Modul Psikologi Sosial 2 [TM14]

advertisement

MODUL PERKULIAHAN
Psikologi Sosial 2
Aplikasi Psikologi Sosial
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
14
Kode MK
Disusun Oleh
61017
Filino Firmansyah, M.Psi
Abstract
Kompetensi
Materi tentang penerapan psikologi
sosial di bidang penegakan hukum,
pengentasan kemiskinan dan
kesehatan.
Mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali mengenai
penerapan psikologi sosial di bidang
penegakan hukum, pengentasan
kemiskinan dan kesehatan.
Aplikasi Psikologi Sosial
Pengantar
Waktu W. Wundt membuka laboratorium psikologi pertama di dunia pada waktu tahun 1879
tujuan utamanya adalah mengunkap factor-faktor yang berpengaruh pada perilaku
(persepsi) manusia melalui penelitian psikologi karena pada masa-masa sebelumnya
penelitian laboratorium hanya dilakukan di laboratorium-laboratorium ilmu faal, sedangkan
upaya lain untuk menjelaskan perilaku manusia pada waktu itu lebih banyak dilakukan
secara deduktif oleh filsafat dan ilmu-ilmu semu. Akan tetapi, sejak James McKeen Cattel
mengembangkan tes mental (dalam bahasa awam di Indonesia sering disebut “psikotes”
pada 1890 (Boring dalam Sarwono, 2001) psikologi mulai menemukan jalannya ke bidang
terapan. Demikian juga ketika Lightner Witner pada tahun 1896 membuka klinik psikologi
yang pertama di dunia di Universitas Pennsylvania (Speelburger dalam Sarwono, 2001), ia
mulai mempraktikkan intervensi psikologi untuk mengatasi kasus-kasus alkoholisme di
kalangan siswa-siswa suatu sekolah lanjutan setempat.
Perkembangan selanjutnya dalam sejarah psikologi menunjukkan semakin meningkatnya
penerapan psikologi. Dalam perang dunia I, Test Army Alpha digunakan untuk menyeleksi
calon perwira dari prajurit-prajurit biasa. Psikologi juga mulai diterapkan di panti-panti
rehabilitasi, rumah-rumah sakit, dan sekolah-sekolah. Dalam Perang Dunia II, sekali lagi tes
psikologi digunakan untuk memilih personil-personil militer dan yang paling sukses adalah
dalam hal seleksi calon penerbang (Speelburger dalam Sarwono, 2001).
Di Indonesia, lahirnya psikologi pada tahun 1953 adalah karena kebutuhan yang sudah
sangat tinggi akan psikologi terapan sebagaimana yang diucapkan oleh Prof. Dr Slamet
Imam Santoso dalam pidata pengukuhannya sebagai Guru Besar Psikiatri di Fakultas
Kedokteran UI pada tahun itu : “ Indonesia memerlukan psikologi untuk memperoleh the
right man in the right place” (Sarwono, 2001). Sejak itulah lahir fakultas-fakultas psikologi di
Indonesia dan psikologi pun diterapkan dimana-mana (di sekolah, industry, militer, instansiinstansi pemerintah, panti-panti sosial dan sebagainya), baik melalui fakultas-fakultas
psikologi dan biro-biro jasa psikologi maupun oleh psikolog yang bekerja di organisasiorganisasi, instansi atau perusahaan yang bersangkutan.
Karena perkembangan pesat dalam bidang terapan, pada tahun 1950-an di Amerika Serikat
seakan-akan timbul dua arah perkembangan psikologi, yaitu terapan dan laboratorium. Yang
pertama dikembangkan di luar universitas, sedangkan yang kedua dikembangkan di dalam
universitas-universitas. Perkembangan tersebut, yang masih berlangsung sampai sekarang
‘13
2
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dianggap sebagai sangat penting sampai dijadikan tema pokok pidato Lee J. Cronbach
(dalam Sarwono, 2001) ketika ia diresmikan sebagai ketua APA (American Psychological
Association).
Perbedaan yang utama antara psikologi di laboratorium dan psikologi terapan adalah bahwa
psikologi di laboratorium terutama berusaha menjelaskan mangapa dan bagaimana suatu
perilaku terjadi. Sebaliknya, psikologi terapan, berdasarkan pengetahuan dari laboratorium
tadi, berusaha mengubah perilaku melalui intervensi (campur tangan) psikologi, misalnya
konseling, terapi, tes dan bimbingan. Jelaslah bahwa psikolog yang bekerja di bidang
terapan tidak hanya membutuhkan pengetahuan (ilmu), tetapi juga keterampilan, sikap, dan
nilai-nilai tertentu (Gale & Chapman dalam Sarwono, 2001). Orang-orang yang dibantu
dengan psikologi terapan (subjek) bukan datang dari langit atau dari ruang hampa,
melainkan berasal dari lingkungan tertentu (masyarakat, adat, keluarga, perusahaan dan
sebagainya). Mereka mempunyai teman-teman dan kerabat sendiri, mereka mempunyai
emosi, kehendak dan motivasi masing-masing yang belum tentu berdampak lebih baik kalau
diubah. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul kemudian adalah “Siapakah yang menentukan
baik atau buruk? Apa kriteria baik atau buruk?” Apa hak psikolog untuk menerapkan baik
atau buruk dan meminta atau mendorong atau menganjurkan subjek untuk mengubah
perilakunya?” Singkatnya, dalam penerapan psikologi terlihat lebih banyak permasalahan
etika daripada psikologi laboratorium, walaupun dalam psikologi laboratorium ada juga
masalah etika seperti pada eksperimen Milgram tentang kepatuhan yang banyak sekali
menimbulkan kritik dari sudut etika.
Dalam psikologi sosial terapan, psikolog tidak hanya berhadapan dengan individu, tetapi
sering kali juga dengan sekumpulan individu sekaligus (tim olahraga, keluarga, suku, partai
politik, massa dan sebagainya). Oleh karena itu, masalah etika menjadi lebih rumit lagi.
Dalam menangani konflik antarkelompok (antarpelajar, antaragama, antarbangsa, antarras
dan sebagainya), misalnya, psikolog tidak boleh memihak ke salah satu atau memaksakan
nilainya sendiri. Akan tetapi, untuk sampai pada suatu kesepakatan semua pihak(sering kali
termasuk psikolognya sendiri) ia harus melepaskan sebagaian (kecil, besar bahkan kadangkadang semua) pendapat, nilai atau normanya. Kalau ada pihak yang berkebaratan, apa
yang dilakukan psikolog? Kalau keberatan itu diikuti dapat menghambat atau bahkan
menggagalkan penyelesaian konflik. Akan tetapi, kalau tidak diikuti dapat dianggap
pemerkosaan hak-hak asasi manusia.
‘13
3
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Psikologi Sosial dan Penegakan Hukum
Hukum adalah norma tertulis dalam suatu negara yang mencerminkan nilai-nilai dalam
masyarakat di negara itu. Selain untuk mengatur tata hubungan antaranggota masyarakat
dan antar berbagai lembaga dalam masyarakat (termasuk pemerintah sendiri), hukum
ditujukan juga untuk melindungan masyarkat itu sendiri.
Untuk menegakkan hukum, negara mempunyai aparat-aparatnya yaitu kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan. Yang menjadi masalah adalah bahwa penegakan hukum
kadang-kadang tidak optimal atau tidak mencapai sasarannya, antara lain karena prosedur
pembuatan hukum yang memakan waktu lama (di Indonesia harus dengan persetujuan
pemerintah dan DPR) dan sekali sudah diundangkan, hukum itu tidak akan berubah lagi
untuk jangka waktu lama (kalau hukum terlalu cepat berubah, tidak ada kepastian hukum
dalam masyarakat), sementara nilai-nilai dalam masyarakat itu sendiri berubah dengan
cepat. Hukum yang mencerminkan keadaan masyarakat hari ini, mungkin sudah tidak
demikian halnya pada 5 atau 10 tahun mendatang.
Salah satu contoh di Indonesia adalah kecepatan maksimum kendaraan. Berdasarkan
Undang-Undang Lalu Lintas tahun 1962, kecepatan maksimum yang diperbolehkan di
dalam kota adalah 40 km per jam, sedangkan untuk luar kota 60 km per jam. Ketentuan itu
sudah tidak tepat lagi pada tahun 1980-an dengan adanya jalan-jalan bebas hambatan dan
jenis kendaraan baru dengan kekuatan mesin yang besar. Akan tetapi, baru tahun 1992 lahir
UULJR (Undang-Undang Lalu Lintas dan Jalan Raya) yang baru yang memperbolehkan
kecepatan kendaraan sampai 100 km per jam untuk jalan-jalan bebas hambatan. Di pihak
lain, denda untuk pelanggaran jalan-jalan bebas hambatan. Di pihak lain, denda untuk
pelanggaran lalu lintas pun ditingkatkan dari maksimun Rp. 10.000,- (di tahun 1992) menjadi
maksimum Rp. 2.000.000,- (UU tahun 1992) untuk menyesuaikan dengan nilai mata uang
yang berlaku di tahun 1992. Yang menarik adalah bahwa peningkatan kecepatan kendaraan
adalah UU yang baru dapat diterima oleh masyarakat, namun peningkatan denda mendapat
tentangan keras dari masyarakat karena dianggap terlalu berat.
Kendala lain dalam penegakan hukum adalah masyarakat menggunakan berbagai norma
lain di samping norma hukum itu sendiri. “Kumpul Kebo”, misalnya, dianggap melanggar
norma susila dan norma agama oleh masyarakat sehingga sering terjadi kasus sepasang
pria-wanita yang bukan suami-istri ditemukan sedang berduaan saja dalam satu rumah,
diatas pukul 24.00. Pasangan itu digerebek oleh masyarakat setempat kemudian dihakimi
sendiri oleh masyarakat. Padahal, menurut hukum perbuatan tersebut tidak tergolong
‘13
4
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pelanggaran hukum selam dilakukan oleh dua orang yang sudah sama-sama dewasa, tidak
ada pemaksaan dan tidak ada pengajuan keberatan dari pihak ketiga.
Selain itu pluralitas budaya masyarakat Indonesia juga menimbulkan permasalahan
tersendiri. Sesuatu yang dianggap tidak wajar oleh masyarakat di Jakarta, misalnya,
(pembunuhan karena dendam keluarga atau perang suku) dianggap biasa saja di daerah
lain (Sulawesi, Irian). Kawin-cerai dianggap biasa saja oleh menengah ke atas di kota-kota
besar, apabila yang menganut agama Nasrani, perbuatan itu dianggap sangat bertentangan
dengan norma. Demikian juga mengenai pemilikan tanah. Di pedesaan dan di luar Jawa,
tanah adalah milik bersama dan pemakaiannya ditentukan oleh lembaga-lembaga desa
sendiri. Sebaliknya, hak milik atas tanah di kota besar ditentukan oleh pemerintah atau
pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah. Masalah berkali-kali timbul jika terjadi pembelian
tanah pedesaan oleh orang-orang atau pihak-pihak dari kota.
Penerapan Psikologi dalam Penegakan Hukum
Penerapan psikologi dalam penegakan hukum merupakan hal yang relatif baru, baik dalam
sejarah psikologi maupun dalam sejarah kepolisian. Walaupun demikian, dalam dekade
terakhir Abad ke-20 ini, di kalangan profesi kepolisian sudah cukup berkembang teknologi
evaluasi psikologik, konseling dan pelatihan yang sumbernya adalah psikologi. Dalam
operasi kepolisian, psikologi dimanfaatkan dalam pengembangan teknologi integratif,
pengendalikan lalu lintas dan bimbingan masyarakat. Dalam organisasi kepolisian, psikologi
dimanfaatkan untuk mendukung manajemen dan membantu mengatasi masalah-masalah
personil Polri (Kurke & Schivner dalam Sarwono, 2001), masalah-masalah pribadi sebagai
dampak dari tugas kepolisian (Bonifacio dalam Sarwono, 2001), dan penanggulangan stress
pada petugas kepolisian (Brown & Cambell dalam Sarwono, 2001).
Penelitian
Pelayanan Polisi (Cretney dalam Sarwono, 2001)
Polisi sering kali tidak berhasil mengungkap kejahatan karena mereka lebih memusatkan
perhatian pada keluhan atau pengaduan korban daripada terhadap kejahatan itu sendiri.
Misalnya, kalau korban tidak mau mengaku atau memberi informasi pada polisi, penyidikan
tidak dilanjutkan. Hal serupa juga di pengadilan karena kepentingan atau kebutuhan korban
justru diabaikan atau kurang diperhatikan
‘13
5
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Penempatan Polisi di Sekolah (Scheffer dalam Sarwono, 2001)
Petugas-petugas polisi ditempatkan di sekolah-sekolah lanjutan (negeri). Tugas mereka
adalah mengajar keamanan, ketertiban dan keamanan (public safety), konseling dan
penyidikan kenakalan.
Penyidikan Kejahatan (Gonzales, Davis & Ellsworth dalam Sarwono, 2001)
Dalam tenik line up (menjejerkan tersangka bersama orang-orang lain untuk identifikasi oleh
saksi) ada dua macam tekni, yaitu (1) menempatkan tersangka di antara orang-orang
dengan ciri-ciri fisik yang hampir sama dan (2) menempatkan tersangka di antara orangorang dengan ciri-ciri fisik yang berbeda. Kedua teknik ini dapat menyebabkan saksi yang
ragu-ragu salah tunjuk. Pada teknik pertama, saksi asal tunjuk saja karena semua yang line
up tampak serupa saja, sedangkan pada teknik kedua, ia langsung menunjuk yang paling
berbeda (walaupun bukan pelaku yang sesungguhnya).
Psikologi Sosial dan Pengentasan Kemiskinan
Pada umumnya kemiskinan diasosiasikan (Markum ,2009) dengan keterbatasan uang untuk
memenuhi kebutuhan dasar. Pengertian kemiskinan yang sifatnya pragmatis ini memang
lazim digunakan. Oleh karenanya, konsekuensi selanjutnya adalah dibedakan antara orang
miskin yang benar-benar tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya untuk bisa bertahan
hidup (kemiskinan absolut) dan orang miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya karena tuntutan standar hidup (yang tinggi) dari masyarakat yang bersangkutan
(kemiskinan relatif). Sebagai contoh, orang miskin yang tinggal di Jakarta tergolong
kemiskinan relatif karena meskipun penghasilan orang miskin di Jakarta tergolong
“lumayan”, namun mereka sangat sulit bertahan hidup di Jakarta karena tuntutan biaya
hidupnya yang tinggi. Seandaianya ada orang miskin di Jakarta yang penghasilannya “paspasan”, sehingga tidak mungkin bertahan hidup di Jakarta, maka mereka tergolong pada
kemiskinan absolut.
Barangkali, bila dibandingkan antara penduduk miskin perkotaan dengan penduduk miskin
pedesaan, umumnya penduduk miskin perkotaan tergolong kemiskinan relatif karena,
meskipun di satu pihak biaya hidup yang tinggi, di perkotaan relatif tersedia lapangan kerja
di sektor informal (tukang parkir, pedagang asongan, pedangan kaki-lima, dan buruh
bangunan). Sedangkan kemiskinan di pedesaan tergolong kemiskinan absolut karena,
‘13
6
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
meskipun biaya hidup di pedesaan relatif rendah, namun tidak tersedia lapangan kerja
sebagai sumber penghasilan. Meskipun kemiskinan dapat dibagi menjadi kemiskinan
absolut dan relatif, namun dalam pembahasan pengentasan kemiskinan selanjutnya tidak
secara spesifik dilakukan pemisahan atas dasar kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
Manusia adalah makhluk sosial yang kehidupannya tidak bisa lepas dari pengaruh orang
lain atau masyarakat. Kemampuan berbicara dan berbahasa serta sopan santun, misalnya
diperoleh dalam keluarga. Demikian pula perilaku lainnya, apakah seseorang akan menjadi
individu yang tumbuh dan berkembang ke arah yang baik atau sebaliknya, ditentukan atau
“dibentuk” oleh lingkungan sosialnya. Tentu saja manusia bukanlah makhluk pasif atau
semata-mata dikendalikan oleh dorongan instingtif dan mengikuti kehendak lingkungan,
melainkan manusia bisa secara aktif merancang bahkan merubah dunianya.
Atas dasar tersebut ruang lingkup psikologi sosial meliputi interaksi antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok, intra-kelompok, dan antar-kelompok. Dalam psikologi
sosial, individu diletakkan dalam konteks sosial. Atau, tingkahlaku individu bukan sematamata ditentukan oleh individu, melainkan merupakan haisl interaksi antara individu dan
lingkungannya. Secara rinci psikologi sosial dirumuskan sebagai “the scientific field that
seeks to understand the nature and causes of individual behavior and thought in social
situations” (Baron, Branscombe & Byrne dalam Markum, 2009). Yang perlu digarisbawahi
dari definisi di atas adalah upaya memahami tingkah laku dan pikiran individu dalam situasi
sosial. Artinya, individu akan berperilaku berbeda pada saat di ruang kuliah, di jalanan
umum, di lingkungan keluarga dan di suatu resepsi pernikahan.
Dihubungkan dengan upaya pengentasan kemiskinan, pendekatan psikologi sosial diartikan
sebagai bukan hanya melakukan intervensi atau perubahan mind-set individu orang miskin,
melainkan melakukan juga intervensi lingkungan yang meliputi faktor kultural dan struktural
(Levin dalam Markum, 2009).
Intevensi Individual
Untuk melakukan intervensi tingkat individual dari orang miskin terlebih dahulu perlu
dipahami psikologi orang miskin (psychology of poor). Sebagai acuan untuk memahami
psikologi orang miskin digunakan model lingkaran kemiskinan (poverty cycle) dari Seligman
(dalam Markum 2009).
‘13
7
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dilihat dari perspektif psikologi, orang miskin adalah orang yang memahami kondisi
deprivasi (deprivation). Artinya, akses orang miskin terhadap berbagai fasilitas layanan
umum (kesehatan, air bersih, sanitasi, pendidikan, lembaga keuangan, dan lain-lain) sangat
terbatas, bahkan tertutup. Orang miskin juga tidak bisa mengendalikan nasibnya atau hari
depannya (uncontrollability) karena, selain merupakan kelompok minoritas, juga posisi tawar
(bargaining power) lemah. Sebagai contoh, petani di pedesaan tidak bisa menentukan harga
beras sesuai dengan kemauannya, sedangkan penjual pupuk atau sepeda motor dapat
mendikte harga komoditi mereka kepada petani sesuai dengan yang mereka kehendaki.
Akibatnya dari kondisi orang miskin yang tidak bisa menguasai atau mengendalikan kondisi
lingkungan (tidak memiliki posisi tawar yang kuat, peraturan yang merugikan orang miskin
dan harga kebutuhan pokok yang tidak terjangkau), orang miskin menjadi tidak tahu lagi apa
yang harus dilakukan dan merasa tidak berdaya (helpless). Selanjutnya, kondisi ini diikuti
oleh sikap mereka yang pasif (passivity), tidak acuh atau tidak perduli terhadap lingkungan
sekitarnya (apathy), dan akhirnya orang miskin akan tetap berada dalam kondisi deprivasi.
‘13
8
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Atas dasar pemahaman mengenai lingkaran kemiskinan di atas, tentunya terdapat hal-hal
yang harus dilakukan untuk merubah mind-set orang miskin. Menurut Ortigas dalam
Markum (2009), pada prinsipnya, lingkaran kemiskinan ini harus dihentikan atau tidak boleh
terus berputar, yakni dengan cara memutus lingkaran sedini mungkin sebelum terjadi
perpindahan ke kondisi lebih lanjut. Pemutusan lingkaran kemiskinan ini dimaksudkan agar
orang miskin tidak terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan untuk itu mereka
diyakinkan mempunyai kemampuan atau keterampilan tertentu (self-efficacy) yang
selanjutnya akan tumbuh harga dirinya (self-esteem). Dengan dimilikinya keyakinan mampu
melakukan sesuatu dan harga diri, diharapkan orang miskin akan menjadi tahan banting dan
dapat bangkit kembali (self reliance) tatkala orang miskin menghadapi situasi yang sulit dan
berat.
Intervensi Kultural
Di samping melakukan intervensi pada tingkat individual, dalam pendekatan psikologi sosial,
perlu juga ada upaya intevensi kultural. Hal ini karena pada orang atau kelompok yang telah
lama berada dalam kemiskinan atau mengalami deprivasi akan terbentuk budayakemiskinan yang sering diturunkan dari generasi ke generasi. Budaya kemiskinan
digambarkan sebagai tidak adanya perencanaan hidup dan tidak dapat menunda
kesenangan, sehingga mereka tidak memiliki tabungan atau membuat anak mereka yang
sekolah tidak bisa menyelesaikan sekolahnya (drop out). Maka wajar apabila mereka miskin,
‘13
9
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
karena mereka sendirilah yang menciptakan kemiskinan untuk dirinya sendiri. Dengan
perkataan lain, orang miskin sendirilah yang telah menggali lubang kubur kemiskinan untuk
diri mereka sendiri.
Persoalan sekarang adalah bagaimana merubah kultur kemiskinan. Mengingat pemilik kultur
kemiskinan. Mengingat pemilik kultur kemiskinan adalah kaum miskin dengan status sosial
ekonomi rendah, maka kultur mereka harus diubah dengan kultur kelompok sosial ekonomi
menengah yang lebih bermartabat, agar mereka keluar dari kultur kemiskinan. Dalam
hubungan ini, program penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) tidak dapat dijadikan
program jangka panjang karena justru akan berakibat memantapkan kultur kemiskinan.
Program BLT hendaknyaa dipandang sebagai “obat sakit kepala” yang hanya sesaat
menghilangkan sindrom sakit (Muluk dalam Markum, 2009). Sebaliknya, upaya
menumbuhkan self-efficacy, self-reliance dan kemandiriaan melalui program empowerment,
harus dijadikan prioritas dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Intevensi Struktural
Intervensi struktural perlu dilakukan dengan asumsi bahwa kemiskinan bukan disebabkan
oleh karakteristik orang miskin sebagaimana dikemukakan terdahulu (malas, suka jalan
pintas, gaya hidup boros dan lain-lain), melainkan disebabkan oleh struktur masyarakat
yang menghasilkan kondisi bahwa yang kaya makin kaya dan yang miskin makin terpuruk.
Yang paling terpukul oleh kenaikan harga BBM adalah kelompok lapisan ekonomi rendah,
sementara para pemilik pompa bensin dan kelompok lapisan atas tertentu mengeruk
keuntungan atau setidak-tidaknya tidak merasakan dampaknya.
Dilihat dari segi sejarah, akar kemiskinan menurut Karl Marx, disebabkan oleh penguasaan
alat produksi oleh pemilik modal atas kapitalis. Para kapitalis ini memaksimalkan
keuntungan dengan mengekspolitasi buruh. Akibatnya, menurut Karl Marx, para kapitalis
secara ekonomi surplus besar, namun di lain pihak jurang ketidakadilan (inequality) semakin
lebar.
Yang penting adalah mencari intervensi struktural yang dapat dilakukan. Bila kita cermati
kondisi Indonesia, maka secara struktural ekonomi Indonesia memang makin berorientasi
kapitalistik. Hal ini terlihat dari berdirinya berbagai supermarket yang mematikan pasar
tradisional, perumahan dan apartemen mewah, serta sarana hiburan dengan harga tiket
yang sulit dijangkau dan lain-lain. Meskipun pemerintah telah membangun apartemen
bersubsidi, namun biayanya tetap tidak terjangkau oleh kelompok sosial ekonomi
‘13
10
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menengah. Dengan demikian, intervensi pengentasan kemiskinan harus secara struktural
(political will) yakni dengan memprioritaskan dibukanya akses orang miskin terhadap
pendidikan, kesehatan, listrik, perumahan, air bersih dan program welfare lainnya. Contoh
intervensi struktural yang patut dibanggakan karena tidak menimbulkan konflik antara
Pemda Solo dalam merelokasi PKL ke pasar yang dibangun oleh Pemda Solo.
Psikologi Sosial dan Kesehatan
Mendapatkan kebahagiaan adalah tujuan dari kehidupan. Selain itu bisa memperoleh
kesehatan dan mempertahankannya. Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatan
seseorang, hal tersebut banyak yang diluar kendali diri orang tersebut. Hal tersebut
biasanya disebut faktor genetik. Akan tetapi bukan berarti faktor lingkungan tidak juga perlu
mendapatkan perhatian (Baron & Branscomber, 2012).
Psikologi sosial sudah sejak lama menaruh perhatian pentingnya sisi sosial dari kehidupan
yang berpengaruh pada kesehatan seseorang. Pada materi ini diutarakan dua hal yaitu :
peran psikologi sosial pada permasalahan obesitas yang saat ini menyebar di seluruh dunia
dan peran faktor sosial dalam stres dan bagaiman koping yang efektif (Baron &
Branscomber, 2012).
Obesitas yang saat ini jumlah semakin meningkat dan juga menyebar ke seluruh dunia,
walaupun faktor genetik dimana ada kecenderungan pada beberapa orang menyimpan
kalori berlebih dalam tubuhnya, akan tetapi faktor sosial juga punya peran penting (Baron &
Branscomber, 2012).
Faktor-faktor sosial itu seperti :
-
Orang semakin sedikit untuk berjalan. Orang cenderung berbelanja di pusat
perbelanjaan dimana semua sudah ditemukan apa yang dibutuhkan. Orang
menggunakan sarana transportasi untuk berpindah tempat.
-
Makan bersama dalam keluarga semakin jarang. Orang cenderung akan menyantap
makanan ringan, karena tidak ada jadwal yang rutin untuk makan bersama.
-
Kecenderungan untuk makan dengan kalori yang berlebih.
-
Porsi makanan di restoran cenderung bertambah dibanding masa sebelumnya
(Baron & Branscomber, 2012).
‘13
11
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Saat ini banyak website di internet yang memberikan saran-saran untuk menurunkan berat
badan secara gratis. Perlu ada pendekatan dari pemerintah untuk mengatur dengan
mengontrol iklan makanan berkalori besar khususnya yang terkait pada anak-anak dan
mewajibkan informasi kalori pada makanan yang dijual pada umum (Baron & Branscomber,
2012).
Selain masalah obesitas, permasalahan stres juga dapat dikaitkan penanganannya dengan
pendekatan psikologi sosial. Seperti yang sudah diketahui pada umumnya, stres mempunyai
pengaruh negatif pada kesehatan, karena terkait dengan sistem imunitas dan juga
menyebabkan seseorang memiliki gaya hidup tidak sehat (Baron & Branscomber, 2012).
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kondisi stres tersebut yaitu menjaga
berat badan dan diet dengan makanan sehat. Cara lain yang perlu diperhatikan adalah
dukungan sosial dari teman atau keluarga. Meskipun tidak selalu efektif akan tetapi dapat
menurunkan stres dan menjaga kondisi kesehatan diri. Untuk itu tetapi perlu selalu menjalin
hubungan sosial karena bukan hanya terkait dengan masalah kesehatan akan tetapi juga
pada kebahagiaan (Baron & Branscomber, 2012).
Daftar Pustaka
Markum, E (2009). Pengentasan Kemiskinan dan Pendekatan Psikologi Sosial. Jurnal
Psikobuana Vol 1, No:1, 1—12
Sarwono, S.W (2001). Psikologi Sosial : Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta:
Balai Pustaka
Baron, R.A. & Branscomber, N.R. (2012). Social Psyhology (13ed). Pearson :
‘13
12
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download