BAB 2 - forda

advertisement
BAB 2
Strategi Monitoring PSP
untuk Mencapai Target RAD
dan SRAP Provinsi
Prosiding Workshop Strategi Monitoring dan Pelaporan Plot Sampel Permanen
di Provinsi Sumatera Barat
13
2.1 Program dan Kegiatan Sektor Kehutanan untuk
Mencapai Target Penurunan Emisi
Oleh: Ir. Hendri Octavia, M.Si
Latar belakang atau fakta tercetusnya skema REDD+ adalah terjadinya deforestasi
dan degradasi hutan sebagai penyumbang emisi karbon yang sangat besar di dunia.
Berdasarkan fakta tersebut, maka dunia internasional berinisiatif untuk membuat
skema REDD+. Skema ini diharapkan dapat memberikan kompensasi/insentif bagi
negara-negara yang memiliki hutan tropis dalam upaya konservasi, pengelolaan
hutan berkelanjutan dan peningkatan stok karbon hutannya. Untuk mendukung
skema ini, masyarakat dunia harus saling bahu membahu dalam mengatasi masalah
emisi ini.
Luas kawasan hutan menurut fungsinya di Sumatera Barat (berdasarkan SK.
35/Menhut-II/2013) terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam (KSA/KPA) seluas 806.939 ha, Hutan Lindung (HL) seluas 791.671 ha,
Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 233.211 ha, Hutan Produksi Tetap (HP)
seluas 360.608 ha, Hutan Produksi yang dapat diKonversi (HPK) seluas 187.629 ha
dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 1.849.672 ha. Dari data ini dapat dilihat
jika 56,27% luas daratan di Sumatera Barat didominasi oleh hutan.
Penyebab deforestasi dan degradasi hutan terbagi kedalam 2 (dua) bagian, yaitu
deforestasi yang terencana dan tidak terencana. Kegiatan-kegiatan yang termasuk
dalam deforestasi terencana adalah pemekaran wilayah, konversi hutan karena
RTRW, konversi hutan menjadi APL, izin Kuasa Pertambangan di kawasan hutan
dan izin kebun di kawasan hutan. Sedangkan kegiatan-kegiatan deforestasi yang
tidak terencana diantaranya perambahan hutan, kebakaran hutan dan klaim berujung
konversi. Untuk penyebab degradasi hutan terencana diantaranya IUPHHK HA
dan IUPHHK HT, sedangkan penyebab yang tidak terencana diantaranya panen di
luar jatah/blok, illegal logging, kebakaran hutan yang menyebabkan pembukaan lahan.
Lahan kritis di provinsi Sumatera Barat terbagi kedalam 3 kelas, yaitu kritis,
agak kritis dan sangat kritis. Dari ketiga kelas tersebut, sekitar 1,2 juta ha atau 50%
dari luas hutan merupakan lahan kritis.
Hal-hal yang perlu dilakukan terkait dengan upaya menahan laju deforestasi
dan degradasi (REDD), yaitu:
1.
2.
3.
4.
Mengembangkan kebijakan ramah lingkungan dalam pengelolaan SDH,
Mengembangkan kelembagaan pengelolaan SDH yang kuat dan mandiri,
Memberdayakan masyarakat secara sosial, ekonomi, psikologis dan politik,
Meningkatkan kapasitas SDM pengelolaan SDH,
Prosiding Workshop Strategi Monitoring dan Pelaporan Plot Sampel Permanen
di Provinsi Sumatera Barat
15
5. Mengembangkan pemanfaatan sumber daya alam/hutan yang memperhatikan
prinsip-prinsip kelestarian, dan
6. Melaksanakan penelitian dan pengembangan pengelolaan sumber daya alam/
hutan yang efektif dan efisien.
Hal-hal tersebut diatas perlu dilaksanakan dengan baik untuk mendukung RAD
GRK dan SRAP REDD+ provinsi Sumatera Barat dalam rangka mengurangi emisi
karbon.
Tujuan dasar kebijakan kehutanan di provinsi Sumatera Barat adalah:
1. Menjaga stabilitas lingkungan melalui pelestarian dan restorasi keseimbangan
ekologis kawasan hutan yang terganggu.
2. Mengkonservasi sumber daya hutan melalui pelestarian hutan dengan aneka
flora dan fauna yang mewakili biodiversitas dan sumber daya genetik.
3. Menekan erosi tanah dan penggundulan hutan pada DAS melalui konservasi
tanah dan air untuk mencegah banjir dan kekeringan serta mempertahankan
kualitas dan kuantitas sumber daya air.
4. Meningkatkan tutupan pohon melalui reboisasi dan penghijauan pada hutan
dan lahan kritis.
5. Memenuhi kebutuhan kayu bakar, pakan ternak, kayu dan hasil hutan lainnya
bagi masyarakat pedesaan dan adat.
6. Meningkatkan produktifitas hutan untuk memenuhi kebutuhan daerah dan
nasional.
7. Mendorong pemanfaatan hutan secara efisien dan memaksimalkan substitusi
kayu.
8. Menciptakan gerakan masyarakat secara besar-besaran untuk mencapai tujuan
pembangunan kehutanan dan meminimalkan tekanan terhadap hutan.
Sasaran kebijakan tersebut diantaranya:
1. Hutan yang ada dan lahan hutan harus dilindungi secara penuh dan diperbaiki
produktifitasnya.
2. Tutupan vegetasi hutan harus ditingkatkan terutama pada daerah lereng, daerah
tangkapan air pada sungai, danau dan waduk serta daerah pantai, termasuk pada
lahan-lahan kritis.
3. Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, Hutan
Desa/Nagari, Hutan Rakyat melalui penerapan agroforestry untuk memenuhi
kebutuhan pangan, kayu, dan kebutuhan lainnya.
16
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
4. Optimalisasi pemanfaatan hasil hutan secara berkelanjutan untuk mendukung
kebutuhan daerah.
5. Konservasi biodiversitas, jaringan kerja taman nasional, cagar alam, cagar biosfer
dan kawasan lindung lainnya harus diperkuat dan dikembangkan.
6. Mencukupi kebutuhan pangan, pakan dan kayu bakar bagi masyarakat pedesaan
melalui program penghijauan yang memproduksi pangan, pakan dan kayu bakar
untuk mencegah pengrusakan hutan.
Kebijakan pengelolaan hutan di Sumatera Barat mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Pemantapan kawasan hutan yaitu penataan batas, masih ada resistensi masyarakat
(kasus tanah datar).
2. Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS).
3. Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran.
4. Konservasi keanekaragaman hayati.
5. Revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan.
6. Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan.
7. Mitigasi dana daptasi perubahan iklim sektor kehutanan.
8. Penguatan kelembagaan kehutanan.
Upaya Dinas Kehutanan terkait dengan Penelitian dan pengembangan diantaranya
dengan melaksanakan: 1) Inventarisasi hasil hutan bukan kayu antara lain: Bambu,
Damar, Gaharu, Rotan, Jernang, 2) Kerjasama dengan Puspijak dan BPK Aek nauli
membuat PSP di Simancuang, 3) Pembangunan TSP dan PSP oleh BPKH Medan
pada tahun 2012 sebanyak 10 plot.
2.2 Lesson Learned dari Pembangunan PSP Untuk
Monitoring Karbon Hutan Pada Kegiatan FCPF Tahun
2012
Oleh: Virni Budi Arifanti, S.Hut, M.Sc
Isu perubahan iklim yang terjadi saat ini disebabkan pemanasan global yang
disebabkan oleh peningkatan Gas Rumah Kaca (GRK) di bumi. Di Indonesia,
60% emisi dihasilkan dari perubahan lahan dan kebakaran gambut. Emisi Indonesia
pada tahun 2006 diperkirakan mencapai 1,76 Gt CO2e. Dalam rangka penurunan
emisi tersebut, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26%
dengan kemampuan sendiri atau 41% dengan bantuan internasional.
Prosiding Workshop Strategi Monitoring dan Pelaporan Plot Sampel Permanen
di Provinsi Sumatera Barat
17
Untuk mendukung komitmen Indonesia dalam penurunan emisi, maka
Presiden melalui Perpres No. 61/2011 tentang RAN GRK mengamanatkan
Pemerintah provinsi untuk menyusun RAD GRK. Hampir semua provinsi sudah
selesai menyusun RAD GRK.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan REDD+, perhitungan cadangan
karbon harus memiliki akurasi yang dapat diterima termasuk oleh dunia internasional.
Salah satu alat dalam menghitung cadangan karbon adalah dengan membangun
PSP. Pembangunan PSP dilakukan untuk meningkatkan kualitas data nasional dan
regional dalam rangka mendukung sistem MRV dalam perhitungan karbon dan
emisi.
Tujuan pembangunan PSP yang dilakukan oleh FCPF-Puspijak tahun 2012
adalah:
1. Membangun PSP di berbagai tipe hutan di tingkat Provinsi.
2. Membangun database cadangan karbon untuk setiap tipe hutan di tingkat
Provinsi.
3. Melakukan monitoring cadangan karbon hutan di tingkat Provinsi.
Output dari kegiatan pembangunan PSP ini adalah :
1. Terbangunnya PSP untuk monitoring cadangan karbon di tingkat provinsi.
2. Tersedianya database pertumbuhan pohon pada berbagai tipe hutan.
3. Tersedianya database cadangan biomasa dan karbon di 5 carbon pools (AGB,
BGB, serasah, nekromas, tanah) di tingkat provinsi.
Terdapat 5 kriteria dalam pemilihan lokasi PSP, yaitu: keamanan, aksesibilitas,
keterwakilan, keberlanjutan, dan status kawasan.
Pada tahun 2012, FCPF- Puspijak telah melaksanakan pembangunan PSP
di lima Provinsi dengan berbagai tipe hutan. Kelima Provinsi tersebut diantaranya
sebagai berikut:
1. Provinsi Sumatera Barat telah membuat 15 PSP yang mewakili tipe hutan
sekunder, agroforestry dan semak belukar.
2. Provinsi Sumatera Selatan telah membuat 12 PSP yang mewakili hutan alam
primer, sekunder, hutan rakyat dan hutan gambut sekunder.
3. Provinsi Sulawesi Utara telah membuat 22 PSP yang mewakili hutan pantai,
hutan dataran tinggi, hutan dataran rendah dan hutan lumut.
4. Provinsi Nusa Tenggara Barat telah membuat 22 PSP yang mewakili hutan
pantai, hutan dataran tinggi, hutan dataran rendah dan hutan lumut.
18
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
5. Provinsi Maluku telah membuat 12 PSP yang mewakili hutan alam primer dan
sekunder.
Metode pelaksanaan pembangunan PSP yaitu: 1) Stratifikasi lapangan,
2) Pembangunan PSP, 3) Pengukuran biomasa pada 5 karbon pool: Permukaan atas
tanah, permukaan bawah tanah, serasah dan tumbuhan bawah, tanah, dan kayu mati
(nekromas).
Dari hasil pembangunan PSP di kelima Provinsi dapat diketahui jumlah
cadangan karbon terbesar dan terendah yang dimiliki. Cadangan karbon terbesar
di Sumatera Barat yaitu di hutan sekunder diikuti dengan agroforestri dan semak
belukar. Cadangan karbon terbesar di Sulawesi Utara yaitu di hutan dataran rendah,
diikuti dengan cadangan karbon di hutan lumut dan hutan pegunungan. Hutan
pantai memiliki cadangan karbon yang paling rendah. Cadangan karbon di Nusa
Tenggara Barat terbesar di HKm Santong yaitu di hutan primer, diikuti hutan
sekunder dan hutan terdegradasi. Untuk lokasi di KHDTK Rarung, cadangan
karbon terbesar terdapat pada plot yang mewakili ekosistem ampupu dan yang
terendah pada plot vegetasi campuran. Untuk PSP di lokasi hutan mangrove
Jerowaru karbon tertinggi terdapat pada hutan mangrove vegetasi rapat, diikuti
hutan mangrove vegetasi sedang dan karbon terendah terdapat di mangrove vegetasi
rusak. Cadangan karbon terbesar di Ambon yaitu di hutan primer Pulau Ambon dan
karbon terendah di hutan sekunder Pulau Seram.
Kegiatan monitoring PSP tahun 2013 akan dilaksanakan dengan sumber
pendanaan dari DIPA Puspijak tahun 2013. Untuk tahun-tahun berikutnya
monitoring PSP diharapkan dapat dilaksanakan oleh pihak terkait dengan
pengukuran karbon hutan (Balai Penelitian Kehutanan, Dinas Kehutanan, BPKH,
dan lain-lain).
Kegiatan monitoring dan pelaporan PSP pasca FCPF yaitu pada tahun
2015 akan dilakukan setiap 3 tahun sekali. Laporan hasil monitoring PSP tersebut
diserahkan kepada para pihak terkait dan Puspijak.
Saran-saran yang perlu dilaksanakan terkait dengan pembangunan PSP dan
monitoringnya adalah sebagai berikut:
1. Perlu adanya pelatihan tentang pengukuran biomasa hutan di tingkat masyarakat
2. Perlu dilakukan monitoring cadangan karbon hutan secara periodik
3. Perlu melibatkan pengelola kawasan dan masyarakat sekitarnya
4. Perlu membangun PSP di kawasan yang belum terwakili ekosistemnya
Prosiding Workshop Strategi Monitoring dan Pelaporan Plot Sampel Permanen
di Provinsi Sumatera Barat
19
2.3 Pembangunan PSP pada Berbagai Tipe Tutupan Hutan
di Hutan Nagari Simancuang, Provinsi Sumatera Barat
Oleh: Bambang S. Antoko, S.Hut, M.Si
REDD merupakan skema yang dibuat untuk memberikan kompensasi bagi
negara-negara yang memiliki hutan tropis atas usahanya dalam menurunkan emisi
GRK yang dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan. Seiring berjalannya
waktu skema REDD pun menambahkan komponennya berupa upaya konservasi
hutan dan pengelolaan hutan lestari, yang selanjutnya disebut REDD+.
Saat ini Indonesia sedang berada dalam tahap fase kesiapan dalam skema
REDD+. Dalam rangka mendukung kesiapan Indonesia dalam skema REDD+,
maka FCPF-Puspijak mengalokasikan dana untuk pembangunan PSP di 5 Provinsi
(Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, dan
Maluku). Pembangunan PSP ini bertujuan untuk mendukung sistem MRV.
Pembuatan PSP ini akan membantu provinsi Sumatera Barat dalam melakukan
penghitungan emisi GRK.
Berdasarkan Perpres RI No. 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Inventarisasi GRK Nasional, tugas dan wewenang pemerintah pusat dan daerah
jelas disebutkan dalam pasal 8, 9 dan 10. Pasal 8 menyebutkan Menteri berkewajiban
menyelenggarakan inventarisasi GRK. Pasal 9 menyebutkan Gubernur berkewajiban
menyelenggarakan inventarisasi GRK di tingkat Provinsi. Pasal 10 menyebutkan
Bupati/Walikota berkewajiban menyelenggarakan inventarisasi GRK di tingkat
Kabupaten/Kota.
Pembangunan PSP di Hutan Nagari (HN) Simancuang dibangun pada 5
tutupan lahan, yaitu : kebun kayu manis, hutan sekunder muda, hutan sekunder
ketinggian 800 mdpl, hutan sekunder ketinggian 1200 mdpl dan semak belukar
kebun tradisional yang semuanya dilakukan dengan 3 kali ulangan.
Penghitungan cadangan karbon dalam stratum mengacu pada SNI 744/2011.
Pengukuran karbon dilakukan di 5 karbon pool, diantaranya:
1. Above Ground Biomass yang terdiri dari biomassa tumbuhan dan biomassa
tumbuhan bawah.
2. Biomassa nekromasa (pohon dan kayu mati).
3. Tanah (kedalaman 0-5 cm; 5-10 cm; 10-20 cm; 20-30 cm).
4. Below Ground Biomass (akar tanaman dan KO tanah).
5. Biomassa serasah.
20
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
Perbandingan kandungan biomassa di Hutan Nagari Simancuang termasuk tinggi
yaitu 244,24 Mg/ha.
Dari kelima tutupan lahan, hutan sekunder memberikan kontribusi yang paling
besar dengan kandungan biomasa sebesar 389,18 Mg/ha. Hutan sekunder muda
memiliki kandungan karbon sebesar 198,08 Mg/ha, sedangkan semak belukar dan
kebun tradisional memiliki kandungan karbon terkecil sebesar 21,26 Mg/ha. Nilai
rata-rata kandungan karbon Hutan Nagari Simancuang 108,23 ton/ha. Dugaan
kandungan karbon untuk seluruh kawasan di Hutan Nagari Simancuang yaitu
sebesar 65.734,04 Mg karbon.
Saran – saran yang perlu dilaksanakan terkait PSP yaitu 1) perlu dilakukan
reforetasi pada tipe semak belukar dan kebun tradisional untuk meningkatkan
cadangan karbon, 2) perlu dilakukan pelatihan penghitungan karbon bagi masyarakat
sebagai bentuk pelibatan masyarakat.
2.4 Land Use planning for loW Emission Development
Strategy (LUWES) dan REDD Abacus untuk
Pemantauan Cadangan Karbon
Oleh: Andree Ekadinata, S.Hut, M.Si
Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi pada tahun 2020 adalah sebesar
26%, dan jika dengan bantuan/support dunia internasional maka target tersebut
menjadi 41%.
Beberapa pertanyaan terkait upaya mitigasi perubahan iklim yaitu: 1) Bagaimana
memahami rencana aktivitas pembangunan dan skala prioritasnya?, 2) Bagaimana
mengetahui implikasi rencana pembangunan terhadap tingkat emisi?, 3) Bagaimana
mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi sekaligus menurunkan emisi?, 4)
Apa saja kebijakan yang mendukung strategi pembangunan rendah emisi?
Pembangunan rendah emisi merupakan sebuah sistem ekonomi yang
meminimalisasi output/emisi GRK ke biosfer khususnya gas CO2. Hal ini didorong
oleh adanya perubahan iklim global karena emisi GRK yang disebabkan oleh akitivitas
manusia. Tujuan utama dari pembangunan rendah emisi adalah untuk menghindari
dampak negatif dari perubahan iklim. Diharapkan pembangunan rendah emisi ini
dapat diimplementasikan secara global menuju zero carbon society dan renewable-energ y
economy.
Bagaimanakah cara untuk penurunan emisi dikaitkan dengan pembangunan
nasional atau bagaimana mengaitkan pembangunan/pertumbuhan ekonomi 7%
dengan keinginan menurunkan emisi?. Trade-off sistem pengunaan lahan yaitu idealnya
Prosiding Workshop Strategi Monitoring dan Pelaporan Plot Sampel Permanen
di Provinsi Sumatera Barat
21
cadangan karbon tinggi dan tingkat profitabilitasnya tinggi, akan tetapi kenyataannya
tidak seperti itu. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk menyeimbangkan antara
cadangan karbon dan tingkat profitabilitas.
LUWES merupakan kerangka kerja yang dapat digunakan untuk mendesain
perencanaan penggunaan lahan. Aplikasi LUWES dapat digunakan untuk:
1. Mengintegrasikan pembangunan dengan perencanaan spasial.
2. Menghitung sejarah emisi dari kegiatan berbasis lahan pada masa lampau.
3. Membangun skenario baseline dan memperkirakan REL emisi melalui program
kerja yang dapat menurunkan emisi
LUWES merupakan kerangka kerja yang membantu para pihak lokal untuk
menyusun perencanaan pembangunan yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca
dari kegiatan berbasis lahan, dimana dalam waktu yang sama dapat mempertahankan
pertumbuhan ekonomi. LUWES menawarkan prinsip-prinsip, langkah-langkah,
dan perangkat yang dapat membantu para pihak untuk menegosiasikan perencanaan
penggunaan lahan dengan membangun skenario-skenario yang dibangun berbagai
pihak terkait.
Terdapat 6 (enam) langkah yang dilakukan dalam melaksanakan LUWES,
yaitu:
1. Integrasi kondisi sosial ekonomi, pembangunan, penataan ruang, faktor biofisik
dan zonasi fungsi kedalam penentuan unit perencanaan.
2. Estimasi perubahan penggunaan lahan dan konsekuensinya terhadap cadangan
karbon.
3. Mengembangkan skenario baseline dan menentukan Reference Emission Level
(REL).
4. Menyusun skenario penurunan emisi dan memodelkan emisi di masa yang akan
dating.
5. Trade-off analysis, memilih skenario terbaik dalam mengurangi emisi.
6. Memformulasikan rencana aksi termasuk di dalamnya instrumen untuk
mengimplementasi rencana.
Dalam rangka pemantauan cadangan karbon, ICRAF menciptakan suatu software
bernama REDD Abacus dan dapat diunduh di website ICRAF. Software ini dapat
digunakan untuk menghitung opportunity cost, menganalisis kurva opportunity cost dan
menghitung cadangan karbon, tingkat emisi serta membangun strategi penurunan
emisi. Software ini juga digunakan untuk menghitung emisi dalam penyusunan RAD
GRK di Sumatera Barat.
22
Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi
Terdapat 2 (dua) metode penghitungan emisi, yaitu gain-loss (berdasarkan
proses), pendekatan stock difference.
Tantangan dalam penggunaan metode gain-loss adalah perlu mengintegrasikan
data pertumbuhan dan serapan karbon dari pengukuran tingkat plot ke estimasi
emisi di tingkat landscape menggunakan metode gabungan. Selain itu, perlu
mengintegrasikan perubahan penggunaan lahan pada skala plot kedalam estimasi
emisi dan serapan karbon. Metode stock difference merupakan metode yang paling
banyak digunakan karena merupakan metode yang paling mudah.
Terdapat satu titik lemah dalam penghitungan menggunakan metode ini
yaitu ada bagian yang diasumsikan tidak berubah karbon stoknya, padahal pada
penggunaan lahan yang tidak berubah fungsi juga terjadi perubahan stok karbon,
oleh karena itu disinilah diperlukan pembangunan PSP. Perlu dilakukan pengukuran
cadangan karbon baik di areal hutan maupun di tipe pengunaan lahan lainnya.
Pengukuran cadangan karbon sebaiknya tidak hanya dilakukan di dalam kawasan
hutan, namun juga di luar kawasan hutan. Hal ini penting agar tidak kehilangan
kesempatan untuk memperoleh tambahan cadangan karbon, karena hasil perhitungan
BPK Aek Nauli menunjukkan bahwa di luar kawasan memiliki nilai cadangan karbon
yang cukup tinggi.
Prosiding Workshop Strategi Monitoring dan Pelaporan Plot Sampel Permanen
di Provinsi Sumatera Barat
23
Download