BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelenjar Tiroid 2.1.1 Embriologi

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kelenjar Tiroid
2.1.1
Embriologi
Kelenjar tiroid berasal dari evaginasi epitelium farings. Evaginasi ini berjalan
turun dari dasar lidah ke daerah leher sampai akhirnya mencapai letak
anatomisnya. Sebagian jaringan tiroid ini kadang tertinggal di sepanjang lintas
tersebut sehingga membentuk duktus tiroglossus. Dalam keadaan normal kelenjar
tiroid pada orang dewasa beratnya antara 10-20 gram.
Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan
Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada
akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara
branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum,
yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan
akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus
tiroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah. (Syamsuhidayat R,
1998).
Gambar 2.1. Perkembangan Kelenjar Tiroid (Djokomoeljanto, 2001)
17
Universitas Sumatera Utara
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu
masih menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tiroid yang
letaknya abnormal, seperti persisten duktus tiroglossus, tiroid servikal, tiroid
lingual, sedangkan desensus yang terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal.
Branchialpouch ke empat ikut membentuk kelenjar tiroid, merupakan asal sel-sel
parafolikular 4 atau sel C, yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar tiroid janin
secara fungsionalmulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin
(Syamsuhidayat R, 1998).
2.1.2
Anatomi
Tiroid adalah suatu kelenjar endokrin yang sangat vaskular, merah kecoklatan
yang terdiri dari lobus dextra dan sinistra yang dihubungkan oleh istmus pada
garis tengah. Tiap lobus mencapai superior sejauh linea oblique kartilago tiroidea,
istmus terletak di atas cincin trakea kedua dan ketiga, sedangkan bagian terbawah
lobus biasanya terletak di atas cincin trakea keempat atau kelima. Kelenjar ini
dibungkus oleh selubung yang berasal dari lapisan pretrakealis fasia cervikalis
profunda. Beratnya sekitar 25 gram biasanya membesar secara fisiologis pada
masa pubertas, menstruasi dan kehamilan (Suen C. Kenneth, 2002; Gharib H,
1993).
Kelenjar tiroid terletak dibagian bawah leher, antara fasia koli media dan
fasia pre vertebralis. Di dalam ruang yang sama terletak trakea, esofagus,
pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakhea sambil
melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar
paratiroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid
(Syamsuhidayat R, 1998).
18
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Anatomi Kelenjar Tiroid (Djokomoeljanto, 2001)
Tiroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup
cincin trakea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia
pretrakea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan
terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk
menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid
atau tidak (Djokomoeljanto, 2001).
Gambar 2.3. Vaskularisasi Kelenjar Tiroid (Djokomoeljanto, 2001)
19
Universitas Sumatera Utara
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari Arteri {a.} Tiroidea Superior
(cabang dari a.karotis eksterna) dan a. tiroidea inferior (cabang a. subklavia).
Setiap folikel limfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik,
sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikular (Djokomoeljanto,
2001). Nodus limfatikus {nl} tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke
nodus limfatikus pretrakealis dan nodus limfatikus paratrakealis, sebagian lagi
bermuara ke nodus limfatikus. brakiosefalika dan ada yang langsung ke duktus
toraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan
(Djokomoeljanto, 2001).
2.1.3
Histologi
Unit struktural daripada tiroid adalah folikel, yang tersusun rapat, berupa ruangan
bentuk bulat yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk gepeng, kubus sampai
kolumnar. Konfigurasi dan besarnya sel-sel folikel tiroid ini dipengaruhi oleh
aktivitas fungsional daripada kelenjar tiroid itu sendiri. Bila kelenjar dalam
keadaan inaktif, sel-sel folikel menjadi gepeng dan akan menjadi kubus atau
kolumnar bila kelenjar dalam keadaan aktif. Pada keadaan hipertiroidism, sel-sel
folikel menjadi kolumnar dan sitoplasmanya terdiri dari vakuol-vakuol yang
mengandung koloid (Barrett, E.J, 2003).
Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen
eosinofilik. Variasi densiti dan warna daripada koloid ini juga memberikan
gambaran fungsional yang signifikan; koloid eosinofilik yang tipis berhubungan
dengan aktivitas fungsional, sedangkan koloid eosinofilik yang tebal dan banyak
dijumpai pada folikel dalam keadaan inaktif dan beberapa kasus keganasan. Pada
keadaan yang belum jelas diketahui penyebabnya, sel-sel folikel ini akan berubah
menjadi sel-sel yang besar dengan sitoplasma banyak dan eosinofilik, kadangkadang dengan inti hiperkromatik, yang dikenal sebagai oncocytes (bulky cells)
atau Hürthle cells (Magner JA, 1990).
20
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Histologi Kelenjar Tiroid Normal (Barrett, E.J, 2003)
2.1.4
Fisiologi
Kelenjar tiroid berperan mempertahankan derajat metabolisme dalam jaringan
pada titik optimal. Hormon tiroid merangsang penggunaan O2 pada kebanyakan
sel tubuh, membantu mengatur metabolisme lemak dan hidrat arang, dan sangat
diperlukan untuk pertumbuhan serta maturasi normal. Apabila tidak terdapat
kelenjar tiroid, orang tidak akan tahan dingin, akan timbul kelambanan mental dan
fisik, dan pada anak-anak terjadi retardasi mental dan dwarfisme. Sebaliknya,
sekresi tiroid yang berlebihan meninbulkan penyusutan tubuh, gugup, takikardi,
tremor, dan terjadi produksi panas yang berlebihan.
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang
kemudian berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3) (Barrett, E.J,
2003). Iodium nonorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku
hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga
mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam jaringan tiroid. T3 dan T4 yang
dihasilkan ini kemudian akan disimpan dalam bentuk koloid di dalam tiroid.
Sebagian besar T4 kemudi
an akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan sisanya
tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi,
hormon tiroid akan terikat oleh protein yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid
binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat albumin (thyroxine binding
prealbumine, TBPA) (Magner JA, 1990).
Hormon stimulator tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) memegang
peranan terpenting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan
oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal sebagai negative
21
Universitas Sumatera Utara
feedback sangat penting dalam proses pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi.
Dengan demikian, sekresi tiroid dapat mengadakan penyesuaian terhadap
perubahan-perubahan di dalam maupun di luar tubuh. Juga dijumpai adanya sel
parafolikuler yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur
metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang
(Schteingert, 1995).
Pengukuran TSH menjadi hasil test yang jelas dari fungsi tiroid pada
banyak keadaan. Nilai TSH berkisar antara rentang luar mayor dari kasus primer
penyakit tiroid. Jika TSH tidak normal, lihat nilai dari T4 bebas/ free T4 (fT4).
Ketika ada faktor resiko, lihat free T3 (fT3) ketika fT4 normal dan diduga ada
tirotoksikosis (Mary, 2011).
Gambar 2.5. Diagram Pengaturan Sekresi Tiroid (Barrett, E.J, 2003).
1.
Free Thyroxine (fT4) and Free Triiodothyronine (fT3)
Pengukuran fT4 dan fT3 mengganti pengukuran T3 dan T4. hasil laboratorium yang dilakukan
untuk mensubstitusi hormon free ketika T3 dan T4 telah dilakukan. Pengukuran fT3 pada pasien
dengan gejala hipotiroid kadang-kadang dapat diindikasikan. Pemeriksaan ini dilakukan pada
keadaan bila secara klinis diduga hipertiroid dengan kadar TSH rendah, tetapi fT4 tidak termasuk.
Pengukuran fT3 bukan indikasi pada hipotiroid (Mary, 2011).
22
Universitas Sumatera Utara
Banyak frekuensi pengukuran dari fungsi tiroid yang mungkin digunakan ketika ada
perbedaan antara hasil dari tes fungsi tiroid inisial dan penemuan klinis. Pada banyak kasus,
mengulangi test yang sama kurang berguna dibandingkan dengan melakukan test yang berbeda.
(contoh. jika hasil TSH tidak menunjukkan hubungan dengan status klinis pasien, maka lebih baik
diikuti
dengan
pengukuran
fT4).
Konsultasi
dengan
ahli
laboratorium
dapat
lebih
dipertanggungjawabkan ketika hasil test yang dilakukan tidak menunjukkan hubungan dengan
status klinis yang ditemukan (Mary, 2011).
2. Gangguan Fungsi Tiroid
Faktor risiko gangguan tiroid adalah:
-
Riwayat penyakit tiroid
-
Riwayat keluarga dengan penyakit tiroid
-
Diagnosa penyakit autoimmune
-
Riwayat radiasi leher
-
Terapi obat seperti lithium dan amiodaron
-
Perempuan di atas usia 50 tahun
-
Pasien lanjut usia
-
Perempuan post pasrtum 6 minggu sampai 6 bulan
2.2 Gangguan fungsi tiorid
2.2.1 Hipotiroid
1. Definisi Hipotiroid
Hipotiroid adalah suatu penyakit akibat penurunan fungsi hormon tiroid
yang dikikuti tanda dan gejala yang mempengaruhi sistem metabolisme
tubuh. Faktor penyebabnya akibat penurunan fungsi kelanjar tiroid, yang
dapat terjadi kongenital atau seiring perkembangan usia. Pada kondisi
hipotiroid ini dilihat dari adanya penurunan konsentrasi hormon tiroid
dalam darah disebabkan peningkatan kadar TSH (Tyroid Stimulating
Hormon).
Hipotiroidisme adalah suatu sindroma klinis akibat dari defisiensi
hormontiroid,
metabolik.
yang
kemudian
Hipotiroidisme
mengakibatkan
pada
bayi
dan
perlambatan
anak-anak
proses
berakibat
23
Universitas Sumatera Utara
pertambahan pertumbuhan dan perkembangan jelas dengan akibat yang
menetap yang parah seperti retardasi mental. Hipotiroidisme dengan
awitan pada usia dewasa menyebabkan perlambatan umum organisme
dengan deposisi glikoaminoglikan pada rongga intraselular, terutama pada
otot dan kulit,yang menimbulkan gambaran klinis miksedema. Gejala
hipotiroidisme pada orang dewasa kebanyakan reversibel dengan terapi
(Anwar R, 2005).
2. Insiden dan Etiologi Hipotiroid
Hipotiroid merupakan kelainan endokrin kedua yang paling banyak
dijumpai di Amerika Serikat setelah diabetes mellitus (Hueston, 2001).
Hipotiroid lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dan
insidensinya meningkat dengan pertambahan umur. Hipotiroid primer
lebih sering di jumpai dibanding hipotiroid sekunder dengan perbandingan
1000 : 1 (Roberts & Ladenson, 2004 ).
Pada suatu survei komunitas di Inggris yang dikenal sebagai the
Whickham study, tercatat peningkatan kadar hormon tirotropin (TSH)
pada 7,5 % wanita dan 2,8 % pria (Tunbridge e t a l ,1977). Pada survey
NHANES III ( National Health and Nutritional Examination Survey III) di
Amerika Serikat, terdapat peningkatan kadar tirotropin pada 4,6%
responden, 0,3% diantaranya menderita hipotiroid klinis. Pada mereka
yang berumur di atas 65 tahun hipotiroid klinis dijumpai pada 1,7 %
populasi, sedangkan hipotiroid subklinis dijumpai pada 13,7 % populasi
(Hollowell et al , 2002). Pada penelitian terhadap wanita berusia 60tahun
keatas di Birmingham, hipotiroid klinis ditemukan pada 2,0% kasus
sedangkan hipotiroid subklinis ditemukan pada 9,6% kasus. (Parle et al ,
1991).
3. Klasifikasi Hipotiroid
Hipotiroid dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu kejadian (kongenital
atau akuisital), disfungsi organ yang terjadi (primer atau sekunder/
sentral), jangka waktu (transien atau permanen) atau gejala yang terjadi
(bergejala/ klinis atau tanpa gejala/ subklinis). Hipotiroid kongenital biasa
24
Universitas Sumatera Utara
dijumpai di daerah dengan defisiensi asupan yodium endemis. Pada daerah
dengan asupan yodium yang mencukupi, hipotiroid kongenital terjadi pada
1 dari 4000 kelahiran hidup, dan lebih banyak dijumpai pada bayi
perempuan (Roberts & Ladenson, 2004).
Pada anak-anak ini hipotiroid kongenital disebabkan oleh agenesis
atau disgenesis kelenjar tiroid atau gangguan sintesis hormon tiroid.
Disgenesis kelenjar tiroid berhubungan dengan mutasi pada gen PAX8 dan
thyroid transcription factor 1 dan 2 (Gillam & Kopp, 2001).
Hipotiroid akuisital disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab
yang paling sering dijumpai adalah tiroiditis autoimun yang sering disebut
tiroiditas Hashimoto. Peran auto imun pada penyakit ini didukung adanya
gambaran infiltrasi limfosit pada kelenjar tiroid dan adanya antibodi tiroid
dalam sirkulasi darah. Operasi atau radiasi (mis: radioterapi eksternal pada
penderita head and neck cancer, terapi yodium radioaktif pada
tirotoksikosis, paparan yodium radioaktif yang tidak disengaja, infiltrasi
besi di kelanjar tiroid pada hemokromatosis. Beberapa bahan kimia
maupun obat (misal: amiodarone, lithium, interferon) juga dapat
menyebabkan hipotiroid dengan cara mempengaruhi produksi hormon
tiroid atau mempengaruhi autoimunitas kelenjar tiroid (Roberts &
Ladenson, 2004).
Berdasarkan disfungsi organ yang terkena, hipotiroid dibagi dua
yaitu hipotiroid primer dan hipotiroid sentral.. Hipotiroid primer
berhubungan dengan defek pada kelenjar tiroid itu sendiri yang berakibat
penurunan sintesis dan sekresi hormon tiroid, sedangkanhipotiroid sentral
berhubungan dengan penyakit penyakit yang mempengaruhi produksi
hormon thyrotropin releasing hormone (TRH) oleh hipothalamus atau
produksi tirotropin(TSH) oleh hipofisis (Roberts & Ladenson, 2004)
Hipotiroid berdasarkan kadar TSH dibagi beberapa kelompok yaitu:
1. TSH < 5,5 µIU/L  normal
2. 5,5 µIU/L ≤ TSH < 7 µIU/L Hipotiroid ringan
3. 7 µIU/L ≤ TSH < 15 µIU/L  Hipotiroid sedang
4. TSH ≥ 15 µIU/L
 Hipotiroid berat
Hipotiroid
biokimia
25
Universitas Sumatera Utara
Selain itu pasien dinyakan hipotiroid klinis jika dijumpai
peninggian kadar TSH
seperti
(TSH
≥ 5,5 µIU/L) disertai adanya simptom
fatique,peningkatan BB, ggn.siklus haid,konstipasi,intoleransi
dingin,rambut dan kuku rapuh (Wiseman, 2011).
4. Manifestasi Klinis Hipotiroid
Gejala secara umum yaitu kelelahan dan kelesuan, sering mengantuk, jadi
pelupa, kesulitan belajar, kulit kering dan gatal, rambut dan kuku yang
rapuh, wajah bengkak, konstipasi, nyeri otot, penambahan berat badan,
peningkatan sensitivitas terhadap banyak pengobatan, menstruasi yang
banyak, peningkatan frekuensi keguguran pada wanita yang hamil
(Wiseman, 2011).
5. Penegakan Diagnosis Hipotiroid
Pada tiroiditis Hashimoto, pemeriksaan goiter yang terbentuk dapat
diidentifikasi melalui pemeriksaan fisik, dan keadaan hipotiroid diketahui
dengan identifikasi gejala dan tanda fisik yang khas, serta melalui hasil
pemeriksaan laboratorium. Peningkatan antibodi antitiroid merupakan
bukti laboratorik paling spesifik pada tiroiditis Hashimoto, namun tidak
semuanya dijumpai pada kasus. Pemeriksaan hormon tiroid biasanya
diperiksa kadar TSH. Dikatakan hipotiroid apabila terjadi peningkatan
kadar TSH.
Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan secara histopatologis
melalui biopsi. Kelainan histopatologisnya dapat bermacam – macam
yaitu antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi folikel tiroid, dan
fibrosis. Aspirasi jarum halus biasanya tidak dibutuhkan pada penderita
tiroiditis ini, namun dapat dijadikan langkah terbaik untuk diagnosis pada
kasus yang sulit dan merupakan prosedur yang dibutuhkan jika nodul
tiroid terbentuk .
Fungsi tiroid dinilai secara prospektif dengan mengukur kadar TSH
sesuai algoritme yang telah ditetapkan. Waktu pengukuran kadar TSH
untuk mendeteksi dan memberikan terapi hipotiroid post operasi adalah 1.
preoperasi 2. fase awal post operasi ( 6 minggu) 3. fase lanjut post operasi
(12 bln) (Wiseman, 2011).
26
Universitas Sumatera Utara
Hipotiroid merupakan akibat yang sering terjadi setelah lobektomi
yang sangat mempengaruhi hasil akhir operasi dan kualitas hidup pasien.
Hampir 100% mengalami peningkatan kadar TSH. Tetapi peningkatan
kadar TSH tidak selalu menjadi patokan untuk memulai terapi hormon.
Semakin awal
dideteksi dapat mencegah terjadinya keluhan dan
komplikasinya (Wiseman, 2011).
6 minggu post operasi
Cek TSH
TSH < 5,5
TSH 5,6 – 14,9
Tanpa gejala
TSH > 15
TSH > 5,5
Dengan Gejala
6 bulan post operasi
Cek TSH
TSH < 5,5
Cek TSH 12 bulan post operasi
dan setiap tahun kemudian
atau sesuai kebutuhan
berdasarkan gejala
TSH 5,6 – 14,9
Tanpa gejala
TSH > 7
TSH > 5,5
Dengan Gejala
Cek TSH setiap 6 bulan.
Jika TSH normal tetap
kontrol sesuai
kebutuhan
Mulai Treatment/
Pengobatan
Gambar 2.6. Algoritma Untuk Mendeteksi Dan Terapi Hormon Pada Hipotiroid Post
Operasi (Wiseman, 2011).
6. Patofisiologi Hipotiroid
Pada Penyakit Tiroiditis Auto Imun
Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui,
berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat
berperan dalam patogenesis PTAI. Selanjutnya diketahui pula pada
27
Universitas Sumatera Utara
Penyakit Tiroiditis Auto Imun terjadi kerusakan seluler dan perubahan
fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler yang bekerja
secara bersamaan (Tomer Y, Davies TF, 2003 dan Prummel MF et al,
2004).
Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized
T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel
tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan
fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat
stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang
bertindak sebagai autoantigen (Tomer Y, Davies TF, 2003 dan Prummel
MF et al, 2004).
HIPOTIROID
Gambar 2.7. Skema Respon Autoimmum Antigen Dengan Infiltrasi sel limfosit
(Chistiakov DA, 2005)
Gampathogenic mechanism of Hashimoto's thyroiditis
28
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme patogen yang mungkin dari Tiroiditis Hashimoto. Faktor
genetik predisposed individu dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (contoh:
diet iodine, infeksi, kehamilan, terapi sitokin) yang termasuk respon autoimun
melawan antigen spesifik tiroid dengan infiltrasi sel imun. Proses autoimun
menghasilkan T helper tipe 1 (Th1) respon imun mediate dan induksi apoptosis
dari sel tiroid yang mengakibatkan hipotiroid
2.2.2 Hipertiroid
1. Definisi Hipertiroid
Hipertiroid adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan jumlah produksi
jumlah hormon tiroid dalam tubuh.dengan katalain kelenjar tiroid bekerja lebih
aktif,dinamakan dengan thyrotoksikosis,dimana berarti terjadi peningkatan level
hormon tiroid yang ekstrim dalam darah (Abdulraouf, 2011).
2. Patofisiologi Hipertiroid
Hormon tiroid mempunyai banyak peran yang sigmifikan di dalam proses di
dalam tubuh, proses-proses ini yang kita sebut metabolisme. Jika terdapat banyak
hormon tiroid, setiap fungsi dari tubuh akan diatur untuk bekerja lebih cepat.
Karena selama hipertiroid terjadi peningkatan metabolisme, maka setiap pasien
akan mengalami kehilangan banyak energi (Abdulraouf, 2011).
3. Manifestasi Klinis Hipertiroid
Manifestasi klinis yang sering tampak adalah sering gugup, iritabilitas,
peningkatan respirasi, bedebar-debar, tremor, ansietas, susah tidur (insomnia),
berkeringat banyak, rambut rontok, dan kelemahan pada otot, khususnya kerja
dari otot lengan dan kaki, frekwesi buang air besar terganggu, kehilangan berat
badan yang cepat, pada wanita periode menstruasi lebih cepat dan aliran darah
lebih kencang. Hipertiroid biasanya mulainya lambat, tetapi pada beberapa pasien
muda perubahan ini terjadi sangat cepat. awalnya gejela dirasakan yang diartikan
salah,contoh persaan gugup yang dianggap karena stres (Abdulraouf, 2011).
29
Universitas Sumatera Utara
4. Penyebab Hipertiroid
a. Penyakit Grave’s
Hiperthiroid terjadi pada penyakit Grave’s, yang umumnya yang ditandai
biasanya mata akan kelihatan lebih besar karena kelopak mata ataas akan
membesar,kadang-kadang satu atau dua mata akan tampak melotot.Beberapa
pasien tampak terjadi pembesaran kelenjar thiroid (goiter) pada leher.
Penyebab umum yang paling banyak (>70%) adalah produksi
berlebihan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid.kondisi ini juga disebut penyakit
Grave’s. Grave’s disebabkan oleh antibodi dalam darah yang ada pada tiroid
menyebabkan banyak sekresi hormon tiroid ,dipengaruhi oleh riwayat
keluarga dan sering terjadi pada wanita (Abdulraouf, 2011).
b. Tiroiditis
Tiroiditis adalah peradangan pada kelenjar tiroid. Penyebab lain dari hipertiroid
adalah ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul atau benjolan pada tiroid
yang tumbuh dan membesar yang menggangu pasien. Sehingga total output
hormon tiroid dalam darah meningkat dibanding normal, kondisi ini di ketahui
sebagai toxic nodular atau multi nodular goiter juga disebut sebagai tiroiditis,
kondisi ini disebabkan oleh masalah sistem hormon atau infeksi virus yang
menyababkan kelelnjar menghasilkan hormon tiroid (Abdulraouf, 2011).
Tabel 2.1. Penemuan Klinis Dan Laboratorium Berhubungan Dengan Penyebab
Yang Umum Dari Hipertiroid (Abdulraouf, 2011).
30
Universitas Sumatera Utara
5. Klasifikasi Hipertiroid
Hipertiroid memiliki klasifikasi klinis dan subklinis. Hipertiroid klinis bila Kadar
TSH <0.3 mIU/L dan disertai dengan beberapa manifestasi klinis (Abdulraouf,
2011). Sedangkan hipertiroid subklinis dikarakteristikkan dengan kadar TSH
serum rendah yaitu <0.1 mIU/L dengan level normal dari free T3 dan free T4.
Hipertiroid subklinis terjadi pada 2 % dari jumlah populasi di Amerika.
Penyebabnya sama dengan hipertiroid klinis, hanya tambahannya, dapat
disebabkan karena pengobatan hormon tiroid yang berlebihan pada kejadian
hipotiroid (Abdulraouf, 2011).
The
American
Association
of
Clinical
Endocrinologists
merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dan periode klinis dari pasien
dengan subklinis hipertiroid (TSH = 0.1 – 0.5 mIU/ml), termasuk memeriksa
ulang kadar TSH, free T3 dan free T4 dengan interval tiap 2 sampai dengan 4
bulan. Pengobatan hipertiroid diindikasikan bila kadar TSH serum < 0.1 mIU/L
(Abdulraouf, 2011).
Tabel 2.2. Pengobatan Hipertiroid (Abdulraouf, 2011).
31
Universitas Sumatera Utara
2.2.3
Eutiroid
Eutiroid adalah keadaan normal dari kadar TSH serum dengan nilai 0.35.5 mIU/L (Abdulraouf, 2011).
32
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8. Algoritma Untuk Tests Fungsi Tiroid Untuk Mendiagnosa Dan
Monitoring Simtomatik Pasien (Abdulraouf, 2011).
2.2.4
Lesi-lesi pada Kelenjar Tiroid
Prevalensi nodul tiroid meningkat secara linier dengan bertambahnya usia, ekspos
dengan radiasi dan defisiensi iodium. Secara keseluruhan nodul tiroid lebih sering
terdapat pada wanita dibanding pria. Studi Framingham pada kelompok usia 3059 tahun, mendapatkan angka prevalensi nodul tiroid sebesar 6,4% pada wanita
33
Universitas Sumatera Utara
dan 1,5% pada pria. Pada studi rumah sakit, penelitian menunjukan bahwa nodul
tiroid menempati lebih dari 50% dari seluruh kasus tiroid (Anwar R, 2005)
Maka
saat
ini
American
Thyroid
Association
Guidelines
merekomendasikan tindakan total/near total tiroid lobektomi yaitu merupakan
teknik operasi sederahana untuk penanganan pasien dengan nodul tiroid. Secara
umum penanganan nodul tiroid meliputi: observasi, operasi, radiasi eksterna,
radiasi interna dan hormonal (supresi) terapi.(Wiseman 2011)
Sebelumnya pasien-pasien pasca dilakukannya lobektomi mendapat terapi
pemberian hormon tiroid karena dijumpai keadaan hipotiroid secara biokimia
dimana terjadi peninggian kadar Tiroid Stimulating Hormon (TSH). Hipotiroid
merupakan morbiditas yang paling sering dilaporkan paska lobektomi yaitu 1045% kasus. Hipotiroid merupakan akibat yang sering terjadi setelah lobektomi
yang sangat mempengaruhi hasil operasi dan kualitas hidup pasien (Wiseman,
2011).
Pembesaran kelenjar tiroid dapat merupakan suatu kelainan radang,
hiperplasia atau neoplasma, dimana secara klinis kadang sulit dibedakan.
Berdasarkan patologinya, pembesaran tiroid umumnya disebut struma. Struma
adalah kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi seperti
tirotoksikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit
tiroid noduler. Menurut American Society for Study of Goiter membagi struma
menjadi 4 kelas yakni: Struma difusa non toksik, struma nodusa non toksik,
struma difusa toksik, struma nodusa toksik. Istilah toksik dan non toksik dipakai
karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti
hipertiroid dan hipotiroid, sedangkan istilah nodusa dan difusa lebih kepada
perubahan bentuk anatomi.
34
Universitas Sumatera Utara
2.3 Klasifikasi Struma
2.3.1
Struma endemik (Simple goiter) – Eutiroid.
Struma hiperplastik difusa (area endemik dan struma pubertas). Stadium
akhir dari:
-
Folikel-folikel terisi
-
Struma koloid dengan koloid karena fluktuasi persisten kadar TSH nodul
-
Struma nodular multiple.
2.3.2 Struma toksika
a. Primer – Struma toksika difusa – (Penyakit Grave).
b. Sekunder (nodular)
- Struma nodular toksika
- Struma nodular non toksika.
2.3.3 Struma neoplastik.
a. Jinak.
b. Ganas.
2.3.4 Tiroiditis
a. Tiroiditis suburatif akut.
b. Tiroiditis sub akut.
c. Tiroiditis hasimoto.
d. Tiroiditis Riedel
(Sachdova, 1996).
2.4 Infiltrasi Limfosit
Infiltrasi limfosit adalah salah satu mekanisme pertahanan sistem imun pada saat
inflamasi atau peradangan dimana terjadinya kerusakan seluler saat limfosit T
yang tersensitisasi (sensitized) dan/atau autoantibodi berikatan dengan membran
sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi
karena kerja autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di
membran sel ( Mary JW, 2003).
35
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9. Tiroiditis Limpocitik. Dua Kelompok Dari Sel Folikuler Jinak
Tampak Pada Latar Belakang Limposit ( Mary JW, 2003).
Berdasarkan jurnal Onkologi tahun 2011, Kriteria skor histologi infiltrasi limfosit
tiroid dibagi menjadi 4 kelompok yaitu:
0
: Tidak ada infiltrasi limfosit
1
: Insidental, efeknya sedikit mempengaruhi nodul .<1 per lapangan
pandang kecil (10-mm field diameter)
2
: Signifikan meluas tetapi pertengahan dalam ukuran [1 per lapangan
pandang besar (10-mm field diameter)
3
: Hashimoto tiroiditis, nodul signifikan meluas dan paling banyak
dihubungkan dengan perubahan sel Hurible dan fibrosis jaringan
(Wiseman, 2011).
Gambar 2.10. Skor histologi infiltrasi limfosit tiroid (Wiseman, 2011)
36
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3. Indeks Patologi Tiroid AITD (Karras et al, 2005)
Indeks
Perubahan Histopatologi
Patologi
0
Tidak ada infiltrasi, kelenjar yang normal menunjukkan folikel utuh
dengan lapisan sel epitel
1
Terjadi infiltrasi sel mononuklear dengan tingkat rendah, tidak jelas, sel
mononuklear didistribusikan perivaskular
2
Infiltrasi sel mononuklear terlihat dengan jelas, mempengaruhi 10
sampai 40% kerusakan pada jaringan
3
Infiltrasi melibatkan 40 sampai 80% jaringan
4
Infiltrasi melibatkan lebih dari 80% jaringan
Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui,
berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan
dalam patogenesis Penyakit Tiroiditis AutoImun yang biasa disebut Hashimoto
tiroiditis. Selanjutnya diketahui pula pada Hashimoto tiroiditis terjadi kerusakan
seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler
yang bekerja secara bersamaan.
Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized Tlymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid,
mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi
karena interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking
dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen.
Penyakit ini ditandai dengan infiltrasi limfosit dan autoreaktif terhadap tiroid
sebagai mekanisme respon imun (Quarantino, 2004).
Infiltrasi sel limfosit pada penyakit ini memediasi kerusakan sel-sel pada
tiroid sehingga pada gambaran histopatologi tiroid yang mengalami AITD
menunjukkan adanya infiltrasi sel mononuklear, perubahan struktur dan bentuk
jaringan tiroid (Chistiakov dan Turakulov, 2003; Quarantino, 2004).
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan
perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler.Kerusakan
seluler terjadi saat limfosit T yang tersensitisasi (sensitized) dan/atau autoantibodi
37
Universitas Sumatera Utara
berikatan dengan membran sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi.
Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja autoantibodi yang bersifat
stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga autoantigen
spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin,
dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai ”thyroid
microsomal
antigen”,
merupakan
enzim
utama
yang
berperan
dalam
hormogenesis tiroid (Rapoport B, McLachlan SM, 2001).
Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells
merupakan penyebab
utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak
menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut
berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai petanda (marker) penyakit d
an tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroid. Di lain pihak beberapa
studi menduga antibodi anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik terhadap tiroid;
antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang menyertai
hipotiroid pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik (Rapoport B, McLachlan
SM, 2001).
Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup
iodium, penentuan antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap penentuan kadar
Tg, karena bila ada antibodi anti-Tg akan menganggu metode penentuan kadar Tg.
Sedangkan di daerah kurang iodium, penentuan kadar antibodi anti-Tg berguna
untuk mendeteksi PTAI pada penderita struma nodusa dan pemantauan hasil
terapi iodida pada struma endemik (Rapoport B, McLachlan SM, 2001).
38
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.11. Patofisiologi Infiltrasi Limfosit Pada Kelenjar Tiroid (Chistiakov
DA, 2005)
Skema kejadian autoimun pada tiroiditis hashimoto. Pada tahap awal
inisiasi,sel menginfiltrasi kelenjar tiroid .Infiltrasi dapat terjadi karena ada faktorfaktor lingkungan yang mempengaruhi ( Dietiodine, toksin atau infeksi virus, dan
lain-lain) yang menyebabkan pengeluaran tirosit dan melepaskan protein spesifik
dari tiroid. Protein ini berguna sebagai sumber dari peptida antigen diri yang
berada pada permukaan sel dari APC setelah proses. Meningkatnya sehubungan
dengan autoantigen, APC akan masuk ke kelenjar limfa kering. Fase central
dimulai dalam kelenjar limfa kering dimana terjadi interaksi anatar APC,
autoreaktif(AR), dan sel T (yang menjadi daya tahan dari hasil disregulasi atau
breakage dari toleransi imun dan sel B yang merupakan hasil dari produksi
autoantibodi tiroid. Pada tahap selanjutnya, antigen memproduksi limfosit B, sel T
sitotoksik, dan makrofag menginfiltrasi dan berkumpul di dalam tiroid melalui
39
Universitas Sumatera Utara
ekspansi klon limfosit dan propagasi dari jaringan limfa yang berada pada
kelenjar tiroid. Proses ini biasanya disebut dengan mediasi dari T helper tipe 1
(TH1) sel yang mengatur sekresi sitokin (interleukin-12, interferon dan daktor
nekrotik tumor). Pada tahap akhir, generasi autoreaktif dari sel T, sel B dan
antibodi menyebabkan deplesi massive dari tirosit melalui antibodi dependen,
sitokin mediate dan mekanisme apoptosis dari sitotoksis yang menjadi hipotiroid
dan penyakit hashimoto tiroiditis (Chiatiakov DA, 2005).
2.5.
Hubungan antara Infiltrasi Limfosit dengan kejadian Hipotiroid pada
Pasien Pasca Istmulobektomi
Pada tahun 1956, Roitt dkk untuk pertama kalinya menemukan antibodi terhadap
tirogobulin, yang bertindak sebagai autoantigen. Jika antibodi meningkat maka
TSH akan meningkat sehingga terjadi kerusakan dan penurunan fungsi tiroid yang
luas yang dapat menyebabkan hipotiroidisme. Maka diperlukan terapi hormon
tiroid yang bertujuan mengatasi defisiensi tiroid serta memperkecil ukuran goiter.
Sebelumnya pasien-pasien paska dilakukannya lobektomi mendapat
terapi pemberian hormon tiroid karena dijumpai keadaan hipotiroid secara
biokimia dimana terjadi peninggian kadar Thyroid Stimulating Hormon (TSH)
(Wiseman, 2011). Hipotiroid merupakan morbiditas yang paling sering dilaporkan
paska lobektomi yaitu 10-45% kasus. Hipotiroid merupakan akibat yang sering
terjadi setelah lobektomi yang sangat mempengaruhi hasil operasi dan kualitas
hidup pasien (Wiseman, 2011).
Adanya
inflamasi
limfosit
menurunkan
fungsi
tiroid
sehingga
memungkinkan timbulnya kejadian hipotiroid paska lobektomi (Wiseman, 2011).
Pasien dengan dijumpainya infiltrasi limfosit pada pemeriksaan histologi jaringan
tiroid mengalami peningkatan resiko untuk timbulnya kejadian hipotiroid paska
operasi lobektomi (Wiseman, 2011). Proses inflamasi pada kelenjar tiroid
mengakibatkan ditemukannya infiltrasi limfosit yang dapat menurunkan daya
biosintesis sehingga mengakibatkan hipotiroid jangka panjang contoh Hashimoto
disease (Wiseman, 2011).
40
Universitas Sumatera Utara
Berglund, dkk (2011) menyatakan bahwa 33 % pasien dengan infiltrasi
limfosit mengalami hipotiroid paska operasi dibandingkan dengan hanya 4%
pasien tanpa atau minimal infiltrasi limfosit yang menjadi hipotiroid paska
operasi. Koh, dkk (2011) juga menemukan bahwa peningkatan skor infiltrasi
limfosit mengakibatkan peningktan frekuensi hipotiroid paska operasi.
Seiberling, dkk (2011) menemukan bahwa pemeriksaan histologis
kelenjar tiroid pasien hipotiroid secara konsisten menunjukkan adanya proses
inflamasi dibandingkan dengan hanya 6,8% pada pasien dengan eutiroid.
Su, dkk (2011) meneliti bahwa proporsi terbesar pasien hipotiroid paska
lobektomi mengalami tiroiditis dibandingkan dengan kelompok yang eutiroid
(46,8% vs 11,8%).
41
Universitas Sumatera Utara
Download