5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaminan Kesehatan Nasional

advertisement
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia
merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan
Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan
Sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar
semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka
dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak (KemenkesRI, 2014).
Jaminan
Kesehatan
Nasional
(JKN)
merupakan
jaminan
berupa
perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan
dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan
kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh
pemerintah. Setiap Peserta berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang
mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk
pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang
diperlukan (Henry, 2014).
5
6
2.2. E-Katalog Obat
Sistem e-katalog Obat Generik adalah sistem informasi elektronik yang
memuat informasi seputar daftar nama obat, jenis, spesifikasi teknis, harga satuan
terkecil, dan pabrik penyedia. Harga yang tercantum dalam e-katalog adalah harga
satuan terkecil, dimana sudah termasuk pajak dan biaya distribusi. Pengadaan obat
generik yang sudah termuat dalam e-katalog dilaksanakan melalui mekasisme epurchasing, serta bersifat penunjukkan langsung oleh satuan kerja. Dengan
adanya
sistem
e-katalog
Obat
Generik,
selain
dapat
meminimalisasi
penyimpangan, juga dapat memudahkan pihak pemerintah untuk lebih leluasa
dalam memilih produk obat generik yang dibutuhkan. Selanjutnya, bagi Dinas
atau Rumah Sakit yang ingin melaksanakan pengadaan obat generik juga tinggal
memilih saja, karena harga dan spesifikasinya sudah jelas (Kementerian
Kesehatan RI, 2013).
2.3. Diabetes Melitus Tipe 2
2.3.1 Definisi Diabetes Melitus 2
American Diabetes Association (ADA) 2006, mendefinisikan DM sebagai
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia
kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi
dan kegagalan beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah (Corwin, 2009).
7
Diabetes Melitus (DM) adalah sindrom hiperglikemia kronis karena
kekurangan insulin relatif, resistensi, atau keduanya. Hal ini mempengaruhi lebih
dari 120 juta orang di seluruh dunia, diperkirakan akan mempengaruhi 370 juta
pada tahun 2030 (Kumar & Clark, 2009).
Diabetes melitus tipe II (DM tipe II) ini membentuk 90 - 95% dari semua
kasus diabetes, dahulu disebut diabetes melitus non-dependen insulin atau
diabetes onset dewasa. Diabetes ini meliputi individu yang memiliki resistensi
insulin dan biasanya mengalami defisiensi insulin relatif atau kekurangan insulin
pada awalnya dan sepanjang masa hidupnya, individu ini tidak membutuhkan
pengobatan insulin untuk bertahan hidup (American Diabetes Association (ADA)
2006).
DM tipe 2 dikarakteristik dengan adanya resistensi insulin dan kurangnya
sekresi insulin, sekresi insulin secara progresif berkurang setiap waktu (Triplit et
al., 2008). Risiko DM tipe 2 semakin bertambah seiring meningkatnya usia,
obesitas dan kurangnya aktivitas fisik (ADA, 2012).
2.3.2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2
Pada diabetes melitus Tipe 2 jumlah insulin normal atau mungkin lebih
banyak tetapi jumlah reseptor Insulin yang terdapat pada permukaan sel yang
kurang. Reseptor insulin dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke
dalam sel. Pada keadaan ini, jumlah insulin banyak tetapi reseptornya kurang
maka glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit sehingga sel akan kekurangan
glukosa dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat (Subekti, 2002).
8
Patogenesis diabetes mellitus tipe II dimulai dari resistensi insulin dimana
penurunan kemampuan insulin untuk beraksi pada jaringan target perifer
(terutama otot dan hati) merupakan ciri yang menonjol pada DM tipe II dan
merupakan kombinasi dari kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi insulin
mengganggu penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin dan
meningkatkan keluaran glukosa hepatik, keduanya menyebabkan hiperglikemia
(Powers, 2005). Pada prinsipnya resistensi insulin dapat terjadi di tingkat reseptor
insulin atau di salah satu jalur sinyal pascareseptor. Pada DM tipe II jarang terjadi
defek kualitatif dan kuantitatif pada reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi
insulin diperkirakan terutama berperan dalam pembentukan sinyal pascareseptor
(Clare-Salzler, et al., 2007). Sedangkan pada gangguan sekresi insulin sekresi
insulin tampaknya normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun pola
sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi
insulin (yang cepat) yang dipicu oleh glukosa menurun. Penyebab defisiensi
insulin pada DM tipe II masih belum sepenuhnya jelas. Pada mereka yang
memiliki kerentanan genetik terhadap DM tipe II, kompensasi ini gagal. Pada
perjalanan penyakit selanjutnya terjadi kehilangan 20 - 50% sel beta, tetapi jumlah
ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang
oleh glukosa (Clare – Salzler, et al., 2007).
2.3.3 Epidemiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang
diseluruh dunia menderita Diabetes melitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi,
insidennya terus meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun 2030 angka ini
9
menjadi 366 juta jiwa atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat
diseluruh dunia dimana 90% adalah jenis diabetes melitus tipe 2 terjadi di negara
berkembang. Peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia dan di Afrika , hal ini
diakibatkan oleh tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan
yang tidak sehat. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (2007) dari
24.417 responden berusia > 15 tahun, 10,2% mengalami toleransi glukosa
tergangggu (kadar glukosa 140-200 mgdl setelah puasa selama 4 jam diberikan
beban glukosa sebanyak 75 gram). DM lebih banyak ditemukan pada wanita
dibanding dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan status
sosial yang rendah. Daerah dengan angka penderita DM yang tertinggi adalah
Kalimantan Barat dan Maluku Utara, yaitu 11,1% sedangkan kelompok usia
terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang dihubungkan
dengan faktor resiko DM adalah Obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik
dan rendahnya komsumsi sayur dan buah (Riskesdas, 2007).
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4
juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan
WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi
kenaikan jumlah penyandang DM dari 7 juta pada tahun 2009 menjadi 12 juta
pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan
keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 23 kali lipat pada tahun 2030 (PERKENI,2011)
10
2.3.4 Etiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan
sekresi Insulin pada diabetes melitus tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi Insulin. Selain
itu terdapat pula faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan dengan proses
terjadinya diabetes melitus tipe II. Menururt Smeltzer (2008) faktor resiko
diabetes melitus antara lain :
a Usia
Umur manusia mengalami perubahan fisiologi yang menurun dengan cepat
setelah usia 40 tahun. Diabetes melitus sering muncul setelah usia lanjut terutama
setelah berusia 45 tahun pada mereka yang berat badannya berlebih, sehingga
tubuhnya tidak peka terhadap insulin.
b.Obesitas
Lebih dari 8 diantara 10 penderita diabetes melitus tipe II adalah mereka yang
mengalami kegemukan. Makin banyak jaringan lemak, jaringan tubuh dan otot
akan makin resisten terhadap kerja Insulin, terutama bila lemak tubuh atau
kelebihan berat badan terkumpul didaerah sentral atau perut. Lemak ini akan
memblokir kerja Insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel dan
menumpuk dalam peredaran darah.
c.Riwayat Keluarga (memegang peran besar)
Diabetes melitus diturunkan dari keluarga sebelumnya yang juga menderita
Diabetes melitus, karena kelainan gen mengakibatkan tubuhnya tak dapat
menghasilkan insulin dengan baik. Tetapi resiko terkena diabetes melitus juga
11
tergantung pada faktor kelebihan berat badan, kurang gerak tubuh dan stres.
Sekitar 50 % pasien diabetes melitus Tipe II mempunyai orang tua yang
menderita diabetes, dan lebih sepertiga pasien diabetes mempunyai saudara yang
mengidap diabetes.
d. Kelompok Etnik
Beberapa ras tertentu, seperti suku Indian di Amerika, Hispanik dan orang
Amerika di Afrika, memiliki resiko lebih besar terkena Diabetes Melitus tipe II.
2.3.5 Gejala Klinik Diabetes Melitus Tipe 2
Menurut Depkes RI (2005), diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun
demikian ada beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan
diabetes.
Adapun gejala-gejala khas Diabetes Mellitus secara umum adalah sebagai
berikut (PERKENI, 2006) :
• Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Pasien dengan DM tipe II sering tidak bergejala. Namun, adanya komplikasi
mungkin menunjukkan bahwa mereka memiliki DM selama beberapa tahun
(Dipiro, 2008). Pada diabates melitus tipe II gejala yang dikeluhkan umumnya
hampir tidak ada. Diabetes melitus tipe II seringkali muncul tanpa diketahui dan
penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah
berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita diabetes melitus tipe II
12
umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan
makin buruk dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas dan
juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Depkes RI, 2005).
2.3.6 Diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2
Diagnosis klinik DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl
juga digunakan untuk patokan diagnosis DM (Gustaviani, 2006). Beberapa
peneliti menyarankan HbA1C (Hemoglobin A1C) sebagai salah satu uji diagnosa
pada diabetes melitus (Powers, 2005).
Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik untuk DM (ADA, 2010)
Kadar Glukosa Sewaktu
Konsentrasi plasma glukosa ≥200 mg/dL
(11,1 mmol/L)
Kadar Glukosa Puasa
Konsentrasi plasma glukosa ≥126 mg/dL
(7,0 mmol/L)
Kadar Glukosa 2 Jam Post Prandial
≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) selama TTGO
HbA1C
≥6,3 %
Adanya kadar glukosa darah meningkat secara abnormal merupakan kriteria
yang melandasi penegakan diagnosis diabetes. Kadar gula darah plasma pada
waktu puasa yang besarnya diatas 140mg/dL (7,8 mmol/L) atau kadar glukosa
darah sewaktu yang diatas 200 mg/dL (11,1 mmol/l). Pada satu kali pemeriksaan
atau lebih merupakan kriteria diagnostik penyakit diabetes (Smeltzer, 2001).
Skrining untuk DM tipe II sebaiknya dilakukan setiap 3 tahun bagi orang yang
13
usianya ≥ 45, dan lebih sering bagi orang yang riwayat keluarga DM, obesitas,
tanda-tanda resistensi Insulin dan jarang olah raga (Dipiro, 2008).
Keluhan klinis diabetes
Keluhan khas (+)
GDP
Atau
GDS
≥126
≥200
GDP
Atau
GDS
Keluhan khas (-)
GDP
Atau
GDS
≥126
≥200
≥126
≥200
110-125
110-199
<110
Ulang GDS atau GSP
≥126
≥200
TTGO
2 Jam
≥126
≥200
≥200
DIABETES MELITUS
- Evaluasi Status Gizi
- Evaluasi Penyulit DM
- Evaluasi dan Perencanaan Makan sesuai
Kebutuhan
<140-199
TGT
<140
GDPT
Normal
-Nasihat umum
-Perencanaan Makanan
-Latihan Jasmani
-Berat Idaman
- Belum perlu obat penurun glukosa
GDP = Glukosa Darah Puasa
GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT = Toleransi Glukosa Terganggu
Gambar 2.1 Langkah-Langkah Diagnostik Diabetes Melitus dan Gangguan
Toleransi Glukosa (Suyono, 2011)
14
2.3.7 Penatalaksanaan Terapi Diabetes Melitus Tipe 2
Tujuan jangka pendek penatalaksanaan DM yaitu untuk menghilangkan
keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target
pengendalian glukosa. Sedangkan tujuan jangka panjang yaitu mencegah dan
menghambat progesivitas penyulit seperti mikroangiopati, makroangiopati dan
neuropati. Sementara tujuan akhir adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM
(PERKENI,2011). American Diabetes Association merekomendasikan target
kontrol glikemik pada pasien dengan diabetes seperti yang terlihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Target Kontrol Glikemik (Powers,2005)
No
Kriteria
Target
1
HbA1C
< 7,0 %
2
Glukosa Darah Puasa
5,0 – 7,2 mmol/L (90-130
mg/dl)
3
Glukosa Darah Post Prandial
< 10 mmol/L (< 180 mg/dl)
Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah
raga. Apabila dalam langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai,
dapat dikombinasi dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi
obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Depkes RI, 2005). Berikut ini
Algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 :
15
Target
A1C ≤ 6,5%
Fasting SMBG < 110 mg/dL
2 jam PP SMBG < 140 – 180 mg/dL
Target terpenuhi
Intervensi awal
Edukasi diabetes, nutrisi
medis
dan
latihan
jasmani
Target Fasting SMBG PP tidak terpenuhi setelah 1 bulan
Mulai monoterapi
(sulfonilurea atau metformin)
atau dual terapi
A1C setiap 6 bulan
Target terpenuhi
monoterapi
Lanjutkan terapi
A1C setiap 6 bulan
Target tidak terpenuhi
setelah 3 bulan
Tambahkan agen oral
ketiga atau exenatide jika
A1C <8,5% atau beralih
untuk terapi insulin ;
pertimbangkan rujukan ke
endokrinologi
Target tidak terpenuhi
setelah 3 bulan
Mulai dual terapi
Target terpenuhi
Lanjutkan terapi
A1C setiap 6 bulan
Pilihan monoterapi awal :
Metformin
Thiazolidindion
Sulfonilurea
Insulin
Pilihan monterapi lainnya :
Nateglinide
Repaglinide
Acarbose / Migitol
Pilihan dual terapi :
Sulfonilurea + Metformin
Metformin + Thiazolidindione
Sulfonilurea / Metformin + Exenatide
Pilihan Kombinasi :
Insulin
Nateglinide / Repaglinide
Acarbose / Migitol
Gambar 2.2 Algoritma Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe II
( Wells et al, 2006 )
16
A. Terapi nonfarmakologi
1. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet
yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah:
a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
kadar normal.
b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d. Meningkatkan kualitas hidup.
Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus, yang
terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang optimal
dan pencegahan serta perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1, perhatian
utamanya pada regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk
mencapai dan memelihara berat badan yang sehat. Penurunan berat badan pada
DM tipe 2 telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki
respon sel-sel β terhadap stimulus glukosa (Depkes RI, 2005).
2. Olah raga
Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan
secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Beberapa contoh
olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang,
17
dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan juga
meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes RI, 2005).
B. Terapi Farmakologi
1. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam merespon
glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun
dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30
asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam
pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa
dari darah ke dalam sel (Tjay dan Rahardja, 2007).
Macam-macam sediaan insulin:
a. Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah
setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.
b. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di cairan
jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah. Metoda
yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau
mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.
c. Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan
mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh:
Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2007).
18
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan
memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien
yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi
metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah
insulin (Waspadji, 2010).
2. Obat Antidiabetik Oral
Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien
diabetes mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan
menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2005). Berikut ini penggolongan obat antidiabetik oral :
Tabel 2.3. Penggolongan Obat Antidiabetik Oral (Depkes RI, 2005)
Golongan
Sulfonilurea
Contoh Sediaan
Mekanisme Kerja
Tolbutamid
Merangsang sekresi insulin di kelenjar
Klorpropamid
pankreas, sehingga hanya efektif pada
Tolazomida
penderita
Glibenklamid
pankreasnya masih berfungsi dengan
Glipizid
baik.
diabetes
yang
β
sel-sel
Glikazid
Glimepirid
Biguanida
Metformin
Bekerja
langsung
pada
hati
(hepar),menghambat glukoneogenesis di
hati
dan meningkatkan penggunaan
glukosa di jaringan.
Meglitinid
Repaglinid
Merangsang sekresi insulin dikelenjar
pankreas
Nateglinid
Meningkatkan kecepatan sintesis insulin
oleh pankreas
19
Tiazolidindion
Rosiglitazone
Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap
Pioglitazone
insulin pada otot, jaringan lemak, dan
hati untuk menurunkan resistensi insulin
Penghambat
Akarbosa
Menghambat kerja enzim-enzim
enzim
Miglitol
pencenaan yang mencerna karbohidrat,
alfaglukosidase
sehingga memperlambat absorpsi glukosa
ke dalam darah
a. Golongan Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas,
oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat
berproduksi Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian
senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh
kelenjar pankreas. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk diabetes dewasa
baru dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami
ketoasidosis sebelumnya (Depkes RI, 2005).
-Sulfonilurea generasi pertama
Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati.
Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung,
2002). Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini
diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan
Suharto, 1995).
Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi, masa
paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada
20
asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-hidroksilheksamid juga memperlihatkan
masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam (Handoko dan Suharto, 1995).
Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam hati dan
metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat albumin, masa
paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa hari setelah
pengobatan dihentikan (Handoko dan Suharto, 1995).
Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan
efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah
pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002).
- Sulfonilurea generasi kedua
Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali lebih
kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak efektif
lagi, risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya
berlainan dengan sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu
menstimulasi sekresi insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan)
(Tjay dan Rahardja, 2007). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit
diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan ginjal (Handoko
dan Suharto, 1995).
Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme dalam
hati menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan melalui
ginjal (Katzung, 2002).
Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling
rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif
21
dan dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya
waktu paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk
yang tidak aktif (Katzung, 2002).
Tabel 2.4 Golongan Sulfonilurea (DIH, 2009 dan Dipiro, 2008)
Nama Obat
Farmakologi
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Generasi Ke 2
Glikazid
Dimetabolisme dihati dan
diskresi
melalui
Mekanisme :
ginjal. Merangsang sekresi insulin di
Lama kerja labih dari 12 kelenjar pankreas, sehingga
jam dengan waktu paruh 10 hanya efektif pada penderita
jam (Dipiro,
diabetes yang sel-sel β
2008).
pankreasnya masih berfungsi
Waktu Paruh :
dengan baik (Dipiro, 2008)
10 jam
Dosis: oral 1-3 kali sehari
80-320
mg
maksimum:
/hr,
dosis
320mg/
hari
diminum setelah makan
Gejala saluran cerna berupa
mual,muntah
dan
diare
(Edmond,2011).
Menyebabkan
(DIH, 2009)
Glimepirid
Efek samping :
hipoglikemik
(Schrenthaner et al, 2004)
Durasi kerja sampai 24 jam,
Mekanisme :
dimetabolisme
Merangsang sekresi insulin di
di
hati
menjadi metabolit inaktif kelenjar
(Dipiro, 2008).
pankreas,
sehingga
hanya efektif pada penderita
Dosis: 1 kali sehari 1-4 mg, diabetes
yang
sel-sel
β
maks 6 mg sehari, sebelum pankreasnya masih berfungsi
makan. (DIH, 2009)
dengan baik (Dipiro, 2008).
Efek samping :
22
Gejala saluran cerna dan sakit
kepala. Dibandingkan dengan
Glibenklamid, Glimepirid lebih
jarang
menimbulkan
hipoglikemik
efek
pada
awal
pengobatan (Soegondo, 2002).
Glibenklamid
Potensinya 200x lebih kuat Mekanisme :
dari
Tolbutamid.
kerja
Durasi Merangsang sekresi insulin di
sampai
24
jam, kelenjar
dimetabolisme
di
hati, hanya efektif pada penderita
dieliminasi ½ di ginjal dan diabetes
pankreas,
yang
sehingga
β
sel-sel
½ di feses (Dipiro, 2008).
pankreasnya masih berfungsi
Waktu Paruh :
dengan baik (Dipiro, 2008)
4 jam
Efek samping :
Dosis:
Gejala saluran cerna dan sakit
Permulaan 1 kali sehari 2,5- kepala.
Memiliki
5 mg, bila perlu dinaikkan hipoglikemik
setiap
minggu
sampai sehingga
efek
yang
poten
pasien
perlu
maksimal 2 kali sehari 10 diingatkan untuk melakukan
mg. Dosis tunggal harian jadwal makan yang ketat
sebesar
1
mg
terbukti (Soegondo, 2002).
efektif dan dosis maksimal Kombinasi Obat :
yang dianjurkan adalah 8 Metformin digunakan sekali
mg (Katzung, 2010).
sehari sebagai mono terapi atau
dalam
bentuk
kombinasi
dengan insulin
Glipizid
Durasi kerja sampai 20 jam,
dalam darah 98% terikat
protein plasma, potensinya
100x
lebih
kuat
dari
Mekanisme :
Merangsang sekresi insulin di
kelenjar
pankreas,
sehingga
hanya efektif pada penderita
diabetes
yang
sel-sel
β
23
Tolbutamid. Dimetabolisme
dihati
menjadi
sekitar
10%
pankreasnya masih berfungsi
inaktif, dengan baik
diekresikan Efek samping :
Edema, flu, hypertensi, aritmia,
melalui ginjal dlam keadaan
, migren, depresi. Jarang
utuh (Dipiro,
menimbulkan Hipoglikemia
2008).
dibandingkan gliburid, juga
Waktu Paruh :
pada gangguan fungsi
2-4 jam
hati/ginjal pada orang usia
Dosis: 1 kali sehari 2,5-5
lanjut (Taketomo, 2003).
mg ½ jam sebelum makan.,
Kombinasi Obat :
maksimal 3 kali sehari 15
Metformin
mg
(DIH, 2009)
Glikuidon
Diabsorsi dari usus (95%) Mekanisme :
dan
mencapai
kadar Merangsang sekresi insulin di
maksimum dalam plasma kelenjar
setelah 2-3 jam.
pankreas,
sehingga
hanya efektif pada penderita
Dosis : 1 kali sehari 15 mg diabetes
yang
sel-sel
β
pada waktu makan pagi pankreasnya masih berfungsi
(DIH, 2009)
dengan baik (Dipiro, 2008)
Efek Samping :
Hipoglikemia
b. Golongan Biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan
glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan
menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga
berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang
overweight (Depkes RI, 2005).
24
Tabel 2.5 Golongan Biguanid (DIH, 2009 dan Dipiro, 2008)
Nama Obat
Farmakologi
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Metformin Durasi kerja sampai 24 jam, Mekanisme : Bekerja langsung
tidak berikatan dengan protein pada hati (hepar), menurunkan
plasma, tidak terjadi metabolism produksi glukosa hati. Tidak
dan diekresikan
sebagai
oleh
ginjal merangsang
senyawa
sekresi
aktif oleh kelenjar pankreas.
(Sukandar dan Andrajati, 2009).
Efek Samping :
Waktu Paruh :
flu, palpitasi,
3-6 jam.
asodosis
Dosis : 3 kali sehari 500 mg diare,
setelah
1-2
sakit
kepala,
laktat,
anoreksia,
dan
gangguan
atau 2 kali sehari 850 mg, bila penyerapan
perlu
insulin
vitamin
B12
minggu (Taketomo, 2003).
perlahan-lahan dinaikan sampai
Menyebabkan
mual
dan
maksimal 3 kali sehari 1 g.
muntah, jarang menyebabkan
(DIH, 2009)
hipoglikemia (Drug Facts &
Comparison, 2005).
Kombinasi Obat :
Gliburid,Glipizid,Glibenklamid
dan Rosiglitazon
c. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan berupa
penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi
insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke
dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan dapat lebih
tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan
25
hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel β pankreas. Contoh:
Pioglitazone, Troglitazon (Depkes RI, 2005).
Tabel 2.6 Golongan Thiazolidinedion (DIH, 2009 dan Dipiro, 2008)
Nama Obat
Farmakologi
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Rosiglitazon Durasi kerja sampai 24 jam, di Mekanisme :
metabolisme di CYP2C8 dan Meningkatkan kepekaan tubuh
2C9 menjadi metabolit inaktif terhadap insulin pada otot,
yang diekresikan di renal
jaringan lemak, dan hati untuk
(Dipiro, 2008).
menurunkan resistensi insulin
Waktu Paru :
Efek samping :
3-4 jam
Nyeri punggung, sakit kepala,
Dosis :
hiperglikemia, luka, sinusitis,
Bersama
Metformin
atau anemia
ketika
digunakan
Sulfonilurea, 1-2 kali sehari 4 bersamaan dengan metformin,
mg sebelum makan atau setelah udem
makan (DIH, 2009)
ketika
bersamaan
digunakan
dengan
insulin
(Dipiro, 2008).
Pioglitazon
Durasi kerja sampai 24 jam, Mekanisme : Meningkatkan
dimetabolisme di CYP2C8 dan kepekaan
tubuh
terhadap
3A4, diekresikan melalui urin insulin pada otot, jaringan
dan tinja (Dipiro, 2008).
lemak, dan hati untuk
Waktu Paruh :
menurunkan resistensi insulin
16-24 jam
Efek Samping :
Dosis :
Udem,
sakit
1 kali sehari 15-30 mg sebelum hipoglikemia,
makan atau setelah makan. gangguan gigi , ISP.
Dosis awal yang direkomendasi
kepala,
sinusitis,
26
d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa
di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia postprandrial.
Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga
tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh: Acarbose (Tjay dan Rahardja,
2007).
Tabel 2.7 Golongan Penghambat α-Glukosidase (DIH, 2009 dan Dipiro, 2008)
Nama Obat
Farmakologi
Farmakokinetik
Akarbose
Farmakodinamik
Durasi kerja sampai 1-3 jam, Di Mekanisme :
Absorpsi <2% dimetabolisme Menghambat
disaluran cerna oleh bakteri enzim
kerja
enzim-
pencenaan
yang
intestinal dan enzim pencernaan, mencerna karbohidrat,
dieliminasi di empedu (Dipiro, sehingga
2008).
memperlambat
absorpsi glukosa ke dalam
Dosis : permulaan 3 kali sehari darah
50 mg, bila perlu dinaikkan Efeksamping :
setelah
1-2
minggu
sampai sakit kepala, vertigo, Urticaria,
maksimal 3 kali sehari 100 mg. Erytema, diare, perut kembung,
Dianjurkan
untuk
diberikan nyeri, dan hepatitis (Taketomo,
bersama suap pertama setiap 2003)
kali makan. (DIH, 2009)
Obat Kombinasi :
Acarbose dapat diberikan
dalam terapi kombinasi dengan
Sulfonilurea, Metformin,atau
Insulin(Soegondo, 2002)
Miglitol
Durasi kerja sampai 1-3 jam, Mekanisme :
dieliminasi
di
renal
(ISO Menghambat
kerja
enzim-
27
Farmakoterapi, 2009).
enzim
pencenaan
Dosis : Permulaan 3 kali sehari mencerna
50
mg
sebelum
berangsur-angsur
dalam
waktu
makan, sehingga
yang
karbohidrat,
memperlambat
dinaikan absorpsi glukosa ke dalam
4-12
minggu darah
menjadi dosis pemeliharaan 3 dd Efek samping :
100 mg (DIH, 2009).
Sama dengan Akarbose, tetapi
resorpsinya dari saluran cerna
jauh lebih baik. Karena itu efek
sampingnya
mengenai
gangguan lambung usus lebih
sedikit (Jansman FGA 1997).
e. Golongan Meglitinid
Obat-obat antidiabetik oral golongan glinida ini merupakan obat antidiabetik
generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan sulfonilurea. Kedua
golongan senyawa antidiabetik oral ini bekerja meningkatkan sintesis dan sekresi
insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya senyawa obat antidiabetik golongan
meglitinid dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan
obat-obat antidiabetik oral lainnya (Depkes RI, 2005)..
Tabel 2.8 Golongan Meglitinid (DIH, 2009 dan Dipiro, 2008)
Nama Obat
Farmakologi
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Repaglinid Durasi kerja sampai 4 jam,
Mekanisme:
dimetabolisme di CYP 3A4 Merangsang sekresi insulin
menjadi
metabolit
inaktif, dikelenjar pankreas
diekresikan disaluran empedu Efek samping :
28
(Sukandar dan Andrajati 2009).
Hipoglikemia dan gangguan
Waktu Paruh :
saluran pencernaan
1 jam.
(Soegondo, 2002).
Dosis : 3-4 kali sehari 1-2 mg ½
jam
sebelum
makan
(DIH,
2009).
Nateglinid
Durasi kerja sampai 4 jam, Mekanisme:
diabsorbsi
dalam
waktu
20 Meningkatkan kecepatan
menit setelah pemberian oral, sintesis insulin oleh pankreas
dimetabolisme disitokrom P450 Efek samping :
2C9 dan 3A4 menjadi metabolit Hipoglikemia dan gangguan
aktif lemah, dieliminasi di ginjal saluran pencernaan (ISPA)
(Dipiro, 2008).
(soegondo,2002).
Waktu Paruh :
1 jam
Dosis : 3 kali sehari 60 mg
sebelum makan, maksimal 3
kali sehari 180 mg (DIH, 2009).
2.3.8 Kejadian Efek Samping Obat Antidiabetik Oral
A. Hipoglikemia
Hipoglikemia atau penurunan kadar gula darah merupakan keadaan dimana
kadar glukosa darah berada di bawah normal, yang dapat terjadi karena ketidak
seimbangan antara makanan yang dimakan, aktivitas fisik dan obat-obatan yang
digunakan. Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis antara lain
penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan menjadi kabur dan gelap,
berkeringat dingin, detak jantung meningkat dan terkadang sampai hilang
kesadaran (Nabyl, 2009).
29
Gejala umum hipoglikemia adalah lapar, gemetar, mengeluarkan keringat,
berdebar-debar, pusing, pandangan menjadi gelap, gelisah serta koma. Kadar gula
darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan
energi
sehingga
tidak
berfungsi
bahkan
dapat
mengalami
kerusakan.
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 12 kali per minggu, survei yang dilakukan di Inggris diperkirakan 2-4% kematian
pada penderita DM tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia (PERKENI,
2011).
B. Peningkatan Berat Badan
Penelitian menunjukkan peningkatan berat badan berasosiasi dengan
penggunaan insulin baik sebagai monoterapi ataupun dikombinasikan dengan
Obat Hipoglikemik Oral. Faktor yang berperan dalam peningkatan berat badan
karena pemakaian insulin yaitu interaksi antara perbaikan kontrol glikemia dan
penurunan glukosuria, penekanan produksi glukosa hepatik, efek anabolik yang
meningkatkan deposisi lemak dan peningkatan asupan makanan untuk mencegah
hipoglikemia (Gonza’lez dan Serrano, 2007).
C. Reaksi imunologi
Reaksi imunologi terhadap insulin dapat menimbulkan alergi insulin atau
resistensi insulin (PERKENI, 2011). Komponen non insulin seperti berbagai
pengotor, pengawet (metakresol) atau agen yang digunakan untuk menghasilkan
aksi yang panjang (zinc, protamin) dapat bertindak sebagai allergen (Radermocker
et al, 2007).
30
D. Mual dan Muntah
Mual didefinisikan sebagai sensasi tidak menyenangkan pada epigastrium
yang disertai kemerahan, takikardi dan kesadaran dari dorongan muntah.
Sedangkan muntah atau emesis dikarakteristikkan dengan kontraksi otot abdomen,
penurunan diafragma, dan pembukaan kardia lambung yang menghasilkan
pengeluaran dari isi lambung melalui mulut (Garrett et al. 2003).
E. Diare
Penyakit diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk
dan konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi
buang air besar yang lebih dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang
mungkin dapat disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah (WHO,2005).
2.3.9. Efektivitas Terapi (Outcome Klinik)
Outcome klinik adalah peristiwa medis yang terjadi sebagai akibat dari
kondisi atau pengobatan yang diberikan. Outcome digunakan untuk membantu
pasien, payers, dan providers untuk membuat pilihan pengobatan yang rasional
berdasarkan pengetahuan terbaik karena efek dari pilihan ini akan menentukan
hidup pasien (Coons, 2005).
Suatu obat diharapkan bekerja secara efektif dengan efek samping seminimal
mungkin. Sekecil apapun efek samping tersebut jika ada yang membahayakan.
Belum adanya penelitian mengenai gambaran kejadian efek samping terapi obat
antidiabetik oral pada pasien JKN dan non JKN. Gambaran kejadian efek samping
dijabarkan dengan nilai presentase terjadinya efek samping selama pasien
menjalani rawat jalan (Coons, 2005).
Download