II.1. Sindrom Koroner Akut II.2. Angina Pektoris 1. Defenisi

advertisement
II.1. Sindrom Koroner Akut
Sindrom koroner akut adalah sekumpulan keluhan gejala dan tanda klinis yang sesuai
dengan iskemia miokard akut. Sindrom koroner akut merupakan suatu spektrum dalam
perjalanan penderita penyakit jantung koroner (aterosklerosis koroner) dapat berupa: angina
pektoris tidak stabil, infark miokard dengan non-ST elevasi, infark miokard dengan ST elevasi
atau kematian jantung mendadak.1
II.2. Angina Pektoris
1. Defenisi
Angina pektoris adalah suatu nyeri didaerah dada yang biasanya menjalar ke bahu dan
lengan kiri yang disebabkan oleh menurunnya suplai oksigen ke jantung.2
2. Macam-macam Angina Pektoris
A. Classical effort angina (angina klasik)
Pada nekropsi biasanya didapatkan aterosklerosis koroner. Pada keadaan ini, obstruksi
koroner tidak selalu menyebabkan terjadinya iskemik seperti waktu istirahat. Akan tetapi bila
kebutuhan aliran darah melebihi jumlah yang dapat melewati obstruksi tersebut, akan tetapi
iskemik dan timbul gejala angina. Angina pektoris akan timbul pada setiap aktifitas yang dapat
meningkatkan denyut jantung, tekanan darah dan atatus inotropik jantung sehingga kebutuhan
O2 akan bertambah seperti pada aktifitas fisik, udara dingin dan makan yang banyak.3
2. Variant angina (angina Prinzmetal)
Bentuk ini jarang terjadi dan biasanya timbul pada saat istirahat, akibat penurunan suplai
O2 darah ke miokard secara tiba-tiba. Penelitian terbaru menunjukkan terjadinya obsruksi yang
dinamis akibat spasme koroner baik pada arteri yang sakit maupun yang normal. Peningkatan
obstruksi koroner yang tidak menetap ini selama terjadinya angina waktu istirahat jelas disertai
penurunan aliran darah arteri koroner.3
3. Unstable angina (angina tak stabil / ATS)
Istilah lain yang sering digunakan adalah Angina preinfark, Angina dekubitus, Angina
kresendo. Insufisiensi koroner akut atau Sindroma koroner pertengahan. Bentuk ini merupakan
kelompok suatu keadaan yang dapat berubah seperti keluhan yang bertambah progresif,
sebelumnya dengan angina stabil atau angina pada pertama kali. Angina dapat terjadi pada saat
istirahat maupun bekerja. Pada patologi biasanya ditemukan daerah iskemik miokard yang
mempunyai ciri tersendiri. Pada makalah ini terutama akan dibicarakan mengenai pengenalan
ATS karena ATS adalah suatu sindroma klinik yang berbahaya dan merupakan tipe angina
pektoris yang dapat berubah menjadi infark miokard ataupun kematian.3
Sindroma ATS telah lama dikenal sebagai gejala awal dari infark miokard akut (IMA).
Banyak penelitian melaporkan bahwa ATS merupakan risiko untuk terjadinya IMA dan
kematian. Beberapa penelitian retrospektif menunjukkan bahwa 60-70% penderita IMA dan 60%
penderita mati mendadak pada riwayat penyakitnya mengalami gejala prodroma ATS. Sedangkan
penelitian jangka panjang mendapatkan IMA terjadi pada 5-20% penderita ATS dengan tingkat
kematian 14-80%. ATS menarik perhatian karena letaknya di antara spektrum angina pektoris
stabil dan infark miokard, sehingga merupakan tantangan dalam upaya pencegahan terjadinya
infark miokard.
Angina pektoris tak stabil adalah suatu spektrum dari sindroma iskemik miokard akut
yang berada di antara angina pektoris stabil dan anfark miokard akut. Terminologi ATS harus
tercakup dalam kriteria penampilan klinis sebagai berikut :
A. Angina pertama kali.
Angina timbul pada saat aktifitas fisik. Baru pertama kali dialami oleh penderita dalam
priode 1 bulan terakhir.3
B. Angina progresif.
Angina timbul saat aktifitas fisik yang berubah polanya dalam 1 bulan terakhir, yaitu
menjadi lebih sering, lebih berat, lebih lama, timbul dengan pencetus yang lebih ringan dari
biasanya dan tidak hilang dengan cara yang biasa dilakukan. Penderita sebelumnya menderita
angina pektoris stabil.3
C. Angina waktu istirahat.
Angina timbul tanpa didahului aktifitas fisik ataupun hal-hal yang dapat menimbulkan
peningkatan kebutuhan O2 miokard. Lama angina sedikitnya 15 menit.1,3
D. Angina sesudah IMA.
Angina yang timbul dalam periode dini (1 bulan) setelah IMA. Kriteria penampilan klinis
tersebut dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersama-bersama tanpa adanya gejala IMA. Nekrosis
miokard yang terjadi pada IMA harus disingkirkan misalnya dengan pemeriksaan enzim serial
dan pencatatan EKG.3
3. Patofisiologi Aterosklerosis
Beberapa bukti menunjukan bahwa aterosklerosi adalah proses inflamasi kronik. Proses
ini meliputi bebrapa tahap :

Endothelial Dysfunction (tidak berfungsinya endotel)
Banyak penelitian mengatakan bahwa “injury” pada endotel arteri adalah awal permulaan
terbetuknya aterosklerosis. Pada keadaan normal sel endotel akan menghasilkan enzim NO (nitic
oxide) yang mana berguna sebagai endogen vasodilator, mencegah aggregasi trombosit, dan antiinflamasi. Selain itu sel endotel juga menghasilkan enzim anti-oxidant.4
Endotel bisa mengalami disfungsi bisa diakibatkan oleh paparan agen “toxic” dari bahan
kimia lingkungan. Contoh: asap rokok, kadar lipd yang abnormal di dalam sirkulasi, atau karena
penyakit diabetes, semua itu diketahui sebagai faktor resiko aterosklerosis.4
Beberapa faktor fisik dan kimia akan mempengaruhi fungsi dari endotel dengan
manifestasi
1. Melemahnya barier pertahanan endotel.
2. Keluarnya sitokin inflamasi
3. Meningkatnya perlengkatan molekul
4. Berubahnya substansi vasoaktif (prostacyclin dan No)
Itu semua adalah efek dan tidak berfungsinya sel endotel.
 Lipoprotein Entry and Modification (masuknya lipoprotein dan perubahanya)
Lipoprotein adalah suatu lemak pengangkut di aliran yang tidak larut air. Disekelilingnya
terdapat banyak hidrophilic phospolipid, colesterol bebas dan lipoprotein. Ada 5 kelas dari
lipoprotein:4
1. Kilomikron
2. VLDL (verry-low density lipoprotein)
3. IDL (intermediate density lipoprotein)
4. LDL (low-density lipoptein)
5. HDL (high-density lipoprotein)
Ketika sel endotel mengalami disfungsi, hal ini menyebabkan tidak efektif sehingga hal
ini berpengaruh dalam lipoprotein, dan menyebabkan lipoprotein lebih lama dalam aliran darah.
Oxidation adalah tipe yang pertama dari perubahan dari LDL diruang subendotel. Perubahan
efek biokimia tersebut menyebabkan hal berikut, 1) Perubahan LDL menjadi mLDL, perubahan
ini akan menarik sel monosit kedalam diding sel sikulasi. 2) mLDL akan memacu endotel untuk
menghasilkan mediator inflamasi.4
 Recruitment of Leukocytes
Proses masuknya dan perubahan biokimia LDL, ini adalah kunci dari proses aterogenesis
yang mencakup melekatnya leukosit, terutama adalah monosit dan limfosit T di dalam dinding
sel pembuluh darah.
Setelah monosit melekat dan masuk ke ruang subendotel, monosit berubah menjadi
makrofag, agar mampu memfagosit dan memakan dari modifikasi LDL (mLDL). Namun hal ini
akan merubah LDL menjadi foam, ini adalah awal dari komponen aterosklerosis yang disebut
fatty streak.4
 Recruitment of smooth Muscle Cells
Perubahan dari fatty streak menjadi plak fibrous melibatkan pindahnya sel otot halus dari
tunika media ke tunika intima yang telah mengalami injuri, kemudian sel otot halus
berproliferasi di dalam lapisan intima, dan mensekresikan jaringan pengikat.4
A complex set of inflammatory cytokines derived from different cellular components
(macrophages, smooth muscle cells, platelets, endothelial cells, dendritic cells, T lymphocytes,
and mast cells) play roles in initiation and progression of atherosclerosis.5
Berikut secara ringkas mekanisme aterosklerosis :
Endothelial disfungtion à akumulasi lipoprotein LDL di dalam tunika intima à
modifikasi LDL (oleh oksidasi atau olycation) à stress oksidatif termasuk mLDL
menginduksi ekitorasi sitokin local à sitokin menginduksi peningkatan ekspresi molekul
adesi yang mengikat lukosit dan molekul MCP-1 ( monocyte chemoatractant protein 1 )
à migrasi leukosit kedalam tunika intima oleh karena MCP-1 à makrofag colony
stimulating factor ( M-CSF ) memperbanyak ekspresi dan scanvenger receptors makrofag
à scavenger receptor menangkap mLDL dan promote pembentukan Foam Cells.
Makrofag foam cells adalah sumber sitokin ekstra dan molekul efektor seperti superoxide
onion ( O₂-) dan matriks metalloproteinase à sel otot polos bermigrasi ke tunika intima (
tunika intima jadi lebih tebal) à sel otot polos tunika intima membelah dan
memperbanyak matriks ekstraseluler à akumulasi matriks dalam plaque aterosklerosis
yang sedang tumbuh à fatty streat dapat berkembang menjadi Fibrofatty Lession à
pada stadium selanjutnya kalsifikasi dapat terjadi dan proses fibrosis terus berlanjut
kadang-kadang di isi dengan sel otot polos mati ( apoptosis ) membentuk kapsyl fibrosa
aseluler yang mengelilingi inti kaya lipid yang mungkin mengandung sel mati .4
4. Manifestasi Klinis
Nyari dada yang menjalar ke bahu adalah salah satu manifestasi klinis. Dengan kriteria
sebagai berikut:
 Qualitas nyari
Rasa tertekan/tertindih1,4
Rasa tidak nyamanan/kesusahan/kegelisahan1,4
Rasa seperti kesempitan1,4
Rasa berat1,4
 Lokasi
Nyeri angina pektoris biasanya pasien tidak mengetahui letak sumber nyeri (diffuse), dan
biasanya letak nyeri berlokasi di retrosternal, atau di perikardium kiri. Tetapi nyeri bisa
menjalar ke dada, punggung, leher, rahang bawah atau perut bagian atas. Rasa nyeri

biasanya tidak lebih dari 10 menit.1,4
Gejala yang menyertai
Takikardi4
Diaphoresis4
Rasa mual4
5. Mekanisme Nyari Dada
Rasa nyeri di daerah dada dan perut di pengaruhi oleh saraf intercostales (T1-12), nervus
sympatikus dan nervus parasimpatikus. Rasa nyeri jantung biasanya dirasakan dari Th 1-4, yang
dinamakan serabut sensorik atau viseral averen. Badan sel berada di dalam ganglion posterior
yang sama, sehingga bila di daerah viseral mengalami suatu cidera maka rasa nyeri tersebut akan
terasa di bagian perifer.7
Gambar . Persarafan jantung dan cabang-cabang persarafannya.
6. DD angina pectoris
1. Cardiovaskular :
SKA (sindrom koroner akut)
Perikarditis
Temponade jantung
Aritmia4
2. Pulmonary :
Emboli paru
Infark paru
Abses paru
Pneumotoraks
Pleuritis4
3. Gastrointestinal :
Refluks gastrointestinal esofangeal
Ulkus peptikum4
4. Gangguan pada dinding toraks
Servical radiculitis4
7. Faktor Resiko Aterosklerosis
Banyak studi populasi yang dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan spesifik
terhadap perkembangan dari arterosklerosis. Contohnya, studi jantung Framingham telah
melakukan penelitian terhadap hubungan antara factor resiko dengan kejadian penyakit
kardiovaskuler. Sumber data yang lainnya, MRFIT melakukan pemantauan terhadap 325 ribu
pria untuk mengevaluasi tentang hubungan antara faktor risiko terhadap timbulnya penyakit
kardiovaskuler dan angka rata-rata kematian penduduk. Studi ini mengidentifikasi faktor utama
dan yang potensial dapat diubah sebagai penyebab arterosklerosis. Antara lain : 1) Level lipid
yang abnormal dalam sirkulasi (dislipidemia), 2) hipertensi, 3) merokok, 4) diabetes mellitus.4
Faktor risiko utama yang tidak dapat diubah antara lain adalah umur, jenis kelamin lakilaki, dan riwayat penyakit penyakit jantung koroner pada anggota keluarga diusia muda (anggota
keluarga laki-laki muda dari usia 55 tahun atau anggota keluarga perempuan yang lebih muda
dari usia 65). Faktor risiko tambahan yang dapat diubah antara lain obesitas dan jumlah aktivitas
fisik. Baru-baru ini marker penentu yang berhubungan dengan perkembangan arterosklerosis dan
sedang dievaluasi sebagai factor risiko baru adalah naiknya jumlah hal-hal berikut dalam
sirkulasi : 1) Metabolite asam amino homocysteine, 2) pertikel lipoprotein khusus, dan 3) marker
inflamasi tertentu yang terdiri atas reaktan fase akut dar C-reaktif protein.4
A. Faktor Resiko Mayor
1. Dislipidemia
Jumlah lipid yang abnormal dalam sirkulasi menjadi bukti tetap dan terbesar sebagai
faktor risiko utama terhadap perkembangan arterosklerosis. Studi observasional telah
menunjukkan hubungan antara negara dengan konsumsi asam lemak jenuh rendah dengan
jumlah kolesterol serum yang rendah (contohnya Jepang dan Negara-negara di Mediterania),
Amerika serikat dan Negara lainnya dengan konsumsi lemak jenuh dan kolesterolnya tertinggi
memiliki angka kematian yang tinggi terhadap penyakit jantung koroner.4,7,8
Data yang sama dari studi Framingham menunjukkan bahwa risiko penyakit jantung
iskemik meningkat seiring dengan total kolesterol serum yang tinggi. Risiko penyakit jantung
koroner meningkat kira-kira dua kali lipat pada individu yang level total kolesterolnya 240
mg/dL dari pada individu yang level kolesterolnya 200 mg/dL.4
Namun, tidak semua kolesterol yang terikat lipoprotein berbahaya. Faktanya, kolesterol
memiliki berbagai fungsi penting dalam fisiologi normal. Semua sel membutuhkan kolesterol
untuk membentuk membran dan mempertahankan cairan pada fosfolipid bilayer. Beberapa sel
menggunakan kolesterol untuk mensintesis produk tertentu, seperti hormone steroid dan garam
empedu.4
Normalnya, kandungan kolesterol intraseluler dipertahankan dengan memperketat
regulasi asupan kolesterol, sintesis de novo, penyimpanan, dan membuangnya dari sel. Enzim
HMG CoA reductase adalah langkah untuk membatasi biosintesis kolesterol intraseluler dan
dikontrol oleh reseptor terkait endositosis dari partikel LDL sirkulasi. Level kolesterol yang
tinggi dapat menghambat enzim HMG CoA reduktase dan sinyal sel untuk mengurangi produksi
reseptor LDL. Jumlah kolesterol intraseluler yang cukup pada sel perifer selalu dipicu oleh
peningkatan produksi Cholesterol efflux regulatory protein (CERP), produk yang baru-baru ini
teridentifikasi adalah gen ATP binding Cassette 1 (ABC A-1). CERP memediasi transfer
kolesterol membran ke partikel HDL, yang mengirim kolesterol berlebih kembali ke hati dalam
proses yang dikenal sebagai transport balik kolesterol. Dengan kemampuan ini dapat membuang
lipid intraseluler, HDL melindungi lagi akumulasi lipid, dan level HDL serum berbanding
terbalik dengan kejadian penyakit arterosklerotik. HDL sering juga disebut sebagai “ kolesterol
baik.”4
Sebaliknya, jumlah LDL yang tinggi berhubungan dengan meningkatnya kejadian
arterosklerosis dan penyakit kardiovaskuler. Saat jumlahnya berlebihan, LDL dapat terakumulasi
di rongga subendothelial dan mengalami modifikasi kimia dan merusak tunika intima
mengakibatkan perkembangan arterosklerosis. LDL sering disebut juga “ Lemak Jahat.“4
Kenaikan LDL serum dapat disebabkan berbagai alas an, termasuk diet tinggi lemak atau
dikarenakan kerusakan pada mekanisme penghambatan reseptor LDL. Pasien dengan kerusakan
genetic reseptor LDL (biasanya heterozigot dengan satu normal dan satu kerusakan gen yang
mengkode reseptor) tidak dapat membuang LDL dari sirkulasi dengan efisien. Keadaan ini
disebut familial hiperkolesterolemia, dan begitu juga dengan individu yang memiliki LDL
plasma tinggi dan berkembang menjadi arterosklerosis premature. Homozigot yang kekurangan
reseptor LDL total dapat bertahan selama decade pertama kehidupan.4
Baru-baru ini, subkelas dari LDL sirkulasi telah diidentifikasi berdasarkan jumlah
partikel. Peneliti telah meneliti bagaimana partikel LDL padat lebih banyak dibandingkan
partikel LDL besar meningkatkan risisko infark miokard lebih tinggi, LDL kecil berhubungan
dengan penyakit koroner, dan dapat dijadikan sebagai marker untuk kelainan Lipid. Secara
klinis, pengukuran untuk ukuran partikel LDL jarang digunakan, sejak nilai trigliserida yang
tinggi dan level HDL yang rendah berhubungan dengan partikel LDL padat.4
Meningkatkan bukti keterkaitan trigliserida kaya lipoprotein, seperti VLDL dan IDL,
dalam perkembangan arterosklerosis. Belum sepenuhnya jelas jiak partikel ini ikut andil secara
langsung dalam aterogenesis atau secara sederhana ikut serta bersama dengan rendahnya level
kolesterol HDL. Untuk catatan, lemahnya kontrol diabetes mellitus tipe II sering berhubungan
dengan hipertrigliseridemia rendahnya level HDL, sering diikuti dengan obesitas sentral
(meningkatnya ukuran lingkar abdomen) dan hipertensi. Gabungan dari factor risiko tersebut
dapat berhubungan dengan ketahanan insulin dan khususnya atherogenik. Penyebab sekunder
dari rendahnya level lipid serum terkait dengan penyakit tiroid, ginjal, dan hati.4

Batas Nilai Kolesterol Normal
Nilai kolesterol normal sangat bervariasi secara geografis. Di negara-negara Asia-Afrika,
makanan sehari-hari umumnya mengandung lebih sedikit kalori, lemak hewani dan protein.
Dengan demikian, nilai tersebut umumnya lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara
Barat, misalnya kadar kolesterol total masing-masing rata-rata 3,9 mmol/l (= 150 mg%) dan 5,2
mmol/l (= 200 mg%). Pada tabel 2 diberikan angka-angka yang dianggap normal bagi Indonesia
dan negara-negara Barat, serta angka yang meningkat di atas normal.
Semua bayi dilahirkan dengan kadar kolesterol rata-rata 80-100 mg% (2-2,6 mmol/l)
yang selama pertumbuhan berangsur-angsur naik sampai k.l. 150 mg% (3,9 mmol/1). Di negara
berkembang, pada umumnya kadar menetap di tingkat ini, sedangkan di negara Barat nilainya
terus meningkat sampai rata-rata 220 mg% (5,8 mmol/1). Kenaikan tersebut secara fisiologis
tidak normal dan diperkirakan ada hubungan kausal dengan susunan makanan yang tak tepat,
khususnya mengandung terlampau banyak lemak jenuh.
2. Merokok
Merokok dapat memicu terjadinya aterosclerosis, melingkupi meningkatnya proses
oksidasi modifikasi dari LDL dan menurunkan HDL dalam sirkulasi. Kelainan disfungsi endotel
pembuluh darah disebabkan karena jaringan tersebut mengalami hipoksia dan peningkatan
adhesi dari trombosit, peningkatan molekul leukosit dan respon inflamasi stimulasi yang tidak
sesuai dari nervus simpotikus oleh nikotin dan perpindahan dari oksigen menjadi karbon
monoksida pada hemoglobin. Dari percobaan yang dilakukan pada hewan merokok mempunyai
konstribusi dalam terjadinya aterosklerosis.4,7,8
Secara kebetulan penghentian terhadap kebiasaan merokok bisa merubah efek buruknya.
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa seseorang yang sudah berhenti merokok dapat
mengurangi terjadinya aterosklerosis dari pada orang yang merokok. Salah satu studi
mengatakan bahwa, setelah 3 tahun berhenti merokok resiko terkena penyakit jantung koroner
menjadi sama dengan orang yang tidak pernah merokok.4
3. Diabetes melitus
Diabetes meningkatkan resiko terjadinya aterosklerosis dan orang dengan diabetes
melitus memiliki 2-3 kali peningkatan kemungkinan terjadi gangguan pada kardiovaskular.
Mekanismenya bisa berhubungan dengan non-enzim glycation dari lipoprotein pada pasien
diabetes (hal tersebut berhubungan dengan besarnya ambilan kolesterol oleh makrofag
scavenger) atau kecenderungan protrombotik dan anti fibrinolitik. Keadaan tersebut mungkin
banyak terjadi pada pasien dengan kondisi ini.4,7
Seseorang dengan diabetes seringkali memiliki fungsi endotel yang lemah ini dapat
diukur dari menurunnya bioavailabilitas dari NO dan meningkatnya perlekatan leukosit. Contoh :
kadar serum glukosa yang terjaga pada pasien diabetes mengurangi resiko komplikasi
mikrovaskuler antaralain seperti retinophati dan neprophaty.4
Diabetes tipe- II adalah bagian tersering dalam syndrom metabolik dalam hal ini
berhubungan dengan hipertensi, kadar lemak yang abnormal (hipertrigliserida, HDL rendah,
partikel LDL padat) dan bertambahnya ukuran lingkar perut.4
Kunci pada sindrom adalah adanya resistensi insulin pada sel-sel peripheral. Faktanya
ada resistensi insulin ini muncul untuk mendorong terjadinya aterosklerosis, lama sebelum
berdampak pasien yang didapati dengan diabetes.4
4. Hipertensi
Kenaikan tekanan darah (sistolik atau diastolik) memperbesar kemungkinan untuk
beresiko aterosklerosis, peyakit jantung koroner dan stroke. Hubungan kenaikan darah dengan
penyakit kardiovaskular tidak memperlihatkan hasil akhir yang baik. Lebih dari itu resiko akan
terus naik dengan nilai progresif yang tinggi. Tekanan sistolik diprediksi menurunkan out come
lebih nyata dari pada tekanan diastolik terutama pada usia tua.4,7,8
Hipertensi mungkin memicu aterosklerosis dengan berbagai cara. Penelitian yang
dilakukan pada bintang memperlihatkan kenaikan tekanan darah dapat melukai endotel dan
meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga lipoprotein menjadi lebih mudah
untuk masuk ke dinding pembuluh darah tersebut. Peningkatan hemodinamik stress dapat juga
meningkatkan jumlah reseptor scanvanger di makrofag, juga meningkatkan foam sel. Siklus
rantai circum ferential, dapat meningkatkan tekanan arteri yang dapat meningkatkan produksi sel
otot polos yang mengikat proteoglikan dan menahan partikel LDL, memacu akumulasi di tunika
intima dan memfasilitasi perubahan oksidatif. Angiotensin II adalah sebuah mediator hipertensi
tidak hanya sebagai vasokontriktor tetapi juga sebagai sitokin pro-inflamasi. Dengan demikian
hipertensi juga dapat menimbulkan proses aterogenesis yang melibatkan proses inflamasi.4

Klasifikasi Tekanan Darah
Kategori
Normal
Normal tinggi
Sistolik (mmHg)
< 130
130-139
Diastolik (mmHg)
< 85
85-89
Hipertensi
 Tingkat I
 Tingkat II
140-159
≥ 160
90-99
≥ 100
Penyebab hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95% kasus. Bentuk hipertensi idiopatik
disebut primer atau esensial. Patogenesis pasti tampaknya sangat kompleks dengan interaksi dari
berbagai variabel. Mungkin pula ada predisposisi genetik.8
B. Faktor Resiko Minor
1. Kurangnya aktifitas fisik
2. Stress emosional
3. Pemakaian kontrasepsi oral
4. Hiperuricemia
5. Makanan tinggi karbohidrat8
8. Faktor Pencetus Angina
A. Tekanan emosi
B. Aktiviti fisikal yang memerlukan bekalan darah yang lebih ke jantung
C. Kesejukan atau kepanasan badan yang melampau
D. Makan terlalu banyak sehingga menyebabkan lebih banyak darah menuju ke perut
bagi membantu penghadaman
E. Alkohol12
II.3. Infark Miokard
1. Definisi
Infark miokard adalah nyeri dada yang terjadi akibat kerusakan (nekrosis) otot jantung
yang disebabkan alirah darah ke otot jantung terganggu.

Klasifikasi Klinis pada Infark Miokard Akut
1. Klas I : tidak ada gagal jantung kongensif. (Mortalitas 6%)
2. Klas II : adanya bunyi jantung tida (gallop), ronki basal, atau keduanya. (Mortalitas
3. Klas III : adanya edem paru.( Mortalitas 30-40%)
4.Klas IV : adanya syok kardiogenik. (Mortalitas 60-80%).
17%)
2. Jenis-jenis Infark Miokard
A. Infark Miokard Subendokardial
Daerah subendokardial merupakan daerah miokard yang amat peka terhadap iskemia dan
infark. Miokard infark subendokardial terjadi akibat aliran darah subendokardial yang relatif
menurun dalam waktu lama sebagai akibat perubahan derajat penyempitan arteri koroner atau
dicetuskan oleh kondisi-kondisi seperti hipotensi, perdarahan dan hipoksia. Derajat nekrosis
dapat bertambah bila disertai peningkatan kebutuhan oksigen miokard, misalnya akibat
takikardia atau hipertrofi ventrikel. Walaupun pada mulanya gambaran klinis dapat relatif ringan,
kecenderungan iskemia dan infark lebih jauh merupakan ancaman besar setelah pasien
dipulangkan dari Rumah Sakit.
B. Infark Miokard Transmural
Pada lebih dari 90% pasien miokard infark transmural berkaitan dengan trombosis
koroner. Trombosis seing terjadi di daerah yang mengalami penyempitan arteriosklerotik.
Penyebab lain lebih jarang ditemukan. Termasuk disini misalnya perdarahan dalam plaque
aterosklerotik dengan hematom intramural, spasme yang umumnya terjadi di tempat
aterosklerotik yang emboli koroner. Miokard infark dapat terjadi walau pembuluh koroner
normal, tetapi hal ini amat jarang.
Tabel: Perbedaan antara Unstabel Angina, NSTEMI & STEMI
Unstable Angina
Tipe Gejala
Cresendo, istirahat,
Serum Biomarker
EGC
atau onset baru
No
ST depresi atau
Myocardial infarction
NSTMI
STEMI
Rasa tertekan yang lama dan nyeri dada
Iya
ST depresi atau
Iya
ST-elevasi
gelombang T invasi gelombang T invasi (gelombang Q
later)
3. Patofisiologi Infark Miokard
Atherosclerosis
Plak ruptur
Disfungsi endotel
Intrapalque
Pelepasan
Subendotel
Turbulent
ꜜ efek
hemorrhage
factor jaringan
kolagen
blood flow
vasodilator
ꜜ efek anti
trombosis
Aktivasi platelet
dan agregasi
ꜜ vessel lumen
Activation of the
diameter
coagulation
vasokontriksi
cascade
Occlusive
thrombus
coronary
thrombosis
Small
trhombus
Transie
nt
iskemi
Partially
occlusive
thrombus
Healing and
plaque
enlargement
ST elevation
(Q waves
later)
ST segment
depresision
and/ or T
wave
inversion
No ECG
changes
-Serum
biomar
ker
Unstable
Angina
Prolon
ged
iskemi
+serum
biomar
ker
Non-ST
segment
+serum
biomark
er
ST- segment
elevation MI
4. Komplikasi Infark Miokard
1. Gagal jantung
Hasil iskemia jantung akut pada gangguan kontraktilitas ventrikel (disfungsi sistolik) dan
kekakuan miokard meningkat (disfungsi diastolik), yang keduanya dapat menyebabkan gejala
gagal jantung. Selain itu, remodelling ventrikel, aritmia, dan komplikasi mekanik MI akut
(dijelaskan di bawah) dapat berujung pada gagal jantung. Tanda dan gejala dekompensasi
tersebut meliputi dyspnea, rales paru, dan suara jantung ketiga (S3). Pengobatan terdiri dari terapi
gagal jantung standar.4 Iskemik jaringan disebabkan oleh 2 sebab:
a. Vasokontriksi dari arteri coronaria
b. Hilangnya partikel antitrombosit
FIGURE 27A.2. Several different platelet- and non–platelet-derived mediators including
thromboxane A2, serotonin, adenosine diphosphate (ADP), thrombin, oxygen-derived free
radicals, plateletactivating factor, and endothelin contribute to thrombosis formation and
vasoconstriction in injured arteries.5
2. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik adalah kondisi dari output jantung sangat menurun dan hypotension
(tekanan darah sistolik <90 mmHg) dengan perfusi jaringan perifer tidak memadai, yang terjadi
ketika lebih dari 40% dari massa LV telah infark. Hal ini juga dapat mengikuti komplikasi
mekanik parah MI dijelaskan di bawah ini. 4,5 Demise syok kardiogenik adalah mengabadikan diri
karena:
1. Hipotensi menyebabkan perfusi koroner menurun, yang memperburuk kerusakan
iskemik, dan
2. Menurunnya stroke volume meningkatkan ukuran LV dan karena itu menambah
kebutuhan oksigen miokard. Meskipun perlakuan agresif, angka kematian pasien
dalam syok kardiogenik lebih besar dari 70%.
Pasien pada syok kardiogenik membutuhkan di agen inotropic travenous (Dobutamine)
untuk meningkatkan output jantung dan vasodilator arteri untuk mengurangi resistensi terhadap
kontraksi LV. pasien tersebut sering distabilkan oleh penempatan pompa ballon intra-aorta.
Perangkat ini dimasukkan ke aorta melalui arteri femoral dan terdiri dari ruang, tiup fleksibel
yang terbuka selama diastol untuk meningkatkan tekanan intra-aorta, sehingga menambah
perfusi dari arteri koroner dan jaringan perifer. Selama sistol itu deflates untuk menciptakan
sebuah "kekosongan" yang berfungsi untuk mengurangi setelah beban dari bilik kiri, sehingga
membantu pemilihan darah ke aorta. Awal kateterisasi jantung dan revaskularisasi (angioplasti
atau CABG) memiliki potensi untuk memperbaiki prognosis jangka panjang pasien dalam syok
kardiogenik.4,5
5. Penatalaksanaan
1. Prehospital (kotak 2)
Nilai dan berikan bantuan ABC
Berikan oksigen, aspirin, nitrogliserin dan morfin jika diperlukan
Pemeriksaan EKG 12 sadapan dan interpretasi
Melakukan ceklis terapi fibronolitik
Menyiapkan pemberitahuan sebelum sampai ke IGD (untuk petugas
ambulans/sebelum sampai rumah sakit)1
2. Pemberian iksigen dan obat-obatan dikotak 2 dan 3
a. Oksigen
Oksigen diberikan pada semua pasien yang dalam evaluasi SKA.terapi oksigen
mampu mengurangi ST levasi pada infark anterior. Berdasarkan consensus,
dianjurkan memberikan oksigen dalam 6 jam pertama terapi, pemberian lebih dari 6
-
-
jam tidak bermanfaat kecuali pada keadaan1 :
Pasien dengan nyeri ddada menetap atau berulang atau hemodinamik yang tidak
stabil
Pasien dengan tanda bendungan paru
Pasien dengan saturasi oksigen < 90%
b. Aspirin
Aspirin diberikan 160-325 mg dikunyah untuk pasien yang belum mendapat aspirin
dan tidak ada bukti perdarahan lambung saat pemeriksaan. Dapat menggunakan
aspirin supositoria pada pasien mual, muntah atau ulkus peptic atau gangguan saluran
pencernaan.1,4
c. Nitrogliserin
Dapat diberikan tablet sublingual sampai 3x dengan interval 3-5 menit jika tidak
terdapat kontraindikasi. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien yang
hemodinamik tidak stabil : TD ≤ 90 mmHg lebih rendah dari pemeriksaan TD awal
(jika dilakukan) sebab nitrogliserin adalah vasodilator dan penggunaanya harus
-
berhati-hati pada keadaan,1 misalnya :
Infark miokard atau infark ventrikel kanan
Hipotensi, bradikardi atau takikardi
Penggunaan obat penghambat phospodiesterase ( viagra) dalam waktu < 24 jam
d. Morfin
Pemberian morfin dilakukan jika pemberian nitrogliserin sublingual atau semprot
-
-
tidak respons. Morfin merupakan pengobatan yang paling penting untuk SKA karena:
Menimbulkan efek analgesik pada SSP yang dapat mengurangi aktivasi
neurohormonal dan menyebabkan pelepasan katekolamin
Menghasilkan venodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel kiri dan
mengurangi kebutuhan oksigen
Menurunkan tahanan vascular sistemik, sehingga mengurangi afterload ventrikel kiri.1
3. Ruang gawat darurat (kotak 3)
1.
Segera berikan oksigen 4L/mnt kanul nasal, pertahankan saturasi O2 > 90%
2.
Berikan aspirin 160-325 mg
3.
Nitrogliserin sublingual atau semprot atau IV
4.
Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang
5.
Monitoring tanda vital dan evaluasi saturasi oksigen
6.
Pasang jalur IV
7.
Kaji EKG 12 sadapan
8.
Lakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik
-
9.
10.
Lakukan ceklis terapi fibrinolisis da lihat kontraindikasi
Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan evaluasi system pembekuan
darah
Foto toraks1
4. Penilaian dan tata laksana segera di ruang IGD
a.
Segera setelah sampai IGD, untuk pasien yang dicurigai SKA segera dilakukan
11.
b.
c.
evaluasi
EKG 12 sadapan merupakan informasi penting dalam keputusan tata laksana pasien
dengan nyeri dada iskemik dan untuk identifikasi SKA STEMI
Target evaluasi harus difokuskan pada nyeri dada, tanda dan gejala gagal jantung,
riwayat sakit jantung, factor risiko SKA san gambaran riwayat untuk pemberian
d.
trombolisis
Untuk pasien SKA STEMI, tujuan reperfusi adalah pemberian terapi fibrinolisis
dalam 30 menit setelah 30 menit sampai IGD atau PCI dalam 90 menit setelah
sampai.1
Tabel: Strategi terapi reperfusi (fibrinolisis atau invasif)
Terapi Fibrinolisis


Onset < 3 jam
Tidak tersedia pilihan invasif terapi
Kontak doctor-baloon atau door-

Terapi Invasif (PCI)


baloon > 90 menit
(door-baloon) minus (door-
needle) lebih dari 1 jam.
Tidak terdapat kontraindikasi
Onset > 3 jam
Tersedia ahli PCI
- Kontak doctor-baloon atau door
baloon < 90 menit.
- (Doorbaloon) minus (door-

fibrinolisis
needle) < 1 jam
Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk
resiko perdarahan dan perdarahan


intraserebral.
STEMI resiko tinggi (CHF, Killip ≥ 3)
Diagnosis STEMI diragukan.
Pengobatan lebih awal fibrinolisis (door-drug < 30 menit) dapat membatasi luasnya
infark, fungsi ventrikel normal, dan mengurangi angka kematian. Ada beberapa jenis obat
fibrinolitik,
misalnya
Alteplase
recombinant
(Activase),
Reteplase,
Tenecplase,
dan
Streptokinase (Streptase). Di Indonesia umumnya tersedia Streptokinase, dengan dosis
pemberian sebesar 1,5 juta U, dilarutkan dalam 100 cc NaCl 0,9% diberikan secara infus selama
1 jam.1




Fibrinolisis bermanfaat diberikan pada pasien:
ST elevasi atau perkiraan LBBB baru.
Infark miokard yang luas
Pada usia muda dengan resiko perdarahan intraserebral yang lebih rendah.1
Fibrinolisis mungkin berbahaya pada:
Depresi segmen ST
Onset lebih 24 jam
Pada TD tinggi (TD sistolik > 175 mmHg)1
PCI primer efektif dilaksanakan pada:
Syok kardiogenik
STEMI usia > 75 tahun dan syok kardiogenik
Pasien kontraindikasi fibrinolisis1
PCI sekunder baik dilaksanakan pada:
Pusat rujukan dengan tindakan PCI > 200 tindakan PCI /tahun
Dilakukan oleh operator yang berpengalaman
Dilatasi baloon ≤ 90 menit mulai kontak dengan dokter atau dari IGD
Dicapai TIMI-3 > 90% tanpa adanya kasus CABG, strok, atau kematian dari
-
tindakan PCI.
Paling sedikit resolusi > 50%.1
5. Penilaian pasien < 10 menit (kotak 3a)
Penilaian pasien dalam 10 menit pertama yaitu :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Cek tanda vital dan evaluasi saturasi oksigen
Pasang jalur IV
Kaji EKG 12 sadapan
Lakukan anamnesa dan pemeriksan fisik
Ceklis fibrinolitik atau kontrainsikasi
Pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan pembekuan darah
Pemeriksaan sinar X (<30 menit setalah pasien sampai IGD). Jangan sampai
memperlambat terapi fibrinolisis untuk SKASTEMI.1
6. Tata Laksana Hipotensi/Syok dan Edema Paru Akut

Penyakit dasar dapat segera dikenali dengan meneliti keluhan, riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan status hemodinamik.
Pertolongan dapat segera diberikan di ruang intensif.1


Harus ada konsep dan petunjuk yang jelas untuk mengatasi hipotensi/syok dalam singkat;
tidak lebih dari 30 – 60 menit pertama.1
Triad kardiovaskuler meliputi irama denyut jantung (rate), miokard untuk memompa
(pump), dan sistem vaskuler. Ketiga sistem ini diupayakan dapat dinilai sebab semua
pasien hipotensi/syok dan edema paru berawal dari gangguan tiga sistem tersebut.
Permasalah yang muncul meliputi: masalah irama (rate problem), masalah pompa (pump
problem) atau masalah volume (volume problem) ditambah resistensi pembuluh darah
(vascular resistance).1
A. Masalah Irama
Tentukan apakah frekuensi cepat atau lambat?
Bradi-takikardia dapat segera diketahui dengan meraba nadi dan melihat monitor EKG.
Sedangkan pompa, volume, dan resistensi sering belum jelas, maka yang pertama diatasi adalah
irama bila memang jelas bradi/takikardi. Pasien hipotensi dengan tanda awal hipoperfusi dan
bradikardi harus diberi obat untuk meningkatkan irama sebelum memberikan fluid challenge,
inotropik, atau vasopresor. Dugaan masalah pompa atau volume diatasi bersama.1
B. Masalah Volume
Berikan cairan infus, transfusi darah, atasi penyebab, dan gunakan vasopresor.1
Ada dua macam masalah volume yakni:
1. Hipovolumia absolute
Kekurangan volume sikulasi akibat hilangnya cairan tubuh misalnya perdarahan,
muntah, diare, poliuri, penguapan berlebihan, atau dehidrasi.1
2. Hipovolumia relatif
Volume sirkulasi berkurang relatif, tidak ada kehilangan cairan namun kapasitas
vaskular meningkat sehingga terjadi hipovolumia (vasodilatasi atau berpindahnya cairan
sirkulasi ke ruang “ketiga”)1
Bila jelas ada kehilangan cairan tubuh maka piliha pertama adalah memenuhi
“tanki” vaskuler, bila penuh baru diberikan vasopresor. Obat vasoaktif yang harus selalu
tersedia untuk mengatasi vasodilatasi adalah sebagai berikut:1
-
Syok sepsis: dopamin, norepinefrin, phenylephrine, dobutamin.
Syok spinal: dopamin, phenylephrine, dobutamin.
Syok anafilaksis: epinefrin, dopamin, norepinefrin, phenylephrine.
Keracuan beta-bloker: epinefrin, atrofin, glukagon, dopamin, isoproterenol.
Keracunan alfa-bloker: epinefrin, norepinefrin.1
Masalah volume pada syok sering tersamar. Biasanya terjadi hipovolumia relatif
akibat vasodilatasi, begitu pula pada masalah irama dan pompa. Dokter harus waspada
pada hipovolumia dengan vasodilatasi. Berikan “fluid challenge” bila curiga ada
hipovolumia.1
Secara umum prioritas pertama adalah memberikan cairan penggati, sedangkan
vasopresor memainkan peran sekunder namun penting pada kasus vasodilatasi. Jangan
memberi vasopresor tanpa mengatasi kekurangan cairan lebih dulu atau diberikan
bersamaan. Pembrian vasopresor saja dapat menimbulkan gagal jantung dan menurunnya
fungsi hemodinamik khususnya pada kasus iskemia miokard.1
C. Masalah Pompa
Bagaimana tekanan darah?
Penyebab gagal pompa harus segera dikenali agar upanya pengobatan yang tepat, cepat,
dan pada saat yang kritis dapat diberikan.1
Semua pasien syok dapat jatuh ke masalah pompa bila sirkulasi tidak dapat memenuhi
kebutuhan O2 gula, dan ATP jaringan. Yang diperlukan pasien gagal pompa adalah1:
1. Pengobatan bersama memperbaiki irama dan volume.
2. Koreksi masalah dasar seperti hipoksia, hipoglikemi, overdosis obat/racun.
3. Memperbaiki kontraksi (dopamine, dobutamin, inotropik dll), vasodilator untuk
mengurangi tahanan vaskuler sistemik (afterload). Diuretik dan venodilator untuk
mengurangi beban pengisian (preload).1
Pada pasien syok kardiogenik dan edema paru harus dipikirkan kebutuhan tekanan
pengisian ventrikel kiri yang menguntungkan. Bila kurang dari 15 mmHg maka hipotensi akan
menyerupai masalah volume daripada masalah pompa. Pemberian cairan intravena bertujuan
meningkatkan tekanan pengisian 18 mmHg.1
Pada kasus gawat, pemberian saline normal 250-500 cc (diawali 150 cc) dalam waktu
singkat dapat dicoba. Bila infus awal memberi dampak perbaikan seperti meningkatnya tekanan
darah dan menurunya denyut jantung maka pemberian cairan dapat diulangi lagi.1
6. Pemeriksaan Marker Jantung
Nekrosis pada jaringan otot jantung menyebabkan pecahnya sarkolema, jadi hal tersebut
menyebabkan makromolekul mengalami kebocoran protein kedalam lapisan intersisium jantung
dan memasuki aliran darah.4

Troponin (T)
- Sangat spesifik dan lebih sensitif di bandingkan Ck-MB

- Meningkat 3-4 jam setelah MI
- Mencapai puncak 18-36 jam
- Megnalami penurunan secara pelan-pelan 10-14 hari
- Bisa menentukan nilai prognosis
- Tropin T juga meningkat pada saat, dermatomyositis, renal desease.4
Ck-MB Isoenzyme
Meningkat 3-8 jam setelah MI
Mencapai puncak setelah 24 jam
Kembali normal pada 48-72 jam
Positif jika Ck-MB >5% dari total Ck-MB
Nilai puncak dapat menentukan diagnosis
Positif palsu pada saat olah raga, trauma, kelainan otot, dan PE.4
7. Pemeriksaan Radiology
A. EKG (elektrokardiogram)
Elektrokardiogram (EKG) adalah suatu sinyal yang dihasilkan oleh
aktivitas listrik otot jantung. EKG ini merupakan rekaman informasi kondisi
jantung yang diambil dengan memasang elektroda pada badan. Rekaman
EKG ini digunakan oleh dokter atau ahli medis untuk menentukan kondisi
jantung dari pasien, yakni untuk mengetahui hal-hal seperti frekuensi (rate)
jantung, arrhytmia, infark miokard, pembesaran atrium, hipertrof
ventrikular,
dll.
Sinyal
EKG
direkam
menggunakan
perangkat
elektrokardiograf.9

Sistem Konduksi Jantung
Jantung terdiri dari empat ruang yang berfungsi sebagai pompa system sirkulasi darah.
Yang paling berperan adalah bilik (ventrikel), sedangkan serambi (atria) sebenarnya berfungsi
sebagai ruang penyimpanan selama bilik memompa. Ventrikel berkontraksi, ventrikel kanan
memasok darah ke paru-paru, dan ventrikel kiri mendorong darah ke aorta berulang-ulang
melalui sistem sirkulasi, fasa ini disebut systole. Sedangkan fasa pengisian atau istirahat (tidak
memompa) setelah ventrikel mengosongkan darah menuju arteri disebut diastole. Kontraksi
jantung inilah yang mendasari terjadinya serangkaian peristiwa elektrik dengan koordinasi yang
baik. Aktivitas elektrik dalam keadaan normal berawal dari impuls yang dibentuk oleh
pacemaker di simpul SinoAtrial (SA) kemudian melewati serabut otot atrial menuju simpul
AtrioVentrikular (AV) lalu menuju ke berkas His dan terpisah menjadi dua melewati berkas kiri
dan kanan dan berakhir pada serabut Purkinye yang mengaktifkan serabut otot ventrikel.9

Sistem 12 lead (sadapan) EKG
Jantung adalah organ tiga dimensi, sudah seharusnya aktivitas elektriknya
pun harus dimengerti dalam tiga dimensi pula. Setiap sadapan elektroda
memandang jantung dengan sudut tertentu dengan sensitivitas lebih tinggi
dari sudut/bagian yang lain. Sadapan atau lebih dikenal dengan lead, adalah
cara penempatan pasangan elektroda berkutub positif dan negatif pada
tubuh pasien guna membaca sinyal-sinyal elektrik jantung. Semakin banyak
sadapan, semakin banyak pula informasi yang dapat diperoleh Pada rekaman
EKG modern, terdapat 12 sadapan elektroda yang terbagi menjadi enam
buah sadapan pada bidang vertikal serta enam lainnya pada bidang
horizontal.9

Bidang Vertikal/Frontal :
a. Tiga buah bipolar standard leads atau sadapan Einthoven, yaitu
Lead I, II, dan III. Sadapan ini merekam perbedaan potensial dari dua
elektroda yang digambarkan sebagai sebuah segitiga sama sisi,
segitiga Einthoven.9
b. Tiga buah unipolar limb leads atau sadapan Wilson yang sering
disebut juga sadapan unipolar ekstrimitas, yaitu Lead aVR, aVL, dan
aVF. Sadapan ini merekam besar potensial listrik pada satu
ekstrimitas, elektroda eksplorasi diletakkan pada ekstrimitas yang
akan diukur.

9
Bidang Horizontal :
Enam buah unipolar chest leads atau sering disebut juga sadapan
unipolar prekordial, yaitu lead V1, V2, V3, V4, V5, dan V6.
Gambar 2.3 Sadapan ekstrimitas dan unipolar prekordial

Komponen dan Bentuk Sinyal EKG
Menurut Mervin J. Goldman definisi sinyal EKG adalah grafik hasil
catatan potensial listrik yang dihasilkan oleh denyut jantung. Sinyal EKG
terdiri atas :
1. Gelombang P, terjadi akibat kontraksi otot atrium, gelombang ini
relatif kecil karena otot atrium yang relatif tipis.
2. Gelombang QRS, terjadi akibat kontraksi otot ventrikel yang tebal
sehingga gelombang QRS cukup tinggi. Gelombang Q merupakan
depleksi pertama kebawah. Selanjutnya depleksi ke atas adalah
gelombang R. Depleksi ke bawah setelah gelombang R disebut
gelombang S.
3. Gelombang T, terjadi akibat kembalinya otot ventrikel ke keadaan
listrik istirahat (repolarisasi).
Gambar. Bentuk sinyal yang didapat dari 12 leads (sadapan) EKG normal
adalah seperti pada gambar di bawah.9

Unstable Angina/non-ST-elevasi Myocardial Infarction
Gambar: EGC abnormal pada unstable angina4

ST-Elevation Myocardial Infarction
Gambar: EGC evolution sepanjang ST-elevation MI
B. Magnetic resonance imaging (MRI),
C. Computed tomography (CT) scan,
D. Angiography,
E. Intravascular ultrasound (IVUS),
F. Angioscopy,
G. Optical coherence tomography (OCT),
H. Thermography,
I. Virtual histology
J. Near-infrared (NIR).
FIGURE 27A.5. Different diagnostic methods for detection of vulnerable plaques.
II.4. Obat-obat Antiangina
1. Nitrat organik
Nitrat organik merupakan ester asam nitrit sederhana dengan alkohol dan ester asam
nitrat dengan alkohol. Obat-obat ini berbeda dalam derajat penguapan; misalnya, isosorbid
dinitrat pada suhu kamar berbentuk padat, nitrogliserin sedikit menguap, sedangkan amil nitrat
mudah sekali menguap. Senyawa-senyawa ini menyebabkan penurunan kenutuhan oksigen
miokard yang diikuti oleh berkurangnya gejala-gejala. Obat-obat tersebut bermanfaat untuk
angina yang stabil atau labil, serta angina pektoris prinzmetal atau varian.10,11
Daftar obat-obat tersebut adalah:
1. Nitrogliserin, sublingual (short-acting)

Dosis: 0,15 – 1,2 mg

Lama kerja: 10 – 30 menit
2. Nitrogliserin, oral (long-acting)


Dosis: 6,5 – 13 mg per 6 – 8 jam
Lama kerja: 6 – 8 jam
Nitrat, penyekat-β dan penyekat kanal kalsium sama efektifnya dalam menghilangkan
gejala ngina. Namun, untuk kesembuhan langsung atas serangan angina akibat stres latihan fisik
atau emosi, nitrogliserin sublingual merupakan obat pilihan. 10,11
3. Isosorbid Dinitrat, sublingual (short-acting)


Dosis: 2,5 – 5 mg
Lama kerja: 10 – 60 menit
4. Isosorbid Dinitrat, oral/sublingual (long-acting)


Dosis: 2,5 – 10 mg per 2 jam (sublingual), 10 – 60 mg per 4 – 6 jam (oral)
Lama kerja: 1,5 – 2 jam (sublingual), 4 – 6 jam (oral)
Isosorbid dinitrat merupakan nitrat aktif peroral. Obat ini tidak mudah dimetabolisme hati
atau otot polos dan mempunyai potensi relaksasi otot palos vaskular yang lebih rendah.10,11
2. Penyekat β-adrenergik
Obat ini menekan aktivitas jantung dengan menghambat reseptor β1. Obat ini juga
mengurangi kerja jantung dengan menurunkan isi sekuncup jantung dan menyebabkan
penurunan ringan tekanan darah. Contoh obatnya adalah propanolol.10,11
3. Penyekat Kanal Kalsium
Obat ini menghambat masuknya kalsium ke dalam sel-sel otot polos koroner jantung dan
anyaman arterial sistemik. Semua obat penyekat kanal kalsium bersifat vasodilator yang
menyebabkan penurunan tonus otot polos dan resistensi vaskular.10,11 Contoh obat:
1. Nifedipin

Dosis: 30 – 90 mg/d
2. Verapamil

Dosis: 180 – 480 mg/d
4. Aspirin
Obat ini menghambat sintesis tromboksan A2 dari asam arakidonat dalam trombosit oleh
asetilasi ireversibel dan inhibisi siklooksigenase, suatu enzim pokok dalam sintesis prostagladin
dan tromboksan A2. Efek inhibisi ini cepat, terjadi dalam sirkulasi portal. Supresi sintetase
tromboksan A2 akibat aspirin dan supresi agregasi trombosit yang diakibatkannya berlangsung
selama kehidupan trombosit – sekitar 7-10 hari. Aspirin sekarang digunakan untuk pengobatan
profilaksis iskemia serebral transien, mengurangi terjadinya infark miokard berulang dan
menurunkan mortalitas pada pasien infark postmiokard. Dosis aspirin awal tunggal 200 – 300 mg
dan dianjurkan diikuti dosis harian 75 sampai 100 mg. waktu perdarahan diperpanjang,
menyebabkan komplikasi yang termasuk peningkatan terjadinya stroke hemoragik dan juga
perdarahan gastrointestinal, terutama pada obat dosis tinggi.10,11
III.4 ANATOMI DAN FISIOLOGI TIROID
a. Struktur dari Hormon Tiroid
Hormon tiroid unik karena mengandung 59-65% unsur iodin. Struktur dari hormon ini,
T4 dan T3, diperlihatkan dalam Gambar 1. Tironin yang diiodinisasi diturunkan dari iodinisasi
cincin fenolik dari residu tirosin dalam tiroglobulin membentuk mono- dan diiodotirosin, yang
digabungkan membentuk T3 atau T4.
Metabolisme Iodin
Iodin memasuki tubuh dalam makanan atau air dalam bentuk ion iodida atau iodat, dalam
lambung ion iodat diubah menjadi iodida. Dalam perjalanan 100 tahun, iodin telah larut dari
tanah dan terkuras ke dalam lautan, sehingga di daerah pegunungan dan pedalaman pasokan
iodin kemungkinan sangat terbatas, sementara unsur ini melimpah di daerah-daerah pantai.
Kelenjar tiroid memekatkan dan menjebak iodida dan mensintesa serta menyimpan hormon
tiroid dalam tiroglobulin, yang mengkompensasi kelangkaan dari iodin. Anjuran asupan iodin
adalah 150 g/hari; jika asupan di bawah 50 g/hari, maka kelenjar ini tidak mampu untuk
mempertahankan sekresi hormon yang adekuat, dan akibatnya timbul hipertrofi tiroid (goiter)
dan hipotiroidisme.
Gambar 1. Struktur kimia tiroksin (T4) dan senyawa-senyawa yang berhubungan.
(Murray RK: Harper's Biochemistry, 22nd ed, Appleton & Lange, 1990.)
Sumber-sumber dari iodin makanan termasuk garam beriodin, preparat vitamin, obat
yang mengandung iodin, dan media kontras beriodin. Iodin, seperti klorida, diabsorbsi dengan
cepat dari saluran gastrointestinal dan didistribusikan dalam cairan ekstraselular demikian
juga dalam sekresi kelenjar liur, lambung dan ASI. Walaupun konsentrasi iodida organik
dalam pool cairan ekstraselular bervariasi langsung dengan asupan iodida, I cairan ekstraslular
biasanya rendah sekali karena bersihan iodida yang cepat dari cairan ekstraselular melalui
ambilan tiroidal dan bersihan ginjal. Konsentrasi I dalam cairan ekstraselular adalah 0,6 g/dL,
atau sejumlah 150 µg I dalam pool ekstraselular 25 L.
Dalam kelenjar tiroid, terdapat transpor aktif dari I serum melintasi membrana basalis
sel tiroid . Tiroid mengambil sekitar 115 µg I per 24 jam; sekitar 75 µg I digunakan untuk
sintesis hormon dan disimpan dalam tiroglobulin; sisanya kembali ke dalam pool cairan
ekstraselular. Pool tiroid dari iodin organik sangat besar, mencapai rata-rata 8-10 mg; dan
merupakan suatu cadangan hormon dan tirosin teriodinisasi yang melindungi organisme
terhadap periode kekurangan iodin. Dari pool cadangan ini, sekitar 75 µg iodida hormonal
dilepaskan ke dalam sirkulasi setiap harinya. Iodida hormonal ini sebagian besar berikatan
dengan protein pengikat-tiroksin serum, membentuk suatu pool sirkulasi dari sekitar 600 µg I
hormonal (sebagai T3 dan T4). Dari pool ini, sekitar 75 µg I sebagai T3 dan T4 diambil dan
dimetabolisir oleh jaringan. Sekitar 60 µg I dikembalikan ke pool iodida dan sekitar 15 µg I
hormonal dikonjugasi dengan gulkoronida atau sulfat dalam hait dan diekskresikan ke dalam
feses. Karena sebagian besar dari iodida makanan diekskresikan ke dalam urin, iodide urin 24
jam merupakan indeks yang baik sekali dari asupan melalui makanan. Ambilan iodin radioakif
24 jam (RAIU) oleh kelenjar tiroid berbanding terbalik dengan ukuran dari pool iodida
anorganik dan berbanding langsung dengan aktivitas tiroid.
b. Sistesis dan Sekresi Hormon Tiroid
Sintesis dari T4 dan T3 oleh kelenjar tiroid melibatkan enam langkah utama: (1) transpor
aktif dari I melintasi membrana basalis ke dalam sel tiroid (trapping 4 of iodide); (2) oksidasi
dari iodida dan iodinasi dari residu tirosil dalam tiroglobulin; (3) penggabungan molekul
iodotirosin dalam toirglobulin membentuk T3 dan T4; (4) proteolisis dari tiroglobulin, dengan
pelepasan dari iodotirosin dan iodotironin bebas; (5) deiodinasi dari iodotirosin di dalam sel
tiroid, dengan konservasi dan penggunaan dari iodida yang dibebaskan, dan (6) di bawah
lingkungan tertentu, deiodinisasi-5' dari T4 menjadi T3 intratiroidal.
Sintesis hormon tiroid melibatkan suatu glikoprotein unik, tiroglobulin, dan suatu enzim
esensial, peroksidase tiroid (TPO).
1. Tiroglobulin
Tiroglobulin merupakan suatu molekul glikoprotein besar yang mengandung 5496
asam amino; dengan suatu berat molekul sekitar 660.000 dan koefisien endapan sebesar 19S.
Mengandung sekitar 140 residu tirosil dan sekitar 10% karbohidrat dalam bentuk manosa, Nasetilglukosamin, galaktosa, fukosa, asam sialat, dan sulfat kondroitin. Gen tiroglobulin
manusia (hTg) terletak pada lengan panjang dari kromosom 8 distal dari onkogen c-myc. TSH
merangsang transkripsi dari gen tiroglobulin, dan hipofisektomi atau terapi T3 menurunkan
transkripsinya.
Gen tiroglobulin mengandung sekitar 8500 nukleotida, yang menyandi monomer
pretiroglobulin (pre-Tg). Monomer pretiroglobulin mengandung suatu peptida sinyal 19asamamino, diikuti oleh suatu rantai 2750-asam-amino yang membentuk monomer 5
tiroglobulin. mRNA diterjemahkan dalam retikulum endoplasmik kasar, dan rantai
tiroglobulin diglikosilasi selama tranpor ke aparatus Golgi . Dalam aparatus Golgi, dimer
tiroglobulin dimasukkan ke dalam vesikel eksositotik yang berfusi dengan membrana basalis
dan melepaskan tiroglobulin ke dalam lumen folikular. Di sini, pada batas koloidapikal,
tiroglobulin diiodinisasi dan disimpan dalam koloid (2).
2. Transpor lodida (The Iodide Trap)
I ditranspor melintasi membrana basalis dari sel tiroid oleh suatu proses yang
memerlukan energi aktif yang tergantung pada ATPase Na+-K+ . Sistem transpor aktif ini
memungkinkan kelenjar tiroid manusia untuk mempertahankan suatu konsentrasi iodida bebas
30-40 kali dibandingkan plasma. Jebakan tiroiodida dirangsang jelas oleh TSH dan oleh
antibod I perangsang reseptor TSH (TSH-R ab [stim]) ditemukan pada penyakit Graves.
Jebakan ini dapat dijenuhkan dengan sejumlah besar I dan diinhibisi oleh ionion seperti
CIO4-, SCN , N03-, dan TcO4-. Beberapa dari ion ini mempunyai manfaat klinik. Kalium
perklorat secara klinik telah digunakan dengan 123I untuk memperlihatkan cacat organifikasi
dalam kelenjar tiroid; zat ini akan menggeser dan memungkinkan perabasan (discharge) dari I
nonorganifikasi dari jebakan iodida .
Kalium
perklorat
dan
kalium
tiosianat
telah
digunakan
untuk
mengobati
hipertiroidisme yang diimt bulkan-iodida; keduanya melepaskan I dari jebakan dan mencegah
ambilan I lebih lanjut. Natrium pertehnetat Tc 99m, yang mempunyai suatu paruh hidup 6 jam
dan suatu emisi 140-keV gamma, digunakan untuk visualisasi cepat dari tiroid untuk melihat
ukuran dan fungsi dari nodul.
Walaupun I terkonsentrasi pada jaringan kelenjar liur, lambung, dan jaringan payudara,
jaringan ini tidak mengorganifikasi atau menyimpan I dan tidak distimulasi oleh TSH. Untuk
terjadinya proses ini, struktur dimerik dari tiroglobulin penting. Di dalam molekul
tiroglobulin, dua molekul DIT dapat mengadakan penggabungan membentuk T4, dan suatu
molekul MIT dan DIT dapat mengadakan penggabungan membentuk T3. Obat-obatan
tiokarbamid-terutama propiltio-urasil, metimazol, dan karbimazol-merupakan inhibitor poten
dari peroksidase tiroidal dan akan menghambat sintesis hormon tiroid. Obat-obatan ini secara
klinik berguna dalam penatalaksanaan hipertiroidisme.
3. Proteolisis Tiroglobulin & Sekresi Hormon Tiroid
Enzim lisosomal disintesis oleh retikulum endoplasmik kasar dan dikemas oleh aparatus
Golgi ke dalam lisosom. Struktur-struktur ini, dikelilingi oleh membran, mempunyai suatu
interior yang bersifat asam dan diisi dengan enzim proteolitik, termasuk protease,
endopeptidase, hidrolisa glikosida, fosfatase, dan enzim-enzim lain. Pada interaksi sel koloid,
koloid ditelan ke dalam suatu vesikel koloid oleh suatu proses makropinositosis atau
mikropinositosis dan diabsorbsi ke dalam sel tiroid. Kemudian lisosoma berfusi dengan
vesikel koloid; dan terjadi hidrolisis dari tiroglobulin, melepaskan T4, T3, DIT, MIT, fragmen
peptida, dan asam amino.
T3 dan T4 dilepaskan ke dalam sirkulasi, semenfara DIT dan MIT dideiodinisasi dan I
dilestarikan. Tiroglobulin dengan kandungan iodin yang rendah dihidrolisa dengan lebih cepat
ketimbang tiroglobulin dengan kandungan iodin yang tinggi, yang kemungkinan bermanfaat
dalam daerah geografik di mana asupan iodin natural rendah. Mekanisme transpor T3 dan T4
melalui sel tiroid tidak diketahui, tetapi dapat melibatkan suatu karier hormon spesifik.
Sekresi hormon tiroid distimulasi oleh TSH, yang mengaktivasi adenilil siklase, dan oleh
analog cAMP (Bu)2cAMP, menunjukkan zat ini dependen-cAMP.
Proteolisis tiroglobulin diinhibisi oleh kelebihan iodida dan oleh litium, yang, seperti
litium karbonat, digunakan untuk terapi keadaan manik-depresif. Sejumlah kecil tiroglobulin
yang tak terhidrolisa juga dilepaskan dari sel tiroid; hal ini meningkat dengan nyata pada
situasi tertentu seperti tiroiditis subakut, hipertiroidisme, atau goiter akibat-TSH . Tiroglobulin
dapat juga disintesis dan dilepaskan oleh keganasan tiroid tertentu seperti kanker tiroid
papilaris atau folikular dan dapat bermanfaat sebagai suatu marker untuk penyakit metastatik.
c. Kontrol Fungsi Tiroid
Pertumbuhan dan fungsi dari kelenjar tiroid paling sedikit dikendalikan empat mekanisme :
(1) sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid klasik, di mana hormon pelepas-tirotropin hipotalamus
(TRH) merangsang sintesis dan pelepasan dari hormon perangsang-tiroid hipofisis anterior
(TSH), yang pada gilirannya merangsang sekresi hormon dan pertumbuhan oleh kelenjar
tiroid
(2) deiodininase hipofisis dan perifer, yang memodifikasi efek dari T4 dan T3
(3) autoregulasi dari sintesis hormon oleh kelenjar tiroid sendiri dalam hubungannya dengan
suplai iodinnya
(4) stimulasi atau inhibisi dari fungsi tiroid oleh autoantibodi reseptor TSH (1,2).
Thyrotropin-Releasing Hormone
Hormon pelepas-tirotropin (TRH) merupakan sua tu tripeptida, piroglutamil-histidilprolineamida, disintesis oleh neuron dalam nuklei supraoptik dan supraventrikuler dari
hipotalamus . Hormon ini disimpan eminensia mediana dari hipotalamus dan kemudian
diangkut via sistem venosa portal hipofisis ke batang hipofisis ke kelenjar hipofisis anterior, di
mana ia mengendalikan sintesis dan pelepasan dari TSH.
TRH juga ditemukan pada bagian lain dari hipotalamus, otak, dan medula spinalis, di mana ia
berfungsi sebagai suatu neurotransmiter. Gen untuk preproTRH mengandung suatu unit
transkripsi 3.3-kb yang menyandi enam molekul TRH. Gen ini juga menyandi neuropeptida
lain yang secara biologik kemungkinan bermakna.
Pada kelenjar hipofisis anterior, TRH berikatan dengan reseptor membran spesifik pada
tirotrop dan sel pensekresi-prolaktin, merangsang sintesis dan pelepasan TSH maupun
prolaktin. Hormon tiroid menyebabkan suatu pengosongan lambat dari reseptor TRH
hipofisis, mengurangi respons TRH; estrogen meningkatkan reseptor TRH, meningkatkan
kepekaan hipofisis terhadap TRH.
Gambar 3 . Sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid.
TRH dihasilkan di hipotalamus mencapai tirotrop di hipofisis anterior melalui sistem
portal hipotalamus-hipofisis dan merangsang sintesis dan pelepasan TSH. Baik hipotalamus
dan hipofisis, T3 terutama menghambat sekresi TRH dan TSH. T4 mengalami
monodeiodinasi menjadi T3 di neural dan hipofisis sebagaimana di jaringan perifer.
Respons dari tirotrop hipofisis terhadap TRH adalah bimodal : Pertama, merangsang
pelepasan dari hormon yang disimpan; kedua, merangsang aktivitas gen, yang meningkatkan
sintesis hormon. TRH berikatan dengan reseptornya pada tirotrop dan mengaktivasi suatu
protein G, yang pada gilirannya mengaktivasi fosfolipase c untuk menghidrolisa
fosfatidilinositol-4,5-bisfosfat (PIP2) menjadi inositol-1,4,5-trifosfat (IP3). IP3 merangsang
pelepasan dari Ca2+ intraselular, yang menyebabkan respons letupan pertama dari pelepasan
hormon.
Secara serentak, terdapat pembangkitan dari 1,2-diasilgliserol (1,2-DG), yang
mengaktivasi protein kinase C, walaupun bertanggung jawab untuk fase kedua dan bertahan
dari sekresi hormon. Peningkatan dalam Ca2+ intraselular dan kinase protein C dapat
melibatkan suatu peningkatan transkripsi. TRH juga merangsang glikosilasi TSH, yang
diperlukan untuk aktivitas biologik penuh dari hormon ini. Dengan demikian pasien dengan
tumor hipotalamus dan hipotiroidisme kemungkinan mempunyai TSH yang terukur, yang
tidak aktif secara biologik.
Penelitian in vitro dan in vivo memperlihatkan bahwa T3 secara langsung menginhibisi
transkripsi dari gen preproTRH dan dengan demikian pula sintesis TRH dalam hipotalamus.
Karena T4 diubah menjadi T3 di dalam neuron peptidergik, maka hal ini juga merupakan
inhibitor yang efektif dari sintesis dan sekresi TRH . TRH dimetabolisir dengan cepat, dengan
suatu waktu paruh hormon yang diberikan secara intravena sekitar 5 menit. Kadar TRH
plasma pada orang normal sangat rendah, berentang dari 25 hingga 100 Pg/mL. Sekresi TSH
yang dirangsang-TRH terjadi dalam suatu cara pulsasi sepanjang 24 jam . Subjek normal
mempunyai suatu amplitudo pulsa TSH ratarata sekitar 0,6 µU/mL dan suatu frekuensi rerata
satu pulsa setiap 1,8 jam. Di samping itu, orang normal memperlihatkan irama sirkadian,
dengan suatu TSH serum puncak pada malam hari, biasanya antara tengah malam dan jam 4
pagi. Puncak ini tidak berhubungan dengan tidur, makan, atau sekresi hormon hipofisis lain.
Irama ini kemungkinan dikontrol oleh suatu "generator pulsa" neuronal.
Hipotalamik
yang
mendorong
sintesis
TRH
dalam
nuklei
supraoptik
dan
supraventrikular. Pada pasien hipotiroid, amplitudo dari pulsa dan peningkatan nokturnal lebih
besar dibandingkan normal, dan pada pasien dengan hipertiroidisme kedua pulsa dan
peningkatan nokturnal mengalami supresi yang nyata. Pada hewan eksperimental dan pada
neonatus, paparan dengan dingin meningkatkan sekresi TRH dan TSH, tetapi hal ini tidak
dijumpai pada manusia dewasa.
d. Faktor-faktor yang Mengatur Sekresi Hormon Tiroid
1. HIPOTALAMUS (Sintesis dan pelepasan TRH)
Perangsangan :
- Penurunan Ta dan T3 serum, dan T3 intraneuronal
Neurogenik : - Sekresi bergelombang dan irama sirkadian
- Paparan terhadap dingin (hewan dan bayi baru lahir)
- Katekolamin adrenergik-alfa
- Vasopresin arginin
Penghambatan: - Peningkatan Ta dan T3 serum, dan T3 intraneuronal
- Penghambat adrenergik alfa
- Tumor hipotalamus
2. HIPOFISIS ANTERIOR (Sintesis dan pelepasan TSH)
Perangsangan :
- TRH
- Penurunan T4 dan T3 serum, dan T3 intratirotrop
-
Estrogen :
Penurunan aktivitas deiodinasi-5' tipe 2
- Meningkatkan tempat pengikatan TRH
Penghambatan: - Peningkatan T4 dan T3 serum, dan T3 intratirotrop
- Peningkatan aktivitas deiodinase-5' Tipe 2
- Somatostatin
- Dopamin, agonis dopamin : bromokriptin
- Glukokortikoid
- Penyakit-penyakit kronis
- Tumor hipofisis
3. TIROID (Sintesis dan pelepasan hormon tiroid)
Perangsangan :
- TSH
- Antibodi perangsangan TSH-R
Penghambatan :
- Antibodi penghambat TSH-R
- Kelebihan iodida
- Terapi litium
Hormon dan obat-obatan tertentu dapat mengubah sintesis dan pelepasan TRH. Sekresi
TRH distimulasi oleh penurunan T4 atau T3 serum (dengan penurunan T3 intraneuronal), oleh
agonis adrenergik-alfa, dan oleh arginin vasopresin. Sebaliknya, sekresi TRH diinhibisi oleh
peningkatan T4 dan T3 serum (dengan T3 intraneuronal yang meningkat) dan blokade alfaadrenergik .
TRH yang diberikan secara intravena pada manusia dengan dosis bolus 200-500 µg
menimbulkan suatu peningkatan yang cepat dari TSH serum, mencapai puncak pada sekitar
30 menit dan bertahan selama 2-3 jam. Respons yang khas terhadap TRH dalam berbagai
keadaan klinik diberikan dalam Gambar 4-24 dan 4-25. Perhatikan respons yang diperbesar
dari TSH hipofisis menjadi TRH pada pasien dengan hipotiroidisme primer dan respons yang
tersupresi pada pasien dengan hipertiroidisme, goiter noduler dengan nodul yang berfungsi
secara otonom, TRH dan metabolit dipeptida siklo (His Pro) juga ditemukan dalam sel pulau
Langerhans pankreas, tetapi fungsinya di sini belum diketahui.
Tirotropin
Thyroid-stimulating hormone (hormon perangsang-tiroid), atau tirotropin (TSH),
merupakan suatu glikoprotein yang disintesis dan disekresikan oleh tirotrop dari kelenjar
hipofisis anterior. Mempunyai berat molekul sekitar 28.000 dan terdiri dari dua subunit yang
dihubungan secara kovalen, alfa dan beta. Subunit alfa lazim untuk dua glikoprotein hipofisis
lain, FSH dan LH, dan juga untuk hormon plasenta hCG; subunit beta berbeda untuk setiap
hormon glikoprotein dan memberikan sifat pengikatan dan aktivitas biologik yang spesifik.
Subunit alfa manusia mempunyai suatu inti apoprotein dari 92 asam amino dan mengandung
satu rantai o ligosakarida.
Glikosilasi terjadi dalam retikulum endoplasma kasar dan Golgi dari tirotrop, di mana
residu glukosa, manosa, dan fukosa dan sulfat terminal atau residu asam sialik dihubungkan
dengan inti apoprotein. Fungsi dari residu karbohidrat ini tidak seluruhnya jelas, tetapi ada
kemungkinan bahwa mereka meningkatkan aktivitas biolgik TSH dan memodifikasi
kecepatan bersihan metaboliknya. Contohnya, TSH deglikosilasi akan berikatan dengan
reseptornya, tetapi aktivitas biologiknya menurun secara nyata dan kecepaatn bersihan
metaboliknya meningkat dengan nyata.
e. Efek dari TSH terhadap Sel Tiroid
TSH mempunyai banyak aksi pada sel tiroid. Sebagian besar dari aksinya diperantarai
melalui sistem G protein-adenilil siklase-cAMP, tetapi aktivasi dari sistem fosfatidilinositol
(PIP2) dengan peningkatan dair kalsium intraselular dapat juga terlibat). Aksi utama dari TSH
termasuk yang berikut ini :
1. Perubahan Morfologi Sel Tiroid :
TSH secara cepat menimbulkanpseudopod pada batas sel-koloid, mempercepat
resorpsi tiroglobulin.Kandungan koloid berkurang. Tetesan koloid intraselular dibentuk
danpembentukan lisosom dirangsang, meningkatkan hidrolisis tiroglobulin .
2. Pertumbuhan Sel :
Masing-masing sel tiroid bertambah ukurannya;vaskularisasi meningkat; dan
setelah beberapa waktu, timbul pembesarantiroid, atau goiter.
3. Metabolisme Iodin :
TSH merangsang semua fase metabolismeiodida, dari peningkatan ambilan dan
transpor iodida hingga peningkatan iodinasi tiroglobulin dan peningkatan sekresi hormon
tiroid. Peningkatan dari cAMP memperantarai peningkatan transpor iodida, sementara
hidrolisa PTP2 dan peningkatan Ca2+ intraselular merangsang iodinasi dari tiroglobulin.
Efek TSH terhadap transpor iodida adalah bifasik : Pada awalnya terdepresi (effluks
iodida); dan kemudian, setelah suatu kelambatan beberapa jam, ambilan iodida
meningkat. Efluks dari iodida dapat disebabkan oleh peningkatan yang cepat dari
hidrolisis tiroglobulin dengan pelepasan hormon dan keluarnya iodida dari kelenjar.
4. Peningkatan mRNA untuk tiroglobulin dan peroksidase tiroidal, dengan suatu
peningkatan pemasukan I ke dalam MIT, DIT, T3 dan T4.
5. Peningkatan aktivitas lisosomal, dengan peningkatan sekresi T4 dan T3 dari kelenjar.
Juga terdapat peningkatan aktivitas deiodinase-5' tipe 1, memelihara iodin intratiroid.
6. TSH mempunyai banyak efek lain terhadap kelenjar tiroid, termasuk stimulasi dari
ambilan glukosa, konsumsi oksigen, produksi CO2, dan suatu peningkatan dari oksidase
glukosa via lintasan heksosemonofosfat dan siklus Krebs. Terdapat suatu percepatan
penggantian fosfolipid dan perangsangan sintesis prekursor purin dan pirimidin, dengan
peningkatan sintesis DNA dan RNA.
TSH Serum
Secara normal, hanya subunit α dan TSH utuh ditemukan dalam serum. Kadar dari subunit α
adalah sekitar 0,5-2,0 µg/L; terjadi peningkatan pada wanita pascamenopause dan pada pasien
dengan TSH-secreting pituitari tumor . Kadar serum dari TSH adalah sekitar 0,5-5 mU/L;
meningkat pada hipotiroidisme dan menurun pada hipertiroidisme, baik karena endogen
ataupun akibat asupan hormon tiroid per oral yang berlebihan. Waktu-paruh TSH plasma
adalah sekitar 30 menit, dan kecepatan produksi harian adalah sekitar 40-150 mU/hari.
Kontrol Sekresi TSH Hipofisis
Dua faktor utama yang mengendalikan sintesis dan pelepasan TSH adalah kadar T3
intratirotrop, yang mengontrol mRNA untuk sintesis dan pelepasan TS, dan TRH, yang
mengendalikan glikosilasi, aktivasi, dan pelepasan TSH . Sintesis dan pelepasan dihambat
oleh kadar serum T4 dan T3 yang tinggi (hipertiroidisme) dan dirangsang oleh kadar hormon
tiroid rendah (hipotiroidisme). Di samping itu, hormon-hormon dan obat-obatan tertentu
menghambat sekresi TSH. Dalam hal ini termasuk somatostatin, dopamin, agonis dopamin
seperti bromokriptin, dan glukokortikoid. Penyakit akut dan kronik dapat menyebabkan
penghambatan dari sekresi TSH selama penyakit aktif, dan kemungkinan terdapat peningkatan
balik dari TSH pada saat pasien pulih. Besarnya efek ini bervariasi; dengan demikian, obatobatan yang disebutkan di atas mensupresi TSH serum, tetapi biasanya akan dapat dideteksi.
Sebaliknya, hipertiroidisme akan menghentikan sekresi TSH sama sekali. Pengamatan ini
secara klinik penting dalam menginterpretasi kadar TSH serum pada pasien yang
mendapatkan terapi ini. Lesi atau tumor destruktif dari hipotalamus atau hipofisis anterior
dapat mengganggu sekresi TRH dan TSH dengan destruksi dari sel-sel sekretori. Hal ini akan
menimbulkan
"hipotiroidisme
sekunder"
akibat
destruksi
tirotrop
hipofisis
atau
"hipotiroidisme tersier" akibat destruksi dari TRH-secreting neuron. Diagnosis banding dari
lesi ini dibahas di bawah .
f. Kerja Hormon Tiroid
1. Reseptor Hormon Tiroid
Hormon tiroid, T3 dan T4, beredar dalam plasma sebagian besar terikat pada protein
tetapi dalam keseimbangan dengan hormon bebas. Hormon bebaslah yang diangkut melalui
difusi pasif ataupun karier spesifik melalui membran sel, melalui sitoplasma sel, untuk
berikatan dengan suatu reseptor pesifik pada inti sel. Di dalam sel, T4 diubah menjadi T3
melalui deiodinase-5', menunjukkan bahwa T4 merupakan suatu prohormon dan T3 adalah
bentuk hormon aktif. Reseptor inti untuk T3 telah dimurnikan. Merupakan salah satu dari
"keluarga" reseptor, kesemuanya sama dengan reseptor untuk retrovirus yang menyebabkan
eritroblastosis pada anak ayam, v-erb A, dan terhadap reseptor inti untuk glukokortikoid,
mineralokortikoid, estrogen, progestin, vitamin D3, dan asam retinoat.
Reseptor hormon tiroid manusia (hTR) terdapat dalam paling tidak tiga bentuk : hTR-α 1
dan 2 dan hTR-β1. hTR-α mengandung 410 asam amino, mempunyai berat molekul sekitar
47.000, dan gennya terletak pada kromosom 17. hTR-β mengandung 456 asam amino, dengan
berat molekul sekitar 52.000, dan gennya terdapat pada kromosom 3. Setiap reseptor
mengandung tiga daerah spesifik: suatu daerah amino terminal yang meningkatkan aktivitas
reseptor; suatu daerah pengikat-DNA sentral dengan dua "jari-jari" sistein-seng; dan suatu
daerah pengikat hormon terminal karboksil. Ada kemungkinan bahwa hTR-βl dan hTR-α1
merupakan bentuk reseptor yang aktif secara biologik; hTR-α2 tidak mempunyai kemampuan
mengikat hormon, tetapi berikatan dengan unsur respons hormon tiroid (TRE) pada DNA dan
dengan demikian dapat bertindak pada beberapa kasus untuk menghambat aktivitas dari T3 .
Afinitas pengikatan dari analog T3 terhadap reseptor T3 berbanding langsung dengan
aktivitas biologik dari analog. Mutasi titik pada gen hTR-β, yang menimbulkan reseptor T3
abnormal, merupakan penyebab dari sindroma resistensi generalisata terhadap hormon tiroid.
Reseptor hormon tiroid berikatan dengan tempat TRE spesifik pada DNA tanpa adanya
T3 tidak seperti kasus dengan reseptor hormon steroid. TRE terletak dekat, dengan promotor
di mana transkripsi dari gen hormon tiroid spesifik yang responsif diawali. T3 yang berikatan
dengan reseptor menimbulkan stimulasi, atau pada beberapa kasus inhibisi, dari transkripsi
gen-gen ini dengan akibat timbulnya perubahan dari tingkat transkripsi mRNA dari mereka.
Perubahan dalam tingkatan mRNA ini mengubah tingkatan dari produk protein dari gen ini.
Proetin ini kemudian memperantarai respons hormon tiroid. Reseptor ini sering berfungsi
sebagai heterodimer dengan faktor transkripsi lain seperti reseptor retinoat X dan reseptor
asam retinoat.
2. Efek Fisiologik Hormon Tiroid
Efek transkripsional dari T3 secara karakteristik memperlihatkan suatu lag time berjamjam atau berhari-hari untuk mencapai efek yang penuh. Aksi genomik ini menimbulkan
sejumlah efek, termasuk efek pada pertumbuhan jaringan, pematangan otak, dan peningkatan
produksi panas dan konsumsi oksigen yang sebagian disebabkan oleh peningkatan aktivitas
dari Na+-K+ ATPase, produksi dari reseptor beta-adrenergik yang meningkat. Sejumlah aksi
dari T3 tidak genomik, seperti penurunan dari deiodinase-5' tipe 2 hipofisis dan peningkatan
dari transpor glukosa dan asam amino. Sejumlah efek spesifik dari hormon tiroid diringkaskan
berikut ini.
3. Efek pada Perkembangan Janin
Sistem TSH tiroid dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada janin manusia sekitar 11
minggu. Sebelum saat ini, tiroid janin tidak mengkonsentrasikan I. Karena kandungan
plasenta yang tinggi dari deiodinase-5 tipe 3, sebagian besar T3 dan T4 maternal diinaktivasi
dalam plasenta, dan sangat sedikit sekali hormon bebas mencapai sirkulasi janin. Dengan
demikian, janin sebagian besar tergantung pada sekresi tiroidnya sendiri. Walaupun sejumlah
pertumbuhan janin terjadi tanpa adanya sekresi hormon tiroid janin, perkembangan otak dan
pematangan skeletal jelas terganggu, menimbulkan kretinisme (retardasi mental dan
dwarfisme/cebol).
4. Efek pada Konsumsi Oksigen, Produksi panas, dan Pembentukan Radikal Bebas
T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas sebagian melalui stimulasi Na+-K+
ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien, dan testis. Hal ini berperan pada peningkatan
kecepatan metabolisme basal (keseluruhan konsumsi O2 hewan saat istirahat) dan peningkatan
kepekaan terhadap panas pada hipertiroidisme. Hormon tiroid juga menurunkan kadar
dismutase superoksida, menimbulkan peningkatan pembentukan radikal bebas anion
superoksida. Hal ini dapat berperan pada timbulnya efek mengganggu dari hipertiroidisme
kronik.
5. Efek Kardiovaskular
T3 merangsang transkripsi dari rantai berat α miosin dan menghambat rantai berat β
miosin, memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga meningkatkan transkripsi dari Ca2+
ATPase dalam retikulum sarkoplasmik, meningkatkan kontraksi diastolik jantung; mengubah
isoform dari gen Na+ -K+ ATPase gen; dan meningkatkan reseptor adrenergik-beta dan
konsentrasi protein G. Dengan demikian, hormon tiroid mempunyai efek inotropik dan
kronotropik yang nyata terhadap jantung. Hal ini merupakan penyebab dari keluaran jantung
dan peningkatan nadi yang nyata pada hipertiroidisme dan kebalikannya pada hipotiroidisme.
6. Efek Simpatik
Seperti dicatat di atas, hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor adrenergik-beta
dalam otot jantung, otot skeletal, jaringan adiposa, dan limfosit. Mereka juga menurunkan
reseptor adrenergik-alfa miokardial. Di samping itu; mereka juga dapat memperbesar aksi
katekolamin pada tempat pascareseptor. Dengan demikian, kepekaan terhadap katekolamin
meningkat dengan nyata pada hipertiroidisme, dan terapi dengan obat-obatan penyekat
adrenergik-beta dapat sangat membantu dalam mengendalikan takikardia dan aritmia.
7. Efek Pulmonar
Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan hiperkapne normal pada pusat
pernapasan. Pada hipotiroidisme berat, terjadi hipoventilasi, kadangkadang memerlukan
ventilasi bantuan.
8. Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme menyebabkan peningkatan
produksi eritropoietin dan peningkatan eritropoiesis. Namun, volume darah biasanya tidak
meningkat karena hemodilusi dan peningkatan penggantian eritrosit. Hormon tiroid
meningkatkan kandungan 2,3-difosfogliserat eritrosit, memungkinkan peningkatan disosiasi
O2 hemoglobin dan meningkatkan penyediaan O2 kepada jaringan. Keadaan yang sebaliknya
terjadi pada hipotiroidisme.
9. Efek Gastrointestinal
Hormon tiroid merangsang motilitas usus, yang dapat menimbuklan peningkatan
motilitas dan diare pada hipertiroidisme dan memperlambat transit usus serta konstipasi pada
hipotiroidisme. Hal ini juga menyumbang pada timbulnya penurunan berat badan yang sedang
pada hipotiroidisme dan pertambahan berat pada hipotiroidisme.
10. Efek Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, meningkatkan resorpsi
tulang, dan hingga tingkat yang lebih kecil, pembentukan tulang. Dengan demikian,
hipertiroidisme dapat menimbulkan osteopenia yang bermakna, dan pada kasus berat,
hiperkalsemia sedang, hiperkalsiuria, dan peningkatan ekskresi hidroksiprolin urin dan
hubungan-silang pyridinium.
11. Efek Neuromuskular
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak protein struktural,
pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian protein dan kehilangan jaringan otot
atau miopati. Hal ini dapat berkaitan dengan kreatinuria sontan. Terdapat juga suatu
peningkatan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot, secara klinik diamati adanya hiperefleksia
atau hipertiroidisme-atau sebaliknya pada hipotiroidisme. Hormon tiroid penting untuk
perkembangan dan fungsi normal dari susunan saraf pusat, dan hiperaktivitas pada
hipertiroidisme serta kelambanan pada hipotiroidisme dapat mencolok.
12. Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat
Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis hati demikian pula
absorpsi glukosa usus. Dengan demikian, hipertiroidisme akan mengeksaserbasi diabetes
melitus primer. Sintesis dan degradasi kolesterol keduanya meningkat oleh hormon tiroid.
Efek yang terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh suatu peningkatan dari reseptor lowdensity lipoprotein (LDL) hati, sehingga kadar kolesterol menurun dengan aktivitas tiroid
yang berlebihan. Lipolisis juga meningkat, melepaskan asam lemak dan gliserol. Sebaliknya,
kadar kolesterol meningkat pada hipotiroidisme.
13. Efek Endokrin
Hormon tiroid meningkatkan pergantian metabolik dari banyak hormon dan obat-obatan
farmakologik. Contohnya, waktu-paruh dari kortisol adalah sekitar 100 menit pada orang
normal, sekitar 50 menit pada pasien hipertiroid, sekitar 150 menit pada pasien hipotiroid.
Kecepatan produksi kortisol akan meningkat pada pasien hipertiroid; dengan fungsi adrenal
normal sehingga mempertahankan suatu kadar hormon sirkulasi yang normal. Namun, pada
seorang pasien dengan insufisiensi adrenal, timbulnya hipertiroidisme atau terapi hormon
tiroid dari hipotiroidisme dapat mengungkapkan adanya penyakit adrenal.
Ovulasi dapat terganggu pada hipertiroidisme maupun hipotiroidisme, menimbulkan
infertilitas, yang dapat dikoreksi dengan pemulihan keadaan eutiroid. Kadar prolaktin serum
meningkat sekitar 40% pada pasien dengan hipotiroidisme, kemungkinan suatu manifestasi
dari peningkatan pelepasan TRH; hal ini akan kembali normal dengan terapi T4.
III.5 KONSEP PENYAKIT
1. DEFINISI
Hipertiroid dikenal juga sebagai tirotoksitosis, yang dapat di definisikan sebagai
respons jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolic hormone tiroid yang berlebihan.
(Sylvia A. Price, 2006).
Hipertiroid dalam hal prevalensi merupakan penyakit endokrin yang menempati
urutan kedua setelah Diabetes Mellitus, yang merupakan kesatuan penyakit dengan batasan
yang jelas, dan penyakit Graves menjadi penyebab utamanya. (Brunner dan Suddarth,
2002).
2. ETIOLOGI
1. Penyakit Graves diketahui sebagai penyebab umum dari hipertiroid. Pengeluaran
hormone tiroid yang berlebihan diperkirakan terjadi akibat stimulasi abnormal
kelenjar tiroid oleh immunoglobulin dalam darah. Stimulator tiroid kerja-panjang
(LATS; Long-acting thyroid stimulator) ditemukan dalam serum dengan
konsentrasi yang bermakna pada banyak penderita penyakit ini dan mungkin
2.
3.
4.
5.
6.
7.
berhubungan dengan defek pada sistem kekebalan tubuh.
Herediter
Stress atau infeksi
Tiroiditis
Syok emosional
Asupan tiroid yang belebihan
Dari penyakit lain yang bukan hipertiroid, misalnya adenokarsinoma hipofisis
3. FAKTOR RESIKO
Kelainan hipertiroid sangat menonjol pada wanita, Hipertiroid menyerang wanita
lima kali lebih sering dibandingkan laki laki. Insidensinya akan memuncak dalam decade
usia ketiga serta keempat.(Schimke, 1992).
4. KLASIFIKASI
a. Goiter Toksik Difusa (Graves’ Disease)
Kondisi yang disebabkan, oleh adanya gangguan pada sistem kekebalan tubuh
dimana zat antibodi menyerang kelenjar tiroid, sehingga menstimulasi kelenjar tiroid
untuk memproduksi hormon tiroid terus menerus.
Graves’ disease lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, gejalanya
dapat timbul pada berbagai usia, terutama pada usia 20 – 40 tahun. Faktor keturunan
juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan pada sistem kekebalan tubuh, yaitu
dimana zat antibodi menyerang sel dalam tubuh itu sendiri.
b. Nodular Thyroid Disease
Pada kondisi ini biasanya ditandai dengan kelenjar tiroid membesar dan tidak
disertai dengan rasa nyeri. Penyebabnya pasti belum diketahui. Tetapi umumnya timbul
seiring dengan bertambahnya usia.
c.
Subacute Thyroiditis
Ditandai dengan rasa nyeri, pembesaran kelenjar tiroid dan inflamasi, dan
mengakibatkan produksi hormon tiroid dalam jumlah besar ke dalam darah. Umumnya
gejala menghilang setelah beberapa bulan, tetapi bisa timbul lagi pada beberapa orang.
d. Postpartum Thyroiditis
Timbul pada 5 – 10% wanita pada 3 – 6 bulan pertama setelah melahirkan dan
terjadi selama 1 -2 bulan. Umumnya kelenjar akan kembali normal secara perlahanlahan.
5. MANIFESTASI KLINIS
 Penderita sering secara emosional mudah terangsang (hipereksitabel), iritabel dan terus
merasa khawatir dan klien tidak dapat duduk diam
 Denyut nadi yang abnormal yang ditemukan pada saat istirahat dan beraktivitas; yang
diakibatkan peningkatan dari serum T3 dan T4 yang merangsang epinefrin dan
mengakibatkan kinerja jantung meningkat hingga mengakibatkan HR meningkat.
Peningkatan denyut nadi berkisar secara konstan antara 90 dan 160 kali per menit,
tekanan darah sistolik akan meningkat.
 Tidak tahan panas dan berkeringat banyak diakibatkan karena peningkatan metabolisme
tubuh yang meningkat maka akan menghasilkan panas yang tinngi dari dalam tubuh
sehingga apabila terkena matahari lebih, klien tidak akan tahan akan panas.
 Kulit penderita akan sering kemerahan (flusing) dengan warna ikan salmon yang khas
dan cenderung terasa hangat, lunak dan basah.
 Adanya Tremor
 Eksoftalmus yang diakibatkan dari penyakit graves, dimana penyakit ini otot-otot yang
menggerakkan mata tidak mampu berfungsi sebagaimana mesti, sehingga sulit atau tidak
mungkin menggerakkan mata secara normal atau sulit mengkordinir gerakan mata
akibatnya terjadi pandangan ganda, kelopak mata tidak dapat menutup secara sempurna
sehingga menghasilkan ekspresi wajah seperti wajah terkejut.
 Peningkatan selera makan namun mengalami penurunan berat badan yang progresif dan
mudah lelah.
 Perubahan defekasi dengan konstipasi dan diare
 Pada usia lanjut maka akan mempengaruhi kesehatan jantung
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 T4 Serum
Tes yang paling sering dilakukan adalah penentuan T4 serum dengan teknik
radioimmunoassay atau peningkatan kompetitif. Kisaran T4 dalam serum yang normal
berada diantara 4,5 dan 11,5 mg/dl (58,5 hingga 150 nmol/L). T 4 terikat terutama dengan
TBG dan prealbumin : T3 terikat lebih longgar. T4 normalnya terikat dengan protein.
Setiap factor yang mengubah protein pangikat ini juga akan mengubah kadar T4
 T3 Serum
T3 serum mengukur kandungan T3 bebas dan terikat, atau total T3 total, dalam
serum. Sekresinya terjadi sebagai respon terhadap sekresi TSH dan T4. Meskipun kadar
T3 dan T4 serum umumnya meningkat atau menurun secara bersama-sama, namun kadar
T4 tampaknya merupakan tanda yang akurat untuk menunjukan adanya hipertiroidisme,
yang menyebabkan kenaikan kadar T4 lebih besar daripada kadar T3. Batas-batas normal
untuk T3 serum adalah 70 hingga 220 mg/dl (1,15 hingga 3,10 nmol/L)
 Tes T3 Ambilan Resin
Tes T3 ambilan resin merupakan pemeriksaan untuk mengukur secara tidak
langsung kaar TBG tidak-jenuh. Tujuannya adalah untuk menentukan jumlah hormone
tiroid yang terikat dengan TBG dan jumlah tempat pengikatan yang ada. Pemeriksaan
ini, menghasilkan indeks jumlah hormone tiroid yang sudah ada dalam sirkulasi darah
pasien. Normalnya, TBG tidak sepenuhnya jenuh dengan hormone tiroid dan masih
terdapat tempat-tempat kosong untuk mengikat T3 berlabel-radioiodium, yang
ditambahkan ke dalam specimen darah pasien. Nilai ambilan T3 yang normal adalah
25% hingga 35% yang menunjukan bahwa kurang lebih sepertiga dari tempat yang ada
paa TBG sudah ditempati oleh hormone tiroid. Jika jumlah tempat kosong rendah,
seperti pada hipertiroidisme, maka ambilan T3 lebih besar dari 35%
 Tes TSH (Thyroid Stimulating Hormone)
Sekresi T3 dan T4 oleh kelenjar tiroid dikendalikan hormone stimulasi tiroid (TSH
atau tirotropin) dari kelenjar hipofisis anterior. Pengukuran konsentrasi TSH serum
sangat penting artinya dalam menegakkan diagnosis serta penatalaksanaan kelainan
tiroid dan untuk membedakan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada kelenjar
tiroid sendiri dengan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada hipofisis atau
hipotalamus.kadar TSH dapat diukur dengan assay radioimunometrik, nilai normal
dengan assay generasi ketiga, berkisar dari 0,02 hingga 5,0 μU/ml.
Kadar TSH sensitif dan dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar
akan berada dibawah normal pada pasien dengan peningkatan autonom pada fungsi
tiroid (penyakit graves, hiperfungsi nodul tiroid).
 Tes Thyrotropin Releasing Hormone
Tes Stimulasi TRH merupakan cara langsung untuk memeriksa cadangan TSH di
hipofisis dan akan sangat berguna apabila hasil tes T3 dan T4 tidak dapat dianalisa.
Pasien diminta berpuasa pada malam harinya. Tiga puluh menit sebelum dan sesudah
penyuntikan TRH secara intravena, sampel darah diambil untuk mengukur kadar TSH.
Sebelum tes dilakukan, kepada pasien harus diingatkan bahwa penyuntikan TRH secara
intravena dapat menyebabkan kemerahan pasa wajah yang bersifat temporer, mual, atau
keinginan untuk buang air kecil.
 Tiroglobulin
Tiroglobulin merupakan precursor untuk T3 dan T4 dapat diukur kadarnya dalam
serum dengan hasil yang bisa diandalkan melalui pemeriksaaan radioimmunoassay.
Faktor-faktor yang meningkatkan atau menurunkan aktivitas kelenjar tiroid dan sekresi
T3 serta T4 memiliki efek yang serupa terhadap sintesis dan sekresi tiroglobulin. Kadar
tiroglobulin meningkat pada karsinoma tiroid, hipertiroidisme dan tiroiditis subakut.
Kadar tiroglobulin juga dapat akan meningkat pada keadaan fisiologik normal seperti
kehamilan.

Ambilan Iodium Radioaktif
Tes ambilan iodium radioaktif dilakukan untuk mengukur kecepatan pengambilan
iodium oleh kelenjar tiroid. Kepada pasien disuntikan atau radionuklida lainnya dengan
dosis tracer, dan pengukuran pada tiroid dilakukan dengan alat pencacah skintilas
(scintillation counter) yang akan mendeteksi serta menghitung sinar gamma yang
dilepaskan dari hasil penguraian dalam kelenjar tiroid.
Tes ini mengukur proporsi dosis iodium radioaktif yang diberikan yang terdapat
dalam kelenjar tiroid pada waktu tertentu sesudah pemberiannya. Tes ambilan iodiumradioaktif merupakan pemeriksaan sederhana dan memberikan hasil yang dapat
diandalkan.Penderita hipertiroidisme akan mengalami penumpukan dalam proporsi yang
tinggi (mencapai 90% pada sebagian pasien).

Pemindai Radio atau Pemindai Skintilasi Tiroid
Serupa dengan tes ambilan iodium radioaktif dalam pemindaian tiroid digunakan
alat detector skintilasi dengan focus kuat yang digerakkan maju mundur dalam suatu
rangkaian jalur parallel dan secara progresif kemudian digerakkan kebawah. Pada saat
yang bersamaan, alat pencetak merekam suatu tanda ketika telah tercapai suatu jumlah
hitungan yang ditentukan sebelumnya.
Teknik ini akan menghasilkan gambar visual yang menentukan lokasi
radioaktivitas di daerah yang dipindai. Meskipun I 131 merupakan isotop yang paling
sering digunakan, beberapa isotop iodium lainnya yang mencakup Tc9m (sodium
pertechnetate) dan isotop radioaktif lainnya (thalium serta americum) digunakan di
beberapa laboratorium karena sifat-sifat fisik dan biokimianya memungkinkan untuk
pemberian radiasi dengan dosis rendah.
Pemindaian sangat membantu dalam menemukan lokasi, ukuran, bentuk dan
fungsi anatomic kelenjar tiroid. Khususnya jaringan tiroid tersebut terletak substernal
atau berukuran besar. Identifikasi daerah yang mengalami peningkatn fungsi (hot area)
atau penurunan fungsi (cold area) dapat membantu dalam menegakkan diagnosis.
Meskipun sebagian besar daerah yang mengalami penurunan fungsi tidak menunjukkan
kelainan malignitas, defisiensi fungsi akan meningkatknya kemungkinan terjadinya
keganasan terutama jika hanya terdapat satu daerah yang tidak berfungsi.
Pemindaian terhadap keseluruhan tubuh (whole body CT scan) yang diperlukan
untuk memperoleh profil seluruh tubuh dapat dilakukan untuk mencari metastasis
malignitas pada kelenjar tiroid yang masih berfungsi.
▪
Bentuk cold area
Bentuk cold area yang berupa moth eaten appearance mencurigakan keganasan.
- Hubungan cold area dengan daerah sekitarnya.
Cold area dengan distribusi jodium yang tidak merata lebih cenderung untuk kelainan
metabolik, terutama bila lobus tiroid yang kontralateral untuk membesar.
- Hubungan cold area dengan unsur jenis kelamin
Cold area pada laki-laki usia tua dan anak-anak lebih menambah kecurigaan akan
keganasan.
Hal-hal yang dapat menyebabkan cold area :
- Kista.
- Hematom.
- Struma adenomatosa.
- Perdarahan.
- Radang.
- Keganasan.
- Defek kongenital.
Hal-hal yang dpat menyebabkan hot area :
- Struma adenomatosa.
- Adenoma toksik.
- Radang.
- Keganasan.

Ultrasonografi
Pemeriksaan ini dapat membantu membedakan kelainan kistik atau solid pada
tiroid. Kelainan solid lebih sering disebabkan keganasan dibanding dengan kelainan
kistik.
Tetapi
kelainan
kistikpun
dapat
disebabkan
keganasan
meskipun
kemungkinannya lebih kecil.

Pemeriksaan radiologik di daerah leher
Karsinoma tiroid kadang-kadang disertai perkapuran. Ini sebagai tanda yang
boleh dipegang.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan kadar kalsitonin (untuk pasien dengan kecurigaan
karsinoma medulle.
2.
Biopsi jarum halus
3.
Pemeriksaan sidik tiroid.
Dengan penggunaan yodium bila nodul menangkap yodium tersebut kurang dari
tiroid normal disebut nodul dingin. Bila sama afinitasnya disebut nodul hangat. Kalau
lebih banyak menangkap yodium disebut nodul panas. Sebagian besar karsinoma
tiroid termasuk nodul dingin
4.
Radiologis untuk mencari metastasis
5.
Histopatologi.
Masih merupakan pemeriksaan diagnostik utama. Untuk kasus inoperable,
jaringan diambil dengan biopsi insisi.
7. KOMPLIKASI
Badai tiroid adalah suatu aktivitas yang sangat berlebihan dari kelenjar tiroid, yang
terjadi secara tiba-tiba.
Badai tiroid bisa menyebakan:
1. Ulkus Kornea
Ulkus kornea terjadi oleh karena pembengkakan kelenjar retroorbita dan perubahan
degenaratif otot occuler menyebabkan mata sulit di tutup sehingga terjadi iritasi mata,
lalu infeksi yang menyebabkan ulkus kornea.
2. Gagal Jantung
Gagal jantung bisa terjadi karena disritmia yang disebabkan hipertiroid.
3. Krisis Tiroid
4. Osteoporosis premature pada wanita
5. Demam
6. Kelemahan dan pengkisutan otot yang luar biasa
7. Kegelisahan
8. Perubahan suasana hati
9. Kebingungan
10. Perubahan kesadaran (bahkan sampai terjadi koma)
11. Pembesaran hati disertai penyakit kuning yang ringan.
Badai tiroid merupakan suatu keadaan darurat yang sangat berbahaya dan
memerlukan tindakan segera. Tekanan yang berat pada jantung bisa menyebabkan
ketidakteraturan irama jantung yang bisa berakibat fatal (aritmia) dan syok.
Badai tiroid biasanya terjadi karena hipertiroidisme tidak diobati atau karena
pengobatan yang tidak adekuat, dan bisa dipicu oleh:
 infeksi
 trauma
 pembedahan
 diabetes yang kurang terkendali
 ketakutan
 kehamilan atau persalinan
 tidak melanjutkan pengobatan tiroid
 stres lainnya.
Badai tiroid jarang terjadi pada anak-anak.
8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan hipertiroidisme secara farmakologi menggunakan empat kelompok
obat ini yaitu: obat antitiroid, penghambat transport iodida, iodida dalam dosis besar
menekan fungsi kelenjar tiroid, yodium radioaktif yang merusak sel-sel kelenjar tiroid.
Obat antitiroid bekerja dengan cara menghambat pengikatan (inkorporasi) yodium pada
TBG (thyroxine binding globulin) sehingga akan menghambat sekresi TSH (Thyreoid
Stimulating Hormone) sehingga mengakibatkan berkurang produksi atau sekresi hormon
tiroid.
A. Obat-obatan anti tiroid (OAT)
Obat antitiroid dianjurkan sebagai terapi awal untuk toksikosis pada semua pasien dengan
grave disease serta digunakan selama 1-2 tahun dan kemudian dikurangi secara perlahanlahan. Indikasi pemberian OAT adalah :

Sebagai terapi yang bertujuan memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi
yang menetap, pada pasien – pasien muda dengan struma ringan sampai sedang
dan tirotoksikosis

Sebagai obat untuk kontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau
sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium radioaktif.

Sebagai persiapan untuk tiroidektomi

Untuk pengobatan pada pasien hamil

Pasien dengan krisis tiroid
Obat antitiroid tersebut berfungsi menghambat organifikasi iodida dan proses
berpasangan iodotirosin untuk membentuk T3 dan T4. PTU juga menghambat perubahan
T4 menjadi T3 di perifer dengan dosis 300-600 mg/hari secara oral dalam 3-4 dosis
terbagi. Efek samping pengobatan yang utama adalah agranulositosis, yang terjadi
sebagai suatu reaksi idiosinkrasi pada 0,2-0,5% pasien yang diterapi. Komplikasi ini
terjadi dengan awitan yang cepat, tidak dapat diramalkan dengan lewat pemantauan
hitung darah putih, dan bersifat reversibel bila obat dihentikan.
Adapun obat-obat yang temasuk obat antitiroid adalah Propiltiourasil, Methimazole,
Karbimazol.
a. Propiltiourasil (PTU)
Nama generik : Propiltiourasil
Nama dagang di Indonesia : Propiltiouracil (generik)
Indikasi : hipertiroidisme
Kontraindikasi : hipersensisitif terhadap Propiltiourasil, blocking replacement regimen
tidak boleh diberikan pada kehamilan dan masa menyusui.
Bentuk sediaan : Tablet 50 mg dan 100 mg
Dosis dan aturan pakai : untuk anak-anak 5-7 mg/kg/hari atau 150-200 mg/ m2/hari, dosis
terbagi setiap 8 jam. Dosis dewasa 3000 mg/hari, dosis terbagi setiap 8 jam. untuk
hipertiroidisme berat 450 mg/hari, untuk hipertiroidisme ocasional memerlukan 600-900
mg/hari; dosis pelihara 100-150 mg/haridalam dosis terbagi setiap 8-12 jam. Dosis untuk
orangtua 150-300 mg/hari (Lacy, et al, 2006)
Efek samping : ruam kulit, nyeri sendi, demam, nyeri tenggorokan, sakit kepala, ada
kecendrungan pendarahan, mual muntah, hepatitis.
Mekanisme Obat: menghambat sintesis hormon tiroid dengan memhambatoksidasi dari
iodin dan menghambat sintesistiroksin dan triodothyronin (Lacy, et al, 2006)
Resiko khusus : .
Hati-hati penggunaan pada pasien lebih dari 40 tahun karena PTU bisa menyebabkan
hipoprotrombinnemia dan pendarahan, kehamilan dan menyusui, penyakit hati (Lee,
2006).
b. Methimazole
Nama generik : methimazole
Nama dagang : Tapazole
Indikasi : agent antitiroid
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap methimazole dan wanita hamil.
Bentuk sediaan : tablet 5 mg, 10 mg, 20 mg
Dosis dan aturan pakai : untuk anak 0,4 mg/kg/hari (3 x sehari); dosis pelihara 0,2
mg/kg/hari (3 x sehari). maksimum 30 mg dalam sehari.
Untuk dewasa: hipertiroidisme ringan 15 mg/hari; sedang 30-40 mg/hari; hipertiroid berat
60 mg/ hari; dosis pelihara 5-15 mg/hari.
Efek samping : sakit kepala, vertigo, mual muntah, konstipasi, nyeri lambung, edema.
Resiko khusus : pada pasien diatas 40 tahun hati-hati bisa meningkatkan
myelosupression, kehamilan (Lacy, et al, 2006)
c. Karbimazole
Nama generik : Karbimazole
Nama dagang di Indonesia : Neo mecarzole (nicholas).
Indikasi : hipertiroidisme
Kontraindikasi : blocking replacement regimen tidak boleh diberikan pada kehamilan dan
masa menyusui.
Bentuk sediaan : tablet 5 mg
Dosis dan aturan pakai : 30-60 mg/hari sampai dicapai eutiroid, lalu dosis diturunkan
menjadi 5-20 mg/hari; biasanya terapi berlangsung 18 bulan.
Sebagai blocking replacement regimen, karbamizole 20 – 60 mg dikombinasikan dengan
tiroksin 50 -150 mg.
Untuk dosis anak mulai dengan 15 mg/hari kemudian disesuaikan dengan respon.
Efek samping : ruam kulit, nyeri sendi, demam, nyeri tenggorokan, sakit kepala, ada
kecendrungan pendarahan, mual muntah, leukopenia.
Resiko khusus : penggunaan pada pasien lebih dari 40 tahun karena PTU bisa
menyebabkan hipoprotrombinemia dan pendarahan, kehamilan dan menyusui (Lacy, et
al, 2006).
d. Tiamazole
Nama generik : Tiamazole
Nama dagang di Indonesia : Thyrozol (Merck).
Indikasi : hipertiroidisme terutama untuk pasien muda, persiapan operasi.
Kontraindikasi : hipersensitivitas
Bentuk sediaan : tablet 5 mg, 10 mg
Dosis dan aturan pakai : untuk pemblokiran total produksi hormon tiroid 25-40 mg/hari;
kasus ringan 10 mg (2 x sehari); kasus berat 20 mg (2 x sehari); setelah fungsi tiroid
normal (3-8 minggu) dosis perlahan-lahan diturunkanhingga dosis pemelihara 5 – 10
mg/hari.
Efek samping : alergi kulit, perubahan pada sel darah, pembengkakan pada kelenjar
ludah.
Resiko khusus : jangan diberikan pada saat kehamilan dan menyusui, hepatitis.
B. Pengobatan dengan Yodium Radioaktif
Dianjurkan sebagai terapi definitif pada pasien usia lanjut. Indikasi :

Pasien umur 35 tahun atau lebih

Hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi

Gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid

Adenoma toksik, goiter multinodular toksik
Pengobatan yodium radioaktif merupakan suatu pemancar-beta yang terperangkap
oleh sel folikular tiroid dan berada dalam tirosin beryodium dan tironin. Pemancar-beta
ini memancarkan radiasi local dan melakukan ablassi jaringan tirois. Dosis yang
diberikan bervariasi dari 40 sampai 200 mikroCi/g dari berat tiroid yang diperkirakan.
Komplikasi utama dari terapi ini adalah munculnya hipotiroidisme yang
bergantung pada dosis. Biasanya 30 % pasien menjadi hipotiroid dalam tahun pertama
setelah terapi dan sebagian kecil mengalami hipotiroid dalam tahun berikutnya.
C. Pembedahan Tiroidektomi
Tiroidektomi subtotal efektif untuk terapi hipertiroidisme tetapi disertai dengan
beberapa komplikasi potensial, termasuk cedera pada nervus laringeus rekurens dan
hipoparatiroidisme. Iodium biasanya diberikan sebelum operasi untuk mengendalikan
tirotoksikosis dan untuk mengurangi vaskularitas kelenjar itu.
Pengangkatan sekitar 5/6 jaringan tiroid praktis menjamin kesembuhan dalam
waktu lama bagi sebagian besar penderita penyakit goiter
eksoftalmik. Sebelum
pembedahan, preparat propiltiourasil diberikan sampai tanda-tanda hipertiroidisme
menghilang.
Indikasi :

Pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap obat
antitiroid.

Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid dosis besar

Alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium radioaktif

Adenoma toksik atau struma multinodular toksik

Pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
D. Obat-obatan lain

Antagonis adrenergik-beta
Digunakan untuk mengendalikan tanda-tanda dan gejala hipermetabolik
(takikardi, tremor, palpitasi). Antagonis-beta yang paling sering digunakan adalah
propranolol, yang biasanya diberikan secara oral dengan dosis 80-180 mg per hari
dalam 3-4 dosis terbagi.

Kalium Iodida (SSKI:1 tetes = 50 mg iodida anorganik)
3 tetes secara oral 3 kali sehari, sering digunakan sebagai pengganti tionamid
(PTU dan metimazol) setelah terapi radioiodin.
Nonfarmakologi

Diet yang diberikan harus tinggi kalori 2600-3000 kalori perhari

Konsumsi protein yang tinggi yaitu 100-125 gr (2,5 gr/kgBB) per hari seperti susu
dan telur

Olahraga secara teratur

Mengurangi rokok, alcohol dan kafein yang dapat meningkatkan metabolisme
Download