
Polychaeta
reproduksinya
secara
hermaphrodite,
fragmentasi
/regenerasi dan sexual (perkawinan jantan dan betina). Reproduksi
secara fragmentasi, dimana karena tuntutan biologis, maka cacing
tersebut mencari lokasi pada batu-batuan atau karang yang telah retak.
Dari sela-sela keretakan ini cacing tersebut memutuskan tubuhnya
dengan menjepitkan badannya, pemutusan ini terjadi pada segmen ke 12
dan ke 13 dengan ditandai bentuk dari segmen ke 12 dan ke 13
berwarna merah dengan lingkaran-lingkaran putih pada segmennya dan
pada segmen ke 14 nantinya menjadi bakal kepala baru (Buchsbaum,
1976 dalam Setyobudiandi, 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa
reproduksi secara fragmentasi hanya terjadi pada cacing kelompok
errantia.
Menurut Dales (1967) reproduksi secara sexual pada cacing betina
diawali dengan gerakan berenang mendekati pantai/merayap ke pantai
dengan posisi melingkarkan badannya dengan mengeluarkan cahaya
berwarna hijau secara berkala karena adanya phosporesensis dan
cacing betina mengeluarkan bau-bau tertentu dengan tujuan menarik
perhatian cacing jantan yang siap untuk melakukan pemijahan. Setelah
terjadi perkawinan pada umumnya induk cacing mati karena bagian
perut terkoyak-koyak dalam perkawinan. Perkawinan dilakukan pada
waktu bulan purnama yaitu beberapa jam setelah bulan tersebut mulai
terbenam ke ufuknya. Telur-telur yang telah dibuahi kemudian menetas
beberapa minggu kemudian menjadi larva yang bercilia mencari tempat
yang layak kemudian menjadi cacing muda (Setyobudiandi, 1999).

Kelompok Mollusca
Menurut Morton (1958), menyatakan bahwa untuk mengenal
mollusca tidak sulit, pertama-tama dapat dilihat adalah pada bagian
cangkangya atau shell yang keras, badannya lunak dan kulitnya yang
licin. Mollusca pada umumnya tidak bertulang dan tidak bersegmen.
Mollusca dibagi menjadi 6 klas yaitu : Monoplacophora, Amphineura,
Gastropoda, Scaphopoda, Bivalve, dan Cephalopoda. Pada umumnya
13
yang terdapat dalam jumlah banyak adalah kelompok Gastropoda dan
Bivalve. Selanjutnya dikatakan oleh Morton (1958) bahwa bentuk
umum dari Gastropoda adalah sebagai berikut; badan yang lunak
mempunyai bentuk beraneka (bermacam-macam), tidak simetris
disebabkan adanya ‘torsion’ bagian dalam (organ dalam tubuh yang
melingkar), kaki berbentuk flat dan sangat lebar atau luas ini merupakan
ciri dari gastropoda. Cangkang terdiri dari satu (univalve), bentuk
cangkang kerucut (lingkaran-lingkaran kerucut) terdiri dari calcarious
atau horny (Setyobudiandi, 1999).
Bentuk bivalve menurut Morton (1958) biasanya bilateral symetris
atau compressed, kakinya bila dijulurkan keluar berbentuk seperti kapak
atau bentuk lidah. Cangkangnya simetris terdiri dari dua buah
dihubungkan dengan ligamen elastis pada bagian atasnya. Kepala dari
bivalve rudimenter dan tidak dilengkapi mata dan tentakel. Organisme
bivalve ini dilengkapi dengan siphon yang fungsinya untuk menyaring
makanan yang tidak sesuai dengan diameter siphonnya (Setyobudiandi,
1999).
Reproduksi Mollusca
Menurut Buchsman (1976), bahwa mollusca reproduksinya secara
sexual dan asexual. Asexual yaitu secara hermaphrodite, dimana
organisme awal hidupnya bertindak sebagai betina kemudian jantan dan
pada waktu mau memijah organisme tersebut bertindak seperti awal
dari kehidupannya yaitu betina, bertelur kemudian menetas menjadi
larva berciala menetap pada subtrat di mana menjadi habitatnya
kemudian menjadi mollusca muda, dewasa, kembali memijah
(Setyobudiandi, 1999).
Reproduksi secara sexual, yaitu perkawinan jantan yang telah masak
untuk memijah demikian pula organisme betinanya telah masak telur.
Pembuahan dapat terjadi di luar atau di dalam tubuh organisme, setelah
terjadi pembuahan maka telur menetas kemudian menjadi larva berciala
dan mencari habitat yang sesuai untuk berkembang dan menjadi
mollusca dewasa (Setyobudiandi, 1999).

Kelompok Crustacea
Menurut Naylor (1972) dan Sars (1890) bentuk morfologi tubuh
crustacea dibagi menjadi 3 bagian yaitu cephalothorax, abdomen dan
14
telson. Pada umumnya jenis crustacea banyak dijumpai pada daerah
muara sungai, mangrove, dan pantai adalah jenis-jenis Peneus dan
Isopoda atau Amphipoda. Crustacea termasuk organisme yang beruasruas atau bersegmen, badan dilapisi dengan kulit terdiri dari chiten, tiaptiap segmen saling berhubungan maka disebut juga organisme
metameristic (Setyobudiandi, 1999).
Untuk kelompok Penaeus spp, pada bagian cephalo atau kepala
terdiri dari 5 atau 6 segmen yaitu antena 1 & 2, mandible, maxillae 1
dan maxillae 2, sedang pada bagian thorax terdiri 8 segmen yaitu 3
pasang maxillipeds, 1 chelae dan 4 pasang kaki jalan atau periopoda,
pada bagian abdomendan telson terdiri dari 6 segmen yaitu 5 pasang
pasang kaki renang atau pleopod dan 1 uropoda pada bagian telson
(Alie Purnomo, 1969 dalam Setyobudiandi, 1999).
Untuk kelompok Isopoda, menurut Naylor (1972) bagian badannya
dibagi dalam bagian kepala atau cephalon, thorax atau pereon, abdomen
atau pleon dan telson atau ekor. Bagian cephalon terdiri dari 1 segmen,
pereon terdiri 7 segmen, abdomen terdiri 4 segmen, serta 1 segmen
untuk bagian telson. Bentuk morfologi dari isopoda ini adalah depressed
dorsalis, mata selalu melekat atau sessile dan mempunyai antena pada
bagian kepala dengan panjang anatar 3 – 5 mm, antenanya berbentuk
uniramous artinya tidak bercabang pada ujungnya (Setyobudiandi,
1999).
Reproduksi Crustacea
Pada umumnya alat kelamin kelompok crustacea terpisah (unisexual)
(Naylor, 1972 dan Alie Purnomo, 1969). Apabila udang jantan maupun
betina siap memijah maka terjadi perkawinan antara keduanya yang
sangat cepat, setelah induk betinanya moulting baru terjadi pembuahan
maka telur menetas menjadi tingkat nauplius selanjutnya disini
mengalami 6 kali ganti kulit, kemudian menjadi phase zoea ganti kulit,
kemudian menjadi phase mysis kemudian post larva dan juvenil
mengadakan ruaya ke pantai menjadi dewasa, kembali memijah, dan
seterusnya (Setyobudiandi, 1999).
Kebiasaan Makan (Feeding Habits)
15
Berdasarkan pada kebiasan makannya maka hewan makrobenthos
dibagi menjadi 2 bagian yaitu suspension feeders dan deposit feeders
(Buchsbaum, 1967 dalam Setyobudiandi, 1999).
Selanjutnya dikatakan oleh Hutabarat dan Evans (1985), bahwa
kelompok suspension feeders adalah kelompok hewan makrobenthos
yang menyaring partikel-partikel yang masih melayang-layang di
perairan, sedangkan deposit feeders adalah organisme yang mempunyai
sifat mengumpulkan makanan (dentritus) yang telah menetap di dalam
dasar perairan (Setyobudiandi, 1999).
Menurut Nybakken (1982), menyatakan bahwa pemakan deposit
cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan atau sedimen lunak
yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang tinggi.
Di beberapa daerah yang biasanya terdapat penggali pemakan deposit
terdapat organisme pemakan suspensi. Selanjutnya dikatakan hal ini
disebabkan organisme penggali pemakan deposit menggali beberapa
centimeter teratas dari dasar dan menyebabkan lapisan berpartikel halus
menjadi renggang dan tidak stabil. Lapisan ini mudah tersuspensi
kembali oleh adanya gerakan air (Setyobudiandi, 1999).
Sedimen
yang
tersuspensinya
kembali
ini,
mengakibatkan
tersumbatnya struktur penyaring pemakan suspensi yang halus sehingga
fungsinya terhambat. Sedangkan pemakan suspensi terdapat lebih
melimpah pada substrat berpasir, bahan organik lebih sedikit, dan
substrat dimana pemakan deposit akan mendapatkan lebih sedikit
adanya makanan yang tersedia serta lebih sukar untuk menggali. Karena
substrat biasanya lebih labil, pemakan suspensi dapat membentuk
dirinya (Setyobudiandi, 1999).

Phyllum Annelida, Class Polychaeata
Class Polychaeata dibagai dalam 2 grup yaitu :
-
Errantia (merangkak)
-
Sedentaria (menetap)
Ciri – ciri Errantia :
-
Prostomium dengan sensory appendages berkembang baik
-
Tentakular, dorsal, dan ventral cirri berkembang baik
-
Pharynx biasanya dapat dikeluarkan dan dilengkapi dengan
bermacam-macam elemen jaw dan tangan
16
-
Parapodia biasanya terdiri dari compound chaeta (rambut yang
bersambungan bentuknya).
Ciri – ciri Sedentaria
-
Prostomium tidak berkembang baik, sering terjadi satu dengan
peristomium dan biasanya jarang/sedikit sekali dilengkapi dengan
sensory appendages
-
Mempunyai special feeding structure, misalnya seperti
tentakel, branchial yang berbentuk mahkota dan lainnya pada ujung dari
anterior segmen
-
Pharynx walaupun dapat dikeluarkan tetapi tidak mempunyai
tangan
-
Parapodia tidak berkembang baik dan sedikit sekali terdiri dari
compound chaeta, pada umumnya chaetanya adalah berbentuk simpel
Morfologi Polychaeta
Bentuk morfologi dari polychaeta bermacam-macam, pada
umumnya bentuk dasar polychaeta sebagai berikut (lihat gambar) :
Gambar 1. Morfologi Polychaeta
Polychaeta pada umumnya berbentuk memanjang, silindris, dan
tersusun dari bagian anterior yang terdiri dari prostomium dan
peristomium yang mempunyai atau tidak mempunyai parapodia
(achaetous segmen), sejumlah segmen pada bagian badan dan pydigium
terletak pada ujung anterior. Setiap segmen mempunyai sepasang
parapodia
yang
terdiri
dari
dorsal
(notopodial)
dan
ventral
(neuropodial), kedua cirri ini mempunyai chaeta yang disupport oleh
internal acicula, (lihat gambar) :
17
A. Biromous
B. Unimorous
Gambar 2. Parapodia Polychaeta
Bentuk – bentuk Chaeta
Pada dasarnya chaeta dari polychaeta dibagi dalam 2 grup,
yaitu simpel dan compound (lihat gambar)
Chaeta yang simple:
1. Capillaris
2. Winged
3. Geniculate
4. Serrated
5. Acicular
6. Hook
7. Bidentate
8. Lyrate
9. Plumose
10. Penicillate
11. Comb
12. Palea
13. Hooks
14. Hooded Hooks
15. Furked
16. Uncini
18
1
2
3
9
10
11
4
5
12
6
13
7
14
15
8
16
Gambar 3. Bentuk chaeta yang simple
Chaeta yang compound :
1. Heterogomph falcigar
2. Homogomph falcigar
3. Heterogomph falcigar dengan bagian atas (daun) panjang
4. Heterogomph Sppiniger
5. Homogomph sppiniger
6. Canaliculate falciger
7. Compound hooks
8. Compoud hooded hooks
9. Paddle chaeta
19
1
2
3
6
7
4
8
5
9
Gambar 4. Bentuk chaeta yang compound
Distribusi
Distribusi atau penyebaran dapat dianggap sebagai suatu
bidang dalam kelimpahan. Distribusi dan kelimpahan mempunyai
hubungan timbal balik, seakan-akan seperti bidang yang bersebelahan
dari suatu mata uang (Krab, 1978 dalam Setyobudiandi, 1999).
Brafield (1978) menyatakan bahwa distribusi hewan-hewan
yang hidup di pantai dapat dibedakan menjadi 3 dasar, yaitu :
-
distribusi yang arahnya sepanjang pantai
-
distribusi yang arahnya masuk ke perairan pantai
-
distribusi yang arahnya ke dalam dari pantai atau disebut
distribusi vertikal
Menurut Kreb (1978), distribusi biota ditentukan oleh beberapa
faktor yaitu :
-
Dispersal
Suatu species bisa tidak terdapat di suatu area, karena populasi yang
paling dekat tidak mampu menyebar hingga mencapai area tersebut
20
Distribusi dapat terjadi secara lokal maupun global. Distribusi lokal
atau internal jarang dipengaruhi oleh faktor dispersal. Pada skala lokal
faktor dispersal kecil pengaruhnya terhadap penyebaran atau distribusi.
Sedangkan pada distribusi skala global, dispersal merupakan faktor
kritis.
-
Behaviour
Behaviour atau tingkah laku organisme yang berpengaruh pada
distribusinya di alam adalah kesenangan memilih habitat (habitat
preference) yang menjamin kelangsungan hidup pada setiap stadium.
Mekanisme tingkah laku ditentukan oleh adanya sistem syaraf dan
sensori.
-
Hubungan antar species
Distribusi lokal beberapa hewan dibatasi oleh kehadiran organisme
lainnya. Organisme lain dapat berupa makanan nabati, predator,
penyakit, dan kompetitor. Hubungan antar species menyebabkan
organisme tidak dapat melangsungkan hidupnya dengan komplit,
walaupun diketahui bahwa area berada dalam jankauan dispersal dan
cocok dengan preferensi habitat organisme.
-
Sifat-sifat fisika kima lingkungan
Beberapa sifat fisika kimia lingkungan yang perlu dikemukan antara
lain : cahaya, temperatur, substrat (tekstur), arus, oksigen, salinitas, dan
unsur hara.
Sedangkan pola penyebaran individu-individu hewan di alam
menurut Odum (1971) dapat dibagi menjadi 3 pola dasar, yaitu random
(irregular, tidak teratur), uniform (regular, lebih teratur dari random),
dan clumped (non-random atau mengelompok). Selanjutnya dikatakan
penyebaran yang bersifat random jarang sekali terjadi di alam, dan
dapat terjadi bilamana keadaan lingkungan amat uniform dan tidak ada
kecenderungan untuk beregresi atau bersama-sama. Sedangkan pada
pola penyebaran uniform terjadi bilamana ada persaingan yang hebat
antara individu-individu pada populasi. Penyebaran paling umum di
alam adalah pola penyebaran individu yang mengelompok (clumped)
(Setyobudiandi, 1999).
Distribusi atau penyebaran benthos dan sesil di pantai
(estuarin) dapat dibatasi oleh sifat-sifat dari individu itu sendiri (faktor
intrinsik) yaitu genetika dan tingkah laku pada kesenangan memilih
21
habitat, maupun pengaruh dari luar (faktor ekstrinsik) yaitu interaksinya
dengan lingkungan (Setyobudiandi, 1999).
22
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Materi Pratikum Benthos
1. Lapangan
Pengambilan sampel tanah dan benthos dilakukan di pantai, muara dan mangrove
2. Laboratorium
Identifikasi hewan makrobenthos yang diperoleh selama pengambilan sampel di
pantai
Pengambilan sampel tanah untuk analisis struktur tanah (komposisi liat, lempung
dan pasirnya)
Tabel . Bahan dan peralatan pada ekosistem mangrove
No.
Bahan / Alat
Kegunaan
1.
Meteran dan tali rafia
Mengukur p/l areal yang akan diduga
2.
Cetok
Mengambil sampel tanah/substrat
3.
Kantong plastik
Tempat sampel
4.
Bahan pengawet
a. formalin 10%
Mengawetkan organisme
b.
5.
Saringan lumpur
Menyaring lumpur
6.
Seser/serok
Menangkap fauna darat/laut
Data yang dibutuhkan meliputi :
1. Jenis dan distribusi vertical bakau yang hidup di daerah pantai
2. Zonasi bakau daerah pantai
3. Kepadatan tegakan dan tinggi rata-rata tumbuhan bakau
4. Jenis fauna darat yang ada di daerah hutan bakau/mangrove
5. Jenis fauna laut yang ada di daerah mangrove
6. Diamter dan tinggi yang berada dalam transek 10 x 10 meter beserta jenisnya.
3.2 Metoda Pratikum Mangrove
Untuk mendapatkan data tersebut, langkah-langkah yang harus dikerjakan
adalah :
1. Identifikasi Mangrove
23
Pengamatan yang dapat dilakukan adalah dengan melihat perakaran, bentuk
daun , dan bentuk bunga serta karakteristik lainnya.
2. Ukur/buat/tentukan luas area 2 x 2 m² pada setiap jarak 10 meter dimulai dari
titik dimana masih terkena air pasang/gelombang ke arah laut sampai tidak
terdapat tumbuhan bakau.
3. Dalam lokasi 2 x 2 meter tersebut, hitung dan catat :
a. Jenis bakau yang ditemukan, bila belum diketahui jenisnya, ambil
contohnya (daun, batang, buah, dan perakarannya) untuk bahan
identifikasi di laboratorium.
b. Hitung jumlah tegakan tumbuhan bakau dan diameter serta tinggi rataratanya. Ukur luas penutupannya dengan mengukur luas/lebar bentangan
dedaunan. Lakukan juga pengukuran intensitas cahaya dengan lux meter
di bawah tajuk dan di luar tajuk pohon untuk mengetahui perbedaan
intensitas cahayanya
c. Catat jenis fauna darat yang terdapat di tumbuhan bakau. Perhatikan
keberadaan fauna tersebut di tempat itu untuk mencari makan, istirahat,
atau tempat tinggal.
d. Perhatikan dan catat jenis fauna laut yang terdapat pada daerah mangrove
baik yang terdapat pada/menempel di perakaran, batang air, maupun di
substrat dasar. Untuk keperluan ini, gunakan seser/serok untuk
menangkap fauna (ikan, udang, kepiting) yang bergerak cepat. Dan
lakukan pula metoda sampling benthos (catat jenis substrat dasarnya).
Sampel substrat dapat disimpan dalam plastik dan dilakukan pengujian di
laboratorium.
e. Bagi fauna (darat/laut) yang belum diketahui jenisnya, awetkan dengan
formalin 10% untuk diidentifikasi di laboratorium.
f. Pengukuran salinitas dilakukan pada air tanah di sekitar mangrove
dilakukan dengan memasukkan sampel tanah ke dalam suntikan dan
mengukur salinitas air yang keluar dari suntikan tersebut.
g. Pengukuran pH dilakukan pada kedalaman tanah mangrove 20 cm dan 40
cm, begitu pula pengukuran suhunya
4. Ulangi langkah-langkah tersebut (1 – 3g) pada daerah lain, sehingga data
yang didapatkan dapat mewakili seluruh hutan bakau di kawasan tersebut.
24
BAB IV
HASIL dan PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Data Mangrove
a. Transek 1 x 1 m
Nama spesies : Kandelia candel
Jumlah
:1
b. Transek 2 x 2 m
 Nama spesies : Bakau Kurap ( Rhizopora mucronata )
Jumlah
:1
 Nama spesies : Bakau Minyak ( Rhizopora apiculata )
Jumlah
:1
c. Transek 5 x 5 m
 Nama spesies : Rhizophora apiculata
Jumlah
:1
 Nama spesies : Avicenia alba
Jumlah
:2
 Nama spesies : Acanthus ebracteatus
Jumlah
:1
 Nama spesies : Bakau Kurap ( Rhizopora mucronata )
Jumlah
:1
d. Transek 10 x 10 m
 Nama spesies : Avicenia alba
Jumlah
:2
 Nama spesies : Bakau Kurap ( Rhizopora mucronata )
Jumlah
:2
 Nama spesies : Rhizophora apiculata
Jumlah
:2
4.1.2. Data Benthos
a. Stasiun 9 (1.1) Medokan
Nama spesies : Littorina angulifera
Jumlah
:1
b. Stasiun 9 (1.2) Medokan
Nama spesies : Uca forcipata
25
Jumlah
:1
c. Stasiun 9 (1.3) Medokan
Nama spesies : Macrophthalmus japonicus
Jumlah
:2
d. Stasiun 9 (2.1) Medokan
Nama spesies : Macrophthalmus japonicus
Jumlah
:1
e. Stasiun 9 (2.2) Medokan
Nama spesies : Episesarma sp
Jumlah
:1
f. Stasiun 9 (2.3) Medokan
Nama spesies : Macrophthalmus japonicus
Jumlah
:2
g. Stasiun 9 (3.1) Medokan
Nama spesies : Macrophthalmus japonicus
Jumlah
:2
h. Stasiun 9 (3.2) Medokan
 Nama spesies
Jumlah
 Nama spesies
Jumlah
 Nama spesies
Jumlah
: Macrophthalmus japonicus
:2
: Metaplax sp.
:1
: Episesarma sp
:1
i. Stasiun 9 (3.3) Medokan
 Nama spesies
Jumlah
 Nama spesies
Jumlah
: Episesarma sp
:1
: Scylla serrata
:1
4.2. Pembahasan
4.2.1. Data Mangrove
a) Acanthus ebracteatus
Nama Inggris
: Holly-leaved
mangrove, sea holly
26
Nama Indonesia
: Jeruju, daruju, jeruju
Nama Lokal
: Daruju (jawa), Jeruju (Sumatra)
Klasifikasi
Kingdom
Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom
Tracheobionta (Tumbuhan
berpembuluh)
Devisi
Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Super Devisi
Magnoliophyta (Tumbuhan
berbunga)
Kelas
Magnoliopsida (berkeping dua /
dikotil)
Ub Kelas
Asteridae
Ordo
Scrophulariales
Family
Acanthaceae
Genus
Acanthus
Spesies
Acanthus Ebracteatus Vahl.
Acanthus Ebracteatus atau Jeruju merupakan sejenis tumbuhan semak
yang banyak terdapat di persekitaran tebing atau muara sungai yang
mengalami air pasang dan surut dan ketinggiannya hingga mencapai 1.5 m.
Daunnya berbentuk daun tunggal dengan bahagian hadapannya bersilang dan
mempunyai duri dibahagian tepi daun. Jeruju biasanya dikembangbiakkan
melalui keratan batang dan biji benih. Penyebarannya dari India sampai
Australia Tropis, Filipina, dan Kepulauan Pasifik Barat. Terdapat di seluruh
Indonesia (Geisen et al, 2006).
Deskripsi/Keterangan
Daun 7-20 x 4-10 cm.

Pinggiran daun umumya rata dan kadang bergerigi
seperti Achantus. ilicifolius.
Bunga 2-2,5 cm

Unit & Letaknya Sederhana, dan berlawanan.

Bentuk lanset, dan ujung meruncing.

Mahkota bunga berwarna biru muda hingga ungu
lembayung cerah, kadang agak putih di bagian ujungnya.

Panjang tandan bunga lebih pendek dari A. ilicifolius.

Bunga hanya mempunyai satu pinak daun utama,
27
karena yang sekunder biasanya cepat rontok. Letak: di
ujung. Formasi: bulir.
Buah

Panjang 2,5- 3
cm,biji 5-7 mm.
Warna buah saat masih muda hijau cerah dan
permukaannya licin mengkilat

Bentuk buah bulat lonjong seperti buah melinjo.
b) Kandelia candel
Klasifikasi
:

Kingdom
: Plantae

Phylum
: Magnoliophyta

Class
: Magnoliopsida

Ordo
: Malpighiales

Family
: Rhizophoraceae

Genus
: Kandelia

Spesies
: Kandelia candel
Kandelia
candel
adalah
pohon
bakau
nasional
dari
keluarga
Rhizophorceae. Hidup di sisi darat hutan mangrove atau di sepanjang sungai
pasang surut, biasanya pada substrat sandier, menempati ceruk sempit.
Daunnya sempit lonjong dengan ujung bulat. Pohon itu memiliki basis batang
menebal tanpa penopang yang tepat atau pneumatophores. Berwarna keabuabuan dengan kulit coklat kemerahan dengan lentisel untuk pertukaran udara.
Bunganya berwarna putih, berkelompok, dichtomously bercabang (Geisen et
al, 2006).
c) Avicenia alba
Klasifikasi
:

Kingdom
: Plantae

Divisi
: Magnoliophyta

Class
: Magnoliopsida

Ordo
: Scrophulariales

Family
: Acanthaceae

Genus
: Avicennia
28

Spesies
: Avicennia alba
Avicennia
alba adalah spesies tropis bakau dari
famili
Acanthaceae . Dalam bahasa Melayu dikenal sebagai Api Api Putih , "api"
yang berarti "api", mengacu pada fakta bahwa bakau ini menarik kunangkunang , dan "putih" yang berarti "putih", merujuk ke bagian bawah pucat
berwarna daun. Mangroveini ditemukan tumbuh di lokasi pantai dan muara
di India, Asia Tenggara, Australia dan Oceania (Geisen et al, 2006).
Avicennia alba membentuk pohon rendah, mahkota lebat padat sering
bercabang dekat pangkal batang. Semak tidak tumbuh lebih dari 20 meter (66
kaki) tinggi. Akar yang dangkal dan mengirim hingga sejumlah besar
berbentuk pensil pneumatophores . Ini akar udara membantu pertukaran gas
dan juga memainkan peranan penting dalam pengecualian dari garam dari
tanaman sistem vaskular . Batang memiliki halus, kulit hitam kehijauan yang
halus pecah-pecah dan tidak mengelupas. Daun hijau tua, 15 cm (6 in)
panjang dan 5 cm (2 in) lebar, memiliki bawah abu-abu keperakan dan
tumbuh di pasang berlawanan. The kecil, bunga kuning oranye, ditanggung
dalam perbungaan racemose, memiliki 4 kelopak dan diameter sekitar 4 mm
(0,16 in) ketika diperluas. Buah kapsul keabu-abuan-hijau dan berbentuk
kerucut dengan paruhnya memanjang hingga 4 cm (1,6 in) panjang. Masingmasing berisi satu biji. Sistem akar secara luas pneumatophores membantu
untuk menstabilkan deposito batu sedimen. Avicennia alba adalah spesies
cepat
tumbuh
dan
kadang-kadang
ditanam,
bersama
dengan Sonneratia dan Rhizophora , untuk membantu mencegah erosi pantai
(Geisen et al, 2006).
d) Bakau Kurap ( Rhizopora mucronata )
Klasifikasi
:

Kingdom
: Plantae

Divisi
: Magnoliophyta

Class
: Magnoliopsida

Ordo
: Rhizophorales

Family
: Rhizophoraceae

Genus
: Rhizopora

Spesies
: Rhizopora
mucronata
29
Deskripsi
: Pohon dengan ketinggian mencapai 27 m, jarang melebihi 30 m.
Batang memiliki diameter hingga 70 cm dengan kulit kayu
berwarna gelap hingga hitam dan terdapat celah horizontal. Akar
tunjang dan akar udara yang tumbuh dari percabangan bagian
bawah (Geisen et al, 2006).
Daun
: Daun berkulit. Gagang daun berwarna hijau, panjang 2,5-5,5 cm.
Pinak daun terletak pada pangkal gagang daun berukuran 5,5-8,5
cm. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips melebar
hingga bulat memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 11-23 x 5-13
cm (Geisen et al, 2006).
Bunga
: Gagang kepala bunga seperti cagak, bersifat biseksual, masingmasing menempel pada gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm.
Letak: di ketiak daun. Formasi: Kelompok (4-8 bunga per
kelompok). Daun mahkota: 4;putih, ada rambut. 9 mm. Kelopak
bunga: 4; kuning pucat, panjangnya 13-19 mm. Benang sari: 8; tak
bertangkai (Geisen et al, 2006).
Buah
: Buah lonjong/panjang hingga berbentuk telur berukuran 5-7 cm,
berwarna hijaukecoklatan, seringkali kasar di bagian pangkal,
berbiji tunggal. Hipokotil silindris, kasar dan berbintil. Leher
kotilodon kuning ketika matang. Ukuran: Hipokotil: panjang 36-70
cm dan diameter 2-3 cm (Geisen et al, 2006).
Ekologi
: Di areal yang sama dengan R.apiculata tetapi lebih toleran terhadap
substrat yang lebih keras dan pasir. Pada umumnya tumbuh dalam
kelompok, dekat atau pada pematang sungai pasang surut dan di
muara sungai, jarang sekali tumbuh pada daerah yang jauh dari air
pasang surut. Pertumbuhan optimal terjadi pada areal yang
tergenang dalam, serta pada tanah yang kaya akan humus.
Merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang paling
penting dan paling tersebar luas. Perbungaan terjadi sepanjang
tahun. Anakan seringkali dimakan oleh kepiting, sehingga
menghambat pertumbuhan mereka. Anakan yang telah dikeringkan
30
dibawah naungan untuk beberapa hari akan lebih tahan terhadap
gangguan kepiting. Hal tersebut mungkin dikarenakan adanya
akumulasi tanin dalam jaringan yang kemudian melindungi mereka
(Geisen et al, 2006).
Penyebaran : Afrika Timur, Madagaskar, Mauritania, Asia tenggara, seluruh
Malaysia dan Indonesia, Melanesia dan Mikronesia. Dibawa dan
ditanam di Hawaii (Geisen et al, 2006).
e) Rhizophora apiculata
Klasifikasi
:

Kingdom
: Plantae

Divisi
: Magnoliophyta

Class
: Magnoliopsida

Ordo
: Rhizophorales

Family
: Rhizophoraceae

Genus
: Rhizopora

Spesies
: Rhizopora apiculata
Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang
mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian
5 meter, dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang.
Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah. Daunnya
berkulit,
warna hijau tua dengan hijau muda pada bagian tengah dan kemerahan di
bagian bawah. Gagang daun panjangnya 17-35 mm dan warnanya
kemerahan. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips
menyempit. Ujung: meruncing. Ukuran: 7-19 x 3,5-8 cm. Bunganya
Biseksual, kepala bunga kekuningan yang terletak pada gagang berukuran
<14 mm. Letak: Di ketiak daun. Formasi: kelompok (2 bunga per kelompok).
Daun mahkota: 4; kuning-putih, tidak ada rambut, panjangnya 9-11 mm.
Kelopak bunga: 4; kuning kecoklatan, melengkung. Benang sari: 11-12; tak
bertangkai. Buah kasar berbentuk bulat memanjang hingga seperti buah pir,
warna coklat, panjang 2-3,5 cm, berisi satu biji fertil. Hipokotil silindris,
31
berbintil, berwarna hijau jingga. Leher kotilodon berwarna merah jika sudah
matang. Ukuran: Hipokotil panjang 18-38 cm dan diameter 1-2 cm (Geisen et
al, 2006).
Tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat
pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur
dengan pasir. Tingkat dominasi dapat mencapai 90% dari vegetasi yang
tumbuh di suatu lokasi. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki
pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Percabangan
akarnya dapat tumbuh secara abnormal karena gangguan kumbang yang
menyerang ujung akar. Kepiting dapat juga menghambat pertumbuhan
mereka karena mengganggu kulit akar anakan. Tumbuh lambat, tetapi
perbungaan terdapat sepanjang tahun. Tersebar di Sri Lanka, seluruh
Malaysia dan Indonesia hingga Australia Tropis dan Kepulauan Pasifik
(Geisen et al, 2006).
4.2.2. Data Benthos
a) Littorina angulifera
Klasifikasi
:

Kingdom
: Animalia

Phylum
: Mollusca

Class
: Gastropoda

Ordo
: Neataenioglossa

Family
: Littorinidae

Genus
: Littorina

Spesies
: Littorina angulifera
Littoraria angulifera adalah spesies siput laut, moluska gastropoda laut
dalam keluarga Littorinidae. Siput ini memili panjang maksimum 41 mm.
Cngkangnya memiliki 6 uliran, besar pertama menempati setengah panjang
siput. Warna bervariasi dari abu kebiru-biruan, melalui cokelat kemerahan
sampai oranye, kuning kusam dan off white. Memiliki bintik-bintik putih di
32
dekat tepi mereka dan juga beberapa garis-garis gelap bersama di lingkaran
terbesar. Spesies ini hidup terutama di atas permukaan laut di cabang-cabang
dan akar prop dari bakau merah (Rhizophora mangle). Littorina anguliffera
merupakan hewan herbivora. Littorina angulifera digunakan sebagai produk
zootherapeutical untuk pengobatan batuk chesty dan sesak napas dalam
pengobatan tradisional Brasil di timur laut Brazil (Setyobudiandi, 1999).
b) Metaplax sp.
Klasifikasi
:

Kingdom
: Animalia

Phylum
: Mollusca

Class
: Crustacea

Ordo
:Decapoda

Family
: Grapsidae

Genus
: Metaplax

Spesies
: Metaplax sp.
Metaplax sp. hidup di antara akar-akar Rhizopora dan substrat
mmangrove yang halus pada tepian saluran air mangrove. Metaplax sp.
menggunakan dua capit besarnya untuk menangkap makanan. Makanannya
adalah cacing bentik yang berukuran kecil. Ukuran tubuh jantan lebih besar
daripada betina. Dia memiliki sepasang capit oranye yang besar, karena itulah
disebut dengan kepiting oranye. Kepiting oranye jantan memiliki entuk
abdomen yang lancip, sedangkan yang etina abdomennya membundar
(Setyobudiandi, 1999).
c) Episesarma sp
Klasifikasi
:

Kingdom
: Animalia

Phylum
: Arthropod

Class
: Crustacea

Ordo
:Decapoda

Family
: Grapsidae

Genus
: Episesarma

Spesies
: Episesarma sp.
33
Besarnya sekepalan tangan orang dewasa kepiting ini memiliki pasangan
anggota tubuh bernama Maksiliped yang digunakan untuk makan. Diameter
lubangnya bisa mencapai 6 cm. Kepiting ini hidup secara berkelompok.
Untuk membedakan satu spesies dengan spesies lainnya kita bisa melihat dari
warna capitnya. Kepiting jantan , memiliki bentuk abdomen perut yang
lancip (Setyobudiandi, 1999).
d) Scylla serrata
Klasifikasi
:

Kingdom
: Animalia

Phylum
: Crustacea

Class
: Malacostrata

Ordo
: Decapoda

Family
: Portunidae

Genus
: Scylla

Spesies
: S. serrata
Kepiting ini dikenal karena rasa yang lezat dan harganya yang mahal.
Memiliki tubuh yang lebar dan melintang. Umumnya Scylla serrata memiliki
bagian yang tidak berbeda dengan udang, tapi pada Scylla serrata bagian
abdomennya tidak terlihat karena melipat ke dadanya. Kaki renangnya sudah
tidak berfungsi sebagai alat renang lagi. Telson dan uropod tidak ada.
Karapaks menyatu dengan epistome, kaki jalan yang pertama menjadi capit
yang kuat, kaki ketiga tidak pernah bercapit, sedangkan bentuk abdomen
betina melebar dan setengah lonjong. Scylla serrata jantan dan betina dapat
dibedakan dengan melihat bentuk abdomennya. Bentuk abdomen jantan lebih
sempit dan meruncing kedepan, sedangkan bentuk abdomen betina melebar
dan setengah lonjong. Scylla serrata biasanya hidup dalam lubang-lubang
atau
terdapat
di
pantai
bakau
(Setyobudiandi,
1999).
e) Uca forcipata
Klasifikasi
:

Kingdom
: Animalia

Phylum
: Arthropoda

Class
: Malacostrata
34

Ordo
: Decapoda

Family
: Ocypodidae

Genus
: Uca

Spesies
: Uca forcipata
f) Macrophthalmus japonicus
Klasifikasi
:

Kingdom
: Animalia

Phylum
: Arthropoda

Class
: Malacostrata

Ordo
: Decapoda

Family
: Macrophtalmidae

Genus
: Macrophthalmus

Spesies
: Macrophthalmus
japonicus
Carapace tertutup oleh butiran besar,
daerah pusat kecil sama sekali tidak memiliki butiran, depan deflexed,
tercekat antara dasar dari peduncles okular, dengan margin halus, jelas
bilobed distal, median alur dalam, margin lateral yang posterior sedikit
konvergen, 2 baik didefinisikan dan 1 samar antero-lateral gigi . Peduncles
mata panjang dan sempit, kornea memanjang sampai dasar eksternal orbital
sudut.
Central region dari epistome . digali Merus ketiga maxilliped nyata
lebih kecil dari iskium . Palm laki-laki cheliped memanjang, wajah luar
dengan deretan tuberkel besar di margin atas, jika tidak halus granular, wajah
batin sangat granular; bergerak jari deflexed, cutting edge proksimal dengan
besar, berbentuk baji, crenulated gigi, setengah distal dengan beberapa
butiran kecil besar dan banyak, pemotongan tepidactylus proksimal dengan
persegi empat besar, gigi crenulated, distal dengan deretan butiran
TBC. Meri dari kaki rawat jalan dengan beberapa rambut; wajah anterior
dari tulang
pergelangan
tangan dan propodusketiga pereiopod telanjang
(Setyobudiandi, 1999).
35
BAB V
KESIMPULAN
5.1.
Kesimpulan
Dari hasil praktiukum dapat kami simpulkan bahwa, tiap-tiap ekosistem memiki
karakteristik yang berbeda-beda, dengan persebaran biota-biota di dalamnya yang
bervariasi dengan bentuk adaptasi masing-masing untuk bertahan hidup pada
habitatnya. Namun parameter-parameter adaptasi perairan ini tak lepas dari berbagai
jenis aktivitas manusia sehingga lingkungan yang semula alami menjadi tak seperti
biasanya. Sehingga biota yang hidup di area tersebut harus mampu menyesuaikan
diri atau mati. Hal inilah yang menyebabkan kelimpahan biota di dalmnya rendah
(tak produktif).
5.2.
Saran
Diharap untuk metode praktikum di tahun-tahun medatang diperhitungkan
dahulu koordinasi perlatan, waktu dan kinerja praktikum, sehingga praktiukum
selanjutnya tidak terjadi missing data yang menyebabkan mahasiswa bingung.
SEKILAS TENTANG
DESKRIPSI TANAMAN
PENYEBARAN
36
Daftar Pustaka

Bengen, D.G. 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (
Pedoman Teknik). Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut-Institusi
Pertanian Bogor. Bogor.(PKSPL,IPB).

Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaannya (sinopsis). Pusat Kajian Sumerdaya Pesisir dan
Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institusi Pertanian Bogor.
Bogor.

Bengen, D.G. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumber daya Alam Pesisir dan
Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumerdaya Pesisir dan
Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institusi Pertanian Bogor.

Chong, KY, HTW Tan & RT Corlett, 2009 A Checklist of Total Vascular
Tanaman Flora Singapura: asli, Spesies Naturalised dan Budidaya . Raffles
Museum
of
Biodiversity
Research,
National
University
of
Singapore. Singapura. 273 hlm

Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zieren & L. Scholten. 2006.Mangrove buku
panduan untuk Asia Tenggara. RAP Publication 2006/07 . Kantor Regional
FAO untuk Asia dan Pasifik & Wetlands International. Bangkok. 769 hlm

Ng, PKL & N. Sivasothi. 1999. Sebuah panduan untuk bakau Singapura 1:
ekosistem
&
keanekaragaman
tumbuhan .Singapore
Science
Centre. Singapura. 168 hlm

Setyobudiandi, I. 1999. Makrozoobenthos: Sampling, Manajemen Sampel
dan Data. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Sheue, C.-R., H.-Y. Liu & JWH Yong. . 2003a Kandelia obovata .
(Rhizophoraceae), spesies mangrove baru dari Asia TimurTakson 52: 287294.
37
Download