9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Penyebaran dan Pengembangan Ternak Penataan ruang untuk suatu penggunaan tertentu tidak hanya diperlukan bagi pemanfaatan oleh manusia saja, tetapi usaha-usaha yang berkaitan dengan manusia yang menggunakan potensi ruang juga perlu ditata, agar terjadi keseimbangan dan keharmonisan. Apalagi kegiatan-kegiatan yang juga melibatkan makhluk hidup yang jelas sangat tergantung dengan keberadaan ruang sebagai lingkungan hidupnya, seperti halnya dengan kegiatan peternakan, yang cenderung untuk disebarkan dan dikembangkan. Peternakan merupakan penghasil utama protein hewani yang sangat dibutuhkan masyarakat, yang dalam pembudidayaannya membutuhkan tanah/lahan dan air. Penatagunaan tanah dan air untuk berbagai kegiatan pembangunan, termasuk untuk kegiatan peternakan, sangat diperlukan agar dapat dicapai optimasi dalam pemanfaatan tanah/lahan dan air, serta sekaligus untuk mengurangi konflik dalam penggunaan tanah/lahan dan air untuk berbagai kegiatan pembangunan (Sitorus et al. 1997). Pelaksanaan penyebaran dan pengembangan ternak di suatu wilayah harus melalui analisis terhadap potensi yang dimiliki wilayah tersebut berkenaan dengan komoditi yang akan disebarkan dan dikembangkan. Analisis potensi wilayah penyebaran dan pengembangan peternakan adalah kegiatan karakterisasi komponen-komponen peternakan dalam proses strategi pengembangan peternakan bagi pembangunan. Komponen-komponen tersebut meliputi sumberdaya manusia, lahan, tanaman sebagai sumber pakan dan ternak yang harus ditingkatkan peranannya. Adapun yang dimaksud dengan penyebaran ternak adalah usaha pemerintah dalam meningkatkan peran ternak melalui peningkatan sebaran pemilikan maupun intensitas pemilikan ternak dengan berbagai bentuk transaksi yang sifatnya membantu petani. Pengembangan peternakan adalah usaha-usaha pemerintah dalam membantu petani, berupa pembinaan pengembangan komponen-komponen peternakan, baik ternak yang 10 disebarkan oleh pemerintah untuk rakyat maupun ternak yang telah dimiliki oleh rakyat (Dirjen Peternakan dan Balitnak 1995). Dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 417/Kpts/OT.210/7/2001 disebutkan bahwa lokasi penyebaran dan pengembangan ternak adalah suatu tempat di wilayah penyebaran dan pengembangan ternak, terdiri dari satu desa atau lebih dalam satu kecamatan yang diprioritaskan untuk penyebaran dan pengembangan ternak. Kawasan penyebaran dan pengembangan peternakan adalah konsentrasi penyebaran dan pengembangan peternakan yang terdiri dari beberapa lokasi dalam satu kabupaten. Wilayah penyebaran dan pengembangan ternak adalah suatu kawasan yang potensial untuk penyebaran dan pengembangan ternak yang terdiri dari satu kabupaten atau lebih dalam satu propinsi (Anonim 2001). Penyebaran dan pengembangan ternak di daerah bertujuan untuk membentuk kawasan peternakan, keseimbangan pembangunan antar wilayah, optimalisasi sumberdaya untuk meningkatkan pendapatan peternak, populasi dan produksi, dalam rangka pemberdayaan masyarakat peternak. Ruang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan yang berada di atasnya, termasuk ternak. Pada dasarnya ruang mencakup tiga dimensi yaitu udara, tanah dan air. Pada kenyataannya ruang yang menampung kegiatan manusia berbeda dalam kualitas dan kuantitasnya sehingga dalam usaha untuk menggunakan ruang secara efisien akan menghadapi pilihan-pilihan yang sesuai dengan lokasi, sehingga penggunaan ruang yang efisien merupakan suatu aktivitas memilih atau menentukan dari beberapa kegiatan yang paling menguntungkan dan sesuai untuk suatu lokasi tertentu (Hoover dalam Rustiadi et al. 2005). Penataan ruang membagi wilayah menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. Kawasan lindung adalah kawasn yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan (Anonim 1992). 11 Menurut Tarigan (2005), kawasan budidaya adalah kawasan dimana manusia dapat melakukan kegiatan dan dapat memanfaatkan lahan, baik sebagai tempat tinggal atau beraktifitas untuk memperoleh pendapatan/kemakmuran. Kawasan peternakan merupakan salah satu bentuk dari penggunaan kawasan budidaya dalam struktur ruang suatu wilayah, yang dapat berupa kawasan budidaya yang diatur atau kawasan budidaya yang diarahkan. Kawasan budidaya yang diatur adalah tempat manusia beraktivitas dengan batasan-batasan tertentu. Batasan itu dapat berupa jenis kegiatan, volume, ukuran, tempat, atau metode pengelolaannya. Berbeda dengan kawasan yang diatur, cara pemanfaatan lahan yang diarahkan tidak dinyatakan dengan tegas, bahkan pengarahannya sering dilakukan secara sektoral. Menurut Setyono (1995), konsep tata ruang dalam suatu usaha peternakan adalah konsep pengelompokan aktivitas usaha ternak dalam ruang, sehingga setiap wilayah memiliki pusat-pusat usaha ternak yang didukung oleh daerahdaerah sekitarnya. Pengelompokan aktivitas usaha peternakan ini diharapkan dapat menimbulkan keuntungan-keuntungan sebagai berikut : 1. Memaksimumkan keuntungan usaha karena kegiatan pra produksi dan proses produksi berada dalam satu lokasi atau kawasan. 2. Memaksimumkan pelayanan, dimana fasilitas pelayanan yang dibangun akan lebih berdaya guna dan berhasil guna terutama dalam menekan biaya transportasi. 3. Menjamin keterkaitan antara aktivitas pra produksi, proses produksi dan pasca produksi. 4. Memudahkan pemasaran hasil-hasil secara lebih terorganisir, sehingga posisi tawar menawar (bargaining power) lebih kuat. Pengelompokan aktivitas peternakan dalam suatu wilayah yang didukung oleh wilayah sekitarnya dan partisipasi masyarakat dinamakan Kawasan Peternakan. Secara umum Kawasan Peternakan memiliki ciri-ciri sebagai berikut : lokasinya sesuai dengan agroekosistem dan alokasi tata ruang wilayah, dibangun dan dikembangkan oleh masyarakat dalam atau sekitar kawasan tersebut, berbasis komoditas ternak unggulan dan atau komoditas ternak strategis, adanya pengembangan kelompok tani menjadi kelompok pengusaha, sebagian besar 12 pendapatan masyarakat berasal dari usaha agribisnis peternakan, memiliki prospek pasar yang jelas, didukung oleh ketersediaan teknologi yang memadai, memiliki peluang pengembangan atau diversifikasi produk yang tinggi, didukung oleh kelembagaan dan jaringan kelembagaan yang berakses ke hulu dan ke hilir (Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal 2004). 2.2. Ternak Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumberdaya penghasil bahan makanan sumber protein hewani yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya dalam kehidupan masyarakat. Seekor atau sekelompok ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan terutama sebagai bahan makanan berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit, tulang, dan lain sebagainya (Sugeng 1998). Pada tahun 2003, populasi sapi potong di Indonesia sekitar 11 395 688 ekor, dengan tingkat pertumbuhan populasi sekitar 1,08%. Idealnya populasi sapi minimal 15.27% untuk memenuhi kebutuhan domestik. Dari populasi sapi tersebut, 45–50% adalah sapi asli Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan, sapi Bali termasuk jenis sapi terbanyak, diikuti sapi Madura, dan sisanya terdiri dari sapi Ongole, Peranakan Ongole (PO), Brahman Cross, dan persilangan sapi lokal dengan sapi impor (Simmental, Limousin, Hereford, dan lain-lain) (Riady 2004). Walaupun tanah dan iklim di Pulau Sumatera bervariasi antar daerah, namun umumnya didominasi oleh iklim basah yang cocok untuk pengembangan ternak sapi dan kerbau secara intensif. Apabila kondisi yang kondusif untuk usaha peternakan sapi dan kerbau diperoleh, diperkirakan bahwa Pulau Sumatera mampu memenuhi sebagian besar dari kebutuhan konsumsi daging dalam negeri yang saat ini masih diimpor dari luar negeri. Kebutuhan akan penelitian ternak sapi dan kerbau di masa mendatang perlu diarahkan untuk meningkatkan produktivitas ternak pada berbagai agro-ekosistem dominan yang beragam di Pulau Sumatera (Bamualim dan RB Wirdahayati 2004). Di Provinsi Sumatera Barat pengurangan populasi sapi potong lebih besar dari penambahannya. Pada tahun 2004 jumlah populasi sapi pada awalnya adalah 13 597 294 ekor, pengeluaran sebanyak 22 500 ekor, pemasukan 15 000 ekor dan pemotongan 60 647 ekor (Ditjennak 2005). Pengeluaran terutama ke provinsi tetangga dan daerah lainnya, selebihnya adalah untuk pemenuhan kebutuhan lokal. Kebijakan pemerintah untuk penanggulangan keadaan tersebut dengan melakukan beberapa langkah operasional, diantaranya penambahan induk/bibit, penyelamatan ternak sapi betina produktif dari pemotongan, penanganan gangguan reproduksi, intensifikasi pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB), intensifikasi kawin alam (distribusi pejantan unggul), pengembangan kelembagaan peternak dan penumbuhan kawasan usaha peternakan. Hal ini juga untuk mencapai Swasembada Daging 2010 dengan melaksanakan beberapa strategi, diantaranya pembuatan pusat pembibitan dan bakalan berbasis pastura dan integrasi dengan tanaman, revitalisasi kelembagaan dan sumberdaya masyarakat fungsional di lapangan, perbaikan dan pengadaan infrastruktur penunjang, dukungan finansial yang realistis dan kebijakan pengembangan pewilayahan sapi potong (Faisal 2006). 2.3. Hijauan Makanan Ternak Sapi Potong Pakan merupakan faktor yang sangat penting pada usaha peternakan sapi, baik hijauan maupun konsentrat. Kontinuitas penyediaan pakan sangat menentukan bagi keberhasilan usaha peternakan sapi terutama sapi kereman karena sepanjang waktu sapi berada di dalam kandang. Pemberian pakan yang tidak kontinu dapat menimbulkan stress dan akan berakibat sapi menjadi peka terhadap berbagai penyakit dan terganggu pertumbuhannya (Ahmad et al. 2004). Makanan hijauan ialah semua bahan makanan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan, termasuk ke dalamnya bangsa rumput (gramineae), kacang-kacangan (leguminoseae) dan hijauan dari tumbuh-tumbuhan lain seperti daun nangka, aur, daun waru dan sebagainya (AAK 2005). Perbedaan mutu hijauan dipengaruhi oleh faktor genetis (bawaan) dan faktor lingkungan berupa jenis dan kesuburan tanah, iklim dan perlakuan manusia. Menurut Sofyan (2003), Hijauan Makanan Ternak yang diperlukan untuk ternak ruminansia sebagian besar berupa rumput-rumputan, sehingga rumput 14 memegang peranan yang penting dalam penyediaan pakan dan telah umum digunakan oleh peternak dalam jumlah besar. Dilihat dari cara tumbuhnya rumput dapat digolongkan menjadi dua, yaitu rumput alami atau rumput liar dan rumput budi daya atau rumput pertanian. Untuk memelihara kontinuitas hijauan pakan ternak sering dilakukan integrasi pakan hijauan dengan tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, pagar hidup, lahan tidur, padang rumput dan lahan kritis. Menurut Nitis (1995), ada beberapa sistem integrasi hijauan pakan ternak, yaitu sistem tanaman sela, sistem lorong, sistem teras bangku, sistem taongya, sistem sorjan, sistem kebun pakan hijauan intensif, sistem pastura unggul, sistem bank pakan, sistem pekarangan dan sistem tiga strata. 2.4. Evaluasi Sumberdaya Lahan untuk Peternakan Ruminansia Lahan adalah bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO 1976). Usaha peternakan sangat berkaitan erat dengan lahan, seperti ternak sapi potong yang sangat tergantung dari bahan dan kualitas pakannya, kualitas pakan hijauan makanan ternak sangat ditentukan oleh kondisi kesuburan tanahnya. Menurut Suratman et al. (1998), berdasarkan kebutuhan lahan, usaha peternakan dapat dibedakan atas dua, yaitu usaha peternakan yang berbasis lahan (land based agriculture) dan usaha peternakan yang tidak berbasis lahan (non land based agriculture). Khusus untuk usaha peternakan yang berbasis lahan yaitu ternak dengan komponen pakannya sebagian besar terdiri atas tanaman hijauan (rumput dan leguminosae), lahan merupakan faktor penting sebagai lingkungan hidup dan pendukung pakan. Menurut Sri Kuning (1999), dalam usaha peternakan, lahan merupakan basis atau merupakan faktor produksi sebagai sumber makanan pokok ternak berupa rumput, limbah maupun produk utama pertanian. Sebenarnya kebutuhan lahan untuk peternakan tidak menuntut lahan terbaik (subur atau sangat subur), namun usaha ternak dapat dikembangkan pada lahan dengan kelas kemampuan V, 15 VI dan VII, yang biasanya berupa lahan kering dan pada umumnya kurang cocok untuk subsektor pertanian yang lain seperti tanaman pangan dan perkebunan. Walaupun demikian, pengembangan usaha ternak akan lebih baik dan menguntungkan jika dilakukan pada lahan-lahan subur (Suparini 1999). Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak antara lain : lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan dan hutan rakyat, dengan tingkat kepadatan tergantung pada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air dan jenis sapi potong yang dipelihara. Luasnya lahan sawah, kebun, dan hutan tersebut memungkinkan pengembangan pola integrasi ternaktanaman yang merupakan proses saling menunjang dan saling menguntungkan, melalui pemanfaatan tenaga sapi untuk mengolah tanah dan kotoran sapi sebagai pupuk organik. Sementara lahan sawah dan lahan tanaman pangan menghasilkan jerami padi dan hasil sampingan tanaman yang dapat diolah sebagai makanan sapi. Sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan berupa rumput alam dan jenis tanaman lain. Pemanfaatan pola integrasi diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pakan ternak sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produksi dan produktivitas ternak (Riady 2004). Evaluasi lahan merupakan suatu proses dalam menduga kelas kesesuaian lahan dan potensi lahan untuk penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Kelas kesesuaian lahan suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, terrain yang mencakup lereng, topografi/relief, batuan di permukaan dan di dalam penampang tanah serta singkapan batuan, hidrologi dan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman (Djaenudin et al. 2003). Menurut Sitorus (1998), pada dasarnya evaluasi sumberdaya lahan membutuhkan keterangan-keterangan dari tiga aspek utama, yaitu lahan, penggunaan lahan dan faktor ekonomis. Data tentang lahan dapat diperoleh dari survei sumberdaya alam, termasuk survei tanah. Keterangan-keterangan tentang syarat-syarat atau kebutuhan ekologik dan teknik dari berbagai jenis penggunaan lahan diperoleh dari keterangan-keterangan agronomis, kehutanan, dan disiplin ilmu lainnya yang terkait. 16 Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tata guna tanah yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Dalam evaluasi lahan terdapat dua macam pendekatan, yaitu pendekatan dua tahap dan pendekatan paralel. Pada pendekatan dua tahap, tahap pertama merupakan evaluasi lahan secara kualitatif. Setelah tahap pertama selesai dan hasilnya disajikan dalam bentuk peta dan laporan, maka tahap kedua (kadangkadang tidak dilakukan) analisis sosial ekonomi dapat dilakukan segera atau beberapa waktu kemudian. Sedangkan pada pendekatan paralel, analisis sosial ekonomi terhadap penggunaan lahan yang direncanakan dilakukan bersamaan dengan analisis sifat-sifat fisik dan lingkungan dari lahan tersebut. Hasil dari pendekatan ini biasanya memberi petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Persyaratan penggunaan lahan yang diperlukan bagi tiap-tiap komoditi dijadikan dasar dalam menyusun kriteria kelas kesesuaian lahan, yang dikaitkan dengan kualitas dan karakteristik lahan. Jika tiga kelas yang dipakai dalam ordo Sesuai (S) dan dua kelas yang dipakai dalam ordo Tidak Sesuai (N), maka pembagiannya adalah : (1) kelas S1 yaitu Sangat Sesuai (highly suitable), lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang secara tidak nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan, (2) kelas S2 yang Cukup Sesuai (moderately suitable), lahan mempunyai pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan, (3) kelas S3 yaitu Sesuai Marginal (marginally suitable), lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan, (4) kelas N1 yaitu Tidak Sesuai Pada Saat Ini (currently not suitable), lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian 17 besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang; (5) kelas N2 yaitu Tidak Sesuai Untuk Selamanya (permanently not suitable), lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang (Djaenudin et al. 2003). 2.5. Daya Dukung Lahan Menurut Soemarwoto (1983), daya dukung menunjukkan besarnya kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan hewan, yang dinyatakan dalam jumlah ekor per satuan jumlah lahan. Jumlah hewan yang dapat didukung kehidupannya itu tergantung pada biomas (bahan organik tumbuhan) yang tersedia untuk hewan. Daya dukung ditentukan oleh banyaknya bahan organik tumbuhan yang terbentuk dalam proses fotosintesis per satuan luas dan waktu, yang disebut produktivitas primer. Salah satu faktor yang diperlukan untuk menganalisis kapasitas tampung ternak ruminansia di suatu wilayah adalah dengan menghitung potensi hijauan pakan. Hijauan pakan untuk ternak ruminansia terdiri dari rerumputan, dedaunan dan limbah pertanian. Estimasi potensi hijauan pakan pada masing-masing wilayah dipengaruhi oleh keragaman agroklimat, jenis dan topografi tanah dan tradisi budidaya pertanian (Ma’sum 1999). Menurut Dasman et al. (1977), daya dukung adalah suatu ukuran jumlah individu dari suatu spesies yang dapat didukung oleh lingkungan tertentu, dengan tingkatan sebagai berikut : 1. Daya dukung absolut atau maksimum, yaitu jumlah maksimum individu yang dapat didukung oleh sumberdaya lingkungan pada tingkatan sekedar hidup (tingkatan ini disebut kepadatan subsisten untuk spesies tersebut). 2. Daya dukung dengan jumlah individu berada dalam keadaan yang disebut kepadatan keamanan atau ambang pintu keamanan. Kepadatan keamanan lebih rendah dari kepadatan subsisten. Pada kepadatan keamanan ini tingkat populasi suatu spesies ditentukan oleh pengaruh populasi spesies lainnya yang hidup di lingkungan yang sama. 18 3. Daya dukung dengan jumlah individu berada dalam keadaan yang disebut kepadatan optimum. Pada kepadatan optimum ini, individu-individu dalam populasi akan mendapatkan segala keperluan hidupnya dengan cukup serta menunjukkan pertumbuhan dan kesehatan individu yang baik. Kepadatan optimum hanya dapat dipertahankan oleh pembatasan yang kuat terhadap pertumbuhan yang diatur oleh tingkah laku spesies tersebut. Selanjutnya Dasman (1964) membedakan tiga pengertian daya dukung yaitu : (1) pengertian daya dukung yang berhubungan dengan kurva logistik, dimana daya dukung adalah asimtot atas dari kurva tersebut. Dalam hal ini batasan daya dukung adalah batasan teratas dari pertumbuhan populasi dimana pertumbuhan populasi tidak dapat didukung lagi oleh sumberdaya dan lingkungan yang ada.; (2) pengertian daya dukung yang dikenal dalam pengelolaan margasatwa. Dalam hal ini daya dukung adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu habitat; (3) pengertian daya dukung yang dikenal dalam pengelolaan padang penggembalaan. Dalam hal ini daya dukung adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh lingkungan dalam keadaan sehat tanpa mengganggu kerusakan tanah. Tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak pada suatu wilayah merupakan salah satu faktor yang sangat penting serta turut mempengaruhi dinamika populasi dalam keberhasilan pengembangan ternak, khususnya ternak herbivora. Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1980), dalam memperhitungkan potensi suatu wilayah untuk mengembangkan ternak secara teknis, perlu dilihat populasi ternak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi hijauan makanan ternak yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Dalam memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka lahan-lahan yang potensial untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang diperhitungkan, antara lain : lahan pertanian, perkebunan, padang penggembalaan dan sebagian kehutanan. 2.6. Sistem Informasi Geografi (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai peran yang penting dalam berbagai aspek kehidupan dewasa ini. Melalui sistem informasi geografis, 19 berbagai macam informasi dapat diolah dan dianalisis yang kemudian dikaitkan dengan letaknya di permukaan bumi. Menurut Barus dan Wiradisastra (2000), SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Berdasarkan operasinya SIG dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) SIG secara manual yang beroperasinya memanfaatkan peta cetak (kertas/transparan), bersifat data analog; (2) SIG secara terkomputer atau sering disebut SIG otomatis, dimana prinsip kerjanya sudah sama dengan komputer, sehingga datanya merupakan data digital. Bila dibandingkan cara manual dengan sistem komputer, maka jika diperlukan data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya per satuan yang lebih rendah. Demikian pula dalam hal memanipulasi data spasial dan mengaitkannya dengan informasi atribut serta mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis. Kemampuan untuk melaksanakan analisis spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model-model keputusan, deteksi perubahan, analisis dan tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikan-perbaikan secara terus-menerus. Operasi yang interaktif menjadi praktis karena dapat dilakukan dengan cepat dengan biaya yang relatif murah. Dari berbagai definisi yang disimpulkan oleh Prahasta (2005), SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem yaitu data input, data output, data manajemen dan data analisis dan manipulasi. SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan jaringan, yang terdiri dari beberapa komponen seperti perangkat keras, perangkat lunak, data dan informasi geografis serta manajemen. Menurut Ma’sum (1999), salah satu bidang ilmu dan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan satelit LANDSAT yang dikelola oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dapat dihasilkan data cakupan citra satelit suatu wilayah. Melalui pemanfaatan interpretasi data satelit 20 dengan menggunakan perangkat keras dan lunak serta didukung dengan peta topografi, peta tematis serta data statistik pertanian, dapat dianalisis potensi hijauan pakan ternak di suatu wilayah lebih cepat dan cukup akurat. Berdasarkan data ketersediaan hijauan pakan ternak di suatu wilayah, dibagi dengan kebutuhan per ekor ternak akan didapatkan kapasitas tampung. Karakteristik utama dari metode penginderaan jauh yang digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan adalah tingkat otomatisasi dan objektivitas yang tinggi, serta memungkinkan untuk dilakukan perbaikan-perbaikan. Informasi dari citra landsat dan data vektor dipadukan dan dianalisis dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) (Tapiador dan Casanova 2003). Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) dan analisis Digital Elevation Model (DEM) pada berbagai bidang kehidupan semakin luas, diantaranya untuk melihat kelerengan permukaan bumi, pergerakan permukaan bumi, dan lain sebagainya. Sebagai penghubung antara data lapangan dengan DEM maka digunakan alat Global Positioning System (GPS) yang berfungsi sebagai penentu posisi suatu benda di permukaan bumi (Mulders 2001). 2.7. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu Daya dukung suatu wilayah dengan penekanan pada kemampuan menyokong dan menampung, didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan output yang diinginkan dari sumberdaya dasar untuk mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi dan lebih wajar (Khanna et al. 1999). Populasi ternak yang melebihi kapasitas daya dukung sumberdaya lahan yang berlangsung secara terus-menerus tanpa pencegahan, akan berakibat degradasi lahan dan berkurangnya ketersediaan hijauan makanan ternak. Efisiensi penggunaan lahan, penanaman tanaman kacang-kacangan (sejenis legum), pengembangan agroforestri dan penghijauan, adalah beberapa tindakan yang dapat meningkatkan daya dukung lahan, terutama terhadap lahan-lahan milik perorangan yang telah dibajak kemudian ditelantarkan, dan penggunaan yang tidak efektif lainnya (Thapa dan Paudel 2000). Melalui pendekatan perpaduan kondisi agroklimat dan penggunaan lahan serta produktivitas tanaman pangan dan hijauan yang ada, maka kesesuaian lahan 21 dan arah pengembangan lahan bagi ternak ruminansia dapat ditentukan. Informasi daya dukung pakan hijauan yang disajikan dengan nilai Indeks Daya Dukung (IDD) adalah memperlihatkan status masing-masing daerah terhadap kemampuan penambahan populasi untuk ruminansia saat ini. Arahan kesesuaian ekologis lahan dapat direkomendasikan pada dua pola. Pertama, pola diversifikasi spasial, yaitu pengembangan pada lahan-lahan yang telah mempunyai peruntukan, antara lain untuk tanaman pangan dan perkebunan dalam bentuk pola keterpaduan. Kedua, pola ekstensifikasi spasial, yaitu pengembangan pada lahan kehutanan dan alang-alang. Dari hasil penelitian, rekomendasi arahan pengembangan lahan untuk ternak ruminansia di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah : a). Pola diversifikasi untuk kelompok ternak sapi potong banyak terdapat di lahan tegalan, sawah dan prkebunan, b). Pola ekstensifikasi banyak terdapat di lahan hutan dan alang-alang. Dilihat dari potensi daya dukung hijauan pakan di wilayah NTT pada umumnya masih melimpah dan masih mampu menambah ternak ruminansia sebanyak 2 395 384 ST dari populasi saat ini sebanyak 471 971 ST (Sumanto et al. 2004). Suratman et al. (1998) pernah melakukan penelitian di Kecamatan Tanete Rilau dan Tanete Riaja Kabupaten Barru Propinsi Sulawesi Selatan, yang merupakan salah satu areal untuk pengembangan peternakan sapi potong. Dari hasil penelitian diperoleh nilai rata-rata indeks daya dukung (IDD) wilayah penelitian sebesar 2.46. Dengan menggunakan pedoman status batas aman daya dukung, daerah ini berada dalam status kritis, daya tampung rata-rata sebesar 0.52 ST/ha. Lahan yang mempunyai prospek pengembangan cukup baik adalah lahan yang termasuk berpotensi tinggi dan sedang, seluas 2 125 ha. Hasil penelitian yang juga dilakukan oleh Suratman et al. (2003) di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan melakukan pengkajian data sumberdaya lahan (tanah, lingkungan, iklim), informasi keadaan sosial ekonomi dan pola pengembangan peternakan, kemudian melakukan analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk pakan ternak ruminansia dan penilaian kesesuaian lingkungan ternak sapi, dituangkan dalam bentuk Peta Arahan Pengembangan Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dibagi menjadi lahan ekstensifikasi seluas 35 500 dan pola integrasi seluas 334 000 ha.