1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejumlah konflik komunal berdarah telah mengguncang beberapa daerah di Indonesia pada sekitar akhir 1990-an hingga awal 2000-1n. Gelombang konflik dengan kekerasan ini merisaukan banyak kalangan, di samping lantaran lambannya penyelesaian oleh negara, juga menyangkut jatuhnya korban yang tidak sedikit (Cahyono, 2008). Kondisi pasca konflik sendiri menunjukkan adanya beberapa isu penting selain dari sekedar bantuan kemanusiaan maupun persoalan pembangunan kembali dan rehabilitasi infrastruktur fisik, di antaranya menyangkut bagaimana penanganan korban kekerasan khususnya pada anak-anak dan rehabilitasi yang bersifat psikis, relokasi pengungsi, serta pembangunan perdamaian(rekonsiliasi) jangka panjang antar pihak yang pernah mengalami konflik (Cahyono, 2008). Beberapa kemungkinan yang menjadi dasar untuk membangun suatu identitas komunal : kesamaan sejarah, kepercayaan religius, bahasa, etnik, daerah, dan sebagainya. Kunci untuk mengidentifikasi kelompok komunal bukanlah adanya kesamaan satu atau beberapa ciri, tapi lebih kepada kesamaan persepsi dalam mendefinisikan ciri yang mereka miliki (Gurr, 1993). Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah dengan luas wilayah sekitar 14.433,77 kilo meter persegi. Kabupaten ini terdiri dari 13 kecamatan, 211 desa dan 29 kelurahan. Pada tahun 2002 jumlah penduduk Poso adalah 231.898 jiwa. Kabupaten Poso memiliki penduduk yang sangat beragam. Beberapa suku asli yang ada di Poso antara lain Pamona, Lore, Mori, Bungku, dan Tojo/Una-Una, sedangkan suku pendatang yang ada di wilayah ini antara lain Bugis, Makasar, Toraja, Manado, Minahasa, dan transmigran dari Jawa dan Nusa Tenggara (Saputra, 2009). Suku-suku tersebut di atas secara umum bisa dikategorikan menjadi dua mayoritas agama, yaitu Kristen dan Islam. Fakta yang ada menunjukkan bahwa pernah terjadi konflik antara kedua agama tersebut di Poso. Alganih (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa konflik Poso sebenarnya adalah konflik realistik yaitu, perebutan kekuasaan politik antar elit politik lokal di Poso yang kemudian massa dilibatkan dengan identitas agama dan etnis dengan tujuan untuk memobilisasi massa dalam memperoleh kekuasaan. Ketika konflik menyentuh ranah agama membuat pertikaian menjadi konflik non realistik bernuansa SARA dan menjadikan konflik terjadi berkepanjangan. Konflik besar mulai meletus pada tahun 1998, hingga sampai pada puncaknya di tahun 2000. Kerusuhan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Kerusuhan Poso I (25-29 Desember 1998), Poso II (17-21 April 2000), dan Poso III (16 Mei - 15 Juni 2000). Konflik Poso berawal tidak lama setelah pemilihan Bupati pada Desember 1998, karena diduga ada sentimen keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dugaan ini muncul karena menangnya pasangan Piet I dan Mutholib Rimi tidak lepas dari identitas agama dan suku. Setelah itu, agama dijadikan alasan pada setiap konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar personal pun bisa menjadi pemicu kerusuhan. Semisal, ada dua pemuda terlibat perkelahian. Satu beragama Islam dan yang satunya lagi beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok (Saputra, 2009). Sebelum meletus konflik Poso pada Desember 1998 yang diikuti oleh beberapa peristiwa konflik lanjutan, sebenarnya Poso juga pernah mengalami ketegangan yang 2 berhubungan dengan komunitas keagamaan (Muslim dan Kristen), yakni tahun 1992 dan 1995. Peristiwa tahun 1992 terjadi akibat Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga mantan Muslim) dianggap menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad nabi orang Islam bukanlah Nabi apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan masjid dan madrasah di desa Tegalrejo oleh sekelompok pemuda Kristen asal desa Mandale. Peristiwa ini mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejo dan Lawanga dengan melakukan perusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan kecil tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan pada masa Orde Baru, sehingga tak sampai melebar apalagi berlarut-larut (Saputra, 2009). Pasca peristiwa 1992 dan 1995, bisa dikatakan masyarakat kembali hidup secara wajar. Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran ”aparat keamanan” yang sedang digugat di semua lini melalui berbagai isu, kerusuhan Poso kembali meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif. Awal kerusuhan terjadi pada Desember 1998, konflik kedua terjadi pada bulan April 2000, dan tidak lama setelah kerusuhan tahap dua terjadi lagi kerusuhan ke tiga di bulan Mei-Juni 2000. Konflik masih terus berlanjut dengan terjadinya kerusuhan ke empat pada Juli 2001, dan yang ke lima pada November 2001. Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu sampai lima (Saputra, 2009). Meskipun demikian, pola konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis hanya berdasar urutan itu, mengingat intensitas dan ekstensitas wilayah dan pelaku konflik antar tahap memperlihatkan perbedaan yang sangat mendasar. Terdapat beberapa pola kerusuhan yang dapat dilihat pada kerusuhan di Poso. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya bermula terjadi di Poso kota dan selanjutnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Wilayah 3 Poso kota memiliki komposisi agama yang relatif berimbang. Fakta ke dua, kerusuhan yang terjadi di pusat kota diikuti dengan mobilitas masa yang cukup besar, yang berasal dari luar Kota Poso, bahkan berasal dari luar Kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan ke dua meletus, massa memasuki kota Poso berdatangan dari Kecamatan Ampana, Kecamatan Parigi, Lage, Pamona, dan bahkan dari Kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan ketiga pun meletus, mobilisasi massa bahkan semakin membludak, dan jauh lebih besar dari massa yang datang pada kerusuhan pertama dan ke dua (Saputra, 2009). Pola ke tiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata, baik itu benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat banyak mengatakan bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan pedang/parang, benturan dengan benda keras, dan lain sebagainya (Saputra, 2009). Pola ke empat adalah kesalahpahaman informasi dari kedua belah pihak. Pada kerusuhan pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua oknum pemuda Islam dan Kristen, yang kemudian di blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik ke dua berakar dari perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan bahwa kerusuhan itu adalah kerusuhan dengan latar belakang agama (Saputra, 2009). Konflik pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat disebut ”tawuran”, sebab konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampung, intensitas dan wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan dan kota. Solidaritas kelompok memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan kelompok lain. Bahkan, setelah tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras, kelompok yang berbenturan justru sempat sepakat mengadakan operasi miras bersama (Saputra, 2009). Sejak Mei-Juni 2000, dilanjutkan pada Juli 2001 dan November-Desember 2001 konflik telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara. Konflik sudah mengarah pada 4 upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas pembunuhan terhadap siapa pun, termasuk perempuan dan anak-anak, yang dianggap sebagai bagian lawan. Telah terbangun solidaritas kelompok secara tegas melalui ideologisasi konflik berdasar isu agama dan etnisitas, sehingga konflik menjadi bersifat sangat intensif (kekerasan dan korban) dan ekstensif (wilayah dan pelaku). Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang umumnya menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000 mereka telah mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga konflik keempat dan kelima, serta beberapa kekerasan sporadis ”pascakonflik” (Saputra, 2009). Konflik adalah sebuah usaha dimana tujuannya adalah untuk melukai, atau memusnahkan lawan (Horowitz, 1985). Walaupun Komnas HAM menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada konflik Poso, dampak dari rangkaian konflik Poso sangatlah banyak. Mulai dari dampak fisik seperti kehilangan anggota keluarga karena terbunuh, kehilangan harta benda, dan rusaknya berbagai infrastruktur. Selain itu ada pula dampak psikis, yang berupa rasa tidak percaya dan rasa tidak aman, baik kepada kelompok lawan ataupun kepada aparat keamanan. Dampak yang perlu diwaspadai adalah potensi munculnya konflik-konflik lanjutan. Ketika kelompok-kelompok tetap tinggal bersama setelah mengalami kekerasan yang intens, rekonsiliasi menjadi penting untuk mencegah kekerasan yang baru (Nasroen, 2010). Namun, penelitian menunjukkan bahwa setelah mengalami pengalaman kekerasan berkalikali, manusia menjadi tidak siap untuk memaafkan (Worthington, 2005, dalam Nasroen., 2010). Forgiveness sangatlah penting untuk membantu meningkatkan taraf hidup korban. Dalam kaitannya dengan rekonsiliasi, forgiveness diasosiasikan secara positif dengan lebih banyak kontak dengan teman-teman outgroup, sikap terhadap outgroup yang lebih positif, 5 kemampuan yang lebih besar untuk mengambil perspektif masyarakat lain, dan kepercayaan yang lebih besar terhadap outgroup (Nasroen, 2010). Fenomena yang terjadi, dalam konflik yang melibatkan dua kelompok, sering kali terjadi mirror image, yaitu suatu kelompok berpikir bahwa ingroup selalu positif, dan outgroup selalu negatif, dan ini terjadi pada kedua belah pihak, yang berimbas pada sulitnya tercapai tahap forgiveness. Tanpa forgiveness, rekonsiliasi akan sulit tercapai dan konflik berpotensi untuk meletus kembali. Sebenarnya konflik tidak perlu menimbulkan konsekuensi destruktif, tetapi konflik yang buruk bisa berakibat mengerikan. Oleh karena itu konflik yang destruktif mampu mengakibatkan banyak kerusakan dan mengarah pada eskalasi. Sekali konflik mengalami eskalasi, maka transformasi yang menyertainya akan sulit di de-eskalasi-kan (Pruitt, 2011). Maka di sini lah pentingnya mengetahui apakah suatu kondisi pasca konflik sudah mengarah ke rekonsiliasi atau justru mengarah ke eskalasi, dilihat dari willingness to seek forgiveness dari kedua pihak yang berkonflik. 6 B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara mirror image terhadap willingness to seek forgiveness pada tahap pasca konflik antar kelompok di Poso, Sulawesi Tengah. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah di bidang psikologi sosial dan dapat digunakan sebagai bahan penelitian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan konflik antar kelompok. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah bisa digunakan sebagai pegangan bagi pihak pendidik, termasuk di dalamnya sekolah, keluarga, maupun pemuka agama untuk melakukan upaya yang bisa mengurangi mirror image pada siswa beragama Islam dan Kristen. Selain itu juga bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang concern pada penanganan pasca konflik. 7