NASKAH PUBLIKASI GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA TUBERKULOSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan Oleh : Priyo Nugroho NIM. ST151078 PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2017 i PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2017 Priyo Nugroho Gambaran Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo Abstrak Tuberkulosis (TB) menjadi masalah di dunia maupun di Indonesia. TB dipengaruhi oleh faktor gizi, imunitas, lingkungan, serta sarana dan prasarana. Strategi pemerintah untuk mengurangi kasus TB yaitu metode DOTS. Pengobatan yang lama serta sikap keluarga yang takut dan tidak mau berinteraksi dengan penderita akan berdampak pada kondisi psikologis penderita dan akhirnya mempengaruhi kualitas hidup penderita. Kasus TB di Kecamatan Sukoharjo tahun 2015 sebanyak 486 penderita, dari studi pendahuluan di Sukoharjo, 4 dari 6 penderita merasa malu dan membatasi dari bergaul dengan keluarga dan tetangga sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas hidup penderita Tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas Sukoharjo Penelitian ini jenis kuantitatif, variabel yang diamati yaitu kualitas hudip pendertita tuberkolusis, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Data diperoleh dari hasil penyebaran lembar kuesioner WHOQOLBREF yang sebelumnya diberikan pengajuan inform consent. Analisis data yaitu univariat untuk mengetahui karakteristik responden penelitian yang meliputi usia, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin,dan kualitas hidup penderita Tuberkulosis. Hasil penelitian diketahui sebagian besar usia yaitu 20-30 tahun (31,6%)., jenis kelamin perempuan (51,5%), tingkat pendidikan SD (12%), pekerjaan sebagai buruh (37,2%) dan kategori kualitas hidup penderita TB adalah sedang (45,7%). Diharapkan bagi penderita tuberkolusis dapat lebih meningkatkan pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis sehingga akan mengetahui cara pengobatan dan perawatan selama menjalani pengobatan tuberkulosis. Kata kunci : Kualitas Hidup, Tuberkulosis Daftar pustaka : 23 (2000-2015) ii BACHELOR OF NURSING PROGRAM STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2017 Priyo Nugroho OVERVIEW QUALITY OF LIFE PATIENT TUBERCULOSIS IN SUKOHARJO PUBLIC HEALTH CENTER SUKOHARJO Abstract Tuberculosis (TB) problem in the world and in Indonesia. TB influenced by nutrition, immunity, environment, and infrastructure. The government's strategy to reduce TB cases ie DOTS method. Long treatment and attitudes of families are afraid and do not want to interact with the patient will have an impact on the psychological condition of the patient and ultimately affect the quality of life of patients. TB cases in the district of Sukoharjo in 2015 as many as 486 patients. Results of a preliminary study in Sukoharjo, 4 of 6 patients feel embarrassed and and limit of hanging out with family and neighbors. Research types of quantitative descriptive analytic design. Variables observed that the quality hudip pendertita tuberculosis, age, gender, education level and type of work. Data obtained from the results of questionnaire WHOQOL-BREF previously given informed consent submission. Univariate analysis of the data that is to know the characteristics of the survey respondents include age, occupation, education, gender, and the quality of life of patients with tuberculosis. The survey results revealed that the majority of the age of 20-30 years (31.6%)., Female gender (51.5%), the level of elementary education (12%), work as laborers (37.2%) and the categories of quality of life of patients TB is moderate (45.7%). Expected for tuberculosis sufferers can further increase knowledge about the disease tuberculosis so that it will know how to treatment and care while undergoing treatment for tuberculosis. Keywords : Quality of Life, Tuberculosis References : 23 (2000-2015) iii monitoring, deteksi kasus TB, pengobatan teratur selama 6-8 bulan (Firdaus, 2012). Pengobatan yang lama ditambah tidak teratur bukan hanya tidak menyembuhkan penderita namun juga menyebabkan penderita kebal terhadap obat tersebut (Asmariani, 2012). Ketidakpatuhan minum obat selain karena bosan juga disebabkan karena pasien merasa sudah sembuh, sehingga pasien tidak serius melakukan pengobatan dengan baik (Sujayanto, 2000). Pengobatan yang lama dan membosankan akan memberikan perubahan dalam kehidupan penderita TB, artinya penderita akan membutuhkan penyesuaian yang berbeda-beda tergantung pada persepsi, sikap serta pengalaman pribadi tentang penerimaan diri terhadap perubahan dan hal tersebut akan mempengaruhi kualitas hidup penderita TB (Asmariani, 2012). Penderita TB perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak baik dari keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitar. Dukungan tersebut dapat menurunkan beban psikologis penderita sehingga akan membantu meningkatkan ketahanan tubuh, kondisi fisik stabil dan bahkan cenderung membaik (Karangora, 2012). Fenomena di masyarakat justru sebaliknya, terdapat keluarga yang takut dan tidak mau berinteraksi dengan penderita sehingga muncul sikap berhat-hati secara berlebihan, misalnya mengasingkan penderita, tidak mengajak bicara, selalu menggunkan masker dan sebagainya. Penderita akan merasa dikucilkan dan tertekan, sehingga akan berdampak pada kondisi psikologisnya dan akhirnya akan mempengaruhi kualitas hidup penderita (Ratnasari, 2012) 1.1 Latar Belakang Penyakit tuberkulosis (TB) menjadi masalah di dunia, dimana diperkirakan terdapat 9 juta penduduk dunia terserang penyakit TB dengan kematian 3 juta jiwa. Penyakit TB menjadi masalah terutama di negaranegara berkembang termasuk Indonesia. Menurut WHO (World Health Organization), kejadian kasus TB di Indonesia pada peringkat kedua dunia setelah India dengan ditemukannya data tahun 2014 dengan angka 460.000 kasus baru per tahun dan menjadi 1 juta kasus baru pertahun (WHO, 2015) Penyakit TB merupakan masalah utama karena jumlah penderita TB yang terus bertambah. TB menjadi penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan saluran pernafasan, serta merupakan penyakit nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (Depkes, 2008). Walau demikian bukan berarti penyakit TB tidak dapat disembuhkan. Keberhasilan pengobatan TB setiap tahun mengalami peningkatan, keberhasilan pengobatan TB dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor gizi, faktor imunitas, faktor lingkungan, serta sarana dan prasarana (Firdaus, 2012). Untuk mengurangi kejadian bertambahnya penderita TB pemerintah telah melakukan program pemberantasan TB dengan berbagai strategi (WHO, 2009). Strategi yang digunakan salah satunya dengan metode Direct Observed Treatment Shortcourse (DOTS) yang meliputi lima komponen yaitu komitmen pemerintah untuk kontrol TB, persediaan obat TB yang rutin dan tidak terputus, sistem laporan 1 merasa dikucilkan dan tertekan yang akhirnya akan mempengaruhi kualitas hidup penderita. Penderita TB mempunyai kualitas hidup yang berbeda-beda tergantung dari individu menyikapi permasalahan yang terjadi dalam dirinya Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah gambaran kualitas hidup penderita TB di wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo”? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui gambaran kualitas hidup penderita TB di wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo. 2.1 Tinjauan Teori Penyakit Tuberkulosis 2.1.1.1 Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis (Murti, 2015). Tuberkulosis dapat menyerang paru-paru, tulang, kulit, kelenjar dan selaput otak (Murti, 2015). Sebagian besar kuman TB menyerang paru( TB paru ). Tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling banyak dan paling penting. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan penyakit TB dan merupakan patogen manusia yang sangat penting (Jawets, 2008). Kuman ini non motil, non spora, dan tidak berkapsul (Palomina, 2007). Berbentuk batang, bersifat aerob , mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 80oC, dan 20 menit pada suhu 60o C ), dan mudah mati apabila terkena sinar ultraviolet (Alsagaf dan Mukti, 2008). Penderita TB mempunyai kualitas hidup yang berbeda-beda tergantung dari individu menyikapi permasalahan yang terjadi dalam dirinya (Asmariani, 2012). Penderita yang menghadapi dengan positif maka akan baik pula kualitas hidupnya, tetapi jika menghadapinya dengan negatif maka akan buruk pula kualitas hidupnya (Karangora, 2012). Penderita TB Kabupaten Sukoharjo semakin meningkat. Data dari pengendalian penyakit menular di Kecamatan Sukoharjo tahun 2015 terdapat 486 suspek penderita walapun capaian angka tersebut masih diluar target yaitu 920 suspek penderita. Berdasarkan Studi pendahuluan yang telah dilakukan pada tanggal 13 desember 2016 di dapat penderita TB di Puskesmas Sukoharjo, 4 dari 6 penderita yang dilakukan wawancara menyampaikan bahwa penderita merasa tidak nyaman apabila bertemu dengan orang lain, penderita membatasi diri untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan penderita merasa kurang mendapat dukungan dari orang terdekat. Keluarga yang harusnya menjadi orang paling dekat dengan penderita tidak selamanya dapat mendampingi. Dari hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran kualitas hidup penderita TB di wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo. 1.2 Rumusan Masalah Penderita TB perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak baik dari keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitar, namun fenomena yang ada bahwa penderita 2 beberapa jam sampai beberapa hari namun tidak tahan terhadap sinar dan aliran udara sampai akhirnya ditiup angin (Widoyono, 2008). Infeksi terjadi bila jika seseorang menghirup droplet yang mengandung kumanTB dan akhirnya sampai di alveoli. Respon imun terbentuk 2-10 minggu setelah terinfeksi. Sejumlah kuman akan tetap dorman bertahun-tahun yang disebut infeksi laten (Kemenkes, 2012). Ketika penderita batuk,bersin, atau berbicara dengan orang lain, basil tuberkulosis keluar dan terhisap pada paru orang sehat yang mampu berinkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2008). Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagianbagian tubuh lainnya (Kemenkes, 2012). Resiko tertular infeksi diantaranya orang yang sering terpapar dengan sumber infeksi. Resiko tinggi tertularnya penyakit yaitu pada anak berusia di bawah 3 tahun, resiko rendah pada masa kanak-kanak dan meningkat lagi pada masa ramaja,dewasa muda dan usia lanjut. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah, pembuluh limfe atau langsung menyebar ke organ terdekatnya. Setiap satu BTA positif dapat menularkan sekurangkurangnya kepada 10-15 orang lain. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas lipid, kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis (Sudoyo, 2006). Dapat tahan hidup diudara kering maupun dalam keadaan dingin, atau dapat hidup bertahun-tahun dalam lemari es. (Hiswani, 2004). 2.1.2.2 Etiologi Penyebab penyakit tuberkulosis adalah mycobacterium tuberculosis dan mycobacterium bovis. Kuman tersebut berbentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranuler atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid). Bakteri TB mempunyai sifat istimewa yaitu dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga disebut Basil Tahan Asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Kuman tuberkulosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan anaerob. Bakteri TB mati pada pemanasan 1000C selama 5-10 menit atau pemanasan 600C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-24 detik. 2.1.2.3 Cara Penularan TB ditularkan melalui udara atau droplet (percikan dahak penderita TB). Penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, penderita memercikkan kumanTB atau bacillia ke udara. Droplet yang infeksius dapat bertahan dalam 3 2011). Pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup merupakan persepsi individu tentang nilai dan konsep untuk mencapai harapan hidup atau kenikmatan hidup. Kualitas hidup merupakan suatu terminologi yang menunjukan kesehatan fisik, sosial dan emosi seseorang serta kemampuanya untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari. Untuk mengetahui kualitas hidup seseorang meliputi beberapa komponen yaitu produktifitas kerja, kapabilitas intelektual, stabilitas emosi, peran dalam kehidupan sosial, serta kepuasan hidup yang baik dari segi materi maupun non materi (Henderson, 2007). Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat seperti keluarga serumah akan dua kali lebih beresiko dibanding kontak biasa yang tidak serumah (Widoyono, 2008). 2.1.2.4 Gejala dan Tanda Tuberculosis Penderita tuberkulosis dapat dikenali melalui beberapa tanda dan gejala. Seseorang ditetapkan sebagai suspek penderita tuberkulosis apabila ditemukan gejala klinis utama pada penderita. Gejala utama suspek TB yaitu batuk berdahak selama 2- 3 minggu atau lebih, batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas,nyeri dada, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Widoyono, 2008). Berdasarkan keluhan tersebut seseorang dapat ditetapkan sebagai suspek TB, untuk memastikan apakah penderita terkena penyakit TB maka dahak harus diperiksa BTA dengan pemeriksaan mikroskopis (Widoyono, 2008 ). 2.1.1. Kualitas Hidup 2.1.2.1 Definisi Kualitas Hidup Kualitas hidup adalah persepsi individu tentang nilai dan konsep di dalam hubungannya untuk mencapai harapan hidupnya (WHO,2004). Kualitas hidup adalah derajat seseorang dalam menikmati hidupnya, kenikmatan tersebut mempunyai dua komponen yaitu pengalaman dan kepuasan (Weissman et al dalam Yusra, 2.1.2.2 Faktor yang mempengaruhi Kualitas Hidup a. Usia Kualitas hidup dipengaruhi oleh usia dimana menurut hasil penelitian Isa & Baiyewu (2006) usia mempengaruhi kualitas hidup penderita diabetes melitus. Semakin tua usia seseorang kualitas hidup yang dimiliki semakin berkurang. b. Jenis kelamin Wanita cenderung mempunyai kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan pria. Jenis kelamin dilihat secara bermakna dari fungsi perannya pria mempunyai fungsi peran lebih tinggi dibandingkan wanita. Pria lebih banyak memperoleh dukungan (Yusra, 2011). c. Tingkat pendidikan Faktor tingkat pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup karena 4 sedangkan menurut Bernal et al dalam Yusra (2011), lama menderita disertai komplikasi akan memiliki efikasi diri yang rendah, sehingga dapat disimpulkan lama menderita disertai dengan komplikasi akan cenderung berpengaruh terhadap kualitas hidup. 2.1.2.1 Penilaian Kualitas Hidup pendidikan rendah akan mempengaruhi kebiasaan fisik yang kurang baik. Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi seseorang dalam menerima informasi. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang penting dalam mengelola penyakitnya berdasarkan pengetahuan yang di milikinya, sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka kualitas hidup semakin meningkat (Yusra, 2011). d. Pekerjaan Pekerjaan akan berpengaruh terhadap kualitas hidup. Pekerjaan akan membuat seseorang mendapatkan upah atau gaji untuk biaya pengobatan. Kualitas hidup meningkat seiring dengan adanya pekerjaan yang dimiliki seseorang (Tamara, 2014). e. Status Ekonomi Sosial Tingkat pendapatan yang rendah sangat bepengaruh terhadap kualitas hidup pasien karena pendapatan akan menentukan kemampuan dalam pengobatannya (Isa & Baiyewu, 2006). f. Komplikasi Komplikasi berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Semakin berat komplikasi yang dimiliki seseorang, maka kualitas hidupnya semakin berkurang (Isa & Baiyewu, 2006). g. Lama menderita Lama menderita akan mempengaruhi kualitas hidup penderita karena memiliki efikasi diri dan pengelolaan penyakit dengan baik (Yusra, 2011), Pengukuran kualitas hidup dalam penelitian ini menggunakan instrumen kualitas hidup World Health Organization Quality Of Life assessment (WHOQOL), WHO telah melakukan uji coba dalam 15 negara dengan budaya, norma dan adat istiadat yang berbeda, dan mendapatkan hasil bahwa WHOQOL bisa diaplikasikan dan dapat mengatasi perbedaan etic dan emic. WHOQOL terdiri dari beberapa pertanyaan yang kemudian WHO menyusun WHOQOL-BREF yang merupakan pengembangan dan instrumen singkat dari WHOQOL dan digunakan jika waktu yang digunakan terlalu lama biasanya diaplikasikan dalam rumah sakit dan penelitian (Oktvianus, 2007). WHOQOL BREF terdiri dari 26 segi yang mencakup 4 domain yaitu domain fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Hasil perolehan data menurut (Nofitri, 2009) diberikan skor dan diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut : 0-20 = Kualitas Hidup Sangat Buruk 21-40 = Kualitas Hidup Buruk 41-60 = Kualitas Hidup Sedang 61-80 = Kualitas Hidup Baik 81-100 = Kualitas Hidup Sangat Baik 5 membutuhkan penyesuaian yang berbeda-beda tergantung pada persepsi, sikap serta pengalaman pribadi terkait penerimaan diri terhadap perubahan yang terjadi. Hal ini akan mempengaruhi kualitas hidupnya dari segi kesehatan fisik, kondisi psikologis, sosial dan lingkungan. Maka kondisi inilah yang akan berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita TB (Fitriani & Ambarini, 2012). Penelitian lain dari Ratnasari (2012) yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita TB paru. Setiap individu memiliki kualitas hidup yang berbeda-beda tergantung dari masing-masing individu dalam menyikapi permasalahan yang terjadi dalam dirinya. Jika menghadapinya dengan positif maka akan baik pula kualitas hidupnya, tetapi lain halnya jika menghadapinya dengan negatif maka akan buruk pula kualitas hidupnya. Kualitas hidup pasien seharusnya menjadi perhatian penting bagi para petugas kesehatan karena dapat menjadi acuan keberhasilan dari suatu tindakan/intervensi atau terapi. Disamping itu, data tentang kualitas hidup juga dapat merupakan data awal untuk pertimbangan merumuskan intervensi/tindakan yang tepat bagi pasien. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini yaitu kuantitatif dengan deskriptif analitik untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih 2.1.2.1 Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis Kualitas hidup merupakan persepsi atau penilaian subjektif dari individu yang mencakup beberapa aspek sekaligus, yang meliputi kondisi fisik, psikologis, sosial dan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Hermann (Silitonga, 2007) definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain. Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Myctobacterium Tuberculosis). Sebagian besar (80%) kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2009). Myctobaterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipidaglikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditempus zat kimia. Dalam penelitian dengan judul Gambaran Kualitas Hidup Seorang Penderita Tuberkulosis (TB) ini peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran kualitas hidup seorang penderita TB. Sebagian besar penderita TB merasakan perubahan yang signifikan dalam kehidupannya, dalam hal ini setiap penderita akan 6 tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain (Sugiyono, 2007). Penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan objek atau peristiwa yang bertujuan untuk mengetahui keadaan yang terjadi pada saat sekarang (Notoatmodjo, 2010). 3.1. Populasi dan sampel 3.2.1 Populasi Populasi merupakan subyek atau obyek yang mempunyai karakteristik tertentu yang dapat diteliti (Arikunto, 2010). Berdasarkan data dari Puskesmas Sukoharjo Januari 2017 populasi penderita TB di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo berjumlah 35 orang. 3.2.2 Sampel Sampel merupakan sebagian atau keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mampu mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Pengambilan sampel dengan total sampling yang berarti mengambil semua anggota populasi untuk dijadikan sampel penelitian (Sugiono, 2009). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo pada bulan Januari- Februari 2017. 4.1 Analisi Univariat Analisa univariat digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi karakteristik responden yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi dan lama menderita. Adapun hasil analisa univariat sebagai berikut: 4.1.1. Karakteristik Usia Responden Data penelitian tentang usia responden di kategorikan menjadi 6 tingkat. Distribusi frekuensi usia responden dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Usia Penderita Tuberkulosis di Kecamatan Sukoharjo ( n = 35 ) bulan Pebruari 2017 Umur 20-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun 61-70 tahun Total Frekuensi 11 5 7 5 7 35 Presentase % 31,6 14,2 20 14,2 20 100% Berdasarkan tabe 4.1 menunjukkan bahwa responden penelitian terbanyak pada rentang usia 20-30 tahun dengan sejumlah 11 responden dari total 35 responden, dengan besaran prosentase yaitu 31,6%. 7 4.1.2. Karakteristik Jenis Kelamin Hasil distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin responden penelitian sebagai berikut: Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ( n = 35 ) bulan Pebruari 2017 Jenis Kelamin Laki-laki perempuan Total Jumlah 17 18 35 Persentase (%) 48,5 51,5 100 Berdasarkan tabel 4.2 diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden penelitian berjenis kelamin perempuan dengan jumlah penderita tuberkulosis sebanyak 18 responden dengan persentase 51,5%. 4.1.3. Karakteristik Pendidikan Distribusi frekuensi tingkat pendidikan responden penelitian sebagai berikut: Tabel 4.3. Distribusi Responden Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ( n=35 ) bulan Pebruari 2017 Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi Total Jumlah 2 12 7 11 3 35 Persentase (%) 5,7 34,3 20 31,4 8,6 100 Berdasarkan tabel 4.3 diatas menunjukkan bahwa pendidikan responden paling banyak pada tingkat SD dengan sejumlah 12 responden dengan 34,3 %. 8 4.1.4. Karakteristik Jenis Pekerjaan Distribusi frekuensi jenis pekerjaan terhadap responden penelitian tentang tuberkulosis adalah sebagai berikut: Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ( n= 35 ) bulan Pebruari 2017 Pekerjaan Buruh Swasta PNS Petani Tidak Bekerja Total Jumlah 13 11 0 5 6 35 Persentase (%) 37,2 31,4 0 14,3 17,1 100 Berdasarkan tabel 4.4 diatas menunjukkan bahwa pekerjaan responden paling banyak sebagai buruh yaitu 13 responden dengan nilai persentase 37,2%, dan tidak ada responden atau penderita tuberkulosis yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil. 4.1.5. Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis Tabel 4.5. Distribusi Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis di Kecamatan Sukoharjo ( n = 35 ) bulan pebruari 2017 Kualitas hidup penderita Tuberkulosis Sangat buruk Buruk Sedang Baik Sangat baik Total Jumlah Persentase (%) 0 0 16 15 4 35 0 0 45,7 43 11,3 100 Berdasarkan tabel 4.5 diatas menunjukan bahwa kualitas hidup penderita tuberkulosis di Kecamatan Sukoharjo pada kategori sedang yaitu sejumlah 16 responden dengan jumlah persentase 45,7%. 5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Usia Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usia responden paling banyak pada rentang usia 2030 tahun dengan sejumlah 11 responden (31,6%), sedangkan paling sedikit distribusi responden penderita tuberkulosis pada rentang usia 31-40 dan 51-60 dimana masing-masing sejumlah 5 responden. Penilaian kualitas hidup penderita tuberkulosis, usia merupakan faktor penentu, semakin tua usia seseorang maka kualitas hidup yang dimiliki semakin berkurang (Baiyewu, 2006). Penelitian Sutikno (2011), yang berjudul Hubungan Antara Fungsi Keluarga dan Kualitas Hidup Lansia, menyebutkan bahwa usia mempunyai hubungan yang secara statistik signifikan dengan kualitas hidup. Lansia yang berusia70 tahun 9 penderita tuberkulosis dengan dengan usia lanjut lebih mencerung mengalami kualitas hidup buruk bila dibandingkan dengan usia produktif. Prevalensi penderita tuberkulosis pada usia 20-30 tahun lebih banyak bila dibandingkan dengan usia yang lain, hasil ini sesuai dengan penelitian Wahyuningsih (2010), yang meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tuberkulosis paru, dari penelitian tersebut salah satu faktor yang mempengaruhi adalah usia, angka kejadian tuberkulosis paru kurang dari 40 tahun dengan prosentase 62, 5% dan usia lebih dari 40 tahun dengan prevalensi 37,5%. Kejadian tuberkulosis pada usia di bawah 40 tahun dapat disebabkan karena pekerjaan yang mengharuskan seseorang terpapar dengan orang banyak dimana upaya pencegahan penularan dari penderita tidak maksiamal sehingga dapat menularkan kepada orang lain. 5.1.2 Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jenis kelamin responden paling banyak pada jenis kelamin perempuan yaitu sejumlah 18 responden (51,5%), sedangkan jenis kelamin laki-laki sebagaai penyumbang penderita tuberkulosis sejumlah 17 responden (48,5%). penelitian tersebut Berdasarkan diatas didapatkan data bahwa jenis kelamin perempuan lebih dominan bila dibandingkan laki-laki, menurut penelitian Wikananda (2007) yang meneliti tentang judul Hubungan kualitas hidup dan faktor resiko pada lanjut usia, bahwa kualitas hidup lebih baik cenderung dialami oleh responden perempuan, yaitu sebanyak 36 berbanding 14 ke atas memiliki kemungkinan untuk mempunyai kualitas hidup lebih buruk daripada lansia berusia kurang dari 70 tahun. Pradono (2012), juga mengatakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup yaitu usia, seseorang yang berumur lebih dari 64 tahun, akan beresiko sakit dan mengalami stress yang akan menurunkan kualitas hidupnya. Semakin tuanya seseorang berkaitan dengan semakin menurunya kualitas hidup seseorang. Hal ini berhubungan dengan penurunan kemampuan fisik, sosial dan mental lansia sehingga semakin tua mereka, semakin cenderung tidak dapat melakukan berbagai macam hal yang berperan dalam pemenuhan maupun yang dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Apabila hal ini tidak ditangani dengan baik, maka bukan tidak mungkin akan semakin menurunkan kualitas hidup lansia sehingga akan semakin meningkatkan angka morbiditas lansia penderita tuberkulosis. Hasil dari penelitian ini menunjukan sebanyak 4 (11,3%) responden dengan kualitas hidup sangat baik, 15 responden (43%) dengan kualitas hidup baik dan sejumlah 16 responden dalam kategori sedang (45,7%). Rentang usia dalam peneitian ini 20-30 tahun lebih banyak bila dibandingkan dengan kategori usia yang lain. Usia 20-30 tahun masih mempunyai semangat dan motivasi tinggi sehingga kualitas hidup penderita tuberkulosis di Kecamatan Sukoharjo masih dalam kategori sedang dengan 16 penderita (45, 7%) dan 15 penderita dengan kondisi kualitas hidup baik (43%). Penelitian Pradono (2012) menyebutkan bahwa 10 perempuan lebih banyak ditemukan dengan presentasi 51,5% sedangkan jenis kelamin laki-laki sejumlah 48,5%. responden dengan kualitas hidup baik pada laki-laki. Sedangkan kualitas hidup kurang dan buruk cenderung dialami oleh responden laki-laki, sehingga jenis kelamin perempuan lebih cenderung lebih untuk kualitas hidupnya bila dibandingkan dengan kualitas hidup laki-laki. Hal ini tidak sesuai dengan teori, dimana pada teori perempuan cenderung memiliki kualitas hidup kurang dibanding laki-laki (Francesc, 2006). Peneliti menyebutkan banyak faktor yang mempengaruhi jenis kelamin terhadap kualitas hidup seseorang, mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan latar belakang sosial dan budaya, termasuk bahwa seorang laki-laki mempunyai beban dan tanggungjawab yang lebih berat bila dibandingkan perempuan, ditambah sudah semakin menurunnya kemampuan fisik dan mental pada penderita tuberkulosis dengan usia lanjut sehingga cenderung mengarahkan ke kualitas hidup yang kurang baik (Fatima, 2010). Penelitian Wahyuningsih (2010), meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tuberkulosis paru, dari penelitian tersebut salah satu faktor yang mempengaruhi angka kejadian tuberkulosis selain usia yaitu jenis kelamin. Hasil penelitiannya perempuan lebih banyak ditemukan dari pada lakilaki, jenis kelamin perempuan ditemukan dengan presentasi 68,8% dan laki-laki dengan presentasi 31,3%, artinya bahwa jenis kelamin perempuan lebih rentan tertular dan terkena penyakit tuberkulosis bila dibandingkan dengan laki-laki. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian ini dimana jenis kelamin 5.1.3 Tingkat Pendidikan Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa pendidikan responden paling banyak pada tingkat SD dengan sejumlah 12 responden (34,3 %), diikuti pada kelompok SMA dengan jumlah 11 responden (31,4%). Menurut Yusra (2011) dalam penelitianya menyebutkan bahwa pendidikan berpengaruh terhadap kualitas hidup karena pendidikan rendah akan mempengaruhi kebiasaan fisik yang kurang baik. Penelitian Wahyuningsih (2010) tentang faktorfaktor yang mempengaruhi tuberkulosis paru, dari penelitian tersebut menyampaikan bahwa jenis pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi angka kejadian tuberkulosis, terdapat 43,3% penderita dengan tingkat pendidikan rendah dan 56,3% penderita dengan tingkat pendidikan baik. Penelitian Wahyuningsih (2010) tersebut berbeda dengan penelitian ini dimana jumlah responden penelitian didominasi dengan jenis pendidikan rendah dengan presentase 34,3%. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi seseorang dalam menerima informasi. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang penting dalam mengelola penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya, sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka kualitas hidup semakin meningkat 11 jenuh dan bosan sehingga dapat menurunkan kualitas hidup. Penelitian ini terdapat 6 responden (17,1%) yang tidak memiliki pekerjaan dan dimungkinkan sebagai distributor dalam memberikan penilian kualitas hidup dalam kategori cukup. 5.1.5 Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis Kualitas hidup merupakan persepsi atau penilaian subjektif dari individu yang mencakup beberapa aspek sekaligus, yang meliputi kondisi fisik, psikologis, sosial dan lingkungan dalam kehidupan seharihari. Kualitas hidup dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain. Hasil penelitian diperoleh data bahwa kualitas hidup responden dalam kategori cukup dengan jumlah 16 responden (45,7%), dan terdapat 14 responden (40%) dalam kategori kualitas baik. Setiap individu memiliki kualitas hidup yang berbeda-beda tergantung dari masing-masing individu dalam menyikapi permasalahan yang terjadi dalam dirinya. Jika menghadapinya dengan positif maka akan baik pula kualitas hidupnya, tetapi lain halnya jika menghadapinya dengan negatif maka akan buruk pula kualitas hidupnya. Penyakit TB merupakan masalah utama karena jumlah penderita TB yang terus bertambah. (Yusra, 2011). Penelitian ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin baik kualitas hidupnya. 5.1.4 Jenis Pekerjaan Hasil penelitian pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa pekerjaan responden paling banyak sebagai buruh sejumlah 13 responden dengan nilai persentase 37,2%, diikuti pada kelompok yang bekerja sebagai wiraswasta dengan 11 responden (31,4%), tidak bekerja sujumlah 6 responden (17,1%), bekerja sebagai petani 5 responden (14,3%) dan tidak ada responden atau penderita tuberkulosis yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pekerjaan akan berpengaruh terhadap kualitas hidup. Pekerjaan akan membuat seseorang mendapatkan upah atau gaji untuk biaya pengobatan. Kualitas hidup akan meningkat seiring dengan adanya pekerjaan yang baik pula yang dimiliki seseorang penderita tuberkulosis (Tamara, 2014). Jenis pekerjaan pada responden penelitian ini dominan sebagai buruh (37,2%) diantaranya buruh tani ,buruh bangunan . Sebuah teori menyampaikan bahwa bekerja atau memiliki aktivitas tetap merupakan salah satu bentuk perilaku hidup aktif. Hal ini berkaitan dengan penghasilan dan sering dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Dengan pemenuhan kebutuhan hidup yang cukup hal ini berkaitan dengan meningkatkan taraf kualitas hidupnya dan meningkatkan interaksi sosialnya menurut Wahyuningsih ( 2012 ). Kurangnya perilaku hidup aktif akan cenderung mendorong rasa 12 Kualitas hidup responden dalam penelitian ini dalam kondisi sedang dengan presentase 45,7%, dimana kualitas hidup merupakan salah satu kriteria utama untuk mengetahui intervensi pelayanan kesehatan. Sejumlah penderita dapat hidup lebih lama, namun dengan membawa beban penyakit menahun, sehingga kualitas hidup menjadi perhatian pelayanan kesehatan. Fenomena yang masih sering ditemui di masyarakat adalah masih ada anggota keluarga yang takut apalagi berdekatan dengan seseorang yang disangka menderita TB, sehingga muncul sikap berhati-hati secara berlebihan, misalnya mengasingkan penderita, enggan mengajak berbicara, kalau dekat dengan penderita akan segera menutup hidung dan sebagainya ( Arsyad, 2014). Hal tersebut akan sangat menyinggung perasaan penderita. Penderita akan tertekan dan merasa dikucilkan, sehingga dapat berdampak pada kondisi psikologisnya dan akhirnya akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan. Perlu dijelaskan kepada masyarakat bahwa penderita tuberkulosis perlu mendapatkan dukungan sosial secara optimal dari semua pihak dan berbagai lapisan masyarakat untuk mensukseskan pengobatan penderita tuberkulosis sehingga akan meningkatkan kualitas hidupnya (Hastuti, 2014). TB menjadi penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan saluran pernafasan, serta merupakan penyakit nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (Depkes, 2008). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam memberantas dan menguragi jumlah penderita Tuberkulosis, salah satu usaha yang dilakukan yaitu dengan program DOTS yang meliputi lima komponen yaitu komitmen pemerintah untuk kontrol TB, persediaan obat TB yang rutin dan tidak terputus, sistem laporan monitoring, deteksi kasus TB, pengobatan teratur selama 6-8 bulan (Firdaus, 2012). Pengobatan 6-8 bulan merupakan pengobatan yang lama dan perlu kesabaran serta ketelitian dalam menkonsumsi obat sehari-hari. Pengobatan yang tidak teratur bukan hanya tidak menyembuhkan penderita namun juga menyebabkan penderita kebal terhadap obat tersebut (Asmariani, 2012). Ketidakpatuhan minum obat selain karena bosan juga disebabkan karena pasien merasa sudah sembuh, sehingga pasien tidak serius melakukan pengobatan dengan baik (Sujayanto, 2000). Pengobatan yang lama dan membosankan akan memberikan perubahan dalam kehidupan penderita TB, artinya penderita akan membutuhkan penyesuaian yang berbeda-beda tergantung pada persepsi, sikap serta pengalaman pribadi tentang penerimaan diri terhadap perubahan yang akan mempengaruhi kualitas hidup penderita TB (Karangora, 2012). 6.1 Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulan sebagai berikut: 13 1. Usia responden paling banyak pada rentang usia 2030 tahun sejumlah 11 responden (31,6%). 2. Jenis kelamin lebih dominan perempuan dengan jumlah 18 responden (51,5%). 3. Responden penelitian paling banyak berpendidikan SD sejumlah 12 responden (12%). 4. Pekerjaan responden paling banyak sebagai buruh sejumlah 13 responden (37,2%) 5. Kualitas hidup penderita tuberkulosis di kecamatan sukoharjo dalam kategori sedang dengan jumlah 16 responden (45,7%). 6.2 Saran Berdasarkan simpulan dan keterbatasan yang ada, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut: 1. Bagi Peneliti lain Diharapkan dapat mengembangkan khasanah . ilmu tentang pentingnya pendampingan kepada penderita tuberkulosis dan keluarga penderita. Bagi Penderita Tuberkulosis Diharapkan dapat lebih meningkatkan pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis sehingga akan mengetahui cara pengobatan dan perawatan selama menjalani pengobatan tuberkulosis. 2. Bagi pelayanan kesehatan Diharapkan khususnya perawat puskesmas lebih memperhatikan pengobatan dan kontrol penderita sehingga akan sembuh dan akan meningkatkan kualitas hidup penderita tuberkulosis. 3. Bagi Institusi Pendidikan Penelitian ini dapat digunakan untuk menambah khasanah keilmuan tentang gambaran kualitas hidup penderita tuberkulosis 14 tuberkulosis, edisi 2 cetakan DAFTAR PUSTAKA pertama. Jakarta Firdaus Alsagaff, H & Mukti, A. (2006). Dasar-dasar Paru. Ilmu Surabaya K. (2012). Peranan Pengawas Menelan Penyakit obat Airlangga (PMO) Paru Arsyad, Dian Sidik.(2014). Hubungan di Wilayah Puskemas Baki Dukungan Sosial Dengan Kualitas Universitas Hidup Pada Penderita Tb Paru Di Surakarta. Kota Hiswani. Makassar.Universitas Hasanudin. Kerja Sukoharjo. Muhammadiyah (2004). Tuberkulosis Nosokomial. Journal Tuberkulosis Asmariani, S. (2012). Faktor-Faktor yang Terhadap Keberhasilan Pengobatan TB Unversity Press. Bbkpm Pengaruh Indonesia. Menyebabkan Jawetz, Melnick, Adelberg. (2008). Ketidakpatuhan Penderita TB Mikrobiologi Kedokteran. (H. Paru Hartanto, Minum Obat Anti C. Rachman, A. Tuberkulosis (OAT) di Wilayah Dimanti, A. Diani). Jakarta : Kerja Puskesmas Gajah Mada EGC. Kecamatan Tembilahan Kota Karangora, Kabupaten Indragiri Hilir. Sosial dan Kualitas Hidup Awusi, R.Saleh, Y.& Hadiwijoyo, Y. Faktor-faktor mempengaruhi pada Lesbian di Surabaya. yang Jurnal penemuan Provinsi Tengah. Berita Kemenkes Sulawesi RI. nasional RI. Kedokteran Indonesia Kementrian (2008). Mahasiswa (2012). Strategi nasional pengendalian TB di Masyarakat Depkes Ilmiah Universitas Surabaya penderita TB Paru di Kota Palu (2012). Hubungan antara Dukungan Jurnal PSIK Universitas Riau. (2009). M.L.B. Pedoman 2010-2014. Kesehatan Direktorat penanggulangan Pengendalian Jendral Penyakit Penyehatan Lingkungan 15 RI dan Murti, Bhisma; Santoso; Sumardiyono; Ratnasari. (2012). Hubungan Sutisna, Endang. (2015). Evaluasi dukungan Program kualitas hidup pada penderita Pengendalian Tuberkulosis DOTS Dengan Di Eks Strategi pengobatan (BP4) Notoatmodjo, S. (2010). Kesehatan Ilmu & (2008). Pendidikan (edisi Konsep metodologi penelitian keperawatan. Sudoyo A, et al. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI. Sujayanto G. (2000). Kepatuhan Orfila, Francesc et al. (2006).Gender Berobat differences in health-related conditions. Municipal Faktor Yang Mempengaruhi and Tuberkulosis Pada Penderita Institut Tb Paru Di Wilayah Kerja d'Investigacio Puskesmas Kasihan I Bantul Medica, Barcelona. Yogyakarta. Palomina DJ .(2007). Tuberculosis Control edition. Antwerp - Sao Paolo : ilmu WHO. (2009). Global Tuberculosis Science to Patient Care, 1st Aires Fakultas kedokteran. UMY and HIV / AIDS. From Basic Buenos Penderita Wahyuningsih, Sri. (2010). Faktor- elderly: The Role of objective chronic bagi Tuberkulosis. quality of life among the capacity kedua). Jakarta: Kencana Jakarta functional (edisi (Penerj. Tri Wibowo B.S). dan penerapan unit Santrock, J.W. (2007). Psikologi revisi). Jakarta: Rineka Cipta Nursalam. Yogyakarta paru Indonesia. Notoatmodjo, S. (2008). Metodologi Kesehatan penyakit minggiran. Jurnal Tuberkulosis Seni. Jakarta: Rineka Cipta penelitian dengan tuberkulosis (TB paru) di balai Karesidenan Surakarta. FK UNS. Surakarta Masyarakat sosial Strategy, Emma Epidemiology, Financing. Health Organization Raderschadt. 16 World WHO. (2015). Global Tuberculosis Control. World Organization Health 17