bab ii tinjauan pustaka - Universitas Sumatera Utara

advertisement
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Diabetes Melitus
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.1
2.1.1
Klasifikasi DM1
1. Tipe 1: Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut.
-
Autoimun
-
Idiopatik
2.Tipe 2: Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yangdominan defek sekresi insulin
disertai resisten insulin.
3.Tipe lain: Defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrinpankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia,
infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindromgenetik lain yang
berkaitan dengan DM.
4.Diabetes mellitus Gestasional.
2.1.2
Diagnosis1
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah.Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan
dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
-
Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidakdapat dijelaskan sebabnya.
Universitas Sumatera Utara
7
-
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria Diagnosis DM
-
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam
-
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
-
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
-
Pemeriksaan HbA1c
terstandararisasi
oleh
≥6,5%
dengan
National
menggunakan
Glycohaemoglobin
metode
yang
Standarization
Program (NGSP)
2.1.3
Penatalaksanaan DM1
Tujuan penatalaksaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes.
Tujuan penatalaksanaan :
-
Tujuan Jangka pendek : menghilangkan keluhanDM, memperbaiki
kualitas hidup dan mengurangi risiko komplikasi akut
-
Tujuan Jangka panjang : mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati
-
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk
mencapai
tujuan
tersebut
perlu
dilakukan
pengendalian
glukosadarah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid melalui
pengelolaan pasien secara komprehensif
Ada 4 pilar penatalaksaan DM :
1. Edukasi
2. Terapi Nutrisi medis
3. Latihan jasmani
4. Terapi farmakologis
Universitas Sumatera Utara
8
2.1.4
Metformin1
Terapi farmakologis pada penderita DM diberikan bersamaan dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis
terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
Metforminmempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis) dan memperbaiki ambilan glukosa dijaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DM Tipe2.
Dosis metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 3060 ml/menit/1,75m2). Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan
seperti: GFR<30 ml/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasienpasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular,
sepsis, renjatan, PPOK, gagal jantung (NYHA FC III-IV). Efek samping yang
mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
2.1.5 Patogenesis DM Tipe 2
Glucolipotoxicity dapat dinyatakan sebagai suatu penentu yang utama
penyebab DM Tipe 2. Secara umum, Glucolipotoxicity merupakan kombinasi dari
glucotoxicity dan lipotoxicity yang mana kedua hal tersebut terjadi secara
bersamaan.15
Glucotoxicity merupakan peningkatan kadar gula darah secara konstan
(hiperglikemi) yang menyebabkan dampak kerusakan dari fungsi sel β dan
nantinya akan menurunkan sekresi insulin. Sama halnya dengan sejumlah lipid
tertentu (lipotoxicity), FFAa juga telah dikenal meregulasi sekresi insulin, namun
peningkatan yang kronis FFAa di plasma juga akan menyebabkan gangguan
fungsi sel β.16
Glucolipotoxicity
dapat
menyebabkan
ER-stress
pada
islets
pankreas.Retikulum endoplasma dikenal cukup baik pada sintesis sebagian besar
dari protein termasuk pro-insulin di sel β pankreas.Jika hemostasis dari retikulum
endoplasma untuk memproduksi protein tidak dapat kembali normal, stres pada
retikulum endoplasma akan berakhir dengan apoptosis sel.
Universitas Sumatera Utara
9
Selain itu, hiperglikemi juga dapat menimbulkan reactive oxygen species
(ROS), dimana sel-sel ini telah dikenal sangat rentan terhadap stres oksidatif sel β
karena memiliki tingkat sederhana enzim-enzim antioksidan.19,20
Stress oksidatif menghasilkan dan melepaskan mediator pro inflamasi
(sitokin dan kemokin), yang telah diketahui keterlibatannya terhadap gangguan
fungsi sel β yang menyebabkan resistensi insulin dan inflamasi .
Gambar 2.1 Beberapa faktor patogenik yang menyebabkan dan berperan dalam
patogenesis DM Tipe 264
2.1.5.1 Faktor-faktor yang menimbulkan terjadinya inflamasi jaringan pada DM
Tipe 2
Walaupun banyak respon patogen yang terlibat dalam menginduksi
resistensi insulin akibat inflamasi dan memblok sekresi insulin dari sel β, namun
hiperglikemi, dislipidemia dan stress oksidatif dianggap terlibat secara langsung
dalam inflamasi jaringan yang khusus.
2.1.5.1.1
Hiperglikemi
Hiperglikemi merupakan peningkatan kadar gula darah secara konstan yang
menyebabkan kerusakan fungsi sel β yang nantinya menurunkan sekresi insulin.
Peningkatan kadar glukosa di plasma merupakan penyebab utama dari
patogenesis DM Tipe 2. Kadar gula darah yang tinggi sangat toksik terhadap sel
Universitas Sumatera Utara
10
β.41Kadar gula darah yang tinggi yang memasuki sel β dari pankreas,akan
merangsang berbagai mediator proinflamasi seperti IL-1b, TNF-a, IL-6 dll.42
2.1.5.1.2 Dislipidemia
Istilah dislipidemia digunakan ketika nilai dari lipid berubah karena respon
terhadap resistensi insulin dan kelebihan nutrisi. Efek perubahan konsentrasi lipid
pada sel β bergantung pada profil lipid tertentu. Saturated fatty acids (palmitate)
dapat menyebabkan pro-apoptosis di sel β, dilain hal monosaturated fatty acids
(oleates) melindungi sel β dari bahaya efek saturated fatty acids dan
glukosa.Akibat peningkatan resistensi insulin dijaringan perifer, jumlah FFAa
juga meningkat. Sekali jumlah sirkulasi dari FFAs bertambah, FFAs kemudian
bermigrasi ke sel β pankreas yang menyebabkan kerusakan sel β melalui induksi
sekresi dari IL-1b.44Very low density lipoproteins (VLDL) dan low density
lipoproteins (LDL) sangat berbahaya dan bertindak sebagai pro apoptosis dari sel
β sama seperti saturated fatty acids, dilain hal high density lipoprotein (HDL)
melindungi sel β dari bahaya.45
2.1.5.1.3
Stres oksidatif
Bagaimana peran stress oksidatif dalam patogenesis DM Tipe 2 dikenal cukup
baik. Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan jaringan bersamaan dengan
hiperglikemi yang kronis. Beberapa faktor yang menyebabkan stres oksidatif
(mediator proinflamasi, hiperglikemi, dislipidemia, gangguan toleransi glukosa,
resistensi insulin, hipoksia, kurangnya aktifitas) dapat merusak struktur dan fungsi
dari sel β di islet pankreas.Stres oksidatif juga berpotensi membangkitkan ROS
bersama dengan sitokin proinflamasi dan kemokin disekitar selβ. 36
2.1.5.2 Respon inflamasi yang berpotensi sebagai dasar patogenesis DM Tipe 2
2.1.5.2.1
Hipoksia
Hipoksia dapat menginduksi sejumlah faktor inflamasi di makrofag. Makrofag
mengumpulkan semua bagian hipoksia dan memberikan hubungan antara
pertumbuhan jaringan adipose yang cepat dan mencetuskan inflamasi. 28Selain itu,
hipoksia juga diketahui menyebabkan munculnya ER stress di islets pankreas
Universitas Sumatera Utara
11
yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh potensi ER redox dan menurunkan
konsentrasi ATP dan menyebabkan kematian sel β.29
2.1.5.2.2 Transcriptional pathways
Ada banyak jalur metabolik yang menyebabkan resistensi insulin pada di jaringan
perifer. Proses metabolik merangsang terjadinya inflamasi dan stres yang
menginduksi kinase seperti IkB kinase-b (IKKb) dan JUN N-terminal kinase
(JNK). Kedua kinase tersebut diketahui berperan dalam patogenesis DM Tipe 2. 30
IKKb berpotensi mengaktifkan nuclear factor-kB (NF-kB) yang menginduksi
sitokin proinflamasi (TNF-α dan IL-1b) di hati dan jaringan adipose. Sitokinsitokin ini yang menyebabkan resistensi insulin di jaringan perifer. 31Dilain hal,
JNK berpotensi mengaktifkan transcription factor-2 (ATF2) dan ELK1. Walaupun
mekanisme JNK mempengaruhi faktor transkripsi belum jelas, tapi beberapa
penelitian eksperimen telah dilakukan untuk mengetahui perannya dalam proses
inflamasi.vSelain jalur NF-kB dan JNK, FFAs dan advanced glycation endproducts (AGEs) dapat menimbulkan resistensi insulin dan menyebabkab DM
Tipe2 melalui aktifasi toll like receptors (TLRs) dan reseptor terhadap AGEs. 32
2.1.5.2.3
Sitokin-sitokin
Yang paling menjanjikan dari berbagai macam faktor patofisiologi DM Tipe 2
adalah jumlah dari sitokin proinflamasi seperti IL-1b, TNF-α dan IL-6. Sitokinsitokin ini dilepaskan dari jaringan adipose dan merangsang terjadinya inflamasi
tidak hanya pada jaringan yang sesuai tetapi juga pada sel β dari islet pankreas
dan menyebabkan terjadinya resistensi insulin. 33Awalnya, hal tersebut untuk
mengantisipasi mekanisme inflamasi dari sel β yg mengalami apoptosis yang
terjadi karena hiperglikemi.34 Selanjutnya, mekanisme tersebut diteliti oleh
Maedler et al. (2003) dan mereka menemukan bahwa peningkatan kadar glukosa
merangsang reseptor pro apoptosis FAS pada sel β dan juga menginduksi
produksi IL-1b.Ekspresi IL-1b di islets pankreas juga meregulasi FFAs yang
merangsang sekresi dan produksi IL-1b dan IL-1 tergantung dari sitokin
proinflamasinya.35Sekali IL-1b diinduksi oleh glukosa atau FFAs, IL-1 juga
meregulasi sekresi dan produksi di islets pankreas secara autostimulasi 36
Universitas Sumatera Utara
12
Proses autostimulasidari IL-1b mungkin dapat dicegah dengan memblok aktifitas
NF-kB dan atau mengurangi sinyal IL-1R1 terhadap IL-1b .Karena itu rangsangan
dari IL-1b karena glukosa dan FFAs dapat dicegah dengan memblok sinyal IL-1R.
Lebih lanjut lagi rangsangan terhadap terhadap sel β untuk memproduksi IL-1b,
juga meningkatkan produksi nitric oxide dan menyebabkan reduksi kosentrasi
ATP di mitokondria yang menyebabkan disfungsi sel β dan menurunkan sekresi
insulin.Selain IL-1b, TNF-α juga berperan penting dalam menyebabkan resistensi
insulin, obesitas dan inflamasi.TNF-α mengatur aktivitas jalur IKKb/NF-kB dan
JNK dalammeregulasi resistensi insulin. Produksi yang berlebihan dari TNF-α di
jaringan adipose menyebabkan resistensi insulin di jaringan perifer dengan
menginduksi terjadinya inflamasi dan apoptosis sel β di pankreas. 37-39
Sitokin-sitokin proinflamasi dapat berpotensi menyebabkan inflamasi dijaringan
perifer sama dengan di islets pankreas. IL-1Ra adalah satu-satunya sitokin
antiinflamasi alamiah.IL-1Ra diekspresikan di kelenjar pankreas pada individu
normal. Namun ekspresi Il-1 Ra menurun pada pasien DM Tipe 2 yang nantinya
akan menyebabkan peningkatan kemampuan IL-1b untuk merusak islets
pankreas.36,40
2.1.5.2.4
Kemokin
Adiposit mensekresi berbagai kemokin. Telah diperlihatkan bahwa jaringan
adipose pada orang obesitas mensekresi kemokin lebih banyak dibandingkan pada
pasien yang tidak obesitas.61Ada beberapa tipe dari kemokin sepertiCCL2
(MCP1), CCL3,(MIP-1a), CCL6, CCL7, CCL8, dan CCL9. Semua kemokin
dihasilkan dari jaringan adipose, islets di pankreas dan sel endotel. Beberapa
penelitian eksperimen telah mengobservasi bahwa kemokin berperan penting
dalam patogenesis DM Tipe 2 bersamaan dengan sitokin proinflamasi, namun
bagaimana mekanisme tepatnya masih belum jelas. 62
Universitas Sumatera Utara
13
2.1.5.3 Innate immune system
Innate immune system atau sistem imun alamiah adalah sistem pertama
pertahanan tubuh memerangi infeksi mikroba,cedera fisik dan cedera kimia.
Konsep pengaktifan dari innate imunity mendasari patofisiologi dari DM
Tipe2, resistensi insulin, aterosklerosis, sudah ditegakkan oleh beberapa
penelitian.24,25
Sejumlah reaksi terjadi untuk mencegah kerusakan jaringan, mengisolasi
dan menghancurkan sumber infeksi dan mengaktifkan proses penyembuhan untuk
mengembalikan hemostasis, terdiri dari proses penyembuhan luka, menghindari
dan mengisolasi ancaman.26
Gambar 2.2 Komponen-komponen dari sistem imun alamiah (Innate immune system)10
Sentinel cells seperti makrofag mendeteksi lingkungan yang memiliki
potensi bahaya dari infeksi,zat-zat kimia dan makanan oleh PRRs (Pattern
recognition receptors) dengan mengaktifkan jalur signal dan pelepasan sitokinsitokin proinflammatory (IL-6 dan TNF-α). Seperti diketahui bahwa PRRs terdiri
Universitas Sumatera Utara
14
dari TLR-4, yang dapat mengenali LPS (lipopolysaccharide) dari bakteri dan
reseptor terhadap AGEs (Advanced Glication Endproduct).
Sitokin-sitokin merangsang produksi protein fase akut dari hati dan juga
merangsang otak untuk melepaskan hormon adrenocorticotropic (cortisol dari
kelenjar adrenal) dan mengaktifkan sistem saraf simpatis melalui pelepasan
katekolamin.Stress Psikologis juga dapat menyebabkan respon fase akut melalui
persyarafan sel-sel yang memproduksi sitokin dan melalui aktivasi sistem saraf
simpatis dan reseptor adrenergik di makrofag. Sitokin pusat merangsang “sickness
behavior” diantaranya letargi, perubahan pola tidur dan depresi.The innate
immune system juga mengontrol sistem imun adaptasi melalui ekspresi
costimulatory molecule yang diperlukan untuk antigen presentation, SAA dan
serum amyloid A.26
Studi tentang aturan dari innate immunity telah menemukan pentingnya
respon terhadap cedera pada penyakit metabolik. Setiap pertimbangan yang
digunakan pada terapi DM Tipe 2 mungkin dibayangkan sebagai suatu jalan untuk
membuktikan respon terhadap cedera, dengan cara diet (menurunkan terjadinya
cedera), olahraga ( suatu cara untuk melatih respon terhadap suatu cedera oleh
microinjury yang berulang),metformin dan DPP-IV inhibitors ( dengan efek anti
inflamasinya yang sudah diketahui dengan baik) atau insulin ( pusat regulasi dari
inflamasi). Respon model terhadap cederaini sebaiknya diuji dimasa depan
sebagai suatu langkah perkembangan strategi baru dari terapi gangguan
metabolik.
2.2 C-Reaktive Protein (CRP)
2.2.1
Definisi
CRP adalah salah satu protein fase akut yang terdapat dalam serum normal
walaupun dalam konsentrasi yang amat kecil. Dalam keadaan tertentu dengan
reaksi inflamasi atau kerusakan jaringan baik yang disebabkan oleh penyakit
infeksi maupun yang bukan infeksi, konsentrasi CRP dapat meningkat sampai
100 kali.45Sedangkan, hs-CRPadalah pengukuran konsentrasi CRP secara
Universitas Sumatera Utara
15
kuantitatif dimana dapat mengukur kadar sampai < 0,2– 0,3 mg/L.46Dengan nilai
rujukan dikatakan low <1.0mg/L, moderate 1.0-3.0 mg/L dan high>3.0mg/L.
CRP merupakan marker inflamasi yang diproduksi dan dilepas oleh hati
dibawah rangsangan sitokin-sitokin seperti IL-6,Interleukin 1 (IL-1), dan Tumor
Necroting Factor α (TNF-α).47
Beberapa obat seperti colchicine dapat menghambat produksi CRP
.
sedangkan obat immunosupresif seperti kortikosteroid dan yang lainnya atau obat
anti radang (Non Steroid Anti Inflamation Drug) tidak dapat menghambat
sekresinya.47
2.2.2
Sintesis CRP
Sintesis CRP di hati berlangsung sangat cepat setelah ada sedikit
rangsangan, konsentrasi serum meningkat diatas 5mg/L selama 6-8 jam dan
mencapai puncak sekitar 24-48 jam. Waktu paruh dalam plasma adalah 19 jam
dan menetap pada semua keadaan sehat dan sakit, sehingga satu-satunya penentu
konsentrasi CRP di sirkulasi adalah menghitung sintesa IL-6 dengan demikian
menggambarkan secara langsung intensitas proses patologi yang merangsang
produksi CRP. Kadar CRP akan menurun tajam bila proses peradangan atau
kerusakan jaringan mereda dan dalam waktu sekitar 24-48 jam telah mencapai
nilai normal kembali .Kadar CRP stabil dalam plasma dan tidak dipengaruhi
variasi diurnal.46-48
2.2.3 Fungsi Biologis CRP
Fungsi dan peranan CRP di dalam tubuh ( in vivo ) belum diketahui
seluruhnya, banyak hal yang masih merupakan hipotesis. Meskipun CRP bukan
suatu antibodi, tetapi CRP mempunyai berbagai fungsi biologis yang
menunjukkan peranannya pada proses peradangan dan mekanisme daya tahan
tubuh terhadap infeksi.46
Beberapa hal yang diketahui tentang fungsi biologis CRP ialah:46,49
1. CRP dapat mengikat C-polisakarida (CPS) dari berbagai bakteri melalui
reaksi presipitasi/aglutinasi.
Universitas Sumatera Utara
16
2. CRP dapat meningkatkan aktivitas dan motilitas sel fagosit seperti
granulosit dan monosit/makrofag
3. CRP dapat mengaktifkan komplemen baik melalui jalur klasik mulai
dengan C1q maupun jalur alternatif.
4. CRP mempunyai daya ikat selektif terhadap limfosit T. Dalam hal ini
diduga CRP memegang peranan dalam pengaturan beberapa fungsi
tertentu selama proses keradangan.
5. CRP mengenal residu fosforilkolin dari fosfolipid, lipoprotein membrane
sel rusak, kromatin inti dan kompleks DNA-histon.
6. CRP dapat mengikat dan mendetoksikasi bahan toksin endogen yang
terbentuk sebagai hasil kerusakan jaringan.
2.2.4
Inflamasi dan Respon Fase Akut
Inflamasi merupakan mekanisme proteksi yang terbatas terhadap trauma
atau invasi mikroba dengan reaksi yang menghancurkan atau membatasi bahan
yang berbahaya dan merusak jaringan.Inflamasi diperlukan tubuh untuk
mempertahankan diri dari berbagai bahaya yang mengganggu keseimbangan
tetapi juga dapat memperbaiki kerusakan struktur serta gangguan fungsi
jaringan.Reaksi inflamasi termasuk dalam respons imun nonspesifik. Bila terjadi
inflamasi, sel-sel sistem imun yang tersebar di seluruh tubuh akan bergerak ke
lokasi infeksi beserta produk-produk yang dihasilkannya.50
Selama respon ini berlangsung terjadi 3 proses yang penting yaitu:
 Peningkatan aliran darah ke daerah infeksi
 Peningkatan permeabilitas kapiler akibat retraksi sel-sel endotel yang
mengakibatkan molekul-molekul besar dapat menembus dinding vaskuler
 Migrasi leukosit ke vaskuler
Gejala inflamasi dini ditandai oleh pelepasan berbagai mediator sel mast
setempat seperti histamin dan bradikinin.Kejadian ini disertai dengan aktivasi
komplemen, sistem koagulasi, sel-sel inflamasi dan sel endotel yang masingmasing melepas mediator yang menimbulkan efek sistemik seperti panas,
Universitas Sumatera Utara
17
neutrofilia dan protein fase akut. Proses inflamasi akan berjalan terus sampai
antigen dapat disingkirkan.45
Sejumlah protein plasma secara bersama disebut protein-protein fase akut.
Protein-protein ini menunjukkan peningkatan dramatis dalam menanggapi
mediator-mediator yang bertindak sebagai tanda bahaya dini. 45
Suatu sifat utama dari CRP adalah kemampuannya mengikat ( dengan pola
yang bergantung dengan kalsium ) sejumlah mikroorganisme yang mengandung
fosforilkolin
dalam
membran
mereka,
kompleks
yang
berguna
untuk
mengaktifkan komplemen ( melalui jalur klasik ). Ini mengakibatkan deposisi C3b
diatas permukaan mikroba yang kemudian diopsonisasi untuk perlekatan pada
fagosit.Aktivasi komplemen berikutnya adalah terjadinya penarikan dan
pemacuan neutrofil, fagosit yang telah aktif terikat pada mikroba yang telah
diselaputi oleh C3b melalui permukaan reseptor C3b dan kemudian menelan
mereka. CRP juga diikat C1q dan karenanya dapat mengaktifkan komplemen atau
bekerja sebagai opsonin melalui interaksi dengan reseptor C1q pada fagosit. 51,52
Peningkatan sintesis CRP akan meningkatkan viskositas plasma sehingga
laju endap darah juga akan meningkat. Adanya CRP yang tetap tinggi
menunjukkan infeksi yang tetap persisten.45,52
2.2.5
Pemeriksaan Kadar CRP
2.2.5.1 Prinsip dan Metode Pemeriksaan
Pada penentuan CRP, maka CRP dianggap sebagai antigen yang akan
ditentukan dengan menggunakan suatu antibodi spesifik yang diketahui (antibodi
anti-CRP). Dengan suatu antisera yang spesifik, CRP (merupakan antigen yang
larut) dalam serum mudah dipresipitasikan.46
Jadi pada dasarnya, penentuan CRP dapat dilakukan dengan cara, yaitu:

Tes presipitasi: Sebagai antigen ialah CRP yang akan ditentukan, dan
sebagai antibodi adalah anti-CRP yang telah diketahui

Tes aglutinasi pasif: Antibodi disalutkan pada partikel untuk menentukan
adanya antigen di dalam serum
Universitas Sumatera Utara
18

Uji ELISA: Dipakai teknik Double Antibody Sandwich ELISA. Antibodi
pertama (antibodi pelapis) dilapiskan pada fase padat, kemudian
ditambahkan serum penderita. Selanjutnya ditambahkan antibodi kedua
(antibodi pelacak) yang berlabel enzim. Akhirnya ditambahkan substrat,
dan reagen penghenti reaksi. Hasilnya dinyatakan secara kuantitatif.

Imunokromatografi: Merupakan uji Sandwich imunometrik. Pada tes ini,
antibodi monoklonal terhadap CRP diimobilisasi pada membran selulosa
nitrat di garis pengikat. Bila ditambahkan serum yang diencerkan sampai
ambang atas titer rujukannya pada bantalan sampel maka CRP dalam
sampel akan diisap oleh bantalan absorban menuju bantalan konjugat, dan
akan diikat oleh konjugat (antibodi monoklonal) pertama, berlabel emas
koloidal. Selanjutnya CRP yang telah mengikat konjugat akan diisap oleh
bantalan absorban menuju ke garis pengikat yang mengandung antibodi
monoklonal kedua terhadap CRP (imobile) sehingga berubah warna
menjadi merah. Sisanya yang tidak terikat pada garis pengikat akan
bergerak menuju garis kontrol yang mengandung antibodi anti tikus yang
mengikat sisa konjugat yang tidak terikat pada garis pengikat. Konjugat
yang tidak terikat dibersihkan dari membran dengan larutan pencuci yang
selanjutnya diisap oleh membran absorban. Bila kadar CRP lebih tinggi
daripada ambang atas titer rujukannya, akan terbentuk warna merah coklat
pada garis pengikat di membran yang intensitasnya berbanding lurus
dengan kadar CRP dalam serum. Pembacaan hasil secara kuantitatif.

Imunoturbidimetri: Merupakan cara penentuan yang kualitatif. CRP dalam
serum akan mengikat antibodi spesifik terhadap CRP membentuk suatu
kompleks immun. Kekeruhan (turbidity) yang terjadi sebagai akibat ikatan
tersebut diukur secara fotometris. Konsentrasi dari CRP ditentukan secara
kuantitatif dengan pengukuran turbidimetrik.
2.2.5.2 Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan CRP
CRP meningkat pada penyakit demam rematik akut, rheumatoid arthritis,
infark miokard akut, infeksi pasca operasi, infeksi bakteri, infeksi virus, penyakit
Universitas Sumatera Utara
19
chron’s, sindrom reiter’s, sindrom vaskulitis, lupus eritematosus, nekrosis jaringan
atau trauma.Obat-obatan yang dapat menurunkan kadar CRP seperti colchicines
dan statin.45,46
2.3
Puguntano dan inflamasi
Berdasarkan penelitian Juwita (2009)., diketahui bahwa tumbuhan
puguntano mengandung senyawa kimia golongan alkaloid, flavonoid, tanin dan
steroid/triterpenoid.13Hal ini juga sesuai dengan studi Harahap dkk. yang
menemukan bahwa ekstrak etanol daun puguntano yang diperoleh dari metode
perkolasi dan sokletasi memiliki kandungan fitokimia yang sama yaitu
flavonoid,saponin, tannin, glikosida, dan steroid/terpenoid. 53Diduga senyawa
cucurbitacin dalam glikosida yang terkandung pada tumbuhan inilah yang
memberikan efek penurunan kadar gula darah pada serbuk simplisia Puguntano
tersebut.14
Salah satu golongan senyawa kimia yang bertanggung jawab untuk efek
antiinflamasi adalah steroid/triterpenoid. Sehingga diduga steroid inilah yang
memberikan efek antiinflamasi dari daun puguntano tersebut.Efek antiinflamasi
dari senyawa steroid/triterpenoid berhubungan dengan kemampuannya yang dapat
menghambat kerja enzimatik fosfolipase sehingga mencegah pelepasan mediator
proses peradangan, yaitu asam arakhidonat dan metabolitnya seperti prostaglandin
(PG),
leukotrien(LT),
tromboksan
dan
prostasiklin
sehingga
terjadinya
peradangan lebih lanjut dapat dihidari (Siswandono dan Soekardjo,1995). Efek
samping yang sering timbul akibat pemakaian obat-obat sintesis dihindari dengan
penggunaan ekstrak yang terdiri dari berbagai macam komponen senyawa kimia,
yang diharapkan interaksi antara komponen-komponen tersebut dapat meniadakan
efek samping.13
Flavonoid merupakan fenol bioaktif dengan berat molekul rendah dan
memiliki peran dalam sintesis sel.54Dalam keterkaitannya dengan diabetes
,flavonoid memiliki peran vital pada seluruh aspek dan mekanismenya cukup
diketahui.55Adapun hipotesis yang diajukan terhadap flavonoid antara lain
menurunkan enzim aldoctase-reductase, regenerasi sel pankreas, meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
20
pelepasan insulin dan meningkatkan uptake ion Ca2+.56Studi lain menemukan
bahwa flavonoid merupakan komponen fenol dengan aktifitas biologi yang luas
dan memiliki efek pada diabetes melalui inhibisinya pada enzim α-glukosidase
atau pencegahan absorpsi glukosa dan atau memperbaiki toleransi glukosa.57Studi
terakhir menunjukkan phenolic fitokimiapada tannin merupakan inhibitor αamilase dan α-glukosidase, dengan efek yang kuat pada inhibisi α-glukosidase dan
efek ringan pada α-amilase sehingga dapat digunakan untuk mencegah lonjakan
gula darah post-prandial dengan efek yang minimal.57
Studi yang terakhir mendapatkan secara observasi klinis serbuk simplisia
daun puguntano mempunyai efek dalam menurunkan kadar gula darah pada
pasien diabetes mellitus dengan dosis 2 g, 3 kali sehari selama 14 hari yang
diberikan secara oral dalam bentuk seduhan.14
Studi lain pun telah menyimpulkan bahwa n –hexane ekstrak dari daun
picria fel –terrae lour merupakan obat anti diabetes yang efektif . Dimana zat ini
memiliki kemampuan menurunkan nilai glukosa darah dan reduksi selama 10 hari
sebesar 44.47% pada mencit.58
2.3.1
Pembuatan ekstrak
Metode: perkolasi
Pelarut: etanol 70% .
Cara: sebanyak 300 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam bejana bertutup dan
dibasahi dengan sejumlah cairan penyari etanol 50%, dimaserasi selama 3 jam.
Massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, kemudian cairan
penyari dituangkan secukupnya sampai terdapat selapis cairan penyari di atas
simplisia
dan dibiarkan selama 24 jam. Cairan dibiarkan menetes dengan
kecepatan 1 ml per menit, cairan penyari ditambahkan berulang-ulang sehingga
selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia, perkolasi dihentikan
sampai perkolat terakhir yang keluar tidak berwarna.Perkolat dipekatkan dengan
menggunakan rotavapor, setelah diperoleh ekstrak kental, kemudian dikeringkan
di freeze dryer (Ditjen POM, 1986).
Universitas Sumatera Utara
21
2.3.2
Pembuatan sediaan kapsul ekstrak daun puguntano
Kapsul ekstrak daun Puguntano dibuatdengan dosis 100 mg dan dicampur
dengan bahan pengisi sampai bobot kapsul 500 mg digunakan cangkang kapsul
nomor 0.
Setiap kapsul mengandung:
R/
Ektrak daun Puguntano 100 mg
Amylum manihot
5%
Amylum maydis
2,5 %
Sakarum laktis
qs
Cara :
Ekstrak kental daun Puguntano ditimbang lalu digerus sedikit demi sedikit dengan
bahan pengisi dan bahan pengering/pegembang (amylum manihot, amylum
maydis dan sakarum laktis) sehingga diperoleh massa yang kompak, kemudian
dibuat granul dengan mengayak massa tersebut. Dikeringkan di lemari pengering
selama 1 jam sehingga diperoleh granul kering. Diayak kembali dan dicampur
dengan sakarum laktis sampai mencapai bobot yang sesuai.Kemudian dimasukkan
ke dalam cangkang kapsul dengan bantuan alat pengisi kapsul.
Evaluasi penyimpangan bobot sediaan kapsul ekstrak daun puguntano dilakukan
dengan cara berikut :
Cara :
Ditimbang 20 kapsul, kemudian ditimbang lagi kapsul satu persatu.Keluarkan isi
semua kapsul, timbang seluruh bagian cangkang kapsul. Perbedaan dalam persen
bobot isi tiap kapsul terhadap bobot rata-rata tiap isi kapsul tidak boleh lebih dari
5% dan untuk 2 kapsul tidak lebih dari 10%.
Universitas Sumatera Utara
Download