HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA

advertisement
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN
KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam
berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak dalam penerapan kedisiplinan dan
mengajarkan nilai atau norma serta memberikan kasih sayang dan perhatian agar
sikap dan perilaku orang tua dapat dijadikan panutan bagi anaknya (Edwards, 2006).
Menurut Yani dan Wurandiati (2012) pengasuhan (parenting) memerlukan sejumlah
kemampuan interpersonal dan mempunyai tuntutan emosional yang besar, namun
sangat sedikit pendidikan formal mengenai tugas ini. Pola asuh yang diberikan oleh
orang tua merupakan bentuk dari nilai-nilai yang dimiliki oleh sebuah keluarga
mengenai peraturan dan cara pengasuhan kepada anak (Supartini, 2004). Nilai-nilai
dasar yang diberikan melalui pola asuh akan menjadi bekal anak dimasa depan dan
membentuk kepribadian seorang anak di kemudian hari. Peran dalam pengasuhan
anak tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu saja melainkan harus ada kerja sama
antara ayah dan ibu yang seimbang dalam memberikan pola asuh ke anak-anaknya.
Jakarta, pada tanggal 24 Agustus seorang ayah tega menganiaya, memborgol
dan menyekap anak kandungnya sendiri yang berusia 11 tahun. Kekerasan tersbut
dilakukan karena sang anak membolos sekolah selama 4 hari. Anak yang menjadi
korban kekerasan ayahnya ditemukan oleh tetangga sedang menangis dalam keadaan
tangan di borgol dengan luka memar di sekujur tubuhnya (Detik, 2014). Psikolog
anak dan remaja Ratih Zulhaqqi (2014) mengatakan kekerasan fisik seperti memukul
dan mencubit anak sambil memarahi anak dapat berdampak pada psikologis anak,
seperti perasaan cemas, merasa tidak aman dan nyaman dilingkungan, tidak memiliki
rasa percaya diri dan tidak bisa memposisikan dirinya dengan tepat dalam
lingkungannya. Menurut Baumrind (1972., dalam Santrock, 2007) pola asuh orang
1
2
tua di bagi menjadi empat, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, pola asuh
permisif dan pola asuh penelantar. Pola asuh otoriter merupakan pola pengasuhan
anak yang cenderung mengekang anak, tegas, keras, dingin, kaku serta pemaksaan
dimana anak dituntut harus mengikuti peraturan dan perintah dari orang tua
berdasarkan nilai-nilai yang mereka tetapkan dan anak harus mematuhinya. Orang
tua akan memperlihatkan emosi dan kemarahannya jika anak tidak mengikuti
peraturan atau perintah yang ditetapkan olehnya. Pola asuh demokratis adalah pola
asuh orang tua pada anak yang memberikan kebebasan berkreasi, bertindak serta
berpendapat sesuai dengan keinginan dan kemampuan sang anak untuk
mengekspresikan apa yang menjadi keinginan anak dimana orang tua tetap
memberikan pengarahan dan pengawasan kepada anak dengan adanya saling
mendengarkan dan berkomunikasi secara dua arah. Pola asuh permisif adalah pola
asuh dimana orang tua hampir dikatakan tidak pernah atau jarang mengontrol
kegiatan, keinginan serta perilaku yang di inginkan oleh anaknya. Orang tua
memberikan kebebasan bagi anaknya tanpa mempertimbangkan hal-hal yang baik
dan buruk yang akan berdampak atau terjadi dikemudian hari. Orang tua hanya
beperan sebagai sumber informasi bagi anak bukan sebagai role model. Pola asuh
penelantar adalah orangtua yang memiliki interaksi sedikit dengan anak, cenderung
mengabaikan perkembangan fisik dan psikis anak. Orang tua dengan pola asuh
penelantar
biasanya
lebih
mementingkan
kepentingan
pribadinya
tanpa
memperdulikan apa yang terjadi pada anak dan apa yang dialami oleh seorang anak
(Baumrind, 1972., dalam Santrock ,2007).
Widayanti dan Iryani (2005) menyatakan ketika pola asuh yang diterapkan
kepada anak merupakan pola asuh yang benar tentu akan membentuk perilaku dan
kepribadian yang baik bagi anak, sedangkan bila orang tua salah dalam menetapkan
pola asuh maka akan berdampak tidak baik bagi perkembangan moral anak, karena
akan mengakibatkan anak berperilaku menyimpang yang mengarah pada kenakalan
anak dan kepribadian yang tidak baik ketika masa remajanya. Menurut Santrock
(2007) remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam
masa remaja ini anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun
psikisnya. Mereka bukanlah seorang anak-anak jika dilihat dari bentuk badan
ataupun cara berfikir dan bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah
matang. Menurut Menurut Menurut Papalia, Olds & Feldman (2008) terdapat 3 fase
3
perkembangan remaja, yaitu: remaja awal (12-14 tahun) , remaja pertengahan (15-18
tahun), dan remaja akhir (19-21 tahun). Remaja pertengahan adalah remaja yang
masih memperlihatkan perilaku yang bersifat kekanak-kanakan dimana remaja
tersebut mulai menyadari bahwa terdapat unsur baru dari kepribadian dan perubahan
fisik sendiri. Menurut Fuhrmann (1990., dalam Retnowati, 2012) terdapat beberapa
tugas-tugas perkembangan remaja yang harus diselesaikan pada masa perkembangan
remaja, yaitu: mencapai hubungan yang baru dan lebih memaknai pertemanan sebaya
baik sesama jenis maupun lawan jenis, mencapai peran sosial maskulin dan feminin,
menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif, mencapai
kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya, mencapai
kepastian untuk mandiri secara ekonomi, memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri
untuk bekerja, mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan
keluarga, mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk
tercapainya kompetensi sebagai warga negara, menginginkan dan mencapai perilaku
yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial dan memperoleh rangkaian sistem
nilai dan etika sebagai pedoman perilaku. Remaja mulai menentukan nilai-nilai
tertentu yang dapat ia jadikan perenungan terhadap pemikiran filosofi dan etis.
Remaja pertengahan juga turut memperkuat pendirian dan kemantapan diri sendiri.
Rasa percaya diri pada remaja menimbulkan penilaian tersendiri terhadap tingkah
laku yang dilakukannya untuk menemukan jati dirinya. Menurut Fuhrmann (1990.,
dalam Retnowati, 2012) menyebutkan tekanan-tekanan ketika seorang remaja gagal
dalam memenuhi tugas perkembangannya akan menimbulkan perilaku seperti
membuat mereka mudah mengalami gangguan, baik berupa gangguan pikiran,
perasaan maupun gangguan perilaku dan kecemasan.
Menurut Freud (1926., dalam Alwisol, 2005) mengatakan bahwa kecemasan
adalah fungsi dari ego yang menjadikan remaja merasa sesuatu hal buruk akan
dihadapi sehingga secara tidak sadar mempersiapkan reaksi adaptif yang sesuai.
Kecemasan dikomunikasikan secara interpersonal serta merupakan hasil peringatan
dari upaya diri individu untuk memelihara keseimbangan diri setiap individu
(Suliswati, 2005). Kecemasan adalah respon emosi kebingungan dan kekhawatiran
pada suatu objek yang tidak nyata dengan dirasakannya perasaan tidak menentu dan
tidak berdaya yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara
interpersonal (Suliswati, 2005). Pendapat yang hampir sama disampaikan oleh Ayres
4
dan Bristow (2008) bahwa kecemasan adalah rasa atau perasaan tidak nyaman dan
khawatir tentang ancaman yang berupa ancaman fisik atau psikologis yang muncul
secara alami.
Ada beberapa kecemasan yang dimiliki oleh remaja, salah satunya adalah
kecemasan komunikasi yang biasanya muncul ketika sedang berinteraksi dengan
orang lain. Kecemasan komunikasi dalam realitasnya merupakan perilaku yang
cukup normal, namun apabila kecemasan tersebut sudah mengarah ke sifat patologis
(keadaan sakit; abnormal) maka individu tersebut akan menerapkan perilaku yang
tidak seharusnya, seperti selalu berusaha untuk tidak berkomunikasi atau
menghindari komunikasi yang seharusnya dilakukan dengan orang lain (Suliswati,
2005). Ketika gugup (nervous), individu mungkin menunjukkan secara terbuka
indikasi-indikasi dari inner arousal mereka (misalnya gemetar, gelisah), menghindari
individu lain, dan gangguan pada perilaku-perilaku lain yang terus-menerus
(misalnya tidak lancar berbicara, kesulitan konsentrasi). Sehingga berakibat,
kecemasan adalah suatu kekurangan dalam hubungan sosial, karena individu yang
gugup (nervous) dan terhambat mungkin menjadi kurang efektif secara sosial.
Individu yang mengalami kecemasan dalam melakukan komunikasi akan
memiliki beberapa karaktersitik. Burgoon dan Ruffner (1978., dalam Fathunnisa,
2012) menjelaskan karakteristik individu yang mengalami kecemasan komunikasi,
yaitu unwillingness, avoiding, control. Unwillingness adalah ketidaksediaan individu
untuk melakukan komunikasi kemudian akan menarik diri ketika berada dalam
situasi yang membutuhkan komunikasi, memilih tidak berpartisipasi ketika diminta
untuk berkomunikasi, memilih untuk tidak berbicara atau diam ketika diminta untuk
berkomunikasi dalam situasi komunikasi. Avoiding berupa penghindaran dari
partisipasi karena pengalaman komunikasi yang tidak menyenangkan, dengan
indikasi dimana individu mengalami perasaan tidak nyaman dalam diri ketika
menghadapi peristiwa yang membutuhkan komunikasi dari lingkungannya,
mendapat rangsangan negatif untuk melakukan komunikasi dalam situasi
komunikasi, rangsangan tersebut berhubungan dengan ketakutan. Control yang
dimaksud adalah pengendalian terhadap situasi komunikasi dimana individu akan
menghindari situasi atau keadaan yang memerlukan komunikasi, individu yang
mengalami kecemasan komunikasi akan memilih untuk tidak terlibat dan tidak ikut
5
berada dalam situasi yang membutuhkan komunikasi (Burgoon dan Ruffner, 1978,.
dalam Fathunnisa, 2012).
Kecemasan komunikasi yang dialami individu dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Menurut Powell dan Powell (2010), faktor yang mempengaruhi munculnya
kecemasan komunikasi salah satunya adalah Reinforcement, dimana kecemasan
komunikasi dipengaruhi oleh seberapa sering individu mendapat penguatan untuk
melakukan komunikasi dari lingkungan sekitarnya. Individu yang menerima
reinforcement positif dalam komunikasi akan dapat mengurangi kecemasan
komunikasi, sedangkan individu yang jarang diberikan kesempatan untuk melakukan
komunikasi dan tidak didorong untuk berkomunikasi akan mengembangkan sikap
negatif mengenai komunikasi sehingga muncul kecemasan komunikasi.
Kegagalan
remaja
untuk
menguasai
keterampilan
sosialnya
dalam
berkomunikasi akan menimbulkan perasaan sulit untuk melakukan interaksi sosial
yang menyebabkan kecemasan komunikasi dan menimbulkan rasa rendah diri,
dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku anormatif misalnya, asosial
ataupun anti-sosial. Bahkan lebih ekstrem bisa menyebabkan terjadinya gangguan
jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, perilaku menyimpang, dan sebagainya
(Resmi, 2005., dalam Agustina & Nashori, 2008). Salah satu faktor yang paling
mempengaruhi perkembangan pola pikir seorang remaja sehingga menimbulkan
perilaku yang tidak wajar seperti kecemasan komunikasi adalah peranan orang tua
dalam memberikan pola asuh, maka peneliti ingin meneliti mengenai hubungan
antara pola asuh orang tua terhadap kecemasan komunikasi remaja.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka peneliti mengambil
rumusan permasalah sebagai berikut :
Adakah Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat Kecemasan
Komunikasi Remaja di Jakarta.
6
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan teoristis dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran
empirik melalui pengumpulan data mengenai hubungan antara pola asuh orang tua
dengan kecemasan komunikasi pada remaja di Jakarta.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pihak orang tua untuk memberikan pola asuh yang sesuai agar menjadi bekal
anaknya kelak. Lalu penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi
dunia pendidikan dalam membantu orang tua mendidik anaknya.
Download