program studi sarjana keperawatan stikes kusuma husada surakarta

advertisement
NASKAH PUBLIKASI
GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA TUBERKULOSIS
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKOHARJO
KABUPATEN SUKOHARJO
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh :
Priyo Nugroho
NIM. ST151078
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2017
i
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2017
Priyo Nugroho
Gambaran Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo
Abstrak
Tuberkulosis (TB) menjadi masalah di dunia maupun di Indonesia. TB
dipengaruhi oleh faktor gizi, imunitas, lingkungan, serta sarana dan prasarana.
Strategi pemerintah untuk mengurangi kasus TB yaitu metode DOTS. Pengobatan
yang lama serta sikap keluarga yang takut dan tidak mau berinteraksi dengan
penderita akan berdampak pada kondisi psikologis penderita dan akhirnya
mempengaruhi kualitas hidup penderita. Kasus TB di Kecamatan Sukoharjo tahun
2015 sebanyak 486 penderita, dari studi pendahuluan di Sukoharjo, 4 dari 6
penderita merasa malu dan membatasi dari bergaul dengan keluarga dan
tetangga sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas
hidup penderita Tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas Sukoharjo
Penelitian ini jenis kuantitatif, variabel yang diamati yaitu kualitas hudip
pendertita tuberkolusis, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis
pekerjaan. Data diperoleh dari hasil penyebaran lembar kuesioner WHOQOLBREF yang sebelumnya diberikan pengajuan inform consent. Analisis data yaitu
univariat untuk mengetahui karakteristik responden penelitian yang meliputi
usia, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin,dan kualitas hidup penderita
Tuberkulosis.
Hasil penelitian diketahui sebagian besar usia yaitu 20-30 tahun (31,6%).,
jenis kelamin perempuan (51,5%), tingkat pendidikan SD (12%), pekerjaan
sebagai buruh (37,2%) dan kategori kualitas hidup penderita TB adalah sedang
(45,7%). Diharapkan bagi penderita tuberkolusis dapat lebih meningkatkan
pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis sehingga akan mengetahui cara
pengobatan dan perawatan selama menjalani pengobatan tuberkulosis.
Kata kunci
: Kualitas Hidup, Tuberkulosis
Daftar pustaka
: 23 (2000-2015)
ii
BACHELOR OF NURSING PROGRAM
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2017
Priyo Nugroho
OVERVIEW QUALITY OF LIFE PATIENT TUBERCULOSIS IN SUKOHARJO PUBLIC
HEALTH CENTER SUKOHARJO
Abstract
Tuberculosis (TB) problem in the world and in Indonesia. TB influenced by
nutrition, immunity, environment, and infrastructure. The government's strategy
to reduce TB cases ie DOTS method. Long treatment and attitudes of families are
afraid and do not want to interact with the patient will have an impact on the
psychological condition of the patient and ultimately affect the quality of life of
patients. TB cases in the district of Sukoharjo in 2015 as many as 486 patients.
Results of a preliminary study in Sukoharjo, 4 of 6 patients feel embarrassed and
and limit of hanging out with family and neighbors.
Research types of quantitative descriptive analytic design. Variables
observed that the quality hudip pendertita tuberculosis, age, gender, education
level and type of work. Data obtained from the results of questionnaire
WHOQOL-BREF previously given informed consent submission. Univariate
analysis of the data that is to know the characteristics of the survey respondents
include age, occupation, education, gender, and the quality of life of patients
with tuberculosis.
The survey results revealed that the majority of the age of 20-30 years
(31.6%)., Female gender (51.5%), the level of elementary education (12%), work
as laborers (37.2%) and the categories of quality of life of patients TB is moderate
(45.7%). Expected for tuberculosis sufferers can further increase knowledge about
the disease tuberculosis so that it will know how to treatment and care while
undergoing treatment for tuberculosis.
Keywords
: Quality of Life, Tuberculosis
References
: 23 (2000-2015)
iii
monitoring,
deteksi
kasus
TB,
pengobatan teratur selama 6-8 bulan
(Firdaus, 2012).
Pengobatan yang lama ditambah
tidak teratur bukan hanya tidak
menyembuhkan penderita namun juga
menyebabkan penderita kebal terhadap
obat tersebut (Asmariani, 2012).
Ketidakpatuhan minum obat selain
karena bosan juga disebabkan karena
pasien merasa sudah sembuh, sehingga
pasien
tidak
serius
melakukan
pengobatan dengan baik (Sujayanto,
2000). Pengobatan yang lama dan
membosankan
akan
memberikan
perubahan dalam kehidupan penderita
TB,
artinya
penderita
akan
membutuhkan
penyesuaian
yang
berbeda-beda tergantung pada persepsi,
sikap serta pengalaman pribadi tentang
penerimaan diri terhadap perubahan
dan hal tersebut akan mempengaruhi
kualitas
hidup
penderita
TB
(Asmariani, 2012).
Penderita TB perlu mendapatkan
dukungan dari berbagai pihak baik dari
keluarga, masyarakat dan lingkungan
sekitar. Dukungan tersebut dapat
menurunkan
beban
psikologis
penderita sehingga akan membantu
meningkatkan
ketahanan
tubuh,
kondisi fisik stabil dan bahkan
cenderung
membaik
(Karangora,
2012). Fenomena di masyarakat justru
sebaliknya, terdapat keluarga yang
takut dan tidak mau berinteraksi
dengan penderita sehingga muncul
sikap berhat-hati secara berlebihan,
misalnya mengasingkan penderita,
tidak
mengajak
bicara,
selalu
menggunkan masker dan sebagainya.
Penderita akan merasa dikucilkan dan
tertekan, sehingga akan berdampak
pada kondisi psikologisnya dan
akhirnya akan mempengaruhi kualitas
hidup penderita (Ratnasari, 2012)
1.1 Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TB)
menjadi masalah di dunia, dimana
diperkirakan terdapat 9 juta penduduk
dunia terserang penyakit TB dengan
kematian 3 juta jiwa. Penyakit TB
menjadi masalah terutama di negaranegara
berkembang
termasuk
Indonesia. Menurut WHO (World
Health Organization), kejadian kasus
TB di Indonesia pada peringkat kedua
dunia
setelah
India
dengan
ditemukannya data tahun 2014 dengan
angka 460.000 kasus baru per tahun
dan menjadi 1 juta kasus baru pertahun
(WHO, 2015)
Penyakit TB merupakan masalah
utama karena jumlah penderita TB
yang terus bertambah. TB menjadi
penyebab kematian ketiga terbesar
setelah penyakit kardiovaskuler dan
saluran pernafasan, serta merupakan
penyakit nomor satu terbesar dalam
kelompok penyakit infeksi (Depkes,
2008). Walau demikian bukan berarti
penyakit TB tidak dapat disembuhkan.
Keberhasilan pengobatan TB setiap
tahun
mengalami
peningkatan,
keberhasilan
pengobatan
TB
dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah faktor gizi, faktor
imunitas, faktor lingkungan, serta
sarana dan prasarana (Firdaus, 2012).
Untuk mengurangi kejadian
bertambahnya penderita TB pemerintah
telah
melakukan
program
pemberantasan TB dengan berbagai
strategi (WHO, 2009). Strategi yang
digunakan salah satunya dengan
metode Direct Observed Treatment
Shortcourse (DOTS) yang meliputi
lima komponen yaitu komitmen
pemerintah
untuk
kontrol
TB,
persediaan obat TB yang rutin dan
tidak
terputus,
sistem
laporan
1
merasa dikucilkan dan tertekan yang
akhirnya akan mempengaruhi kualitas
hidup
penderita.
Penderita
TB
mempunyai kualitas hidup yang
berbeda-beda tergantung dari individu
menyikapi permasalahan yang terjadi
dalam dirinya
Rumusan
masalah
dalam
penelitian ini adalah “Bagaimanakah
gambaran kualitas hidup penderita TB
di wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo
Kabupaten Sukoharjo”?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui gambaran kualitas
hidup penderita TB di wilayah Kerja
Puskesmas
Sukoharjo
Kabupaten
Sukoharjo.
2.1 Tinjauan Teori
Penyakit Tuberkulosis
2.1.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu
penyakit infeksi menular yang
disebabkan
oleh
basil
Mycobacterium
tuberculosis
(Murti, 2015). Tuberkulosis dapat
menyerang paru-paru, tulang, kulit,
kelenjar dan selaput otak (Murti,
2015). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru( TB paru ).
Tuberkulosis
paru
merupakan bentuk yang paling
banyak dan paling penting.
Mycobacterium
tuberculosis
menyebabkan penyakit TB dan
merupakan patogen manusia yang
sangat penting (Jawets, 2008).
Kuman ini non motil, non spora,
dan tidak berkapsul (Palomina,
2007). Berbentuk batang, bersifat
aerob , mudah mati pada air
mendidih (5 menit pada suhu 80oC,
dan 20 menit pada suhu 60o C ),
dan mudah mati apabila terkena
sinar ultraviolet (Alsagaf dan
Mukti, 2008).
Penderita
TB
mempunyai
kualitas hidup yang berbeda-beda
tergantung dari individu menyikapi
permasalahan yang terjadi dalam
dirinya (Asmariani, 2012). Penderita
yang menghadapi dengan positif maka
akan baik pula kualitas hidupnya, tetapi
jika menghadapinya dengan negatif
maka akan buruk pula kualitas
hidupnya (Karangora, 2012).
Penderita
TB
Kabupaten
Sukoharjo semakin meningkat. Data
dari pengendalian penyakit menular di
Kecamatan Sukoharjo tahun 2015
terdapat 486 suspek penderita walapun
capaian angka tersebut masih diluar
target yaitu 920 suspek penderita.
Berdasarkan Studi pendahuluan yang
telah dilakukan pada tanggal 13
desember 2016 di dapat penderita TB
di Puskesmas Sukoharjo, 4 dari 6
penderita yang dilakukan wawancara
menyampaikan
bahwa
penderita
merasa tidak nyaman apabila bertemu
dengan
orang
lain,
penderita
membatasi diri untuk berinteraksi
dengan lingkungan sekitar
dan
penderita merasa kurang mendapat
dukungan dari orang terdekat.
Keluarga
yang
harusnya
menjadi orang paling dekat dengan
penderita tidak selamanya dapat
mendampingi. Dari hal tersebut penulis
tertarik untuk melakukan penelitian
tentang gambaran kualitas hidup
penderita TB di wilayah Kerja
Puskesmas
Sukoharjo
Kabupaten
Sukoharjo.
1.2 Rumusan Masalah
Penderita
TB
perlu
mendapatkan dukungan dari berbagai
pihak baik dari keluarga, masyarakat
dan lingkungan sekitar, namun
fenomena yang ada bahwa penderita
2
beberapa jam sampai beberapa hari
namun tidak tahan terhadap sinar
dan aliran udara sampai akhirnya
ditiup angin (Widoyono, 2008).
Infeksi terjadi bila jika
seseorang menghirup droplet yang
mengandung
kumanTB
dan
akhirnya sampai di alveoli. Respon
imun terbentuk 2-10 minggu
setelah terinfeksi. Sejumlah kuman
akan tetap dorman bertahun-tahun
yang
disebut
infeksi
laten
(Kemenkes, 2012).
Ketika
penderita
batuk,bersin,
atau
berbicara dengan orang lain, basil
tuberkulosis keluar dan terhisap
pada paru orang sehat yang mampu
berinkubasinya selama 3-6 bulan
(Widoyono, 2008). Setelah kuman
TB masuk ke dalam tubuh manusia
melalui pernafasan, kuman TB
tersebut dapat menyebar dari paru
ke bagian tubuh lainnya, melalui
sistem peredaran darah sistem
saluran limfe, saluran nafas, atau
penyebaran langsung ke bagianbagian tubuh lainnya (Kemenkes,
2012).
Resiko
tertular
infeksi
diantaranya orang yang sering
terpapar dengan sumber infeksi.
Resiko tinggi tertularnya penyakit
yaitu pada anak berusia di bawah 3
tahun, resiko rendah pada masa
kanak-kanak dan meningkat lagi
pada masa ramaja,dewasa muda
dan usia lanjut. Bakteri masuk ke
dalam tubuh manusia melalui
saluran pernafasan dan bisa
menyebar ke bagian tubuh lain
melalui peredaran darah, pembuluh
limfe atau langsung menyebar ke
organ terdekatnya.
Setiap satu BTA positif
dapat
menularkan sekurangkurangnya kepada 10-15 orang lain.
Sebagian
besar
dinding
kuman terdiri atas lipid, kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan.
Lipid inilah yang membuat kuman
lebih tahan terhadap asam (asam
alkohol)
sehingga
disebut
bakteri tahan asam (BTA) dan
juga
lebih
tahan
terhadap
gangguan
kimia dan fisis
(Sudoyo, 2006). Dapat tahan hidup
diudara kering maupun dalam
keadaan dingin, atau dapat hidup
bertahun-tahun dalam lemari es.
(Hiswani, 2004).
2.1.2.2 Etiologi
Penyebab
penyakit
tuberkulosis adalah mycobacterium
tuberculosis dan mycobacterium
bovis. Kuman tersebut berbentuk
batang tipis, lurus atau agak
bengkok, bergranuler atau tidak
mempunyai
selubung,
tetapi
mempunyai lapisan luar tebal yang
terdiri dari lipoid).
Bakteri TB mempunyai sifat
istimewa yaitu dapat bertahan
terhadap pencucian warna dengan
asam dan alkohol, sehingga disebut
Basil Tahan Asam (BTA), serta
tahan terhadap zat kimia dan fisik.
Kuman tuberkulosis juga tahan
dalam keadaan kering dan dingin,
bersifat dorman dan anaerob.
Bakteri TB mati pada pemanasan
1000C selama 5-10 menit atau
pemanasan 600C selama 30 menit,
dan dengan alkohol 70-95% selama
15-24 detik.
2.1.2.3 Cara Penularan
TB ditularkan melalui
udara atau droplet (percikan dahak
penderita TB). Penderita TB batuk,
bersin, berbicara atau meludah,
penderita memercikkan kumanTB
atau bacillia ke udara. Droplet yang
infeksius dapat bertahan dalam
3
2011). Pengertian tersebut dapat
disimpulkan
bahwa
kualitas
hidup merupakan persepsi individu
tentang nilai dan konsep untuk
mencapai harapan hidup atau
kenikmatan hidup.
Kualitas hidup merupakan
suatu terminologi yang menunjukan
kesehatan fisik, sosial dan emosi
seseorang serta kemampuanya
untuk
melaksanakan
kegiatan
sehari-hari. Untuk mengetahui
kualitas hidup seseorang meliputi
beberapa
komponen
yaitu
produktifitas kerja, kapabilitas
intelektual, stabilitas emosi, peran
dalam kehidupan sosial, serta
kepuasan hidup yang baik dari
segi materi maupun non materi
(Henderson, 2007).
Hasil studi lainnya melaporkan
bahwa kontak terdekat seperti
keluarga serumah akan dua kali
lebih beresiko dibanding kontak
biasa
yang
tidak
serumah
(Widoyono, 2008).
2.1.2.4 Gejala
dan
Tanda
Tuberculosis
Penderita tuberkulosis dapat
dikenali melalui beberapa tanda
dan gejala. Seseorang ditetapkan
sebagai
suspek
penderita
tuberkulosis apabila ditemukan
gejala klinis utama pada penderita.
Gejala utama suspek TB yaitu
batuk berdahak selama 2- 3 minggu
atau lebih, batuk dapat diikuti
dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas,nyeri dada,
badan
lemas,
nafsu
makan
menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan
fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan
(Widoyono, 2008). Berdasarkan
keluhan tersebut seseorang dapat
ditetapkan sebagai suspek TB,
untuk memastikan apakah penderita
terkena penyakit TB maka dahak
harus diperiksa BTA dengan
pemeriksaan
mikroskopis
(Widoyono, 2008 ).
2.1.1. Kualitas Hidup
2.1.2.1 Definisi Kualitas Hidup
Kualitas hidup adalah persepsi
individu tentang nilai dan konsep
di dalam hubungannya untuk
mencapai
harapan
hidupnya
(WHO,2004).
Kualitas
hidup
adalah derajat seseorang dalam
menikmati hidupnya, kenikmatan
tersebut mempunyai dua komponen
yaitu pengalaman dan kepuasan
(Weissman et al dalam Yusra,
2.1.2.2 Faktor yang mempengaruhi
Kualitas Hidup
a. Usia
Kualitas hidup dipengaruhi oleh
usia
dimana
menurut
hasil
penelitian Isa & Baiyewu (2006)
usia mempengaruhi kualitas hidup
penderita
diabetes
melitus.
Semakin tua usia seseorang kualitas
hidup yang dimiliki semakin
berkurang.
b. Jenis kelamin
Wanita cenderung
mempunyai
kualitas hidup
lebih rendah
dibandingkan dengan pria. Jenis
kelamin dilihat secara bermakna
dari
fungsi
perannya
pria
mempunyai fungsi peran lebih
tinggi dibandingkan wanita. Pria
lebih
banyak
memperoleh
dukungan (Yusra, 2011).
c. Tingkat pendidikan
Faktor tingkat pendidikan juga
sangat berpengaruh terhadap
kualitas
hidup
karena
4
sedangkan menurut Bernal et al
dalam
Yusra
(2011),
lama
menderita disertai komplikasi akan
memiliki efikasi diri yang rendah,
sehingga dapat disimpulkan lama
menderita
disertai
dengan
komplikasi
akan
cenderung
berpengaruh terhadap kualitas
hidup.
2.1.2.1 Penilaian Kualitas Hidup
pendidikan
rendah
akan
mempengaruhi kebiasaan fisik
yang kurang baik. Tingkat
pendidikan
juga
dapat
mempengaruhi seseorang dalam
menerima informasi. Tingkat
pendidikan merupakan faktor
yang penting dalam mengelola
penyakitnya
berdasarkan
pengetahuan yang di milikinya,
sehingga semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka
kualitas
hidup
semakin
meningkat (Yusra, 2011).
d.
Pekerjaan
Pekerjaan akan berpengaruh
terhadap
kualitas
hidup.
Pekerjaan
akan
membuat
seseorang mendapatkan upah
atau
gaji
untuk
biaya
pengobatan. Kualitas hidup
meningkat
seiring dengan
adanya pekerjaan yang dimiliki
seseorang (Tamara, 2014).
e.
Status Ekonomi Sosial
Tingkat
pendapatan
yang
rendah
sangat
bepengaruh
terhadap kualitas hidup pasien
karena
pendapatan
akan
menentukan
kemampuan
dalam pengobatannya (Isa &
Baiyewu, 2006).
f.
Komplikasi
Komplikasi
berpengaruh
terhadap kualitas hidup pasien.
Semakin berat komplikasi yang
dimiliki
seseorang,
maka
kualitas hidupnya semakin
berkurang (Isa & Baiyewu,
2006).
g. Lama menderita
Lama
menderita
akan
mempengaruhi kualitas
hidup
penderita karena memiliki efikasi
diri dan pengelolaan penyakit
dengan baik (Yusra, 2011),
Pengukuran kualitas hidup
dalam penelitian ini menggunakan
instrumen kualitas hidup World
Health Organization Quality Of
Life
assessment
(WHOQOL),
WHO telah melakukan uji coba
dalam 15 negara dengan budaya,
norma dan adat istiadat yang
berbeda, dan mendapatkan hasil
bahwa WHOQOL bisa diaplikasikan
dan dapat mengatasi perbedaan etic
dan emic. WHOQOL terdiri dari
beberapa pertanyaan yang kemudian
WHO menyusun WHOQOL-BREF
yang merupakan pengembangan
dan
instrumen
singkat
dari
WHOQOL dan digunakan jika
waktu yang digunakan terlalu lama
biasanya diaplikasikan dalam rumah
sakit dan penelitian (Oktvianus,
2007). WHOQOL BREF terdiri
dari 26 segi yang mencakup 4
domain
yaitu
domain
fisik,
psikologis, hubungan sosial, dan
lingkungan. Hasil perolehan data
menurut (Nofitri, 2009) diberikan
skor dan diinterpretasikan dengan
menggunakan kriteria sebagai berikut :
0-20
= Kualitas Hidup Sangat
Buruk
21-40 = Kualitas Hidup Buruk
41-60 = Kualitas Hidup Sedang
61-80 = Kualitas Hidup Baik
81-100 = Kualitas Hidup
Sangat Baik
5
membutuhkan penyesuaian yang
berbeda-beda tergantung pada
persepsi, sikap serta pengalaman
pribadi terkait penerimaan diri
terhadap perubahan yang terjadi.
Hal ini akan mempengaruhi
kualitas hidupnya dari segi
kesehatan fisik, kondisi psikologis,
sosial dan lingkungan. Maka
kondisi
inilah
yang
akan
berpengaruh terhadap kualitas
hidup penderita TB (Fitriani &
Ambarini, 2012). Penelitian lain
dari Ratnasari (2012) yang
bertujuan
untuk
mengetahui
hubungan antara dukungan sosial
dengan kualitas hidup penderita TB
paru.
Setiap individu memiliki
kualitas hidup yang berbeda-beda
tergantung dari masing-masing
individu
dalam
menyikapi
permasalahan yang terjadi dalam
dirinya.
Jika
menghadapinya
dengan positif maka akan baik pula
kualitas hidupnya, tetapi lain
halnya jika menghadapinya dengan
negatif maka akan buruk pula
kualitas hidupnya. Kualitas hidup
pasien
seharusnya
menjadi
perhatian penting bagi para petugas
kesehatan karena dapat menjadi
acuan keberhasilan dari suatu
tindakan/intervensi atau terapi.
Disamping itu, data tentang
kualitas
hidup
juga
dapat
merupakan data awal untuk
pertimbangan
merumuskan
intervensi/tindakan yang tepat bagi
pasien.
Jenis dan Rancangan
Penelitian
Jenis penelitian ini yaitu
kuantitatif dengan deskriptif analitik
untuk mengetahui nilai variabel
mandiri, baik satu variabel atau lebih
2.1.2.1 Kualitas Hidup Penderita
Tuberkulosis
Kualitas hidup merupakan persepsi
atau penilaian subjektif dari
individu yang mencakup beberapa
aspek sekaligus, yang meliputi
kondisi fisik, psikologis, sosial dan
lingkungan
dalam
kehidupan
sehari-hari. Sedangkan menurut
Hermann (Silitonga, 2007) definisi
kualitas hidup yang berhubungan
dengan kesehatan dapat diartikan
sebagai respon emosi dari penderita
terhadap
aktivitas
sosial,
emosional, pekerjaan dan hubungan
antar keluarga, rasa senang atau
bahagia, adanya kesesuaian antara
harapan dan kenyataan yang ada,
adanya kepuasan dalam melakukan
fungsi fisik, sosial dan emosional
serta kemampuan mengadakan
sosialisasi dengan orang lain.
Tuberkulosis
merupakan
penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB
(Myctobacterium
Tuberculosis).
Sebagian besar (80%) kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya
(Keputusan Menteri Kesehatan RI,
2009). Myctobaterium tuberculosis
termasuk basil gram positif,
berbentuk batang, dinding selnya
mengandung
komplek
lipidaglikolipida serta lilin (wax) yang
sulit ditempus zat kimia. Dalam
penelitian dengan judul Gambaran
Kualitas Hidup Seorang Penderita
Tuberkulosis (TB) ini peneliti ingin
mengetahui bagaimana gambaran
kualitas hidup seorang penderita
TB.
Sebagian besar penderita
TB merasakan perubahan yang
signifikan dalam kehidupannya,
dalam hal ini setiap penderita akan
6
tanpa membuat perbandingan atau
menghubungkan dengan variabel lain
(Sugiyono, 2007). Penelitian deskriptif
adalah
penelitian
yang
menggambarkan objek atau peristiwa
yang bertujuan untuk mengetahui
keadaan yang terjadi pada saat
sekarang (Notoatmodjo, 2010).
3.1. Populasi dan sampel
3.2.1 Populasi
Populasi merupakan subyek
atau obyek yang mempunyai
karakteristik tertentu yang dapat
diteliti
(Arikunto,
2010).
Berdasarkan
data
dari
Puskesmas Sukoharjo Januari
2017 populasi penderita TB di
Kecamatan
Sukoharjo
Kabupaten
Sukoharjo
berjumlah 35 orang.
3.2.2 Sampel
Sampel merupakan sebagian
atau keseluruhan obyek yang
diteliti dan dianggap mampu
mewakili seluruh populasi
(Notoatmodjo,
2010).
Pengambilan sampel dengan
total sampling yang berarti
mengambil semua anggota
populasi
untuk
dijadikan
sampel penelitian (Sugiono,
2009).
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo
pada bulan Januari- Februari 2017.
4.1 Analisi Univariat
Analisa univariat digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi
karakteristik responden yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pekerjaan, sosial ekonomi dan lama menderita. Adapun hasil analisa univariat
sebagai berikut:
4.1.1. Karakteristik Usia Responden
Data penelitian tentang usia responden di kategorikan menjadi 6 tingkat.
Distribusi frekuensi usia responden dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Usia Penderita Tuberkulosis di
Kecamatan Sukoharjo ( n = 35 ) bulan Pebruari 2017
Umur
20-30 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
51-60 tahun
61-70 tahun
Total
Frekuensi
11
5
7
5
7
35
Presentase %
31,6
14,2
20
14,2
20
100%
Berdasarkan tabe 4.1 menunjukkan bahwa responden penelitian
terbanyak pada rentang usia 20-30 tahun dengan sejumlah 11
responden dari total 35 responden, dengan besaran prosentase yaitu
31,6%.
7
4.1.2. Karakteristik Jenis Kelamin
Hasil distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin responden penelitian
sebagai berikut:
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ( n = 35 )
bulan Pebruari 2017
Jenis Kelamin
Laki-laki
perempuan
Total
Jumlah
17
18
35
Persentase (%)
48,5
51,5
100
Berdasarkan tabel 4.2 diatas menunjukkan bahwa mayoritas
responden penelitian berjenis kelamin perempuan dengan jumlah
penderita tuberkulosis sebanyak 18 responden dengan persentase
51,5%.
4.1.3. Karakteristik Pendidikan
Distribusi frekuensi tingkat pendidikan responden penelitian sebagai
berikut:
Tabel 4.3. Distribusi Responden Penelitian Berdasarkan
Tingkat Pendidikan ( n=35 ) bulan Pebruari 2017
Pendidikan
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
Total
Jumlah
2
12
7
11
3
35
Persentase (%)
5,7
34,3
20
31,4
8,6
100
Berdasarkan tabel 4.3 diatas menunjukkan bahwa pendidikan
responden paling banyak pada tingkat SD dengan sejumlah 12
responden dengan 34,3 %.
8
4.1.4. Karakteristik Jenis Pekerjaan
Distribusi frekuensi jenis pekerjaan terhadap responden penelitian
tentang tuberkulosis adalah sebagai berikut:
Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ( n= 35 )
bulan Pebruari 2017
Pekerjaan
Buruh
Swasta
PNS
Petani
Tidak Bekerja
Total
Jumlah
13
11
0
5
6
35
Persentase (%)
37,2
31,4
0
14,3
17,1
100
Berdasarkan tabel 4.4 diatas menunjukkan bahwa pekerjaan
responden paling banyak sebagai buruh yaitu 13 responden dengan
nilai persentase 37,2%, dan tidak ada responden atau penderita
tuberkulosis yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil.
4.1.5. Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis
Tabel 4.5. Distribusi Kualitas Hidup Penderita Tuberkulosis di
Kecamatan Sukoharjo ( n = 35 ) bulan pebruari 2017
Kualitas hidup penderita
Tuberkulosis
Sangat buruk
Buruk
Sedang
Baik
Sangat baik
Total
Jumlah
Persentase (%)
0
0
16
15
4
35
0
0
45,7
43
11,3
100
Berdasarkan tabel 4.5 diatas menunjukan bahwa kualitas hidup
penderita tuberkulosis di Kecamatan Sukoharjo pada kategori sedang
yaitu sejumlah 16 responden dengan jumlah persentase 45,7%.
5.1
Karakteristik Responden
5.1.1 Usia
Berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa usia responden
paling banyak pada rentang usia 2030 tahun dengan sejumlah 11
responden
(31,6%),
sedangkan
paling sedikit distribusi responden
penderita tuberkulosis pada rentang
usia 31-40 dan 51-60 dimana
masing-masing
sejumlah
5
responden. Penilaian kualitas hidup
penderita
tuberkulosis,
usia
merupakan faktor penentu, semakin
tua usia seseorang maka kualitas
hidup yang dimiliki semakin
berkurang (Baiyewu, 2006).
Penelitian Sutikno (2011),
yang berjudul Hubungan Antara
Fungsi Keluarga dan Kualitas Hidup
Lansia, menyebutkan bahwa usia
mempunyai hubungan yang secara
statistik signifikan dengan kualitas
hidup. Lansia yang berusia70 tahun
9
penderita
tuberkulosis
dengan
dengan usia lanjut lebih mencerung
mengalami kualitas hidup buruk bila
dibandingkan dengan usia produktif.
Prevalensi
penderita
tuberkulosis pada usia 20-30 tahun
lebih banyak bila dibandingkan
dengan usia yang lain, hasil ini
sesuai
dengan
penelitian
Wahyuningsih (2010), yang meneliti
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi tuberkulosis paru,
dari penelitian tersebut salah satu
faktor yang mempengaruhi adalah
usia, angka kejadian tuberkulosis
paru kurang dari 40 tahun dengan
prosentase 62, 5% dan usia lebih dari
40 tahun dengan prevalensi 37,5%.
Kejadian tuberkulosis pada usia di
bawah 40 tahun dapat disebabkan
karena
pekerjaan
yang
mengharuskan seseorang terpapar
dengan orang banyak dimana upaya
pencegahan penularan dari penderita
tidak maksiamal sehingga dapat
menularkan kepada orang lain.
5.1.2 Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa jenis kelamin
responden paling banyak pada jenis
kelamin perempuan yaitu sejumlah
18 responden (51,5%), sedangkan
jenis kelamin laki-laki sebagaai
penyumbang penderita tuberkulosis
sejumlah 17 responden (48,5%).
penelitian tersebut
Berdasarkan
diatas didapatkan data bahwa jenis
kelamin perempuan lebih dominan
bila dibandingkan laki-laki, menurut
penelitian Wikananda (2007) yang
meneliti tentang judul Hubungan
kualitas hidup dan faktor resiko pada
lanjut usia, bahwa kualitas hidup
lebih baik cenderung dialami oleh
responden
perempuan,
yaitu
sebanyak
36
berbanding
14
ke atas memiliki kemungkinan untuk
mempunyai kualitas hidup lebih
buruk daripada lansia berusia
kurang dari 70 tahun. Pradono
(2012), juga mengatakan faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup yaitu
usia, seseorang yang berumur lebih
dari 64 tahun, akan beresiko sakit
dan mengalami stress yang akan
menurunkan kualitas hidupnya.
Semakin tuanya seseorang
berkaitan
dengan
semakin
menurunya kualitas hidup seseorang.
Hal ini berhubungan dengan
penurunan kemampuan fisik, sosial
dan mental lansia sehingga semakin
tua mereka, semakin cenderung tidak
dapat melakukan berbagai macam
hal yang berperan dalam pemenuhan
maupun yang dapat meningkatkan
kualitas hidupnya. Apabila hal ini
tidak ditangani dengan baik, maka
bukan tidak mungkin akan semakin
menurunkan kualitas hidup lansia
sehingga
akan
semakin
meningkatkan angka morbiditas
lansia penderita tuberkulosis. Hasil
dari penelitian ini menunjukan
sebanyak 4 (11,3%) responden
dengan kualitas hidup sangat baik, 15
responden (43%) dengan kualitas
hidup baik dan sejumlah 16
responden dalam kategori sedang
(45,7%).
Rentang usia dalam peneitian
ini 20-30 tahun lebih banyak bila
dibandingkan dengan kategori usia
yang lain. Usia 20-30 tahun masih
mempunyai semangat dan motivasi
tinggi sehingga kualitas hidup
penderita tuberkulosis di Kecamatan
Sukoharjo masih dalam kategori
sedang dengan 16 penderita (45,
7%) dan 15 penderita dengan kondisi
kualitas hidup baik (43%). Penelitian
Pradono (2012) menyebutkan bahwa
10
perempuan lebih banyak ditemukan
dengan presentasi 51,5% sedangkan
jenis kelamin laki-laki sejumlah
48,5%.
responden dengan kualitas hidup
baik pada laki-laki. Sedangkan
kualitas hidup kurang dan buruk
cenderung dialami oleh responden
laki-laki, sehingga jenis kelamin
perempuan lebih cenderung lebih
untuk kualitas hidupnya bila
dibandingkan dengan kualitas hidup
laki-laki. Hal ini tidak sesuai dengan
teori, dimana pada teori perempuan
cenderung memiliki kualitas hidup
kurang dibanding laki-laki (Francesc,
2006). Peneliti menyebutkan banyak
faktor yang mempengaruhi jenis
kelamin terhadap kualitas hidup
seseorang, mungkin disebabkan oleh
adanya perbedaan latar belakang
sosial dan budaya, termasuk bahwa
seorang laki-laki mempunyai beban
dan tanggungjawab yang lebih berat
bila
dibandingkan
perempuan,
ditambah
sudah
semakin
menurunnya kemampuan fisik dan
mental pada penderita tuberkulosis
dengan
usia
lanjut
sehingga
cenderung mengarahkan ke kualitas
hidup yang kurang baik (Fatima,
2010).
Penelitian
Wahyuningsih
(2010), meneliti tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi tuberkulosis
paru, dari penelitian tersebut salah
satu faktor yang mempengaruhi
angka kejadian tuberkulosis selain
usia yaitu jenis kelamin. Hasil
penelitiannya
perempuan
lebih
banyak ditemukan dari pada lakilaki, jenis kelamin perempuan
ditemukan dengan presentasi 68,8%
dan laki-laki dengan presentasi
31,3%, artinya bahwa jenis kelamin
perempuan lebih rentan tertular dan
terkena penyakit tuberkulosis bila
dibandingkan dengan laki-laki. Hasil
penelitian tersebut sesuai dengan
penelitian ini dimana jenis kelamin
5.1.3 Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian
yang terdapat pada tabel 4.3
menunjukkan bahwa pendidikan
responden paling banyak pada
tingkat SD dengan sejumlah 12
responden (34,3 %), diikuti pada
kelompok SMA dengan jumlah 11
responden (31,4%). Menurut Yusra
(2011)
dalam
penelitianya
menyebutkan bahwa pendidikan
berpengaruh terhadap kualitas hidup
karena pendidikan rendah akan
mempengaruhi kebiasaan fisik yang
kurang
baik.
Penelitian
Wahyuningsih (2010) tentang faktorfaktor
yang
mempengaruhi
tuberkulosis paru, dari penelitian
tersebut menyampaikan bahwa jenis
pendidikan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi angka
kejadian
tuberkulosis,
terdapat
43,3% penderita dengan tingkat
pendidikan rendah dan 56,3%
penderita dengan tingkat pendidikan
baik.
Penelitian
Wahyuningsih
(2010) tersebut berbeda dengan
penelitian ini dimana jumlah
responden penelitian didominasi
dengan jenis pendidikan rendah
dengan presentase 34,3%.
Tingkat pendidikan dapat
mempengaruhi seseorang dalam
menerima
informasi.
Tingkat
pendidikan merupakan faktor yang
penting dalam mengelola penyakit
berdasarkan
pengetahuan
yang
dimilikinya, sehingga semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang maka
kualitas hidup semakin meningkat
11
jenuh dan bosan sehingga dapat
menurunkan
kualitas
hidup.
Penelitian ini terdapat 6 responden
(17,1%) yang tidak memiliki
pekerjaan
dan
dimungkinkan
sebagai
distributor
dalam
memberikan
penilian
kualitas
hidup dalam kategori cukup.
5.1.5 Kualitas Hidup Penderita
Tuberkulosis
Kualitas hidup merupakan
persepsi atau penilaian subjektif dari
individu yang mencakup beberapa
aspek sekaligus, yang meliputi
kondisi fisik, psikologis, sosial dan
lingkungan dalam kehidupan seharihari. Kualitas hidup dapat diartikan
sebagai respon emosi dari penderita
terhadap aktivitas sosial, emosional,
pekerjaan dan hubungan antar
keluarga, rasa senang atau bahagia,
adanya kesesuaian antara harapan
dan kenyataan yang ada, adanya
kepuasan dalam melakukan fungsi
fisik, sosial dan emosional serta
kemampuan mengadakan sosialisasi
dengan orang lain.
Hasil penelitian diperoleh data
bahwa kualitas hidup responden
dalam kategori cukup dengan jumlah
16 responden (45,7%), dan terdapat
14 responden (40%) dalam kategori
kualitas baik. Setiap individu
memiliki kualitas hidup yang
berbeda-beda
tergantung
dari
masing-masing
individu
dalam
menyikapi permasalahan yang terjadi
dalam dirinya. Jika menghadapinya
dengan positif maka akan baik pula
kualitas hidupnya, tetapi lain halnya
jika menghadapinya dengan negatif
maka akan buruk pula kualitas
hidupnya.
Penyakit
TB
merupakan
masalah utama karena jumlah
penderita TB yang terus bertambah.
(Yusra, 2011). Penelitian ini sesuai
dengan teori yang menyebutkan
bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang semakin baik
kualitas hidupnya.
5.1.4 Jenis Pekerjaan
Hasil penelitian pada tabel 4.4
menunjukkan
bahwa
pekerjaan
responden paling banyak sebagai
buruh sejumlah 13 responden dengan
nilai persentase 37,2%, diikuti pada
kelompok yang bekerja sebagai
wiraswasta dengan 11 responden
(31,4%), tidak bekerja sujumlah 6
responden
(17,1%),
bekerja
sebagai
petani
5
responden
(14,3%) dan tidak ada responden
atau penderita tuberkulosis yang
bekerja sebagai Pegawai Negeri
Sipil. Pekerjaan akan berpengaruh
terhadap kualitas hidup. Pekerjaan
akan
membuat
seseorang
mendapatkan upah atau gaji untuk
biaya pengobatan. Kualitas hidup
akan meningkat
seiring dengan
adanya pekerjaan yang baik pula
yang dimiliki seseorang penderita
tuberkulosis (Tamara, 2014).
Jenis pekerjaan pada responden
penelitian ini dominan sebagai buruh
(37,2%) diantaranya buruh tani
,buruh bangunan . Sebuah teori
menyampaikan bahwa bekerja atau
memiliki aktivitas tetap merupakan
salah satu bentuk perilaku hidup
aktif. Hal ini berkaitan dengan
penghasilan dan sering dikaitkan
dengan pemenuhan kebutuhan
manusia.
Dengan
pemenuhan
kebutuhan hidup yang cukup hal
ini berkaitan dengan meningkatkan
taraf kualitas hidupnya dan
meningkatkan interaksi sosialnya
menurut Wahyuningsih ( 2012 ).
Kurangnya perilaku hidup aktif
akan cenderung mendorong rasa
12
Kualitas hidup
responden
dalam penelitian ini dalam kondisi
sedang dengan presentase 45,7%,
dimana kualitas hidup merupakan
salah satu kriteria utama untuk
mengetahui intervensi pelayanan
kesehatan. Sejumlah penderita dapat
hidup lebih lama, namun dengan
membawa beban penyakit menahun,
sehingga kualitas hidup menjadi
perhatian
pelayanan
kesehatan.
Fenomena yang masih sering ditemui
di masyarakat adalah masih ada
anggota keluarga yang takut apalagi
berdekatan dengan seseorang yang
disangka menderita TB, sehingga
muncul sikap berhati-hati secara
berlebihan, misalnya mengasingkan
penderita,
enggan
mengajak
berbicara, kalau dekat dengan
penderita akan segera menutup
hidung dan sebagainya ( Arsyad,
2014). Hal tersebut akan sangat
menyinggung perasaan penderita.
Penderita akan tertekan dan merasa
dikucilkan,
sehingga
dapat
berdampak
pada
kondisi
psikologisnya dan akhirnya akan
mempengaruhi
keberhasilan
pengobatan. Perlu dijelaskan kepada
masyarakat
bahwa
penderita
tuberkulosis perlu mendapatkan
dukungan sosial secara optimal dari
semua pihak dan berbagai lapisan
masyarakat untuk mensukseskan
pengobatan penderita tuberkulosis
sehingga akan meningkatkan kualitas
hidupnya (Hastuti, 2014).
TB menjadi penyebab kematian
ketiga terbesar setelah penyakit
kardiovaskuler
dan
saluran
pernafasan,
serta
merupakan
penyakit nomor satu terbesar dalam
kelompok penyakit infeksi (Depkes,
2008).
Berbagai upaya telah
dilakukan
pemerintah
dalam
memberantas dan menguragi jumlah
penderita Tuberkulosis, salah satu
usaha yang dilakukan yaitu dengan
program DOTS yang meliputi lima
komponen
yaitu
komitmen
pemerintah untuk kontrol TB,
persediaan obat TB yang rutin dan
tidak terputus, sistem laporan
monitoring, deteksi kasus TB,
pengobatan teratur selama 6-8 bulan
(Firdaus, 2012).
Pengobatan
6-8
bulan
merupakan pengobatan yang lama
dan perlu kesabaran serta ketelitian
dalam menkonsumsi obat sehari-hari.
Pengobatan yang tidak teratur bukan
hanya
tidak
menyembuhkan
penderita namun juga menyebabkan
penderita kebal terhadap obat
tersebut
(Asmariani,
2012).
Ketidakpatuhan minum obat selain
karena bosan juga disebabkan karena
pasien merasa sudah sembuh,
sehingga
pasien
tidak
serius
melakukan pengobatan dengan baik
(Sujayanto, 2000). Pengobatan yang
lama dan membosankan akan
memberikan
perubahan
dalam
kehidupan penderita TB, artinya
penderita
akan
membutuhkan
penyesuaian yang berbeda-beda
tergantung pada persepsi, sikap serta
pengalaman
pribadi
tentang
penerimaan diri terhadap perubahan
yang akan mempengaruhi kualitas
hidup penderita TB (Karangora,
2012).
6.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan dapat disimpulan
sebagai berikut:
13
1. Usia
responden
paling
banyak pada rentang usia 2030 tahun sejumlah 11
responden (31,6%).
2. Jenis kelamin lebih dominan
perempuan dengan jumlah 18
responden (51,5%).
3. Responden penelitian paling
banyak berpendidikan SD
sejumlah
12
responden
(12%).
4. Pekerjaan responden paling
banyak
sebagai
buruh
sejumlah
13
responden
(37,2%)
5. Kualitas hidup penderita
tuberkulosis di kecamatan
sukoharjo dalam kategori
sedang dengan jumlah 16
responden (45,7%).
6.2 Saran
Berdasarkan simpulan dan
keterbatasan yang ada, maka
peneliti
memberikan
saran
sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti lain
Diharapkan
dapat
mengembangkan
khasanah
.
ilmu tentang pentingnya
pendampingan
kepada
penderita tuberkulosis dan
keluarga penderita.
Bagi Penderita Tuberkulosis
Diharapkan
dapat
lebih
meningkatkan pengetahuan
tentang penyakit tuberkulosis
sehingga akan mengetahui
cara
pengobatan
dan
perawatan selama menjalani
pengobatan tuberkulosis.
2. Bagi pelayanan kesehatan
Diharapkan
khususnya
perawat puskesmas lebih
memperhatikan pengobatan
dan
kontrol
penderita
sehingga akan sembuh dan
akan meningkatkan kualitas
hidup penderita tuberkulosis.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian
ini
dapat
digunakan untuk menambah
khasanah keilmuan tentang
gambaran kualitas hidup
penderita
tuberkulosis
14
tuberkulosis, edisi 2 cetakan
DAFTAR PUSTAKA
pertama. Jakarta
Firdaus
Alsagaff, H & Mukti, A. (2006).
Dasar-dasar
Paru.
Ilmu
Surabaya
K.
(2012).
Peranan Pengawas Menelan
Penyakit
obat
Airlangga
(PMO)
Paru
Arsyad, Dian Sidik.(2014). Hubungan
di
Wilayah
Puskemas
Baki
Dukungan Sosial Dengan Kualitas
Universitas
Hidup Pada Penderita Tb Paru Di
Surakarta.
Kota
Hiswani.
Makassar.Universitas Hasanudin.
Kerja
Sukoharjo.
Muhammadiyah
(2004).
Tuberkulosis
Nosokomial. Journal Tuberkulosis
Asmariani, S. (2012). Faktor-Faktor
yang
Terhadap
Keberhasilan Pengobatan TB
Unversity Press.
Bbkpm
Pengaruh
Indonesia.
Menyebabkan
Jawetz, Melnick, Adelberg. (2008).
Ketidakpatuhan Penderita TB
Mikrobiologi Kedokteran. (H.
Paru
Hartanto,
Minum
Obat
Anti
C.
Rachman,
A.
Tuberkulosis (OAT) di Wilayah
Dimanti, A. Diani). Jakarta :
Kerja Puskesmas Gajah Mada
EGC.
Kecamatan Tembilahan Kota
Karangora,
Kabupaten
Indragiri
Hilir.
Sosial dan Kualitas Hidup
Awusi, R.Saleh, Y.& Hadiwijoyo, Y.
Faktor-faktor
mempengaruhi
pada Lesbian di Surabaya.
yang
Jurnal
penemuan
Provinsi
Tengah.
Berita
Kemenkes
Sulawesi
RI.
nasional
RI.
Kedokteran
Indonesia
Kementrian
(2008).
Mahasiswa
(2012).
Strategi
nasional pengendalian TB di
Masyarakat
Depkes
Ilmiah
Universitas Surabaya
penderita TB Paru di Kota
Palu
(2012).
Hubungan antara Dukungan
Jurnal PSIK Universitas Riau.
(2009).
M.L.B.
Pedoman
2010-2014.
Kesehatan
Direktorat
penanggulangan
Pengendalian
Jendral
Penyakit
Penyehatan Lingkungan
15
RI
dan
Murti, Bhisma; Santoso; Sumardiyono;
Ratnasari.
(2012).
Hubungan
Sutisna, Endang. (2015). Evaluasi
dukungan
Program
kualitas hidup pada penderita
Pengendalian
Tuberkulosis
DOTS
Dengan
Di
Eks
Strategi
pengobatan
(BP4)
Notoatmodjo, S. (2010). Kesehatan
Ilmu
&
(2008).
Pendidikan
(edisi
Konsep
metodologi
penelitian
keperawatan.
Sudoyo A, et al. (2006). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
FKUI.
Sujayanto G. (2000). Kepatuhan
Orfila, Francesc et al. (2006).Gender
Berobat
differences in health-related
conditions.
Municipal
Faktor Yang Mempengaruhi
and
Tuberkulosis Pada Penderita
Institut
Tb Paru Di Wilayah Kerja
d'Investigacio
Puskesmas Kasihan I Bantul
Medica, Barcelona.
Yogyakarta.
Palomina DJ .(2007). Tuberculosis
Control
edition. Antwerp - Sao Paolo :
ilmu
WHO. (2009). Global Tuberculosis
Science to Patient Care, 1st
Aires
Fakultas
kedokteran. UMY
and HIV / AIDS. From Basic
Buenos
Penderita
Wahyuningsih, Sri. (2010). Faktor-
elderly: The Role of objective
chronic
bagi
Tuberkulosis.
quality of life among the
capacity
kedua).
Jakarta: Kencana
Jakarta
functional
(edisi
(Penerj. Tri Wibowo B.S).
dan
penerapan
unit
Santrock, J.W. (2007). Psikologi
revisi). Jakarta: Rineka Cipta
Nursalam.
Yogyakarta
paru
Indonesia.
Notoatmodjo, S. (2008). Metodologi
Kesehatan
penyakit
minggiran. Jurnal Tuberkulosis
Seni.
Jakarta: Rineka Cipta
penelitian
dengan
tuberkulosis (TB paru) di balai
Karesidenan
Surakarta. FK UNS. Surakarta
Masyarakat
sosial
Strategy,
Emma
Epidemiology,
Financing.
Health Organization
Raderschadt.
16
World
WHO. (2015). Global Tuberculosis
Control.
World
Organization
Health
17
Download